Anda di halaman 1dari 16

MASALAH KESEHATAN JIWA DAN PENGGUNAAN NAPZA

PADA REMAJA
By: Sela Fasya
Masa remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Masa
peralihan ini menempatkan remaja pada kondisi dimana dia sudah tidak bisa dianggap anak-
anak lagi namun dia juga belum cukup dewasa. Hal tersebut sering menimbulkan konflik
yang terjadi didalam dirinya. Baik konflik internal dengan dirinya sendiri ataupun konflik
dengan lingkungan. Berbagai macam perubahan yang terjadi pada remaja baik dari segi fisik
maupun psikologis menimbulkan perubahan suasa hati remaja secara drastis. Jika remaja
tidak mampu menyelesaikan tahap perubahan yang terjadi di dalam dirinya, maka remaja
cenderung mengalami kegagalan dalam mematangkan diri di masa mendatang. Pada akhirnya
banyaknya konflik diri maupun dengan lingkungan yang tidak terselesaikan dapat memicu
terjadinya perilaku berisiko seperti penggunaan Napza, merokok, minum alkohol, hubungan
seks bebas, bahkan bunuh diri. Bunuh diri adalah penyebab kematian utama ketiga pada
individu berusia 15–24 tahun. Menurut WHO tahun 2015 kematian tertinggi akibat bunuh
diri terjadi pada kelompok usia 15-29 tahun.
Menurut Global School-Based Health Survey tahun 2015, proporsi pelajar SMP yang
memiliki keinginan untuk bunuh diri mencapai 5,2%. Tanda bahaya bunuh diri pada remaja
meliputi menarik diri secara tiba-tiba, berperilaku keras atau sangat memberontak,
menyalahgunakan obat atau alkohol, secara tidak biasa mengabaikan penampilan diri,
kualitas tugas sekolah menurun, membolos, keletihan berlebihan, respon yang buruk terhadap
pujian, ancaman bunuh diri terang-terangan secara verbal dan membuang benda-benda yang
didapat sebagai hadiah (Kusumawati, 2010). Menurut WHO Global Health Estimates 2017,
kematian global tertinggi akibat bunuh diri adalah pada usia 20 tahun di negara-negara low-
and-middle income.

A. KESEHATAN JIWA
Kesehatan jiwa adalah kondisi dimana seorang individu dapat berkembang secara fisik,
mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat
mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk
komunitasnya. Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) adalah orang yang mempunyai
masalah fisik, mental, sosial, pertumbuhan dan perkembangan, dan/atau kualitas hidup
sehingga memiliki risiko mengalami gangguan jiwa. Sedangkan Orang Dengan Gangguan
Jiwa (ODGJ) adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan
yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang
bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi
orang sebagai manusia (UU RI No. 18, 2014).

B. REMAJA
Masa remaja merupakan masa yang penuh dengan gejolak. Pada masa ini suasana hati
bisa berubah dengan cepat. Hal ini dapat terjadi karena berbagai hal seperti berbagai macam
beban pekerjaan rumah, pekerjaan sekolah, atau kegiatan sehari-hari di rumah. Perubahan
mood ini dapat berubah dengan sangat drastis. Selain itu, pada masa ini remaja cenderung
lebih rentan terhadap pendapat orang lain sehingga mereka sangat memperhatikan citra yang
ditampilkan (self image). Remaja putri menjadi lebih sering bersolek dan bercermin karena
percaya orang akan melirik dan tertarik pada penampilannya, sedangkan remaja putri akan
merasa dirinya dikagumi lawan jenis jika ia terlihat unik dan hebat. Pada usia 16 tahun keatas
keeksentrikan remaja akan berkurang dengan sendirinya seiring dengan dihadapkan pada
realita dunia nyata. Secara beriringan remaja pun menyadari bahwa orang lain memiliki dunia
tersendiri yang tidak selalu sama dengan apa yang difikirkan oleh dirinya selama ini. Masa
remaja ini merupakan masa kritis dalam siklus perkembangan seseorang karena merupakan
fase untuk mempersiapkan diri dalam memasuki masa dewasa. Pada masa ini pula remaja
sering menemukan konflik baik dengan dirinya sendiri maupun konflik dengan
lingkungannya. Apabila konflik ini tidak terselesaikan makan dapat memberikan dampak
negatif terhadap perkembangan remaja tersebut di masa mendatang khususnya dalam
kematangan karakter yang tidak jarang dapat memicu terjadinya gangguan mental (IDAI,
2013)

