Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG
Pada masa usia dini anak mengalami masa keemasan (the golden years) yang
merupakan masa dimana anak mulai peka/sensitif untuk menerima berbagai rangsangan.
Masa peka pada masing-masing anak berbeda, seiring dengan laju pertumbuhan dan
perkembangan anak secara individual. Masa peka adalah masa terjadinya kematangan fungsi
fisik dan psikis yang siap merespon stimulasi yang diberikan oleh lingkungan. Masa ini juga
merupakan masa peletak dasar untuk mengembangkan kemampuan kognitif, motorik, bahasa,
sosio emosional, agama dan moral.
Kemampuan sosial-emosional serta moralnya anak bertujuan agar anak merasa
percaya diri, mampu bersosialisasi dengan orang lain, menahan emosinya jika berada dalam
suatu keadaan sesuai dengan kemampuan dan tingkat perkembangan anak serta berakhlak
dan bermoral dilingkungannya. Pengembangan sosial serta moral anak dapat dikembangkan
dengan mengajak anak untuk mengenal diri dan lingkungannya. Interaksi dengan keluarga
sendiri dan orang lain juga akan menbantu anak membangun konsep dirinya.
Pendidikan anak usia dini merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan
yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik
(motorik halus dan kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan
spiritual), sosio emosional (sikap dan perilaku serta agama) bahasa dan komunikasi, sesuai
dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini. Tetapi
kenyataannya, sebagian besar orang tua dan guru tidak memahami akan potensi luar biasa
yang dimiliki anak-anak pada usia itu. Keterbatasan pengetahuan dan informasi yang dimiliki
orang tua dan guru, menyebabkan potensi yang dimiliki anak tidak berkembang dan juga
kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah.
Dalam pembahasan makalah ini, untuk mencapai pemahaman tentang dasar teoritis
perkembangan sosial emosional serta perkembangan nilai agama dan moral pada masing-
masing (individu) anak usia dini, maka diharapkan mampu mendeskripsikan secara singkat
pengertian sosial dan emosi serta agama dan moral, menggambarkan mekanisme terjadinya
berbagai emosi dan moral dalam diri peserta didik, serta memahami penahapan
perkembangan sosial emosional dan moral anak.

1
RUMUSAN MASALAH
 Apa yang dimaksud dengan emosi dan sosial pada anak usia dini?
 Apa saja karakteristik dan faktor-faktor perkembangan sosial dan emosional pada
anak usia dini?
 Apa saja perkembangan sosial dan emosional anak usia dini?
 Bagaimana cara menstimulasi perkembangan sosial emosional anak usia dini?
 Apa yang dimaksud dengan moral pada anak usia dini?
 Apa saja karakteristik dan faktor-faktor perkembangan moral pada anak usia dini?
 Apa saja perkembangan moral anak usia dini?

TUJUAN DAN MANFAAT


Tujuan dan manfaat pembahasan yang dapat diuraikan dalam beberapa hakekat filsafat
pendidikan ini antara lain :
 Untuk mengetahui tentang perkembangan sosial emosional anak usia dini
 Untuk mengetahui tentang perkembangan agama dan moral anak usia dini

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. PERKEMBANGAN SOSIAL EMOSIONAL


PERKEMBANGAN EMOSI
Emosi didefinisikan sebagai suatu keadaan gejolak penyesuaian diri yang berasal dari
dalam dan melibatkan keseluruhan diri seseorang. Bahagia, marah, takut, cemas dan respon
emosi lainnya membuat perhatian anak terfokus pada aspek-aspek kehidupan mereka; emosi
juga membantu anak membangun ide, tujuan dan rencana. Emosi anak secara umum belum
berkembang secara terarah.
Menurut para ahli, Pengertian Emosi antara lain adalah sebagai berikut :
1. Menurut Goleman “emosi merujuk pada suatu perasaan atau pikiran-pikiran khas, suatu
keadaan biologis dan psikologis serta rangkaian kecenderungan untuk bertindak.”
2. Menurut Syamsuddin “emosi merupakan suatu suasana yang kompleks dan getaran jiwa
yang meyertai atau muncul sebelum atau sesudah terjadinya suatu perilaku.”
Pendapat lain mengatakan bahwa emosi adalah perasaan intens yang ditujukan kepada
seseorang atau sesuatu atau sebuah reaksi terhadap seseorang atau kejadian.

Dalam proses perkembangannya, emosi anak dipengaruhi oleh banyak faktor. Ada
beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan emosi anak diantaranya: 1) heredity, 2)
brain development, 3) gender, 4) family relationships and environtment, 5) culture influens.
Dari pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
perkembangan emosi anak meliputi faktor keturunan, perkembangan otak (perkembangan
intelektual), jenis kelamin, hubungan keluarga dan lingkungan, serta pengaruh budaya.
Faktor hereditas merupakan faktor internal atau faktor yang berasal dari dalam diri
seseorang seperti sifat, bakat, keturunan dan sebagainya. Contoh sifatnya seperti sifat jahat,
baik, pemarah, dengki, iri, pemalu, dan sebagainya.
Faktor kematangan intelektual memberikan pengaruh yang besar terhadap seberapa
besar kemampuan emosi anak berdasarkan tingkat usianya. Perkembangan intelektual
menghasilkan kemampuan untuk memahami makna yang sebelumnya tidak dimengerti.
Orangtua sebagai faktor yang mempengaruhi perkembangan emosi anak, memiliki
peran yang sangat penting terutama dalam mengasah kemampuan emosi yang dimiliki oleh

3
anak. Anak dalam mengekspresikan emosinya dihubungkan pada perubahan kemampuan
sosialnya dengan orang lain dilingkungan sosialnya.
Terakhir faktor budaya, budaya membentuk anak memiliki ciri khas yang berbeda
satu sama lain. Misalnya anak yang berlatar belakang budaya Jawa berbeda cara
mengekspresikan emosinya dengan anak yang berlatar belakang Batak.

