Anda di halaman 1dari 3

GENERASI MILENIAL DAN BAYANG-BAYANG PENYAKIT MENTAL

Oleh: Mafia Firshada, S.Pd


*Pendidik di SMA Al Izzah Batu

Muda, cantik, tampan, berbakat, dan tenar namun akhir hidupnya tragis.
Tanggal 14 Oktober 2019 publik di Indonesia dikejutkan dengan berita kematian
publik figur di Korea Selatan, Sulli. Selang sebulan, tepatnya 24 November 2019,
publik kembali dikejutkan dengan kematian aktris muda Go Hara di usia 28
tahun. Belum reda kekagetan netizen, sekali lagi berita kematian Cha In ha (27
tahun) di 3 Desember 2019 lalu menjadi headline di berita luar negeri dan dalam
negeri. Berita ini tentu mengundang kehebohan netizen Indonesia, pasalnya
para aktris dan aktor berbakat yang digemari baik di negeri ginseng dan di
Indonesia tersebut diduga mengakhiri hidupnya sendiri karena depresi, di usia
muda. Usia produktif dimana seseorang sedang gencar-gencarnya menambah
pengalaman dan prestasi. Tentu, hal ini memunculkan pertanyaan mengapa
aktris/aktor yang memiliki segudang prestasi itu mengalami depresi?
Peristiwa yang bertubi-tubi ini cukup menyentak perhatian. Kurangnya
edukasi terhadap masalah kesehatan mental, membuat penyakit ini sering
diabaikan. Berdasarkan data dari WHO, sebanyak 29% penduduk dunia terdiri
dari remaja, dan 80% diantaranya tinggal di negara berkembang rawan terkena
penyakit mental. Remaja merupakan individu yang unik dengan segala proses
perkembangannya. Masa remaja adalah masa dalam rentang kehidupan yang
dipenuhi dengan berbagai perubahan dan dinamika. Mulai perubahan fisik-
biologis yang secara natural sampai pada perubahan gejolak psikologis. Gejolak
psikologis ini juga akan dipicu dengan perkembangan pesat globalisasi era
modern.

Bicara tentang kesehatan mental, Ririn Nasriati dalam jurnal Kesehatan Jiwa
Remaja (2019) menjelaskan, terdapat beberapa jenis gangguan mental yang
banyak terjadi pada remaja. Ada gangguan cemas (ansietas) atau biasa disebut
perasaan gelisah berlebihan. Fobia sosial ditemukan lebih banyak menyerang
remaja, khususnya remaja perempuan. Gangguan mood (mood swing),
gangguan mental disebabkan gejolak perubahan naik turun perasaan yang
menyebabkan depresi, istilah yang populer untuk gangguan ini adalah bipolar
disorder. Gangguan psikotik dampak peristiwa masa lalu yakni skizofrenia, yang
menunjukkan bahwa penderita akan mengalami berbagai halusinasi. Gangguan
FoMO, gangguan ini pertama kali dikemukakan oleh ilmuwan asal Inggris
bernama dr. Andrew K. Przybylski. Menurutnya, FoMO merupakan dorongan
berlebihan untuk mengikuti tren media sosial. Penderita gangguan FoMO sangat
takut, cemas jika tertinggal informasi di media sosial dan terobsesi dengan
postingan atau status orang lain.

Jika ditelisik lebih jauh, banyak faktor krusial yang menjadi pemicu
gangguan mental baik secara internal maupun eksternal. Faktor pemicu internal
diantaranya adanya perubahan mood (mood swing) yang drastis dikarenakan
beban pekerjaan rumah, pekerjaan sekolah, atau kegiatan sehari-hari.
Perubahan kesadaran diri yang dramatis membuat remaja menjadi rentan
terhadap pendapat atau kritikan. Sehingga anggapan tersebut membuat remaja
terfokus pada citra diri. Remaja cenderung haus akan ketenaran dan pusat
perhatian. Persepsi inilah yang menjadikan remaja terobsesi pada perhatian,
menjadi tidak mendasar. Ketika remaja dihadapkan pada kehidupan nyata, maka
akan timbul friksi dan tindakan impulsif yang mungkin berdampak pada akibat
jangka panjang.

