Anda di halaman 1dari 26

KARAKTERISTIK PERKEMBANGAN SOSIAL EMOSIONAL ANAK USIA DINI

DISUSUN

NAMA : HANA MISELYA LATUPUTTY

KELAS : A

TUGAS : :PENDIDIKAN INKLUSIF

IAKN AMBON
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala rahmatNya
sehingga makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa saya mengucapkan
terimakasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan
sumbangan baik pikiran maupun materinya.

Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi pembaca. Bahkan saya berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca
praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi saya sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah
ini.

Ambon, 12 Oktober 2022


DAFTAR ISI

JUDUL

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Tujuan

C. Rumusan Masalah

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian  Perkembangan Sosial dan Emosional

B. Perkembangan Sosial dan Emosional Anak Usia Dini

C. Perkembangan Kemampuan Mengarahkan Diri (Self-Regulation)

BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN

B. SARAN
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Anak usia dini adalah sosok individu yang sedang menjalani suatu proses
perkembangan dengan pesat dan fundamental bagi kehidupan selanjutnya. Anak usia dini
berada pada rentang usia 0-8 tahun (NAEYC, 1995). Pada masa ini proses pertumbuhan dan
perkembangan dalam berbagai aspek sedang mengalami masa yang cepat dalam rentang
perkembangan hidup manusia.

Usia dini merupakan tahap kehidupan penting dalam pertumbuhan fisik,


perkembangan intelektual, emosional dan sosial anak. Pertumbuhan kemampuan mental dan
fisik mengalami kemajuan yang sangat cepat sejak lahir samapai usia enam tahun.
Kemampuan anak pada usia dini merupakan peluang terbaik untuk mengembangkan berbagai
potensi yang dimiliki sang anak.

Pendidikan adalah usaha yang dilakukan dengan sengaja dan sitematis untuk
memotivasi, membina, membantu, dan membimbing seseorang untuk mengembangkan
segala potensinya sehingga ia mencapai kualitas diri yang lebih baik. Pendidikan anak usia
dini adalah sutu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia
enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu
petumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dengan
memasuki pendidikan lebih lanjut.

Pendidikan anak usia dini merupakan sebuah pendidikan yang dilakukan pada anak
yang baru lahir sampai dengan enam tahun yang meliputi suatu upaya dan tindakan yang
dilakukan oleh pendidik dan orang tua dalam proses perawatan, pengasuhan dan pendidikan
pada anak dengan menciptakan susana lingkungan dimana anak dapat mengekplorasi
pengalaman yang dapat memberikan kesempatan kepada anak untuk mengetahui dan
memahami pengalaman belajar yang diperolehnya dari lingkungan, melalui cara mengamati,
meniru dan bereksperimen yang berlangsung secara berulang-ulang dan melibatkan seluruh
potensi dan kecerdasan anak. Anak merupakan pribadi yang unik dan melewati berbagai
tahap perkembangan kepribadian, maka lingkungan yang diupayakan oleh pendidik dan
orang tua yang dapat memberikan kesempatan pada anak untuk mengeksplorasi berbagai
pengalaman dengan berbagai suasana, hendaklah memperhatikan keunikan anak-anak dan
disesuaikan dengan tahap perkembangan.

Taman kanak-kanak atau disingkat TK adalah salah satu bentuk satuan pendidikan
anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang menyelenggarakan program pendidikan
bagi anak usia empat sampai enam tahun. Pendidikan taman kanak-kanak juga bertujuan
untuk membina tumbuh kembang anak usia lahir sampai enam tahun secara menyeluruh,
yang mencakup aspek fisik dan nonfisik, dengan memberikan rangsangan bagi
perkembangan jasmani, rohani, motorik, moral, emosional, dan sosial yang tepat agar anak
dapat tumbuh dan berkembang secara optimal serta menghubungkan antara pendidikan
keluarga dengan pendidikan sekolah.

Kecerdasan Emosi (EQ) adalah kemampuan untuk menata perasaan dan kemampuan
diri dalam belajar dan berkarya agar sukses dan berprestasi. Kecerdasan emosional
mempunyai peranan yang sangat besar dalam keberhasilan seseorang, dan proses
pembentukannya pun bukan ditentukan oleh faktor genetik, melainkan sangat dipengaruhi
oleh pola pengasuhan di dalam keluarga dan proses pendidikan di sekolah serta lingkungan
sosialnya. Orang tua dan sekolah yang menentukan sistem pendidikan dengan model
memberi kesempatan anak untuk mengatur dirinya serta model membimbing anak dalam
setiap aktivitasnya akan melahirkan anak-anak yang mandiri, imajinatif dan mudah
menyesuaikan dirinya. Sekolah sebagai lembaga pendidikan seharusnya mempersiapkan anak
untuk berkembang seutuh mungkin sebagai pribadi.

B. TUJUAN

1.    Untuk mengetahui pengertian perkembangan sosial emosional dan moral


2.    Untuk mengetahui permasalah sosial yang terjadi pada anak usia dini
3.    Untuk mengetahui permasalahan emosional yang terjadi pada anak usia dini
4.    Untuk mengetahui permasalahan Moral yang terjadi pada anak usia dini

C. RUMUSAN MASALAH

1.    Apa yang dimaksud dengan perkembangan sosial emosional dan moral?


2.    Apa sajakah Permasalahan Sosial yang sering terjadi pada anak usia dini?
3.    Apa sajakah permasalahan Emosional yang sering terjadi pada anak usia dini?
4.    Apa sajakah permasalahan Moral yang sering terjadi pada anak usia dini?
BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian  Perkembangan Sosial dan Emosional


