DISUSUN
KELAS : A
IAKN AMBON
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala rahmatNya
sehingga makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa saya mengucapkan
terimakasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan
sumbangan baik pikiran maupun materinya.
Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi pembaca. Bahkan saya berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca
praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi saya sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah
ini.
JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Tujuan
C. Rumusan Masalah
BAB II PEMBAHASAN
A. KESIMPULAN
B. SARAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Anak usia dini adalah sosok individu yang sedang menjalani suatu proses
perkembangan dengan pesat dan fundamental bagi kehidupan selanjutnya. Anak usia dini
berada pada rentang usia 0-8 tahun (NAEYC, 1995). Pada masa ini proses pertumbuhan dan
perkembangan dalam berbagai aspek sedang mengalami masa yang cepat dalam rentang
perkembangan hidup manusia.
Pendidikan adalah usaha yang dilakukan dengan sengaja dan sitematis untuk
memotivasi, membina, membantu, dan membimbing seseorang untuk mengembangkan
segala potensinya sehingga ia mencapai kualitas diri yang lebih baik. Pendidikan anak usia
dini adalah sutu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia
enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu
petumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dengan
memasuki pendidikan lebih lanjut.
Pendidikan anak usia dini merupakan sebuah pendidikan yang dilakukan pada anak
yang baru lahir sampai dengan enam tahun yang meliputi suatu upaya dan tindakan yang
dilakukan oleh pendidik dan orang tua dalam proses perawatan, pengasuhan dan pendidikan
pada anak dengan menciptakan susana lingkungan dimana anak dapat mengekplorasi
pengalaman yang dapat memberikan kesempatan kepada anak untuk mengetahui dan
memahami pengalaman belajar yang diperolehnya dari lingkungan, melalui cara mengamati,
meniru dan bereksperimen yang berlangsung secara berulang-ulang dan melibatkan seluruh
potensi dan kecerdasan anak. Anak merupakan pribadi yang unik dan melewati berbagai
tahap perkembangan kepribadian, maka lingkungan yang diupayakan oleh pendidik dan
orang tua yang dapat memberikan kesempatan pada anak untuk mengeksplorasi berbagai
pengalaman dengan berbagai suasana, hendaklah memperhatikan keunikan anak-anak dan
disesuaikan dengan tahap perkembangan.
Taman kanak-kanak atau disingkat TK adalah salah satu bentuk satuan pendidikan
anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang menyelenggarakan program pendidikan
bagi anak usia empat sampai enam tahun. Pendidikan taman kanak-kanak juga bertujuan
untuk membina tumbuh kembang anak usia lahir sampai enam tahun secara menyeluruh,
yang mencakup aspek fisik dan nonfisik, dengan memberikan rangsangan bagi
perkembangan jasmani, rohani, motorik, moral, emosional, dan sosial yang tepat agar anak
dapat tumbuh dan berkembang secara optimal serta menghubungkan antara pendidikan
keluarga dengan pendidikan sekolah.
Kecerdasan Emosi (EQ) adalah kemampuan untuk menata perasaan dan kemampuan
diri dalam belajar dan berkarya agar sukses dan berprestasi. Kecerdasan emosional
mempunyai peranan yang sangat besar dalam keberhasilan seseorang, dan proses
pembentukannya pun bukan ditentukan oleh faktor genetik, melainkan sangat dipengaruhi
oleh pola pengasuhan di dalam keluarga dan proses pendidikan di sekolah serta lingkungan
sosialnya. Orang tua dan sekolah yang menentukan sistem pendidikan dengan model
memberi kesempatan anak untuk mengatur dirinya serta model membimbing anak dalam
setiap aktivitasnya akan melahirkan anak-anak yang mandiri, imajinatif dan mudah
menyesuaikan dirinya. Sekolah sebagai lembaga pendidikan seharusnya mempersiapkan anak
untuk berkembang seutuh mungkin sebagai pribadi.
B. TUJUAN
C. RUMUSAN MASALAH
PEMBAHASAN
b. Egosentrisme
Seseorang dikatakan egosentris bila lebih peduli terhadap dirinya sendiri daripada orang lain.