a. Perkembangan Psikososial Remaja


Masa remaja adalah masa yang ditandai oleh adanya perkembangan yang pesat dari
aspek biologi, psikologi, dan juga sosial. Kondisi ini menyebabkan terjadinya berbagai
perubahanremaja dapat mencapai taraf perkembangan psikososial yang sesuai dengan
usianya (IDAI, 2013). Berdasarkan sifat atau ciri perkembangannya, masa remaja terbagi
menjadi tiga tahap yaitu (Widyastuti, 2011):
a) Masa Remaja Awal (10-12 tahun)
Pada masa ini remaja tampak dan memang merasa lebih dekat dengan teman
sebayanya, tampak dan ingin merasa bebas, serta tampak dan memang lebih banyak
memperhatikan keadaan tubuhnya dan mulai berfikir sesuatu yang abstrak.
b) Masa Remaja Tengah (13-15 tahun)
Pada masa ini remaja tampak dan merasa ingin mencari identitas diri, ada keinginan
untuk berkencan atau ketertarikan pada lawan jenis, timbul perasaan cinta yang
mendalam, kemampuan berfikir abstrak semakin berkembang dan mulai berkhayal
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan seksual.
c) Masa Remaja Akhir (16-19 tahun)
Pada masa ini remaja mulai menampakkan pengungkapan kebebasan diri, dalam
mencari teman sebaya cenderung lebih selektif, memiliki citra atau gambaran terhadap
dirinya, dapat mewujudkan perasaan cinta, memiliki kemampuan berfikir khayal atau
abstrak.

Perkembangan yang terjadi pada remaja dipengaruhi oleh beberapa faktor yang
berperan diantaranya faktor individu, faktor pola asuh orangtua di masa anak dan pra remaja,
serta faktor lingkungan bagaimana kehidupan keluarga, budaya lokal, dan budaya asing
(IDAI, 2013). Pengaruh lingkungan tersebut mencakup beberapa hal diantaranya adalah
sebagai berikut (Kusumawati, 2011):
1. Pola Asuh di dalam Keluarga
Pola asuh yang otoriter dapat menyebabkan remaja berkembang menjadi penakut, tidak
memiliki rasa percaya diri, merasa tidak berharga, sehingga proses sosialisasi terganggu.
Pola asuh permisif akan menumbuhkan sikap ketergantungan dan sulit menyesuaikan diri.
Pola asuh demokratis akan menimbulkan keseimbangan antara perkembangan individu
dan sosial sehingga anak akan memperoleh suatu kondisi mental yang sehat.
2. Kondisi Keluarga
Hubungan orangtua yang harmonis akan menumbuhkan kehidupan emosional yang
optimal terhadap perkembangan kepribadian anak
3. Pendidikan Moral dalam Keluarga
Pendidikan moral dalam keluarga adalah upaya menanamkan nilai-nilai akhlak atau budi
pekerti kepada anak dirumah. Budi pekerti mengandung nilai-nilai keagamaan,
keasusilaan, dan kepribadian. Apabila keluarga tida peduli terhadap pendidikan moral
maka akan berakibat buruk pada perkembangan jiwa remaja.
4. Lingkungan Sekolah
Lingkungan sekolah mempunyai pengaruh yang kuat terhadap perkembangan remaja.
Suasana sekolah sangat berpengaruh terhadap perkembangan jiwa remaja yaitu dalam hal
kedisiplinan, kebiasaan sekolah, pengendalian diri, dan bimbingan guru.
5. Lingkungan Teman Sebaya
Remaja lebih banyak berada di luar rumah dengan teman sebaya dibandingkan dengan
berada di luar rumah sehingga pengaruh teman sebaya lebih besar daripada keluarga.
Kelompok sebaya memberikan lingkungan yaitu dunia tempat remaja melakukan
sosialisasi dimana nilai yang berlaku bukan nilai yang ditetapkan oleh orang dewasa
melainkan oleh teman seusianya.
6. Lingkungan Masyarakat
Lingkungan masyarakat yang berpengaruh terhadap perkembangan jiwa remaja adalah
sosial budaya dan media massa. Pergeseran budaya lokal dan budaya nasional akan
ditembus oleh budaya universal sehinga terjadi pergeseran nilai kehidupan. Pergeseran
nilai ini akan menyebabkan konflik nilai yang dapat berakibat terjadinya penyimpangan
perilaku pada remaja.

