Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

Bagi sebagian besar orang yang baru berangkat dewasa bahkan yang sudah
melewati usia dewasa, remaja adalah waktu yang paling berkesan dalam hidup
mereka. Kenangan terhadap saat remaja merupakan kenangan yang tidak mudah
dilupakan, sebaik atau seburuk apapun saat itu. Sementara banyak orangtua yang
memiliki anak berusia remaja merasakan bahwa usia remaja adalah waktu yang
sulit. Banyak konflik yang dihadapi oleh orang tua dan remaja itu sendiri. Banyak
orangtua yang tetap menganggap anak remaja mereka masih perlu dilindungi
dengan ketat sebab di mata orangtua para anak remaja mereka masih belum siap
menghadapi tantangan dunia orang dewasa. Sebaliknya, bagi para remaja,
tuntutan internal membawa mereka pada keinginan untuk mencari jatidiri yang
mandiri dari pengaruh orang tua. Keduanya memiliki kesamaan yang jelas:
remaja adalah waktu yang kritis sebelum menghadapi hidup sebagai orang
dewasa.
Masa remaja merupakan sebuah periode dalam kehidupan manusia yang
batasannya usia maupun peranannya seringkali tidak terlalu jelas. Pubertas yang
dahulu dianggap sebagai tanda awal keremajaan ternyata tidak lagi valid sebagai
patokan atau batasan untuk pengkategorian remaja sebab usia pubertas yang
dahulu terjadi pada akhir usia belasan (15-18) kini terjadi pada awal belasan
bahkan sebelum usia 11 tahun. Seorang anak berusia 10 tahun mungkin saja
sudah (atau sedang) mengalami pubertas namun tidak berarti ia sudah bisa
dikatakan sebagai remaja dan sudah siap menghadapi dunia orang dewasa. Ia
belum siap menghadapi dunia nyata orang dewasa, meski di saat yang sama ia
juga bukan anak-anak lagi. Berbeda dengan balita yang perkembangannya dengan
jelas dapat diukur, remaja hampir tidak memiliki pola perkembangan yang pasti.
Dalam perkembangannya seringkali mereka menjadi bingung karena kadang-
kadang diperlakukan sebagai anak-anak tetapi di lain waktu mereka dituntut untuk
bersikap mandiri dan dewasa.
Masa remaja merupakan masa yang menarik perhatian para ahli. Masa ini,
terbagi menjadi dua, yang pertama masa antara umur 12 sampai 14 tahun atau
yang dikenal sebagai masa pra pubertas. Masa ini adalah masa peralihan dimana
anak ingin menjadi seperti orang dewasa. Dimasa ini kematangan seksual juga
terjadi bersamaan dengan perkembangan fisiologis yang berhubungan dengan
kematangan kelenjar endokrin yang bermuara langsung didalam saluran darah.
Pada masa ini, anak merasakan rangsangan yang menyebabkan rasa tidak tenang
pada dirinya. Peristiwa kematangan ini ditandai dengan menstruasi pertama pada
wanita dan keluarnya sperma pertama pada pria. Di Indonesia, masa ini terjadi
pada usia 13-14 tahun dan untuk wanita 15-21 tahun lebih awal dari pria.
Perubahan yang terjadi dimasa ini meliputi perubahan jasmani (tanda primer) dan
perubahan sikap dan perilaku (tanda tersier).
Perkembangan lainnya adalah munculnya perasaan negatif pada anak
dengan timbulnya rasa untuk melepaskan diri dari kekuasaan orang tua, hal ini
bukan sepenuhnya ingin lepas dan bebas tetapi anak tersebut ingin menyamakan
statusnya dengan orang dewasa. Adanya kelainan ini berarti anak dalam kondisi:

1
a. Perkembangan jasmani yang belum selaras.
b. Keadaan batin yang belum seimbang.
Memang banyak perubahan pada diri seseorang sebagai tanda keremajaan,
namun seringkali perubahan itu hanya merupakan suatu tanda-tanda fisik dan
bukan sebagai pengesahan akan keremajaan seseorang. Namun satu hal yang
pasti, konflik yang dihadapi oleh remaja semakin kompleks seiring dengan
perubahan pada berbagai dimensi kehidupan dalam diri mereka. Untuk dapat
memhami remaja, maka perlu dilihat berdasarkan perubahan pada dimensi-
dimensi tersebut.
Sebetulnya, apa yang terjadi sehingga remaja merupakan memiliki dunia
tersendiri. Mengapa para remaja seringkali merasa tidak dimengerti dan tidak
diterima oleh lingkungan sekitarnya?. Mengapa remaja seolah-olah memiliki
masalah unik dan tidak mudah dipahami?

2
BAB II
PEMBAHASAN DAN KAJIAN PUSTAKA

A. PENGERTIAN PERKEMBANGAN
Perkembangan dapat diartikan sebagai "perubahan yang progresif dan
kontinyu (berkesinambungan) dalam diri individu dari mulai lahir sampai mati"
(the progressive and continous change in the organism from birth to death).
Pengertian lain dari perkembangan adalah "perubahan-perubahan yang dialami
individu atau organisme menuju tingkat kedewasaannya atau kematangannya
(maturation) yang berlangsung secara sistematis, progresif, dan
berkesinambungan, baik menyangkut fisik (jasmaniyah) maupun psikis
(rohaniah)". (Yusuf, 2004:15)
“Perkembangan” adalah proses perubahan kualitatif yang mengacu pada
kualitas fungsi organ-organ jasmaniyah, dan bukan pada organ jasmani tersebut,
sehingga penekanan arti perkembangan terletak pada penyempurnaan fungsi
psikologis yang termanifestasi pada kemampuan organ fisiologis. Proses
perkembangan akan berlangsung sepanjang kehidupan manusia, sedang proses
pertumbuhan seringkali akan berhenti bila seseorang telah mencapai kematangan
phisik.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi sikap seseorang atau
sekelompok orang terhadap perubahan dalam perkembangan antara lain:
penampilan, perilaku, stereotip budaya, Nilai-nilai budaya, perubahan peranan,
dan pengalaman pribadi. (Poerwanti, 2005:27-28).