Mereka lebih banyak berpikir dan bicara mengenai diri sendiri dan aksi mereka semata-mata
untuk kepentingan pribadi. Umumnya, anak-anak masih egosentris dalam berpikir dan
berbicara. Hal ini bisa merugikan diri dan sosial jika berkelanjutan. Karena umumnya begitu
anak memasuki dunia sekolah, egosentrisme sedikit demi sedikit mulai berkurang.
Ada tiga hal yang mendasari egosentrisme, yaitu sebagai berikut :
1) Merasa Superior. Karena merasa superior, anak egosentris berharap orang menunggunya,
memuji sepak terjangnya, dan diberi peran pimpinan. Mereka menjadi sok berkuasa, tidak
peduli terhadap orang lain, tidak mau bekerja sama, dan sibuk bicara mengenai diri sendiri.
2) Egosentrisme karena merasa inferior. Individu akan memfokuskan semua permasalahan
terhadap diri sendiri karena merasa tidak berharga di dalam kelompok. Anak yang demikian
biasanya mudah dipengaruhi dan selalu mau disuruh orang lain. Karena selalu merasa bahwa
andil mereka dalam kelompok sangat kecil maka sering kali mereka justru diabaikan. Namun,
bukan berarti mereka tidak disukai.
3) Egosentrisme karena merasa menjadi korban. Perasaan tidak diperlakukan secara adil
membuat mereka marah kepada semua orang. Akibatnya keinginan mereka untuk ikut andil
dalam kelompok sangat kecil dan kelompok cenderung mengabaikan mereka. Apabila
mereka menunjukkan kemarahannya secara agresif maka kelompok akan menolaknya.
d. Agresif
Agresif merupakan tingkah laku menyerang baik secara fisik maupun verbal atau baru berupa
ancaman yang disebabkan adanya rasa permusuhan. Tingkah laku ini sering kali muncul
sebagai reaksi terhadap frustasi, misalnya karena dilarang melakukan sesuatu. Agresi juga
sering timbul karena tingkah laku agresif yang sebelumnya mengalami penguatan. Hal ini
terjadi karena ada beberapa keluarga dimana anak agresif justru dihargai. Selain itu tingkah
laku orang tua sering dicontoh oleh anak. Biasanya tingkah laku yang muncul pada anak
dapat marah secara verbal maupun menyerang, temper tantrum, dan merusak.
e. Negativisme
Negativisme adalah perlawanan terhadap tekanan dari pihak lain untuk berperilaku tertentu.
Perilaku ini biasanya dimulai pada anak usia dua tahun dan mencapai puncaknya antara usia
tiga sampai enam tahun. Ekspresi fisiknya mirip dengan ledakan kemarahan, namun secara
bertahap berubah menjadi penolakan secara lisan untuk menuruti perintah. Masa ini biasa
juga disebut sebagai masa “berkata tidak” karena hampir semua hampir semua permintaan
dijawab anak dengan berkata “tidak”. Negativisme ini akan menjadi masalah yang berarti jika
orang dewasa kurang memahami kelaziman masa ini. Masa ini akan berakibat buruk jika
orang dewasa memperlakukan anak dengan paksaan, tekanan ataupun menegurnya dengan
kata-kata celaan atau hardikan yang justru akan memperburuk keadaan.
f. Pertengkaran
Pertengkaran merupakan perselisihan pendapat yang mengandung kemarahan. Perilaku ini
umumnya dimulai apabila seseorang melakukan penyerangan terhadap orang lain yang tidak
beralasan.
i. Prasangka
Menurut Hurlock (1991:11.13) prasangka ini terbentuk pada masa kanak-kanak tatkala anak
melihat adanya perbedaan sikap dan penampilan di antara mereka, dan perbedaan ini
dianggap sebagai tanda kerendahan. Pada perkembangan selanjutnya prasangka muncul
karena individu tidak berpikir positif terhadap kejadian yang dialaminya.