Perkembangan emosi yang sehat sangat membantu bagi keberhasilan belajar anak.
Oleh karena itu dalam rangka mengembangkan emosi anak yang sehat, guru-guru di taman
kanak-kanak sebaiknya memberikan bimbingan kepada anak-anak agar dapat
mengembangkan hal-hal berikut :
 Kemampuan untuk mengenal, menerima dan berbicara tentang perasaan-perasaannya
 Menyadari bahwa ada hubungan antara emosi dengan tingkah laku sosial
 Kemampuan untuk menyalurkan keinginannya tanpa mengganggu perasaan orang lain
 Kemampuan untuk peka terhadap perasaan dan kebutuhan orang lain

Dengan bertambahnya usia, anak-anak memperoleh berbagai emosi dan semakin


menyadari perasaan mereka sendiri dan orang lain. Perkembangan emosi ditandai dengan hal-
hal berikut :
1. Bayi memulai kehidupannya dengan emosi dasar dan secara bertahap menambahkan
perasaannya
2. Bayi merespon emosi orang lain
3. Anak-anak belajar mengarah perilaku mereka berdasarkan ekspresi emosi orang lain
4. Anak-anak belajar merefleksikan emosi
5. Anak-anak memperluas perbendaharaan emosinya sebagai bagian dari kesadaran diri
akan emosi
6. Anak-anak dan remaja secara bertahap belajar untuk mengatur emosinya
7. Peduli pada perasaan orang lain merupakan respon emosi yang penting dan berkembang
dengan bertambahnya usia
8. Masa remaja membawa kecemasan dan tekanan baru

Karakteristik Perkembangan Emosi Anak Usia Dini adalah sebagai berikut :


1. Mampu mengungkapkan perasaan atau emosinya secara verbal
2. Mampu memulihkan amarah atau mengamuk manjadi kooperetif dan tertata

4
3. Cenderung mengungkapkan ketidak sukaan secara verbal dari pada dengan tindakan
agresif
4. Mengenali berbagai perasaan atau emosi orang lain
5. Pada sebagian besar waktunya mampu menunjukkan temperamen yang stabil dan patut
6. Emosi anak berlangsung singkat dan muncul cukup sering
7. Emosi anak dapat dideteksi dengan melihat gejala perilakunya
8. Kekuatan dan ekspresi emosi anak dapat berubah

Adapun beberapa bentuk emosi umum terjadi pada awal masa anak-anak yang di
kemukakan oleh Hurlock adalah :
1. Amarah
2. Takut (malu, merasa sulit, tidak mampu dalam melakukan sesuatu serta khawatir dan
cemas)
3. Cemburu
4. Ingin tahu
5. Iri hati
6. Senang
7. Sedih
8. Kasih sayang

PERKEMBANGAN SOSIAL
Menurut Hurlock, perkembangan sosial anak adalah tahapan kemampuan anak dalam
berperilaku sesuai dengan harapan lingkungan.
Departemen pendidikan dan kebudayaan menyatakan bahwa perkembangan sosial
adalah suatu proses perubahan yang berlangsung secara terus-menerus menuju pendewasaan
yang memerlukan adanya komunikasi dengan masyarakat. Masa kanak-kanak merupakan
awal kehidupan sosial yang berpengaruh pada anak, diamana anak akan belajar mengenal dan
menyukai orang lain melalui aktifitas sosial. Apabila pada masa kanak-kanak ini anak
mampu melakukan hubungan sosial dengan baik akan memudahkan bagi anak dalam
melakukan penyesuaian sosial dengan baik dan anak akan mudah diterima sebagai anggota
kelompok sosial di tempat mereka mengembangkan diri.
Menurut para ahli, pengertian Perkembangan Sosial antara lain adalah sebagai berikut :

5
1. Syamsuddin mengungkapkan “Sosialisasi adalah proses belajar untuk menjadi makhluk
sosial.”.
2. Menurut Loree “Sosialisasi merupakan suatu proses dimana individu (anak) melatih
kepekaan dirinya terhadap rangsangan-rangsangan sosial terutama tekanan-tekanan dan
tuntutan kehidupan serta belajar bergaul dengan bertingkah laku seperti orang lain
didalam lingkungan sosialnya.
Pendapat lain mengatakan bahwa Perkembangan sosial adalah pencapaian
kematangan dalam hubungan sosial. Perkembangan sosial dapat pula diartikan sebagai proses
belajar untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma kelompok, moral dan tradisi
meleburkan diri menjadi satu kesatuan dan saling berkomunikasi dan kerja sama.

Perilaku sosial merupakan aktivitas dalam berhubungan dengan orang lain, baik dengan
teman sebaya, orang tua maupun saudara-saudaranya. Sejak kecil anak telah belajar cara
berperilaku sosial sesuai dengan harapan orang-orang yang paling dekat dengannya, yaitu
dengan ibu, ayah, saudara, dan anggota keluarga yang lain.

Aktivitas bermain bagi seorang anak yang memiliki peranan yang cukup besardalam
mengembangkan kecakapan sosialnya sebelum anak mulai bertemandan anak akan
menyiapkan mainan dalam menghadapi pengalaman sosialnya.

