Disusun oleh:
Heni Lestari 1710711011
Defina Ramandhani 1710711012
Ariyana Pramitha H 1710711013
Arkianti Putri 1710711019
Jesy Milanti 1710711021
Ganis Eka Madani 1710711024
Nurul Fatihah Auliani 1710711076
Husna Maharani 1710711078
Riski Dwiana 1710711080
Ghina Regiana 1710711082
B. KLASIFIKASI
Dalam berinteraksi sosial anak autistik dikelompokan atas 3 kelompok yaitu:
1. Kelompok Menyendiri
Terlihat menghindari kontak fisik dengan lingkungannya
Bertedensi kurang menggunakan kata-kata, dan kadang-kadang sulit
berubah meskipun usianya bertambah lanjut. Dan meskipun ada ada
perubahan, mungkin hanya bisa mengucapkan beberapa patah kata yang
sederhana saja.
Menghabiskan harinya berjam-jam untuk sendiri, dan kalu berbuat sesuatu,
akan melakukannya berulang-ulang.
Gangguan perilaku pada kelompok anak ini termasuk bunyi-bunyi aneh,
gerakan tangan, tabiat yang mudah marah, melukai diri sendiri, menyerang
teman sendiri, merusak dan menghancurkan mainannya.
2. Kelompok Anak Autisme yang Pasif
Lebih bisa bertahan dengan kontak fisik, dan agak mampu bermain dengan
kelompok teman bergaul dan sebaya, tetapi jarang sekali mencari teman
sendiri.
Mempunyai perbendaharaan kata yang lebih banyak meskipun masih agak
terlambat bisa berbicara dibandingkan dengan anak sebaya.
Kadang-kadang malah lebih cepat merangkai kata meskipun kadang-kadang
pula dibumbui kata yang kurang dimengerti.
Kelompok pasif ini masih bisa diajari dan dilatih dibandingkan dengan anak
autisme yang menyendiri dan yang aktif tetapi menurut kemauannya sendiri.
3. Kelompok Anak Autisme yang Aktif Tetapi Menurut Kemauannya Sendiri
Kelompok ini seperti bertolak belakang dengan kelompok anak autisme yang
menyendiri karena lebih cepat bisa bicara dan memiliki perbendaharaan kata
yang paling banyak
Meskipun dapat merangkai kata dengan baik, tetapi tetap saja terselip kata-kata
yang aneh dan kurang dimengerti.
Masih bisa ikut berbagi rasa dengan teman bermainnya.
Dalam berdialog, seringmengajukan pertanyaan dengan topik yang menarik,
dan bila jawaban tidak memuaskan atau pertanyaannya dipotong, akan bereaksi
sangat marah.
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
3. Suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulang dalam perilaku, minat dan kegiatan.
Sedikitnya harus ada satu dari gejala sbb:
a. Mempertahankan satu minat atau lebih dengan cara yang sangat khas dan berlebih-
lebihan
b. Terpaku pada suatu kegiatan yang ritualistik atau rutinitas yang tidak ada gunanya
c. Ada gerakan-gerakan yang aneh yang khas dan diulang- ulang
d. Seringkali sangat terpukau pada bagian-bagian benda
B) Sebelum umur tiga tahun tampak adanya keterlambatan atau gangguan dalam bidang (1)
interaksi sosial, (2) bicara dan berbahasa, dan (3) cara bermain yang kurang variatif
C) Bukan disebabkan oleh Sindroma Rett atau Gangguan Disintegratif Masa Anak-anak
Sebenarnya dengan mempelajari kriteria diagnostik dari DSM-IV ini, para orang tua sudah bisa
mendiagnosis anaknya sendiri apakah anak tersebut termasuk penyandang autisme. Gejala-
gejala tersebut seharusnya sudah tampak jelas sebelum anak mencapai usia tiga tahun. Pada
sebagian besar anak sebenarnya gejala ini sudah mulai ada sejak lahir. Seorang ibu yang
berpengalaman dan cermat akan bisa melihat betapa bayinya yang berumur beberapa bulan
sudah menolak menatap mata, lebih senang main sendiri serta tidak responsif terhadap suara
ibunya. Hal ini semakin lama semakin jelas bila anak kemudian bicaranya tidak berkembang
secara normal. Sebagian anak kecil sudah sempat berkembang secara normal, namun sebelum
berumur tiga tahun terjadi perhentian perkembangan kemudian mengalami kemunduran yang
drastis dan akhirnya timbul gejala-gejala autisme yang lain (Budhiman, 1997; Sunartini, 2000).
