Anda di halaman 1dari 24

ASUHAN KEPERAWATAN

AUTISME PADA ANAK


Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Anak II

Dosen Pengampu: Ns. Herlina, M.Kep.Sp.Kep.An

Disusun oleh:
Heni Lestari 1710711011
Defina Ramandhani 1710711012
Ariyana Pramitha H 1710711013
Arkianti Putri 1710711019
Jesy Milanti 1710711021
Ganis Eka Madani 1710711024
Nurul Fatihah Auliani 1710711076
Husna Maharani 1710711078
Riski Dwiana 1710711080
Ghina Regiana 1710711082

PROGRAM STUDI S.1 KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA
2019
A. PENGERTIAN
Kata autisme berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata yaitu ‘aut’yang
berarti ‘diri sendiri’ dan ‘ism’ yang secara tidak langsung menyatakan ‘orientasi atau arah
atau keadaan (state). Sehingga autism dapat didefinisikan sebagai kondisi seseorang yang
luar biasa asik dengan dirinya sendiri (Reber, 1985 dalam Trevarthendkk, 1998).
Pengertian ini menunjuk pada bagaimana anak-anak autis gagal bertindakdengan minat
pada orang lain, tetapi kehilangan beberapa penonjolan perilaku mereka.Ini, tidak
membantu orang lain untuk memahami seperti apa dunia mereka. Sudah sejak tahun 1938,
sebenarnya dr. Leo Keanner (seorang dokter spesialispenyakit jiwa)melaporkan bahwa dia
telah mendiagnosa dan mengobati pasien dengan sindroma autisme yang dia sebut
infantile autisme.untuk menghormatinya autisme juga disebut dengan sindroma keanner.
Dengan gejala tidak mampu bersosialisasi, megalami kesulitan menggunakan bahasa,
berperilaku berulang-ulang, serta bereaksi tidak biasa terhadap rangsangan sekitar.
Sedangkan menurut Dawson Autisme adalah gangguan perkembangan yang parah
yang meliputi ketidakmampuan dalam membangun hubungan sosial, ketidaknormalan
dalam berkomunikasi, dan pola perilaku yang terbatas, berulang-ulang, dan stereotip.
(Dawson,1989). Ketidakmampuan sosial meliputi suatu kegagalan untuk menggunakan
kontak mata langsung untuk membangun interaksi sosial, jarang mencari orang lain untuk
memperoleh kenyamanan atau afeksi, jarang memprakarsai permainan dengan orang lain
dan tidak memiliki relasi dengan teman sebaya untuk berbagi minat dan emosi secara
timbal balik. Selain kekurangan sosial ini, anak-anak autistik juga memperlihatkan
keabnormalan komunikasi yang terfokus pada masalah penggunaan bahasa dalam rangka
membangun komunikasi sosial, tidak adanya keselarasan dan kurangnya timbal balik, serta
penggunaan bahasa yang stereotip dan berulang-ulang. Misalnya jika kita bertanya (pada
anak autistik) “Apa kabar Budi?” Budi akan menjawab “Apa kabar Budi” anak-anak
autistik juga juga bingung dengan kata ganti misalnya ialah ketika mereka memakai kata
anda untuk aku.
Autisme adalah suatu kondisi mengenai seseorang sejak lahir ataupun saat masa
balita, yang membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungan sosial atau komunikasi
yang normal. Akibatnya anak tersebut terisolasi dari manusia lain dan masuk dalam dunia
repetitive, aktivitas dan minat yang obsesif. (Baron-Cohen, 1993). Autisme merupakan
gangguan perkembangan organik yang mempengaruhi anak-anak dalam berinteraksi dan
menjalani kehidupannya (Hanafi, 2002). Autisme merupakan gangguan perkembangan
yang berentetan atau pervasive (Matson dalam APA, 1987).
Autisme adalah suatu gangguan perkembangan yang kompleks menyangkut
komunikasi, interaksi sosial dan aktivitas imajinasi. Dan anak autistik adalah anak yang
mempunyai masalah atau gangguan dalam bidang komunikasi, interaksi sosial, gangguan
sensoris, pola bermain, perilaku dan emosi. (Depdiknas)
Autisme bukan suatu gejala penyakit tetapi berupa sindroma (kumpulan gejala)
dimana terjadi penyimpangan perkembangan sosial, kemampuan berbahasa dan
kepedulian terhadap lingkungan sekitar. Sehingga anak autisme seperti hidup dalam
dunianya sendiri. Dengan kata lain pada anak autisme terjadi kelainan emosi, intelektual
dan kemauan (gangguan pervasive). Autisme merupakan suatu keadaaan dimana seorang
anak berbuat semaunya sendiri baik cara berpikir maupun berperilaku. Keadaan ini mulai
terjadi sejak usia masih kecil biasanya sekitar usia 2-3 tahun.Autisme bisa mengenai siapa
saja, baik yang sosio ekonomi mapan maupun kurang, anak maupun dewasa, dan semua
etnis.

B. KLASIFIKASI
Dalam berinteraksi sosial anak autistik dikelompokan atas 3 kelompok yaitu:
1. Kelompok Menyendiri
 Terlihat menghindari kontak fisik dengan lingkungannya
 Bertedensi kurang menggunakan kata-kata, dan kadang-kadang sulit
berubah meskipun usianya bertambah lanjut. Dan meskipun ada ada
perubahan, mungkin hanya bisa mengucapkan beberapa patah kata yang
sederhana saja.
 Menghabiskan harinya berjam-jam untuk sendiri, dan kalu berbuat sesuatu,
akan melakukannya berulang-ulang.
 Gangguan perilaku pada kelompok anak ini termasuk bunyi-bunyi aneh,
gerakan tangan, tabiat yang mudah marah, melukai diri sendiri, menyerang
teman sendiri, merusak dan menghancurkan mainannya.
2. Kelompok Anak Autisme yang Pasif
 Lebih bisa bertahan dengan kontak fisik, dan agak mampu bermain dengan
kelompok teman bergaul dan sebaya, tetapi jarang sekali mencari teman
sendiri.
 Mempunyai perbendaharaan kata yang lebih banyak meskipun masih agak
terlambat bisa berbicara dibandingkan dengan anak sebaya.
 Kadang-kadang malah lebih cepat merangkai kata meskipun kadang-kadang
pula dibumbui kata yang kurang dimengerti.
 Kelompok pasif ini masih bisa diajari dan dilatih dibandingkan dengan anak
autisme yang menyendiri dan yang aktif tetapi menurut kemauannya sendiri.
3. Kelompok Anak Autisme yang Aktif Tetapi Menurut Kemauannya Sendiri
 Kelompok ini seperti bertolak belakang dengan kelompok anak autisme yang
menyendiri karena lebih cepat bisa bicara dan memiliki perbendaharaan kata
yang paling banyak
 Meskipun dapat merangkai kata dengan baik, tetapi tetap saja terselip kata-kata
yang aneh dan kurang dimengerti.
 Masih bisa ikut berbagi rasa dengan teman bermainnya.
 Dalam berdialog, seringmengajukan pertanyaan dengan topik yang menarik,
dan bila jawaban tidak memuaskan atau pertanyaannya dipotong, akan bereaksi
sangat marah.