Hurlock mengemukakan ada beberapa pola perilaku dalam situasi sosial pada awal
masa kanak-kanak yaitu sebagai berikut :
1. Kerja Sama
2. Persaingan
3. Kemurahan hati
4. Hasrat akan penerimaan sosial
5. Simpati
6. Empati
7. Ketergantungan
8. Sikap ramah
9. Meniru
10. Perilaku kedekatan

6
Menurut Patmonodewo menjelaskan ada 5 tingkatan dalam bermain sosial yaitu :
1. Bermain solitaire
Anak–anak bermain dalam satu ruangan, mereka tidak saling mengganggu dan tidak
saling memperhatikan.
2. Bermain sebagai penonton / pengamat
Pada tahap ini anak mulai peduli terhadap teman – temannya yang bermain disatu
ruangan dan ia pun masih bermain sendirian.
3. Bermain parallel
Pada tahap ini anak bermain bersama dengan mainan yang sama dalam satu ruangan.
4. Bermain asosiatif
Yaitu permainan yang melibatkan beberapa orang anak, namun belum terorganisasi.
5. Bermain kooperatif
Dilakukan secara berkelompok masing – masing anak memiliki peran untuk mencapai
tujuan permainan

STIMULASI UNTUK PERKEMBANGAN SOSIAL EMOSIONAL ANAK


USIA DINI
Agar anak mampu mengelola sosial emosionalnya dengan baik, perlu dukungan dari
orangtua, yang antara lain adalah sebagai berikut:
1. Tumbuhkan rasa ingin tahu anak, kreativitas dan imajinasi
2. Melatih kemampuan pengendalian diri
3. Berilah kesempatan anak untuk melatih cara pikir mereka
4. Berilah lebih banyak dorongan dan dukungan
5. Tumbuhkan rasa percaya diri
6. Latihlah Menghadapi dunia luar
7. Tanamkan rasa hormat pada orang lain

FUNGSI SOSIAL DAN EMOSIONAL BAGI ANAK USIA DINI


Fungsi dan peranan emosi pada perkembangan anak adalah :
1. Merupakan bentuk komunikasi.
2. Emosi berperan dalam mempengaruhi kepribadian dan penyesuaian diri anak dengan
lingkungan sosialnya.
3. Emosi dapat mempengaruhi iklim psikologis lingkungan.

7
4. Tingkah laku yang sama dan ditampilkan secara berulang dapat menjadi satu kebiasaan.
5. Ketegangan emosi yang di miliki anak dapat menghambat atau mengganggu aktivitas
motorik dan mental anak.

Hurlock mengatakan fungsi dan peranan kemampuan sosial pada perkembangan anak
adalah sebagai berikut :
1. Belajar untuk bertingkah laku dengan cara yang dapat diterima masyarakat.
2. Belajar memainkan peran sosial yang ada dimasyarakat.
3. Mengembangkan sikap atau tingkah laku sosial terhadap individu lain dan aktivitas sosial
yang ada di masyarakat.

PERKEMBANGAN MORAL
PENGERTIAN PERKEMBANGAN MORAL
Sebelum memahami pengertian perkembangan moral maka terlebih dahulu perlu dipahami
pengertian moral. Secara etimologi istilah moral berasal dari bahasa Latin mos, moris (adat,
istiadat, kebiasaan, cara, tingkah laku, kelakuan) mores (adat istiadat, kelakuan, tabiat, watak,
akhlak). Menurut Purwadarminto (dalam Sunarto, 2008) moral adalah ajaran tentang baik
buruk perbuatan dan kelakuan, akhlak, kewajiban, dan sebagainya. Moral berkaitan dengan
kemampuan untuk membedakan antara perbuatan yang benar dan yang salah. Dengan
demikian, moral merupakan kendali dalam bertingkah laku.
Santrock mengemukakan pengertian moralitas yaitu perilaku proporsional ditambah beberapa
sifat seperti kejujuran, keadilan, dan penghormatan terhadap hak-hak dan kebutuhan-
kebutuhan orang lain. Kolhberg (dalam Santrock, 2002:370) menekankan
bahwa perkembangan moral didasarkan terutama pada penalaran moral dan berkembang
secara bertahap. Perkembangan moral (moral development) berkaitan dengan aturan dan
konvensi tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam interaksinya dengan
orang lain. Dalam mempelajari aturan-aturan ini para pakar perkembangan akan menguji tiga
bidang yang berbeda yaitu: (1) Bagaimana anak-anak bernalar atau berpikir tentang aturan-
aturan untuk perilaku etis; (2) Bagaimana anak-anak sesungguhnya berperilaku dalam
keadaan bermoral; (3) Bagaimana anak merasakan hal-hal moral itu.
Perkembangan moral (moral development) melibatkan perubahan seiring usia pada pikiran,
perasaan, dan perilaku berdasarkan prinsip dan nilai yang mengarahkan bagaimana seseorang
seharusnya bertindak. Perkembangan moral memiliki dimensi intrapersonal (nilai dasar
dalam diri seseorang dan makna diri) dan dimensi interpersonal (apa yang seharusnya
dilakukan orang dalam interaksinya dengan orang orang lain) (King, 2006).

