Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah masa remaja adalah masa peralihan antara tahap anak dan dewasa.
Masa remaja juga dapat dimulai sejak seseorang menunjukkan tanda-tanda
pubertas dan berlanjut hingga kematangan seksual. Perubahan hormon seksual di
dalam tubuhnya ditandai dengan kematangan seksual sehingga dorongan seksual
yang timbul semakin meluap (Ahmadi, 2007).
Remaja merupakan kelompok yang paling rentan secara fisik terhadap
infeksi. Meskipun remaja sudah matang secara organ seksual, tetapi emosi dan
kepribadiannya masih labil karena masih mencari jati dirinya, sehingga rentan
terhadap berbagai godaan dalam lingkungan pergaulannya.
Remaja cenderung ingin tahu dan mencoba-coba apa yang dilakukan oleh
orang dewasa (Gunarsa, 2012). Banyak faktor yang menjadi sebab dari masalah
kesehatan reproduksi remaja yaitu antara lain rendahnya pengetahuan yang dimiliki
remaja mengenai seksualitas (seks, kehamilan, kontrasepsi, dan lain-lain), bahkan
seringkali pengetahuan yang tidak lengkap itu juga tidak benar, karena diperoleh dari
sumber yang keliru, misalnya dari teman sebaya, majalah-majalah porno, film-film
biru, dan mitos yang beredar di masyarakat.
Remaja seharusnya mendapatkan informasi masalah kesehatan reproduksi
melalui orang tua, karena informal tentang kesehatan reproduksi yang paling awal
tergantung dari pengetahuan orang tua. Faktor keluarga juga menjadi faktor kedua
setelah teman sebaya yang mempengaruhi keputusan remaja tertibat dalam seksual
aktif dan kehamilan. Survei yang dilakukan oleh Yayasan Kita dan Buah Hati (2005)
di Jabodetabek didapatkan hasil lebih dari 80 persen anak-anak usia 9-12 tahun
telah mengakses materi pornografi dari sejumlah media termasuk internet. Dari
survey tersebut dapat disimpulkan bahwa akses informasi sangat berperan dalam
pemberian informasi tentang kesehatan reproduksi remaja. Remaja dengan
karakteristiknya yang cenderung ingin tahu dan mencoba-coba dikhawatirkan dapat
terpengaruh dari lingkungannya, sehingga mereka cenderung lebih permisif
terhadap perilaku seksual pranikah.
Adanya berbagai perilaku seks remaja tersebut dipengaruhi oleh berbagai
faktor. Secara garis besar faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perilaku
reproduksi remaja terdiri dari faktor di luar individu dan faktor di dalam individu.
Faktor di luar individu adalah faktor lingkungan di mana remaja tersebut berada, baik
itu di lingkungan keluarga, kelompok sebaya (peer group), banjar dan desa.
Sedangkan faktor di dalam individu yang cukup menonjol adalah sikap permisif dari
individu yang bersangkutan. Sementara sikap permisif ini sangat dipengaruhi oleh
lingkungan. Dalam suatu kelompok yang tidak permisif terhadap perilaku reproduksi
sebelum menikah akan menekan anggotanya yang bersifat permisif. Dengan
demikian kontrol sosial akan mempengaruhi sikap permisif terhadap kelompok
tersebut. Pernyataan tersebut diperkuat oleh Bandura dalam konsepnya reciprocal
1

determinism, yaitu seseorang akan bertingkah laku dalam situasi yang ia pilih secara
aktif.
Dalam menganalisis perilaku seseorang, ada tiga komponen yang harus
ditelaah yaitu individu itu sendiri (P: Person), lingkungan (E: Environment), serta
perilaku individu tersebut (B: Behavior). Individu akan memunculkan satu bentuk
perilaku yang berbeda meskipun lingkungan serupa, namun individu akan bertingkah
laku setelah ada proses kognisi atau penilaian terhadap lingkungan sebagai stimulus
yang akan ditindaklanjuti. Bandura menyatakan bahwa kognisi adalah sebagai
tingkah laku perantara dimana persepsi diri kita mempengaruhi tingkah laku
(Ramadhani, 2008).
Berbagai macam penelitian yang dilakukan terhadap para remaja
menunjukkan kecenderungan perubahan perilaku seksual remaja. Seperti hasil
penelitian yang dilakukan oleh Gatra bekerja sama Laboratorium Ilmu Politik,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (LIP FISIP-UI) menjaring
800 responden remaja berusia 15-22 tahun di Jakarta, Yogyakarta, Medan,
Surabaya, dan Ujungpandang menjelang akhir 1997. Penelitian itu dimaksudkan
untuk mengetahui perhatian dan sikap para remaja terhadap masalah seks, sosial
politik, ekonomi, nilai-nilai agama, dan berbagai masalah aktual. Dari hasil penelitian
dapat diketahui bahwa responden menunjukkan sikap yang makin permisif (sikap
serba boleh) terhadap perilaku seks gaya modern. Sebanyak 45,9% (367
responden) memandang berpelukan antar lawan jenis adalah hal wajar, 47,3% (378
responden) membolehkan cium pipi, 22% tak menabukan cium bibir, 11% (88
responden) membolehkan necking atau cium leher atau cupang, 4,5% (36
responden) tak mengharamkan kegiatan raba-meraba, 2,8% (22 responden)
menganggap wajar melakukan petting (saling menggesek-gesekkan alat kelamin),
dan 1,3% (10 responden) tak melarang sanggama di luar nikah (Jahja, 2012). Hasil
Synovate Research (2005) tentang perilaku seksual remaja di empat kota
(Surabaya, Jakarta, Bandung, Medan) yang melibatkan 450 remaja memperoleh
hasil 44 % responden mengaku punya pengalaman seksual ketika berusia 16-18
tahun dan 16 % lainnya punya pengalaman seksual ketika berusia 13- 15 tahun.
Rata-rata responden juga mengaku pernah melakukan deep kissing, pelukan,
perabaan, dan hubungan intim saat berpacaran. Berdasarkan penelitian tersebut
diperoleh gambaran bahwa sebagian besar remaja mulai melakukan hubungan
seksual pada usia 16 tahun. Penelitian lain diselenggarakan oleh Rita Damayanti
terhadap remaja di SLTA Jakarta tahun 2008 diperoleh hasil bahwa perilaku pacaran
remaja adalah mengobrol, pegangan tangan, berangkulan, berciuman pipi,
berpelukan, berciuman bibir, meraba-raba dada, meraba alat kelamin, menggesek
kelamin, seks oral, dan hubungan seks.