1.     Pengertian Sosial
        Menurut Plato (Nugraha, 2005:1-13) secara potensial (fitrah) manusia dilahirkan sebagai
makhluk sosial (zoon politicon). Syamsuddin (1995:105) mengungkapkan bahwa
“sosialisasi  adalah proses belajar untuk menjadi makhluk sosial”, sedangkan menurut Loree
(Nugraha, 1970 : 86) “sosialisasi merupakan suatu proses dimana individu (terutama) anak
melatih kepekaan dirinya terhadap rangsangan-rangsangan sosial terutama tekanan-tekanan
dan tuntutan kehidupan (kelompoknya) serta belajar bergaul dengan dengan bertingkah laku,
seperti orang lain di dalam lingkungan sosialnya.
       Muhibin (1999:35) mengatakan bahwa perkembangan sosial merupakan proses
pembentukan social self (pribadi dalam masyarakat), yakni pribadi  dalam keluarga, budaya,
bangsa dan seterusnya. Adapun Harlock (1978 : 250) mengutarakan bahwa perkembangan
sosial merupakan pemerolehan kemampuan berperilaku yang sesuai dengan tuntutan sosial.
Jadi dapat disimpulkan bahwa perkembangan sosial adalah kemampuan seseorang dalam
berperilaku di dalam lingkungan sekitarnya (masyarakat) yang sesuai dengan tuntutan sosial
(norma, nilai atau harapan sosial). Sumber : (Nugraha, 2005 : 1.13).
2.     Pengertian Emosional
        Emosi adalah perasaan yang ada dalam diri seseorang, dapat berupa perasaan senang
atau tidak senang, perasaan baik atau buruk. Dalam World Book Dictionary (1994: 690)
emosi didefinisikan sebagai “berbagai perasaan yang kuat”. Perasaan benci, takut, marah,
cinta, senang dan kesedihan. Macam-macam perasaan tersebut adalah gambaran dari emosi.
Goleman (1995:441) menyatakan bahwa “emosi merujuk pada suatu perasaan atau pikiran-
pikiran khasnya, suatu keadaan biologis dan psikologis serta seraikaian kecenderungan untuk
bertindak”.
Syamsudin (1990:69) mengemukakan bahwa “emosi merupakan suatu suasana yang
kompleks (a complex feeling state) dan getaran jiwa (stid up state) yang menyertai atau
muncul sebelum atau sesudah terjadnya perilaku”.
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa perkembangan emosional adalah
suatu keadaan yang kompleks, dapat berupa perasaan ataupun getaran jiwa yang ditandai oleh
perubahan biologis yang muncul menyertai terjadinya suatu perilaku. Sumber : (Nugraha,
2005 : 1.2)
B.    Perkembangan Sosial dan Emosional Anak Usia Dini
a.     Perkembangan Pemahaman Diri
Pemahaman diri mencakup berbagai hal, seperti kesadaran diri (self-awareness), pengenalan
diri (self-recognition), konsep diri (self-concept), dan harga diri (self-esteem). Konsep diri
merupakan gambaran menyeluruh tentang atribut, kemampuan, sikap, dan nilai-nilai yang
dimiliki individu, yang diyakini olehnya memberikan gambaran tentang siapa dirinya. Harga
diri merupakan bagian dari konsep diri yang berisi penilaian seseorang tentang seberapa
bernilai dirinya.
b.    Perkembangan Hubungan Sosial
Pada masa kanak-kanak awal, hubungan sosial dengan teman sebayanya menjadi meningkat,
terutama dalam konteks bermain. Dalam pengamatannya terhadap perilaku anak usia 2-5
tahun, Parten (2014 : 4.43) mengidentifikasi enam kategori perilaku anak di masa kanak-
kanak dalam bermain sosial dan non sosial. Berikut penjelasannya:
1)   Unoccupied Behavior
Anak tidak tampak sedang bermain, hanya mengamati hal-hal yang menarik minatnya.
2)   Onlooker Behavior
Anak menghabiskan waktunya dengan mengamati anak lain bermain. Anak berbicara,
bertanya, atau membuat usulan tetapi tidak ikut bermain. Anak secara jelas mengamati
kelompok anak lain dan bukannya melakukan sesuatu yang menarik minatnya.
3)   Solitary Independent Play
Anak bermain sendiri dengan mainan yang berbeda dari mainan yang dimainkan oleh anak-
anak yang ada di dekatnya dan tidak melakukan usaha apapun untuk mendekati anak lain
yang sedang bermain di dekatnya.
4)   Parallel Play
Anak bermain di antara anak-anak lain dengan mainan yang sama seperti yang dimainkan
oleh anak lain, tetapi mereka bermain sendiri-sendiri dan tidak harus dalam cara yang sama.
Setiap anak tidak berupaya untuk mempengaruhi kegiatan bermain anak lain.
5)   Associative Play
Anak bermain dengan anak lain, saling berbicara tentang apa yang dimainkan, saling
meminjam mainan, mengikuti satu sama lain, dan berusaha untuk mengontrol siapa yang
boleh bermain di dalam kelompok.
6)   Cooperative Play
Anak dalam bermain dalam kelompok yang terorganisasi untuk sejumlah tujuan, untuk
membuat sesuatu, memainkan permainan yang lebih formal, atau melakoni suatu situasi.
c.    Perkembangan Kemampuan Mengarahkan Diri (Self-Regulation)
Self-Regulation merupakan kemampuan anak untuk mengarahkan perilakunya sendiri tanpa
diingatkan oleh orang tua atau orang lain. Dalam hal ini, anak mampu mengarahkan
tindakannya untuk mematuhi aturan sosial. Sebagai contoh, anak dapat mengikuti kegiatan di
dalam kelas tanpa harus diingatkan oleh guru. Beberapa anak mencapai kemampuan
mengarahkan diri pada usia 4-5 tahun. Namun, ada pula anak yang tetap bergantung pada
orang dewasa untuk mengontrol perilakunya agar sejalan dengan aturan yang diberikan.
d.    Perkembangan Perilaku Sosial
Terdapat sejumlah bentuk perilaku sosial diantaranya adalah :
1)   Perkembangan Perilaku Prososial
Perilaku prososial merupakan perilaku yang disengaja dengan maksud memberi keuntungan
kepada orang lain. Tingkah laku prososial mencakup perilaku-perilaku, seperti berbagi dan
bekerja sama dengan orang lain, menolong dan peduli terhadap orang lain, serta bersimpati
dan memberi rasa nyaman pada orang yang tertekan.
2)   Perkembangan Empati
Empati merupakan kemampuan untuk menempatkan diri dalam posisi orang lain dan
merasakan apa yang orang lain rasakan dalam situasi tertentu.