TEORI PERKEMBANGAN MORAL

1) TEORI PERKEMBANGAN MORAL PIAGET

8
Ada dua macam studi yang dilakukan oleh Piaget mengenai perkembangan moral anak dan
remaja:

1. Melakukan observasi terhadap sejumlah anak yang bermain kelereng, sambil mempelajari
bagaimana mereka bermain dan memikirkan aturan-aturan permainan.
2. Menanyakan kepada anak-anak pertanyaan tentang aturan-aturan etis, misalnya mencuri,
berbohong, hukuman dan keadilan.
Dari hasil studi yang telah dilakukan tersebut, Piaget menyimpulkan bahwa anak-anak
berpikir dengan 2 cara yang sangat berbeda tentang moralitas, tergantung pada kedewasaan
perkembangan mereka Piaget mengemukakan bahwa seorang manusia dalam
kehidupannyaakan mengalami rentangan perkembangan moral sbb :

a. Tahap heteronomous

Seseorang yang pada saat awal kehidupannya belum memiliki pendirian yang kuat dalam
menentukan sikap dan perilaku atau dapat dikatakan bahwa dalam mnentukan pilihan
keputusan sebuah perilaku masih dilandasi oleh anekaragam dan sering bertukarnya
ketentuan dan kepentingan. Contoh : anak kecil jika ditanya pilih warna merah atau
kuning . Maka antara jawaban pertama kedua dan seterusnya besar kemungkinan akan
berbeda.

 Ø Heteronomous Morality
1. Merupakan tahap pertama perkembangan moral menurut teori Piaget yang terjadi kira-
kira pada usia 4-7 tahun. Keadilan dan aturan-aturan dibayangkan sebagai sifat-sifat dunia
yang tidak boleh berubah, yang lepas dari kendali manusia.
2. Pemikir Heteronomous menilai kebenaran atau kebaikan perilaku dengan
mempertimbangkan akibat dari perilaku itu, bukan maksud dari pelaku.
3. Misal: memecahkan 12 gelas secara tidak sengaja lebih buruk daripada memecahkan 1
gelas dengan sengaja, ketika mencoba mencuri sepotong kue.
4. Pemikir Heteronomous yakin bahwa aturan tidak boleh berubah dan digugurkan oleh
semua otoritas yang berkuasa.
5. Ketika Piaget menyarankan agar aturan diganti dengan aturan baru (dalam permainan
kelereng), anak-anak kecil menolak. Mereka bersikeras bahwa aturan harus selalu sama
dan tidak boleh diubah.
6. Meyakini keadilan yang immanen, yaitu konsep bahwa bila suatu aturan dilanggar,
hukuman akan dikenakan segera.
7. Yakin bahwa pelanggaran dihubungkan secara otomatis dengan hukuman.

b. Tahap Autonomous
Seorang anak telah memiliki sikap dan perilaku moralitasnya yang tercermin dari dirinya dan
telah didasari oleh pendiriannya sendiri. Contoh : anak yang menginginkan sebuah mainan
dia akan tetap berusaha memainkan mainan tersebut meskipun harus antri menunggu giliran .

 Ø Autonomous Morality
1. Tahap kedua perkembangan moral menurut teori Piaget, yang diperlihatkan oleh anak-
anak yang lebih tua (kira-kira usia 10 tahun atau lebih). Anak menjadi sadar bahwa

9
aturan-aturan dan hukum-hukum diciptakan oleh manusia dan dalam menilai suatu
tindakan, seseorang harus mempertimbangkan maksud-maksud pelaku dan juga akibat-
akibatnya.
2. Bagi pemikir Autonomos, maksud pelaku dianggap sebagai yang terpenting.
3. Anak-anak yang lebih tua, yang merupakan pemikir Autonomos, dapat menerima
perubahan dan mengakui bahwa aturan hanyalah masalah kenyamanan, perjanjian yang
sudah disetujui secara sosial, tunduk pada perubahan menurut kesepakatan.
4. Menyadari bahwa hukuman ditengahi secara sosial dan hanya terjadi apabila seseorang
yang relevan menyaksikan kesalahan sehingga hukuman pun menjadi tak terelakkan.
Piaget berpendapat bahwa dalam berkembang anak juga menjadi lebih pintar dalam berpikir
tentang persoalan sosial, terutama tentang kemungkinan-kemungkinan dan kerja sama.
Pemahaman sosial ini diyakini Piaget terjadi melalui relasi dengan teman sebaya yang saling
memberi dan menerima. Dalam kelompok teman sebaya, setiap anggota memiliki kekuasaan
dan status yang sama, merencanakan sesuatu dengan merundingkannya, ketidaksetujuan
diungkapkan dan pada akhirnya disepakati. Relasi antara orang tua dan anak, orang tua
memiliki kekuasaan, sementara anak tidak, tampaknya kurang mengembangkan pemikiran
moral, karena aturan selalu diteruskan dengan cara otoriter. Untuk memperjelas teori Piaget
yang telah dipaparkan diatas, dapat dilihat dalam tabel di bawah ini

Teori Dua Tahap Perkembangan Moral versi Piaget

Usia Anak Tahap Perkembangan Moral Ciri Khas

4 s/d 7 tahun Realisme Moral 1. Memusatkan pada akibat-


akibat perbuatan
(dalam tahap perkembangan
kognitif pra-operasional) 2. Aturan-aturan dipandang
tak berubah

3. Hukuman atas pelanggaran


dipandang bersifat otomatis

7 s/d 10 tahun Masa Transisi Perubahan secara bertahap ke


arah pemilikan moral tahap
(dalam tahap perkembangan kedua
kognitif konkrit-operasional)

11 tahun ke atas Otonomi, realisme dan 1. Mempertimbangkan


resiprositas moral tujuan-tujuan perilaku moral

(dalam tahap perkembangan 2. Menyadari bahwa aturan


kognitif formal-operasional) moral adalah kesepakatan
tradisi yang dapat berubah.

10
2) TEORI PERKEMBANGAN MORAL KOHLBERG

Kohlberg menekankan bahwa perkembangan moral didasarkan terutama pada penalaran


moral dan berkembang secara bertahap. Kohlberg sampai pada pandangannya setelah 20
tahun melakukan wawancara yang unik dengan anak-anak. Dalam wawancara, anak-anak
diberi serangkaian cerita di mana tokoh-tokohnya menghadapi dilema-dilema moral. Setelah
membaca cerita, anak-anak yang menjadi responden menjawab serangkaian pertanyaan
tentang dilema moral.