B. Rumusan Masalah
Banyaknya faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual pada remaja
yaitu pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi, IMS dan HIV/AIDS,
pengaruh teman sebaya serta minimnya informasi yang tepat dan benar tentang
kesehatan reproduksi, maka dapat disimpulkan permasalahan sebagai berikut:

Apakah ada pengaruh faktor lingkungan sosial dan media terhadap perilaku seksual
pada remaja?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Remaja
Banyak ahli yang memberikan definisi tentang masa remaja. Santrock (2011)
mengartikan remaja sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak-anak
dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosialemosional. Walaupun remaja mempunyai ciri unik, yang terjadi pada masa remaja
akan saling berkaitan dengan perkembangan dan pengalaman pada masa anakanak dan dewasa.
Muagman (1980) dalam Sarwono (2010) mendefinisikan remaja berdasarkan
definisi konseptual World Health Organization (WHO) yang mendefinisikan remaja
berdasarkan 3 (tiga) kriteria, yaitu: biologis, psikologis, dan sosial ekonomi.
1. Remaja adalah situasi masa ketika individu berkembang dari saat pertama
kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekunder sampai saat ia mencapai
kematangan seksual.
2. Remaja adalah suatu masa ketika individu mengalami perkembangan
psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa.
3. Remaja adalah suatu masa ketika terjadi peralihan dari ketergantungan
sosial ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri.

B. Ciri-Ciri Masa Remaja


Remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakan dengan periode sebelum
dan sesudahnya. Ciri-ciri remaja menurut Hurlock (2003), antara lain:
1. Masa remaja sebagai periode yang penting yaitu perubahan-perubahan yang
dialami masa remaja akan memberikan dampak langsung pada individu yang
bersangkutan dan akan mempengaruhi perkembangan selanjutnya
2. Masa remaja sebagai periode pelatihan. Disini berarti perkembangan masa
kanak-kanak lagi dan belum dapat dianggap sebagai orang dewasa. Status remaja
tidak jelas, keadaan ini memberi waktu padanya untuk mencoba gaya hidup yang
berbeda dan menentukan pola perilaku, nilai dan sifat yang paling sesuai dengan
dirinya.
3. Masa remaja sebagai periode perubahan, yaitu perubahan pada emosi perubahan
tubuh, minat dan peran (menjadi dewasa yang mandiri), perubahan pada nilai-nilai
yang dianut, serta keinginan akan kebebasan.
4. Masa remaja sebagai masa mencari identitas diri yang dicari remaja berupa
usaha untuk menjelaskan siapa dirinya dan apa peranannya dalam masyarakat.
5. Masa remaja sebagai masa yang menimbulkan ketakutan. Dikatakan demikian
karena sulit diatur, cenderung berperilaku yang kurang baik. Hal ini yang membuat
banyak orang tua menjadi takut.
4

6. Masa remaja adalah masa yang tidak realistik. Remaja cenderung memandang
kehidupan dari kaca mata berwarna merah jambu, melihat dirinya sendiri dan orang
lain sebagaimana yang diinginkan dan bukan sebagaimana adanya terlebih dalam
cita-cita.
7. Masa remaja sebagai masa dewasa. Remaja mengalami kebingungan atau
kesulitan di dalam usaha meninggalkan kebiasaan pada usia sebelumnya dan di
dalam memberikan kesan bahwa mereka hampir atau sudah dewasa, yaitu dengan
merokok, minum-minuman keras, menggunakan obat-obatan dan terlibat dalam
perilaku seks. Mereka menganggap bahwa perilaku ini akan memberikan citra yang
mereka inginkan. Disimpulkan adanya perubahan fisik maupun psikis pada diri
remaja, kecenderungan remaja akan mengalami masalah dalam penyesuaian diri
dengan lingkungan. Hal ini diharapkan agar remaja dapat menjalani tugas
perkembangan dengan baik-baik dan penuh tanggung jawab.