b. Masalah Aktual Kesehatan Mental Remaja


Permasalahan yang terjadi sehingga berpengaruh terhadap kesehatan mental remaja
dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya (IDAI, 2013):
1. Perubahan Psikoseksual
Produksi hormon testosteron dan estrogen memengaruhi fungsi otak, emosi, dorongan
seks dan juga perilaku remaja. Selain timbulnya dorongan seksual dapat juga terjadi
modifikasi dari dorongan seksual tersebut menjelma menjadi pemujaan terhadap tokok-
tokok idola seperti olahragawan, artis, penyanyi, pahlawan, dan lainnya.
2. Pengaruh Teman Sebaya
Remaja sangat berkaitan erat dengan pengaruh dari teman sebayanya. Peran dan pengaruh
teman sebaya merupakan salah satu pengaruh yang besar terhadap kehidupan seorang
remaja. Interaksi sosial dengan teman sebaya memiliki peranan dalam mendorong
terbentuknya berbagai keterampilan sosial. Bagi remaja rumah adalah landasan
sedangkan sekolah adalah dunianya. Interaksi yang terjadi pada remaja tidak hanya
dengan orangtuanya, tetapi juga dapat terjadi pada lingkungan disekitarnya seperti teman
sebaya, guru, orangtua temannya, dan lain-lain. Maka dari itu bagi remaja hal yang
terpenting selain hubungan dengan orangtuanya adalah hubungan dengan teman sebaya
dan seminatnya. Disatu sisi, karena tingginya pengaruh teman sebaya, remaja juga sangat
sensitif terhadap pandangan teman sebayanya sehingga seringkali menimbulkan rasa
membanding-bandingkan antara dirinya dengan remaja lainnya yang sebaya, bila secara
jasmani dirinya berbeda dengan teman sebayanya makan hal ini dapat memicu rasa malu
atau rendah diri pada remaja tersebut.
3. Perilaku Berisiko Tinggi
Remaja sangat dengan berbagai perilaku berisiko tinggi yang terkadang dianggap sebagai
bentuk dari identitas diri. Sekitar 80% remaja usia 11 – 15 tahun dinyatakan pernah
memiliki perilaku berisiko tinggi minimal satu kali dalam periode tersebut. Perilaku
berisiko tinggi tersebut bermacam-macam, diantaranya seperti mabuk, melakukan
hubungan seksual tanpa kontrasepsi, merokok, menggunakan obat-obatan terlarang, dan
lain sebagainya.
4. Kegagalan Pembentukan Identitas Diri
Remaja mulai menunjukkan minat dan mengalami perubahan kognitif yang besar menuju
cara berfikir yang lebih abstrak, konseptual, dan berorientasi ke masa depan. E.Erikson
dalam teori perkembangan psikososialnya menyatakan bahwa tugas utama di masa remaja
adalah membentuk identitas diri yang didefinisikan sebagai kesadaran akan diri sendiri
serta tujuan hidup yang lebih terarah. Secara perlahan remaja mulai menerapkan nilai-
nilai moral yang beragam yang berasal dari berbagai sumber sehingga membentuk ego
yang menjadi ciri khas remaja. Bila terjaid kegagalan dalam proses pencarian identitas
diri ini maka muncul kebingungan peran. Kebingungan peranini menyebabkan muncul
perasanaan tidak percaya akan kemampuan diri sendiri, negativisme, dan lain lain.
Negativisme ini merupakan bentuk remaja mengekspresikan kemarahan akibat
perasanaan diri yang gamang dan tidak puas terhadap proses pembentukan diri di masa
remaja.
5. Gangguan Perkembangan Moral
Moralitas adalah suatu konformitas terhadap standar, hak, dan kewajiban yang diterima
secara bersaman. Jika terdapat dua standar moral yang secara sosial dapat diterima
bersama namun saling memiliki konflik, maka pada umumnya remaja akan mengambil
keputusan untuk memilih sesuai dengan hati nuraninya. Nilai-nilai moral yang diterapkan
remaja umumnya muncul dari orangtua dan agama dalam upaya mengendalikan
perilakunya. Sehingga orangtua sangat perlu untuk menjadi contoh yang baik dan bukan
hanya menuntut remaja untuk berperilaku baik. Jika masa pembentukan moral pada
remaja terganggu maka dapat menunjukkan berbagai pola perilaku antisosial dan perilaku
menentang lainnya yang dapat mengganggu interaksi individu dengan lingkungan dan
dapat memicu beragam jenis konflik.
6. Stres di Masa Remaja
Stres pada remaja merupakan hal yang kerap terjadi. Banyak hal yang dapat
menimbulkan tekanan (stress) pada masa remaja. Dengan banyaknya perubahan yang
terjadi di dalam diri, target perkembangan yang harus tercapai sesuai dengan usianya,
masa pubertas, perubahan peran sosial dan lingkungan, serta hal lainnya dapat berpotensi
menimbulkan masalah perilaku dan memicu timbulnya tekanan yang nyata dalam
kehidupan remaja jika mereka tidak mampu mengatasi kondisi tantangan tersebut.