Berdasarkan penalaran-penalaran yang diberikan oleh responden dalam merespons dilema


moral, Kohlberg percaya terdapat tiga tingkat perkembangan moral, yang setiap tingkatnya
ditandai oleh dua tahap. Konsep kunci untuk memahami perkembangan moral, khususnya
teori Kohlberg, ialah internalisasi (internalization), yakni perubahan perkembangan dari
perilaku yang dikendalikan secara eksternal menjadi perilaku yang dikendalikan secara
internal.

Teori Enam Tahap Perkembangan Pertimbangan Moral Versi Kohlberg

Tingkat Tahap Konsep Moral

I Moralitas prakonvensional 1. Anak menentukan keburukan


berdasarkan tingkat hukuman akibat
(usia 4-10 tahun) keburukan tersebut.
Tahap 1: Memperhatikan ketaatan 2. Perilaku baik dihubungkan dengan
dan hokum penghindaran diri dari hukum.

Tahap 2: Memperhatikan pemuasan Perilaku baik dihubungkan dengan


kebutuhan pemuasan keinginan dan kebutuhan sendiri
tanpa mempertimbangkan kebutuhan orang
lain.

II Moralitas konvensional 1. Anak dan remaja berperilaku sesuai


dengan aturan dan patokan moral agar
(usia 10-13 tahun) mmeperoleh persetujuan orang dewasa,
Tahap 3: Memperhatikan citra “anak bukan untuk menghindari hukuman
baik” 2. Perbuatan baik dan buruk dinilai
berdasarkan tujuannya. Jadi, ada
perkembangan kesadaran terhadap

11
perlunya aturan.

Tahap 4: Memperhatikan hukum dan 1. Anak dan remaja memiliki sikap pasti
peraturan terhadap wewenang dan peraturan

2. Hukum harus ditaati oleh semua orang.

III Moralitas Pasca Konvensional 1. Remaja dan dewasa mengartikan


perilaku baik sebagai hak pribadi sesuai
(usia 13 tahun ke atas) dengan aturan dan patokan sosial.
Tahap 5 : memperhatikan hak 2. Perubahan hukum dan aturan dapat
perseorangan diterima jika diperlukan untuk mencapai
hal-hal yang paling baik.

3. Pelanggaran hukum dan aturan dapat


terjadi karena alasan-alasan tertentu.

Tahap 6: memperhatikan prinsip-


prinsip etika 1.Keputusan mengenai perilaku-perilaku
sosial didasarkan atas prinsip-prinsip moral
pribadi yang bersumber dari hukum
universal yang selaras dengan kebaikan
umum dan kepentingan orang lain.
2. Keyakinan terhadap moral pribadi dan
nilai-nilai tetap melekat meskipun sewaktu-
waktu berlawanan dengan hukum yang
dibuat untuk mengekalkan aturan sosial.

Contoh : seorang suami yang istrinya


sedang sakit keras dan ia tidak punya uang,
boleh jadi akan mencuri obat atau mencuri
uang untuk membeli obat tersebut untuk
menyelamatkan nyawa istrinya itu. Ia yakin
bahwa di satu sisi tindakan mencuri
merupakan keharusan, sedang di sisi lain
melestarikan kehidupan manusia itu
merupakan kewajiban moral yang lebih
tinggi daripada mencuri itu sendiri
(kasus Heinz).

12
Kritik terhadap Kohlberg

Teori perkembangan moral Kohlberg yang provokatif tidak berlalu tanpa tantangan. Kritik
mencakup hubungan antara penalaran moral dan perilaku moral, kualitas penelitian,
pertimbangan yang memadai tentang peran kebudayaan dalam perkembangan moral, dan
pengabaian perspektif pengasuhan.

1. Pemikiran Moral dan Perilaku Moral

Teori Kohlberg dikritik karenamemberi terlalu banyak penekanan pada penalaran moral dan
kurang memberi penekanan pada perilaku moral. Penalaran moral kadang-kadang dapat
menjadi tempat perlindungan bagi perilaku immoral. Seperti para penipu, koruptor, dan
pencuri mungkin mengetahui apa yang benar, tetapi masih melakukan apa yang salah.

2. Kebudayaan dan Perkembangan Moral

Kritik lain terhadap pandangan Kohlberg ialah bahwa pandangan ini secara kebudayaan bias.
Suatu tinjauan penelitian terhadap perkembangan moral di 27 Negara menyimpulkan bahwa
penalaran moral lebih bersifat spesifik kebudayaan daripada yang dibayangkan oleh Kohlberg
dan bahwa sistem skor Kohlberg tidak mempertimbangkan penalaran moral tingkat tinggi
pada kelompok-kelompok kebudayaan tertentu. Penalaran moral lebih dibentuk oleh nilai-
nilai dan keyakinan-keyakinan suatu kebudayaan daripada yang dinyatakan oleh Kohlberg.

