Anda di halaman 1dari 122

TUGAS ASUHAN KEPERAWATAN JIWA

KLIEN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS SERTA KORBAN KDRT,


BULLYING, TRAFFIKING, NARAPIDANA
DAN ANAK JALANAN

DISUSUN OLEH

Nama : Ratna Karunia Sari

NIM : 042020014

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN TAHAP AKADEMIK JALUR TRANSFER

STIKES SANTA ELISABETH MEDAN

T.A 2020-2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia yang telah diberikan
kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “ Asuhan
Keperawatan Jiwa Klien Anak Berkebutuhan Khusus Serta Korban Kdrt, Bullying,
Traffiking, Narapidana Dan Anak Jalanan”. Makalah ini disusun sebagai tugas mata kuliah
Pastoral Care.

Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak yaitu bagi
penyusun maupun pembaca. Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna.
Untuk itu, penyusun mengharapkan adanya kritik maupun saran sebagai perbaikan dalam
penyusunan selanjutnya.

Akhir kata kelompok mengucapkan banyak terima kasih dan semoga makalah ini
bermanfaat bagi kita semua.

Batam, 10 Juni 2021

Penyusun,
ASUHAN KEPERAWATAN JIWA ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
AUTISME

KONSEP MEDIS

A. Defenisi
Autisme secara harafiah berasal dari kata autos (diri) sedangkan isme (paham /aliran).
Autisme secara etimologi adalah anak yang memiliki gangguan per kembang an dalam
dunianya sendiri. Beberapa pengartian autis menurut para ahli adalah sebagai berikut:
 Autisme adalah ganguan perkembangan yang terjadi pada anak yang mengalami
kondisi menutup diri. Dimana gangguan ini mengakibatkan anak mengalami
keterbatasan dari segi komunikasi, interaksi sosial, dan perilaku “Sumber dari Pedoman
Pelayanan Pendidikan Bagi Anak Austistik”. (American Psychiatic Association, 2000)
 Autisme adalah adanya gangguan dalam bidang Interaksi sosial, komunikasi, perilaku,
emosi, dan pola bermain, gangguan sensoris dan perkembangan terlambat atau tidak
normal. Autisme mulai tampak sejak lahir atau saat masi bayi (biasanya sebelum usia 3
tahun). “Sumber dari Pedoman Penggolongan Diagnotik Gangguan Jiwa” (PPDGJ III)

B. Klasifikasi
Autisme dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder R-IV
merupa kan salah satu dari lima jenis gangguan dibawah lingkup PDD (Perpasive
Development Disorder) di luar ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) dan
ADD (Attention Deficit Disorder). Gangguan perkembangan perpasiv (PDD) adalah
istilah yang dipakai untuk menggambarkan beberapa kelompok gangguan perkembangan
di bawah lingkup PDD, yaitu:
 Autistic Disorder (Autism) Muncul sebelum usia 3 tahun dan ditunjukkan adanya
hambatan dalam interaksi sosial, komunikasi dan kemampuan bermain secara
imaginatif serta adanya perilaku stereotip pada minat dan aktivitas.
 Asperger’s Syndrome Hambatan perkembangan interaksi sosial dan adanya minat dan
aktivitas yang terbatas, secara umum tidak menunjukkan keterlambatan bahasa dan
bicara, serta memiliki tingkat intelegensia rata-rata hingga di atas rata-rata.
 Pervasive Developmental Disorder–Not Otherwise Specified (PDD-NOS) Merujuk
pada istilah atypical autism, diagnosa PDD-NOS berlaku bila seorang anak tidak
menunjukkan keseluruhan kriteria pada diagnosa tertentu (Autisme, Asperger atau Rett
Syndrome).
 Rett’s Syndrome Lebih sering terjadi pada anak perempuan dan jarang terjadi pada
anak laki-laki. Sempat mengalami perkembangan yang normal kemudian terjadi
kemunduran/ kehilan gan kemampuan yang dimilikinya; kehilangan kemampuan
fungsional tangan yang diganti kan dengan gerakan-gerakan tangan yang berulang-
ulang pada rentang usia 1–4 tahun.
 Childhood Disintegrative Disorder (CDD) Menunjukkan perkembangan yang normal
selama 2 tahun pertama usia perkembangan kemudian tiba-tiba kehilangan
kemampuan-kemampuan yang telah dicapai sebelumnya

C. Etiologi
Penyebab autisme menurut banyak pakar telah disepakat bahwa pada otak anak
autisme dijumpai suatu kelainan pada otaknya. Apa sebabnya sampai timbul kelainan
tersebut memang belum dapat dipastikan. Banyak teori yang diajukan oleh para pakar,
kekurangan nutrisi dan oksigenasi, serta akibat polusi udara, air dan makanan. Diyakini
bahwa ganguan tersebut terjadi pada fase pembentukan organ (organogenesis) yaitu pada
usia kehamilan antara 0 ± 4 bulan. Organ otak sendiri baru terbentuk pada usia kehamilan
setelah 15 minggu.

D. Manifestasi Klinis
1. Gangguan dalam komunikasi verbal maupun nonverbal
2. Gangguan dalam bidang interaksi social
3. Gangguan dalam bermain
4. Gangguan perilaku
5. Gangguan perasaan dan emosi
6. Gangguan dalam persepsi sensori
7. Intelegensi
E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Autisme sebagai spektrum gangguan maka gejala-gejalanya dapat menjadi bukti
dari berbagai kombinasi gangguan perkembangan. Bila tes-tes secara behavioral maupun
komunikasi tidak dapat mendeteksi adanya autisme, maka beberapa instrumen screening
yang saat ini telah berkembang dapat digunakan untuk mendiagnosa autisme:
 Childhood Autism Rating Scale (CARS
 The Checklis for Autism in Toddlers (CHAT
 The Autism Screening Questionare
 The Screening Test for Autism in Two-Years Old

F. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dibagi dua yaitu penatalaksanaan medis dan penatalaksanaan
keperawatan.
1. Penatalaksanaan Medis
Umunya terapi yang diberikan ialah terhadap gejala, edukasi dan penerangan
kepada keluarga, serta penanganan perilaku dan edukasi bagi anak. Manajemen yang
efektif dapat mempengaruhi outcome. Intervensi farmakologi, yang saat ini
dievaluasi, mencakup obat fenfluramine, lithium, haloperidol dan naltrexone.
Terhadap gejala yang menyertai. Terapi anak dengan autisme membutuhkan
identifikasi diri. Intervensi edukasi yang intensif, lingkungan yang terstruktur, atensi
individual, staf yang terlatih baik, peran serta orang tua dapat meningkat prognosis.
Dalam terapi farmakologi dinyatakan belum ada obat atau terapi khusus
menyembuhkan kelainan ini. Medikasi (terapi obat) berguna terhadap gejala yang
menyertai, misalnya haloperidol, risperidone dan obat anti-psikotik teradap perilaku
agresif, ledakan-ledakan perilaku, instabilitas mood (suasana hati). Obat antidepresi
jenis SSRI dapat digunakan terhadap ansietas, kecemasan, mengurangi stereotip dan
perilaku perseveratif dan meng urangi ansietas dan fluktuasi mood. Perilaku
mencederai diri sendiri dan mengamuk kadang dapat diatasi dengan obat naltrexone.
2. Penatalaksanaan Keperawatan
Penatalaksanaan pada autisme bertujuan untuk:
a. Mengurangi masalah perilaku.
b. Terapi perilaku dengan memanfaatkan keadaan yang terjadi dapat meningkatkan
kemahiran berbicara. menagement perilaku dapat mengubah perilaku destruktif
dan agresif.
c. Meningkatkan kemampuan belajar dan perkembangan terutama bahasa. Latihan
dan pendidikan dengan menggunakan pendidikan (operant conditioning yaitu
dukungan positif (hadiah) dan dukungan negatif (hukuman).
d. Anak bisa mandiri dan bersosialisasi. Mengembangkan keterampilan sosial dan
keterampilan praktis.

KONSEP KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
1. Identitas klien
Meliputi nama anak, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, suku bangsa,
tanggal, jam masuk RS, nomor registrasi, dan diagnosis medis.
2. Riwayat kesehatan
 Riwayat kesehatan sekarang
Biasanya anak autis dikenal dengan kemampuan berbahasa, keterlambatan
atau sama sekali tidak dapat bicara. Berkomunikasi dengan menggunakan bahasa
tubuh dan hanya dapat berkomunikasi dalam waktu singkat, tidak senang atau
menolak dipeluk. Saat bermain bila didekati akan menjauh. Ada kedekatan
dengan benda tertentu seperti kertas, gambar, kartu atau guling, terus dipegang
dibawa kemana saja dia pergi. Bila senang satu mainan tidak mau mainan
lainnya. Sebagai anak yang senang kerapian harus menempat kan barang tertentu
pada tempatnya. Menggigit, menjilat atau mencium mainan atau bend apa saja.
Bila mendengar suara keras, menutup telinga. Didapatkan IQ dibawah 70 dari 70
% penderita, dan dibawah 50 dari 50%. Namun sekitar 5% mempunyai IQ diatas
100.

 Riwayat kesehatan dahulu (ketika anak dalam kandungan)


- Sering terpapar zat toksik, seperti timbal.
- Cidera otak
 Riwayat kesehatan keluarga
Tanyakan apakah ada anggota keluarga lain yang menderita penyakit serupa
dengan klien dan apakah ada riwayat penyakit bawaan atau keturunan. Biasanya
pada anak autis ada riwayat penyakit keturunan.
 Status perkembangan anak.
- Anak kurang merespon orang lain.
- Anak sulit fokus pada objek dan sulit mengenali bagian tubuh.
- Anak mengalami kesulitan dalam belajar.
- Anak sulit menggunakan ekspresi non verbal.
- Keterbatasan kognitif.
 Pemeriksaan fisik
- Anak tertarik pada sentuhan (menyentuh/sentuhan).
- Terdapat ekolalia.
- Sulit fokus pada objek semula bila anak berpaling ke objek lain.
- Anak tertarik pada suara tapi bukan pada makna benda tersebut.
- Peka terhadap bau.
 Psikososial
- Menarik diri dan tidak responsif terhadap orang tua
- Memiliki sikap menolak perubahan secara ekstrem
- Keterikatan yang tidak pada tempatnya dengan objek
- Perilaku menstimulasi diri
- Pola tidur tidak teratur
- Permainan stereotip
- Perilaku destruktif terhadap diri sendiri dan orang lain
- Tantrum yang sering
- Peka terhadap suara-suara yang lembut bukan pada suatu pembicaraan
- Kemampuan bertutur kata menurun
- Menolak mengkonsumsi makanan yang tidak halus
 Neurologis
- Respons yang tidak sesuai terhadap stimulus
- Refleks mengisap buruk
- Tidak mampu menangis ketika lapar
-
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan interaksi sosial berhubungan dengan defisiensi bicara, hambatan
perkembangan.
2. Gangguan komunikasi verbal dan non verbal berhubungan dengan hambatan
psikologis, hambatan individu.
3. Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan gangguan penglihatan, gangguan
pendengaran.
4. Isolasi sosial berhubungan dengan keterlambatan perkembangan, ketidaksesuaian
minat dengan tahap perkembangan.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK BERKEBUTUHAN
KHUSUS ADHD (Attention Deficit Hyperaktivity Disorder)

1. Pengertian
ADHD adalah singkatan dari Attention Deficit Hyperactivity Disorder, suatu kondisi
yang pernah dikenal sebagai Attention Deficit Hyperactivity Disorder, suatu kondisi yang
pernah dikenal sebagai Attention Deficit Hyperactivity Disorder (sulit memusatkan
perhatian), Minimal Brain Disorder (Ketidak beresan kecil di otak), Minimal Brain Damage
(Kerusakan kecil pada otak), Hyperkinesis (Terlalu banyak bergerak / aktif), dan
Hyperactive (Hiperaktif). Ada kira-kira 3 - 5% anak usia sekolah menderita ADHD
(Permadi, 2009).
ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) adalah gangguan neurobiologis yang
ciri-cirinya sudah tampak pada anak sejak kecil. Anak ADHD mulai menunjukkan banyak
masalah ketika SD karena dituntut untuk memperhatikan pelajaran dengan tenang, belajar
berbagai ketrampilan akademik, dan bergaul dengan teman sebaya sesuai aturan (Ginanjar,
2009).
ADHD adalah gangguan perkembangan dalam peningkatan aktifitas motorik anak-anak
hingga menyebabkan aktifitas anak-anak yang tidak lazim dan cenderung berlebihan.
Ditandai dengan berbagai keluhan perasaan gelisah, tidak bisa diam, tidak bisa duduk
dengan tenang, dan selalu meninggalkan keadaan yang tetap seperti sedang duduk, atau
sedang berdiri. Beberapa kriteria yang lain sering digunakan adalah, suka meletup-letup,
aktifitas berlebihan, dan suka membuat keributan (Klikdokter, 2008).

Belum diketahui apa penyebab pasti anak-anak menjadi hiperaktif. Namun menurut dunia
kedokteran, itu terkait dengan faktor biologis dan genetik, serta lingkungan.
1. Faktor genetic
Ada beberapa gen (diduga transporter gen dopamine lokus DAT 1 atau DR 4) yang
berhubungan dengan reseptor dopamine, transport dopamine, enzim dopamine
betahidroksilase, dankateko-o-metiltransferase ( enzim yang memetabolisme dopamine ),
yang mengalami perbedaan varian dari kondisi normal.
2. Faktor neurokimia
Berupa gangguan neurotransmitter (adrenergic/ nonadrenergik).
3. Faktor neurofisiologis
Berupa pertumbuhan pesat otak pada beberapa periode usia. Beberapa anak
mengalami keterlambatan pematangan pada usia tersebut sehingga muncul gejala-gejala
GPPH sementara.
4. Faktor lateralisasi
Dihibungkan dengan disfungsi padahemisfer kanan yang mengatur pemusatan
perhatian, konsentrasi dan fungsi emosi.
5. Faktor lingkungan
Berbagai toksin endogen pernah dianggap sebagai penyebab ADHD, seperti :
keracunan timbal, aditif makanan, reaksi alergi ( Feingold, 1973, 1976 ; David, 1974 ;
Taylor, 1986 ; Wender, 1986 : Hazel & Schumaker, 1988 ). Tetapi berbagai penelitian
terhadap factor tersebut tidak ada yang memberikan bukti adanaya hubungan yang
bermakna antara factor tersebut dan terjadinya ADHD (Zametkin & Rapoport, 1986;
Matson, 1993).
Masalah saat kehamilan (ibu merokok, depresi, minum alcohol, kekurangan oksigen,
keracunan plumbum) dan kelahiran (trauma lahir, infeksi), penggunaan mariyuana pada
awal masa remaja, konsumsi makanan dengan bahan pengawet dan zat pewarna,
penggunaan obat-obatan seperti fenobarbita l jangka panjang.

Menurut Townsend (1998) ada beberapa tanda dan gejala yang dapat dapat
ditemukan pada anak dengan ADHD antara lain:
Sering kali tangan atau kaki tidak dapat diam atau duduknya mengeliat-geliat;
Mengalami kesulitan untuk tetap duduk apabila diperlukan; Mudah bingung oleh
dorongan-dorongan asing; Mempunyai kesulitan untuk menunggu giliran dalam suatau
permainan atau keadaan di dalam suatu kelompok; Seringkali menjawab dengan kata-
kata yang tidak dipikirkan terhadap pertanyaan-pertanyaan yang belum selesai
disampaikan; Mengalami kesulitan untuk mengikuti instruksi-instruksi dari orang lain;
Mengalami kesulitan untuk tetap bertahan memperhatikan tugas-tugas atau aktivitas-
aktivitas bermain.

Skrining DDTK pada ADHD.