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Sebenarnya menegakkan diagnosis gangguan autisme tidak memerlukan pemeriksaan yang


canggih-canggih seperti brain-mapping, CT-Scan, MRI dan lain sebagainya. Pemeriksaan-
pemeriksaan tersebut hanya dilakukan bila ada indikasi, Misalnya bila anak kejang maka EEG
atau brainmapping dilakukan untuk melihat apakah ada epilepsi. Autisme adalah gangguan
perkembangan pada anak, oleh karena itu diagnosis ditegakkan dari gejala-gejala yang tampak
yang menunjukkan adanya penyimpangan dari perkembangan yang normal sesuai umurnya
(Budhiman, 1997). Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah merumuskan suatu kriteria yang
harus dipenuhi untuk dapat menegakkan diagnosis autisme. Rumusan ini dipakai di seluruh
dunia dan dikenal dengan sebutan ICD-10 (International Clasification of Diseases) 1993.
Rumusan diagnostik lain yang juga dipakai di seluruh dunia untuk menjadi panduan diagnosis
adalah yang disebut DSM-IV(Diagnostic and Statistical Manual) 1994, yang dibuat oleh grup
psikiatri dari Amerika. Isi ICD-10 maupun DSM-IV sebenarnya sama.

Kriteria DSM-IV untuk Autisme Masa Anak-anak


A) Minimal ada enam gejala dari (1),(2) dan (3), dengan sedikitnya dua gejala dari (1) dan
masing-masing satu gejala dari (2) dan (3).
1. Gangguan kualitatif dalam interak- si sosial yang timbal balik. Minimal harus ada dua
gejala sebagai berikut:
a. tidak mampu menjalin interaksi sosial yang cukup memadai: kontak mata sangat
kurang, ekspresi muka kurang hidup, gerak-gerik yang kurang tertuju
b. tidak bisa bermain dengan teman sebaya
c. tidak dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain
d. kurangnya hubungan sosial dan emosional yang timbal balik
2. Gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi seperti ditujukan oleh minimal satu dari
gejala-gejala sbb:
a. Bicara terlambat atau bahkan sama sekali tidak berkembang (tidak ada usaha untuk
mengimbangi komunikasi dengan cara lain selain bicara)
b. Bila bisa bicara, bicaranya tidak dipergunakan untuk berkomunikasi
c. Sering mempergunakan bahasa yang aneh dan diulang-ulang
d. Cara bermain kurang variatif, kurang imajinatif dan kurang bisa meniru

3. Suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulang dalam perilaku, minat dan kegiatan.
Sedikitnya harus ada satu dari gejala sbb:
a. Mempertahankan satu minat atau lebih dengan cara yang sangat khas dan berlebih-
lebihan
b. Terpaku pada suatu kegiatan yang ritualistik atau rutinitas yang tidak ada gunanya
c. Ada gerakan-gerakan yang aneh yang khas dan diulang- ulang
d. Seringkali sangat terpukau pada bagian-bagian benda
B) Sebelum umur tiga tahun tampak adanya keterlambatan atau gangguan dalam bidang (1)
interaksi sosial, (2) bicara dan berbahasa, dan (3) cara bermain yang kurang variatif
C) Bukan disebabkan oleh Sindroma Rett atau Gangguan Disintegratif Masa Anak-anak
Sebenarnya dengan mempelajari kriteria diagnostik dari DSM-IV ini, para orang tua sudah bisa
mendiagnosis anaknya sendiri apakah anak tersebut termasuk penyandang autisme. Gejala-
gejala tersebut seharusnya sudah tampak jelas sebelum anak mencapai usia tiga tahun. Pada
sebagian besar anak sebenarnya gejala ini sudah mulai ada sejak lahir. Seorang ibu yang
berpengalaman dan cermat akan bisa melihat betapa bayinya yang berumur beberapa bulan
sudah menolak menatap mata, lebih senang main sendiri serta tidak responsif terhadap suara
ibunya. Hal ini semakin lama semakin jelas bila anak kemudian bicaranya tidak berkembang
secara normal. Sebagian anak kecil sudah sempat berkembang secara normal, namun sebelum
berumur tiga tahun terjadi perhentian perkembangan kemudian mengalami kemunduran yang
drastis dan akhirnya timbul gejala-gejala autisme yang lain (Budhiman, 1997; Sunartini, 2000).

D. PENATALAKSANAAN
Noviza (2004:9) mengungkapkan bahwa metode yang dapat digunakan terhadap
penderita autisme akibat dari kesalahan bentuk perilaku sosial dapat dilakukan dengan
metode terapi:
1. Metode terapi Applied Behavioral Analysis (ABA) adalah jenis terapi yang telah lama
di pakai, telah dilakukan penelitian dan didesain khusus anak-anak penyandang
autisme. Metode yang di pakai dalam terapi ini adalah dengan memberi pelatihan
khusus pada anak dengan memberikan positive reinforcemet (hadiah/pujian)
2. Metode terapi TEACH adalah Treatment and education of autisticand related
communication handicapped children, yaitu suatu metode yang dilakukan untuk
mendidik anak autis dengan menggunakan kekuatan relatifnya pada hal terstruktur dan
kesenangannya pada ritinitas dan halhal yang dapat diperkirakan dan relatif mampu
berhasil pada lingkungan yang visual dibanding yang auditori. (Noviza, 2005: 42)