C.     Permasalahan Sosial dan Emosional pada Anak Usia Dini


         Menurut Undang-Undang bagi Pendidikan Individu Penyandang cacat (IDEA) bahwa
gangguan sosial emosi yaitu ketidak mampuan atau mengatur hubungan interpersonal  yang
memuaskan dengan teman sebaya dan guru.
Rolf, Edelbrock dan Strauss menemukan bahwa anak-anak dengan masalah perkembangan
sosial emosi cenderung memiliki hambatan yang besar dalam pertemanan, penyesuaian
sosial, tingkah laku dan dan akademis apabila dibandingkan dengan kelompok anak yang
normal.
1.    Permasalahan Perilaku Sosial
Menurut Nugraha (2005:11) berikut adalah beberapa permasalahan yang biasa dihadapi oleh
anak usia dini diantaranya adalah sebagai berikut:
a.   Maladjustment
Individu yang penyesuaian dirinya buruk disebut maladjustment. Anak yang demikian sering
disebut sebagai anak yang bermasalah. Ada dua jenis maladjustment, yaitu sebagai berikut:
1)   Anak puas terhadap tingkah lakunya, tetapi lingkungan sosial tidak dapat menerima.
Misalnya saja anak bersikap sangat bossy, sok kuasa. Si anak sendiri tidak merasa ada yang
salah pada dirinya, sementara lingkungan tidak bisa menerima itu.
2)   Tingkah laku diterima lingkungan sosial, tetapi menimbulkan konflik yang
berkepanjangan pada anak misalnya anak berpenampilan sopan, ramah, dan memiliki segala
perilaku yang dapat diterima oleh lingkungan, padahal itu bukan tingkah laku yang
sebenarnya ingin ia tampilkan. Anak melakukan hal itu karena terpaksa (atau bisa juga karena
takut). 
Maladjustment umumnya disebabkan adanya penolakan diri. Anak tidak menyukai dirinya
sendiri dan juga orang lain (ketidakpuasan terhadap diri menularkan ketidakpuasan terhadap
lingkungan). Biasanya penolakan diri terjadi karena anak merasa tidak seperti apa yang ia
inginkan.
Adapun beberapa ciri yang biasa muncul pada anak bermasalah diantaranya sebagai berikut: 
-          Menunjukkan kekhawatiran dan kecemasan yang berlebihan, 
-          Sering tampak depresi dan jarang tersenyum atau bercanda, 
-          Suka mencuri benda-benda kecil walaupun sering dihukum, 
-          Sering tenggelam dalam lamunan, Sering bertengkar dengan anak yang lebih kecil (tempat
ia bisa menunjukkan kekuasaan), 
-          Merasa diperlakukan tidak adil (misalnya dihukum lebih banyak dibanding anak lain), 
-          Sangat cemas terhadap penampilan diri, Tidak mampu mengubah tingkah laku yang salah
walaupun sering dimarahi atau dihukum, 
-          Suka berbohong, Sulit mengambil keputusan, 
-          Melawan terhadap setiap bentuk otoritas, Ngompol yang berkelanjutan, 
-          Berkata atau mengancam mau bunuh diri, Sering merusak, Membandut untuk menarik
perhatian, 
-          Menyalahkan orang lain atau mencari alasan bila ditegur, dan Suka mengadu untuk
mendapat perhatian orang dewasa.
Hal yang paling mendasar dalam mencegah timbulnya masalah maladjustment adalah usaha
meningkatkan pengenalan terhadap diri dan lebih realistik terhadap kemampuan sendiri.
Dalam hal ini dukungan lingkungan sangat berpengaruh karena usaha perbaikan akan sia-sia,
bila lingkungan tetap menuntut sesuatu yang tidak realistis.

b.   Egosentrisme
Seseorang dikatakan egosentris bila lebih peduli terhadap dirinya sendiri daripada orang lain.
Mereka lebih banyak berpikir dan bicara mengenai diri sendiri dan aksi mereka semata-mata
untuk kepentingan pribadi. Umumnya, anak-anak masih egosentris dalam berpikir dan
berbicara. Hal ini bisa merugikan diri dan sosial jika berkelanjutan. Karena umumnya begitu
anak memasuki dunia sekolah, egosentrisme sedikit demi sedikit mulai berkurang.
Ada tiga hal yang mendasari egosentrisme, yaitu sebagai berikut :
1)   Merasa Superior. Karena merasa superior, anak egosentris berharap orang menunggunya,
memuji sepak terjangnya, dan diberi peran pimpinan. Mereka menjadi sok berkuasa, tidak
peduli terhadap orang lain, tidak mau bekerja sama, dan sibuk bicara mengenai diri sendiri.
2)   Egosentrisme karena merasa inferior. Individu akan memfokuskan semua permasalahan
terhadap diri sendiri karena merasa tidak berharga di dalam kelompok. Anak yang demikian
biasanya mudah dipengaruhi dan selalu mau disuruh orang lain. Karena selalu merasa bahwa
andil mereka dalam kelompok sangat kecil maka sering kali mereka justru diabaikan. Namun,
bukan berarti mereka tidak disukai.
3)   Egosentrisme karena merasa menjadi korban. Perasaan tidak diperlakukan secara adil
membuat mereka marah kepada semua orang. Akibatnya keinginan mereka untuk ikut andil
dalam kelompok sangat kecil dan kelompok cenderung mengabaikan mereka. Apabila
mereka menunjukkan kemarahannya secara agresif maka kelompok akan menolaknya.

c.    Anak yang Terisolasi


Isolated child merupakan anak yang terisolasi dari lingkungannya. Ia mengalami masalah
penerimaan sosial. Hal ini dapat terjadi karena sikap dan perilaku anak yang kurang disukai
teman-temannya. Atau anak sendiri yang tidak suka melakukan interaksi sosial, dan menjalin
hubungan pertemanan. Untuk mengidentifikasi anak yang mengalami masalah penerimaan
sosial, kita dapat melakukan sosiometri untuk menemukan siapakah anak yang paling disukai
dan yang paling tidak disukai. Dengan demikian, guru dapat menemukan anak bermasalah
dan perlu membimbingnya.
Adapun kategori penerimaan anak dalam lingkungan sosial sebagai mana yang dikemukakan
Hurlock (1978:11.12), adalah sebagai berikut:
1)   Star, yaitu anak yang disenangi oleh lingkungan temannya sehingga populer.
2)   Accepted, anak yang cukup dapat diterima lingkungan temannya sehingga cukup populer.
3)   Climber, yaitu anak yang berusaha untuk diterima oleh lingkungan teman sebayanya dengan
mengikuti keinginan/peraturan lingkungan. Anak di sini selalu takut bila tidak mengikuti
akan kehilangan teman.
4)   Fringer (pinggiran), yaitu anak seperti golongan climber, tetapi lebih takut tidak diterima.
5)   Ineglettee, yaitu anak yang ditolak lingkungan sebab mereka pemalu, menolak atau membuat
ulah yang negatif.
6)   Isolate, yaitu anak yang terisolasi dari lingkungan teman sebayanya dapat karena tidak ada
motivasi dalam diri anak itu untuk bergaul atau anak tidak menarik bagi lingkungannya.