Dilakukan skrining DDTK pada anak pra sekolah dengan ADHD:
1. Tujuannya adalah untuk mengetahui secara dini anak adnya Gangguan
Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH) pada anak umur 36 bulan ke atas.
2. Jadwal deteksi dini GPPH pada anak prasekolah dilakukan atas indikasi
atau bila ada keluhan dari orang tua/pengasuh anak atau ada kecurigaan tenaga
kesehatan, kader kesehatan, BKB, petugas PADU, pengelola TPA, dan guru TK.
Menurut Baihaqi dan Sugiarmin (2006) perawatan yang dapat dilakukan orang tua
terhadap anak yang menderita ADHD antara lain :
a) Terapi medis : Mengendalikan simptom-simptom ADHD di sekolah dan rumah.
b) Pelatihan manajemen orang tua : Mengendalikan perilaku anak yang merusak di
rumah, mengurangi konflik antara orangtua dan anak serta meningkatkan pro-sosial
dan perilaku regulasi diri.
c) Intervensi pendidikan : Mengendalikan perilaku yang merusak di kelas,
meningkatkan kemampuan akademik serta mengajarkan perilaku pro sosial dan
regulasi diri.
d) Merencanakan program-program bulanan : Melakukan penyesuaian di rumah dan
keberhasilan ke depan di sekolah dengan mengombinasikan perlakukan tambahan
dan pokok dalam program terapi.
e) Melakukan konseling keluarga : Coping terhadap stres keluarga dan individu yang
berkaitan dengan ADHD, termasuk kekacauan hati dan permasalahan suami istri.
f) Mencari kelompok pendukung : Menghubungkan anak dewasa dengan orang tua
anak ADHD lainnya, berbagi informasi dan pengalaman mengenai permasalahan
umum dan memberi dukungan moral.
g) Melakukan konseling individu : Memberi dukungan di mana anak dapat membahas
permasalahan dan curahan hati pribadinya.
Menurut Videbeck (2008) intervensi keperawatan yang dapat dilakukan pada anak
dengan Attention Deficyt Hyperactivity Disorder (ADHD) antara lain :
1. Memastikan keamanan anak dan keamanan orang lain dengan :
a. Hentikan perilaku yang tidak aman.
b. Berikan petunjuk yang jelas tentang perilaku yang dapat diterima dan yang
tidak dapat diterima.
c. Berikan pengawasan yang ketat.
2. Meningkatkan performa peran dengan cara :
a. Berikan umpan balik positif saat memenuhi harapan.
b. Manajemen lingkungan (misalnya tempat yang tenang dan bebas dari distraksi
untuk menyelesaikan tugas).
3. Menyederhanakan instruksi/perintah untuk :
a. Dapatkan perhatian penuh anak.
b. Bagi tugas yang kompleks menjadi tugas-tugas kecil.
c. Izinkan beristirahat.
4. Mengatur rutinitas sehari-hari
a. Tetapkan jadual sehari-hari.
b. Minimalkan perubahan.
5. Penyuluhan dan dukungan kepada klien atau keluarga dengan mendengarkan
perasaan dan frustasi orang tua.
6. Berikan nutrisi yang adekuat pada anak yang mengalami ADHD.
a. Rendah Karbohidrat dan Tinggi Protein
b. Menghindari bahan – bahan yang membuat alergi pada anak ADHD karena
anak ADHD sangat sensitif sehingga mudah terjadi alergi. Bahan – bahan yang
harus dihindari seperti MSG, pengawet, susu, tepung, kedelai, jagung, telur,
kacang, dll.
c. Rendah Gula, Hindari makanan – makanan yanng banyak mengandung gula
seperti donat, permen, soft drinks, es krim dan cokelat.
d. Makan banyak sayuran dan tubuh.
e. Minum banyak air.
f. Menghindari makanan yang mengandung salisilat karena salisilat dapat
menghambat kerja enzim dalam otak yang berfungsi untuk mengurangi
kesensitifan otak terhadap reaksi alergi.
g. Mengkonsumsi suplemen.
h. Menghindari paparan logam berat dan kafein.
ASUHAN KEPERAWATAN JIWA ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS ADHD
Pengkajian
1. Identitas Klien :
ADHD terjadi pada anak usia 3 th, laki – laki cenderung memiliki kemungkinan 4x
lebih besar dari perempuan untuk menderita ADHD.
2. Keluhan utama :
Keluarga mengatakan anaknya tidak bisa diam, kaki atau tangannya bergerak terus.
3. Riwayat penyakit sekarang :
Orang tua atau pengasuh melihat tanda – tanda awal dari ADHD :
a. Anak tidak bisa duduk tenang.
b. Anak selalu bergerak tanpa tujuan dan tidak mengenal lelah.
c. Perubahan suasan hati yang yang mendadak/impulsive.
4. Riwayat penyakit sebelumnya :
Tanyakan kepada keluarga apakah anak dulu pernah mengalami cedera otak.
5. Riwayat penyakit keluarga
Tanyakan kepada keluarga apakah ada faktor genetic yang diduga sebagai penyebab
dari gangguan hiperaktivitas pada anak.
6. Riwayat psiko,sosio, dan spiritual :
Anak mengalami hambatan dalam bermain dengan teman dan membina hubungan
dengan teman sebaya nya karena hiperaktivitas dan impulsivitas.
7. Riwayat tumbuh kembang :
a. Prenatal : Ditanyakan apakah ibu ada masalah asupan alcohol
atau obat-obatan selama kehamilan.
b. Natal : Ditanyakan kepada ibu apakah ada penyulit selama
persalinan. lahir premature, berat badan lahir rendah (BBLR).
c. Postnatal : Ditanyakan apakah setelah lahir langsung diberikan
imunisasi apa tidak.
8. Riwayat imunisasi
Tanyakan pada keluarga apakah anak mendapat imunisasi lengkap.
Usia <7 hari anak mendapat imunisasi hepatitis B.
Usia 1 bulan anak mendapat imunisasi BCG dan Polio I.
Usia 2 bulan anak mendapat imunisasi DPT/HB I dan Polio 2.
Usia 3 bulan anak mendapat imunisasi DPT/HB II dan Polio 3.
Usia 4 bulan anak mendapat imunisasi DPT/HB III dan Polio 4.
Usia 9 bulan anak mendapat imunisasi campak.
9. Activity daily living ( ADL ) :
a. Nutrisi
Anak nafsu makan nya berkurang (anaroxia).
b. Aktivitas
Anak sulit untuk diam dan terus bergerak tanpa tujuan.
c. Eliminasi
Anak tidak mengalami ganguan dalam eliminasi.
d. Istirahat tidur
Anak mengalami gangguan tidur.
e. Personal Hygiene
Anak kurang memperhatikan kebersihan dirinya sendiri dan sulit di atur.

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik  dalam batas normal
1. Keadaan Umum
Penampilan : Klien tampak agak kusam.
Kesadaran : Composmentis
Vital Sign : TD : - RR : 25 kali / menit
Temp : 37,4 º C Nadi :100 kali / menit
BB : 18 kg TB : 110 cm
2. Kebersihan Anak
Klien kelihatan kusam karena sering bermain kesana kemari.
3. Suara Anak Waktu Menangis
Ketika klien mengangis terdengar suara yang kuat.
4. Keadaan Gizi Anak
Keadaan gizi anak cukup baik ditandai dengan BB: 18 kg.
(BB normal: 22 kg)
5. Aktivitas
Di rumah sakit klien berbaring ditempat tidur dan sesekali berpindah posisi agar
klien merasa nyaman.
6. Kepala dan Leher
Keadaan kepala tampak bersih, dan tidak ada luka atau lecet. Klien dapat
menggerakkan kepalanya kekiri dan kekanan. Tidak ada pembengkakan kelenjar
tyroid dan limfe.
7. Mata (Penglihatan)
Bentuk simetris, tidak ada kotoran mata, konjungtiva tidak anemis, fungsi
penglihatan baik karena klien tidak menggunakan alat bantu, tidak ada peradangan
dan pendarahan.
8. Telinga (Pendengaran)
Tidak terdapat serumen, fungsi pendengaran baik karena klien jika dipanggil
langsung memberi respon. Tidak ada peradangan dan pendarahan.
9. Hidung (Penciuman)
Bentuk simetris, kebersihan hidung baik tidak terdapat kotoran pada hidung, tidak
terdapat polip.
10. Mulut (Pengecapan)
Tidak terlihat peradangan dan pendarahan pada mulut, fungsi pengecapan baik,
mukosa bibir kering.
11. Dada (Pernafasan)
Bentuk dada simetris, tidak ada gangguan dalam bernafas, tidak ada bunyi tambahan
dalam bernafas, dengan frekuensi nafas 25 x/menit.
12. Kulit
Terlihat sedikit kusam, tidak terdapat lesi maupun luka, turgor kulit baik (dapat
kembali dalam 2 detik), kulit klien teraba panas dengan temperatur 37,4 º C.
13. Abdomen
Bentuk simetris, tidak ada luka dan peradangan, tidak ada kotoran yang melekat pada
kulit.
14. Ekstremitas Atas dan Bawah
Bentuk simetris, tidak ada luka maupun fraktur pada ekstremitas atas dan bawah,
terdapat keterbatasan gerak pada ekstremitas atas bagian dekstra karena terpasang
infuse RL 20 tetes/menit.
15. Genetalia
Klien berjenis kelamin laki-laki dan tidak terpasang kateter.

Rencana Keperawatan
1. Diagnosa Keperawatan
Menurut Videbeck (2008), Townsend (1998), dan Doenges (2007) diagnosa
keperawatan yang dapat dirumuskan pada anak yang mengalami ADHD antara lain :
1. Risiko cedera berhubungan dengan hiperaktivitas dan perilaku impulsive.
2. Koping individu tidak efektif berhubungan dengan tidak adekuatnya tingkat
kepercayaan diri terhadap kemampuan untuk melakukan koping.
2. Intervensi Keperawatan
Menurut Cyntia Taylor (2013), intervensi keperawatan untuk mengatasi ADHD adalah
1. Risiko cedera
a) Bantu pasien dan anggota keluarga mengidentifikasi situasi dan bahaya yang dapat
mengakibatkan kecelakaan.
b) Anjurkan pasien dan keluarga untuk mengadakan perbaikan dan menghilangkan
kemungkinan keamanan dari bahaya.
c) Beri dorongan kepada orang dewasa untuk mendiskusikan peraturan keamanan
terhadap anak.
d) Rujuk pasien ke sumber-sumber komunitas yang lebih tepat.
2. Ketidakefektifan koping
a) Dorong pasien untuk menggunakan system pendukung ketika melakukan koping.
b) Identifikasi dan turunkan stimulus yang tidak perlu dalam lingkungan.
c) Jelaskan kepada orang tua semua terapi dan prosedur dan jawab pertanyaan pasien.
d) Rujuk pasien untuk melakukan konseling pada psikolog.
3. Implementasi Keperawatan
Risiko cedera berhubungan dengan hiperaktivitas dan perilaku impulsive.
a) Membantu pasien dan anggota keluarga mengidentifikasi situasi dan bahaya yang
dapat mengakibatkan kecelakaan.

b) Menganjurkan pasien dan keluarga untuk mengadakan perbaikan dan


menghilangkan kemungkinan keamanan dari bahaya.

c) Memberi dorongan kepada orang dewasa untuk mendiskusikan peraturan keamanan


terhadap anak.

d) Merujuk pasien ke sumber-sumber komunitas yang lebih tepat.

Koping individu tidak efektif berhubungan dengan tidak adekuatnya tingkat kepercayaan
diri terhadap kemampuan untuk melakukan koping.

a) Mendorong pasien untuk menggunakan system pendukung ketika melakukan


koping.
b) Mengidentifikasi dan menurunkan stimulus yang tidak perlu dalam lingkungan.
c) Menjelaskan kepada orang tua semua terapi dan prosedur dan jawab pertanyaan
pasien.
d) Merujuk pasien untuk melakukan konseling pada psikolog.
Evaluasi
Hasil yang diharapkan dari pemberian asuhan keperawatan pada anak dengan ADHD
antara lain:

a) Anak mengetahui, mengungkapkan dan menerima kemungkinan konsekuensi dari


perilaku maladptif diri sendiri.

b) Anak mampu mengungkapkan persepsi yang positif tentang diri.


c) Anak berpartisipasi dalam aktivitas – aktivitas baru tanpa memperlihatkan rasa
takut yang ekstrem terhadap kegiatan.

d) Orang tua mampu mengerti akan pemahaman keamanan terhadap anaknya agar
tidak cedera.

e) Orang tua mengungkapkan aktivitas anaknya sudah bisa dikendalikan.


ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK KORBAN PEMERKOSAAN

A. Pengertian
Perkosaan (rape) merupakan bagian dari tindakan kekerasan (violence),
sedangkan kekerasan dapat berupa kekerasan secara fisik, mental, emosional dan hal-hal
yang sangat menakutkan pada korban. Perkosaan adalah suatu penetrasi penembusan
penis ke vagina perempuan yang tidak dikehendaki, tanpa persetujuan dan tindakan itu
diikuti dengan pemaksaan baik fisik maupun mental.

Pengertian pemerkosaan berdasarkan Pasal 381 RUU KUHP :

1. Seorang laki-laki dengan perempuan bersetubuh, bertentangan dengan kehendaknya,


tanpa persetubuhan atau dengan persetubuhan yang dicapai melalui ancaman atau
percaya Ia suaminya atau wanita dibawah 14 tahun dianggap perkosaan.
2. Dalam keadaan ayat (1), memasukkan alat kelaminnya ke dalam anus atau mulut
perempuan, benda bukan bagian tubuhnya ke dalam vagina atau anus perempuan.

Perkosaan adalah tindakan kekerasaan atau kejahatan seksual berupa hubungan


seksual yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan dengan kondisi atas kehendak
dan persetujuaan perempuan, dengan persetujuan perempuan namun dibawah ancaman,
dengan persetujuan perempuan namun melalui penipuan. Dalam KUHP pasal 285
disebutkan perkosaan adalah kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa seseorang
perempuan bersetubuh dengan dia (laki-laki) diluar pernikahan.

Kalimat korban perkosaan menurut arti leksikal dan gramatikal adalah suatu kejadian,
perbuatan jahat, atau akibat suatu kejadian, atau perbuatan jahat. Perkosaan adalah
Menundukkan dengan kekerasan, memaksa dengan kekerasan, menggagahi, merogol.
(Mendikbud,2010: 525, 757).

B. Gangguan Stres Pasca Trauma


Seorang psikiater di Jakarta yang bernama W. Roan menyatakan trauma berarti
cidera, kerusakan jaringan, luka atau shock. Sementara trauma psikis, dalam Psikologi
diartikan sebagai kecemasan hebat dan mendadak akibat suatu peristiwa dilingkungan
seseorang yang melampaui batas kemampuannya untuk bertahan, mengatasi atau
menghindar (Roan, W., 2003).
Gangguan stress pasca trauma (Post Traumatic Stress Disorder (PTSD))
merupakan suatu sindrom kecemasan, labilitas autonomic, ketidakrentanan emosional,
dan kilas balik dari pengalaman yang amat pedih itu setelah stress fisik maupun emosi
yang melampaui batas ketahanan orang biasa (Kaplan et al., 1997). Menurut National
Institute of Mental Health (NIMH), definisi PTSD adalah gangguan berupa kecemasan
yang bisa timbul setelah seseorang mengalami suatu peristiwa yang mengancam
keselamatan jiwa atau fisiknya. Peristiwa yang menimbulkan trauma ini bisa berupa
serangan kekerasan, bencana alam yang menimpa manusia, kecelakaan atau perang
(Anonim, 2005)
Sedangkan Hikmat mengatakan bahwa PTSD adalah sebuah kondisi yang muncul
setelah pengalaman luar biasa yang mencekam, mengerikan, dan mengancam jiwa
seseorang seperti bencana alam, kecelakaan hebat, sexual abuse (kekerasan seksual), atau
perang (Hikmat, 2005).

