Anda di halaman 1dari 6

Karakteristik Perkembangan Sosial Anak, Remaja, dan Dewasa

Pada usia ini anak mulai memiliki kesanggupan menyesuaikan diri sendiri (egosentris) kepada
sikap yang kooperatif (bekerja sama) atau sosiosentris (mau memperhatikan kepentingan orang
lain). Berkat perkembangan sosial anak dapat menyesuaikan dirinya dengan kelompok teman
sebayanya maupun dengan lingkungan masyarakat sekitarnya. Dalam proses belajar di sekolah,
kematangan perkembangan sosial ini dapat dimanfaatkan atau dimaknai dengan memberikan
tugas-tugas kelompok, baik yang membutuhkan tenaga fisik maupun tugas yang membutuhkan
pikiran. Hal ini dilakukan agar peserta didik belajar tentang sikap dan kebiasaan dalam bekerja
sama, saling menghormati, dan bertanggung jawab. Pada masa remaja berkembang social
cognition, yaitu kemampuan untuk memahami orang lain. Remaja memahami orang lain sebagai
individu yang unik, baik menyangkut sifat pribadi, minat, nilai-nilai, maupun perasaannya. Pada
masa ini juga berkembang sikap conformity, yaitu kecenderungan untuk menyerah atau megikuti
opini, pendapat, nilai, kebiasaan, kegemaran atau keinginan orang lain (teman sebaya). Apabila
kelompok teman sebaya yang diikuti menampilkan sikap dan perilaku yang secara moral dan
agama dapat dipertanggung jawabkan, maka kemungkinan besar remaja tersebut akan
menampilkan pribadinya yang baik. Sebaliknya, apabila kelompoknya itu menampilkan sikap
dan perilaku yang melecehkan nilai-nilai moral maka sangat dimungkinkan remaja akan
melakukan perilaku seperti kelompoknya tersebut. Selama masa dewasa, dunia sosial dan
personal dari individu menjadi lebih luas dan kompleks dibandingkan dengan masa-masa
sebelumnya. Pada masa dewasa ini, individu memasuki peran kehidupan yang lebih luas. Pola
dan tingkah laku sosial orang dewasa berbeda dalam beberapa hal dari orang yang lebih muda.
Perbedaan tersebut tidak disebabkan oleh perubahan fisik dan kognitif yang berkaitan dengan
penuaan, tetapi lebih disebabkan oleh peristiwa-peristiwa kehidupan yang dihubungkan dengan
keluarga dan pekerjaan. Selama periode ini, orang melibatkan diri secara khusus dalam karir,
pernikahan, dan hidup berkeluarga. Menurut Erikson (1963), perkembangan psikososial selama
masa dewasa dan tua ini ditandai dengan tiga gejala penting, yaitu keintiman, generatif, dan
integritas.

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perkembangan Sosial Perkembangan sosial manusia


dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu keluarga, kematangan anak, status sosial ekonomi
keluarga, tingkat pendidikan, dan kemampuan mental terutama emosi dan inteligensi.

Keluarga Keluarga merupakan lingkungan pertama yang memberikan pengaruh terhadap


berbagai aspek perkembangan anak, termasuk perkembangan sosialnya. Kondisi dan tata cara
kehidupan keluarga merupakan lingkungan yang kondusif bagi sosialisasi anak. Di dalam
keluarga berlaku norma-norma kehidupan keluarga, dan dengan demikian pada dasarnya
keluarga merekayasa perilaku kehidupan anak. Proses pendidikan yang bertujuan
mengembangkan kepribadian anak lebih banyak ditentukan oleh keluarga. Pola pergaulan dan
bagaimana norma dalammenempatkan diri terhadap lingkungan yang lebih luas ditetapkan dan
diarahkan oleh keluarga.
Kematangan Anak Bersosialisasi memerlukan kematangan fisik dan psikis. Untuk mampu
mempertimbangkan hubungan dalam proses sosial, memberi dan menerima pendapat orang lain,
memerlukan kematangan intelektual, dan emosional. Di samping itu, kemampuan berbahasa ikut
pula menentukan. Dengan demikian, untuk mampu bersosialisasi dengan baik diperlukan
kematangan fisik sehingga setiap orang fisiknya telah mampu menjalankan fungsinya dengan
baik.