c. MASALAH KESEHATAN JIWA REMAJA


Masalah kesehatan jiwa yang terjadi pada remaja dapat disebabkan karena pada tahap
perkembangannya mengalami hambatan sehingga muncul permasalahan dengan
bermacam-macam manifestasi seperti kenakalan remaja sampai masalah perilaku seksual
(Dadvdson G C, 2006). Terdapat beberapa jenis gangguan jiwa yang banyak terjadi pada
remaja diantaranya sebagai berikut (Kusumawati, F, 2010):
a) Gangguan Cemas/ Ansietas
Cemas adalah perasaan gelisah yang dihubungkan dengan antisipasi terhadap bahaya.
Gangguan cemas merupakan gangguan yang banyak terjadi pada anak dan remaja.
Prevalensi gangguan cemas ini adalah 5–50%.
b) Gangguan Mood
Depresi pada anak-anak dan remaja berkisar antara 1–5%. Seorang remaja
mempunyai kecenderungan untuk mengalami depresi, oleh karena itu sangat penting
untuk membedakan secara jelas dan hati–hati antara depresi yang disebabkan oleh
gejolak mood yang normal pada remaja dengan depresi patologik. Depresi pada
remaja sering tidak terdiagnosis. Gangguan mood yang terjadi pada remaja dapat
memicu depresi bahkan keinginan untuk bunuh diri.
c) Gangguan Psikotik
Gangguan psikotik adalah suatu kondisi terdapatnya gangguan yang berat dalam
kemampuan menilai realitas. Yang termasuk gangguan psikotik adalah skizoprenia.
Skizoprenia pada remaja merupakan hal yang umum dan insidennya selama remaja
akhir sangat tinggi. Gejala awalnya meliputi perubahan ekstrem dalam perilaku
sehari-hari, isolasi sosial, sikap yang aneh, penurunan nilai akademik dan
mengekspresikan peilaku yang tidak disadarinya.
d) Gangguan Penyalahgunaan Zat Terlarang
Gangguan ini banyak terjadi diperkirakan 32% remaja menderita gangguan
penyalahgunaan zat. Angka penggunaan alkohol atau zat terlarang lebih banyak pada
anak laki-laki dibanding perempuan. Resiko terbesar pada usia 15–24 tahun. Pada
remaja perubahan penggunaan zat menjadi ketergantungan zat terjadi lebih cepat
dalam kurun waktu 2 tahun. Identifikasi remaja penyalahguna NAPZA terdapat pada
konflik keluarga yang berat, kesulitan akademik, penyalahgunaan NAPZA oleh orang
tua dan teman, merokok pada usia muda.

d. PENATALAKSANAAN GANGUAN JIWA REMAJA


Penatalaksanaan ganguan jiwa remaja diantaranya (Kusumawati, F, 2010):
1) Pencegahan primer melalui berbagai program sosial yang ditujukan untuk
menciptakan lingkungan yang meningkatkan kesehatan anak
2) Pencegahan sekunder dengan menemukan kasus secara dini pada remaja yang
mengalami kesulitan di sekolah sehingga tindakan yang tepat dapat segera
dilakukan
3) Dukungan terapeutik bagi anak-anak diberikan melalui psikoterapi individu,
konseling remaja dan program pendidikan khusus untuk remaja yang tidak
mampu berpartisipasi dalam sistem sekolah normal
4) Terapi keluarga dan penyuluhan keluarga penting untuk membantu keluarga
mendapatkan ketrampilan dan bantuan yang diperlukan guna membuat perubahan
yang dapat meningkatkan fungsi semua anggota keluarga.

e. SKIZOFRENIA PADA REMAJA


Skizofrenia merupakan penyakit otak yang timbul akibat ketidakseimbangan hormon
dopamin yaitu sel kimia dalam otak. Skizofrenia ini merupakan gangguan jiwa psikotik
paling lazim dengan ciri hilangnya perasaan afektif atau respons emosional dan menarik diri
dari hubungan antar pribadi normal. Seringkali diikuti dengan delusi (keyakinan yan gsalah)
dan halusinasi (persepsi tanpa ada rangsang panca indra). Skizofrenia bisa mengenai siapa
saja. Namun, 75% penderita mulai mengidap skizofrenia pada usia 16-25 tahun. Hal ini
terjadi karena usia remaja dan dewasa muda memilki risiko tinggi terhadap kehidupan yang
penuh tekanan. Skizofrenia ini pun sering terlambat disadari oleh orang terdekat termasuk
keluarga karena dianggap sebagai fase dari penyesuaian diri. Padahal semakin dini terdeteksi
semakin mudah untuk disembuhkan (Fadhli, 2010).
Gejala dari pra skizofrenia ini adalah sebagai berikut (Fadhli, 2010):
1. Ketidakmampuan seseorang mengekspresikan emosi seperti wajah dingin, jarang
tersenyum, serta acuh tak acuh.
2. Penyimpangan komunikasi berupa sulit melakukan pembicaraan terarah, kadang
menyimpang atau berputar-putar.
3. Gangguan atensi seperti tidak mampu memfokuskan, mempertahankan, atau
memindahkan atensi.
4. Gangguan perilaku seperti menjadi pemalu, tertutup, menarik diri secara sosial,
tidak bisa menikmati rasa senang, menantang tanpa alasan jelas, mengganggu, dan
tidak disiplin.
Gejala skizofrenia juga pada umumnya dapat dibagi menjadi dua (Fadhli, 2010):
1. Gejala Positif
Termasuk halusinasi, delusi, gangguan pemikiran (kognitif). Gejala ini disebut
positif karena merupakan manifestasi jelas yang dapat diamati oleh orang lain.
2. Gejala Negatif
Gejala ini disebut negatif karena merupakan kehilangan dari ciri khas atau fungsi
normal seseorang. Termasuk kurang atau tidak mampu
menampakkan/mengekspresikan emosi pada wajah dan perilaku, kurangnya
dorongan untuk beraktivitas, tidak dapat menikmati kegiatan-kegiatan yang
disenangi, dan kurangnya kemampuan bicara.
Pada remaja perlu diperhatikan kepribadian prasakit yang merupakan faktor
predisposisi dari skizofrenia, yaitu muncul gangguan kepribadian paranoid atau kecurigaan
berlebihan, menganggap semua orang sebagai musuh. Gangguan kepribadian skizoid yaitu
emosi dingin, kurang mampu bersikap hangat dan ramah pada orang lain serta selalu
menyendiri. Pada gangguan skizotipal orang memiliki perilaku atau tampilan diri aneh dan
ganjil, percaya akan hal-hal yang aneh, pikiran magis yang berpengaruh pada perilakunya,
persepsi paca indra yang tidak biasa, pikiran obsesif yang tidak terkendali, pikiran yang
samar-samar, penuh kiasan, sangat rinci dan ruwet atau stereotipik yang termanifestasi dalam
pembicaraan yang aneh dan inkoheren (Fadhli, 2010).
Faktor penyebab skizofrenia ini bisa terjadi karena stresor lingkungan dan faktor
genetik. Remaja yang normal bisa terkena skizofrenia karena stressor psikososial terlalu berat
sehingga tak mampu mengatasinya. Beberapa obat-obatan terlarang seperti ganja,
halusinogen atau amfetamin (ekstasi) juga dapat menimbulkan gejala-gejala psikosis (mental)
(Fadhli, 2010).
Penderita skizofrenia perlu mendapatkan perhatian dan empati, namun keluarga perlu
menghindari reaksi yang berlebihan seperti sikap terlalu mengkritik, terlalu memanjakan dan
terlalu mengontrol yang justru bisa menyulitkan penyembuhan. Perawatan terpenting pada
penderita skizofrenia adalah perawatan obat-obatan antipsikotik yang dikombinasikan dengan
perawatan terapi psikologis (Fadhli, 2010).