d.    Agresif
Agresif merupakan tingkah laku menyerang baik secara fisik maupun verbal atau baru berupa
ancaman yang disebabkan adanya rasa permusuhan. Tingkah laku ini sering kali muncul
sebagai reaksi terhadap frustasi, misalnya karena dilarang melakukan sesuatu. Agresi juga
sering timbul karena tingkah laku agresif yang sebelumnya mengalami penguatan. Hal ini
terjadi karena ada beberapa keluarga dimana anak agresif justru dihargai. Selain itu tingkah
laku orang tua sering dicontoh oleh anak. Biasanya tingkah laku yang muncul pada anak
dapat marah secara verbal maupun menyerang, temper tantrum, dan merusak.

e.    Negativisme
Negativisme adalah perlawanan terhadap tekanan dari pihak lain untuk berperilaku tertentu.
Perilaku ini biasanya dimulai pada anak usia dua tahun dan mencapai puncaknya antara usia
tiga sampai enam tahun. Ekspresi fisiknya mirip dengan ledakan kemarahan, namun secara
bertahap berubah menjadi penolakan secara lisan untuk menuruti perintah. Masa ini biasa
juga disebut sebagai masa “berkata tidak” karena hampir semua hampir semua permintaan
dijawab anak dengan berkata “tidak”. Negativisme ini akan menjadi masalah yang berarti jika
orang dewasa kurang memahami kelaziman masa ini. Masa ini akan berakibat buruk jika
orang dewasa memperlakukan anak dengan paksaan, tekanan ataupun menegurnya dengan
kata-kata celaan atau hardikan yang justru akan memperburuk keadaan.

f.   Pertengkaran
Pertengkaran merupakan perselisihan pendapat yang mengandung kemarahan. Perilaku ini
umumnya dimulai apabila seseorang melakukan penyerangan terhadap orang lain yang tidak
beralasan.

g.   Mengejek dan Menggertak


Mengejek merupakan serangan secara lisan terhadap orang lain, sedangkan menggertak
merupakan serangan yang bersifat fisik. Dengan dua perilaku ini si penyerang melampiaskan
dendamnya dan menyaksikan ketidakenakan korban akibat perilakunya.

h.   Perilaku yang Sok Kuasa


Perilaku sok kuasa adalah perilaku yang berkecenderungan untuk mendominasi orang lain
atau menjadi “bos”. Perilaku ini pada umumnya tidak disukai oleh lingkungan sosial.

i.    Prasangka
Menurut Hurlock (1991:11.13) prasangka ini terbentuk pada masa kanak-kanak tatkala anak
melihat adanya perbedaan sikap dan penampilan di antara mereka, dan perbedaan ini
dianggap sebagai tanda kerendahan. Pada perkembangan selanjutnya prasangka muncul
karena individu tidak berpikir positif terhadap kejadian yang dialaminya.

2.      Permasalahan Prilaku Emosi pada Anak Usia Dini


Dalam perkembangannya, kita akan menemukan berbagai macam permasalahan emosi
yang muncul di sekeliling kita. Banyak faktor yang menentukan munculnya permasalahan
emosi pada anak yang paling utama adalah peranan keluarga.
Pada dasarnya fondasi emosi yang sehat dibangun atas dasar penerimaan dan penghargaan
terhadap dirinya. Perwujudan dari perasaan ini, yang paling awal adalah anak dapat
merasakan kasih sayang dari orang-orang terdekatnya. Jika anak kehilangan perasaan ini
maka sulit ia akan memiliki emosi yang sehat. Menurut Nugraha (2005:11.2) Berikut adalah
jenis-jenis permasalahan emosi yang sering terjadi pada anak usia dini:
a.    Kekurangan Afeksi
       Afeksi dapat meliputi perasaan kasih sayang, rasa kehangatan, dan persahabatan yang
ditunjukkan pada orang lain. Setiap orang mempunyai kebutuhan untuk memberi dan
menerima afeksi. Gangguan yang ditimbulkan akibat dari kekurangan afeksi dapat berupa:
1)   Perkembangan fisik yang terlambat, dapat menyebabkan anak depresi, akibatnya terjadi
hambatan sekresi (pengeluaran) hormon pituitary, yaitu hormon yang berfungsi untur
mengatur metabolisme dan pertumbuhan perkembangan badan sehingga perkembangan fisik
akan terganggu.
2)   Gagap atau mengalami gangguan bicara
3)   Sulit konsentrasi dan mudah teralih perhatiannya
4)   Sulit mempelajari bagaimana membina hubungan dengan orang lain
5)   Mereka sering kali tampak agresif dan nakal
6)   Kurangnya minat terhadap orang lain, menarik diri, egois, dan penuntut
7)   Pada taraf berat dapat menyebabkan gangguan jiwa

Kurangnya afeksi memang dapat mengganggu penyesuaian diri dan perkembangan sosial
anak. Akan tetapi, bukan berarti afeksi yang berlebihan akan lebih baik. Individu yang terlalu
banyak mendapat afeksi pun akan kesulitan dalam penyesuaian diri. Karena pelimpahan
afeksi yang berlebihan justru menghalangi anak belajar mengekspresikan afeksi kepada orang
lain.