C. Tanda dan Gejala


1. Terdapat stressor yang berat dan jelas (kekerasan, perkosaan), yang akan
menimbulkan gejala penderitaan yang berarti bagi hampir setiap orang.
2. Penghayatan yang berulang-ulang dari trauma itu yang dibuktikan oleh terdapatnya
paling sedikit satu dari hal berikut :
a. ingatan berulang dan menonjol tentang peristiwa itu;
b. mimpi-mimpi berulang dari peristiwa itu;
c. timbulnya secara tiba-tiba perilaku atau perasaan seolah-olah peristiwa traumatik
itu sedang timbul kembali, karena berkaitan dengan suatu gagasan atau
stimulus/rangsangan lingkungan.
3. Penumpulan respons terhadap atau berkurangnya hubungan dengan dunia luar
(“psychic numbing” atau “anesthesia emotional”) yang dimulai beberapa waktu
sesudah trauma, dan dinyatakan paling sedikit satu dari hal berikut :
a. berkurangnya secara jelas minat terhadap satu atau lebih aktivitas yang cukup
berarti;
b. perasaan terlepas atau terasing dari orang lain;
c. afek (alam perasaan) yang menyempit (constricted affect) atau afek depresif
(murung, sedih, putus asa).
4. Paling sedikit ada dua dari gejala-gejala berikut ini yang tidak ada sebelum trauma
terjadi, yaitu :
a. kewaspadaan atau reaksi terkejut yang berlebihan;
b. gangguan tidur (disertai mimpi-mimpi yang menggelisahkan);
c. perasaan bersalah karena lolos dari bahaya maut, sedangkan orang lain tidak, atau
merasa bersalah tentang perbuatan yang dilakukannya agar tetap hidup;
d. hendaya (impairment) daya ingat atau kesukaran konsentrasi
e. penghindaran diri dari aktivitas yang membangkitkan ingatan tentang peristiwa
traumatik itu;
f. peningkatan gejala-gejala apabila dihadapkan pada peristiwa yang menyimbolkan
atau menyerupai peristiwa traumatik itu

D. Batasan Karakteristik
1. Fase akut
a. Respons somatic
- Peka rangsang gastrointerstinal (mual, muntah, anoreksia)
- Ketidaknyamanan genitourinarius (nyeri, pruritus)
- Ketegangan otot-otot rangka (spasme, nyeri).
b. Respons psikologis
- Menyangkal
- Syok emosional
- Marah
- Takut – akan mengalami kesepian, atau pemerkosa akan kembali
- Rasa bersalah
- Panik melihat pemerkosa atau adegan penyerangan
c. Respons seksual
- Tidak percaya pada laki-laki
- Perubahan dalam perilaku seksual
2. Fase jangka panjang
Setiap respons pada fase akut dapat berlanjut jika tidak pernah terjadi resolusi
a. Respons psikologis
- Fobia
- Mimpi buruk atau gangguan tidur
- Ansietas
- Depresi

E. Permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan korban pemerkosaan


 Panic attack (serangan panik)
Anak / remaja yang mempunyai pengalaman trauma dapat mengalami serangan
panik ketika dihadapkan / menghadapi sesuatu yang mengingatkan mereka pada
trauma. Serangan panik meliputi perasaan yang kuat atas ketakutan atau perasaan
tidak nyaman yang menyertai gejala fisik maupun psikologis. Gejala fisik meliputi
jantung berdebar-debar, berkeringat, gemetar, sesak nafas, sakit dada, sakit perut,
pusing, merasa kedinginan, badan panas, mati rasa.
 Perilaku menghindar
Menghindari hal-hal yang dapat mengingatkan penderita pada kejadian traumatis.
Kadang-kadang penderita mengaitkan semua kejadian dalam seluruh kehidupannya
setiap hari dengan kejadian trauma, padahal kondisi kehidupan sekarang jauh dari
kondisi trauma yang pernah dialaminya. Hal ini seringkali menjadi lebih parah
sehingga penderita menjadi takut untuk keluar rumah dan harus ditemani oleh orang
lain jika harus keluar rumah.
 Depresi
Banyak orang menjadi depresi setelah mengalami pengalaman trauma dan
menjadi tidak tertarik dengan hal-hal yang disenanginya sebelum peristiwa trauma.
Mereka mengembangkan perasaan-perasaan yang tidak benar, perasaan bersalah,
menyalahkan diri sendiri, dan merasa bahwa peristiwa yang dialaminya adalah
merupakan kesalahannya, walaupun semua itu tidak benar.
 Membunuh pikiran dan perasaan
Kadang-kadang orang yang depresi berat merasa bahwa kehidupannya sudah
tidak berharga. Hasil penelitian menjelaskan bahwa 50 % korban kejahatan
mempunyai pikiran untuk bunuh diri. Jika anda dan orang yang terdekat dengan anda
mempunyai pemikiran untuk bunuh diri setelah mengalami peristiwa traumatik,
segeralah mencari pertolongan dan berkonsultasi dengan para profesional.
 Merasa disisihkan dan sendiri
Perlunya dukungan dari lingkungan sosialnya tetapi mereka seringkali merasa
sendiri dan terpisah. Karena perasaan mereka tersebut, penderita kesulitan untuk
berhubungan dengan orang lain dan mendapatkan pertolongan. Penderita susah untuk
percaya bahwa orang lain dapat memahami apa yang telah dia alami.
 Merasa tidak percaya dan dikhianati
Setelah mengalami pengalaman yang menyedihkan, penderita mungkin
kehilangan kepercayaan dengan orang lain dan merasa dikhianati atau ditipu oleh
dunia, nasib atau oleh Tuhan.
 Mudah marah

Marah dan mudah tersinggung adalah reaksi yang umum diantara penderita
trauma. Tentu saja kita dapat salah kapan saja, khususnya ketika penderita merasa
tersakiti, marah adalah suatu reaksi yang wajar dan dapat dibenarkan. Bagaimanapun,
kemarahan yang berlebihan dapat mempengaruhi proses penyembuhan dan
menghambat penderita untuk berinteraksi dengan orang lain di rumah dan di tempat
terapi.

 Gangguan yang berarti dalam kehidupan sehari-hari


Beberapa gangguan yang terkait dengan fungsi sosial dan gangguan di sekolah
dalam jangka waktu yang lama setelah trauma. Seorang korban kejahatan mungkin
menjadi sangat takut untuk tinggal sendirian. Penderita mungkin kehilangan
kemampuannya dalam berkonsentrasi dan melakukan tugasnya di sekolah. Bantuan
perawatan pada penderita sangat penting agar permasalahan tidak berkembang lebih
lanjut.

 Persepsi dan kepercayaan yang aneh


Adakalanya seseorang yang telah mengalami trauma yang menjengkelkan,
seringkali untuk sementara dapat mengembangkan ide atau persepsi yang aneh
(misalnya : percaya bahwa dia bisa berkomunikasi atau melihat orang-orang yang
sudah meninggal). Walaupun gejala ini menakutkan dan menyerupai halusinasi dan
khayalan, gejala tersebut seringkali bersifat sementara dan hilang dengan sendirinya.

F. Pengobatan
Ada dua macam terapi pengobatan yang dapat dilakukan korban pemerkosaan,
yaitu dengan menggunakan farmakoterapi dan psikoterapi.
1. Farmakoterapi
Mulai terapi obat hanya dalam hal kelanjutan pengobatan pasien yang sudah
dikenal. Terapi dengan anti depresiva pada gangguan stress pasca traumatik ini masih
kontroversial. Obat yang biasa digunakan adalah benzodiazepin, litium, camcolit dan
zat pemblok beta – seperti propranolol, klonidin, dan karbamazepin. Obat tersebut
biasanya diresepkan sebagai obat yang sudah diberikan sejak lama dan kini
dilanjutkan sesuai yang diprogramkan, dengan kekecualian, yaitu benzodiazepin –
contoh, estazolam 0,5 – 1 mg per os, Oksanazepam10-30 mg per os, Diazepam
(valium) 5 – 10 mg per os, Klonazepam 0,25 – 0,5 mg per os, atau Lorazepam 1- 2
mg per os atau IM – juga dapat digunakan dalam UGD atau kamar praktek terhadap
ansietas yang gawat dan agitasi yang timbul bersama gangguan stres pasca traumatik
tersebut (Kaplan et al, 1997).
2. Psikoterapi
 Anxiety Management
Pada anxiety management, terapis akan mengajarkan beberapa
ketrampilan untuk membantu mengatasi gejala korban pemerkosaan dengan lebih
baik melalui :
 Relaxation Training
Yaitu belajar untuk mengontrol ketakutan dan kecemasan secara sistematis
dan merelaksasikan kelompok otot-otot utama.

 Breathing retraining
Yaitu belajar bernafas dengan perut secara perlahan-lahan, santai dan
menghindari bernafas dengan tergesa-gesa yang menimbulkan perasaan tidak
nyaman, bahkan reaksi fisik yang tidak baik seperti jantung berdebar dan sakit
kepala.
 Positive thinking dan self-talk
Yaitu belajar untuk menghilangkan pikiran negatif dan mengganti dengan
pikiran positif ketika menghadapi hal-hal yang membuat stress (stresor).
 Assertiveness Training
Yaitu belajar bagaimana mengekspresikan harapan, opini dan emosi tanpa
menyalahkan atau menyakiti orang lain.
 Thought Stopping
Yaitu belajar bagaimana mengalihkan pikiran ketika kita sedang
memikirkan hal-hal yang membuat kita stress (Anonim, 2005).
 Cognitive therapy
Terapis membantu untuk merubah kepercayaan yang tidak rasional yang
mengganggu emosi dan mengganggu kegiatan-kegiatan kita. Misalnya seorang
korban kejahatan mungkin menyalahkan diri sendiri karena tidak hati-hati. Tujuan
kognitif terapi adalah mengidentifikasi pikiran-pikiran yang tidak rasional,
mengumpulkan bukti bahwa pikiran tersebut tidak rasional untuk melawan
pikiran tersebut yang kemudian mengadopsi pikiran yang lebih realistik untuk
membantu mencapai emosi yang lebih seimbang (Anonim, 2005).
 Exposure therapy
Pada exposure terapi, terapis membantu menghadapi situasi yang khusus,
orang lain, obyek, memori atau emosi yang mengingatkan pada trauma dan
menimbulkan ketakutan yang tidak realistik dalam kehidupan sehari-hari. Terapi
ini dapat berjalan dengan dua cara :
 Exposure in the imagination
Terapis bertanya kepada penderita untuk mengulang-ulang cerita secara
detail kenangan-kenangan traumatis sampai mereka tidak mengalami hambatan
untuk menceritakannya.
 Exposure in reality
Terapis membantu untuk menghadapi situasi yang sekarang aman tetapi
ingin dihindari karena menyebabkan ketakutan yang sangat kuat (misalnya :
kembali ke rumah setelah terjadi perampokan di rumah). Ketakutan itu akan
bertambah kuat jika kita berusaha untuk mengingat situasi tersebut dibanding
berusaha untuk melupakannya. Pengulangan situasi yang disertai penyadaran
yang berulang-ulang akan membantu kita menyadari bahwa situasi lampau yang
menakutkan tidak lagi berbahaya dan kita dapat mengatasinya (Anonim, 2005).
 Play therapy
Terapi bermain digunakan untuk menerapi anak-anak dengan trauma.
Terapis menggunakan permainan untuk memulai topik yang tidak dapat dimulai
secara langsung. Hal ini dapat membantu anak-anak untuk lebih merasa nyaman
dalam berproses dengan pengalaman traumatiknya (Anonim, 2005).
 Support  Group Therapy
Seluruh peserta dalam Support Group Therapy merupakan korban
perkosaan, yang mempunyai pengalaman serupa (misalnya korban bencana
tsunami, korban gempa bumi) dimana dalam proses terapi mereka saling
menceritakan tentang pengalaman traumatis mereka, kemdian mereka saling
memberi penguatan satu sama lain (Swalm, 2005).
 Terapi Bicara
Sejumlah studi penelitian membuktikan bahwa terapi berupa saling
berbagi cerita mengenai trauma mampu memperbaiki kondisi kejiwaan penderita.
Dengan berbagi pengalaman, korban bisa memperingan beban pikiran dan
kejiwaan yang dipendamnya selama ini. Bertukar cerita dengan sesama penderita
membuat mereka merasa senasib, bahkan merasa dirinya lebih baik dari orang
lain. Kondisi ini memicu seseorang untuk bangkit dari trauma yang dideritanya
dan melawan kecemasan (Anonim, 2005).
G. Beban Psikologis dan Kesehatan Korban Pemerkosaan
Kondisi, dampak, dan tantangan yang dihadapi tiap korban pemerkosaan berbeda
satu sama lain. Merasa takut, cemas, panik, shock, atau bersalah adalah hal yang wajar.
Luka yang mereka rasakan dapat menetap dan berdampak hingga seumur hidup. Banyak
korban yang merasa kehilangan kepercayaan diri dan kendali atas hidup mereka sendiri.
Hal ini juga dapat membuat mereka kesulitan mengungkapkan yang terjadi pada diri
mereka, meski cerita mereka sangat dibutuhkan untuk menindak pelaku. Berbagai
perasaan yang campur aduk dan situasi rumit tersebut akan membawa dampak bagi
kesehatan dan psikologis mereka.

1. Beban Psikologis
Tindak pemerkosaan pasti mendatangkan trauma bagi yang mengalaminya.
Respons tiap orang terhadap pemerkosaan yang menimpanya pasti berbeda dengan
munculnya berbagai perasaan yang menjadi satu dan bahkan dapat baru terlihat lama
setelah peristiwa tersebut terjadi. Berikut ini adalah beberapa perubahan psikologis
yang umumnya dialami korban.
a. Menyalahkan diri sendiri
Sikap menyalahkan diri sendiri adalah kondisi yang paling umum dialami
korban pemerkosaan. Sikap inilah yang paling menghambat proses penyembuhan.
Korban pemerkosaan dapat berisiko menyalahkan diri sendiri karena dua hal:
 Menyalahkan diri karena perilaku. Mereka menganggap ada yang salah dalam
tindakan mereka sehingga akhirnya mengalami tindakan pemerkosaan.
Mereka akan terus merasa untuk seharusnya berperilaku berbeda sehingga
tidak diperkosa.
 Menyalahkan diri karena merasa ada sesuatu yang salah di dalam diri mereka
sendiri sehingga mereka pantas mendapatkan perlakuan kasar.
Sayangnya orang-orang terdekat, seperti pasangan, belum tentu dapat
mendukung pulihnya kondisi pasien. Sebagian kerabat korban mungkin merasa
tidak dapat menerima kenyataan atau justru menyalahkan sehingga korban makin
berada dalam posisi yang sulit.
Kebanyakan korban pemerkosaan juga tidak dapat dengan mudah diyakinkan
bahwa ini bukanlah salah mereka. Rasa malu ini kemudian berhubungan erat
dengan gangguan lain, seperti pola makan, kecemasan, depresi, mengonsumsi
minuman keras dan obat-obatan terlarang, serta gangguan mental lain. Kondisi ini
dapat diatasi dengan terapi perilaku kognitif dalam melakukan reka ulang proses
penyusunan fakta dan logika dalam pikiran.
b. Bunuh diri
Kondisi stres pascatrauma membuat korban pemerkosaan lebih berisiko
untuk memutuskan bunuh diri. Tindakan ini terutama dipicu oleh rasa malu dan
merasa tidak berharga.
c. Kriminalisasi korban pemerkosaan
Pada budaya dan kelompok masyarakat tertentu, korban pemerkosaan
dapat menjadi korban untuk kedua kalinya karena dianggap telah berdosa dan
tidak layak hidup. Mereka diasingkan dari masyarakat, tidak diperbolehkan
menikah, atau diceraikan (jika telah menikah). Dalam kelompok masyarakat lain,
kriminalisasi pun dapat terjadi ketika korban disalahkan karena dianggap perilaku
atau cara berpakaiannya yang menjadi penyebab diperkosa.
Selain itu, korban berisiko mengalami hal-hal lain seperti depresi, merasa
seakan-akan peristiwa tersebut terulang terus-menerus, sering merasa cemas dan
panik, mengalami gangguan tidur dan sering bermimpi buruk, sering menangis,
menyendiri, menghindari pertemuan dengan orang lain, atau sebaliknya tidak mau
ditinggal sendiri. Ada kalanya mereka menarik diri dan menjadi pendiam, atau
justru menjadi pemarah.
1. Efek terhadap Fisik Korban
Selain luka psikologis, korban pemerkosaan membawa luka pada
tubuhnya. Sebagian mungkin terlihat, namun sebagian lagi barangkali baru
dapat dideteksi beberapa waktu kemudian.
Sementara secara fisik mereka dapat terlihat mengalami perubahan pola
makan atau gangguan pola makan. Tubuh mereka bisa terlihat tidak terawat,
berat badan turun, dan luka pada tubuh seperti memar atau cedera pada
vagina.
Berikut beberapa kondisi yang umum terjadi pada korban pemerkosaan:
a. Penyakit menular seksual (PMS)
Penetrasi vagina yang dipaksakan membuat terjadinya luka yang
membuat virus dapat masuk melalui mukosa vagina. Kondisi ini lebih
rawan terjadi pada anak atau remaja yang lapisan mukosa vaginanya
belum terbentuk dengan kuat.
Meski belum ada tanda-tanda yang terasa, namun korban
pemerkosaan sebaiknya memeriksakan diri untuk mendeteksi
kemungkinan terkena penyakit menular seksual. Infeksi seperti HIV (virus
yang menyebabkan AIDS) dapat ditangani dengan post-exposure
prophylaxis (PEP), yaitu perawatan profilaksis setelah tubuh terpapar
penyakit. Namun perawatan ini harus dilakukan sesegera mungkin.
b. Penyakit lain
Selain penyakit menular seksual, korban perkosaan umumnya
menderita konsekuensi yang berpengaruh pada kesehatan mereka:
 Peradangan pada vagina atau vaginitis.
 Infeksi atau pendarahan pada vagina atau anus.
 Gangguan hasrat seksual hipoaktif (hypoactive sexual desire
disorder/HSDD): keengganan esktrem untuk berhubungan seksual
atau justru menghindari semua atau hampir semua kontak seksual.
 Nyeri saat berhubungan seksual, disebut juga dyspareunia.
 Vaginismus: kondisi yang memengaruhi kemampuan wanita untuk
merespons penetrasi ke vagina akibat otot vagina yang berkontraksi di
luar kontrol.
 Infeksi kantong kemih.
 Nyeri panggul kronis.
c. Kehamilan yang tidak diinginkan
Kehamilan adalah salah satu kondisi dan konsekuensi terberat yang
mungkin terjadi pada korban pemerkosaan. Belum berhasil
menyembuhkan diri sendiri, mereka harus dihadapkan pada kenyataan
adanya kehidupan lain di dalam tubuhnya yang sebenarnya tidak mereka
harapkan. Kondisi psikologis wanita yang buruk dapat membuat bayi
berisiko tinggi mengalami kondisi kelainan atau lahir prematur.
Dampak fisik mungkin dapat sembuh dalam waktu lebih singkat.
Namun dampak psikologis dapat membekas lebih lama. Peran keluarga,
kerabat, dokter, dan terapis akan menjadi kunci dari kesembuhan dan
ketenangan bagi mereka yang menjadi korban pemerkosaan.