3. Gender dan Perspektif Keperdulian

Carol Gilligan percaya bahwa teori perkembangan moral Kohlberg tidak mencerminkan
secara memadai relasi dan keperdulian terhadap manusia lain. Perspektif keadilan (justice
prespective) ialah suatu perspektif moral yang berfokus pada hak-hak individu; individu
berdiri sendiri dan bebas mengambil keputusan moral. Teori Kohlberg ialah suatu perspektif
keadilan. Sebaliknya, perspektif kepedulian (care perspective) ialah suatu perspektif moral
yang memandang manusia dari sudut keterkaitannya dengan manusia lain dan menekankan
komunikasi interpersonal, relasi dengan manusia lain, dan kepedulian terhadap orang lain.
Teori Gilligan ialah suatu perspektif kepedulian. Menurut Gilligan, Kohlberg kurang
memperhatikan perspektif kepedulian dalam perkembangan moral. Ia percaya bahwa hal ini
mungkin terjadi karena Kohlberg seorang laki-laki, karena kebanyakan penelitiannya adalah
dengan laki-laki daripada dengan perempuan, dan karena ia menggunakan respons laki-laki
sebagai suatu model bagi teorinya.

Altruisme

Altruisme ialah suatu minat yang tidak mementingkan diri sendiri dalam menolong
seseorang. Timbal balik dan pertukaran (reciprocity and exchange) terlibat dalam altruisme.
Timbal balik ditemukan di seluruh dunia manusia. Timbal balik mendorong anak-anak untuk
berbuat baik kepada orang lain sebagaimana mereka mengharapkan orang lain berbuat yang
sama kepada mereka. Sentimen-sentimen manusia disarikan dalam timbal balik ini.

13
Barangkali kepercayaan adalah prinsip yang paling penting dalam jangka panjang dalam
altruisme. Rasa bersalah dapat muncul di permukaan kalau anak tidak membalas (melakukan
timbal balik), dan kemarahan dapat terjadi kalau seseorang tidak melakukan timbal balik.
Tidak semua altruisme dimotivasi oleh timbal balik dan pertukaran, tetapi interaksi dan reaksi
dengan orang lain dapat menolong kita memahami hakekat altruisme.

William Damon menggambarkan suatu urutan perkembangan altruisme anak-anak,


khususnya berbagi (sharing). Hingga usia 3 tahun, berbagi dilakukan karena alasan-alasan
yang nonempatis; pada kira-kira 4 tahun, kombinasi kesadaran empatis dan dukungan orang
dewasa menghasilkan suatu rasa kewajiban untuk berbagi; pada tahun-tahun awal sekolah
dasar, anak-anak mulai secara sungguh-sungguh memperlihatkan gagasan-gagasan yang lebih
obyektif tentang keadilan. Pada masa ini prinsip keadilan mulai dipahami; pada tahun-tahun
pertengahan dan akhir sekolah dasar, prinsip-prinsip prestasi dan kebajikan dipahami.

KARAKTERISTIK PERKEMBANGAN MORAL REMAJA


Tabel Tren Perkembangan Moral (Ormord, 2000:134)
Janjang/ Usia (Th) Karakteristik yang sesuai usia
0-2 • Kemampuan membedakan antara perilaku yang melanggar hak dan harkat manusia
dan perilaku yang melanggar kaidah sosial.
• Tumbuhnya kesadaran bahwa perilaku yang menimbulakan bahaya fisik dan psikologis
secara moral salah.
• Perasaan bersalah atas penyimpangan-penyimpanagn perilaku yang menimbulkan bahaya
fisik dan psikologis secara moral salah.
• Tumbuhnya empati dan munculnya usaha untuk menghibur orang-orang yang sedang
berkesusahan, terurtama orang yang dikenal baik.
• Perhatian yang lebih besar pada kebutuhan-kebutuhan diri sendiri dibandingkan pada
kebutuhan orang lain.
3-5 • Pengetahuan tentang kaidah-kaidah sosial mengenai perilaku yang tapat.
• Perasaan malu dan bersalah bila melakukan pelanggran moral.
• Meningkatnya empati terhadap individu-individu yang belum dikenal, yang menderita
atau kekurangan.
• Pemahaman bahwa seseorang seharusnya berusaha sungguh-sungguh memenuhi
kebutuhan orang lain sekaligus juga kebutuhannya sendiri.
• Meningkatnya hasrat untuk menolong orang lain semata-mata karena perbuatan itu baik
dalam dirinya sendiri (bukan memdapatkan balasan atau semacamnya).
6-8 • Kecenderungan menganggap peraturan-peraturan dan kaidah-kaidah sebagai standar
yang harus didikuti demi kewajiban terhadap pereturan itu sendiri, dengan kata lain, diikuti
karena peraturan mewajibkannya.
• Minat untuk menyenangkan dan menolong orang lain, namun dengan tendensi terlalu
menyederhanakan apa itu “menolong orang lain”.
• Kecenderungan untuk meyakini bahwa kesusahan yang dialami para individu (misalnya
para tunawisma) sepenuhnya merupakan tanggung jawab mereka sendiri.
9-12 • Pemahaman bahwa peraturan-peraturan dan kaidah-kaidah sosial membantu
masyarakat berkembang secar lebih baik.

14
• Meningkatnya kepedulian untuk melaksanakan tugasnya sendiri dan tuduk pada
peraturan-peraturan masyarakat secara utuh alih-alih sekadar menyenangkan figur-figur yang
memiliki otoritas
• Empati yang murni terdap mereka yang berkesusahan
• Keyakinan bahwa masyarakat bertanggung jawab menolong orang lain yang
membutuhkan.