C. PENGGUNAAN NAPZA PADA REMAJA


Narkoba merupakan zat psikoaktif narkotika, psikotropika, dan bahan-bahan berbahaya
lainnya. Selain itu juga dapat diartikan sebagai bahan atau zat-zat kimiawi yang jika masuk
ke dalam tubuh baik secara oral (dimakan, diminum, atau ditelan), diisap, dihirup, atau
disuntikkan dapat mengubah suasana hati, perasaan, dan perilaku seseorang. Hal ini dapat
menimbulkan gangguan keadaan sosial yang ditandai dengan indikasi negatif, waktu
pemakaian yang panjang, dan pemakaian dosis yang berlebihan (Kusmiran, 2011). Menurut
Undang-undang No. 9 Tahun 1976 narkotika adalah bahan-bahan seperti tanaman papaver,
opium mentah, daun koka, kokaina mentah, kokaina, ekgonina, tanaman ganja, damar ganja.
Bahan lain baik yang alamiah, semi sintesis, sintesis yang dapat dipakai sebagai pengganti
morfin atau kokain, ditetapkan oleh Menteri Kesehatan sebagai narkotika jika
penyalahgunaannya dapat menimbulkan akibat ketergantungan yang merugikan seperti
morfin dan kokaina. Sedangkan psikotropika adalah berbagai obat-obatan yang bukan
termasuk kedalam narkotika namun apabila disalahgunakan bisa mempunyai efek serta
bahaya yang sama dengan narkotika karena sasaran obat-obat tersebut adalah sistem saraf
pusat (Kusmiran, 2011).
NAPZA atau narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lain yang mengacu pada
sekelompok zat yang umumnya mempunyai risiko pada pemakainya yaitu kecanduang
(adiksi). NAPZA merupakan bahan/zat yang bila masuk ke dalam tubuh akan memengaruhi
tubuh terutama susunan syaraf pusat otak sehingga jika digunakan dapat menyebabkan
gangguan fisik, psikis/jiwa, dan gangguan fungsi sosial. Pengaruh yang muncul dapat berupa
pembiusan, hilangnya rasa sakit, rangsangan semangat, halusinasi atau timbulnya khayalan-
khayalan yang menyebabkan efek ketergantungan bagi pemakaianya. Mayoritas sasaran yang
dituju oleh pengedar adalah remaja bahkan anak-anak karena pada rentang usia ini mereka
memiliki rasa ingin tahu yang tinggi serta selalu ingin mencoba hal baru dan mudah terbawa
oleh arus lingkungan (Sofiyah, 2009).
a. Klasifikasi Narkoba
Terdapat beberapa jenis klasifikasi narkoba yang diantaranya adalah sebagai berikut
(Kusmiran, 2011):
1. Alami
Narkoba ini merupakan jenis obat atau zat yang diambil langsung dari alam tanpa
adanya proses fermentasi atau produksi. Contohnya seperti ganja, opium, kokain,
mescaline, psicolin, kafein, dan lain-lain.
2. Semisintesis
Narkoba jenis ini merupakan obat atau zat yang diproses sedemikan rupa melalui
proses fermentasi seperti morfin, kodein, heroin, crack, dan lain sebagainya.
3. Sintesis
Narkoba jenis ini adalah obat atau zat yang mulai dikembangkan untuk keperluan
medis dan penelitian sebagai penghilang rasa sakit (analgesik) dan penekan batuk
(antitusif) seperti amfetamin, deksamfetamin, petidin, meperidin, metadon, dipipanon,
dekstropropokasifein, dan LSD. Zat-zat sintetis juga dipakai dokter untuk terapi
penyembuhan para pecandu.