B. PENGERTIAN REMAJA
Masa remaja, menurut Mappiare (1982), berlangsung antara umur 12
tahun sampai dengan 21 tahun bagi wanita. Dan 13 tahun sampai dengan 22 tahun
bagi pria. Rentang usia remaja ini dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu usia
12/13 tahun sampai dengan 17/18 tahun adalah remaja awal, dan usia 17/18 tahun
sampai dengan 21/22 tahun adalah remaja akhir.
Remaja, yang dalam bahasa aslinya disebut adolescence, berasal dari
bahasa Latin adolescere yang artinya “tumbuh untuk mencapai kematangan”.
Perkembangan lebih lanjut, istilah adolescence sesungguhnya memiliki arti yang
luas, mencakup ketangan mental, emosional, sosial, dan fisik Pandangan ini
didukung oleh Piaget yang menyatakan bahawa secara psikologis, remaja adalah
suatu usia di mana individu menjadi terintegrasi ke dalam masyarakat dewasa,
suatu usia di mana anak tidak merasa bahwa dirinya berada di bawah tingkat
orang yang lebih tua, melainkan merasa sama, atau paling tidak sejajar. Memasuki
masyarakat dewasa ini mengandung banyak aspek afektif, lebih atau kurang dari
usia pubertas.
Remaja juga sedang mengalami perkembangan pesat dalam aspek
intelektual. Transformasi intelektual dari cara berpikir remaja ini memungkinkan
mereka tidak hanya mampu mengintegrasikan dirinya ke dalam masyarakat
dewasa, tapi juga merupakan karakteristik yang paling menonjol dari semua
periode perkembangan. (Ali, 2004:9)

3
Di Indonesia baik istilah pubertas maupun adolescence dipakai dalam arti
yang umum, sesuai dengan keahlian dalam bidang masing-masing. Dalam
pembahasan ini selanjutnya akan dipakai istilah remaja. Masa remaja: merupakan
masa peralihan dari masa anak ke masa dewasa, meliputi semua perkembnagn
yang dialami sebagai persiapan memasuki makin dewasa. (Gunarsa. 1989:6).
Menurut Karl Buhler, lama masa ini tergantung dari ritme dan tempo
perkembangan anak yang berlangsung meliputi sebagian besar masa puber
(Ahmadi dan Sholeh, 2005: 123). Tetapi menurut H. Hetzer, lama masa ini cukup
singkat + 9 bulan. Hetzer juga menyelidiki sifat negatif pada perempuan yang
terjadi dimasa ini, seperti: tidak tenang, kurang suka bekerja, murung dan
cenderung asosial (Suryobroto, 1993: 130). Sifat negatif juga terjadi pada laki-laki
sebagaimana dikemukakan oleh Hans Hochholzer sebagai kriteria: kurang suka
bergerak, lekas lelah, banyak tidur, gundah dan pesimistik (Suryobroto, 1993:
130). Dari penjelasan ini, terdapat dua pengertian negatif, yaitu:
a. Negatif dalam prestasi, mencakup: prestasi jasmani dan prestasi kejiwaan.
b. Negatif dalam sikap sosial, terdiri: menarik diri dari masyarakat dan
agresif terhadap masyarakat.
Kedua, masa pubertas, masa antara umur 14 sampai 18 tahun. Pada masa
ini, anak mulai aktif dalam mencari jati dirinya, dan pedoman hidup untuk bekal
hidup meskipun masih sulit untuk memahami hakikat dari sesuatu yang dicari.
Ch. Buhler mengungkapkan “saya menginginkan sesuatu tetapi tidak megetahui
akan sesuatu itu”.
E. Spranger menyebutkan ada tiga kegiatan pada masa ini, yaitu:
penemuan aku (identitas), pertumbuhan pedoman hidup dan memasukkan diri
pada kegiatan masyarakat (Ahmadi dan Sholeh, 2005: 124). Pada masa ini, anak
mulai aktif dalam pencarian identitasnya dan menerima norma-norma susila,
agama dan estetika yang terbatas pada kondisi dirinya. Erik Erikson memandang
identitas sebagai tugas pertumbuhan utama yang dihadapi remaja (Elias, Dkk,
2003: 85). Dalam pencarian identitas, anak membutuhkan: kepercayaan, otonomi,
inisiatif dan rajin (tidak menyerah) yang masih harus dikontrol oleh orang yang
lebih dewasa. Erikson menganggap identitas sebagai tahap yang terjadi dimasa
remaja yang disertai perubahan fisik, perubahan kognitif (berpikir tentang masa
depan) dan kehidupan.
Proses pencarian identitas ini melewati tiga langkah yaitu:
a. Proses merindukan sesuatu yang dianggap bernilai meskipun remaja tersebut
hanya tahu bahwa Ia menginginkan sesuatu tanpa tahu yang diinginkan
tersebut.
b. Proses penemuan obyek yang diinginkan yang direfleksikan pada pribadi yang
yang mendukung suatu nilai.
c. Proses menghargai nilai, terlepas dari pendukungnya (individu).
Dalam kegiatan masyarakat, remaja mulai mengenal corak kehidupan
masyarakat. Dari sini, remaja mulai menunjukkan kestabilan dalam mengontrol
emosi, lebih matang dalam menghadapi masalah, realistis dalam berpikir,
berkurangnya campur tangan orang dewasa, ketenangan emosional dan
bertambahnya perhatian terhadap lambang-lambang kematangan,
(Soesilowindradini:2006).