D. PENATALAKSANAAN
Noviza (2004:9) mengungkapkan bahwa metode yang dapat digunakan terhadap
penderita autisme akibat dari kesalahan bentuk perilaku sosial dapat dilakukan dengan
metode terapi:
1. Metode terapi Applied Behavioral Analysis (ABA) adalah jenis terapi yang telah lama
di pakai, telah dilakukan penelitian dan didesain khusus anak-anak penyandang
autisme. Metode yang di pakai dalam terapi ini adalah dengan memberi pelatihan
khusus pada anak dengan memberikan positive reinforcemet (hadiah/pujian)
2. Metode terapi TEACH adalah Treatment and education of autisticand related
communication handicapped children, yaitu suatu metode yang dilakukan untuk
mendidik anak autis dengan menggunakan kekuatan relatifnya pada hal terstruktur dan
kesenangannya pada ritinitas dan halhal yang dapat diperkirakan dan relatif mampu
berhasil pada lingkungan yang visual dibanding yang auditori. (Noviza, 2005: 42)
Sedangkan menurut Dr. Handojo (2004: 9) penanganan terpadu yang dilakukan pada
penderita autisme dapat dilakukan dengan menggunakan terapi:
a. Terapi perilaku
Terapi perilaku digunakan untuk mengurangi perilaku yang tidak lazim.
Terapi perilaku ini dapat dilakukan dengan cara terapi okuvasi, dan terapi wicara.
Terapi okuvasi dilakukan dalam upaya membantu menguatkan, memperbaiki dan
menibngkatkan keterampilan ototnya. Sedangkan terapi wicara dapat
menggunakan metode ABA (Applied Behaviour Analysis).
b. Terapi Biomedik
Terapi biomedik yaitu dengan cara mensuplay terhadap anak-anak autis
dengan pemberian obat dari dokter spesialis jiwa anak. Jenis obat, food suplement
dan vitamin yang sering dipakai saat in adalah risperidone, ritalin, haloperidol,
pyrodoksin, DMG, TMG, magnesium, Omega-3, dan Omega-6 dan sebagainya.
c. Terapi Fisik
Fisioterapi bagi anak-anak autis bertujuan untuk mengembangkan,
memelihara, dan mengembalikan kemampuan maksimal gerak dan fungsi anggota
tubuh sepoanjang kehidupannya. Dalam terapi ini, terapis harus mampu
mengembangkan seoptimal mungkin kemampuan gerak anak, misalnya gerakan
meneukuk kaki, menekuk tangan, membungkuk berdiri seimbang, berjalan hingga
berlari.
d. Terapi sosial
Dalam terapi sosial, seorang terapis harus membantu memberikan fasilitas
pada anak-anak autis utnuk bergaul dengan teman-teman sebayanya dan mengajari
cara-caranya secara langsung, karena biasanya anak-penyandang autis memiliki
kelemahan dalam bidang komunikasi dan interaksi.
e. Terapi bermain
Terapi betrmain bertujuan agar anak-anak autis selalu memiliki sikap yang
riang dan gembira terutama dalam kebersamannya dengan temanteman sebayanya.
Hal ini sangat berguna untuk membantu anak autisme dapat bersosialisasi dengan
anak-anak yang lainnya.
f. Terapi perkembangan
Dalam terapi perkembangan, anak akan dipelajari minatnya, kekuatannya
dan tingkat perkembangannya, kemudian ditingkatkan kemampuan sosial,
emosional dan intelektualnya sampai benar-benar anak tersebut mengalami
kemajuan sampai dengan interaksi simboliknya.
g. Terapi visual
Terapi visual, bertujuan agar anak-anak autis dapat belajar dan
berkomunikasi dengan cara melihat (visual learner) gambar-gambar yang unik dan
disenangi. Misalnya dengan metode PECS (Picture Exchange Communication
System).
h. Terapi musik
Terapi musik dapat juga dilakukan untuk membantu perkembangan anak.
Musik yang dipakai adalah musik yang lembut, dan dapat dengan mudah dipahami
anak. Tujuan dari terapi musik ini adalah agar anak dapat menanggap melalui
pendengarnnya, lalu diaktifkan di dalam otaknya, kemudian dihubungkan ke pusat-
pusat saraf yang berkaitan dengan emosi, imajinasi dan ketenangan.
i. Terapi obat
Dalam terapi obat, penderita autis dapat diberikan obat-obatan hanya pada
kondisi-kondisi tertentu saja,pemberiannya pun sangat terbatas karena terapi obat
tidak terlalu menentukan dalam penyembuhan anakanak autis.
j. Terapi Lumba-lumba
Terapi dengan menggunakan ikan lumba-lumba dapat dilakukan dalam
durasi sekitar 40 menit, dengan tujuan untuk menyeimbangkan hormon
endoktrinnya dan sensor yang dikeluarkan melalui suara lumba-lumba dapat
bermanfaat untuk memulihkan sensoris anak penyandang autis.
k. Sosialisasi ke sekolah Reguler
Anak autis yang telah mampu bersosialisasi dan berkomunikasi dengan baik
dapat dicoba untuk memasuki sekolah normal sesuai dengan umurnya, tetapi terapi
perilakunya jangan ditinggalkan.
l. Sekolah Pendidikan
Salah satu bentuk terapi terhadap anak-autis juga adalah dengan
memasukannya di sekolah khusus anak-anak autis karena di dalam pendidikan
khusus biasanya telah mencakup terapi perilaku, terapi wicara, dan terapi okuvasi.