Michel meringkas lima perubahan dasar dalam moral yang harus dilakukan oleh remaja
(Hurlock, 1980:225) sebagai berikut:
1) Pandangan moral individu makin lama makin menjadi lebih abstrak.
2) Keyakinan moral lebih terpusat pada apa yang benar dan kurang pada apa yang salah.
Keadilan muncul sebagai kekuatan moral yang dominan.
3) Penilaian moral menjadi semakin kognitif. Hal ini mendorong remaja lebih berani
mengambil keputusan terhadap berbagai masalah moral yang dihadapinya.
4) Penilaian moral menjadi kurang egosentris.
5) Penilaian moral secara psikologis menjadi lebih mahal dalam arti bahwa
penilaian moral merupakan bahan emosi dan menimbulkan ketegangan emosi.
Kehidupan moral merupakan problematika yang pokok dalam masa remaja. Maka perlu
kiranya untuk meninjau perkembangan moralitas ini mulai dari waktu anak dilahirkan, untuk
dapat memahami mengapa justru pada masa remaja hal tersebut menduduki tempat yang
sangat penting.

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERKEMBANGAN MORAL


Para peneliti perkembangan telah mengidentifikasi sejumlah faktor yang berhubungan
dengan perkembangan penalaran dan perilaku moral:

Menggunakan Alasan

Memberikan anak alasan tentang mengapa aturan khusus yang diperlukan dan menahan
mereka bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukannya dapat membantu
meningkatkan perkembangan moral anak.

Interaksi Dengan Teman-Teman Sebaya

Anak belajar banyak tentang moralitas dalam interaksi dengan anak yang lain, baik yang
menyenangkan ataupun yang penuh konflik.

Perbedaan Jenis Kelamin

Penalaran moral kaum laki-laki dan kaum perempuan sering berpusat disekitar keperdulian-
keperdulian dan isu-isu yang berbeda. Kaum perempuan sering kali mengartikulasikan
perspektif kepedulian sementara kaum laki-laki perspektif keadilan.

Perbedaan Budaya

15
Perbedaan kebudayaan suatu kelompok memiliki sesuatu yang membedakan standar tentang
prilaku benar dan salah.

Perkembangan Kognitif Umum


Penalaran moral yang tinggi yaitu penalaran yang dalam mengenai hukum moral dan nilai-
nilai luhur seperti kesetaraan, keadilan, hak-hak asasi manusia dan memerlukan refleksi yang
mendalam mengenai ide-ide abstrak. Dengan demikian dalam batas-batas
tertentu, perkembangan moral tergantung pada perkembangan kognitif. (Kohlberg dalam
Ormord, 2000:139).
Contoh: anak-anak secara intelektual berbakat umumnya lebih sering berpikir entang
isu moral dan bekerja keras mengatasi ketidakadilan di masyarakat lokan ataupun dunia
secara umum ketimbang teman-teman sebayanya (Silverman dalam Ormord, 200:139). Meski
demikian, perkembangan kognitif tidak menjamin perkembangan moral.

Penggunaan Rasio dan Rationale


Anak-anak lebih cenderung memperoleh manfaat dalam perkembangan moralketika mereka
memikirkan kerugian fisik dan emosional yang ditimbulkan perilaku-perilaku tertentu
terhadap orang lain. Menjelaskan kepada anak-anak alasan perilaku-perilaku tertentu tidak
dapat diterima, dengan focus pada perspektif orang lain, dikenal sebagai induksi (Hoffman
dalam Ormord, 2000:140).
Contoh: induksi berpusat pada korban induksi membantu siswa berfokus pada kesusahan
orang lain dan membantu siswa memahami bahwa mereka sendirilah penyebab kesesahan-
kesusahan tersebut. Penggunaan konduksi secara konsisten dalam mendisiplinkan anak-anak,
terutama ketika disertai hukuman ringan bagi perilaku yang menyimpang misalnya
menegaskan bahwa mereka harus meminta maaf atas perilaku yang keliru.

Isu dan Dilema Moral


Kolhberg dalam teorinya mengenai teori perkembangan moral menyatakan bahwa
disekuilibrium adalah anak-anak berkembang secara moral ketika mereka menghadapi suatu
dilemma moral yang idak dapat ditangani secara memadai dengan menggunakan tingkat
penalaran moralnya saat itu. Dalam upaya membantu anak-anak yang mengahdapi dilema
semacam itu Kulhborg menyarankan agar guru menawarkan penalaran moral satu tahap di
atas tahap yang dimilik anak pada saat itu.
Contoh: bayangkanlah seorang remaja laki-laki yang sangat mementingkan penerimaan oleh
teman-teman sebayanya, dia rela membiarkan temannya menyali pekerjaan rumahnya.
Gurunya mungkin menekankan logika hokum dan keteraturann dengan menyarankan agar
semua siswa seharusnya menyelesaikan pekerjaan rumahnya tanpa bantuan orang lain karena
tugas-tugas pekerjaan rumah dirancang untuk membantu siswa belajar lebih efektif.

Perasaan Diri
Anak-anak lebih cenderung terlibat dalam perilaku moral ketika mereka berfikir bahwa
mereka sesungguhnya mampu menolong orang lain dengan kata lain ketika mereka memiliki
efikasi diri yang tinggi mengenai kemampuan mereka membuat suatu perbedaan (Narvaez
dalam Ormrod, 200:140).

16
Contoh: pada masa remaja beberapa anak muda mulai mengintegrasikan komitmen
terhadap nilai-nilai moral kedalam identitas mereka secara keseluruhan. Mereka menganggap
diri mereka sebagai pribadi bermoral dan penuh perhatian, yang peduli pada hak-hak dan
kebaikan orang lain. Tindakan belarasa yang mereka lakukan tidak terbatasa hanya pada
teman-teman dan orang yang mereka kenal saja, melainkan juga meluas ke masyarakat.