Sedangkan menurut Dr. Handojo (2004: 9) penanganan terpadu yang dilakukan pada
penderita autisme dapat dilakukan dengan menggunakan terapi:

a. Terapi perilaku
Terapi perilaku digunakan untuk mengurangi perilaku yang tidak lazim.
Terapi perilaku ini dapat dilakukan dengan cara terapi okuvasi, dan terapi wicara.
Terapi okuvasi dilakukan dalam upaya membantu menguatkan, memperbaiki dan
menibngkatkan keterampilan ototnya. Sedangkan terapi wicara dapat
menggunakan metode ABA (Applied Behaviour Analysis).
b. Terapi Biomedik
Terapi biomedik yaitu dengan cara mensuplay terhadap anak-anak autis
dengan pemberian obat dari dokter spesialis jiwa anak. Jenis obat, food suplement
dan vitamin yang sering dipakai saat in adalah risperidone, ritalin, haloperidol,
pyrodoksin, DMG, TMG, magnesium, Omega-3, dan Omega-6 dan sebagainya.
c. Terapi Fisik
Fisioterapi bagi anak-anak autis bertujuan untuk mengembangkan,
memelihara, dan mengembalikan kemampuan maksimal gerak dan fungsi anggota
tubuh sepoanjang kehidupannya. Dalam terapi ini, terapis harus mampu
mengembangkan seoptimal mungkin kemampuan gerak anak, misalnya gerakan
meneukuk kaki, menekuk tangan, membungkuk berdiri seimbang, berjalan hingga
berlari.
d. Terapi sosial
Dalam terapi sosial, seorang terapis harus membantu memberikan fasilitas
pada anak-anak autis utnuk bergaul dengan teman-teman sebayanya dan mengajari
cara-caranya secara langsung, karena biasanya anak-penyandang autis memiliki
kelemahan dalam bidang komunikasi dan interaksi.
e. Terapi bermain
Terapi betrmain bertujuan agar anak-anak autis selalu memiliki sikap yang
riang dan gembira terutama dalam kebersamannya dengan temanteman sebayanya.
Hal ini sangat berguna untuk membantu anak autisme dapat bersosialisasi dengan
anak-anak yang lainnya.
f. Terapi perkembangan
Dalam terapi perkembangan, anak akan dipelajari minatnya, kekuatannya
dan tingkat perkembangannya, kemudian ditingkatkan kemampuan sosial,
emosional dan intelektualnya sampai benar-benar anak tersebut mengalami
kemajuan sampai dengan interaksi simboliknya.
g. Terapi visual
Terapi visual, bertujuan agar anak-anak autis dapat belajar dan
berkomunikasi dengan cara melihat (visual learner) gambar-gambar yang unik dan
disenangi. Misalnya dengan metode PECS (Picture Exchange Communication
System).
h. Terapi musik
Terapi musik dapat juga dilakukan untuk membantu perkembangan anak.
Musik yang dipakai adalah musik yang lembut, dan dapat dengan mudah dipahami
anak. Tujuan dari terapi musik ini adalah agar anak dapat menanggap melalui
pendengarnnya, lalu diaktifkan di dalam otaknya, kemudian dihubungkan ke pusat-
pusat saraf yang berkaitan dengan emosi, imajinasi dan ketenangan.
i. Terapi obat

Dalam terapi obat, penderita autis dapat diberikan obat-obatan hanya pada
kondisi-kondisi tertentu saja,pemberiannya pun sangat terbatas karena terapi obat
tidak terlalu menentukan dalam penyembuhan anakanak autis.

j. Terapi Lumba-lumba
Terapi dengan menggunakan ikan lumba-lumba dapat dilakukan dalam
durasi sekitar 40 menit, dengan tujuan untuk menyeimbangkan hormon
endoktrinnya dan sensor yang dikeluarkan melalui suara lumba-lumba dapat
bermanfaat untuk memulihkan sensoris anak penyandang autis.
k. Sosialisasi ke sekolah Reguler
Anak autis yang telah mampu bersosialisasi dan berkomunikasi dengan baik
dapat dicoba untuk memasuki sekolah normal sesuai dengan umurnya, tetapi terapi
perilakunya jangan ditinggalkan.
l. Sekolah Pendidikan
Salah satu bentuk terapi terhadap anak-autis juga adalah dengan
memasukannya di sekolah khusus anak-anak autis karena di dalam pendidikan
khusus biasanya telah mencakup terapi perilaku, terapi wicara, dan terapi okuvasi.
Pada pendidikan khusus biasanya seorang terapis hanya mampu menangani
seorang anak pada saat yang sama.
E. TEKNIK & PENDEKATAN BIMBINGAN KONSELING UNTUK ANAK
AUTISME
Dalam usaha untuk memahami masalah yang dialami oleh anak autistik dan
membantu meringankan dan mengatasi masalah anak autistik, maka perlu diterapkan
teknik dan pendekatan bimbingan dan konseling yang sesuai. Teknik-teknik bimbingan
menurut Mortensen dan Schmuller(1984) ialah mencakup teknik observasi, pengetesan,
studi kasus, wawancara, catatan kumulatif, otobiografi, pertemuan dengan orang tua,
sosiometri, widiawisata, diskusi dan bermain peran, dan rekreasi.
Pendekatan bimbingan konseling untuk anak autistik pada prinsipnya sama dengan
pendekatan bimbingan konseling untuk anak normal pada umumnya. Hanya pendekatan
bimbingan konseling tersebut disesuaikan dengan karakteristik dan kemampuan anak
autistik, baik secara individual maupun kelompok. Beberapa diantaranya adalah
pendekatan behavior (perilaku) dan pendekatan realitas.