b.    Anxiety (Cemas)
       Anxietas atau cemas adalah rasa takut pada sesuatu tanpa sebab yang jelas, yang sering
kali berlangsung lama. Biasanya rasa takut ini juga dibarengi oleh kegelisahan dan dugaan-
dugaan akan terjadinya hal-hal buruk, seperti kematian, kecelakaan dan sebagainya. Pada
anak, rasa cemas biasanya terjadi saat ia berusia sekitar 3 tahun, bentuknya bisa berupa cemas
kehilangan kasih sayang orang tua, cemas akan mengalami rasa sakit, cemas karena merasa
berbeda dengan orang lain, atau mengalami kejadian yang tidak menyenangkan.
Sumber-sumber yang menimbulkan rasa tidak aman pada anak, yaitu sebagai berikut:
1)   Orang tua atau guru yang tidak konsisten. Hal ini dapat membuat anak merasa kehidupan
sebagai sesuatu yang tidak dapat diduga dan menakutkan.
2)   Orang tua yang terlalu menuntut kesempurnaan atas prestasi anak
3)   Tidak adanya batasan atau aturan yang jelas dari orang tua, mana yang boleh dan tidak boleh,
mana yang buruk dan yag baik. Kecemasan muncul karena anak tidak dapat menentukan
batasan sendiri dalam bertingkah laku.
4)   Kritik yang berlebihan dari orang tua atau orang dewasa lain dan kelompok sebaya.
5)   Seringnya anak diingatkan mengenai tugas dan tanggung jawabnya bila ia dewasa kelak.
6)   Merasa bersalah. Ini biasanya karena anak membayangkan hukuman yang akan diterimanya.
7)   Model dari orang tua. Orang tua yang pencemas sering kali mempunyai anka yang pencemas
pula karena anak belajar dari orang tuanya bagaimana peran orang tua secara umum
memandang kehidupan.
8)   Frustasi yang terus-menerus. Terlalu sering mengalami frustasi dapat menyebabkan
kemarahan dan kecemasan. Hal ini dapat pula disebabkan target yang terlalu tinggi sehingga
anak sulit mencapai tujuannya. Perasaan tidak mampu inilah yang menimbulkan kecemasan.
Adapun upaya yang dapat dilakukan guru ataupun orang tua untuk menangani anak yang
cemas, diantaranya dapat melakukan hal-hal berikut :
1)   Menentramkannya, anak pencemas butuh ditentramkan oleh orang dewasa yang tenang. Oleh
karena itu, orang tua harus tetap tenang bila anak gelisah, rewel, menangis, pucat atau panik.
2)   Mencoba untuk mengalihkan perhatian anak dari hal-hal atau bayangan-bayangan yang
membuatnya cemas.
3)   Tidak mendesak anak untuk memberikan penjelasan. Desakan orang tua sering kali membuat
anak merasa tidak dimengerti.
4)   Ajaklah anak untuk melakukan relaksasi. Dengan menarik napas dalam, menghembuskan
napas secara perlahan sambil berkata “Tenang” atau “Semua akan beres” anak telah
melakukan relaksasi termudah.
5)   Melakukan hal-hal yang menenangkan, seperti mendengarkan musik, menggambar, atau
membaca ketika merasa cemas.
6)   Membiasakan anak mengekspresikan perasaannya melalui permainan atau cerita.
7)   Meminta bantuan ahli bila kecemasan anak berlarut-larut.
c.    Hipersensitivas
       Hipersensitivas adalah kepekaan emosional yang berlebihan dan cukup sering dijumpai
pada anak-anak. Anak dikatakan hipersensitif  bila ia mudah sekali merasa sakit hati dan
menunjukkan respons yang berlebihan terhadap sikap dan perhatian orang lain. Anak
yang hipersensitif tidak bisa menerima penilaian, komentar, dan kritik orang lain tanpa rasa
sakit hati. Penyebab tumbuhnya sikap hipersensitif diantaranya karena merasa kurang dan
tidak sama dengan orang lain. Anak merasa dirinya tidak sepandai, semenarik atau sepopuler
anak-anak lain.
Adapun langkah yang dapat dilakukan orang tua ataupun para pendidik lainnya dalam
menangani anak hipersensitif diantaranya sebagai berikut:
1)   Menghindari sikap overprotective terhadap anak, sebaliknya orang tua hendaknya
menguatkan diri dalam menghadapi lingkungan sosial yang memang penuh dengan beragam
sifat manusia.
2)   Dalam proporsi yang wajar anak perlu diperkenalkan apa kritik. Namun, harus diingat
sebaiknya orang tua atau guru tidak mengkritik anak dengan cara merendah-rendahkan
dirinya, tetapi bangkitkan semangatnya untuk memperbaiki diri.
3)   Orang tua dan para pendidik lainnya hendaknya mengajarkan anak untuk memandang dirinya
secara proporsional. Tidak melebih-lebihkan segi positifnya, tidak juga menyepelekan
kekurangannya.
4)   Selain itu orang tua dan guru sebaiknya mengajarkan keterampilan untuk mengatasi masalah
pada anak.
d.   Fobia
      Fobia adalah perasaan takut yang irasional terhadap suatu objek yang sebenarnya tidak
berbahaya atau tidak menyeramkan. Jadi, tidak ada sumber bahaya yang mengancam secara
nyata. Fobia merupakan suatu gangguan psikologis yang perlu diatasi, terutama bila
intensitasnya sangat kuat sehingga mengganggu kelancaran kehidupan sehari-hari.
Fobia terdiri dari aspek emosi dan tingkah laku. Jadi, penderita fobia biasanya merasakan
takut yang amat sangat terhadap suatu objek, kemudian menjerit, lalu berlari, mengunci diri
di kamar, atau menampilkan tingkah laku ketakutan.
e.  Temperramental Tantrum
     Perilaku anak yang menunjukkan temperramental tantrum, biasanya tidak cukup diatasi
oleh orang tua atau guru saja. Tetapi, membutuhkan bantuan ahli seperti: konselor dan
psikolog. Pemahaman terhadap temper tantrum tidak hanya dapat dilakukan dengan
mengamati penyebab munculnya perilaku tersebut, tetapi dapat pula diamati dari gejala-
gejala yang tampak. Terdapat beberapa gejala yang dapat muncul pada anak temper tantrum,
yaitu:
1)      Anak memiliki kebiasaan tidur, makan, dan buang air besar tidak teratur
2)      Sulit beradaptasi dengan situasi, makanan dan orang-orang baru
3)      Lambat beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi
4)      Mood atau suasanan hatinya lebih seing negatif. Anak sering merespons sesuatu dengan
penolakan
5)      Mudah dipengaruhi sehingga timbul perasaan marah atau kesal
6)      Perhatiannya sulit dialihkan
7)      Memiliki perilaku yang khas, seperti: menangis, menjerit, membentak, menghentak-
hentakkan kaki, merengek, mencela, mengenalkan tinju, membanting pintu, memecahkan
benda, memaki, mencela diri sendiri, menyerang kakak/adik atau teman, mengancam, dan
perilaku-perilaku negatif lainnya.
f.     Menarik Diri (Withdrawl)
        Withdrawl merupakan salah satu tipe emotional disturbance yang diarahkan ke dalam
diri. Berbeda dengan agresivitas yang ekspresi emosinya diarahkan ke luar diri dengan
melakukan tindakan-tindakan agresi kepada orang atau benda-benda di luar dirinya,
withdrawl merupakan permasalahn emosi yang diarahkan dalam diri dengan kecendurungan
menarik diri dari interaksi sosial menurut Hallahan & Kauffman seperti yang dikutip oleh
Riana Mashar.
         Menurut Izzaty, anak yang mengalami withdrawl akan sulit bergaul, cenderung bermain
sendiri, tidak dapat bersosialisasi dan berbagi dengan teman sekolahnya.
Anak yang mengalami withdrawl cukup mudah diamati karena menunjukkan gejala-gejala
umum, seperti :
1)      Tidak mau bersosialisasi atau bergaul selain dengan keluarga
2)      Pendiam, rendah diri, malu, takut, tidak banyak bicara, dan bermain sendiri
3)      Sering melamun, menyendiri, dan tidak suka keramaian
4)      Sibuk dengan kegiatan diri sendiri
5)      Menjadi bahan olok-olokan teman sebaya
6)      Cenderung tidak suka terlibat dalam kegiatan kelompok