Kurangnya afeksi memang dapat mengganggu penyesuaian diri dan perkembangan sosial
anak. Akan tetapi, bukan berarti afeksi yang berlebihan akan lebih baik. Individu yang terlalu
banyak mendapat afeksi pun akan kesulitan dalam penyesuaian diri. Karena pelimpahan
afeksi yang berlebihan justru menghalangi anak belajar mengekspresikan afeksi kepada orang
lain.
b. Anxiety (Cemas)
Anxietas atau cemas adalah rasa takut pada sesuatu tanpa sebab yang jelas, yang sering
kali berlangsung lama. Biasanya rasa takut ini juga dibarengi oleh kegelisahan dan dugaan-
dugaan akan terjadinya hal-hal buruk, seperti kematian, kecelakaan dan sebagainya. Pada
anak, rasa cemas biasanya terjadi saat ia berusia sekitar 3 tahun, bentuknya bisa berupa cemas
kehilangan kasih sayang orang tua, cemas akan mengalami rasa sakit, cemas karena merasa
berbeda dengan orang lain, atau mengalami kejadian yang tidak menyenangkan.
Sumber-sumber yang menimbulkan rasa tidak aman pada anak, yaitu sebagai berikut:
1) Orang tua atau guru yang tidak konsisten. Hal ini dapat membuat anak merasa kehidupan
sebagai sesuatu yang tidak dapat diduga dan menakutkan.
2) Orang tua yang terlalu menuntut kesempurnaan atas prestasi anak
3) Tidak adanya batasan atau aturan yang jelas dari orang tua, mana yang boleh dan tidak boleh,
mana yang buruk dan yag baik. Kecemasan muncul karena anak tidak dapat menentukan
batasan sendiri dalam bertingkah laku.
4) Kritik yang berlebihan dari orang tua atau orang dewasa lain dan kelompok sebaya.
5) Seringnya anak diingatkan mengenai tugas dan tanggung jawabnya bila ia dewasa kelak.
6) Merasa bersalah. Ini biasanya karena anak membayangkan hukuman yang akan diterimanya.
7) Model dari orang tua. Orang tua yang pencemas sering kali mempunyai anka yang pencemas
pula karena anak belajar dari orang tuanya bagaimana peran orang tua secara umum
memandang kehidupan.
8) Frustasi yang terus-menerus. Terlalu sering mengalami frustasi dapat menyebabkan
kemarahan dan kecemasan. Hal ini dapat pula disebabkan target yang terlalu tinggi sehingga
anak sulit mencapai tujuannya. Perasaan tidak mampu inilah yang menimbulkan kecemasan.
Adapun upaya yang dapat dilakukan guru ataupun orang tua untuk menangani anak yang
cemas, diantaranya dapat melakukan hal-hal berikut :
1) Menentramkannya, anak pencemas butuh ditentramkan oleh orang dewasa yang tenang. Oleh
karena itu, orang tua harus tetap tenang bila anak gelisah, rewel, menangis, pucat atau panik.
2) Mencoba untuk mengalihkan perhatian anak dari hal-hal atau bayangan-bayangan yang
membuatnya cemas.
3) Tidak mendesak anak untuk memberikan penjelasan. Desakan orang tua sering kali membuat
anak merasa tidak dimengerti.
4) Ajaklah anak untuk melakukan relaksasi. Dengan menarik napas dalam, menghembuskan
napas secara perlahan sambil berkata “Tenang” atau “Semua akan beres” anak telah
melakukan relaksasi termudah.
5) Melakukan hal-hal yang menenangkan, seperti mendengarkan musik, menggambar, atau
membaca ketika merasa cemas.
6) Membiasakan anak mengekspresikan perasaannya melalui permainan atau cerita.
7) Meminta bantuan ahli bila kecemasan anak berlarut-larut.
c. Hipersensitivas
Hipersensitivas adalah kepekaan emosional yang berlebihan dan cukup sering dijumpai
pada anak-anak. Anak dikatakan hipersensitif bila ia mudah sekali merasa sakit hati dan
menunjukkan respons yang berlebihan terhadap sikap dan perhatian orang lain. Anak
yang hipersensitif tidak bisa menerima penilaian, komentar, dan kritik orang lain tanpa rasa
sakit hati. Penyebab tumbuhnya sikap hipersensitif diantaranya karena merasa kurang dan
tidak sama dengan orang lain. Anak merasa dirinya tidak sepandai, semenarik atau sepopuler
anak-anak lain.