F. PERANAN ORANG TUA, GURU, DAN MASYARAKAT DALAM PENDIDIKAN


ANAK AUTISTIK (AUTISME)
a. Peranan Orang Tua
Menurut Puspita (2001) bahwa peranan orang tua anak autistik dalam membantu
anak untuk mencapai perkembangan dan pertumbuhan optimal sangat menentukkan.
Tindakan awal yang perlu dilakukan oleh para orang tua anak autistik ialah orang tua perlu
teliti dalam mengamati berbagai gejala yang nampak pada diri anak yang autistik.
Ketelitian orang dalam mengamati berbagai gejala tersebut akan menjadi bahan acuan bagi
orang tua dalam mengambil keputusan yang tepat dalam memberikan penanganan secara
dini kepada anak autistik. Namun, pada umumnya para orang tua berlindung dibalik
harapan kosong dengan beranggapan bahwa “anak saya tergolong autisme ringan”, padahal
autisme ringan, sedang, berat akan cenderung menjadikkan anak tidak dapat “mandiri”
bilamana tidak di tangani secara dini.
Tindakan lain yang perlu diperhatikan oleh para orang tua anak autistik adalah
memberikan penanganan kepada anaknya berdasarkan masalah dan gejala perilaku yang
nampak pada diri anak autistik. Masalah dan gejala perilaku yang ditunjukan oleh sesama
anak yang autistik adalah tidak sama. Karena itu, penanganan yang diberikan kepada setiap
anak juga tidak sama.
Penanganan yang diberikan orang tua kepada anaknya yang autistik sebaiknya
bersifat terpadu dan menyeluruh yang mencangkup aspek fisik dan psikis atau jasmani dan
rohani. Pemberian pendidikan dan latihan secara intensif tanpa di barengi dengan upaya
memperbaiki keseimbangan metabolisme atau perbaikan kondisi fisik pada diri anak yang
autistik, maka akan memberikan hasil yang kurang optimal. Sebaliknya, jika para orang
tua hanya menggantungkan harapan pada obat-obatan atau kontrol makanan tanpa ada
usaha pemberian pendidikan dan latihan yang intensif, kontinyu, dan konsisten kepada
anak yang autistik, tentu saja hasilnya juga kurang optimal.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dan perlu dilakukan oleh para orang tua
dalam menetapkan tatalaksana yang tepat bagi setiap anak, yaitu orang tua harus mengenali
kelebihan dan kekurangan anak, lengkap dengan ciri autisnya untuk mengetahui kebutuhan
anak, mengenali kemungkinan penanganan yang dapat diberikan kepada anak, menetapkan
beberapa jenis penanganan sesuai kebutuhan, melakukan pemantauan secara terus menerus
terhadap perkembangan anak, dan secara berkala kembali kepada langkah pertama, yaitu
mengetahui kelebihan dan kekurangan pada diri anak yang autistik sesuai dengan proses
perkembangan yang terjadi pada diri anak autistik. (puspita, 2001).
Para orang tua tidak boleh lupa bahwa meskipun anaknya autistik, namun anaknya
yang autistik tersebut terus mengalami perubahan atau perkembangan. Karena itu, para
orangtua anak autistik harus juga selalu berkembang dengan cara para orang tua harus
selalu berusaha dan belajar terus menerus untuk mempelajari berbagai hal yang
berhubungan dengan semua aspek kehidupan anak yang autistik.
Greenspan (1998) mengemukakan bahwa peran orang tua anak autistik perlu
meluangkan waktu sedikitnya 6-8 kali selama 20-30 menit secara terus menerus bersama
anak dalam bentuk aneka kegiatan yang dilakukan anak bersama di lantai. Tujuan utama
pendekatan ini adalah untuk menumbuhkan perhatian dan kedekatan anak kepada orang
tua, memancing komunikasi dua arah antara anak dengan orang tua, mendorong ekspresi
dan penggunaan perasaan dan pendapat, dan menumbuhkan kemampuan berpikir logis
pada diri anak.
Dalam memberikan penanganan kepada anak autis dirumah, beberapa hal yang
perlu diperhatikan oleh para orang tua anak autistik ialah orang tua harus dapat mengenali
keadaan anak apa adanya. Para orang tua perlu ingat bahwa autisme adalah gangguan
perkembangan yang terjadi pada anak usia dibawah tiga tahun. Perwujudan gangguan
perkembangan ini mencangkup tiga aspek utama, yaitu gangguan komunikasi, gangguan
perilaku, dan gangguan interaksi (puspita, 2001).
Setelah para orang tua mengenali keadaan anaknya apa adanya dan mengetahui ciri
autisme yang dimiliki anak serta gejala autisme yang muncul pada setiap anak yang bersifat
sangat individual dan unik, maka langkah selanjutnya yang perlu dilakukan oleh para orang
tua anak autistik adalah melakukan pendampingan yang intensif. Pendampingan yang
dimaksud adalah memastikan adanya interaksi aktif antara anak dengan orang tua atau
pengasuhnya yang ada disekitar nya. Tujuan kegiatan pendampingan yang intensif ini ialah
untuk membina kontak batin secara terus menerus dengan anak dan untuk meningkatkan
pemahaman anak yang umumnya cenderung terbatas.
Proses pendampingan dilaksanakan sejak anak autistik mulai membuka mata
sampai saatnya anak autistik tersebut tertidur kembali di malam hari. Saat proses
pendampingan terjadi anak ditemani untuk memberikan informasi dan pengalaman dalam
berbagai bentuk kepada anak. Yang perlu diingat oleh para orang tua adalah jangan
membiarkan anak sendirian tanpa melakukan sesuatu. Para orang tua harus selalu berusaha
meningkatkan pemahaman anaknya dalam berbagai bidang, misalnya dalm bidang
kemampuan berpikir dan kemandirian mengurus diri sendiri agar kemampuan anak autistik
pada bidang tersebut mendekati kemampuan yang dimiliki oleh anak lain yang seusia
dengan mereka.
Peningkatan pemahaman anak dalam bidang kemampuan berpikir dan kemandirian
mengurus diri sendiri tersebut dapat dilakukan oleh para orang tua dengan cara
memberikan pengalaman sebanyak mungkin kepada anak yang disertai dengan
pengarahan. Orang tua harus mengikuti anaknya kemana ia pergi, memeberi tahu terhadap
apa yang dipegang dan dilihat anaknya, dan menjelaskan beberapa kejadian yang dialami
anaknya, serta orang tua perlu memberi makna pada kehidupan anaknya (puspita 2001).
Penanganan anak auitistik seharusnya tidak tertuju kepada keinginan agar anak
mampu berbicra, tetapi memahami apapun yang dikatakan oleh orang lain. Perkenalkan
kepada anak berbagai kegiatan untuk mengembangkan minat anak auitstik dalam dunia
disekitarnya. Selain meningkatkan pemahaman anak autis, upaya selanjutnya adalah
sedapat mungkin mengurangi atau menghilangkan ciri negatif yang ada pada anak.
Misalnya anak autis yang cenderung membenturkan kepala untuk mencari perhatian,
peganglah kepala anak sambil diusap-usap. Dengan cara seperti ini anak merasa
diperhatikan.
Para orang tua perlu menanamkan pemahaman kepada anak bahwa dalam
kehidupan didunia ini ada aturan-aturan yang perlu ditaati. Aturan itu ada disekolah,
dirumah, dan dalam kehidupan masyarakat. Misalnya mengajarkan anak untuk taat
terhadap aturan waktu salat, maka orang tua perlu memberikan contoh keteladanan berupa
salat lima waktu sesuai dengan waktu salat.
Dalam proses pewarisan keteladanan tersebut, anak autistik sebagai sudah
diikutkan dalam shalat berjamaah dengan orang tua dan anggota keluarga lainnya pada
setiap waktu shalat tiba. Pewarisan keteladanan seperti ini, juga dapat di lakukan pada
bidang-bidang kehidupan yang lain, seperti pembiasaan cara berperilaku santun dan sopan
kepada orang tua dan ke[ada orang yang lebih tua, anggota keluarga lainnya dalam satu
rumah, kepada teman, dan orang lain disekitar rumah, dan lingkungan dimasyarakat.
Para orang tua juga perlu mengenali pola perilaku yang ditampilkan oleh anak
autistik, karena pola perilaku trsebut sering merupakan perwujudan dari kebutuhan fisik
anak autistik akan sesuatu. Misalnya anak autistik senang melompat di tempat tidur dan