3.    Faktor Penyebab Terbentuknya Perilaku Sosial  Emosional Bermasalah


1)    Faktor Penyebab Terbentuknya Perilaku Sosial  
Menurut Nugraha (2005:11.14) perilaku antisosial dan emosional erat hubungannya dengan
pengalaman dan penyesuaian sosial ketika anak usia dini. Beberapa faktor penyebab
timbulnya sikap antisosial, antara lain sebagai:
a.    Sikap Orang Tua yang Overprotected
Orang tua yang overprotected akan membatasi ruang gerak anak sehingga anak kehilangan
kesempatan untuk mengembangkan keterampilan sosialisasi secara sehat dalam
lingkungannya. Banyak pembelajaran dan pengalaman berharga dari lingkungan yang tidak
diperoleh anak karena sikap terlalu melindungi anak yang tidak pada tempatnya.
Sikap overprotected dapat menjadi pemicu perilaku agresif, mementingkan diri sendiri,
pemberontak ataupun perilaku apatis.
b.   Sikap Orang Tua yang Pencela, Membandingkan, dan Mencemooh Anak
Interaksi yang buruk dengan orang tua, sangat berpengaruh dalam membentuk cara pandang
anak terhadap kehidupannya. Sejak usia dini anak melakukan imitasi terhadap orang tuanya.
Tatkala orang tua bersikap buruk terhadapnya maka anak pun akan meniru dan melakukan
hal yang sama. Sikap orang tua yang pencela, membandingkan, dan mencemooh anak
mencerminkan sikap penolakan terhadap keberadaan anak apa adanya. Secara emosional,
perilaku ini sangat melukai anak.
c.    Sempitnya Kesempatan Bergaul dengan Anak Lain
Perkembangan sosial emsional sangat tergantung pada terbukanya kesempatan pada anak
untuk bergaul dengan teman dan lingkungannya. Lingkungan memiliki potensi yang sangat
kaya dalam memberikan pengalaman sosial pada anak. Mulai dari pengalaman yang positif
maupun pengalaman yang buruk. Anak akan menyerap dan mengolah pembelajaran sosial
melalui lingkungannya ini. Jika anak tidak memiliki kesempatan bergaul yang cukup maka ia
tidak memiliki kesempatan untuk mempelajari respons lingkungan terhadap perilakunya
ataupun melakukan penyesuaian sosial.
d.   Pola Asuh Otoriter
Pola asuh otoriter cenderung memicu perilaku antisosial pada anak, seperti tumbuhnya sikap
pemberontak, agresif, sikap sok kuasa, dan lain sebagainya. Sikap yang keras serta penerapan
disiplin yang tidak dijelaskan pada anak, hanya akan menimbulkan perilaku yang salah asuh.
Individu dapat tumbuh menjadi individu yang selalu ingin dituruti, kurang toleran terhadap
teman-temannya. Dengan sikap ini maka anak akan ditolak oleh kelompok sosialnya.
e.    Lingkungan yang buruk
Lingkungan yang buruk sangat potensial dalam mempengaruhi anak. Lingkungan yang buruk
ini tetap menjadi contoh yang buruk bagi anak. Secara umum anak melakukan proses imitasi
terhadap lingkungannya, tanpa mengenal lebih jauh apakah lingkungan itu baik atau buruk.
Jika lingkungan dapat menonjolkan perilaku terpuji maka anak pun dapat mempelajari
penyerapan dan mengaplikasikan perilaku yang luhur tadi. Sebaliknya jika lingkungan
tersebut kurang baik maka anak tetap akan menjadikannya sebagai objek imitasi.
b)   Faktor Penyebab Terbentuknya Perilaku Emosional  
Reynold (Nugraha, 2005:11.5) mengemukakan beberapa faktor yang dapat menyebabkan
permasalahan emosi adalah sebagai berikut:
a.    Latar belakang keluarga yang kasar, di mana kebiasaan kehidupan dalam keluarga ini selalu
menggunakan cara-cara kasar dalam menyelesaikan masalahnya, seperti menendang,
mencaci, memukul, berkelahi, dan lain sebagainya.
b.    Perasaan tertolak secara fisik ataupun emosional oleh pihak orang tua. Anak yang tidak
diinginkan biasanya merasakan seperti ini.
c.    Orang dewasa yang belum dewasa dan memiliki kematangan yang cukup untuk melakukan
pengasuhan anak.
d.    Kehilangan terlalu dini untuk merasakan kedekatan dengan orang yang disayangi. Misalnya
perceraian orang tua atau yatim piatu sejak kecil dan tidak memiliki orang tua pengganti yang
mengasihinya.
e.    Orang tua yang tidak mampu mencintai anaknya, disebabkan mereka pun tidak pernah
merasakan kasih sayang.
f.     Perasaan cemburu yang berlebihan dan tidak ditangani dengan baik, tatkala ia mendapatkan
adik baru dan merasa kehilangan kasih sayang dan perhatian dari orang tuanya.
g.    Situasi baru di mana anak belum siap dalam menghadapi dan tidak menemukan pasangan
yang cocok untuk menemaninya.
h.    Mendapat gertakan, gangguan, dan ketidakramahan dari anak yang lain.
i.     Cacat fisik atau memiliki postur tubuh yang berbeda dengan anak lain di mana hal ini jika
tidak ditangani dengan baik dapat menjadi gangguan emosional.
D.  Penanganan Gangguan Sosial Emosional pada Anak
1.   Penanganan Gangguan Sosial
Menurut Nugraha (2005:11.15) berikut adalah cara penanganan pada anak yang memiliki
gangguan sosial, diantaranya:
a.   Adanya kesempatan untuk bergaul dengan orang-orang dari berbagai usia serta latar
belakang yang berbeda. Anak tidak mungkin bisa belajar bergaul bila lebih banyak
menghabiskan waktunya sendiri. Semakin banyak dan bervariasi dengan lingkungan
bergaulnya, semakin banyak hal-hal yang bisa dipelajari anak sebagai bekal keterampilan
dalam bersosialisasi dengan lingkungannya.
b.  Anak tidak hanya berkomunikasi dengan kata-kata yang dapat dipahami, tetapi juga dapat
membicarakan dengan topik yang dapat dimengerti dan menarik bagi orang lain.
c.   Anak punya motivasi untuk bergaul. Motivasi ini tergantung seberapa besar perolehan
kepuasaan anak melalui aktivitas sosialnya. Apabila anak mendapat cukup banyak
kesenangan, penerimaan, dan pengalaman yang mengasyikkan dari lingkungannya, motivasi
atau keinginannya untuk meluaskan wawasan, jaringan pergaulannya semakin luas. Namun,
sebaliknya kalua ia lebih banyak mendapat kekecewaan, motivasinya untuk bergaul pun
semakin berkurang.
d.    Adanya bimbingan. Metode yang paling efektif untuk dapat belajar bergaul dengan baik
adalah lewat bimbingan dan pengajaran dari orang yang dapat dijadikan model bergaul yang
baik oleh anak. Anak memang bisa saja belajar bergaul sendiri lewat trial and error (coba-
coba) atau meniru ingkah laku orang lain, namun akan lebih efektif bila yang menjadi model
adalah orang tua. 
E. Pengertian Moral, Sikap dan Nilai
          Moral berasal dari kata latin “mores” yang berarti tata cara, kebiasaan, dan adat.
Perilaku sikap moral berarti perilaku yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial, yang
dikembangakan oleh konsep moral. Yang dimaksud dengan konsep moral ialah peraturan
perilaku yang telah menjadi kebiasaan bagi anggota suatu budaya. Konsep moral inilah yang
menentukan pola perilaku yang diharapakan dari seluruh anggota kelompok.
Menurut piaget (sinilungan, 1997), hakikat moralitas adalah kecenderungan menerima
dan menaati sistem peraturan. Selanjutnya, kohlberg (gnarsa, 1985) mengemukakan bahwa
aspek moral adalah sesuatu yang tidak dibawa dari lahir, tapi sesuatu yang berkembang dan
dapat diperkembangkan/dipelajari. Perkembangan moral merupakan proses internalisasi
nilai/norma masyarakat sesuai dengan kematangan dan kemampuan seseorang dalam
menyesuaikan diri terhadap aturan yang berlaku dalam kehidupannya. Jadi, perkembangan
moral mencangkup aspek kognitif yaitu pengetahuan tentang baik/buruk atau benar/salah,
dan aspek afektif yaitu sikap perilaku moral itu dipraktekkan. Piaget mengajukan
perkembangan moral, yang digambarkan pada aturan permainan. Menurut beliau hakekat
moralitas adalah kecenderungan menerima dan menaati sistem peraturan. Piaget membagi
perkembangan menjadi 3 fase yaitu:
a.    Fase Absolut
Anak menghayati peraturan sebagai suatu hal yang dapat diubah, karena berasal dari otoritas
yang dihormatinya. Disini peraturan sebagai moral adalah obyek eksternal yang tidak boleh
diubah.
b.  Fase Realitas
Anak menyesuaikan diri untuk menghindari penolakan orang lain. Peraturan dianggap dapat
diubah, karena berasal dari perumusan bersama. Mereka menyetujui perubahan yang jujur
dan disetujui bersama, serta merasa bertanggung jawab menaatinya.
c.    Fase Subyektif
Anak memperhatikan motif/kesengajaan dalam penilaian perilaku. Perkembangan moral
dipengaruhi upaya membebaskan diri dari ketergantungan pada orang tua, meningkatkan
interaksi dengan sesama dan berkontak dengan pandangan lain. Dengan interaksi yang
bertambah luas anak makin mampu memahami pandangan orang lain dan berbagi aturan
untuk kehidupan bermoral dalam kebersamaan.
        Disamping perilaku moral ada juga perilaku tak bermoral yaitu perilaku yang tidak
sesuai dengan harapan sosial karena sikap tidak setuju dengan standar sosial yang berlaku
atau kurang adanya perasaan wajib menyesuaikan diri, serta perilaku amoral atau nonmoral
yaitu perilaku yang tidak sesuai dengan harapan sosial karena ketidakacuhan atau
pelanggaran terhadap standar kelompok sosial.
Ada beberapa masalah dalam penanaman nilai moral pada anak, hal tersebut terkait
dengan gangguan-gangguan yang dialami anak selama tahap pertumbuhannya. Gangguan-
gangguan tersebut akan mempengaruhi usaha-usaha penanaman nilai moral pada anak.
Gangguan-gangguan tersebut, yaitu:
1.  Gangguan perkembangan pervasif. 