4
C. PERKEMBANGAN EMOSI DAN BAHASA

1. PERKEMBANGAN EMOSI

a. Pengertian Emosi
Menurut English and English, emosi adalah “A complex feeling state
accompanied by characteristic motor and glandular activies” yaitu suatu
perasaan yang kompleks yang disertai karakteristik kegiatan kalender dan motoris.
Sedangkan Sarlito Wirawan Sarwono berpendapat bahwa emosi merupakan
keadaan diri seseorang yang disertai warna afektif baik pada tingkat lemah
(dangkal) maupun pada tingkat yang luas (mendalam).
Emosi merupakan merupakan warna afektif yang menyertai keadaan atau
prilaku individu. Yang dimaksud warna afektif adalah perasaan-perasaan tertentu
yang dialami saat menghadapi (menghayati) suatu situasi tertentu. Contohnya
gembira, bahagia, putus asa, terkejut, benci, dan sebagainya.

b. Teori Emosi

Canon Bard merumuskan teori tentang pengaruh fisiologis terhadap


emosi. Teori ini menyatakan bahwa situasi menimbulkan rangkaian pada proses
syaraf. Suatu situasi yang saling mempengaruhi antara thalamus (pusat
penghubung antara bagian bawah otak dengan susunan urat syaraf di satu pihak
dan alat keseimbangan atau cerebellum ) dengan creblar Cortex (bagian otak yang
terletak di dekat permukaan sebelah dalam dari tulang tengkorak, suatu bagian
yang berhubungan dengan proses kerjanya pada jiwa taraf tinggi, seperti berfikir).
Menurut teori James dan Langue, emosi timbul karena pengaruh
perubahan jasmaniah atau kegiatan individu. Misalnya, menangis itu karena sedih,
tertawa karena gembira, lari itu karena takut, dan berkelahi itu karena marah. Dan
Lindsley mengemukakan teorinya yang disebut ”Activiotion Theory” (teori
penggerakan). Menurut teori ini emosi disebabkan oleh pekerjaan yang terlampau
keras dari susunan syaraf terutam otak.
Sedangkan menurut John B. Waston emosi memiliki tiga pola dasar, yaitu
takut, marah, dan cinta (fear, anger, and loves). Ketiga jenis emosi tersebut
menunjukkan respon tertentu pada stimulus tertentu pula, tetapi kemungkinan
terjadi pula modifikasi (perubahan).
Masa remaja merupakan masa yang penuh gejolak. Pada masa ini mood
(suasana hati) bisa berubah dengan sangat cepat. Hasil penelitian di Chicago oleh
Mihalyi Csikszentmihalyi dan Reed Larson (1984) menemukan bahwa remaja
rata-rata memerlukan hanya 45 menit untuk berubah dari mood “senang luar
biasa” ke “sedih luar biasa”, sementara orang dewasa memerlukan beberapa jam
untuk hal yang sama. Perubahan mood (swing) yang drastis pada para remaja ini
seringkali dikarenakan beban pekerjaan rumah, pekerjaan sekolah, atau kegiatan
sehari-hari di rumah. Meski mood remaja yang mudah berubah-ubah dengan
cepat, hal tersebut belum tentu merupakan gejala atau masalah psikologis.
Dalam hal kesadaran diri, pada masa remaja para remaja mengalami
perubahan yang dramatis dalam kesadaran diri mereka (self-awareness). Mereka

5
sangat rentan terhadap pendapat orang lain karena mereka menganggap bahwa
orang lain sangat mengagumi atau selalu mengkritik mereka seperti mereka
mengagumi atau mengkritik diri mereka sendiri. Anggapan itu membuat remaja
sangat memperhatikan diri mereka dan citra yang direfleksikan (self-image).
Remaja cenderung untuk menganggap diri mereka sangat unik dan bahkan
percaya keunikan mereka akan berakhir dengan kesuksesan dan ketenaran.
Remaja putri akan bersolek berjam-jam di hadapan cermin karena ia percaya
orang akan melirik dan tertarik pada kecantikannya, sedang remaja putra akan
membayangkan dirinya dikagumi lawan jenisnya jika ia terlihat unik dan “hebat”.
Pada usia 16 tahun ke atas, keeksentrikan remaja akan berkurang dengan
sendirinya jika ia sering dihadapkan dengan dunia nyata. Pada saat itu, Remaja
akan mulai sadar bahwa orang lain tenyata memiliki dunia tersendiri dan tidak
selalu sama dengan yang dihadapi atau pun dipikirkannya. Anggapan remaja
bahwa mereka selalu diperhatikan oleh orang lain kemudian menjadi tidak
berdasar. Pada saat inilah, remaja mulai dihadapkan dengan realita dan tantangan
untuk menyesuaikan impian dan angan-angan mereka dengan kenyataan.
Para remaja juga sering menganggap diri mereka serba mampu, sehingga
seringkali mereka terlihat “tidak memikirkan akibat” dari perbuatan mereka.
Tindakan impulsif sering dilakukan; sebagian karena mereka tidak sadar dan
belum biasa memperhitungkan akibat jangka pendek atau jangka panjang.
Remaja yang diberi kesempatan untuk mempertangung-jawabkan perbuatan
mereka, akan tumbuh menjadi orang dewasa yang lebih berhati-hati, lebih
percaya-diri, dan mampu bertanggung-jawab. Rasa percaya diri dan rasa
tanggung-jawab inilah yang sangat dibutuhkan sebagai dasar pembentukan jati-
diri positif pada remaja. Kelak, ia akan tumbuh dengan penilaian positif pada diri
sendiri dan rasa hormat pada orang lain dan lingkungan. Bimbingan orang yang
lebih tua sangat dibutuhkan oleh remaja sebagai acuan bagaimana menghadapi
masalah itu sebagai “seseorang yang baru”; berbagai nasihat dan berbagai cara
akan dicari untuk dicobanya. Remaja akan membayangkan apa yang akan
dilakukan oleh para “idola”nya untuk menyelesaikan masalah seperti itu.
Pemilihan idola ini juga akan menjadi sangat penting bagi remaja.
Salah satu topik yang paling sering dipertanyakan oleh individu pada masa
remaja adalah masalah "Siapakah Saya?" Pertanyaan itu sah dan normal adanya
karena pada masa ini kesadaran diri (self-awareness) mereka sudah mulai
berkembang dan mengalami banyak sekali perubahan. Remaja mulai merasakan
bahwa “ia bisa berbeda” dengan orangtuanya dan memang ada remaja yang ingin
mencoba berbeda. Inipun hal yang normal karena remaja dihadapkan pada
banyak pilihan. Karenanya, tidaklah mengherankan bila remaja selalu berubah
dan ingin selalu mencoba – baik dalam peran sosial maupun dalam perbuatan.
Contoh: anak seorang insinyur bisa saja ingin menjadi seorang dokter karena tidak
mau melanjutkan atau mengikuti jejak ayahnya. Ia akan mencari idola seorang
dokter yang sukses dan berusaha menyerupainya dalam tingkahlaku. Bila ia
merasakan peran itu tidak sesuai, remaja akan dengan cepat mengganti peran lain
yang dirasakannya “akan lebih sesuai”. Begitu seterusnya sampai ia menemukan
peran yang ia rasakan “sangat pas” dengan dirinya. Proses “mencoba peran” ini
merupakan proses pembentukan jati-diri yang sehat dan juga sangat normal.