Peran Perawat
1. Pentingnya mengkomunikasikan empat ucapan berikut ini pada korban perkosaan :
b. Saya prihatin hal ini terjadi padamu
c. Anda aman disini
d. Saya senang anda hidup
e. Anda tidak bersalah. Anda adalah koban. Ini bukan kesalahan anda. Apapun
keputusan yang anda buat pada saat pengorbanan adalah hak seseorang karena anda
hidup.
Korban yang telah diperkosa secara seksual takut terhadap kehidupannya dan harus
diyakinkan kembali keamanannya. Ia mungkin juga sangat ragu-ragu dengan dirinya dan
menyalahkan diri sendiri, dan penyataan-pernyataan ini membangkitkan rasa percaya secara
bertahap dan memvalidasi harga diri.
1. Jelaskan setiap prosedur pengkajian yang akan dilakukan  dan mengapa. Pastikan bahwa
pengumpulan data dilakukan dalam perawatan, cara tidak menghakimi, untuk
menurunkan ketakutan atau ansietas dan untuk meningkatkan rasa percaya.
2. Pastikan bahwa pasien memiliki privasi yang adekuat untuk semua intervensi-intervensi
segera pasca-krisis. Cobakan sedikit mungkin orang yang memberikan perawatan segera
atau mengumpulkan bukti segera. Pasien pasca-trauma sangat rentan. Penambahan orang
dalam lingkungannya meningkatkan perasaan rentan ini dan bertindak  meningkatkan
ansietas.
3. Dorong pasien untuk menghitung jumlah serangan. Dengarkan, tapi tidak menyelidiki.
Mendengarkan dengan tidak menghakimi memberikan kesempatan untuk katarsis bahwa
pasien perlu memulai pemulihan. Jumlah yang rinci mungkin dibutuhkan untuk tindak  
lanjut secara legal, dan seorang klinisi sebagai pembela pasien, dapat menolong untuk
mengurangi trauma dari pengumpulan bukti.
4. Diskusikan dengan pasien siapa yang dapat dihubungi untuk memberikan dukungan atau
bantuan. Berikan informasi tentang rujukan setelah perawatan. Karena ansietas berat dan
rasa takut, pasien mungkin membutuhkan bantuan dari orang lain selama periode segera
pasca-krisis. Berikan informasi rujukan tertulis untuk referensi selanjutnya (mis.,
psikoterapis, klinik kesehatan jiwa, kelompok pembela masyarakat.
5. Discharge Planning
Hasil yang diharapkan dari pemberian asuhan keperawatan pada anak dengan
penganiayaan seksual (sexual abuse) antara lain:
a. Anak tidak mengalami ansietas panik lagi.
b. Anak mendemonstrasikan derajat percaya kepada perawat primer.\
c. Anak menerima perhatian dengan segera terhadap cedera fisiknya.
d. Anak memulai perilaku yang konsisten terhadap respons berduka.
e. Anak mendapatkan perhatian segera untuk cedera fisiknya jika ada.
f. Anak menyatakan secara verbal jaminan keamanannya dengan segera.
g. Anak mendiskusikan situasi kehidupannya dengan perawat primer.
h. Anak mampu menyatakan secara verbal pilihan –pilihan yang tersedia untuk
dirinya yang dari hal ini ia menerima bantuan.
i. Anak mendemosntrasikan rasa percaya kepada perawat utama melalui
mendiskusikan perlakuan penganiayaan melalui penggunaan terapi bermain.
j. Anak mendemonstrasikan suatu penurunan dalam perilaku agresif.
 
RESUME KEPERAWATAN JIWA PADA ANAK KORBAN KDRT

A. PENGERTIAN
Menurut Sutanto (2006), kekerasan anak adalah perlakuan orang dewasa/anak
yang lebih tua dengan menggunakan kekuasaan/otoritasnya terhadap anak yang tak
berdaya yang seharusnya menjadi tanggung jawab/pengasuhnya, yang berakibat
penderitaan, kesengsaraan, cacat atau kematian. Kekerasan anak lebih bersifat sebagai
bentuk penganiayaan fisik dengan terdapatnya tanda atau luka pada tubuh sang anak.
Jika kekerasan terhadap anak didalam rumah tangga dilakukan oleh orang tua,
maka hal tersebut dapat disebut kekerasan dalam rumah tangga. Tindak kekerasan rumah
tangga yang termasuk di dalam tindakan kekerasan rumah tangga adalah memberikan
penderitaan baik secara fisik maupun mental di luar batas-batas tertentu terhadap orang
lain yang berada di dalam satu rumah; seperti terhadap pasangan hidup, anak, atau orang
tua dan tindak kekerasan tersebut dilakukan di dalam rumah.
Sedangkan Child Abuse adalah semua bentuk kekerasan terhadap anak yang
dilakukan oleh mereka yang seharusnya bertanggung jawab atas anak tersebut atau
mereka yang memiliki kuasa atas anak tersebut, yang seharusnya dapat di percaya,
misalnya orang tua, keluarga dekat, dan guru.
Nadia (2004) mengartikan kekerasan terhadap anak sebagai bentuk penganiayaan
baik fisik maupun psikis. Penganiayaan fisik adalah tindakan-tindakan kasar yang
mencelakakan anak, dan segala bentuk kekerasan fisik pada anak yang lainnya.
Sedangkan penganiayaan psikis adalah semua tindakan merendahkan atau meremehkan
anak. Alva menambahkan bahwa penganiayaan pada anak-anak banyak dilakukan oleh
orangtua atau pengasuh yang seharusnya menjadi seorang pembimbing bagi anaknya
untuk tumbuh dan berkembang.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kekerasan terhadap anak
adalah segala bentuk perlakuan baik secara fisik maupun psikis yang berakibat
penderitaan terhadap anak. Child abuse atau perlakuan yang salah terhadap anak
didefinisikan sebagai segala perlakuan buruk terhadap anak ataupun adolens oleh orang
tua, wali, atau orang lain yang seharusnya memelihara, menjaga, dan merawat mereka.
Child abuse adalah suatu kelalaian tindakan atau perbuatan orangtua atau orang
yang merawat anak yang mengakibatkan anak menjadi terganggu mental maupun fisik,
perkembangan emosional, dan perkembangan anak secara umum.
Sementara menurut U.S Departement of Health, Education and Wolfare
memberikan definisi Child abuse sebagai kekerasan fisik atau mental, kekerasan seksual
dan penelantaran terhadap anak dibawah usia 18 tahun yang dilakukan oleh orang yang
seharusnya bertanggung jawab terhadap kesejahteraan anak, sehingga keselamatan dan
kesejahteraan anak terancam.

B. KLASIFIKASI CHILD ABUSE


Macam – macam Child Abuse :
1. Emotional Abuse,
Perlakuan yang dilakukan oleh orang tua seperti menolak anak, meneror,
mengabaikan anak, atau mengisolasi anak. Hal tersebut akan membuat anak merasa
dirinya tidak dicintai, atau merasa buruk atau tidak bernilai. Hal ini akan
menyebabkan kerusakan mental fisik, sosial, mental dan emosional anak.
Indikator fisik kelainan bicara, gangguan pertumbuhan fisik dan perkembangan.
Indikator perilaku kelainan kebiasaan ( menghisap, mengigit, atau memukul-mukul ).

2. Physical Abuse
Cedera yang dialami oleh seorang anak bukan karena kecelakaan atau tindakan
yang dapat menyebabkan cedera serius pada anak, atau dapat juga diartikan sebagai
tindakan yang dilakukan oleh pengasuh sehingga mencederai anak. Biasanya berupa
luka memar, luka bakar atau cedera di kepala atau lengan.
Indikator fisik – luka memar, gigitan manusia, patah tulang, rambut yang tercabut,
cakaran. Indikator perilaku – waspada saat bertemu degan orang dewasa, berperilaku
ekstrem seerti agresif atau menyendiri, takut pada orang tua, takut untuk pulang ke
rumah, menipu, berbohong, mencuri.
3. Neglect
Kegagalan orang tua untuk memberikan kebutuhan yang sesuai bagi anak, seperti
tidak memberikan rumah yang aman, makanan, pakaian, pengobatan, atau
meninggalkan anak sendirian atau dengan seseorang yang tidak dapat merawatnya.
Indikator fisik–kelaparan, kebersihan diri yang rendah, selalu mengantuk,
kurangnya perhatian, masalah kesehatan yang tidak ditangani.
Indikator kebiasaan. Meminta atau mencuri makanan, sering tidur, kurangnya
perhatian pada masalah kesehatan, masalah kesehatan yang tidak ditangani, pakaian
yang kurang memadai ( pada musim dingin ), ditinggalkan.
4. Sexual Abuse
Termasuk menggunakan anak untuk tindakan sexual, mengambil gambar
pornografi anak-anak, atau aktifitas sexual lainnya kepada anak. Indikator fisik ,
kesulitan untuk berjalan atau duduk, adanya noda atau darah di baju dalam, nyeri atau
gatal di area genital, memar atau perdarahan di area genital / rektal, berpenyakit
kelamin.
Indikator kebiasaan pengetahuan tentang seksual atau sentuhan seksual yang tidak
sesuai dengan usia, perubahan pada penampilan, kurang bergaul dengan teman
sebaya, tidak mau berpartisipasi dalam kegiatan fisik, berperilaku permisif /
berperilaku yang menggairahkan, penurunan keinginan untuk sekolah, gangguan
tidur, perilaku regressif ( misal: ngompol ).

C. ETIOLOGI
Menurut Helfer dan Kempe dalam Pillitery ada 3 faktor yang menyebabkan child
abuse, yaitu:
1. Orang tua memiliki potensi untuk melukai anak-anak. Orang tua yang memiliki
kelainan mental, atau kurang kontrol diri daripada orang lain, atau orang tua tidak
memahami tumbuh kembang anak, sehingga mereka memiliki harapan yang tidak
sesuai dengan keadaan anak. Dapat juga orang tua terisolasi dari keluarga yang lain,
bisa isolasi sosial atau karena letak rumah yang saling berjauhan dari rumah lain,
sehingga tidak ada orang lain yang dapat memberikan support kepadanya.
2. Menurut pandangan orang tua anak terlihat berbeda dari anak lain. Hal ini dapat
terjadi pada anak yang tidak diinginkan atau anak yang tidak direncanakan, anak yang
cacat, hiperaktif, cengeng, anak dari orang lain yang tidak disukai, misalnya anak
mantan suami/istri, anak tiri, serta anak dengan berat lahir rendah (BBLR). Pada anak
BBLR saat bayi dilahirkan, mereka harus berpisah untuk beberapa lama, padahal
pada beberapa hari inilah normal bonding akan terjalin.
3. Adanya kejadian khusus : Stress. Stressor yang terjadi bisa jadi tidak terlalu
berpengaruh jika hal tersebut terjadi pada orang lain. Kejadian yag sering terjadi
misalnya adanya tagihan, kehilangan pekerjaan, adanya anak yang sakit, adanya
tagihan, dll. Kejadian tersebut akan membawa pengaruh yang lebih besar bila tidak
ada orang lain yang menguatkan dirinya di sekitarnya Karena stress dapat terjadi pada
siapa saja, baik yang mempunyai tingkat sosial ekonomi yag tinggi maupun rendah,
maka child abuse dapat terjadi pada semua tingkatan.

Menurut Rusel dan Margolin, wanita lebih banyak melakukan kekerasan pada
anak, karena wanita merupakan pemberi perawatan anak yang utama. Sedangkan laki-
laki lebih banyak melakukan sex abuse, ayah tiri mempunyai kemungkinan 5 sampai 8
kali lebih besar untuk melakukannya daripada ayah kandung (Smith dan Maurer).

Ada beberapa faktor yang menyebabkan anak mengalami kekerasan. Baik


kekerasan fisik maupun kekerasan psikis, diantaranya adalah:

1. Stress yang berasal dari anak.


a. Fisik berbeda, yang dimaksud dengan fisik berbeda adalah kondisi fisik anak
berbeda dengan anak yang lainnya. Contoh yang bisa dilihat adalah anak
mengalami cacat fisik. Anak mempunyai kelainan fisik dan berbeda dengan anak
lain yang mempunyai fisik yang sempurna.
b. Mental berbeda, yaitu anak mengalami keterbelakangan mental sehingga anak
mengalami masalah pada perkembangan dan sulit berinteraksi dengan lingkungan
di sekitarnya.
c. Temperamen berbeda, anak dengan temperamen yang lemah cenderung
mengalami banyak kekerasan bila dibandingkan dengan anak yang memiliki
temperamen keras. Hal ini disebabkan karena anak yang memiliki temperamen
keras cenderung akan melawan bila dibandingkan dengan anak bertemperamen
lemah.
d. Tingkah laku berbeda, yaitu anak memiliki tingkah laku yang tidak sewajarnya
dan berbeda dengan anak lain. Misalnya anak berperilaku dan bertingkah aneh di
dalam keluarga dan lingkungan sekitarnya.
e. Anak angkat, anak angkat cenderung mendapatkan perlakuan kasar disebabkan
orangtua menganggap bahwa anak angkat bukanlah buah hati dari hasil
perkawinan sendiri, sehingga secara naluriah tidak ada hubungan emosional yang
kuat antara anak angkat dan orang tua.
2. Stress keluarga
a. Kemiskinan dan pengangguran, kedua faktor ini merupakan faktor terkuat yang
menyebabkan terjadinya kekerasan pada anak, sebab kedua faktor ini
berhubungan kuat dengan kelangsungan hidup. Sehingga apapun akan dilakukan
oleh orangtua terutama demi mencukupi kebutuhan hidupnya termasuk harus
mengorbankan keluarga.
b. Mobilitas, isolasi, dan perumahan tidak memadai, ketiga faktor ini juga
berpengaruh besar terhadap terjadinya kekerasan pada anak, sebab lingkungan
sekitarlah yang menjadi faktor terbesar dalam membentuk kepribadian dan
tingkah laku anak.
c. Perceraian, perceraian mengakibatkan stress pada anak, sebab anak akan
kehilangan kasih sayang dari kedua orangtua.
d. Anak yang tidak diharapkan, hal ini juga akan mengakibatkan munculnya
perilaku kekerasan pada anak, sebab anak tidak sesuai dengan apa yang
diinginkan oleh orangtua, misalnya kekurangan fisik, lemah mental, dsb
3. Stress berasal dari orang tua,
a. Rendah diri, anak dengan rendah diri akan sering mendapatkan kekerasan, sebab
anak selalu merasa dirinya tidak berguna dan selalu mengecewakan orang lain.
b. Waktu kecil mendapat perlakuan salah, orangtua yang mengalami perlakuan salah
pada masa kecil akan melakuakan hal yang sama terhadap orang lain atau
anaknya sebagai bentuk pelampiasan atas kejadian yang pernah dialaminya.
c. Harapan pada anak yang tidak realistis, harapan yang tidak realistis akan
membuat orangtua mengalami stress berat sehingga ketika tidak mampu
memenuhi memenuhi kebutuhan anak, orangtua cenderung menjadikan anak
sebagai pelampiasan kekesalannya dengan melakukan tindakan kekerasan.