PERBEDAAN INDIVIDUAL DALAM PERKEMBANGAN MORAL


Bayi tidak memiliki hierarki nilai dan suara hati. Bayi tergolong nonmoral, tidak bermoral
maupun tidak amoral, dalam artian bahwa perilakunya tidak dibimbing norma-norma moral.
Lambat laun ia akan mempelajari kode moral dari orang tua dan kemudian dari guru-guru dan
teman bermain dan juga ia belajar pentingnya mengikuti kode-kode moral ini.
Belajar berperilaku moral yang diterima oleh sekitarnya merupakan proses yang lama dan
lambat. Tetapi dasar-dasarnya diletakkan dalam masa bayi dan berdasarkan dasar-dasar inilah
bayi membangun kode-kode moral yang membimbing perilaku bila telah menjadi besar
nantinya. Karena keterbatasan kecerdasannya, bayi menilai benar atau salahnya suatu
tindakan menurut kesenangan atau kesakitan yang ditimbulkannya dan bukan menurut baik
atau buruknya efek suatu tindakan terhadap orang-orang lain.
Pada masa remaja sesorang mampu mempertimbangkan semua kemungkinan untuk
menyelesaikan suatu masalah dan mempertanggung-jawabkannya berdasarkan suatu
hipotesis atau proposisi. Jadi seseorang telah dapat memandang masalahnya dari beberapa
sudut pandang dan menyelesaikannya dengan mengambil banyak faktor sebagai bahan
pertimbangan.
Pengertian moral pada anak-anak umur sepuluh atau sebelas tahun berbeda dengan anak-anak
yang lebih tua. Pada anak-anak terdapat anggapan bahwa aturan-aturan adalah pasti dan
mutlak oleh karena diberikan oleh orang dewasa atau Tuhan yang tidak bisa diubah lagi
(Kohlberg, 1963).
Untuk sebagian remaja serta orang dewasa yang penalarannya terhambat atau kurang
berkembang, tahap perkembangan moralnya ada pada tahap prakonvensional. Pada tahap ini
seseorang belum benar-benar mengenal apalagi menerima aturan dan harapan masyarakat.
Pedoman meraka hanyalah menghindari hukuman. Sedangkan bagi mereka yang dapat
mencapai tingkat kedua sudah ada pengertian bahwa untuk memenuhi kebutuhan sendiri
seseorang juga harus memikirkan kepentingan orang lain.

UPAYA MENGEMBANGKAN MORAL REMAJA


Tidak semua individu mencapai tingkat perkembangan moral seperti yang diharapkan, maka
kita dihadapkan dengan masalah pembinaan. Adapun upaya-upaya yang dapat dilakukan
dalam mengembangkan moral remaja adalah:
Menciptakan Komunikasi
Dalam komunikasi didahului dengan pemberian informasi tentang moral. Anak-anak harus
dirangsang supaya lebih aktif. Hendaknya ada upaya untuk mengikutsertakan remaja dalam
beberapa pembicaraan dan dalam pengambilan keputusan keluarga, sedangkan dalam
kelompok sebaya, remaja turut serta secara aktif dalam tanggung jawab dan penentuan
maupun keputusan kelompok.

17
Menciptakan Iklim Lingkungan yang Serasi
Lingkungan merupakan faktor yang cukup luas dan sangat bervariasi, maka tampaknya yang
perlu diperhatikan adalah lingkungan sosial terdekat yang terutama terdiri dari mereka yang
berfungsi sebagai pendidik dan pembina, yaitu orang tua dan guru.
Untuk remaja, moral merupakan suatu kebutuhan tersendiri oleh karena mereka sedang dalam
keadaan membutuhkan pedoman atau petunjuk dalam rangka mencari jalannya sendiri.
Pedoman ini juga untuk menumbuhkan identitas dirinya, menuju kepribadian yang matang
dan menghindarkan diri dari konflik-konflik peran yang selalu terjadi dalam masa transisi ini.
Nilai-nilai keagamaan perlu mendapat perhatian, karena agama juga mengajarkan tingkah
laku yang baik dan buruk, sehingga secara psikologis berpedoman kepada agama termasuk
dalam final.

Mendorong perilaku dan perkembangan moral di dalam kelas


Beberapa individu yang beritikad baik menyatakan bahwa mesyarakat sedang mengalami
kemerosotan moral yang drastis dan mendesak para orang tua dan para pendidik untuk
menanamkan nilai-nilai moral yang baik (kejujuran, kesetiaan, tanggungjawab, dan lain-lain)
melalui pelajaran di rumah dan di sekolah, serta melalui kontrol yang tegas terhadap perilaku
anak-anak. Kenyataannya tidak ada bukti generasi anak muda sekarang berada pada pada
tingkat moral atau proposional yang rendah dibandingkan dengan generasi terdahulu (Turiel
dalam Jeanne, 2000:141). Selain itu, mengajari siswa mengenai perilaku yang tepat
secara moral dan menerapkan kontrol yang tegas terhadap tindakan mereka dalam rangka
menanamkan serangkaian moral tertentu hanya memiliki sedikit dampak terhadap mereka.
Hal yang sama juga berlaku untuk kebiasaan membacakan cerita yang mengandung pesan-
pesan moral (Narvaez dalam Jaenne, 2002:143). Meski demikian beberapa strategi dapat
membuat perbedaan. Berikut ini adalah beberapa saran umum:
1. Jelaskan mengapa beberapa perilaku tidak dapat diterima
2. Doronglah sikap selalu prespektif orang lain, empati, dan perilaku prososial
3. Perlihatkan kepada siswa berbagai contoh perilaku moral
4. Libatkan para siswa dalam diskusi-diskusi mengenai isu-isu moral yang berhubungan
dengan materi pokok akademis
5. Ajaklah siswa untuk terlibat aktif dalam pelayanan masyarakat.

18

Anda mungkin juga menyukai