6
Tujuannya sangat sederhana; ia ingin menemukan jati-diri atau identitasnya
sendiri. Ia tidak mau hanya menurut begitu saja keingingan orang tuanya tanpa
pemikiran yang lebih jauh.

c. Pola Emosi Pada Remaja

Menurut Hurlock (1980:213) pola emosi pada remaja adalah sama dengan
pola emosi pada anak-anak. Perbedaannya adalah terletak pada rangsangan yang
membangkitkan emosi dan derajadnya emosinya, dan khususnya pada
pengendalian latihan individu terhadap ungkapan emosi mereka. Misalnya, anak
merasa diperlakukan sebagai anak kecil atau diperlakukan tidak adil membuat
remaja merasa sangat marah dibanding dengan hal-hal lain.
Dijelaskan lebih lanjut oleh Hurlock bahwa remaja tidak lagi
mengungkapkan amarahnya dengan gerakan amarah yang meledak-ledak,
melainkan dengan menggerutu, tidak mau berbicara, atau dengan suara keras
mengkritik orang-orang yang menyebabkan amarahnya. Remaja juga iri hati
terhadap orang yang memiliki benda lebih banyak. Ia tidak mengeluh dan
menyesali diri sendiri, seperti yang dilakukan anak-anak. Remaja suka bekerja
sambilan agar dapat memperoleh uang untuk membeli barang yang diinginkan
atau bila perlu berhenti sekolah untuk mendapatkannya.
Emosi sebagai suatu peristiwa psikologis pada remaja mengandung ciri-
ciri sebagai berikut:
1. Lebih bersifat subjektif daripada peristiwa psikologis lainnya, seperti
pengamatan dan berpikir.
2. Bersifat fluktuatif (tidak tetap).
3. Banyak bersangkut paut dengan peristiwa pengenalan panca indera.
Berdasar penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa remaja mengalami
ledakan-ledakan emosi yang terkadang masih seperti anak-anak, tetapi remaja
sudah memiliki kemampuan untuk mengendalikan emosinya walaupun terkadang
masih belum tepat seperti pengendalian emosi pada orang dewasa.

d. Pengelompokan Emosi

Menurut Yusuf (2004:117) emosi dapat dikelompokkan menjadi dua


bagian, yaitu:
1. Emosi sensoris, yaitu emosi yang ditimbulkan oleh rangsangan dari luar
terhadap tubuh, seperti rasa dingin, manis, sakit, kenyang, lelah, dan lapar.
2. Emosi psikis, yaitu emosi yang mempunyai alasan-alasan kejiwaan. Yang
termasuk emosi ini, diantaranya adalah:
a. Perasaan Intelektual, yaitu yang mempunyai sangkut paut dengan
ruang lingkup kebenaran. Perasaan ini diwujudkan dalam bentuk rasa
yakin dan tidak yakin terhadap suatu hasil karya ilmiah, rasa gembira
karena mendapatkan suatu kebenaran, rasa puas karena dapat
menyelesaikan persoalan-persoalan ilmiah yang harus dipecahkan.
b. Perasaan Sosial, yaitu perasaan yang menyangkut hubungan dengan
orang lain, baik bersifat perorangan maupun kelompok. Wujud

7
perasaan ini seperti, rasa solidaritas, persaudaraan, simpati, kasih
sayang, dan sebagainya.
c. Perasaan Susila, yaitu perasaan yang berhubungan dengan nilai-nilai
baik dan buruk atau etika (moral). Seperti rasa tanggung jawab
(responsibilit), rasa bersalah apabila melanggar norma, rasa tentram
dalam mentaati norma.
d. Perasaan Keindahan (estetis), yaitu perasaan yang berkaitan erat
dengan keindahan dari sesuatu, baik bersifat kebendaan maupun
kerohanian.
e. Perasaan Ketuhanan. Salah satu kelebihan manusia sebagai makhluk
Tuhan, dianugerahi fitrah (kemampuan atau perasaan) untuk mengenal
Tuhannya. Dengan kata lain, manusia dikaruniai insting religius (naluri
beragama). Karena memiliki fitrah ini, kemudian manusia dijuluki
sebagai ”Homo Divinans” dan ”Homo Religius”, yaitu sebagai
makhluk yang berke-Tuhan-an atau makhluk beragama.