C. Tahap Perkembangan Masa Remaja


Semua aspek perkembangan dalam masa remaja secara global berlangsung antara
umur 12-21 tahun, dengan pembagian usia 12-15 tahun adalah masa remaja awal,
15-18 tahun adalah masa remaja pertengahan, 18- 21 tahun adalah masa remaja
akhir (Sarwono, 2010). Menurut tahap perkembangan, masa remaja dibagi menjadi
tiga tahap perkembangan yaitu:
1) Masa remaja awal (12-15 tahun), dengan ciri khas antara lain:
a) Lebih dekat dengan teman sebaya
b) Ingin bebas
c) Lebih banyak memperhatikan keadaan tubuhnya dan mulai berpikir abstrak
2) Masa remaja tengah (15-18 tahun), dengan ciri khas antara lain:
a) Mencari identitas diri
b) Timbulnya keinginan untuk kencan
c) Mempunyai rasa cinta yang mendalam
d) Mengembangkan kemampuan berpikir abstrak
e) Berkhayal tentang aktivitas seks
3) Masa remaja akhir (18-21 tahun), dengan ciri khas antara lain:
a) Pengungkapan identitas diri
b) Lebih selektif dalam mencari teman sebaya
c) Mempunyai citra jasmani dirinya
d) Dapat mewujudkan rasa cinta
e) Mampu berfikir abstrak

Perkembangan seksualitas pada remaja meliputi:


1. Perubahan Fisik
Perempuan

a) Ditandai dengan perkembangan payudara, bisa dimulai paling muda umur 8


tahun sampai akhir usia 10 tahun.
b) Meningkatnya kadar estrogen mempengaruhi genitalia, antara lain: uterus
membesar; vagina memanjang; mulai tumbuhnya rambut pubis dan aksila; dan
lubrikasi vagina baik spontan maupun akibat rangsangan. c) Menarke sangat
bervariasi, dapat terjadi pada usia 8 tahun dan tidak sampai usia 16 tahun. Siklus
menstruasi pada awalnya tidak teratur dan ovulasi mungkin tidak terjadi saat
menstruasi pertama. 2
Laki-laki
a) Meningkatnya kadar testosteron ditandai dengan peningkatan ukuran penis,
testis, prostat, dan vesikula seminalis; tumbuhnya rambut pubis, wajah.
b) Walaupun mengalami orgasme, tetapi mereka tidak akan mengalami ejakulasi,
sebelum organ seksnya matang sekitar usia 12 14 tahun.
c) Ejakulasi terjadi pertama kali mungkin saat tidur (emisi nokturnal), dan sering
diinterpretasikan sebagai mimpi basah dan bagi sebagian anak hal tersebut
merupakan sesuatu yang sangat memalukan. Oleh karena itu anak laki-laki harus
mengetahui bahwa meski ejakulasi pertama tidak menghasilkan sperma, akan tetapi
mereka akan segera menjadi subur.
2. Perubahan Psikologis
1) Periode ini ditandai oleh mulainya tanggung jawab dan asimilasi pengharapan
masyarakat.
2) Remaja dihadapkan pada pengambilan sebuah keputusan seksual, dengan
demikian mereka membutuhkan informasi yang akurat tentang perubahan tubuh,
hubungan dan aktivitas seksual, dan penyakit yang ditularkan melalui aktivitas
seksual.
3) Yang perlu diperhatikan terkadang pengetahuan yang didapatkan tidak
diintegrasikan dengan gaya hidupnya, hal ini menyebabkan mereka percaya kalau
penyakit kelamin maupun kehamilan tidak akan terjadi padanya, sehingga ia
cenderung melakukan aktivitas seks tanpa kehatihatian.
4) Masa ini juga merupakan usia dalam mengidentifikasi orientasi seksual, banyak
dari mereka yang mengalami setidaknya satu pengalaman homoseksual. Remaja
mungkin takut jika pengalaman itu merupakan gambaran seksualitas total mereka,
walaupun sebenarnya anggapan ini tidak benar karena banyak individu terus
berorientasi heteroseksual secara ketat setelah pengalaman demikian.
5) Remaja yang kemudian mengenali preferensi mereka sebagai homoseksual
yang jelas akan merasa kebingungan sehingga membutuhkan banyak dukungan
dari berbagai sumber (Bimbingan Konselor, penasihat spiritual, keluarga, maupun
profesional kesehatan mental).a. Pengaruh Teman Sebaya Teman sebaya
merupakan faktor penguat terhadap pembentukan perilaku remaja termasuk perilaku
seksual pra nikah (Dewi, 2012). Morton dan Farhat (2010) dalam Dewi (2012)
menyatakan bahwa teman sebaya mempunyai kontribusi sangat dominan dari aspek
pengaruh dan percontohan (modelling) dalam berperilaku seksual remaja dengan
pasangannya. Penelitian yang dilakukan oleh Maryatun (2013) mengenai peran
teman sebaya terhadap perilaku seksual pra nikah pada remaja di SMA
6