Ditandai dengan masalah awal pada tiga area perkembangan utama: perilaku, interaksi sosial,
dan komunikasi. Terdiri dari:

a.  Retardasi mental. 
Muncul sebelum usia 18 tahun dan dicirikan dengan keterbatasan substandar dalam
berfungsi, yang dimanifestasikan dengan fungsi intelektual secara signifikan berada dibawah
rata-rata (mis., IQ dibawah 70) dan keterbatasan terkait dalam dua bidang keterampilan
adaptasi atau lebih. 
b.  Autisme 
Dicirikan dengan gangguan yang nyata dalam interaksi sosial dan komunikasi, serta aktivitas
dan minat yang terbatas. Gejala-gejalanya meliputi kurangnya responsivitas terhadap orang
lain, menarik diri dari hubungan sosial, kerusakan yang menonjol dalam komunikasi, dan
respon yang aneh terhadap lingkungan.
c.   Gangguan perkembangan spesifik
Dicirikan dengan keterlambatan perkembangan yang mengarah pada kerusakan fungsional
pada bidang-bidang, seperti membaca, aritmetika, bahasa, dan artikulasi verbal.
2.   Defisit perhatian dan gangguan perilaku disruptif.
a.   Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD)
Dicirikan dengan tingkat gangguan perhatian, impulsivitas, dan hiperaktivitas yang tidak
sesuai dengan tahap perkembangan.
b.  Gangguan perilaku
Dicirikan dengan perilaku berulang, disruptif, dan kesengajaan untuk tidak patuh, termasuk
melanggar norma dan peraturan sosial. Sebagian besar anak-anak dengan gangguan ini
mengalami penyalahgunaan zat atau gangguan kepribadian antisosial setelah berusia 18
tahun. 
c.  Gangguan penyimpangan oposisi
Gangguan ini merupakan bentuk gangguan perilaku yang lebih ringan, meliputi perilaku yang
kurang ekstrim. Perilaku dalam gangguan ini tidak melanggar hak-hak orang lain sampai
tingkat yang terlihat dalam gangguan perilaku.