Pada pendidikan khusus biasanya seorang terapis hanya mampu menangani
seorang anak pada saat yang sama.
E. TEKNIK & PENDEKATAN BIMBINGAN KONSELING UNTUK ANAK
AUTISME
Dalam usaha untuk memahami masalah yang dialami oleh anak autistik dan
membantu meringankan dan mengatasi masalah anak autistik, maka perlu diterapkan
teknik dan pendekatan bimbingan dan konseling yang sesuai. Teknik-teknik bimbingan
menurut Mortensen dan Schmuller(1984) ialah mencakup teknik observasi, pengetesan,
studi kasus, wawancara, catatan kumulatif, otobiografi, pertemuan dengan orang tua,
sosiometri, widiawisata, diskusi dan bermain peran, dan rekreasi.
Pendekatan bimbingan konseling untuk anak autistik pada prinsipnya sama dengan
pendekatan bimbingan konseling untuk anak normal pada umumnya. Hanya pendekatan
bimbingan konseling tersebut disesuaikan dengan karakteristik dan kemampuan anak
autistik, baik secara individual maupun kelompok. Beberapa diantaranya adalah
pendekatan behavior (perilaku) dan pendekatan realitas.
G. DIAGNOSA AUTISME
Perkembangan anak menurun dan tidak normal, yang mulai terlihat sejak anak usia 3 tahun,
disertai salah satu gejala berikut:
1. Menggunakan bahasa yang tidak wajar dalam berkomunikasi sehari-hari.
2. Tidak mampu menciptakan hubungan persahabatan yang akrab dan hangat
3. Tidak mampu berakting (peran), misalnya kadang-kadang berperan sebagai bapak
atau guru dll.
Paling tidak ditemukan sebanyak enam (6) gejala dari No. 1, 2, dan 3: Sekurang-kurangnya
dua (2) gejala dari No. 1, serta paling tidak satu (1) gejala dari No.2 dan No. 3. berikut:
1. Secara kualitas interaksi sosial sangat kurang, yang terlihat paling tidak 2 gejala
pada keadaan berikut:
Tidak mau berpandangan secara kontak mata, raut wajah gerakan tubuh dan
tangan dalam mengekspresikan keakraban pergaulan sehari-hari.
Gagal mengembangkan pemkiran yang wajar dalam menghadapi sejumlah
kesempatan, menghadapi teman sebaya,berbagi perhatian , bebagi kegiatan dan
emosi.
Tidak mampu berbagi rasa terhadap perasaan orang sekitar, dalam hal
hubungan antarteman sepergaulan dan perilaku berkomunikasi.
Kurang mampu mencari kegembiraaan bersama-sama dengan teman
sepergaulan dan kurang bisa memperlihatkan atau menunjuk seseorang yang
menjadi perhatiannya.
2. Kurangnya kualitas dalam berkomunikasi, seperti terlihat paling tidak 1 gejala
berikut:
Terlambat atau tidak mampu sama sekali berbahasa sehingga kadang-kadang
didimbangi dengan bahasa isyarat melalui gerakan tangan, mimik, dan
gerakan tubuh. Keadaan ini sering dimulai dengan bersungut-sungut.
Kurang mampu bercakap-cakap dengan teman sepergaulan meskipun
mungkin masih ada kemampuan berbahasa.
Mengulang-ulang kata atau kalimat-kalimat.
Tidak bisa spontan mempercayai teman bermain
3. Perilaku dan perhatian yang berulang-ulang, seperti terlihat paling tidak 1 gejala
berikut:
Buah pikiran yang berulang-ulang dan perhatian terbatas baik itensitas
maupun isinya.
Kegiatan rutin dan gerakan ritual seperti dipaksakan
Gerakan otot berulang-ulang, seperti melambai-lambaikan tangan atau
memutar-mutar tangan, atau menggerak-gerakakan tubuh.
Perhatian terpaku pada atu bahan/benda permainan, (seperti mencium-cium
bau, meraba-raba halusnya permukaan mainan