Muhammadiyah 3 Surakarta bahwa sebagian besar remaja (84%) yang berperilaku


seksual pranikah sebanyak (62%) menyebutkan adanya peran/pengaruh teman
sebaya. Serta remaja yang memperoleh informasi seksualitas dari teman sebaya
akan 19.272 kali berisiko melakukan perilaku seksual pranikah dibandingkan dengan
remaja yang tidak memperoleh peran informasi seksualitas dari teman sebaya
mereka.
Bagi remaja laki-laki maupun perempuan, teman seusia dan sejenis sangat
berarti. Persetujuan atau kesesuaian sikap sendiri dengan sikap kelompok sebaya
adalah sangat penting untuk menjaga status afiliasinya dengan teman-teman,
menjaga agar ia tidak dianggap asing dan menghindari agar tidak dikucilkan oleh
kelompok. Teman sebaya juga merupakan salah satu sumber informasi tentang seks
yang cukup signifikan dalam membentuk pengetahuan, sikap dan perilaku seksual
remaja. Namun, informasi teman sebaya dapat menimbulkan dampak yang negatif.
Pengaruh teman sebaya dapat meningkatkan risiko penggunaan alkohol,
rokok dan narkoba serta niat dan frekuensi dalam hubungan seksual. Sosialisasi
menjelaskan kesamaan antara individu dengan teman sebayanya melalui proses
pendesakan sehingga mempengaruhi perilaku remaja. Sosialisasi remaja dapat
mempengaruhi remaja untuk memiliki persamaan nilai dan perasaan memiliki (sense
of commitment) dalam hubungan dengan sebayanya.
Dengan demikian, peran teman sebaya bagi remaja sangat berarti dalam
memperoleh informasi yang akan mempengaruhi sikap dan perilaku remaja
terhadap isu seksualitas. Hal ini terjadi karena banyak pihak baik remaja, orangtua,
guru, pendidik, pemuka agama dan tokoh masyarakat merasa takut apabila
informasi dan pendidikan seks diberikan pada remaja akan disalahgunakan oleh
remaja. Sehingga remajapun lebih senang bertanya pada teman sebaya yang tidak
lebih baik pengetahuannya dan tidak menerima pendidikan seks yang
bertanggungjawab. Remaja menerima informasi yang salah bahkan menyesatkan
misalnya dari cerita teman, melihat film atau video porno, tayangan televisi,
membaca buku, majalah yang lebih banyak menyajikan seks secara vulgar
dibandingkan pengetahuan pendidikan seksual yang benar (Burgess dkk, 2005).
Penelitian Jaccard dkk (2005) menyatakan bahwa pengaruh kelompok atau teman
sebaya pada individu meningkatan perilaku berisiko.
Peran teman sebaya yang menjadi salah satu motivasi dan pembentukan
identitas diri, bahkan informasi dari teman sebaya bisa menimbulkan dampak
negatif. Penelitian Kim dan Free (2008) menyatakan bahwa teman sebaya
merupakan salah satu sumber informasi yang cukup signifikan dalam membentuk
pengetahuan dikalangan usia remaja namun dapat juga menimbulkan dampak
negatif karena informasi yang mereka peroleh hanya melalui tayangan media seperti
film, VCD, televisi maupun pengalaman sendiri. Peran teman sebaya dalam
mempengaruhi perilaku berisiko Penyakit Menular Seksual didukung oleh
persamaan nilai dan perasaan memiliki sehingga dapat mempengaruhi perilaku. b.
Pengawasan Orang Tua Orang tua merupakan penganggung jawab dari sebuah
keluarga. Orang tua terdiri ayah dan ibu yang mempunyai ikatan perkawinan yang
sah. Pengetahuan kesehatan reproduksi antara orang tua dengan anak perlu
diketahui tingkat intensitas komunikasinya orang tua dan anaknya. Orang tua dan
anak remaja harus mempunyai pengetahuan yang sama tentang pengetahuan
7