3.  Gangguan Ansietas
Gangguan ansietas sering terjadi pada masa kanak-kanak atau remaja dan berlanjut ke
masa dewasa, biasanya berupa :
a.       Gangguan obsesif kompulsif, gangguan ansietas umum, dan fobia banyak terjadi pada
anak-anak dan remaja, dengan gejala yang sama dengan yang terlihat pada orang dewasa.
b.      Gangguan ansietas akibat perpisahan adalah gangguan masa kanak-kanak yang ditandai
dengan rasa takut berpisah dari orang yang paling dekat dengannya. Gejala-gejalanya
meliputi menolak pergi ke sekolah, keluhan somatik, ansietas berat terhadap perpisahan dan
khawatir tentang adanya bahaya pada orang-orang yang mengasuhnya.
Adapun beberapa pendekatan yang dapat digunakan dalam penanaman nilai moral pada anak,
menurut Dwi Siswoyo dkk, (2005:72-81) adalah indoktrinasi, klarifikasi nilai, teladan atau
contoh, dan pembiasaan dalam perilaku.
1.   Indoktrinasi
Menurut Kohn (dalam Dwi Siswoyo, 2005:72) menyatakan bahwa untuk membantu anak-
anak supaya dapat tumbuh menjadi dewasa, maka mereka harus ditanamkan nilai-nilai
disiplin sejak dini melalui interaksi guru dan siswa. Dalam pendekatan ini guru diasumsikan
telah memiliki nilai-nilai keutamaan yang dengan tegas dan konsisten ditanamkan kepada
anak. Aturan mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan disampaiakan
secara tegas, terus menerus dan konsisten. Jika anak melanggar maka ia dikenai hukuman,
akan tetapi bukan berupa kekerasan.
2.  Klarifikasi Nilai
Dalam pendekatan klarifikasi nilai, guru tidak secara langsung menyampaikan kepada anak
mengenai benar salah, baik buruk, tetapi siswa diberi kesempatan untuk menyampaiakan dan
menyatakan nilai-nilai dengan caranya sendiri. Anak diajak untuk mengungkapkan mengapa
perbuatan ini benar atau buruk. Dalam pendekatan ini anak diajak untuk mendiskusikan isu-
isu moral. (Dwi Siswoyo (2005:76).
3. Teladan atau Contoh
Anak-anak mempunyai kemampuan yang menonjol dalam hal meniru. Oleh karena itu
seorang guru hendaknya dapat dijadikan teladan atau contoh dalam bidang moral. Baik
kebiasaan baik maupun buruk dari guru akan dengan mudah dilihat dan kemudian diikuti
oleh anak. Figur seorang guru sangat penting utuk pengembangan moral anak. Artinya nilai-
nilai yang tujuannya akan ditanamkan oleh guru kepada anak seyogyanya sudah mendarah
daging terlebih dahulu pada gurunya. 
4.   Pembiasaan dalam Perilaku
Kurikulum yang terkait dengan penanaman moral, lebih banyak dilakukan melalui
pembiasaan-pembiasaan tingkah laku dalam proses pembelajaran. Ini dapat dilihat misalnya,
pada berdoa sebelum dan sesudah belajar, berdoa sebelum makan dan minum, mengucap
salam kepada guru dan teman, merapikan mainan setelah belajar, berbaris sebelum masuk
kelas dan sebagainya. Pembiasaan ini hendaknya dilakukan secara konsisten. Jika anak
melanggar segera diberi peringatan.
Pendidikan moral tidak hanya terbatas pada lingkungan sekolah oleh guru saja. Ini dapat
dilakukan oleh siapa saja, kapan saja, dan dimana saja. Tiga lingkungan yang amat kondusif
untuk melaksanakan pendidikan ini, yaitu lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan, dan
lingkungan masyarakat.
BAB III

PENUTUP

A.       Kesimpulan
1.      Perkembangan sosial adalah kemampuan seseorang dalam berperilaku di dalam lingkungan
sekitarnya (masyarakat) yang sesuai dengan tuntutan sosial (norma, nilai atau harapan sosial).
Perkembangan emosional adalah suatu keadaan yang kompleks, dapat berupa perasaan
ataupun getaran jiwa yang ditandai oleh perubahan biologis yang muncul menyertai
terjadinya suatu perilaku.
Moral berasal dari kata latin “mores” yang berarti tata cara, kebiasaan, dan adat. Perilaku
sikap moral berarti perilaku yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial, yang
dikembangakan oleh konsep moral
2.      Permasalahan sosial yang sering terjadi pada anak usia dini adalah sebagai berikut: 
Maladjustment, Egosentrisme, Anak yang terisolasi, Agresif, Negativisme, Pertengkaran,
Mengejek dan menggertak, perilaku yang sok perkuasa, dan prasangka
3.      Permasalahan emosional yang sering terjadi pada anak usia dini adalah sebagai berikut:
(kekurangan afeksi, cemas, hipersensitivas, dan fobia).
4.      Permasalahan Moral yang sering terjadi pada anak usia dini adalah: Retardasi
mental, Autisme, Gangguan prilaku, ADHD dll.
B.           Saran
Berbagai faktor dapat mempengaruhi perkembangan sosio emosional dan moral anak,
kita sebagai guru dan orang tua wajib membimbing anak agar dapat tumbuh berkembang
dengan optimal. Demikian makalah ini kami susun semoga dapat bermanfaat. Kritik dan
saran yang membangun sangat kami harapkan.

DAFTAR PUSTAKA
https://123dok.com/document/zpd22o0z-makalah-karakteristik-anak-usia-dini.html

http://cicinoviaputri.blogspot.com/2016/06/karakteristik-pengembangan-sosial.html

Anda mungkin juga menyukai