Adapun langkah yang dapat dilakukan orang tua ataupun para pendidik lainnya dalam
menangani anak hipersensitif diantaranya sebagai berikut:
1) Menghindari sikap overprotective terhadap anak, sebaliknya orang tua hendaknya
menguatkan diri dalam menghadapi lingkungan sosial yang memang penuh dengan beragam
sifat manusia.
2) Dalam proporsi yang wajar anak perlu diperkenalkan apa kritik. Namun, harus diingat
sebaiknya orang tua atau guru tidak mengkritik anak dengan cara merendah-rendahkan
dirinya, tetapi bangkitkan semangatnya untuk memperbaiki diri.
3) Orang tua dan para pendidik lainnya hendaknya mengajarkan anak untuk memandang dirinya
secara proporsional. Tidak melebih-lebihkan segi positifnya, tidak juga menyepelekan
kekurangannya.
4) Selain itu orang tua dan guru sebaiknya mengajarkan keterampilan untuk mengatasi masalah
pada anak.
d. Fobia
Fobia adalah perasaan takut yang irasional terhadap suatu objek yang sebenarnya tidak
berbahaya atau tidak menyeramkan. Jadi, tidak ada sumber bahaya yang mengancam secara
nyata. Fobia merupakan suatu gangguan psikologis yang perlu diatasi, terutama bila
intensitasnya sangat kuat sehingga mengganggu kelancaran kehidupan sehari-hari.
Fobia terdiri dari aspek emosi dan tingkah laku. Jadi, penderita fobia biasanya merasakan
takut yang amat sangat terhadap suatu objek, kemudian menjerit, lalu berlari, mengunci diri
di kamar, atau menampilkan tingkah laku ketakutan.
e. Temperramental Tantrum
Perilaku anak yang menunjukkan temperramental tantrum, biasanya tidak cukup diatasi
oleh orang tua atau guru saja. Tetapi, membutuhkan bantuan ahli seperti: konselor dan
psikolog. Pemahaman terhadap temper tantrum tidak hanya dapat dilakukan dengan
mengamati penyebab munculnya perilaku tersebut, tetapi dapat pula diamati dari gejala-
gejala yang tampak. Terdapat beberapa gejala yang dapat muncul pada anak temper tantrum,
yaitu:
1) Anak memiliki kebiasaan tidur, makan, dan buang air besar tidak teratur
2) Sulit beradaptasi dengan situasi, makanan dan orang-orang baru
3) Lambat beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi
4) Mood atau suasanan hatinya lebih seing negatif. Anak sering merespons sesuatu dengan
penolakan
5) Mudah dipengaruhi sehingga timbul perasaan marah atau kesal
6) Perhatiannya sulit dialihkan
7) Memiliki perilaku yang khas, seperti: menangis, menjerit, membentak, menghentak-
hentakkan kaki, merengek, mencela, mengenalkan tinju, membanting pintu, memecahkan
benda, memaki, mencela diri sendiri, menyerang kakak/adik atau teman, mengancam, dan
perilaku-perilaku negatif lainnya.
f. Menarik Diri (Withdrawl)
Withdrawl merupakan salah satu tipe emotional disturbance yang diarahkan ke dalam
diri. Berbeda dengan agresivitas yang ekspresi emosinya diarahkan ke luar diri dengan
melakukan tindakan-tindakan agresi kepada orang atau benda-benda di luar dirinya,
withdrawl merupakan permasalahn emosi yang diarahkan dalam diri dengan kecendurungan
menarik diri dari interaksi sosial menurut Hallahan & Kauffman seperti yang dikutip oleh
Riana Mashar.
Menurut Izzaty, anak yang mengalami withdrawl akan sulit bergaul, cenderung bermain
sendiri, tidak dapat bersosialisasi dan berbagi dengan teman sekolahnya.