kegiatan ini bisa dilakukan berjam-jam lamanya, maka tnidakan yang perlu dilakukan oleh
para orang tua adalah memberikan fasilitas yang dapt mencegah anak mengalami
kecelakaan. Biarkan anak melompat sesuka hatinya, selama tidak membahayakan bagi
dirinya dan merusak barang miliknya dan barang-barang yang ada disekitar tempat tidur
itu.
Jika para orang tua anak yang autistik itu berhasrat mengajarkan konsep-konsep
baru, misalnya konsep tentang warna, angka, bentuk, dan sebagainya, maka pastikan
bahwa pada saat tersebut hanya ada satu aspek dari konsep baru tersebut yang ditargetkan
dicapai oleh anak. Gunakan alat bantu yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan
pemahaman anak. Jika orang tua mengajarkan anak tentang benda-benda yang berbentuk
balok, maka ambil ambil balok yang berasal dari kayu (aslinya) lalu terangkan kepada anak
tentang balok tersebut. Sesudah itu, anak autistik disuruh mengambil gambar balok tersebut
dengan balok kayu asli untuk mengetahui apakah anak sudah memehami tentang konsep
bentuk balok.
Dalam melayani kebutuhan anak autistik anak autistik oloeh pihak orang tua,
keluarga, guru, terapis, pembantu di rumah tangga, dan pihak lain yang menaruh minat dan
peduli terhadap anak autistik, di butuhkan kesabaran, ketekunan, keikhlasan, dan sikap mau
menerima keberadaan anak autistik apa adanya. Selain itu, dibutuhkan kerja sama yang
sinergik kesemua pihak tersebut untuk menghindari rasa bosan dalam melayani kebutuhan
anak autistik, seperti yang dikemukakan oleh lovaas, 1996 bahwa orang tua yang paling
hangat dan penuh kasih sayang terhadap anaknya yang autistik dapat mengalami hilang
akal dan bahkan berubah menjadi maniak (gila) yang selalu berteriak-teriak jika tertekan
menghadapi anaknya.
Jika para orang tua, guru, terapis, anggota keluarga lainya, dan pihak terkait lainnya
melatih kemampuan motorik kasar dan halus anak autistik, maka latihan koordinasi visual
motorik, keseimbangan, ketelitian, dan latihan konsentrasi sangat perlu diberikan kepada
anak autistik. Dalam pemberian latihan tersebut, yang perlu diperhatikan ialah kesesuaian
program dengan karakteristik, kemampuan, dan kondisi perkembangan anak autistik
(puspita, 2001).
Selain usaha tersebut diatas yang dapt dilakukan oleh para orang tua anak auitistik,
orang tua juga perlu menerima bimbingan keluarga melalui kegiatan “home training”.
Pelatihan yang diterima oleh para orang tua dirumah (home training) dapt berupa: para ahli
yang terdiri dari dokter, psikolog, psikiater, dan pedagog menerangkan tentang apa,
bagaimana, dan di apakan anak autisme itu; para guru dan pelatih memberikan latihan-
latihan sederhana untuk dipraktekkan dirumah khusus nya untuk memberi stimulasi kepada
anak nya dalam bidang latihan panca indera; orang perlu mendapatkan dan mempelajari isi
video home training dari lembaga yang menangani anak autis.
Tujuan pemberian latihan kepada orang tua adalah agar orang tua dapt mempelajari
dan mempraktekkan isi video home itu dirumah. Latihan-latihan tersebut dapat berupa
latihan kontak mata dengan orang lain, latihan makan sendiri dengan nasi tidak berantakan,
latihan konsentrasi terhadap permainan, latihan berpakaian, latihan sosialisasi dalm
kelompok bermain, dan sebagainya.
Usaha lain yang dapat dilakukan oleh para orang tua anak autis ialah membawa
anaknya ke pusat-pusat terapi dan mengikuti programnya. Di pusat-pusat terpai tersebut
dilakukan latihan-latihan perkembangan anak yang mengarah kepada domain kognitif,
afektif, dan psikomotor (saragi, 2002).
Hanafi (2002) juga mengemukakan bahwa ada bebrapa hal yang perlu dilakukan
oleh para orang tua anak yang autistik, yaitu bersikap realistis menerima anaknya dengan
segala kelebihan dan kekurangannya, tidk hanya memindahkan beban dan tanggung jawab
pendidikan kepada lembaga pendidikan autisme, tetapi lebih bersikap proaktif terlibat dalm
proses pendidikan dan pemandirian anak autistik, misalnya mempelajari metode
penanganan autistik yang tepat dan sesuai karakter putra nya, ikut aktif dalam penyusunan
program pendidikan anaknya, melanjutkan dan menyelaraskan kegiatan dirumah dengan
program disekolah. Selain itu, para orang tua secara bersama-sama dengan lembaga
penyelengara pendidikan untuk anak autisme mempersiapkan dan mengupayakan
kemandirian anak dan orang tua perlu memupuk kerja sama dan menanamkan pengertian
kepada semua anggota keluarga lainnya di dalam satu rumah tangga untuk terlibat aktif
dalam usaha memandirikan anaknya yang autistik.
b. Peranan Guru
Guru sebagai pengajar dan pendidik di sekolah memiliki peranan yang ganda. Yaitu
membantu orang tua anak autistik disekolah dan membantu terapis atau pembimbing dan
pelatih dalam program penatalaksanaan gangguan autisme. Widyawati (2002)
mengemukakan bahwa tujuan terapi pada gangguan autistik adalah untuk mengurangi
masalah perilaku, meningkatkan kemampuan dan perkembangan belajar anak autistik,
terutama dalam hal penguasaan bahasa, dan membantu anak autistik agr mampu
bersosialisasi dalm beradaptasi dilingkungan sosialnya.
Tujuan tersebut diatas dapat tercapai dengan baik melalui suatu program terapi
yang menyeluruh dan bersifat individual, dimana pendidikan khusus dan terapi wicara
meupakan kompenen yang penting. Namun yang tidak boleh dilakukan oleh pihak guru
khususnya dan pihak lain yang terkait ialah bahwa masing-masing individu anak yang
autistik adalah unik, sehingga jangan beranggapan bahwa satu metode berhasil untuk satu
anak dan metode tersebut berhasil pula untuk anak autistik yang lain. Jadi suatu metode
yang duterapkan disesuaikan dengan karakteristik dan kemampuan dari masing-masing
anak yang autistik.
Guru perlu memperhatikan kelemahan dan kekuatan anak sebagai basis dalam
menyusun dan menerapkan pendidikan untuk anak autistik. Guru perlu memberikan
pelatihan yang terstruktur yang memperkecil kesempatan anak untuk melepaskan diri dari
teman-temannya dan guru segera bertindak bila anak melakukan aktivitas sendiri. Anak
perlu diikutsertakan dalam proses penyusunan program pelatihan struktur ini dengan tujuan
agar anak dapat mengatur sendiri pikiran dan tindakannya agar anak dapat bekerja atas
dasar kemampuan sendiri (mandiri).
Dalam membelajarkan tetang bahasa, sebaiknya materinya membicarakan tentang
hal-hal yang ada di dalam kehidupan sehari-hari anak. Dengan materi tersebut, anak lebih
mudah mengembangkan kemampuannya dalam berkomunikasi. Pada bebrapa anak dapat
dilatih bahasa isyarat dan keterampilan sosial yang ada sangkut pautnya dengan kehidupan
sehari hari.
Untuk anak autistik yang berusia remaja dan dewasa muda. Program pendidikan
dan latihan yang perlu diberikan oleh guru kerjasama dengan pihak yang terkait (orang tua,
terapis, dan tenaga medis, ahli terapi wicara, psikolog, dan lainnya) ialah masalah yang
berkenaan dengan kekurangan dalam interaksi sosial, hubungan timbal balik, memahami
aturan-aturan sosial, memusatkan perhatian bila anak berada dalam suatu kelompok, dan
kemampuan mengerjakan cara-cara yang di ajarkan oleh pembimbingnya (widyawati,
2002).
Dalam menangani anak autistik yang agresif, peranan yang perlu dilakukan oleh
guru adalah mengajari berkomunikasi bukan kata-kata dan tingkatan keterampilan sosial
anak melalui peragaan. Guru perlu juga konsultasikan anak ke ahli endokrinologi untuk
mengatasi agresivitas seksual anak dan konsultasi neurologi untuk mengatasi adanya