D. DAMPAK CHILD ABUSE


Moore (dalam Nataliani, 2004) menyebutkan bahwa efek tindakan dari korban
penganiayaan fisik dapat diklasifikasikan dalam beberapa kategori. Ada anak yang
menjadi negatif dan agresif serta mudah frustasi; ada yang menjadi sangat pasif dan
apatis; ada yang tidak mempunyai kepibadian sendiri; ada yang sulit menjalin relasi
dengan individu lain dan ada pula yang timbul rasa benci yang luar biasa terhadap dirinya
sendiri. Selain itu Moore juga menemukan adanya kerusakan fisik, seperti perkembangan
tubuh kurang normal juga rusaknya sistem syaraf.
Anak-anak korban kekerasan umumnya menjadi sakit hati, dendam, dan
menampilkan perilaku menyimpang di kemudian hari. Bahkan, Komnas PA (dalam
Nataliani, 2004) mencatat, seorang anak yang berumur 9 tahun yang menjadi korban
kekerasan, memiliki keinginan untuk membunuh ibunya.
1. Berikut ini adalah dampak-dampak yang ditimbulkan kekerasan terhadap anak (child
abuse), antara lain;
a. Dampak kekerasan fisik, anak yang mendapat perlakuan kejam dari orang tuanya
akan menjadi sangat agresif, dan setelah menjadi orang tua akan berlaku kejam
kepada anak-anaknya. Orang tua agresif melahirkan anak-anak yang agresif, yang
pada gilirannya akan menjadi orang dewasa yang menjadi agresif. Lawson (dalam
Sitohang, 2004) menggambarkan bahwa semua jenis gangguan mental ada
hubungannya dengan perlakuan buruk yang diterima manusia ketika dia masih
kecil. Kekerasan fisik yang berlangsung berulang-ulang dalam jangka waktu lama
akan menimbulkan cedera serius terhadap anak, meninggalkan bekas luka secara
fisik hingga menyebabkan korban meninggal dunia;
b. Dampak kekerasan psikis. Unicef (1986) mengemukakan, anak yang sering
dimarahi orang tuanya, apalagi diikuti dengan penyiksaan, cenderung meniru
perilaku buruk (coping mechanism) seperti bulimia nervosa (memuntahkan
makanan kembali), penyimpangan pola makan, anorexia (takut gemuk),
kecanduan alkohol dan obat-obatan, dan memiliki dorongan bunuh diri. Menurut
Nadia (1991), kekerasan psikologis sukar diidentifikasi atau didiagnosa karena
tidak meninggalkan bekas yang nyata seperti penyiksaan fisik. Jenis kekerasan ini
meninggalkan bekas yang tersembunyi yang termanifestasikan dalam beberapa
bentuk, seperti kurangnya rasa percaya diri, kesulitan membina persahabatan,
perilaku merusak, menarik diri dari lingkungan, penyalahgunaan obat dan
alkohol, ataupun kecenderungan bunuh diri;
c. Dampak kekerasan seksual. Menurut Mulyadi (Sinar Harapan, 2003) diantara
korban yang masih merasa dendam terhadap pelaku, takut menikah, merasa
rendah diri, dan trauma akibat eksploitasi seksual, meski kini mereka sudah
dewasa atau bahkan sudah menikah. Bahkan eksploitasi seksual yang dialami
semasa masih anak-anak banyak ditengarai sebagai penyebab keterlibatan dalam
prostitusi. Jika kekerasan seksual terjadi pada anak yang masih kecil pengaruh
buruk yang ditimbulkan antara lain dari yang biasanya tidak mengompol jadi
mengompol, mudah merasa takut, perubahan pola tidur, kecemasan tidak
beralasan, atau bahkan simtom fisik seperti sakit perut atau adanya masalah kulit,
dll (dalam Nadia, 1991);
d. Dampak penelantaran anak. Pengaruh yang paling terlihat jika anak mengalami
hal ini adalah kurangnya perhatian dan kasih sayang orang tua terhadap anak,
Hurlock (1990) mengatakan jika anak kurang kasih sayang dari orang tua
menyebabkan berkembangnya perasaan tidak aman, gagal mengembangkan
perilaku akrab, dan selanjutnya akan mengalami masalah penyesuaian diri pada
masa yang akan datang.
e. Dampak yang lainnya (dalam Sitohang, 2004) adalah kelalaian dalam
mendapatkan pengobatan menyebabkan kegagalan dalam merawat anak dengan
baik. Kelalaian dalam pendidikan, meliputi kegagalan dalam mendidik anak
mampu berinteraksi dengan lingkungannya gagal menyekolahkan atau menyuruh
anak mencari nafkah untuk keluarga sehingga anak terpaksa putus sekolah.
E. MANIFESTASI KLINIS
Akibat pada fisik anak, antara lain: Lecet, hematom, luka bekas gigitan, luka
bakar, patah tulang, perdarahan retinaakibat dari adanya subdural hematom dan adanya
kerusakan organ dalam lainnya. Sekuel/cacat sebagai akibat trauma, misalnya jaringan
parut, kerusakan saraf, gangguan pendengaran, kerusakan mata dan cacat lainnya.
Kematian.
Akibat pada tumbuh kembang anak. Pertumbuhan dan perkembangan anak yang
mengalami perlakuan salah, pada umumnya lebih lambat dari anak yang normal, yaitu:
1. Pertumbuhan fisik anak pada umumnya kurang dari anak2 sebayanya yang tidak
mendaapat perlakuan salah.
2. Perkembangan kejiwaan juga mengalami gangguan, yaitu:
a. Kecerdasan
 Berbagai penelitian melaporkan terdapat keterlambatan dalam perkembangan
kognitif, bahasa, membaca, dan motorik.
 Retardasi mental dapat diakibatkan trauma langsung pada kepala, juga karena
malnutrisi.
 Pada beberapa kasus keterlambatan ini diperkuat oleh tidak adanya stimulasi
yang adekuat atau karena gangguan emosi.
b. Emosi
 Terdapat gangguan emosi pada: perkembangan kosnep diri yang positif, atau
bermusuh dalam mengatasi sifat agresif, perkembangan hubungan sosial
dengan orang lain, termasuk kemampuan untuk percaya diri.
 Terjadi pseudomaturitas emosi. Beberapa anak menjadi agresif atau
bermusuhan dengan orang dewasa, sedang yang lainnya menjadi menarik
diri/menjauhi pergaulan. Anak suka ngompol, hiperaktif, perilaku aneh,
kesulitan belajar, gagal sekolah, sulit tidur, tempretantrum, dsb.
c. Konsep diri
 Anak yang mendapat perlakuan salah merasa dirinya jelek, tidak dicintai,
tidak dikehendaki, muram, dan tidak bahagia, tidak mampu menyenangi
aktifitas dan bahkan ada yang mencoba bunuh diri.
d. Agresif
 Anak yang mendapat perlakuan salah secara badani, lebih agresifterhadap
teman sebayanya. Sering tindakan agresif tersebut meniru tindakan orangtua
mereka atau mengalihkan perasaan agresif kepada teman sebayanya sebagai
hasil miskinnya konsep diri.
e. Hubungan social
 Pada anak sering kurang dapat bergaul dengan teman sebayanya atau dengan
orang dewasa. Mereka mempunyai sedikit teman dan suka mengganggu orang
dewasa, misalnya dengan melempari batu atau perbuatan2 kriminal lainnya.
f. Akibat dari penganiayaan seksual
Tanda-tanda penganiayaan seksual antara lain:
 Tanda akibat trauma atau infeksi lokal, misalnya nyeri perianal, sekret vagina,
dan perdarahan anus.
 Tanda gangguan emosi, misalnya konsentrasi berkurang, enuresis, enkopresis,
anoreksia, atau perubahan tingkah laku.
 Tingkah laku atau pengetahuan seksual anak yang tidak sesuai dengan
umurnya. Pemeriksaan alat kelamin dilakuak dengan memperhatikan vulva,
himen, dan anus anak.

F. MEKANISME KOPING.
Mekanisme koping adalah tiap upaya yang diarahkan pada penatalaksanaan stress,
termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan yang
digunakan untuk melindungi diri. Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada klien
untuk melindungi diri antara lain :
1. Sublimasi : Menerima suatu sasaran pengganti yang mulia artinya di mata masyarakat
untuk suatu dorongan yang mengalami hambatan penyalurannya secara normal.
Misalnya seseorang yang sedang marah melampiaskan kemarahannya pada obyek
lain seperti meremas adonan kue, meninju tembok dan sebagainya, tujuannya adalah
untuk mengurangi ketegangan akibat rasa marah.
2. Proyeksi :Menyalahkan orang lain mengenai kesukarannya atau keinginannya yang
tidak baik. Misalnya seseorang wanita muda yang menyangkal bahwa ia mempunyai
perasaan seksual terhadap rekan sekerjanya, berbalik menuduh bahwa temannya
tersebut mencoba merayu, mencumbunya.
3. Represi : Mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan masuk ke alam
sadar. Misalnya seseorang anak yang sangat benci pada orang tuanya yang tidak
disukainya. Akan tetapi menurut ajaran atau didikan yang diterimanya sejak kecil
bahwa membenci orang tua merupakan hal yang tidak baik dan dikutuk oleh Tuhan,
sehingga perasaan benci itu ditekannya dan akhirnya ia dapat melupakannya.
4. Reaksi formasi : Mencegah keinginan yang berbahaya bila diekspresikan, dengan
melebih-lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan menggunakannya sebagai
rintangan. Misalnya seorang yang tertarik pada teman suaminya, akan
memperlakukan orang tersebut dengan kasar.
5. Displacement : Melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan, pada obyek
yang tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya yang membangkitkan emosi
itu. Misalnya Timmy berusia 4 tahun marah karena ia baru saja mendapat hukuman
dari ibunya karena menggambar di dinding kamarnya. Dia mulai bermain perang-
perangan dengan temannya.
ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
Perawat seringkali menjadi orang yang pertamakali menemui adanya tanda
adanya kekerasan pada anak (lihat indicator fisik dn kebiasaan pada macam-macam child
abuse di atas). Saat abuse terjadi, penting bagi perawat untuk mendapatkan seluruh
gambarannya, bicaralah dahulu dengan orang tua tanpa disertai anak, kemudian
menginterview anak.
1. Identifikasi orang tua yang memiliki anak yang ditempatkan di rumah orang lain atau
saudaranya untuk beberapa waktu.
2. Identifikasi adanya riwayat abuse pada orang tua di masa lalu, depresi, atau masalah
psikiatrik.
3. Identifikasi situasi krisis yang dapat menimbulkan abuse
4. Identifikasi bayi atau anak yang memerlukan perawatan dengan ketergantungan
tinggi (seperti prematur, bayi berat lahir rendah, intoleransi makanan,
ketidakmampuan perkembangan, hiperaktif, dan gangguan kurang perhatian)
5. Monitor reaksi orang tua observasi adanya rasa jijik, takut atau kecewa dengan jenis
kelamin anak yang dilahirkan.
6. Kaji pengetahuan orang tua tentang kebutuhan dasar anak dan perawatan anak.
7. Kaji respon psikologis pada trauma
8. Kaji keadekuatan dan adanya support system
9. Situasi Keluarga

Fokus pengkajian secara keseluruhan untuk menegakkan diagnosa keperawatan


berkaitan dengan child abuse, antara lain:

1. Psikososial
 Melalaikan diri (neglect), baju dan rambut kotor, bau
 Gagal tumbuh dengan baik
 Keterlambatan perkembangan tingkat kognitif, psikomotor, dan psikososial
 With drawl (memisahkan diri) dari orang-orang dewasa
2. Muskuloskeletal
 Fraktur
 Dislokasi
 Keseleo (sprain)
3. Genito Urinaria
 Infeksi saluran kemih
 Perdarahan per vagina
 Luka pada vagina/penis
 Nyeri waktu miksi
 Laserasi pada organ genetalia eksternal, vagina, dan anus.
4. Integumen
 Lesi sirkulasi (biasanya pada kasus luka bakar oleh karena rokok)
 Luka bakar pada kulit, memar dan abrasi
 Adanya tanda2 gigitan manusia yang tidak dapat dijelaskan
 Bengkak.

Evaluasi diagnostic

Diagnostik perlakuan salah dapat ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit,


pemeriksaan fisik yang teliti, dokumentasi riwayat psikologik yang lengkap, dan
laboratorium.

a. Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik


1. Penganiayaan fisik. Tanda patogomonik akibat penganiayaan anak dapat berupa:
 Luka memar, terutama di wajah, bibir, mulut, telinga, kepala, atau punggung.
 Luka bakar yang patogomonik dan sering terjadi: rokok, pencelupan kaki-
tangan dalam air panas, atau luka bakar berbentuk lingkaran pada bokong.
Luka bakar akibat aliran listrik seperti oven atau setrika.
 Trauma kepala, seperti fraktur tengkorak, trauma intrakranial, perdarahan
retina, dan fraktur tulang panjang yang multipel dengan tingkat
penyembuhan yang berbeda.
 Trauma abdomen dan toraks lebih jarang dibanding trauma kepala dan tulang
pada penganiayaan anak. Penganiayaan fisik lebih dominan pada anak di atas
usia 2 tahun.
2. Pengabaian
 Pengabaian non organic failure to thrive, yaitu suatu kondisi yang
mengakibatkan kegagalan mengikuti pola pertumbuhan dan perkembangan
anak yang seharusnya, tetapi respons baik terhadap pemenuhan makanan dan
kebutuhan emosi anak.
 Pengabaian medis, yaitu tidak mendapat pengobatan yang memadai pada
anak penderita penyakit kronik karena orangtua menyangkal anak menderita
penyakit kronik. Tidak mampu imunisasi dan perawatan kesehatan lainnya.
Kegagalan yang disengaja oleh orangtua juga mencakup kelalaian merawat
kesehatan gigi dan mulut anak sehingga.
3. Penganiayaan seksual. Tanda dan gejala dari penganiayaan seksual terdiri dari:
 Nyeri vagina, anus, dan penis serta adanya perdarahan atau sekret di vagina.
 Disuria kronik, enuresis, konstipasi atau encopresis.
 Pubertas prematur pada wanita
 Tingkah laku yang spesifik: melakukan aktivitas seksual dengan teman
sebaya, binatang, atau objek tertentu. Tidak sesuai dengan pengetahuan
seksual dengan umur anak serta tingkah laku yang menggairahkan.
 Tingkah laku yang tidak spesifik: percobaan bunuh diri, perasaan takut pada
orang dewasa, mimpi buruk, gangguan tidur, menarik diri, rendah diri,
depresi, gangguan stres post-traumatik, prostitusi, gangguan makan, dsb.
b. Laboratorium
Jika dijumpai luka memar, perlu dilakuak skrining perdarahan. Pada
penganiayaan seksual, dilakukan pemeriksaan:
 Swab untuk analisa asam fosfatase, spermatozoa dalam 72 jam setelah
penganiayaan seksual.
 Kultur spesimen dari oral, anal, dan vaginal untuk genokokus
 Tes untuk sifilis, HIV, dan hepatitis B
 Analisa rambut pubis
c. Radiologi
Ada dua peranan radiologi dalam menegakkan diagnosis perlakuan salah pada
anak, yaitu untuk identifiaksi fokus dari jejas, dokumentasi,
Pemeriksaan radiologi pada anak di bawah usia 2 tahun sebaiknya dilakukan
untuk meneliti tulang, sedangkan pada anak diatas 4-5 tahun hanya perlu dilakukan
jika ada rasa nyeri tulang, keterbatasan dalam pergerakan pada saat pemeriksaan
fisik. Adanya fraktur multiple dengan tingkat penyembuhan adanya penyaniayaan
fisik.
 CT-scan lebih sensitif dan spesifik untuk lesi serebral akut dan kronik, hanya
diindikasikan pada pengniayaan anak atau seorang bayi yang mengalami trauma
kepala yang berat.
 MRI (Magnetik Resonance Imaging) lebih sensitif pada lesi yang subakut dan
kronik seperti perdarahan subdural dan sub arakhnoid.
 Ultrasonografi digunakan untuk mendiagnosis adanya lesi visceral
 Pemeriksaan kolposkopi untuk mengevaluasi anak yang mengalami
penganiayaan seksual.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Perilaku kekerasan berhubungan dengan keluarga tidak harmonis ,harga diri rendah.
2. Isolasi social berhubungan dengan koping keluarga inefektif, keluarga yang tidak
harmonis.
3. Koping keluarga inefektif berhubungan dengan keluarga tidak harmonis.
4. Risiko mencederai diri sendiri, orang lain, lingkungan berhubungan dengan perilaku
kekerasan.
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Perilaku kekerasan berhubungan dengan harga diri rendah
Tujuan.
 Klien dapat mengontrol perilaku kekerasan pada saat berhubungan dengan orang
lain
Kriteria hasil:

 Klien dapat membina hubungan saling percaya.


 Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek yang positif yang dimiliki.
 Klien dapat menilai kemampuan yang digunakan.
 Klien dapat menetapkan dan merencanakan kegiatan sesuai kemampuan yang
dimiliki.
 Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi sakit dan kemampuannya.
 Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada

Intervensi :

1. Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip komunikasi


terapeutik.
Rasional : hubungan saling percaya memungkinkan klien terbuka pada perawat
dan sebagai dasar untuk intervensi selanjutnya.
2. Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki klien.
Rasional : mengidentifikasi hal-hal positif yang masih dimiliki klien.
3. Setiap bertemu klien dihindarkan dari memberi penilaian negatif.
Rasional : pemberian penilaian negatif dapat menurunkan semangat klien dalam
hidupnya.
4. Utamakan memberi pujian yang realistik pada kemampuan dan aspek positif
klien.
Rasional : meningkatkan harga diri klien.
5. Diskusikan dengan klien kemampuan yang masih dapat digunakan.
Rasional : mengidentifikasi kemampuan yang masih dapat digunakan.
6. Diskusikan kemampuan yang dapat dilanjutkan penggunaannya di rumah sakit.
Rasional : mengidentifikasi kemampuan yang masih dapat dilanjutkan.
7. Berikan pujian.
Rasional : meningkatkan harga diri dan merasa diperhatikan.
8. Minta klien untuk memilih satu kegiatan yang mau dilakukan di rumah sakit
Rasional : agar klien dapat melakukan kegiatan yang realistis sesuai kemampuan
yang dimiliki.
9. Bantu klien melakukannya jika perlu beri contoh.
Rasional : menuntun klien dalam melakukan kegiatan.
10. Beri pujian atas keberhasilan klien.
Rasional : meningkatkan motivasi untuk berbuat lebih baik.
11. Diskusikan jadwal kegiatan harian atas kegiatan yang telah dilatih.
Rasional : mengidentifikasi klien agar berlatih secara teratur.
12. Beri kesempatan pada klien untuk mencoba kegiatan yang telah direncanakan.
Rasional : tujuan utama dalam penghayatan pasien adalah membuatnya
menggunakan respon koping mal adaptif dengan yang lebih adaptif.
13. Beri pujian atas keberhasilan klien.
Rasional : meningkatkan harga diri klien.
14. Diskusikan kemungkinan pelaksanaan dirumah.
Rasional : mendorong pengulangan perilaku yang diharapkan.

2. Isolasi social berhubungan dengan perilaku kekerasan, keluarga yang tidak harmonis.
Tujuan
 Klien dapat menerima interaksi social terhadap individu lainya.

Kriteria hasil

 Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat.


 Klien dapat berkomunikasi dengan baik atau jelas dan terbuka.
 Klien dapat menggunakan koping yang konstruktif.
 Kecemasan klien telah berkurang.

Intervensi

1. Psikoterapeutik.
a. Bina hubungan saling percaya
 Buat kontrak dengan klien : memperkenalkan nama perawat dan waktu
interaksi dan tujuan.
 Ajak klien bercakap-cakap dengan memanggil nama klien, untuk
menunjukkan penghargaan yang tulus.
 Jelaskan kepada klien bahwa informasi tentang pribadi klien tidak akan
diberitahukan kepada orang lain yang tidak berkepentingan.
 Selalu memperhatikan kebutuhan klien.
b. Berkomunikasi dengan klien secara jelas dan terbuka
 Bicarakan dengan klien tentang sesuatu yang nyata dan pakai istilah yang
sederhana
 Gunakan komunikasi verbal dan non verbal yang sesuai, jelas dan teratur.
 Bersama klien menilai manfaat dari pembicaraannya dengan perawat.
 Tunjukkan sikap empati dan beri kesempatan kepada klien untuk
mengungkapkan perasaanya
c. Kenal dan dukung kelebihan klien
 Tunjukkan cara penyelesaian masalah (koping) yang bisa digunakan
klien, cara menceritakan perasaanya kepada orang lain yang
terdekat/dipercaya.
 Bahas bersama klien tentang koping yang konstruktif
 Dukung koping klien yang konstruktif
 Anjurkan klien untuk menggunakan koping yang konstruktif.
d. Bantu klien mengurangi cemasnya ketika hubungan interpersonal
 Batasi jumlah orang yang berhubungan dengan klien pada awal terapi.
 Lakukan interaksi dengan klien sesering mungkin.
 Temani klien beberapa saat dengan duduk disamping klien.
 Libatkan klien dalam berinteraksi dengan orang lain secara bertahap,
dimulai dari klien dengan perawat, kemudian dengan dua perawat,
kemudian ditambah dengan satu klien dan seterusnya.
 Libatkan klien dalam aktivitas kelompok.
2. Pendidikan kesehatan
a. Jelaskan kepada klien cara mengungkapkan perasaan selain dengan kata-kata
seperti dengan menulis, menangis, menggambar, berolah-raga, bermain
musik, cara berhubungan dengan orang lain : keuntungan berhubungan
dengan orang lain.
b. Bicarakan dengan klien peristiwa yang menyebabkan menarik diri.
c. Jelaskan dan anjurkan kepada keluarga untuk tetap mengadakan hubungan
dengan klien.
d. Anjurkan pada keluarga agar mengikutsertakan klien dalam aktivitas
dilingkungan masyarakat.
3. Kegiatan hidup sehari-hari
a. Bantu klien dalam melaksanakan kebersihan diri sampai dapat
melaksanakannya sendiri.
b. Bimbing klien berpakaian yang rapi
c. Batasi kesempatan untuk tidur
d. Sediakan sarana informasi dan hiburan seperti : majalah, surat kabar, radio
dan televisi.
e. Buat dan rencanakan jadwal kegiatan bersama-sama klien.
4. Lingkungan Terapeutik
a. Pindahkan barang-barang yang dapat membahayakan klien maupun orang
lain dari ruangan.
b. Cegah agar klien tidak berada didalam ruangan yang sendiri dalam jangka
waktu yang lama.
c. Beri rangsangan sensori seperti : suara musik, gambar hiasan di ruangan.

3. Koping keluarga inefektif berhubungan dengan keluarga tidak harmonis.


Tujuan
 Koping adatif dapat dilakukan dengan optimal
Kriteria hasil

 Keluarga dapat mengenal masalah dalam keluarga dan menyelesaikannya


dengan tindakan yang tepat.

Intervensi

1. Identifikasi dengan keluarga tentang prilaku maladaptif .


Rasional : Keluarga mengenal dan mengungkapkan serta menerima perasaannya
sehingga mempermudah pemberian asuhan kepada anak dengan benar.
2. Beri reinforcement positif atas tindakan keluarga yang adaptif.
Rasional : Untuk memotivasi keluarga dalam mengasuh anak secara baik dan
benar tanpa menghakimi dan menyalahkan anak atas keadaan yang buruk.
3. Diskusikan dengan keluarga tentang tindakan yang semestinya terhadap anak.
Rasional : Memberikan gambaran tentang tindakan yang semestinya dapat
dilaksanakan keluarga terhadap anak.
4. Diskusikan dengan keluarga tentang pentingnya peran orang tua sebagai status
pendukung dalam proses tumbuh kembang anak.
Rasional : Memberikan kejelasan dan memotivasi keluarga untuk meningkatkan
peran sertanya dalam pengasuhan dan proses tumbuh kembang anaknya.
5. Kolaborasi dalam pemberian pendidikan keluarga terhadap orang tua.
Rasional :Dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman keluarga ( orang
tua ),tentang pentingnya peran orang tua dalam tumbuh kembang anak,memiliki
pengetahuan tentang metode pengasuhan yang baik,dan menanamkan kesadaran
untuk menerima anaknya dalam keadaan apapun.
4. Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan berhubungan dengan
perilaku kekerasan
Tujuan.
 Klien tidak mencederai diri / orang lain / lingkungan.

Kriteria hasil:

 Klien dapat membina hubungan saling percaya.


 Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.
 Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan.
 Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekekerasan yang biasa dilakukan.
 Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan.
 Klien dapat melakukan cara berespons terhadap kemarahan secara konstruktif.
 Klien dapat mendemonstrasikan sikap perilaku kekerasan.
 Klien dapat dukungan keluarga dalam mengontrol perilaku kekerasan.
 Klien dapat menggunakan obat yang benar.

Intervensi :

1. Bina hubungan saling percaya. Salam terapeutik, perkenalan diri, beritahu


tujuan interaksi, kontrak waktu yang tepat, ciptakan lingkungan yang aman dan
tenang, observasi respon verbal dan non verbal, bersikap empati.
Rasional : Hubungan saling percaya memungkinkan terbuka pada perawat dan
sebagai dasar untuk intervensi selanjutnya.
2. Beri kesempatan pada klien untuk mengugkapkan perasaannya.
Rasional : Informasi dari klien penting bagi perawat untuk membantu kien
dalam menyelesaikan masalah yang konstruktif.
3. Bantu untuk mengungkapkan penyebab perasaan jengkel / kesal
Rasional : pengungkapan perasaan dalam suatu lingkungan yang tidak
mengancam akan menolong pasien untuk sampai kepada akhir penyelesaian
persoalan.
4. Anjurkan klien mengungkapkan dilema dan dirasakan saat jengkel.
Rasional : Pengungkapan kekesalan secara konstruktif untuk mencari
penyelesaian masalah yang konstruktif pula.
5. Observasi tanda perilaku kekerasan pada klien.
Rasional : mengetaui perilaku yang dilakukan oleh klien sehingga memudahkan
untuk intervensi.
6. Simpulkan bersama tanda-tanda jengkel / kesan yang dialami klien.
Rasional : memudahkan klien dalam mengontrol perilaku kekerasan.
7. Anjurkan klien untuk mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
Rasional : memudahkan dalam pemberian tindakan kepada klien.
8. Bantu klien bermain peran sesuai dengan perilaku kekerasan yang biasa
dilakukan.
Rasional : mengetahui bagaimana cara klien melakukannya.
9. Bicarakan dengan klien apakah dengan cara yang klien lakukan masalahnya
selesai.
Rasional : membantu dalam memberikan motivasi untuk menyelesaikan
masalahnya.
10. Bicarakan akibat / kerugian dan perilaku kekerasan yang dilakukan klien.
Rasional : mencari metode koping yang tepat dan konstruktif.
11. Bersama klien menyimpulkan akibat dari perilaku kekerasan yang dilakukan.
Rasional : mengerti cara yang benar dalam mengalihkan perasaan marah.
12. Tanyakan pada klien “apakah ia ingin mempelajari cara baru yang sehat”.
Rasional : menambah pengetahuan klien tentang koping yang konstruktif
13. Berikan pujian jika klien mengetahui cara yang sehat.
Rasional : mendorong pengulangan perilaku yang positif, meningkatkan harga
diri klien.
14. Diskusikan dengan klien cara lain yang sehat.
 Secara fisik : tarik nafas dalam / memukul botol / kasur atau olahraga atau
pekerjaan yang memerlukan tenaga.
 Secara verbal : katakan bahwa anda sering jengkel / kesal.
 Secara sosial : lakukan dalam kelompok cara-cara marah yang sehat, latihan
asertif, latihan manajemen perilaku kekerasan.
 Secara spiritual : anjurkan klien berdua, sembahyang, meminta pada Tuhan
agar diberi kesabaran.
Rasional : dengan cara sehat dapat dengan mudah mengontrol kemarahan
klien.
15. Bantu klien memilih cara yang paling tepat untuk klien.
Rasional : memotivasi klien dalam mendemonstrasikan cara mengontrol
perilaku kekerasan.
16. Bantu klien mengidentifikasi manfaat yang telah dipilih.
Rasional : mengetahui respon klien terhadap cara yang diberikan.
17. Bantu klien untuk menstimulasikan cara tersebut.
Rasional : mengetahui kemampuan klien melakukan cara yang sehat.
18. Beri reinforcement positif atas keberhasilan klien menstimulasi cara tersebut.
Rasional : meningkatkan harga diri klien.
19. Anjurkan klien untuk menggunakan cara yang telah dipelajari saat jengkel /
marah
Rasional : mengetahui kemajuan klien selama diintervensi.
20. Identifikasi kemampuan keluarga dalam merawat klien dari sikap apa yang telah
dilakukan keluarga terhadap klien selama ini.
Rasional : memotivasi keluarga dalam memberikan perawatan kepada klien.
21. Jelaskan peran serta keluarga dalam merawat klien.
Rasional : menambah pengetahuan bahwa keluarga sangat berperan dalam
perubahan perilaku klien.
ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA ANAK KORBAN BULLYING

A. Pengertian Bullying
Istilah bullying sendiri menurut American Psychology Association pada tahun
2013 adalah “a form of aggressive behavior in which someone intentionally and
repeatedly causes another person injury or discomfort. Bullying can take the form of
physical contact, words or more subtle actions.” yang berarti bullying merupakan bentuk
perilaku yang agresif atau termasuk perilaku agresi karena dilakukan secara berulang kali
sehingga membuat orang lain merasakan ketidaknyamanan. Bentuk bullying termasuk
kontak fisik, kata-kata atau tindakan yang lebih halus.
Perilaku bullying ialah penyalahgunaan kuasa yang dilakukan individu baik
dalam konteks psikologis maupun fisik yang terjadi berulang-ulang terhadap individu
yang memiliki daya tahan atau proses adaptasi yang lemah terhadap suatu kelompok
(Yusuf & Fahrudin, 2012). Bullying erat dikaitkan dengan perilaku agresi. Perilaku agresi
sendiri menurut (Baron & Byrne,1994; Brehm & Kassin,1993; Bringham,1991 dalam
Suryanto, Bagus Ani Putra, Herdiana, & Nur Alfian, 2012) adalah perilaku yang dengan
sengaja dimasudkan untuk menyakiti orang lain, baik secara fisik maupun psikisnya.
Perilaku atau perbuatan bullying yang terjadi di kalangan remaja memiliki bentuk
yang beragam antara lain bullying fisik, bullying verbal, bullying relasional dan bullying
elektronik. Bullying fisik adalah perilaku yang dengan sengaja menyakiti atau melukai
fisik orang lain, bullying verbal adalah perilaku yang dilakukan dengan mengucapkan
perkataan yang menyakiti atau menghina orang lain, bullying relasional adalah perilaku
yang mengucilkan atau mengintimidasi orang lain dalam pergaulan, sedangkan bullying
elektronik adalah perilaku yang menyakiti orang lain dengan menggunakan jejaring sosial
(Budiarti, 2013).
Salah satu contohnya adalah seperti yang kita ketahui, beberapa tahun terakhir
sering terjadi bullying pada saat penerimaan siswa baru (MOS) dimana kakak tingkat
sebagai panitia melakukan kekerasan kepada para siswa baru. Awalnya, para kakak
tingkat memberikan tugas-tugas yang harus diselesaikan oleh para siswa baru sebagai
“prasyarat” agar dapat diterima sebagai warga sekolah tersebut. Tapi sering kali
pemberian tugas tersebut diiringi oleh bullying baik secara verbal maupun non verbal,
seperti ejekan dan makian. Bahkan sering kali bullying tersebut akhirnya berujung pada
kematian.
Termasuk dalam kasus tersebut, pelaku bullying menyiksa korban untuk
mendapatkan status yang lebih tinggi di kelompok dan pelaku memerlukan orang lain
untuk menyaksikan kekuasaanya. Dalam salah satu penelitian, pelaku bullying hanya
ditolak oleh kawan sebaya dimana mereka menjadi ancaman (Veenstra dkk, 2010 dalam
Santrock, 2012). Dan dalam penelitian lain, pelaku bullying sering berafiliasi atau dalam
beberapa kasus mempertahankan posisi mereka dalam kelompok yang populer (Wivliet
dkk, 2010 dalam Santrock, 2012).
-data yang dijelaskan sebelumnya memberi identifikasi bahwa ada kondisi yang
tidak normal dalam tahap perkembangan anak. Namun, persoalan bullying ini seringkali
terjadi pada anak-anak terlebih pada remaja. Hal ini dikarenakan masa remaja adalah
masa peralihan atau masa transisi dimana pada tahap perkembangan ini remaja
dihadapkan dengan persoalan identitas dan keraguan akan peran setiap individu
(Margaretha & Nindya, 2012). Dan hal ini sejalan dengan salah satu teori dalam
psikologi perkembangan yaitu teori psikososial yang dikemukakan oleh Erik Erikson.