Anak yang mengalami withdrawl cukup mudah diamati karena menunjukkan gejala-gejala
umum, seperti :
1) Tidak mau bersosialisasi atau bergaul selain dengan keluarga
2) Pendiam, rendah diri, malu, takut, tidak banyak bicara, dan bermain sendiri
3) Sering melamun, menyendiri, dan tidak suka keramaian
4) Sibuk dengan kegiatan diri sendiri
5) Menjadi bahan olok-olokan teman sebaya
6) Cenderung tidak suka terlibat dalam kegiatan kelompok
Ditandai dengan masalah awal pada tiga area perkembangan utama: perilaku, interaksi sosial,
dan komunikasi. Terdiri dari:
a. Retardasi mental.
Muncul sebelum usia 18 tahun dan dicirikan dengan keterbatasan substandar dalam
berfungsi, yang dimanifestasikan dengan fungsi intelektual secara signifikan berada dibawah
rata-rata (mis., IQ dibawah 70) dan keterbatasan terkait dalam dua bidang keterampilan
adaptasi atau lebih.
b. Autisme
Dicirikan dengan gangguan yang nyata dalam interaksi sosial dan komunikasi, serta aktivitas
dan minat yang terbatas. Gejala-gejalanya meliputi kurangnya responsivitas terhadap orang
lain, menarik diri dari hubungan sosial, kerusakan yang menonjol dalam komunikasi, dan
respon yang aneh terhadap lingkungan.
c. Gangguan perkembangan spesifik
Dicirikan dengan keterlambatan perkembangan yang mengarah pada kerusakan fungsional
pada bidang-bidang, seperti membaca, aritmetika, bahasa, dan artikulasi verbal.
2. Defisit perhatian dan gangguan perilaku disruptif.
a. Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD)
Dicirikan dengan tingkat gangguan perhatian, impulsivitas, dan hiperaktivitas yang tidak
sesuai dengan tahap perkembangan.
b. Gangguan perilaku
Dicirikan dengan perilaku berulang, disruptif, dan kesengajaan untuk tidak patuh, termasuk
melanggar norma dan peraturan sosial. Sebagian besar anak-anak dengan gangguan ini
mengalami penyalahgunaan zat atau gangguan kepribadian antisosial setelah berusia 18
tahun.
c. Gangguan penyimpangan oposisi
Gangguan ini merupakan bentuk gangguan perilaku yang lebih ringan, meliputi perilaku yang
kurang ekstrim. Perilaku dalam gangguan ini tidak melanggar hak-hak orang lain sampai
tingkat yang terlihat dalam gangguan perilaku.
3. Gangguan Ansietas
Gangguan ansietas sering terjadi pada masa kanak-kanak atau remaja dan berlanjut ke
masa dewasa, biasanya berupa :
a. Gangguan obsesif kompulsif, gangguan ansietas umum, dan fobia banyak terjadi pada
anak-anak dan remaja, dengan gejala yang sama dengan yang terlihat pada orang dewasa.
b. Gangguan ansietas akibat perpisahan adalah gangguan masa kanak-kanak yang ditandai
dengan rasa takut berpisah dari orang yang paling dekat dengannya. Gejala-gejalanya
meliputi menolak pergi ke sekolah, keluhan somatik, ansietas berat terhadap perpisahan dan
khawatir tentang adanya bahaya pada orang-orang yang mengasuhnya.
Adapun beberapa pendekatan yang dapat digunakan dalam penanaman nilai moral pada anak,
menurut Dwi Siswoyo dkk, (2005:72-81) adalah indoktrinasi, klarifikasi nilai, teladan atau
contoh, dan pembiasaan dalam perilaku.
1. Indoktrinasi
Menurut Kohn (dalam Dwi Siswoyo, 2005:72) menyatakan bahwa untuk membantu anak-
anak supaya dapat tumbuh menjadi dewasa, maka mereka harus ditanamkan nilai-nilai
disiplin sejak dini melalui interaksi guru dan siswa. Dalam pendekatan ini guru diasumsikan
telah memiliki nilai-nilai keutamaan yang dengan tegas dan konsisten ditanamkan kepada
anak. Aturan mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan disampaiakan
secara tegas, terus menerus dan konsisten. Jika anak melanggar maka ia dikenai hukuman,
akan tetapi bukan berupa kekerasan.