e. Bentuk-bentuk Emosi

Bentuk-bentuk emosi yang nampak pada anak remaja antara lain adalah:
1. Marah
Kemarahan anak remaja ditimbulkan oleh beberapa faktor, antara lain:
Merasa dipermalukan, kurang adil dan diperlakukan sewenang-wenang,
sehingga timbul perasaan padanya bahwa dia dianggap sebagai anak-
anak, dikecam, diganggu, tidak dapat mengerjakan sesuatu dengan baik,
merasa terganggu di waktu sedang mengerjakan sesuatu hal atau sedang
tidur.
2. Takut
Anak remaja dalam masa kurang lebih 12 tahun paling sering merasakan
rasa takut. Sedangkan pada usia kurang lebih 16 tahun mereka merasa
bahwa mereka tidak mengenal rasa takut. Hal-hal yang dapat
menimbulkan rasa takut antara lain: Berada sendirian di tempat yang
gelap, berpergian sendiri pada waktu malam hari, menghadapi orang-orang
asing baginya. Perasaan-perasaan takut itu diwujudkan dengan sikap
lemas, pucat, gemetar, mengeluarkan banyak keringat dan lain sebagainya.
3. Malu
Salah satu penyebab rasa malu adalah karena berkumpul dengan anak
asing yang bukan temannya. Hal ini disebabkan karena anak remaja selalu
ingin memberikan kesan yang baik kepada orang yang asing baginya tetapi
dia tidak yakin apakah mampu memberikan kesan demikian. Akibatnya,
dia merasa sangat malu dan cengeng.
4. Cemas (Anxiety)
Rasa cemas adalah suatu bentuk ketakutan yang berasal dari sebab yang
sebenarnya dibayangkan dan belum tentu benar-benar ada. Pada umumnya
hal-hal yang paling menimbulkan rasa cemas pada remaja adalah
pekerjaan sekolah. Sedangkan hal-hal lain yang sering menimbulkan
cemas, yaitu penampilan, hubungan antara teman pria dan wanita, hal-

8
hal yang berhubungan dengan pakaian, hal-hal yag berhubungan
dengan kesehatan, dan lain sebagainya.
5. Iri hati (Jealousy)
Walaupun pada umumnya rasa iri hati sering dialami masa kanak-kanak
yang dianggap sebagai emosi kekanak-kanakan, tetapi sebenarnya rasa itu
dirasakan juga oleh anak remaja. Kebanyakan rasa iri hati ini berhubungan
dengan hubungan antara pemuda dengan pemudi. Anak remaja biasanya
berebutan untuk mendapatkan kepopuleran diantara teman-temannya. Jika
kepopuleran ini beralih ke teman lain, timbulah rasa iri hati. Juga apabila
seorang anak remaja tertarik hatinya kepada seseorang dari lawan jenis
akan tetapi anak itu lebih tertarik kepada anak lain, maka timbulah rasa iri
hati.
6. Rasa kasih sayang
Pada umumnya rasa kasih sayang anak remaja lebih ditujukan kepada
orang- orang di luar rumah dari pada keluarga. Kebanyakan kasih
sayangnya diberikan ditujukan kepada beberapa orang dari jenis
kelaminnya sendiri (kelompoknya), lawan jenis, dan kepada orang yang
menjadi idolanya.
7. Kegembiraan
Perasaan ini timbul karena beberapa hal, antara lain: dapat menyesuaikan
diri dengan baik dengan lingkungan sekitarnya, telah mengerjakan
tugasnya dengan baik, melihat kelucuan dari suatu kejadian, dapat
menghilangkan rasa takut, cemas, iri hati, marah yang telah dialami.
8. Rasa ingin tahu
Hal-hal baru yang menimbulkan rasa ingin tahu antara lain: ingin tahu
terhadap anggota-anggota dari lawan jenis, hal yang berhubungan dengan
seks, pelajaran-pelajaran baru di sekolah, hubungan dengan masyarakat
yang lebih luas.
9. Kesedihan
Hal ini antara lain disebabkan karena mengalami suatu perpisahan,
pertengkaran dengan sahabat karibnya, merasakan keadaan materiil.

f. Kematangan Emosi (revisi)

Pada masa remaja terjadi proses kematangan emosi, yaitu proses dimana
remaja lebih mampu memahami dan mengontrol emosi yang dialaminya. Hal
tersebut seperti yang dijelaskan oleh Hurlock (1980:213) bahwa anak laki-laki dan
perempuan dikatakan sudah mencapai kematangan emosi apabila pada akhir masa
remaja tidak meledakkan emosinya dihadapan orang lain melainkan menunggu
saat yang tepat untuk mengungkapkan emosinya dengan cara-cara yang lebih
diterima.
Petunjuk kematangan emosi lainnya adalah bahwa individu menilai situasi
secara kritis terlebih dahulu sebelum bereaksi secara emosional, tidak lagi
bereaksi tanpa berfikir sebelumnya seperti pada anak-anak atau orang yang tidak
matang. Dengan demikian remaja mengabaikan banyak rangsangan yang tadinya

9
dapat menimbulkan ledakan emosi. Akhirnya remaja yang emosinya matang
memberikan reaksi emosional yang stabil, tidak mudah berubah dari suasana hati
tertentu ke suasana hati yang lain, seperti pada periode anak-anak.

g. Penyaluran Emosi (revisi)