reproduksi. Pengetahuan kesehatan reproduksi meliputi perubahan-perubahan yang


terjadi pada diri remaja yang meliputi fisik, psikologi dan sosial. Kesehatan
reproduksi meliputi kehamilan, persalinan, pendidikan seks bagi remaja,
penyimpangan seksual, penyakit menular seksual, HIV dan AIDS, kekerasan
seksual, bahaya narkoba terhadap kesehatan reproduksi. Selain itu termasuk juga
pengaruh sosial dan media terhadap perilaku sosial, kemampuan berkomunikasi,
hak-hak reproduksi dan gender pada diri remaja. Tetapi tingkat pengetahuan
kesehatan reproduksi orang tua dengan anak tidak sama, karena orang tua sudah
mempunyai pengalaman berfungsinya reproduksi sedangkan anak belum
mengalami fungsi reproduksi. Pengetahuan reproduksi orang tua dan anak tidak
hanya dengan praktek tetapi melalui informasi-informasi dari berbagai cara.
Sehubungan dengan itu menurut BKKBN (2012) bahwa orangtua perlu
memperhatikan hal-hal yang berhubungan dengan pengetahun kesehatan
reproduksi baik pengetahuan untuk diri sendiri maupun pengetahuan untuk anak
remajanya. Orang tua perlu memahami kondisi anak remajanya yang sedang
mengalami perubahan-perubahan pada dirinya, yang menyangkut proses
reproduksi. Orang tua harus mempunyai kemampuan memberikan pengetahuan
kesehatan reproduksi kepada anak remajanya, agar memilki informasi proses
reproduksi yang benar. Anak remaja yang tidak memperoleh pengetahuan
kesehatan reproduksi yang benar dari orangtua, mereka akan mencari informasi lain
melalui gambar, teman, film yang menyesatkan.
Dengan informasi yang benar, diharapkan remaja memiliki sikap dan tingkah
laku yang bertanggung jawab khususnya mengenai proses reproduksi. Orang tua
yang baik bagi anak remajanya adalah mempunyai kemampuan dalam
berkomunikasi dan diskusi dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut: (1) orang
tua tidak menggurui, (2) jangan beranggapan bahwa orang tua lebih mengetahui
sesuatu dibandingkan dengan anak remaja, (3) memberikan kesempatan kepada
remaja untuk mengemukakan pandangan dan pendapatnya, (4) memberikan
argumen yang jelas dan masuk akal terhadap suatu persoalan, (5) memberikan
dukungan pada anak apabila memang pantas diberi dukungan, (6) mengatakan
salah kalau memang salah, dengan alasan yang masuk akal menurut pemikiran
mereka, (7) menjadikan anak remaja sebagai teman untuk berdiskusi, bukan
sebagai individu untuk diberitahu. Penelitian Strehl (2010) menyatakan bahwa
lingkungan keluarga yang harmonis dan lingkungan yang positif berhubungan dalam
menurunkan tingkat risiko perilaku berisiko Penyakit Menular Seksual. Orang tua
yang memonitor aktifitas dan lingkungan anak, selalu ikut terlibat dalam kegiatan
dan meningkatkan komunikasinya dengan anaknya behubungan dengan
menurunkan risiko perilaku seksual berisiko pada anak jalanan dan lebih baik pada
keluarga yang religious. Keterlibatan orang tua dan kedekatan keluarga dalam
mendukung pencegahan perilaku berisiko berhubungan dengan penurunan
kehamilan pada remaja. Perilaku seksual berisiko disimpulkan dapat dicegah
dengan dukungan lingkungan keluarga. Dukungan keluarga menjadi kekuatan dalam
mencegah perilaku seksual berisiko pada remaja. Menurut WHO (2012) menyatakan
bahwa komunikasi dengan keluarga atau orang tua memberikan efek kesehatan
yang positif seperti angka kesehatan yang tinggi, kepuasan hidup yang tinggi,
mengurangi keluhan fisik dan psikis serta mengurangi hal-hal negatif.
8