B. Faktor Penyebab Perilaku Bullying Sekaligus Dampak Yang Ditimbulkan


Pada tahap perkembangan individu dalam teori psikososial Erikson terdapat
delapan tahap dimana masing-masing tahapan memiliki permasalahan sendiri. Tahap
yang sangat berkaitan dengan konteks permasalahan yang marak saat ini ialah masa
remaja sekitar periode pubertas sampai 20 lebih. Dalam tahap ini individu mulai
dihadapkan dengan krisis mengenai identitas diri. Peran orang tua dalam tahapan ini
sangat penting karena melalui orang tua seharusnya individu belajar berbagai peran
dalam hidupnya. Jika hal tersebut tidak dapat terpenuhi maka individu dapat mengalami
kebingungan identitas. (Santrock, 2007)
Salah satu contoh kasus pada remaja di era ini adalah cyberbullying, perilaku
bullying yang dilakukan melalui media sosial dengan perantara internet. Salah satunya
adalah kasus yang dialami oleh Amanda Tood, seorang gadis remaja asal Kanada
berumur 15 tahun yang bunuh diri akibat cyberbullying. Kasus ini berawal dari
perkenalan Amanda dengan seorang pria, melalui videocam pria tersebut membujuk
amanda agar mau memperlihatkan tubuhnya tanpa sehelai pakaian. Setahun setelahnya
video topless Amanda tersebut beredar di media sosial. Hal tersebut semakin membuat
banyak orang mem-bully Amanda karena tindakannya tersebut, sekaligus membuat
Amanda dicemooh baik di sekolah maupun lingkungannya. Kejadian ini membuat
Amanda tak tahan hingga kemudian melakukan usaha bunuh diri (Putra, 2014).
Kasus tersebut berhubungan dengan tahap perkembangan remaja dimana remaja
yang berhasil untuk mengatasi krisisnya maka akan dapat membentuk dirinya dan
diterima oleh masyarakat. Namun apabila individu tidak dapat mengatasi konflik dan
krisis identitas maka akan terjatuh dalam kondisi kebingungan peran atau identitas yang
disebut role confusion. Kasus yang terjadi pada Amanda berujung pada hasil dari role
confusion. Individu tidak dapat mengatasi konfliknya sehingga bila individu tersebut
adalah korban bullying, terdapat kemungkinan bahwa individu akan mengisolasi dirinya
dari lingkungan. Sedangkan untuk pelaku bullying, individu melakukan kejahatan
melalui media internet besar kemungkinan karena pengaruh dari teman sebaya sehingga
kehilangan identias dalam kerumunan orang-orang tersebut.
Banyaknya perilaku agresi seperti bullying dalam media elektronik baik televisi
maupun internet yang diperlihatkan terang-terangan secara tidak langsung akan
mempengaruhi cara berpikir seorang remaja bahwa itu adalah hal yang wajar sehingga
mereka dapat secara bebas meniru perilaku tersebut. Adanya efek yang menyenangkan
dan pencapaian yang dihasilkan dari perilaku yang dilakukan akan menjadi penguat bagi
pelaku bullying untuk mengulangi perilaku tersebut. Menurut Saripah (2006) survey yang
dilakukan oleh Kompas menyatakan bahwa 56,9% anak-anak yang menonton adegan
film akan meniru adegan yang ditontonnya tersebut dimana sebanyak 64% mereka
meniru gerakan dan 45% mereka meniru kata-katanya (Budiarti, 2013). Selain media,
seorang remaja juga dapat terpengaruh oleh paparan agresi secara langsung seperti
adanya budaya bullying di lingkungan sekitar mereka baik di rumah, sekolah atau teman
sebaya mereka. Semakin besar perilaku bullying terjadi di sekita mereka maka akan
semakin memungkinkan bagi mereka untuk turut serta dalam perilaku tersebut sebagai
salah satu bentuk imitasi. Selain itu salah satu penanggung jawab dari perilaku bullying
adalah kepribadian dari remaja itu sendiri. Berdasarkan teori psikoanalisa Sigmund
Freud, dimana manusia memiliki dua insting dalam dirinya yaitu insting hidup (eros) dan
insting mati (tanatos). Perilaku agresi yang dilakukan kepada orang lain dianggap sebagai
salah satu bentuk kemenangan dari usaha untuk mempertahankan naluri kehidupannya.
Perilaku agresi yang ditujukan bagi orang lain juga merupakan bentuk peralihan dari
insting mati yang dimiliki yang pada awalnya bertujuan untuk menghancurkan diri
sendiri berkembang menjadi dilampiaskan kepada orang lain (Suryanto, Bagus Ani Putra,
Herdiana, & Nur Alfian, 2012).
Namun ada kasus dari beberapa anak yang menjadi korban bullying karena
mempunyai penampilan, kemampuan dan bakat istimewa, misalnya kasus Jade Stringer.
Gadis berusia 14 tahun tersebut bunuh diri dengan cara gantung diri di kamarnya karena
banyak yang cemburu atas kecantikan dan kepopulerannya di sekolah. Teman-temannya
mengatakan jika Jade yang berwajah cantik dan menarik mendapatkan tekanan dan bully
di sekolah karena wajahnya yang cantik selama beberapa bulan terakhir. Hal tersebut
dikuatkan dengan post yang ditulis Jade di media sosialnya. Jade meninggal setelah enam
hari ditemukan tak sadarkan diri oleh ayahnya (Blake & Narain, 2012).

C. Upaya Pencegahan Bullying


Dari berbagai kasus yang terjadi maka, diperlukan penanggulangan maupun
pencegahan agar anak tidak menjadi pelaku bullying seperti yang dikatakan oleh Clara
dalam Ehan (2007) adalah dengan menghimbau para orang tua atau wali dari anak untuk
mengembangkan kecerdasaan emosional anak sejak kecil. Pendidikan untuk memiliki
rasa empati, menghargai orang lain dan memberikan penyadaran pada anak tentang peran
dirinya sebagai mahluk sosial yang memerlukan orang lain dalam kehidupannya.
Menurut Ratna dalam Ehan (2007) dengan mengajak pemerintah untuk mengatasi
bullying berupa program yang tegas, jelas dan terarah, bila masyarakat kita diam saja
dengan bullying sama dengan melegalkan tradisi dendam di sekolah tersebut. Lebih
serius lagi, bullying akan menjadi bahaya laten yang akan kerap menghantui para siswa,
baik dalam generasi ini maupun generasi mendatang. Dalam mengatasi dan mencegah
bullying diperlukan aturan yang bersifat menyeluruh yang mengikat antara guru dan
muridnya, dari kepala sekolah hingga wali murid/orang tua, kerjasama antara guru, orang
tua dan masyarakat atau pihak yang berwenang seperti polisi, apparat hukum dan
sebagainya sangan dibutuhkan untuk mengatasi persoalan bullying di sekolah.
Kemudian, salah satu solusi yang bisa dilakukan oleh pihak sekolah melalui
program anti bullying di sekolah. Menurut Huneck dalam Ehan (2007) seorang ahli
intervensi bullying yang bekerja di Jakarta Internatonal School, bullying akan tetap
terjadi di sekolah-sekolah bila orang dewasa tidak mampu membina lingkungan saling
percaya dengan siswa, tidak menyadari perilaku yang termasuk bullying, tidak menyadari
dampak/luka yang disebabkan oleh bullying dan tidak ada campur tangan dari sekolah
yang secara efektif. Dalam Ehan (2007) bentuk manfaat penanggulangan dengan program
sekolah anti bullying sebagaimana berikut:

1. Memberikan pengertian bahwa rasa aman dan nyaman adalah hak dan milik
seluruh orang.
2. Menyadarkan kepada seluruh orang di sekolah bahwa bullying dalam bentuk
apapun tidak dapat ditolelir.
3. Membekali siswa untuk membuat keputusan
4. Membantu siswa dalam membentuk orang yang mereka percayai

Kegiatan yang bisa dilakukan selama program ini yaitu:

1. Brainstorming dan diskusi


2. Kegiatan dengan lembar kerja
3. Membaca buku cerita tentang bullying
4. Membuat gambar/poster tentang pencegahan bullying
5. Bermain drama/peran
6. Berbagi cerita dengan orang tua di rumah
7. Menulis puisi
8. Menyanyikan lagu anti bullying dengan lirik yang dirubah seperti nada lagu
popular
9. Bermain teater boneka
D. Asuhan Keperawatan Bullying Pada Remaja
1. Pengkajian
Menurut Suprajitno (2004), pengkajian keluarga tediri dari sebagai berikut ini:
a. Data Umum
Data ini mencangkup kepala keluarga (KK), alamat dan telepon, pekerjaan KK,
pendidikan KK, dan komposisi keluarga. Selanjutnya komposisi keluarga dibuat
pemorgramnya.
b. Riwayat dan Tahap Perkembangan Keluarga
 Tahap perkembangan keluarga
 Tugas perkembangan keluarga yang belum tepenuhi
 Riwayat kesehatan keluarga inti
 Riwayat kesehtan keluarga sebelumnya
c. Data Lingkungan
 Karakteristik rumah
 Karakteristik tertangga dan komunitasnya
 Mobilitas geografis keluarga
 Perkumpulan keluarga dan interaksi dengan masyarakat
 Sistem pendukung keluarga
d. Struktur Keluarga
 Struktur peran
 Nilai atau norma keluarga
 Pola komunikasi keluarga
 Struktur kekuatan keluarga
e. Fungsi Keluaraga
 Fungsi ekonomi
 Fungsi mendapatkan status social
 Fungsi sosialisais
 Pemenuhan kesehatan
Mengakaji tentang:

1. Kemampuan keluarga untuk menganal masalaha kesehatan


2. Kemampuan keluarga dalam mengambil keputusan mengenai
tindakan kesehtan yang tepat.
3. Kemampuan keluarga merawta anggota keluarga yang sakit.
4. Kemampuan keluarga memelihara/memodifikasi lingkungan rumah
yang sehat.
5. Kemampuan keluarga menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan di
masyarakat.
 Fungsi religious
 Fungsi rekreasi
 Fugsi reproduksi
 Fungsi afektif
f. Stres dan Koping Keluarga
 Stres jangka pendek
Stressor jangka pendek menjelaskan tentang bagaimana keluarga mempu
merespon stressor yang dialami keluarga dan memerlukan waktu penyelesian
kurang dari 6 bulan.
 Stres jangka panjang
Mengkaji tentang bagaimana keluarage merespon setres yang memerlukan
waktu penyelesian lebih adri 6 bulan.
 Koping keluarga
Mengkaji tentang strtegi koping terhadap stressor yang ada.
g. Pemerikasaan Fisik
h. Harapan Keluarga
Mengkaji harapan keluarga terhadap perawat dalam menangani masalah
kesehtan yang terjadi.
Pengkajian Fokus
Pengkajian data focus keluarga dengan anak usia remaja (Suprajitno,
2004) meliputi:
a. Bagaimana karakteristik teman di sekolah atau di lingkungan rumah
b. Bagaimana kebiasaan anak menggunakan waktu luang.
c. Bagaimana perilaku anak selama di rumah.
d. Bagaimana hubungan antara anak remaja dengan adiknya, dengan teman
sekolah atau bemain.
e. Siapa saja yang berada dirumah selama anak remaja di rumah.
f. Bagaimana prestasi anak disekolah dan prestasi apa yang pernah diperoleh
anak.
g. Apa kegiatan diluar rumah selain disekolah, berapa kali, berapa lama. Dan
dimana.
h. Apa kebiasaan anak di rumah.
i. Apa fasilitas yang digunakan anak secara bersamaan atau sendiri.
j. Berapalama waktu yang disediakan orang tua untuk anak.
k. Siapa yang menjadi figure untuk anak.
l. Seberapa baik peran figure bagi anak.
m.Bagaimana pelaksanaan tugas dan fungsi keluarga.

Penentuan Masalah

Penjajakan Tahap 1

Menurut Zaidin (2009), penjajakan tahap 1 terdiri dari sebagai berikut.

1. Ancaman Kesehatan
Ancaman kesehatan adalah keadaan yang dapat menyebabkan tejadinya penyakit,
kecelakaan atau kegagalan dalam pencapaian potensi kesehatan.
2. Kurang/Tidak Sehat
Kurang/tidak sehata dalah kegagalan dalam memantapkan kesehatan yang
meliputi keadaan sakit apakah telah tediagnosa atau belum dan kegagalan tumbuh-
kembang sesuai dengan kecepatan yang normal.
3. Krisis
Krisis adalah kondisi yang telalu menuntut individu atau keluarga dalam hal
penyusuaian dan sumber daya luar batas kemampuan mereka. Kondisi krisis antara laian
pernikahan, kehamilan, persalinan, masa nifas, masa menjadi orang tua, penambahan
anggota baru seperti bayi baru lahir dan orang kost, abortus, masa anak masuk sekolah,
masa remaja, kondisi kehilangan pekerjaan kematian anggota keluarga, pindah rumah,
kelahiran diluar pernikahan.

Penjajakan Tahap 2

Menurut Zaidin (2009) penjajakan tahap 2 berisi tentang pertanyaan tentang


ketidakmampuan keluarga melaksanakan tugas keluarga seperti berikut ini.

1. Ketidaksanggupan mengenal masalah disebabkan oleh:


a. Ketidaktahuan tentang fakta
b. Rasa takut tehadap akibat jika masalah diketahui
c. Sosial: dibenci oleh masyarakat, hilangnya penghargaan kawan dan tetangga.
d. Ekonomi yang kurang: dianggap orang miskin.
e. Fisik/Psikologis: kurang dipercaya bila ada kelemahan fisik/psikologis
f. Sikap dan falsafah hidup yang betentangan/tidak sesuai.
2. Ketidaksanggupan mengambil keputusan mengenai tindakan kesehatan yang tepat
karena:
a. Tidak mengerti tentang sifat, berat, dan luasnya masalah
b. Masalah tidak begitu menonjol
c. Rasa takut dan menyerahakibat tidak dapat memecahkan masalah sehingga ditangani
sedikit demi sedikit.
d. Kurang pengetahuan mengenai berbagai jalan keluar yang dapat digunakan.
e. Tidak sanggup memilih tindakan di antara beberapa pilihan.
f. Pertentangan pendapat antar anggota keluarga tentang pemilihan, masalah dan
tindakan.
g. Tidka tahu tentang fasilitas kesehtan yang tesedia.
h. Rasa takut akibat tindakan yang bekaitan dengan sosial, ekonomi, fisik, dan
psikologis.
i. Sikap negative terhadap masalah kesehatan sehingga tidak sanggu menggunakan akal
untuk mengambil keputusan.
j. Fasilitas kesehatan tidak tejangkau dalam hal fisik (lokasi) dan biaya.
k. Kurang kepercayaan/keyakinan tehadap tenaga/institusi kesehatan.
l. Kesalahan persepsi akibat pemberian informasi yang salah.

3. Ketidakmampuan merawat/menolong anggota keluarga karena :


a. Tidak mengetahui keadaan penyakit (sifat, penyebaran, komplikasi, prognosis, dan
perawatan), pertumbuhan dan perkembangan anak.
b. Tidak mengetahui tentang sifat dan perkembangan perawatan yang dibutuhkan.
c. Tidak ada fasilitas yang diperlukan untuk perawatan.
d. Kurang pengetahuan dan keteampilan dalam melakukan prosedur
perawatan/pengobatan.
e. Ketidakseimbangan sumber-sumber yang ada pada keluarga untuk perawatan dalam
hal:
 Anggota keluarga yang bertanggung jawab
 Sumbe keuangan/financial
 Fasilitas fisik (ruang untuk orang sakit)
f. Sikap negatif kepada yanag sakit
g. Adanya konflik individu
h. Sikap/pandangan hidup.
i. Peilaku mementingkan diri sendiri
4. Ketidakmampuan memelihara lingkungan rumah bisa mempengaruhi kesehatan dan
pengembangan pribadi anggota keluarga karena:
a. Sumbe-sumber keluarga tidak seimbang/tidak cukup.
 Keuangan
 Tanggungjawab/wewenag anggota keluarga
 Fisik (isi rumah yang tidak teatur)-sempit
b. Kurang dapat memelihara keuntungan/manfaat memelihara lingkungan di masa yang
akan datang.
c. Ketidaktahuan tentang pentingnya higine sanitasi
d. Adanya konflik personal/psikologis
 Krisis identitas, ketidaktepatan eran
 Rasa iri
 Rasa bersalah/tersiksa
e. Ketidak tahuan tentang usaha pengcegahan penyakit
f. Pandangan hidup
g. Ketidak kompakan keluarga
 Sifat mementingkan diri sendiri
 Tidak ada kesepakatan
 Acuh terhadap anggota keluarga yang mengalami krisis
5. Ketidakmampuan menggunakan sumber di masyarakat untuk memelihara kesehatan,
karena:
a. Tidak tahu atau tidak sadar bahwa fasilitas kesehtan tesedia
b. Tidak memahami keuntungan yang dapat dipeoleh dari fasilitas kesehatan
c. Kurang percaya terhadap petugas kesehatan dan fasilitas kesehtan
d. Pengalaman yang kurang baik tentang petugas kesehatan.
e. Rasa takut tehadap akibat tindakan (tindkan pencegahan, diagnostik, pengobatan,
rehabilitasi)
 Fisik/psikologi
 Keuangan
 Sosial, seperti hilangnya penghargaan dari kawan dan orang lain.
f. Fasilitas yang diperlukan tidak tejangkau dalam hal ongkos dan lokasi.
g. Tidak ada fasilitas yang diperlukan
h. Tidak ada atau kurangnya sumber daya keluarga
 Tenaga seperti penjaga anak
 Uang untuk ongkos obat
i. Rasa asing atau adanya sokongan dari tipologi masalah keperawatan.
j. Sikap/falsafah hidup
2. Cara Memprioritaskan Masalah
Menurut Zaidin (2009), perioritas masalah dapat di susun dengan cara
menggunakan kriteria-kriteria penyusunan skala prioritas sebagai berikut.
1. Sifat masalah
Skala yang digunakan adalah ancaman kesehatan, ketidak/kuran sehat, dan
krisis yang dapt diketahui. Faktor yang mempengaruhi adalah faktor kebudayaan.
2. Kemungkinan masalah tersebut dapat diubah/tidak
Bila masalah ini dapat diatasai dengan sumber daya yang ada (tenaga, dana, dll),
masalah akan berkurang atau mencegah lebih meluas. Skala yang digunakan adalah
mudah, hanya sebagian dan tidak dapat. Dipengaruhi oleh:
a. Pengetahuan yang ada, teknologi, dan tindakan untuk mengatasi masalah.
b. Sumberdaya keluarga dalam hal fisik, keuangan, tenaga dan waktu.
c. Sumber daya perawatan dalam bentuk fasilitas organisasi dalam masyarakat dan
dukungan masyarakat.
3. Potensi masalah untuk dicegah
Sifat dan beratnya masalah akan timbul dapat dikurangi atau dicegah. Skala
yang digunakan adalah tinggi, cukup, dan rendah. Dipengaruhi oleh faktor:
a. Lamanya masalah (semakin lama, masalah semakin kompleks).
b. Kerumitan masalah. Hal ini berhubungan dengan beratnya penyakit atau
masalah. Pad umumnya, semakin berat masalah, semakin sedikit kemungkinan
dabat diubah/dicegah.
c. Tidakan yang sedang dijalankan adalh tindakan yang tepat dalam memperbaiki
masalah. Tindakan yang tepat akan meningkatkan kemungkinan untuk mevegah
masalah.
d. Adanya kelompok “resiko tinggi” atau kelompok yang sangat peka
meningkatkan potensi untuk mencegah masalah.
4. Menonjolnya masalah
Cara keluarga melihat dan menilai masalah dalam hal beratnya dan
mendesaknya masalah. Skala yang digunakan adalah masalah berat harus ditangani,
masalah tidak perlu ditangani, masalah tidak dirasakan.
ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA ANAK KORBAN
TRAFFICKING