Untuk mencapai kematangan emosi, remaja harus belajar memperoleh


gambaran tentang situasi-situasi yang dapat menimbulkan reaksi emosional
kemudian mengelolanya dengan baik. Misalnya dengan membicarakan masalah
yang dihadapinya pada orang lain, memiliki sikap terbuka, mengisi waktu luang
dengan aktifitas yang bermanfaat seperti aktif dalam berbagai ekstra kulikuler di
sekolah, membentuk komunitas yang sehat, menghindari perilaku kearah
maladaptif, mengikuti unit-unit olahraga atau banyak kegiatan lainnya yang
bersifat membangun. Hal ini berkaitan dengan penyaluran/katarsis emosi. Pada
remaja yang tidak mampu mengelola diri dengan baik akan menyalurkan kondisi
emosinya pada hal-hal yang negatif. Misalnya menutup diri, melukai diri sendiri,
membenci orang tuanya atau orang lain, tawuran/berkelahi, alkoholism, hubungan
seks pra nikah, dan banyak tindakan lain yang mengarah pada tindakan kriminal
ataupun penyimpangan-penyimpangan yang lain.
Untuk menghindari penyaluran emosi kearah negatif remaja harus
mempunyai kecerdasan emosi, hai ini seperti dijelaskan oleh Cooper dan Sawaf
(1998) bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami,
dan secara selektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi
dan pengaruh yang manusiawi. Kecerdasan emosi menuntut penilikan perasaan,
untuk belajar mengakui, menghargai perasaan pada diri dan orang lain serta
menanggapinya dengan tepat, menerapkan secara efektif energi emosi dalam
kehidupan sehari-hari.
Sedangkan Goleman (1995) mengungkapkan 5 (lima) wilayah kecerdasan
emosional yang dapat menjadi pedoman bagi individu untuk mengelola emosinya
agar mencapai kesuksesan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu :
1. Mengenali emosi diri
2. Mengelola emosiMemotivasi diri
3. Mengenali emosi orang lain
4. Membina hubungan dengan orang lain
Berdasar penjelasan diatas dapatlah dikatakan bahwa kecerdasan
emosional menuntut diri untuk belajar mengakui dan menghargai perasaan diri
sendiri dan orang lain dan untuk menanggapinya dengan tepat, menerapkan
dengan efektif energi emosi dalam kehidupan dan pekerjaan sehari-hari. 3 (tiga)
unsur penting kecerdasan emosional terdiri dari : kecakapan pribadi (mengelola
diri sendiri); kecakapan sosial (menangani suatu hubungan) dan keterampilan
sosial (kepandaian menggugah tanggapan yang dikehendaki pada orang lain).

10
2. PERKEMBANGAN BAHASA

Bahasa merupakan kemampuan untuk berkomunikasi dengan orang lain.


Dalam pengertian ini tercakup semua cara untuk berkomunikasi, dimana pikiran
dan perasaan dinyatakan dalam bentuk lambang atau simbol untuk
mengungkapkan sesuatu pengertian, seperti dengan menggunakan lisan (bicara),
tulisan isyarat bilangan, lukisan, dan mimik muka.
Bahasa merupakan faktor hakiki yang membedakan antara manusia
dengan hewan. Bahasa merupakan anugerah dari Alloh SWT, yang dengannya
manusia dapat mengenal atau memahami dirinya, sesama manusia, alam, dan
penciptanya serta memposisikan derinya sebagai makhluk berbudaya dan
mengembangkan budayanya. Bahasa erat kaitannya dengan perkembangan
berfikir individu. Perkembangan berfikir individu tampak dalam perkembangan
bahasanya yaitu kemampuan membentuk pengertian, menyusun pendapat, dan
menarik kesimpulan.
Menurut Yusuf (2004:119), perkembangan bahasa pada anak dimulai pada
usia 1.6-2,0 tahun, yaitu pada saat anak dapat menyusun kalimat dua atau tiga
kata. Laju perkembangan itu sebagai berikut.
a. Usia 1,6 tahun, anak dapat menyusun pendapat positif, seperti “bapak
makan”.
b. Usia 2,6 tahun. Anak dapat menyusun pendapat negatif (menyangkal)
seperti, “bapak tidak makan”.
c. Pada usia selanjutnya, anak dapat menyusun pendapat:
1) Kritikan: “ini tidak boleh. Ini tidak baik”
2) Keragu-raguan: barangkali, mungkin, bisa jadi. Ini terjadi bila anak
sudah menyadari akan kemungkinan kekhilafan.
3) Menarik kesimpulan analogi: anak melihat ayahnya tidur karena sakit,
pada waktu lain anak melihat ibunya tidur, ia mengatakan bahwa ibu
tidur karena sakit.
Berdasar tugas perkembangan pada usia remaja yang mengalami
kemandirian secara emosional dari orang tuanya, remaja tidak lagi terlalu
mengidentifikasi orang tuanya sebagai sumber belajar bahasa. Remaja mengalami
perkembangan pesat dalam kemampuan bahasanya yang diperoleh dari interaksi
remaja tersebut dengan lingkungannya. Lingkungan tersebut berasal dari sekolah,
teman sepergaulan, media massa, tokoh yang diidolakan dan berbagai lingkungan
tempat remaja tersebut bersosialisasi.
Masa remaja dapat juga dikatakan masa pencarian jati diri, hal ini
merupakan isu sentral pada masa remaja yang memberikan dasar bagi masa
dewasa. Remaja belajar dari berbagai hal yang ia temui, yang ia saksikan dan ia
rasakan. Dari sinilah remaja belajar berbagai pengetahuan dan juga
mengembangkan pengetahuan bahasa. Teman sepergaulan memegang peranan
terpenting penggunaan bahasa bagi remaja, selain itu peranan media masa seperti
televisi, radio surat kabar dan berbagai media yang lain juga memberi pengaruh
yang signifikan bagi perkembangan bahasa pada remaja.