Faktor pemicu ekternal bisa berasal dari faktor pola asuh dan faktor
lingkungan. Perilaku bully baik secara verbal atau nonverbal sangat mudah
memicu gangguan mental pada remaja. Pola asuh remaja akan memengaruhi
rasa percaya diri dan proses pembentukan citra diri. Pola asuh berkaitan juga
kondisi keluarga, ikatan emosional juga dapat membentuk resistensi psikis
seorang remaja. Selain pola asuh, lingkungan juga memengaruhi kesehatan
mental remaja.

Lingkungan sekolah akan membentuk perkembangan jiwa seorang remaja


dalam hal kedisiplinan, budaya sekolah, pengendalian diri, dan bimbingan guru.
Sekolah sebagai rumah kedua bagi remaja harus mampu menjadi tempat
pencarian jati diri remaja. Lingkungan teman sebaya sangat berpengaruh pada
mental remaja. Mengingat usia ini yang terobsesi akan ketenaran dan pusat
perhatian. Jadi, dapat dimengerti jika pendapat teman lebih didengar
dibandingkan dengan keluarga. Lingkungan masyarakat berpengaruh terhadap
perkembangan jiwa remaja dari segi sosial budaya dan media sosial.

Di zaman serba online ini, semua muatan informasi di penjuru dunia dapat
dengan mudah diakses, hal ini seperti layaknya dua mata pisau. Kemudahan
informasi memberikan sisi positif kepada remaja yang haus akan informasi.
Namun, kemudahan ini juga dapat membentuk pergesaran budaya yang
berakibat pula pada pergeseran nilai kehidupan. Pergesaran nilai inilah yang
memicu penyimpangan perilaku dan penyimpangan psikis. Jika remaja tidak siap
menghadapi gelombang kenyataan ini maka tidak mengejutkan jika mereka
ketika depresi lebih memilih jalan pintas, yakni bunuh diri.

Sudah saatnya, generasi milenial yang menghadapi efek globalisasi mulai


peduli pada kesehatan fisik dan mental. Segala bentuk kondisi gangguan mental
bukan hal yang mustahil untuk dihindari. Banyak cara agar remaja bisa terhindar
dari gangguan penyakit mental. Hal tersebut bisa dimulai dari menjalin hubungan
baik dengan keluarga. Dukungan dan perhatian dari keluarga akan membuat
anak remaja menjadi bahagia. Sehingga akan meminimalisisr konflik.
Mendekatkan diri pada Tuhan. Kunci penting dalam kehidupan adalah iman.
Karena iman ini yang akan menjadi kunci menjaga ketenangan batin. Orang
yang beriman cenderung hidup lebih teratur, dan menghindarkan diri perbuatan
yang membahayakan kesehatan fisik dan mental.

Peran sekolah sebagai lembaga pembentuk jati diri anak sangat diperlukan.
Sinergi yang baik antarwali kelas, guru BK, dan orang tua akan menjadi pagar
pengaman yang baik untuk mencegah ganguan mental. Komunikasi kedua belah
pihak dan hubungan simbiosis mutualisme akan menjadi jembatan bagi remaja
untuk menghindari depresi dan keinginan menyelesaikan masalah secara
impulsif atau jalan pintas.
Berpikir positif, menerima keadaan, dan belajar dari kegagalan. Meyakinkan
dan mendampingi remaja untuk bersikap ikhlas terhadap apa yang sudah
dimiliki dan dicapai. Mengajarkan remaja untuk menerima kekalahan dan
kegagalan. Serta mengingatkan mereka untuk tidak mudah putus asa, atau
menyerah pada keadaan. Jika ini dipupuk dengan baik di pikiran remaja, maka
remaja akan tumbuh menjadi pribadi yang terus belajar dan berusaha
memperbaiki kesalahan.

Pendampingan orang tua kepada remaja saat mengakses media sosial juga
sangat dibutuhkan. Jangan sampai, remaja lebih banyak menghabiskan waktu
menjelajah dunia maya dan mengabaikan kehidupan nyata. Buat remaja
menikmati momen yang mereka jalani. Sibukkan anak-anak Anda dengan
aktivitas dan hobi yang postif. Dari penuhnya rasa syukur, hangatnya jalinan
keluarga, dan sibuknya remaja pada hal-hal yang positif tentu bayang-bayang
gangguan mental pada kaum milenial ini akan terhindarkan.

Anda mungkin juga menyukai