Cukup tidaknya pendidikan agama yang diberikan orang tua terhadap


anaknya, cukup tidaknya kasih sayang dan perhatian yang diperoleh anak, cukup
tidaknya keteladanan yang diterima sang anak dari keluarga dan lain-lain menjadi
hak anak dari orangtuanya. Jika tidak, maka anak akan mencari tempat pelarian di
jalan-jalan sehingga memaksa mereka untuk berperilaku bebas dan terjebak dalam
beperilaku berhubungan seks berisiko. c. Akses Informasi Kemajuan teknologi yang
terjadi pada saat ini telah membawa dampak perubahan bagi masyarakat, baik itu
dampak yang positif maupun dampak negatif.
Kemajuan teknologi menyebabkan komunikasi antar negara menjadi semakin
mudah dan lancar, sehingga kebudayaan luar negeri lebih terasa pengaruhnya.
Dampak yang paling terasa adalah pada tata budaya, moral, dan tata sosial
masyarakat pada umumnya dan pada generasi muda khususnya.
Salah satu masalah yang dihadapi remaja dan menjadi masalah bagi
lingkungannya adalah aktivitas seksual yang akhir-akhir ini nampak menjurus pada
hal-hal negatif. Dikatakan negatif karena para remaja bersikap dan bertingkah laku
yang menyimpang, hal ini dapat dibuktikan dengan adanya berbagai macam perilaku
seksual disalurkan dengan sesama jenis kelamin, dengan anak yang belum cukup
umur, dan sebagainya. Sebagai media informasi, televisi memiliki kekuatan yang
kuat (powerful) untuk menyampaikan pesan. Media ini dapat mengalirkan
pengalaman yang seolaholah dialami sendiri dengan jangkauan yang luas dalam
waktu yang bersamaan. Penyampaian isi pesan seolah-olah langsung antara
komunikator dan komunikan. Namun dalam akhir dekade ini, semua media yang ada
tergusur dengan hadirnya internet. Internet memang membuat kehidupan manusia
lebih mudah. Tanpa harus terjebak macet, tanpa banyak menghabiskan waktu dan
tenaga, serta tidak banyak mengeluarkan biaya.
Penggunaan internet yang makin intensif, mempengaruhi gaya hidup
masyarakat. Dibalik kemudahan, kecanggihan dan kepraktisan internet, ada banyak
sisi negatif yang mengiringinya seperti terbukanya kesempatan siswa SMA untuk
membuka situs-situs porno baik berupa gambar ataupun tulisan berupa cerita-cerita.
Layanan situs porno ini semakin digemari oleh netter dan dapat diakses oleh siapa
saja tanpa batasan usia. Dari tahun ke tahun situs porno ini semakin bertambah
banyak. Gangguan kecanduan Internet adalah sebuah fenomena interdisipliner dan
telah dipelajari dari sudut pandang yang berbeda dalam hal berbagai ilmu seperti
kedokteran, komputer, sosiologi, hukum, etika, dan psikologi (Alavi dkk, 2011).
Dalam dunia komunikasi ada istilah "Sexting" berasal sebagai istilah media yang
umumnya mengacu untuk mengirim gambar seksual melalui pesan teks dan juga
dapat mencakup meng-upload gambar seksual ke situs Web. Sexting telah
menerima perhatian dari para sarjana hukum karena beberapa pemuda
menciptakan dan mendistribusikan gambar yang memenuhi definisi pornografi anak
di bawah undang-undang pidana. Penelitian yang dilakukan di tujuh sekolah di
Texas, pemuda yang melaporkan berbagi foto seksual sendiri lebih cenderung akan
berkencan dan memiliki hubungan seks. Studi ini juga menemukan bahwa sexting
adalah penanda untuk perilaku seksual berisiko untuk perempuan, tapi tidak siswa
laki-laki. Di sisi lain, kalangan siswa SMA peserta dalam Youth Survey Perilaku
Risiko di Los Angeles, sexting secara bermakna dikaitkan dengan menjadi aktif
secara seksual tapi hubungan dengan penggunaan kondom pada seks terakhir
9

adalah batas yang signifikan. Ini akan menunjukkan bahwa berbagi atau posting
seksual gambar mungkin lebih mencerminkan ekspresi seksual yang khas di
hubungan romantis di kalangan remaja (Ybarra dan Mitchell, 2014). Penelitian Carrol
dan Kirkpatrik (2011) menyatakan bahwa penggunaan media merupakan bagian
integral sepanjang hidup di usia remaja, jumlah risiko dihubungkan dengan
penggunaan media sosial, secara spesisfik berefek negatif pada kesehatan.
Bagaimanapun data tentang risiko penggunaan tipe macam sosial media sangat
berisiko pada perilaku mereka.
Media massa merupakan sumber informasi seksual yang lebih penting
dibandingkan orang tua dan teman sebaya, karena media massa memberikan
gambaran yang lebih baik mengenai keinginan dan kebutuhan seksualitas. Media
massa baik cetak maupun elektronik menampilkan tulisan atau gambar yang dapat
menimbulkan imajinasi dan merangsang sesorang untuk mencoba meniru
adegannya. Penelitian Rice dkk (2010) melaporkan bahwa penggunaan internet dan
media lainnya secara positif berpengaruh pada perubahan perilaku seks pada anak
jalanan. Lebih dari 84% usia remaja yang menggunakan internet satu kali dalam
satu minggu lebih berisiko mengalami perubahan perilaku berisiko Penyakit Menular
Seksual. Informasi dari media ataupun teman sebaya belum pasti tingkat
kebenarannya, bahkan cenderung tidak akurat dan keliru. Penyampaian informasi
seksual yang vulgar dan menyesatkan dari media atau teman sebaya dapat
mendorong untuk berperilau seksual berisiko.

D. Perilaku Seks Remaja


a. Perilaku Menurut Skinner seorang ahli psikologi, merumuskan bahwa
perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan
dari luar). Perilaku manusia dari segi biologis adalah tindakan atau aktivitas dari
manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas seperti berjalan,
berbicara, menangis, bekerja dan sebagainya. Dilihat dari bentuk respon terhadap
stimulus, maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
a) Perilaku tertutup (covert behavior) Merupakan respon seseorang terhadap
stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup (covert). Respon atau reaksi
terhadap
stimulus
ini
masih
terbatas
pada
perhatian,
persepsi,
pengetahuan/kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus
tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain.
b) Perilaku terbuka (overt behavior) Merupakan respon seseorang terhadap
stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respon terhadap stimulus ini
sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktik, yang dapat dengan mudah dilihat
oleh orang lain. Teori Lawrence Green (1980) mencoba menganalisis perilaku
manusia berangkat dari tingkat kesehatan. Bahwa kesehatan seseorang dipengaruhi
oleh 2 faktor pokok, yaitu faktor perilaku (behavior causes) dan faktor di luar perilaku
(non behavior causes) yaitu sebagai berikut:
1. Faktor yang mempermudah (presdisposing factor) Yaitu mencakup
pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan
masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, tingkat pendidikan,
tingkat sosial ekonomi, dan sebagainya.
10