11
Bagaimana perkembangan bahasa pada remaja? (revisi)
Kemampuan bahasa pada remaja erat kaitannya dengan kemampuan
bicara. Gangguan keterlambatan bicara adalah istilah yang dipergunakan untuk
mendeskripsikan adanya hambatan pada kemampuan bicara dan perkembangan
bahasa pada anak-anak, tanpa disertai keterlambatan aspek perkembangan
lainnya. Pada umumnya mereka mempunyai perkembangan intelegensi dan sosial-
emosional yang normal. Menurut penelitian, problem ini terjadi atau dialami 5
sampai 10% anak-anak usia prasekolah dan lebih cenderung dialami oleh anak
laki-laki dari pada perempuan.
Penyebab dari keterlambatan bicara ini disebabkan oleh beragam faktor,
seperti :

1. Hambatan pendengaran

Pada beberapa kasus, hambatan pada pendengaran berkaitan dengan


keterlambatan bicara. Jika si anak mengalami kesulitan pendengaran, maka dia
akan mengalami hambatan pula dalam memahami, meniru dan menggunakan
bahasa. Salah satu penyebab gangguan pendengaran anak adalah karena adanya
infeksi telinga.

2. Hambatan perkembangan pada otak yang menguasai kemampuan


oral-motor

Ada kasus keterlambatan bicara yang disebabkan adanya masalah pada area
oral-motor di otak sehingga kondisi ini menyebabkan terjadinya ketidakefisienan
hubungan di daerah otak yang bertanggung jawab menghasilkan bicara.
Akibatnya, si anak mengalami kesulitan menggunakan bibir, lidah bahkan
rahangnya untuk menghasilkan bunyi kata tertentu.

3. Masalah keturunan

Masalah keturunan sejauh ini belum banyak diteliti korelasinya dengan


etiologi dari hambatan pendengaran. Namun, sejumlah fakta menunjukkan pula
bahwa pada beberapa kasus di mana seorang anak anak mengalami keterlambatan
bicara, ditemukan adanya kasus serupa pada generasi sebelumnya atau pada
keluarganya. Dengan demikian kesimpulan sementara hanya menunjukkan adanya
kemungkinan masalah keturunan sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi.

4. Masalah pembelajaran dan komunikasi dengan orang tua

Masalah komunikasi dan interaksi dengan orang tua tanpa disadari memiliki
peran yang penting dalam membuat anak mempunyai kemampuan berbicara dan
berbahasa yang tinggi. Banyak orang tua yang tidak menyadari bahwa cara
mereka berkomunikasi dengan si anak lah yang juga membuat anak tidak punya
banyak perbendaharaan kata-kata, kurang dipacu untuk berpikir logis, analisa atau
membuat kesimpulan dari kalimat-kalimat yang sangat sederhana sekali pun.

12
Sering orang tua malas mengajak anaknya bicara panjang lebar dan hanya bicara
satu dua patah kata saja yang isinya instruksi atau jawaban sangat singkat. Selain
itu, anak yang tidak pernah diberi kesempatan untuk mengekspresikan diri sejak
dini (lebih banyak menjadi pendengar pasif) karena orang tua terlalu memaksakan
dan “memasukkan” segala instruksi, pandangan mereka sendiri atau keinginan
mereka sendiri tanpa memberi kesempatan pada anaknya untuk memberi umpan
balik, juga menjadi faktor yang mempengaruhi kemampuan bicara, menggunakan
kalimat dan berbahasa.

5. Faktor Televisi
Sejauh ini, kebanyakan nonton televisi pada anak-anak usia batita
merupakan faktor yang membuat anak lebih menjadi pendengar pasif. Pada saat
nonton televisi, anak akan lebih sebagai pihak yang menerima tanpa harus
mencerna dan memproses informasi yang masuk. Belum lagi suguhan yang
ditayangkan berisi adegan-adegan yang seringkali tidak dimengerti oleh anak dan
bahkan sebenarnya traumatis (karena menyaksikan adegan perkelahian,
kekerasan, seksual, atau pun acara yang tidak disangka memberi kesan yang
mendalam karena egosentrisme yang kuat pada anak dan karena kemampuan
kognitif yang masih belum berkembang). Akibatnya, dalam jangka waktu tertentu
yang mana seharusnya otak mendapat banyak stimulasi dari lingkungan/orang tua
untuk kemudian memberikan feedback kembali, namun karena yang lebih banyak
memberikan stimulasi adalah televisi (yang tidak membutuhkan respon apa-apa
dari penontonnya), maka sel-sel otak yang mengurusi masalah bahasa dan bicara
akan terhambat perkembangannya.

A. Tipe Perkembangan Bahasa


Yusuf (2004:120) menjelaskan tipe perkembangan bahasa pada anak yaitu
sebagai berikut.
1. Egocentric Speach, yaitu anak berbicara dengan dirinya sendiri (monolog).
2. Social Speach, yang terjadi kontrak antara anak dengan temannya atau
dengan lingkungannya. Perkembangan ini dibagi kedalam lima bentuk: 1)
adapted information, terjadi saling tukar gagasan atau adanya tujuan
bersama yang dicari, 2) critism, yang menyangkut penilaian anak terhadap
ucapan atau tingkah laku orang lain, 3) command, (perintah), request
(permintaan), dan threath (ancaman), dan answer (jawaban).

B. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Bahasa


Perkembangan bahasa dipengeruhi oleh faktor-faktor proses kematangan,
proses belajar, kesehatan, intelegensi, status sosial ekonomi, jenis kelamin dan
hubungan keluarga.
1. Proses kematangan
2. Artinya anak menjadi matang karena berfungsinya organ-organ suara
untuk berkata-kata.
3. Proses belajar
4. Artinya anak mempelajari bahasa orang lain dengan cara mengimitasi atau
meniru ucapan atau kata-kata yang diucapkan orang lain.