serangan kejang lobus temporalis dan sindrom hipo talamik. Guru harus menciptakan
lingjungan sekolah yang aman, teratur, dan responsif terhadap anak autistik. Guru harus
berusaha untuk membangkitkan rasa percaya diri pada anak dan membantu orang tua untuk
mengerti dan mempraktekkan teknik-teknik perilaku yang di ajarkan bersama-sama
dengan anak autistik agar meningkatkan persepsi orang tua, sehingga para orang tua dapat
membantu dengan efektif dan mengintrol perilaku anak mereka. Selain itu, guru perlu juga
mengembangkan berbagai keterampilan sebagai pengganti agresivitas, seperti
keterampilan sosial, keterampilan berkomunikasi, kerjasama, menggunakan waktu
senggang, dan keterampilan berekreasi (widyawati, 2002).
Ada beberapa teknik yang dapat digunakan oleh guru disekolah dan para orang tua
dirumah untuk mencegah timbulnya perilaku agresivitas pada diri anak. Teknik-teknik
tersebut, yaitu dengan :
Membina hubungan yang kuat dengan anak, memastikan anak memiliki rutinitas yang
teratur(terutama dirumah), meninjau kembali bermacam tuntunan terhadap anak autistis,
mengatur perubahan rutinitas(sebelum/sesudah hari libur), menjelaskan dan menyiapkan
anak terhadap perubahan, mengurangi suara dan keributan disekitar anak, membuat
rencana untuk “hari-hari buruk” dengan memilih suatu tempat yang tenang agar anak
autistis dapat lebih tenang, pergunakan relaksasi dan kontrol diri sebagai cara untuk
memberi lebih banyak keterampilan pada anak, pertemuan rutin dengan anggota tim
terapis/pembimbing/pendidik/pelatih agar mereka menyadari tanda-tanda agresivitas yang
muncul pada anak autistis, dan supervisi dari ahli ilmu jiwa atau psikolog yang terlatih
dalam perilaku kognitif anak autistik (widyawati, 2003).
Guru perlu juga mengetahui gaya belajar anak autistik. Berupa: Rote Learner, yaitu
anak cenderung mengafalkan informasi apa adanya tanpa memahami arti simbol yang
dihapalkan itu; Gestalt Learner, yaitu anak dapat mengahafalkan kalimat-kalimat secara
utuh tanpa mengerti arti kata perkata yang terdapat pada kalimat itu dan anak cenderung
belajar menggunakan gaya gestalt, yaitu melihat sesuatu secara keseluruhan; Visual
Learner, yaitu anak senang melihat buku, gambar-gambar dan tv dan mudah memahami
sesuatu yang dilihat daripada yang mereka dengar; Hands on Learner, yaitu anak senang
mencoba-coba dan mendapatkan pengetahuan dari pengalamannya mencoba-coba ini; dan
Auditory Learner, yaitu anak autistik senang bicara dan lebih mudah memahami terhadap
yang mereka dengar dari pada terhadap apa yang mereka lihat. Dengan mengetahui gaya
belajar dari setiap anak autistik, maka guru diharapkan dapat menyesuaikan proses
pendidikan, bimbingan, dan latihannya terhadap gaya belajar anak autistik tersebut.
Guru perlu juga mengetahui masalah belajar yang dialami anak autistik. Ada empat
masalah belajar yang mempengaruhi proses belajar anak autistik disekolah menurut paull
dan jordan (1999), yaitu: masalah persepsi, masalah kesadaran akan pengalaman, masalah
daya ingat, dan masalah emosi. Anak autistik bermasalah persepsi karena tidak dapat
mempersepsi stimulus dari lingkungan seperti dilingkungan anak normal. Anak autistik
bermasalah dalam hal kesadaran terhadap pengalaman karena anak autistik sulit
memahami bahwa sesuatu itu telah dialaminya, anak autistik bermasalah dalam hal daya
ingat karena anak autistik daya ingatnya lemah, sehingga anak autistik seulit mengaitkan
ingatan dengan pengalaman mereka sebagai pribadi dan anak autistik bermasalah emosi
karena emosi anak autistik tidak stabil dan cenderung subjektif.
Puspita (2001) menyatakan peran dan tugas guru pendamping anak autistik sangat
besar. Guru pendamping anak autistik memiliki peran ganda, yaitu membantu anak
menguasai tugas akademis dan membantu anak berkembang sesuai tahapan perkembangan
yang seharusnya. Greenspan (1998) mengemukakan bahwa tugas guru pendamping secara
umum adalah: membantu anak mempersiapkan diri menghadapi tugas berikutnya,
membantu anak mengerti bagaimana bekerja dikelas, tidak sekedar duduk dibelakang anak,
dan membantu terlaksananya tugas anak tetapi menggunakan tugas sekolah sebagai
kesempatan interaksi sehingga anak belajar dua keterampilan pada saat yang sama, dan
menjembatani terjadinya interaksi antara yang satu dengan anak yang lain sehingga anak
dapat memahami tentang bagaimana bergaul, berbagi, bergiliran, dan sebagainya.
Untuk dapat membantu anak autistik mengaktualisasikan potensinya secara
maksimal, ada beberapa hal yang perlu diprtimbangkan oleh guru, beberapa hal tersebut
ialah berupa: guru perlu memahami bagaimana anak autis melihat dunia, guru perlu
memanfaatkan gaya belajar anak, guru perlu membuat anak sadar akan makna setiap
informasi, guru perlu mengaitkan informasi yang diterima anak didalam kelas dengan
kehidupannya sehari-hari, dan guru perlu memulai bimbingannya dengan memulai dari
minat anak.
Selain itu, guru perlu pula memperhatikan perbedaaan individu, jangan
membiarkan anak asik sendiri tetapi guru perlu mengupayakan adanya interaksi anak
dengan orang lain, jangan terlalu mengarahkan anak, hindari gaya bertanya yang kaku,
biarkan anak melakukan berbagai hal secara mandiri, dan jangan pernah asumsi pada guru
bahwa anak memahami perkataan anda.
c. Peranan Masyarakat
Keterlibatan masyarakat dalam usaha membantu anak autistik dalam berbagai hal,
khususnya dalam masalah pemberian pendidikan, pelatihan, dan bimbingan dibidang
pendidikan, sosial, karier, pribadi, dan keterampilan sensorik dan motorik sangat besar
peranannya. Hanafi(2002) mengemukakan bahwa anak autistik yang menunjukan
perbaikan gejala yang menggembirakan, memerlukan dukungan, bantuan dan kesempatan
serta toleransi dari lingkungan diluar keluarga dan sekolah khusus atau klinik untuk anak
autistik. Untuk mengembangkan potensi anak autistik sebagai makhluk sosial, maka
masyarakat pendidikan dan masyarakat diluar sekolah sangan dibutuhkan kontribusinya.
Kontribusi yang perlu dilakukan oleh masyarakat pendidikan ialah: memberikan
kesempatan kepada anak autistik untuk bersosialisai atau diintegrasikan keseolah umum
sesuai dengan potensi dan kemampuan yang dimiliki. Selain itu, masyarakat juga perlu
memberikan informasi secara jujur dan berimbang atau proporsional tentang dan hasil dan
segala sesuatu yang berkenaan dengan penanganan pendidikan autisme, dan membantu
usaha sosialisasi tentang autisme dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya bagi
masyarakat luas melalui media cetak dan elektronik.
Sedangkan kontribusi yang diharapkan dari masyarakat luas ialah berupa:
membantu menciptakan situasi lingkungan yang kondusif atau mendukung bagi anak
autistik. Selain itu, para orang tua “anak yang normal” diharapkan dapat memahami dan
menerima kebutuhan pendidikan anak autistik untuk diintegrasikan kedalam lingkungan
normal, dan masyarakat luas baik sebagai individu maupun sebagai pemilik fasilitas umum,
bersedia memberikan kesempatan kepada anak autistik untuk menggunakan fasilitas umum
yang dimilikinya sebagai sarana belajar dan interaksi sosial bagi anak yang autistik.
Misalnya pemilik pusat perbelanjaan atau swalayan dapat memberikan kesempatan kedapa
anak autistik untu belajar berbelanja, belajar antri, belajar membayar sendiri harga barang
yang dibeli, dan bahkan jika memungkinkan untuk membuka kasier khusus untuk anak
yang autistik (hanafi 2002).