Klasifikasi narkoba menurut efek yang ditimbulkannya (Kusmiran, 2011):


1. Depresan
Jenis obat yang berfungsi untuk mengurangi aktivitas fungsional tubuh. Obat ini dapat
membuat pemakai merasa tenang dan membuat tidur atau tidak sadarkan diri. Jenis obat
ini antara lain adalah opioda, opium, morfin, heroin, kodein, opiat sintesis, dan sedati.
2. Stimulan
Berbagai jenis zat yang dapat merangsang fungsi tubuh dan meningkatkan gairah kerja
(segar dan bersemangat) serta kesadaran. Jenis zat yang mengandung stimulan antara
lain kafein, kokain, amfetamin, dan ekstasi.
3. Halusinogen
Zat atau obat yang dapat menimbulkan efek halusinasi yang bersifat merubah perasaan
dan pikiran. Sering kali menciptakan daya pandang yang berbeda sehingga seluruh
perasaan dapat terganggu. Zat atau bahan yang memiliki zat halusinogen antara lain
ganja, kanabis, mescaline, psilocybin, LSD, dan lain-lain.
b. Dampak Penyalahgunaan Narkoba
Penyalahgunaan obat dapat memberikan dampak jasmani, kejiwaan, dan sosial baik
bagi individu maupun bagi keluarga dan masyarakat. Efek obat pada tubuh tergantung
pada jenis yang digunakan, banyak dan sering tidaknya penggunaan, cara penggunaan,
serta apakah penggunaan obat tersebut bersamaan dengan obat yang lain. Organ tubuh
yang secara fisiologis dipengaruhi adalah sistem saraf pusat (otak dan sumsum tulang
belakang), organ vital (jantung, paru, hati, dan ginjal) serta pancaindra (Kusmiran,
2011).
a) Pengaruh Terhadap Fisik
Pengaruh fisik ini dapat terjadi secara langsung dan tidak langsung tergantung dari
zat yang digunakan seperti pencampuran bahan, pemakaian tidak sesuai aturan, atau
tidak sterilnya alat. Gangguan yang terjadi dapat berupa hal-hal berikut ini:
1. Gangguan pada sistem saraf pusat seperti kejang, halusinasi, gangguan
kesadaran, dan kerusakan saraf perifer.
2. Gangguan pada jantung dan pembuluh darah seperti infeksi akut pada jantung
dan gangguan peredaran darah.
3. Gangguan pada paru-paru seperti penekanan fungsi saluran pernapasan,
kesulitan bernapas, pengerasan jaringan paru-paru, serta penggumpalan benda
asing yang terisap.
4. Gangguan pada hemopoetik seperti gangguan pada pembentukan sel darah.
5. Gangguan pada saluran pencernaan seperti diare, radang lambung, hepatitis,
perlemakan hati, pengerasan, dan atropi hati.
6. Gangguan pada sistem endokrin seperti penurunan fungsi hormon reproduksi
(estrogen, progesteron, dan testosteron), penurunan kadar glukosa darah yang
menyebabkan gangguan sakit kepala dan badan gemetar.
7. Gangguan pada saluran perkemihan seperti infeksi, gangguan fungsi seksual,
gangguan fungsi reproduksi, dan kecacatan.
8. Gangguan pada otot dan tulang seperti peradangan otot akut, penurunan fungsi
otot akibat alkohol, ataupun patah tulang.
9. Risiko terinfeksi penyakit menular seksual dan HIV/AIDS.
b) Pengaruh Terhadap Kejiwaan
Gangguan kejiwaan yang terjadi seperti gangguan psikotik (gangguan jiwa berat),
depresi, tindak kekerasan, dan pengrusakan serta percobaabn bunuh diri. Depresi
timbul sebagai mekanisme rasa bersalah dan putus asa krena gagal berhenti dari
penyalaghunaan obat ditambah kurangnya dukungan dan tuduhan bersalah oleh
lingkungan keluarga dan masyarakat (Kusmiran, 2011).