Status Sosial Ekonomi Kehidupan sosial banyak dipengaruhi oleh kondisi atau status kehidupan
sosial keluarga dalam lingkungan masyarakat. Masyarakat akan memandang anak, bukan sebagai
anak yang independen, akan tetapi akan dipandang dalamkonteksnya yang utuh dalam keluarga
anak itu. Perkataan “ia anak siapa”, secara tidak langsung dalam pergaulan sosial anak,
masyarakat dan kelompoknya, serta memperhitungkan norma yang berlaku di dalam
keluarganya. Dari pihak anak itu sendiri, perilakunya akan banyak memperhatikan kondisi
normatif yang telah ditanamkan oleh keluarganya. Sehubungan dengan itu, dalam kehidupan
sosial anak akan senantiasa “menjaga” status sosial dan ekonomi keluarganya. Dalam hal
tertentu, maksud “menjaga status sosial keluarganya” itu mengakibatkan menempatkan dirinya
dalam pergaulan sosial yang tidak tepat. Hal ini dapat berakibat lebih jauh yaitu anak menjadi
“terisolasi” dari kelompoknya. Akibat lain mereka akan membentuk kelompok elit dengan
normanya sendiri.

Perkembangan Emosional Pada Masa Remaja

Masa remaja adalah masa yang berapi-api, dimana di masa ini emosi yang dimiliki baru mulai
beradaptasi untuk mencari jati diri yang sebenarnya. Emosional yang dimiliki pun banyak
pengaruhnya, seperti pengaruh hormon, lingkungan keluarga, masyarakat, dll.

Perkembangan manusia ditandai oleh meningkatnya atau menurunnya kemampuan berbicara,


emosional, kecerdasan, dan ketangkasan. Pada perkembangan ini bisa kita ambil kesimpulan
bahwa setiap periode usia manusia memiliki kemampuan yang berbeda. Kemampuan tersebut
bisa berasal dari faktor genetik serta faktor usia perkembangannya.

Mari kita bahas perkembangan emosional pada masa remaja.

Seperti yang kita ketahui bahwa perkembangan emosional, selalu mengalami perubahan pada
setiap masanya. Peralihan emosi paling signifikan terjadi pada masa anak usia 12-17 tahun atau
perpindahan masa sekolah dasar dengan sekolah menengah keatas. Pada masa ini emosi anak
tidak stabil, terkadang cenderung seperti anak-anak terkadang seperti anak dewasa.
Masa remaja merupakan puncak emosional, karena masa anak tersebut adalah masa dimana anak
tersebut memulai merasakan emosi yang baru. Emosi yang dirasakan seperti berikut:

 Amarah, meliputi sensitif, ngamuk, tersinggung.


 Kesedihan, meliputi kesepian, melankonis, depresi.
 Malu, meliputi menyesal, rasa bersalah.
 Cinta, meliputi kasmaran, kasih sayang.
 Ketakutan, meliputi gugup, cemas, waswas.
 Kenikmatan, meliputi Bahagia, gembira, ngeri.
Banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan emosinal pada remaja, seperti:

1. perubahan jasmani, diakibatkan hormon.


2. pola interaksi lingkungan,
- lingkungan keluarga sangat berpengaruh pada emosional remaja, jika remaja tersebut memiliki
keluarga yang baik, maka akan terbentuk suatu emosi yang terkontrol. Begitupun sebaliknya jika
remaja memiliki keluarga yang memiliki sifat keras, akan berdampak negatif pada emosi anak
tersebut.

- lingkungan sekolah, interaksi pertemanan yang berubah mengakibatkan emosional seseorang


akan berubah mengikuti lingkungan tersebut.

3. perubahan pandangan luar, globalisasi yang terjadi sangat terpengaruh oleh internet. Dari
internet ini semua perlakuan atau sudut pandang dari berbagai macam manusia bertemu. Serta,
para pengguna remaja tersebut cenderung mengikuti apa yang ia sukai.

Moral Perkembangan Remaja

1) Remaja awal (Early adolescence) Tahapan usia remaja awal ini antara usia 12-15 tahun. Pada
tahap ini remaja masih terheran-heran akan perubahan - perubahan yang terjadi pada tubuhnya
sendiri dan dorongan-dorongan yang menyertai perubahan-perubahan itu. Mereka
mengembangkan pikiran-pikiran baru dan adanya ketertarikan terhadap lawan jenis.

2) Remaja madya (Middle adolescence) Tahapan usia remaja awal ini antara usia 15-18 tahun.
Pada tahap ini remaja sangat membutuhkan kawankawan dan adanya kecederungan untuk
narsistik.