2. Faktor pendukung (Enabling factor) Ketersediaan sarana dan prasarana


atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat.
3. Faktor pendorong (Reinforcing factor) Faktor yang memperkuat perubahan
perilaku seseorang yang dikarenakan sikap suami, orang tua, tokoh masyarakat dan
petugas kesehatan.
Menurut Simkins (1984) dalam Sarwono (2010), perilaku seksual adalah
segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenisnya
maupun dengan sesama jenis. Bentuk-bentuk tingkah laku ini bisa bermacammacam, mulai dari membaca buku porno, nonton film porno, perasaan tertarik
sampai tingkah laku berkencan, bercumbu, dan bersenggama. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Rita Damayanti terhadap remaja SLTA di Jakarta
tahun 2008 diperoleh hasil bahwa perilaku pacaran remaja adalah mengobrol,
pegangan tangan, berangkulan, berciuman pipi, berpelukan, berciuman bibir,
meraba-raba dada, meraba alat kelamin, menggesek kelamin, seks oral, dan
hubungan seks.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Gatra bekerja sama Laboratorium Ilmu
Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (LIP FISIP-UI)
menjaring 800 subjek penelitian remaja berusia 15- 22 tahun di Jakarta, Yogyakarta,
Medan, Surabaya, dan Ujungpandang dapat diketahui bahwa subjek penelitian
menunjukkan sikap yang makin permisif (sikap serba boleh) terhadap perilaku seks
gaya modern seperti berpelukan antar lawan jenis, cium pipi, cium bibir, necking
(cium leher atau cupang), meraba-raba, petting, dan senggama. Penelitian tentang
perilaku seksual juga pernah dilaksanakan di luar negeri oleh Sprecher, McKinney,
Walsh, dan Anderson pada tahun 1988 yang kemudian mengkategorikan perilaku
seks menjadi petting (saling menggesekgesekkan alat kelamin), sexual intercourse
(hubungan seksual), dan oralgenital sex (seks oral-genital). Dari penelitian tersebut
didapatkan bahwa petting merupakan perilaku seksual yang paling banyak dapat
diterima oleh subjek, kemudian hubungan seksual dan seks oral.

E. Pengaruh teman sebaya terhadap perilaku seksual pada remaja


Teman sebaya juga mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam
pembentukan perilaku seksual remaja. Dalam penelitian ini didapatkan hasil 0.222
dan berpengaruh positif terhadap perilaku seksual. Bandura (1989) menyatakan
bahwa perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh keteraturan konsekuensi respon.
Konsekuensi respon itu mempengaruhi perilaku terutama melalui nilai informatif dan
insentifnya. Terdapat tiga insentif penting yang berfungsi sebagai sistem pengatur
perilaku, yaitu yang didasarkan pada konsekuensi eksternal (external motivator),
konsekuensi tak langsung (vicarious motivator), dan konsekuensi yang dihasilkan
oleh diri sendiri (self regulatory motivator). Konsekuensi ekternal berpengaruh dalam
memotivasi perpustakaan perilaku (external motivator), konsekuensi tak langsung
(viscarious motivator) apabila orang mengamati perilaku orang lain memungkinkan
pengamat akan meniru perilaku tersebut. Pengamat akan memperoleh informasi
tentang jenis tindakan yang berkemungkinan menimbulkan konsekuensi positif dan
negatif. Pengamat dapat belajar tentang hal-hal yang dapat mengakibatkan rasa
11

senang atau tidak senang. Oleh karena itu, manusia memiliki kemampuan untuk
mengatur perilakunya sendiri (self regulatory motivator). Kemampuan manusia untuk
mempengaruhi perilakunya sendiri secara sengaja melalui konsekuensi yang
dihasilkannya sendiri memberinya kapasitas untuk mengarahkan diri, meskipun
dalam batas-batas reciprocal determinism. Melalui pengamatan, orang
mengembangkan ketrampilan untuk memonitor perilakunya sendiri. Maka dari itu
orang dewasa lainnya, teman dan model simbolik memainkan peranan yang lebih
penting dalam pembentukan sikap dan perilaku. Hal ini sesuai teori yang
dikemukakan oleh (Dewi, 2012) yang berpendapat bahwa teman sebaya merupakan
faktor penguat terhadap pembentukan perilaku remaja termasuk perilaku seksual.
Sedangkan Morton dan Farhat (2010) dalam Dewi (2012) menyatakan bahwa teman
sebaya mempunyai kontribusi sangat dominan dari aspek pengaruh dan
percontohan (modelling) dalam berperilaku seksual remaja dengan pasangannya.
Tetapi hasil penelitian ini berbanding terbalik dengan penelitian yang dilakukan oleh
(Maryatun,2013) mengenai peran teman sebaya terhadap perilaku seksual pranikah
pada remaja di SMA Muhammadiyah 3 Surakarta bahwa sebagian besar remaja
(84%) yang berperilaku seksual pranikah sebanyak (62%) menyebutkan adanya
peran/pengaruh dari teman sebaya. Serta remaja yang memperoleh informasi
seksualitas dari teman sebaya akan 19.272 kali berisiko melakukan perilaku seksual
pranikah dibandingkan dengan remaja yang tidak memperoleh peran informasi
seksualitas dari teman sebaya mereka.