c. Faktor Pendorong Penyalahgunaan Narkoba


Terdapat beberapa faktor yang mendorong seseorang menyalahgunakan narkoba yaitu
faktor individu, faktor zat, dan faktor lingkungan (Kusmiran, 2011).
a) Faktor Individu
Penyalahgunaan obat dipengaruhi oleh keadaan mental, kondisi fisik dan psikologis
seseorang. Kondisi mental seperti gangguan kepribadian, depresi, dan retardasi
mental dapat memperbesar kecenderungan seseorang untuk menyalahgunakan
narkotika. Faktor individu ini ditentukan oleh dua aspek yaitu aspek biologis dan
aspek psikologis. Pada aspek biologis ditemukan bahwa faktor genetik berperan
terhadap alkoholisme serta pada beberapa perilaku menyimpang lainnya.
Sedangkan aspek psikologis menunjukkan bahwa sebagian besar penyalahgunaan
obat dimulai pada masa remaja. Beberapa perkembangan masa remaja dapat
mendorong seseorang untuk menyalahgunakan obat terlarang yaitu sepeti
kepercayadirian yang kurang, ketidakmampuan mengelola masalah/stress yang
dihadapi, coba-coba dan berpetualang untuk memperoleh pengalaman baru, serta
depresi. Semua ini dapat menyebabkan seorang remaja terjerumus pada
penyalahgunaan obat terlarang.
Pada beberapa kelompok, penyalahgunaan zat juga digunakan sebagai alat interaksi
sosial agar dapat diterima oleh teman-temannya. Biasanya merupakan perwujudan
dari penentangan terhadap otoritas orangtua, peraturan tata tertib yang dulunya
dipatuhi, dalam rangka eksplorasi mencari identitas diri serta agar dianggap sudah
dewasa.
Eksplorasi seksual juga bisa mendorong penyalahgunaan zat baik untuk mengurangi
hambatan psikologis, meningkatkan fantasi, sensasi, dan mengatasi rasa bersalah.
Seseorang pada remaja awal umumnya mempunyai kepercayaan yang unik tapi
keliru, bahwa apa yang ada pada orang lain tidak akan terjadi padanya termasuk
akibat-akibat penyalahgunaan zat adaptif. Faktor lain yang bisa menjadi penyebab
seseorang menggunakan obat terlarang:
1. Kebutuhan untuk menekan frustasi dan dorongan agresif
2. Ketidakmampuan menunda kepuasan
3. Tidak ada identifikasi seksual yang jelas
4. Kurang kesadaran dan upaya untuk mencapai tujuan-tujuan yang bisa diterima
sosial
5. Menggunakan perilaku yang menyerempet bahaya untuk menunjukkan
kemampuan diri
6. Menekan rasa bosan

b) Faktor Zat
Disamping pengaruh dari pengalaman, harapan pemakai, serta dosis yang
digunakan, hanya zat yang mempunyai kandungan tertentu yang dapat memicu
penyalahgunaan obat terlarang.

c) Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan dianggap dapat menjadi pemicu seseorang
menggunakan obat terlarang diantaranya:
1. Hubungan dalam Keluarga
Keluarga yang memiliki masalah penyalahgunaan obat terlarang sering ditandai
oleh ibu yang dominan, sifat overprotektif ayah yang memisahkan diri dan tidak
mau terlibat dalam keluarga. Selain itu juga didapat perubahan-perubahan
antara membujuk dengan konflik antara perlindungan yang berlebihan dengan
mengabaikan individualitas anak dan adanya paksaan orang tua terhadap sukses
dan prestis yang mendorong anak melarikan diri ke alam impian melalui obat.
Kualitas hubungan anggota keluarga yang tidak harmonis juga menjadi pemicu
seseorang menggunakan obat terlarang dan meningkatkan prevalensi depresi
serta aktivitas seksial di kalangan remaja. Penyalahgunaan obat terlarang juga
dipengaruhi oleh kebiasaan anggota keluarga lain seperti orangtua dan kakak
dalam menggunakan bahan tersebut.
2. Pengaruh Teman Sebaya
Pengaruh teman terhadap terjadinya penggunaan obat terlarang sangat besar
khususnya pada masa remaja. Hukuman yang diberikan oleh sekelompok
remaja bagi yang mencoba menghentikan penggunaan obat terlarang ini
dianggap lebih berat dibandingkan bahaya dari penggunaan obat terlarang.
Hukuman yang diberikan dapat dalam bentuk pemukulan, atau bahkan
pengucilan.
3. Pengaruh Lingkungan
Lingkungan merupakan salah satu faktor yang bisa memicu seseorang
menggunakan obat terlarang. Beberapa kelompok bahkan menjadikan
penggunaan obat terlarang sebagai salah satu sumber penerimaan terhadap
keberadaan seseorang dilingkungan tersebut. Kecenderungan mengalami
kesulitan untuk menghindari masalah-masalah hidup bisa menjadi salah satu
faktor penggunaan obat terlarang.