3) Remaja akhir (Late adolescence) Tahap ini adalam masa konsolidasi melalui periode dewasa
dan ditandai dengan pencapaian di bawah ini :

a. Minat yang makin mantap terhadap fungsi-fungsi intelektual.


b. Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang lain dan pengalaman baru.

c. Terbentuk identitas sosial yang sudah tidak akan berubah lagi.

d. Egosentrisme diganti dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dan orang lain.

e. Tumbuh “dinding” yang memisahkan diri pribadinya dan masyarakat umum. Berdasarkan
beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa masa remaja adalah masa transisi dari masa
anak-anak menuju dewasa, yang dimulai pada saat anak matang secara seksual dan berakhir
setelah anak matang secara hukum serta anak bisa berintegrasi dengan masyarakat dewasa.

Kohlberg (dalam Budiningsih, 2004) menguraikan proses perkembangan moral sebagai berikut :
a) Perkembangan moral terjadi secara bertahap, setiap tahap, merupakan kemampuan alih peran
orang lain dalam situasi sosial, b) Dalam proses perkembangan moral, lingkungan sosial
mempunyai peran, yaitu memberi kesempatan alih peran, c) Dalam proses ini individu bersifat
aktif, yaitu aktif menyusun struktur persepsinya tentang lingkungannya, d) Tahap-tahap
perkembangan moral adalah hasil interaksi antara sturktur persepsi individu dengan struktur
gejala lingkungan yang ada, e) Dalam interaksi itu terjadi bentuk-bentuk keseimbangan yang
berurutan, f) Keseimbangan itu disebut sebagai tingkat keadilan, g) Jika ada perubahan struktur
gejala-gejala baik dalam diri individu maupun dalam lingkungan, maka terjadi
ketidakseimbangan h) Situasi ketidakseimbangan ini memerlukan perubahan struktur keadilan
yang baru ke tingkat penyesuaian yang optimal atau tingkat perkembangan moral yang lebih
tinggi. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan, bahwa perkembangan moral terjadi secara
bertahap dengan kemampuan alih peran dan situasi sosial. Setiap situasi memiliki keseimbangan
dan ketidakseimbangan yang memerlukan tingkat penyesuaian yang optimal atau tingkat
perkembangan moral yang tinggi.

Tahap-tahap Perkembangan Moral Kohlberg (1995), membagi perkembangan moralitas ke


dalam 3 tingkatan yang masing-masing dibagi menjadi 2 tahapan sehingga keseluruhan menjadi
6 tahap, sebagai berikut:

a. Tingkat Pra-Konvensional Tingkat Pra-Konvensional (Pre-Conventional) adalah


tingkatan terendah dalam perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkat ini
seseorang akan tanggap terhadap aturan-aturan dan penilaian baik atau buruk
dalam rangka maksimalisasi kenikmatan atau akibat-akibat fisik dari tindakannya
(hukuman fisik, penghargaan, tukar-menukar kebaikan). Tingkat ini dibagi 2
tahap, yaitu:

Tahap 1. Orientasi hukuman dan kepatuhan (sekitar 0-7 tahun) Pada tahap ini, baik atau
buruknya suatu tindakan ditentukan oleh akibatakibat fisik yang akan dialami, tindakan benar
bila tidak dihukum dan salah bila perlu dihukum, sedangkan arti atau nilai manusiawi tidak
diperhatikan. Seseorang harus patuh pada otoritas karena otoritas berkuasa.
Tahap 2. Orientasi relativis-instrumental (sekitar 10 tahun) Pada tahap ini, perbuatan yang
dinggap benar adalah perbuatan yang merupakan cara atau alat untuk memuaskan kebutuhannya
sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang lain. Hubungan antar manusia dipandang
seperti hubungan ditempat umum. Terdapat unsur kewajaran, timbal-balik dan persamaan
pembagian dan bukan soal kesetiaan, rasa terima kasih dan keadilan.

b. Tingkat Konvensional Tingkat konvensional (Conventional reasoning)adalah


tingkatan kedua, atau menengah dari teori perkembangan moral Kohlberg. Pada
tingkat ini orang hanya menuruti harapan keluarga, kelompok, atau masyarakat.
Semuanya itu dipandang sebagai hal yang bernilaidalam dirinya sendiri tanpa
mengindahkan akibat yang bakal muncul. Karena jika menyimpang dari
kelompok ini akan terisolasi. Maka itu, kecenderungan orang pada tahap ini
adalah menyesuaikan diri dengan aturan-aturan masyarakat. Tingkatan ini terbagi
dari 2 tahap, yaitu:

Tahap 1. Orientasi anak yang baik atau anak manis (sekitar usia 13 tahun) Pada tahap ini,
perilaku yang dipandang baik adalah perilaku yang menyenangkan dan membantu orang lain
serta yang disetujui oleh masyarakat. Orang cenderung bertindak menurut harapan-harapan
lingkungan sosialnya, hingga mendapat pengakuan sebagai “orang baik”. Tujuaan utamanya,
demi hubungan sosial yang memuaskan, maka ia pun harus berperan sesuai dengan harapan-
harapan keluarga, masyarakat atau bangsanya.

Tahap 2. Orientasi ketertiban masyarakat dan aturan sosial (sekitar 16 tahun) Pada tahap ini
tindakan seseorang didorong oleh keinginannya untuk menjaga tata tertib sosial, otoritas dan
aturan yang tetap. Tingkah laku yang baik adalah memenuhi kewajiban, mematuhi hukum,
menghormati otoritas, dan menjaga tertib sosial merupakan tindakan moral yang baik pada
dirinya.

c. Tingkat Pasca-Konvensional Tingkat Pasca-Konvensional adalah tingkatan


tertinggi dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkat ini, orang
bertindak sebagai subjek hukum dengan mengatasi hukum yang ada. Orang sadar
pada tahap ini sadar bahwa hukum merupakan kontrak sosial demi ketertiban dan
kesejahteraan umum, maka jika hukum tidak sesuai dengan martabat manusia,
hukum dapat dirumuskan kembali. Perasaan yang muncul pada tahap ini adalah
rasa bersalah dan yang menjadi ukuran keputusan moral adalah hati nurani.
Tingkatan ini terbagi dari 2 tahap, yaitu:

Tahap 1. Orientasi Kontrak sosial (Dewasa awal) Tindakan yang benar pada tahap ini cenderung
ditafsirkan sebagai tindakan yang sesuai dengan kesepakatan umum. Dengan demikian orang ini
menyadari relativitas nilai-nilai pribadi dan pendapat-pendapat pribadi. Ada kesadaran yang jelas
untuk mencapai konsensus lewat peraturanperaturan prosedural. Di samping menekankan
persetujuan demokratis dan konstitusional, tindakan benar juga merupakan nilai-nilai atau
pendapat pribadi. Akibatnya, orang pada tahapan ini menekankan pandangan legal tapi juga
menekankan kemungkinan mengubah hukum lewat pertimbangan rasional. Ia menyadari ada
yang mengatasi hukum, yaitu persetujuan bebas antara pribadi. Jika hukum menghalangi
kemanusiaan, maka hukum dapat diubah.

Tahap 2. Orientasi prinsip dan etika universal (Masa dewasa) Pada tahap ini orang tidak hanya
memandang dirinya sebagai subjek hukum, tetapi juga sebagai pribadi yang harus dihormati.
Tindakan yang benar adalah tindakan yang berdasarkan keputusan yang sesuai dengan suara hati
dan prinsip moral universal. Prinsip moral ini abstrak dan etis, bukan merupakan peraturan moral
konkret. Pada dasarnya inilah prinsipprinsip universal keadilan, resioprositas, persamaan hak
asasi manusia, serta rasa hormat kepada manusia sebagai pribadi.

Berdasarkan tingkatan dan tahapan perkembangan moral, Kohlberg menerjemahkan ke dalam


motif-motif individu dalam melakukan perbuatan moral sesuai dengan tahap perkembangan
moral, yaitu tingkat pra-konvensional, konvensional dan pasca konvensional.

Faktor-faktor Perkembangan Moral Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan moral


adalah lingkungan. Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap perkembangan moral individu
mencakup aspek psikologis, sosial, budaya, dan fisik baik yang terdapat dalam lingkungan
keluarga, sekolah maupun masyarakat. Kondisi psikologis, pola interaksi, pola kehidupan
beragama, berbagai sarana rekreasi yang tersedia dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan
masyarakat akan mempengaruhi perkembangan moral yang tumbuh dan berkembang di
dalamnya (dalam Ali M & Asrori M, 2011).

Anda mungkin juga menyukai