13
5. Faktor kesehatan
6. Kesehatan merupakan faktor yang sangat mempengeruhi perkembangan
bahasa anak, terutama pada usia awal kehidupannya. Apabila pada usia 2
tahun pertama, anak mengalami sakit terus menerus, maka anak tersebut
cenderung akan mengalami kelambatan atau kesulitan dalam
perkembangan bahasanya. Oleh karena itu, untuk memelihara
perkembangan bahasa anak secara normal, orang tua perlu memperhatikan
kondisi kesehatan anak. Upaya yang dapat ditempuh adalah dengan
memberikan makanan bergizi, memelihara kebersihan tubuh, atau secara
reguler memeriksakan anak ke dokter atau puskesmas.
7. Intelegensi.
8. Perkembangan bahasa dapat dilihat dari tingkat intelegensinya. Remaja
yang perkembangan bahasanya cepat, pada umumnya mempunyai
intelegensi normal atau diatas normal. Namun begitu tidak semua anak
yang mengalami perkembangan bahasanya pada usia awal, dikategorikan
sebagai anak yang bodoh.
9. Status sosial ekonomi keluarga
10. Beberapa studi tentang hubungan antara perkembangan bahasa dengan
status sosial ekonomi keluarga menunjukkan bahwa anak yang berasal dari
keluarga miskin mengalami kelambatan dalam perkembangan bahasanya
dibandingkan dengan anak yang berasal dari keluarga yang lebih baik.
Kondisi ini mungkin disebabkan oleh perbedaan kecerdasan atau
kesempatan belajar (keluarga miskin diduga kurang memperhatikan
perkembangan bahasa anaknya), atau kedua-duanya (Hetzer dan Reindorf
dalam Yusuf, 2004:121)
11. Jenis kelamin.
12. Pada tahun pertama usia anak tidak ada perbedaan dalam vokalisasi antara
pria dan wanita. Sedangkan pada masa remaja, remaja wanita biasanya
lebih cepat dalam penguasaan bahasa dari pada remaja pria, hal ini
dikarenakan wanita lebih peka terhadap perasaan dan lebih mampu
mengungkapkan sesuatu dari pada pria.
13. Hubungan keluarga
14. Hubungan ini dimaknai sebagai proses pengalaman berinteraksi dan
berkomunikasi dengan lingkungan keluarga, terutama dengan orang tua
yang mengajar, melatih dan memberikan contoh berbahasa kepada anak.
Hubungan yang sehat (penuh perhatian dan kasih sayang dari orang
tuanya) memfasilitasi perkembangan bahasa anak, sedangkan hubungan
yang tidak sehat mengakibatkan anak akan mengalami kesulitan atau
kelambatan dalam perkembangan bahasanya. Hubungan yang tidak sehat
itu bisa berupa sikap orang tua yang keras/kasar, kurang kasih sayang atau
kurang perhatian untuk memberikan latihan dan contoh bahasa yang baik
kepada anak, maka perkembangan bahasa anak cenderung mengalami
stagnasi atau kelainan, seperti gagap dalam berbicara, tidak jelas dalam
mengungkapkan kata-kata merasa takut untuk mengungkapkan pendapat,
dan berkata yang kasar atau tidak sopan.

14
BAB III
PENUTUP

Pokok-pokok Penting
1. Masa remaja yang berlangsung dari saat individu menjadi matang secara
seksual sampai usia delapan belas tahun sebagai usia kematangan resmi
merupakan masa yang penting dalam rentang kehidupan, suatu periode
paralihan, suatu masa perubahan, usia bermasalah, saat dimana individu
mencari identitas, usia yang menakutkan, masa tidak realistis dan ambang
kedewasaan.
2. Menurut tradisi, masa remaja adalah periode dari meningginya emosi, saat
dimana remaja mengalami “badai dan tekanan”. Dalam periode ini
peranan orang tua dan orang terdekat dari remaja memegang peranan
penting dalam membina, membantu dan mengarahkan agar si-remaja
mampu mengelola emosi dan menyalurkannya sesuai dengan proporsi dan
dapat bermanfaat bagi pemenuhan tugas perkembanganya.
3. Remaja sudah mengalami kemandirian secara emosional dari orang
tuanya, dimana remaja tidak lagi terlalu mengidentifikasi orang tuanya
sebagai sumber belajar bahasa. Remaja mengalami perkembangan pesat
dalam kemampuan bahasanya yang diperoleh dari interaksi remaja
tersebut dengan lingkungannya. Lingkungan tersebut berasal dari sekolah,
teman sepergaulan, media massa, tokoh yang diidolakan dan berbagai
lingkungan tempat remaja tersebut bersosialisasi, ada kemungkinan si-
remaja mengintifikasi dan meniru hal-hal yang negatif. Maka peran orang
tua tetap dibutuhkan untuk mengarahkan remajanya agar membina
hubungan yang sehat dengan teman sebanyanya dan atau dengan
lingkungan yang lebih luas.

15
DAFTAR RUJUKAN

Ahmadi, Abu. dkk. 2005. Psikologi Perkembangan. Jakarta: PT. Rineka Cipta

Ali, Muhammad. 2004. Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik. Jakarta:


PT. Bumi Aksara.

Elias. Dkk. 2003. Cara-cara Efektif Mengasah EQ Remaja: Mengasah Dengan


Cinta Canda Dan Disiplin. Bandung: Kaifa.

Gunarsa,Y. Singgih D. 1989. Psikologi Remaja. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia.

Hurlock, Elizabeth B. 1878. Perkembangan Anak. Jilid 1. terjemahan Meitasari


Tjandrasa dan Muslichah Zarkasih. 1997. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Hurlock, Elizabeth B. 1980. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan


Sepanjang Rentang Kehidupan. Terjemahan Istiwidayanti dan Sudjarwo.
Tanpa tahun. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Poerwanti, Endang. 2005. Perkembangan Peserta Didik. Malang: Penerbitan


Universitas Muhammadiyah Malang.

Soesilowindradini. Tanpa tahun. Psikologi Perkembangan: Masa Remaja.


Surabaya: Usaha Nasional.

Suryobroto, Sumardi. 1993. Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Rake Sarasin

Syamsu Yusuf LN. 2004. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja.


Bandung:PT. Remaja Rosdakarya.

16

Anda mungkin juga menyukai