Secara umum terdapat urutan tahap penyalahgunaan zat/obat terlarang:


1. Risiko Kecil
Anak-anak atau remaja yang mempunyai karakteristik :
- Sehat secara fisik maupun mental
- Mempunyai kemampuan adaptasi sosial yang baik
- Memiliki sifat jujur dan bertanggungjawab
- Mempunyai cita-cita yang rasional
- Dapat mengisi waktu senggang secara positif
2. Risiko Besar
Anak atau remaja yang mempunyai karakteristik:
- Mempunyai sifat mudah kecewa dan untuk mengatasinya cenderung agresif
dan destruktif
- Bila mempunyai keinginan tidak bisa menunggu, menuntut kepuasan segera
- Pembosan, sering merasa tertekan, melakukan hal-hal yang berbahaya atau
mengandung risiko
- Suka mencari sensasi, melakukan hal-hal yang berbahaya atau mengandung
risiko
- Kurang dorongan untuk berhasil dalam pendidikan, pekerjaan, atau kegiatan
prestasi belajar buruk, partisipasi pada kegiatan ekstrakurikuler kurang,
kurang berolahraga, dan cenderung makan berlebihan.
- Mempunyai rasa rendah diri, kecemasan, obsesi, apatis, menarik diri dari
pergaulan, depresi, kurang mampu menghadapi stress, serta hiperaktif.
- Suka tidur larut malam
- Ada riwayat penyimpangan perilaku hubungan seksual dini (agresivitas,
membohong, mencuri, mengabaikan peraturan, mulai merokok pada usia
dini)
- Merasa hubungan dalam keluarga kurang dekat, ada keluarga yang alkoholik
atau pemakai obat-obatan
- Berteman dengan penyalahguna alkohol/zat psikoaktif, kehidupan agama
yang kurang religius.
3. Coba-coba
Kontak pertama dengan obat terlarang seperti ganja sering terjadi pada usia
remaja. Berkumpul bersama teman sebaya lalu apabila salah seorang mengisap
ganja maka yang lain pun akan mencobanya, mungkin sekedar ingin tahu
mungkin juga ingin memperlihatkan kehebatannya. Kebanyakan tidak
melanjutkan pengalaman pertama ini, namun beberapa kemudian melanjutkan
proses eksperime ini dengan mencoba zat-zat lain dengan cara yang lebih
cangging
4. Kadang-kadang
Sebagian remaja yang telah bereksperimen terhadap obat-obatan terlarang pada
akhirnya melanjutkan pemakaian zat adaptif ini sehingga menjadi bagian dari
kehidupan sehari-hari. Meskipun demikian penggunaan zat adaptif pada tahap
ini masih terbatas dan belum menimbulkan perubahan mendasar seperti mereka
tetap dapat sekolah atau bekerja.
5. Ketagihan
Pada tahap ini frekuensi dan dosis yang dipakai mulai meningkat termasuk
bertambahnya pemakaian bahan-bahan berisiko tinggi. Mulai muncul gangguan
mental, fisik, dan masalah-masalah sosial pun makin terlihat jelas. Tahap ini
biasa disebut tahap kritis karena ada bahaya yang nyata. Meskipun demikian,
pemakai pada tahap ini masih bisa mendapat bantuan untuk berhenti.
6. Ketergantungan
Ketergantungan ini merupakan bentuk ekstrim dari ketagihan. Upaya untuk
mendapatkan zat psikoaktif dan memakainya secara teratur merupakan aktivitas
utama individu yang ketergantungan mengalahkan kegiatan yang lain. Kondisi
fisik dan mental terus menerus menurun dan hidup sudah kehilangan makna.
Keadaan pengguna obat terlarang selalu berusaha untuk terus mengkonsumsi
dengan tujuan mempertahankan fungsi fisik dan psikologis secara wajar.
Ketergantungan fisik contohnya jika tidak menggunakan seluruh badan terasa
nyeri dan pegal-pegal sedangkan ketergantungan psikologis contohnya jika
individu tidak menggunakan obat terlarang menjadi merasa kurang percaya diri.

Referensi
Davdson G C. (2006). Psikologi Abnormal. Jakarta : Raja Gravindo Persada.
Fadhli, A. (2010). Buku Pintar Kesehatan Anak “Optimalkan Pertumbuhan Mental dan
Fisik”. Yogyakarta : Penerbit Pustaka Anggrek (Anggota IKAPI).
IDAI. 2013. http://www.idai.or.id/artikel/seputar-kesehatan-anak/masalah-kesehatan-mental-
emosional-remaja diakses pada 17 September 2019.
Kusmiran, E. (2011). Kesehatan Reproduksi Remaja dan Perempuan. Jakarta : Salemba Medika.
Kusumawati, F. (2010). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta : Salemba Medika.
Sofiyah. (2009). Mengenal Napza dan Bahayanya. Jakarta : Be Champion Wisma Hijau.
Undang-Undang RI No. 18. (2014). Tentang Keseahatan Jiwa.

Anda mungkin juga menyukai