F. Pengaruh pengawasan orang tua terhadap perilaku seksual pada


remaja
Pengawasan orang tua juga ikut andil dalam pembentukan perilaku seksual pada
remaja. Hal ini sesuai teori dari (Baumrind, 2004) yang menyatakan bahwa pola
asuh orang tua merupakan segala bentuk dan proses interaksi yang terjadi antara
orang tua dan anak yang merupakan pola pengasuhan tertentu dalam keluarga yang
akan memberi pengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak. Pola asuh
orangtua memiliki pengaruh penting terhadap perilaku seksual remaja, terutama
berkaitan dengan perilaku seksual pranikah. Nilai-nilai moral, agama, dan normanorma sosial dikenalkan kepada anak melalui interaksi di dalam keluarga.

G. Pengaruh akses informasi terhadap perilaku seksual pada remaja


Variabel akses informasi dalam penelitian ini berpengaruh paling kecil terhadap
perilaku seksual yakni sebesar 0.078. Penelitian ini tidak sejalan dengan survey
yang dilakukan oleh Survei yang dilakukan oleh Yayasan Kita dan Buah Hati (2005)
di Jabodetabek yang didapatkan hasil bahwa akses informasi sangat berperan
dalam pemberian informasi tentang kesehatan reproduksi remaja. Media massa
merupakan informasi seksual yang lebih penting dibandingkan orang tua dan teman
sebaya, karena media massa memberikan gambaran yang lebih baik mengenai
keinginan dan kebutuhan seksualitas. Media massa baik cetak maupun elektronik
yang menampilkan tulisan atau gambar dapat menimbulkan imajinasi dan
merangsang sesorang untuk mencoba meniru adegannya (Wibowo, 2004).
12

Penelitian Carrol dan Kirkpatrik (2011) menyatakan bahwa penggunaan media


merupakan bagian integral disepanjang hidup di usia remaja, jumlah risiko
dihubungkan dengan penggunaan media sosial, secara spesisfik berefek negatif
pada kesehatan. Bagaimanapun data tentang risiko penggunaan tipe macam sosial
media sangat berisiko pada perilaku mereka. Media massa merupakan sumber
informasi seksual yang lebih penting dibandingkan orang tua dan teman sebaya,
karena media massa memberikan gambaran yang lebih baik mengenai keinginan
dan kebutuhan seksualitas. Media massa baik cetak maupun elektronik
menampilkan tulisan atau gambar yang dapat menimbulkan imajinasi dan
merangsang sesorang untuk mencoba meniru adegannya. Penelitian Rice dkk
(2010) melaporkan bahwa penggunaan internet dan media lainnya secara positif
berpengaruh pada perubahan perilaku seks pada anak jalanan. Lebih dari 84 % usia
remaja yang menggunakan internet satu kali dalam satu minggu atau lebih berisiko
mengalami perubahan perilaku berisikoPenyakit Menular Seksual. Informasi dari
media ataupun teman sebaya belum pasti tingkat kebenarannya, bahkan cenderung
tidak akurat dan keliru. Penyampaian informasi seksual yang vulgar dan
menyesatkan dari media atau teman sebaya dapat mendorong untuk berperilau
seksual berisiko.

BAB III
PENUTUP
13

A. Kesimpulan
1. Pengetahuan tentang kesehatan reproduksi, IMS dan HIV/AIDS berpengaruh
signifikan terhadap perilaku seksual pada remaja.
2. Sikap terhadap seksualitas berpengaruh signifikan terhadap perilaku seksual
pada remaja
3. Teman sebaya berpengaruh signifikan terhadap perilaku seksual pada remaja.
tua berpengaruh positif dan signifikan terhadap perilaku seksual pada remaja
4. Akses informasi berpengaruh signifikan terhadap perilaku seksual pada remaja
Maka kesimpulannya Semakin positif nilai faktor personal dan faktor
lingkungan, maka semakin positif perilaku seksual pada remaja.

DAFTAR PUSTAKA

14

Ahmadi, H.A. 2007. Psikologi Sosial (Edisi Revisi). Jakarta: Rineka Cipta.
Alavi, S.S., Maracy M.R., Jannatifard., Eslami M. 2011. The effect of
psychiatric symptoms on the internet addiction disorder in Isfahan's University
students. Journal of Research in Medical Sciences. 16(6): 793800
Asfriyati, dkk. 2004. Prilaku Seksual Remaja Santri di Pesantren Purba Baru
Tapanuli Selatan serta Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya (Laporan Penelitian
Dosen Muda)..

15

Anda mungkin juga menyukai