2. Klarifikasi Nilai
Dalam pendekatan klarifikasi nilai, guru tidak secara langsung menyampaikan kepada anak
mengenai benar salah, baik buruk, tetapi siswa diberi kesempatan untuk menyampaiakan dan
menyatakan nilai-nilai dengan caranya sendiri. Anak diajak untuk mengungkapkan mengapa
perbuatan ini benar atau buruk. Dalam pendekatan ini anak diajak untuk mendiskusikan isu-
isu moral. (Dwi Siswoyo (2005:76).
3. Teladan atau Contoh
Anak-anak mempunyai kemampuan yang menonjol dalam hal meniru. Oleh karena itu
seorang guru hendaknya dapat dijadikan teladan atau contoh dalam bidang moral. Baik
kebiasaan baik maupun buruk dari guru akan dengan mudah dilihat dan kemudian diikuti
oleh anak. Figur seorang guru sangat penting utuk pengembangan moral anak. Artinya nilai-
nilai yang tujuannya akan ditanamkan oleh guru kepada anak seyogyanya sudah mendarah
daging terlebih dahulu pada gurunya.
4. Pembiasaan dalam Perilaku
Kurikulum yang terkait dengan penanaman moral, lebih banyak dilakukan melalui
pembiasaan-pembiasaan tingkah laku dalam proses pembelajaran. Ini dapat dilihat misalnya,
pada berdoa sebelum dan sesudah belajar, berdoa sebelum makan dan minum, mengucap
salam kepada guru dan teman, merapikan mainan setelah belajar, berbaris sebelum masuk
kelas dan sebagainya. Pembiasaan ini hendaknya dilakukan secara konsisten. Jika anak
melanggar segera diberi peringatan.
Pendidikan moral tidak hanya terbatas pada lingkungan sekolah oleh guru saja. Ini dapat
dilakukan oleh siapa saja, kapan saja, dan dimana saja. Tiga lingkungan yang amat kondusif
untuk melaksanakan pendidikan ini, yaitu lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan, dan
lingkungan masyarakat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Perkembangan sosial adalah kemampuan seseorang dalam berperilaku di dalam lingkungan
sekitarnya (masyarakat) yang sesuai dengan tuntutan sosial (norma, nilai atau harapan sosial).
Perkembangan emosional adalah suatu keadaan yang kompleks, dapat berupa perasaan
ataupun getaran jiwa yang ditandai oleh perubahan biologis yang muncul menyertai
terjadinya suatu perilaku.
Moral berasal dari kata latin “mores” yang berarti tata cara, kebiasaan, dan adat. Perilaku
sikap moral berarti perilaku yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial, yang
dikembangakan oleh konsep moral
2. Permasalahan sosial yang sering terjadi pada anak usia dini adalah sebagai berikut:
Maladjustment, Egosentrisme, Anak yang terisolasi, Agresif, Negativisme, Pertengkaran,
Mengejek dan menggertak, perilaku yang sok perkuasa, dan prasangka
3. Permasalahan emosional yang sering terjadi pada anak usia dini adalah sebagai berikut:
(kekurangan afeksi, cemas, hipersensitivas, dan fobia).
4. Permasalahan Moral yang sering terjadi pada anak usia dini adalah: Retardasi
mental, Autisme, Gangguan prilaku, ADHD dll.
B. Saran
Berbagai faktor dapat mempengaruhi perkembangan sosio emosional dan moral anak,
kita sebagai guru dan orang tua wajib membimbing anak agar dapat tumbuh berkembang
dengan optimal. Demikian makalah ini kami susun semoga dapat bermanfaat. Kritik dan
saran yang membangun sangat kami harapkan.
DAFTAR PUSTAKA
https://123dok.com/document/zpd22o0z-makalah-karakteristik-anak-usia-dini.html
http://cicinoviaputri.blogspot.com/2016/06/karakteristik-pengembangan-sosial.html