G. DIAGNOSA AUTISME
Perkembangan anak menurun dan tidak normal, yang mulai terlihat sejak anak usia 3 tahun,
disertai salah satu gejala berikut:
1. Menggunakan bahasa yang tidak wajar dalam berkomunikasi sehari-hari.
2. Tidak mampu menciptakan hubungan persahabatan yang akrab dan hangat
3. Tidak mampu berakting (peran), misalnya kadang-kadang berperan sebagai bapak
atau guru dll.
Paling tidak ditemukan sebanyak enam (6) gejala dari No. 1, 2, dan 3: Sekurang-kurangnya
dua (2) gejala dari No. 1, serta paling tidak satu (1) gejala dari No.2 dan No. 3. berikut:
1. Secara kualitas interaksi sosial sangat kurang, yang terlihat paling tidak 2 gejala
pada keadaan berikut:
 Tidak mau berpandangan secara kontak mata, raut wajah gerakan tubuh dan
tangan dalam mengekspresikan keakraban pergaulan sehari-hari.
 Gagal mengembangkan pemkiran yang wajar dalam menghadapi sejumlah
kesempatan, menghadapi teman sebaya,berbagi perhatian , bebagi kegiatan dan
emosi.
 Tidak mampu berbagi rasa terhadap perasaan orang sekitar, dalam hal
hubungan antarteman sepergaulan dan perilaku berkomunikasi.
 Kurang mampu mencari kegembiraaan bersama-sama dengan teman
sepergaulan dan kurang bisa memperlihatkan atau menunjuk seseorang yang
menjadi perhatiannya.
2. Kurangnya kualitas dalam berkomunikasi, seperti terlihat paling tidak 1 gejala
berikut:
 Terlambat atau tidak mampu sama sekali berbahasa sehingga kadang-kadang
didimbangi dengan bahasa isyarat melalui gerakan tangan, mimik, dan
gerakan tubuh. Keadaan ini sering dimulai dengan bersungut-sungut.
 Kurang mampu bercakap-cakap dengan teman sepergaulan meskipun
mungkin masih ada kemampuan berbahasa.
 Mengulang-ulang kata atau kalimat-kalimat.
 Tidak bisa spontan mempercayai teman bermain
3. Perilaku dan perhatian yang berulang-ulang, seperti terlihat paling tidak 1 gejala
berikut:
 Buah pikiran yang berulang-ulang dan perhatian terbatas baik itensitas
maupun isinya.
 Kegiatan rutin dan gerakan ritual seperti dipaksakan
 Gerakan otot berulang-ulang, seperti melambai-lambaikan tangan atau
memutar-mutar tangan, atau menggerak-gerakakan tubuh.
 Perhatian terpaku pada atu bahan/benda permainan, (seperti mencium-cium
bau, meraba-raba halusnya permukaan mainan

H. ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN AUTISME


1. Pengkajian
Pengkajian terdiri atas evaluasi komprehensif mengenai:
a. Gangguan interaksi sosial. Contoh: suka menyendiri
b. Gangguan komunikasi verbal dan non verbal. Contoh: sulit bicara atau bicara
berulang-ulang
c. Gangguan respon emosi. Contoh: sering marah-marah dan tertawa tanpa alasan
d. Gangguan sensori, seperti tidak sensitif terhadap rasa sakit/takut
e. Gangguan pola bermain. Contoh: tidak suka bermain dengan teman sebaya
f. Gangguan tingkah laku. Untuk membantu mengobservasi tingkah laku anak
antara lain:
 Apakah penampilan anak tenang, cemas, tegang, sesuka hati, marah,
pemalu, banyak bicara, agresif, lebih memikirkan diri sendiri(egois),
stabil, atau murung.
 Apakah anak aktif, diam di tempat, gelisah atau tidak dalam diam. –
Apakah mudah atau susah untuk memperhatikan sesuatu.
 Apakah anak diam duduk, memanjat, lari, buka pintu, ingin tahu sesuatu
di lingkungannya.
 Apakah ada reaksi terhadap perintah dengan perasaan takut dan senang.
 Kemampuan mengikuti perintah, dapat mengikuti 2 atau 3 perintah dengan
baik tanpa diulangi.
g. Kaji riwayat kehamilan ibu, nutrisi saat hamil dan terjadi gangguan pada saat
hamil atau tidak.
h. Kaji riwayat partum dan post partum
i. Uji perkembangan seperti Denver II
2. Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul
1) Hambatan interaksi sosial berhubungan dengan tidak adanya teman sebaya atau
orang lain yang penting
2) Gangguan komunikasi verbal dan non verbal berhubungan dengan hambatan
psikologis
3) Gangguan persepsi sensori: penciuman dan taktil berhubungan dengan perubahan
penerimaan sensori, transmisi atau integrasi.
4) Resiko perilaku kekerasan terhadap diri sendiri berhubungan dengan status emosi

3. Rencana Tindakan Keperawatan


Diagnosa Tujuan dan Intervensi
No.
Keperawatan Kriteria Hasil
1. Hambatan Setelah dilakukan tindakan NIC : Peningkatan
interaksi sosial keperawatan selama 3 x 24 sosialisasi
berhubungan jam diharapkan pasien 1) Fasilitasi kemampuan
dengan tidak dapat menggunakan dengan orang lain
adanya teman aktivitas yang diperlukan 2) Identifikasi perubahan
sebaya atau orang untuk kesenangan, hiburan perilaku yang spesifik
lain yang penting dan perkembangan, 3) Identifikasi permainan
dengan kriteria hasil: yang dapat
NOC: Partisipasi meningkatkan interaksi
bermain sosial
 Berpartisipasi dan 4) Libatkan pendukung
menikmati sebaya dalam
permainan memberikan umpan
 Meningkatkan balik dalam interaksi
keterampilan sosial
interaksi social 5) Gunakan teknik bermain
 Menunjukkan peran untuk
perilaku yang meningkatkan
menunjukkan
perbaikan interaksi ketrampilan dan teknik
social berkomunikasi
 Memahami efek 6) Berikan umpan balik
perilaku diri positif jika pasien dapat
terhadap interaksi berinteraksi dengan
social orang lain
 Memainkan
permainan
interaktif dengan
teman
seusia/sebaya
2. Gangguan Setelah dilakukan tindakan NIC : Pencapaian
komunikasi verbal keperawatan selama 3 x 24 komunikasi
dan non verbal jam diharapkan pasien 1) Kaji kemampuan bicara
berhubungan dapat mengungkapkan dan berkomunikasi
dengan hambatan pesan verbal dan non 2) Anjurkan kehadiran pada
psikologis verbal dengan kriteria pertemuan kelompok
hasil: untuk melakukan kontak
NOC : Komunikasi: interpersonal
kemampuan ekspresif 3) Sering berikan pujian
 Berbicara pada positif pada pasien bila
orang lain mau berkomunikasi
 Menggambar 4) Pelihara atau
 Pertukaran pesan mengusahakan kontak
dengan orang lain mata dengan pasien
5) Libatkan keluarga dalam
latihan komunikasi
3. Gangguan persepsi Setelah dilakukan tindakan NIC : Pengelolaan sensori
sensori: keperawatan selama 3 x 24 perifer
penciuman dan jam diharapkan pasien 1) Pantau kemampuan
taktil berhubungan mampu menahan diri dari untuk membedakan
dengan perubahan gangguan persepsi, proses tajam atau tumpul, panas
penerimaan pikir, isi piker dengan atau dingin
sensori, transmisi kriteria hasil: 2) Pantau adanya
atau integrasi. NOC : Pengendalian parestesia: mati rasa –
distorsi pikir 3) Tingkatkan jumlah
 Berinteraksi sesuai stimuli untuk mencapai
dengan orang lain input sensori yang sesuai
dan lingkungan (peningkatan interaksi
 Memperlihatkan sosial, jadwal kontak)
pengaturan pikiran 4) Kurangi jumlah stimulus
yang logis untuk mencapai input
 Penuh perhatian, sensori yang sesuai
konsentrasi dan (hindarkan dari suara
orientasi yang keras atau bising)
5) Hindari atau pantau
secara ketat penggunaan
dingin dan panas
6) Pantau adanya barang-
barang yang
membahayakan di
lingkungan
4. Resiko perilaku Setelah dilakukan tindakan NIC : Mood management
kekerasan keperawatan selama 3 x 24 1) Monitor kemampuan
terhadap diri jam diharapkan pasien perawatan diri
sendiri mampu mengendalikan 2) Monitor intake cairan dan
berhubungan emosinya sehingga tidak nutrisi
dengan status beresiko untuk menyakiti 3) Monitor status fisik pasien
emosi diri sendiri dengan kriteria 4) Berikan kesempatan untuk
hasil: latihan fisik, contoh:
NOC : Mood equilibrium berjalan atau membaca
 Melaporkan tidur 5) Monitor status mental dan
yang adekuat psikologis pasien setelah
 Melaporkan dilakukan terapi
adanya nafsu
makan yang
normal
 Menunjukkan
ketertarikan dalam

Anda mungkin juga menyukai