1. Pengertian
Trafficking merupakan suatu bentuk kejahatan kemanusiaan yang sangat
kompleks.trafficking tidak lagi sekedar praktik kebudakan manusia oleh manusia
sebagaimana telah terjadi pada masalalu, melainkan proses nya dilakukan dengan
kekerasan fisik, mental, seksual, penindasan, social, dan ekonomi dengan modus yang
sangat beragam, mulai dengan cara yang halus seperti bujukan dan penipuan sampai
dengan cara yang kasar seperti paksaan dan perampasan (Wyatt,2009) Perdagangan anak
adalah Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan, atau penerimaan seseorang,
dengan ancaman, atau penggunaan kekerasan, atau bentuk bentuk pemaksaan lain,
penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan,
memberi atau menerima bayaran atau manfaat untuk memperoleh ijin dari orang yang
mempunyai wewenang atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. (PBB dan ODCCP
Office for Drug Control and Crime Prevention) Human Trafficking Istilah dalam
perdagangan manusia ini dapat diartikan sebagai “rekrutmen, transportasi, pemindahan,
penyembunyian atau penerimaan seseorang dengan ancaman atau penggunaan kekerasan,
penculikan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan ataupun
menerima atau memberi bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari
orang yang memegang kendali atas oranglain tersebut, untuk kepentingan eksploitasi
yang secara minimal termasuk eksploitasi lewat prostitusiatau bentuk-bentuk eksploitasi
seksual lainnya, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktekpraktek - praktek
lain yang serupa dengan perbudakan, penghambaan atau pengambilan organ-organ
organ-organ tubuh.”(Sumber: tubuh.”(Sumber: Pasal 3, Protokol untuk Mencegah,
Menekan dan Menghukum Perdagangan Manusia, terutamaPerempuan dan Anak, sebagai
tambahan terhadap Terorganisir Transnasional, 2000) Konvensi PBB menentang
Kejahatan.
2. Faktor-faktor pendorong terjadinya Trafficking a.
a. Kemiskinan (Permasalahan Ekonomi) Semenjak terjadinya krisis ekonomi mulai
tahun 1997, semuanya berdampak kepada seluruh elemen masyarakat. Perekonomian
semakin sulit, semakin banyak rakyat yang tidak mampu untuk membiayai
keluarganya khususnya anaknya. Mulai dari biaya pendidikan, hingga biaya
kehidupan sehari-hari. Himpitan perekonomian itu membuat keluarga khususnya
orangtua semakin mudah terbujuk rayu oleh agen atau pelaku perdagangan anak
dengan iming-iming serta janji palsu akan pekerjaan yang dapat membuat hidup lebih
baik lagi dengan gaji yang besar. Ketidakjelasan akan pekerjaan juga membuat orang
menjadi pasrah dalam menerima pekerjaan untuk dipekerjakan sebagai apa saja dan
hal ini yang membuat para pelaku menargetkan anak sebagai korban.
b. Kurangnya Pendidikan dan Informasi Pendidikan yang memadai tentunya akan
sangat membantu masyarakat agar tidak terjebak dalam kasus perdagangan anak.
Kekurangtahuan akan informasi informasi mengenai perdagangan anak membuat
orang-orang lebih mudah untuk terjebak menjadi korban perdagangan anak
khususnya di pedesaan dan terkadang tanpa disadari pelaku perdagangan anak tidak
menyadari bahwa ia sudah melanggar hukum. Para korban perdagangan perdagan gan
biasanya susah untuk mencari bantuan dinegara dimana mereka dijual karena mereka
tidak memiliki kemampuan unutuk menggnakan bahasa dinegara tersebut.
c. Kurangnya Kepedulian Orang Tua Tidak jarang ditemukan orang tua yang kurang
peduli untuk membuat akta kelahiran sang anaknya dengan berbagai alasan. Orang
tanpa tanda pengenal yang memadai lebih mudah menjadi korban trafficking karena
usia dan kewarganegaraan mereka tidak terdokumentasi. Sehingga pelaku dapat
melakukan aksinya tanpa khawatir identitas korban tidak mudah terlacak. Anak- anak
korban trafficking misalnya, lebih mudah diwalikan ke orang dewasa manapun yang
memintanya.

3. Karakteristik
Karakteristik anak- anak yang rentan diperdagangkan diperdagangkan
Perdagangan anak adalah suatu permasalahan yang berdampak pada negara diseluruh
dunia. Pada umumnya alur perdagangan adalah dari megara-negara yang kurang
berkembang menuju negara-negara industri, termasuk amerika serikat atau menuju
negara-negara tetangga yang secara marjinal mempunyai standard hidup yang lebih baik.
Adapun karakteristik anak-anak yang rentan di perdagangkan, meliputi:

1. Anak yang memiliki permasalahan di sekolah (Drop Out).


2. Anak yang mengalami kekerasan di rumah atau lingkungan.
3. Anak yang merasa bosan hidup di desa.
4. Anak yang berfikiran hidup di kota lebih baik dari di desa.
5. Masih berusia muda.
6. Anak yang berjenis kelamin perempuan lebih rentan.
7. Anak yang tidak memiliki akte kelahiran.
8. Anak yang konsep dirinya rendah.
9. Anak yang menjadi korban gaya hidup konsumerisme.

4. Beberapa bentuk perdagangan manusia yang terjadi pada perempuan dan anak
a. Kerja paksa seks dan ekploitasi Seks – Seks – baik baik diluar maupun di dalam
negeri. Dalam banyak kasus, perempuan dan anak-anak dijanjikan bekerja sebagai
buruh migran, PRT, pekerja restoran, penjaga toko, atau pekerjaan tanpa keahlian
tetapi kemudian dipaksa bekerja pada industri seks saat mereka tiba di daerah tujuan.
Kasus lain menyebutkan, beberapa perempuan tahu bahwa mereka akan memasuki
industri seks tetapi mereka ditipu dengan kondisi kerja dan mereka dikekang dibawah
paksaan dan tidak diperbolehkan menolak bekerja.
b. Pembantu Rumah Tangga (PRT). Baik diluar maupun didalam negeri, anak yang
diperdagangkan ke dalam kondisi kerja yang sewenang-wenang termasuk jam kerja
wajib yang sangat panjang, penyekapan illegal, upah yang tidak dibayar atau
dikurangi, kerja karena jeratan utang, penyiksaan fisik ataupun psikoligis,
penyerangan seksual, tidak diberi makan atau kurang makanan, dan tidak boleh
menjalankan agamanya atau diperintah untuk melanggar agamanya. Beberapa
majikan dan agen menyita paspor dan dokumen lain untuk memastiklan para
pembantu tersebut tidak mencoba melarikan diri.
c. Bentuk lain dari kerja migran . Baik diluar maupun dalam negeri, meskipun banyak
orang Indonensia yang bermigrasi sebagai seba gai PRT , yang lainnya dijanjikan
mendapatkan pekerjaan yang tidak memerlukan keahlian dipabrik, restoran, industri
cottage, atau toko kecil. Beberapa dari buruh migran ini ditarik kedalam kondisi kerja
yang sewenangwenang dan berbahaya dengan bayaran sedikit atau bahkan tidak
dibayar sama sekali. Banyak juga yang dijebak ketempat kerja seperti melalui jeratan
utang, paksaan atau kekerasan.

5. Pencegahan yang harus dilakukan dalam menangani “Trafficking”


a. Memperbaiki kualitas pendidikan dari tingkat Sekolah Dasar sampai Sekolah
Menegah Atas untuk memperluas angka partisipasi anak laki-laki dan anak
perempuan di dua kecamatan;
b. Mendukung keberlanjutan pendidikan dasar untuk anak perempuan setelah lulus
sekolah dasar;
c. Menyediakan pelatihan keterampilan dasar untuk memfasilitasi kenaikan
penghasilan;
d. Menyediakan pelatihan kewirausahaan dan akses ke kredit keuangan untuk
memfasilitasi usaha sendiri;
e. Merubah sikap dan pola fikir keluarga dan masyarakat terhadap trafiking anak.

Inti program ini mencegah anak-anak perempuan dilacurkan dengan mengupayakan:

a. Peningkatan partisipasi pendidikan anak-anak baik formal maupun non formal,


b. Pemberian peluang kerja
c. Penyadaran masyarakat untuk mencegah perdagangan anak untuk pelacuran.

Mengadakan program yang menggunakan basis masyarakat dengan cara dilakukan di


tengah-tengah masyarakat. Kegiatan-kegiatan program yang dimaksud adalah:

a. Sanggar belajar dan tempat pendampingan bagi pendampingan bagi anak dan
masyarakat.
b. Catch-up Education (CE), (CE), yaitu yaitu kegiatan persiapan masuk kembali
sekolah bagi anak-anak yang telah putus sekolah maupun mereka yang rawan putus
sekolah, baik di SD maupun SLTP. Kegiatan ini berlangsung dalam dua bulan
sebanyak 24 sesi pada bulan Mei dan Juni menjelang tahun ajaran baru.
c. Program beasiswa untuk anak-anak.
d. Perpustakaan Keliling juga untuk meningkatkan minat baca anak menyediakan
buku-buku pelajaran dan bacaan untuk anak-anak SD dan SLTP.
e. Pelatihan keterampilan kerja
f. Pelatihan guru SD dan SLTP untuk meningkatkan sensivitas dan responsivitas
mereka terhadap masalah trafiking dengan meningkatkan kemampuannya dalam
melaksanakan tugas-tugas mendidik dan mengajar.
g. Radio Komunitas Komunitas yang bertujuan untuk menyebarluaskan informasi
pendidikan untuk penyadaran masyarakat.

6. Upaya pemerintah Indonesia dalam menangani masalah child trafficking Pemerintah


Indonesia telah berusaha melakukan berbagai upaya untuk menangani masalah child
trafficking yang terjadi di Indonesia. Namun upaya-upaya yang telah dilakukan oleh
pemerintah Indonesia tidak menunjukan hasil yang memuaskan, terbukti kasus child
trafficking yang terjadi di Indonesia bukannya menurun malah semakin meningkat.
Upaya tersebut dapat dilihat pada:
a. dibuatnya undang-undang yang relevan untuk memberikan memberikan perlindungan
kepada korban trafiking, UU No.37/1997 tentang Hubungan Luar Negeri : Undang-
undang ini dapat digunakan untuk melindungi orang Indonesia yang tertrafik diluar
negeri .
b. undang-undang no 21. Tahun 2007, Tentang pemberantasan tindak pidana
perdagangan orang
c. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pun melarang
perdagangan anak. Dimana Tujuan dari perlindungan anak sendiri disebutkan dalam
Pasal 3 UU No. 23 Th 2002 : “Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin
terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi
secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang
berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.”

Adapun ada penanggulangan lain yang dapat dilakukan untuk memecahkan masalah
trafficking yaitu :

1. Pemetaan masalah perdagangan orang Indonesia ,baik untuk tujuan domestik maupun
luar negeri
2. Peningkatan pendidikan masyarakat, khususnya pendidikan alternative bagi anak-
anak dan perempuan, termasuk dengan sarana dan prasarana pendidikannya
3. Peningkatan pengetahuan masyarakat melalui pemberian informasi seluasluasnya
tentang perdagangan orang beserta seluruh aspek yang terkait dengannya
4. Perlu di upayakan adanya jaminan aksesibilitas bagi keluarga khususnya perempuan
dan anak untuk memperoleh pendidikan, pelatihan, peningkatan pendapatan dan
pelayanan social.
5. Pemerintah bersama LSM banyak mensosialisasikan undang-undang tindak
perdagangan orang ke masyarakat. Seringnya memberikan pencerahan terhadap
undang-undang tersebut ke masyarakat, maka kasus trafficking yang melibatkan anak
dibawah umur dan perempuan akan dapat dicegah.
6. Masyarakat berperan serta membantu upaya pencegahan dan penanganan korban
tindak pidana perdagangan orang denngan aktif memberikan informasi dan
melaporkan jika ada kejadian kepada penegak hokum atau pihak berwajib, atau turut
serta dalam menangani korban. Sebagai S ebagai pelapor, namanya di lindungi dan di
rahasiakan. Dalm hal ini pemerintah wajib membuka akses selua-luasnya bagi peran
serta masyarakat baik nasional maupun internasional sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan. Untuk mengektifkan penyelenggaraan pencegahan dan
pemberantasan tindakan pidana perdagangan orang, pemerintah republic Indonesia
wajib melaksanakan kerjasama internasional, baik bersifat bilateral, regional,maupun
multilateral
ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS

DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Harga Diri Rendah

Diagnosa Keperawatan Harga Diri Rendah

SP I p SP I k

1. Membina hubungan saling percaya


2. Mendiskusikan masalah yang
3. Mengidentifikasi kemampuan dan aspek dirasakan keluarga dalam positif yang
dimiliki pasien marawat pasien
4. Membantu pasien menilai kemampuan
5. Menjelaskan pengertian, tanda pasien yang masih dapat digunakan dan gejala harga
diri rendah
6. Membantu pasien memilih kegiatan yang yang dialami pasien beserta akan dilatih
sesuai dengan kemampuan proses terjadinya pasien
7. Menjelaskan cara-cara
8. Melatih pasien sesuai kemampuan yang merawat pasien dengan harga dipilih diri
rendah
9. Memberikan pujian yang wajar terhadap keberhasilan pasien
10. Menganjurkan pasien memasukkan ke dalam jadwal kegiatan harian

SP II p

1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien


2. Meatih kemampuan ke dua
3. Menganjurkan pasien memasukkan ke dalam jadwal kegiatan harian

SP II k
1. Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien dengan harga diri rendah
2. Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung keluarganya yang mengalami harga
diri rendah

SP III k

1. Membantu keluarga membuat jadwal aktifitas di rumah termasuk minum obat (discharge
planning)
2. Menjelaskan follow up pasien setelah pulang
ASUHAN KEPERAWATAN JIWA NARAPIDANA

A. KONSEP MEDIS

1. DEFENISI

Narapidana adalah orang-orang sedang menjalani sanksi kurungan atau


sanksi lainnya, menurut perundang-undangan. Pengertian narapidana menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia adalah orang hukuman (orang yang sedang menjalani hukuman
karena tindak pidana) atau terhukum

Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di


lembaga pemasyarakatan, yaitu seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum (UU No.12 Tahun 1995).

Narapidana yang diterima atau masuk kedalam lembaga pemasyarakatan maupun


rumah tahanan negara wajib dilapor yang prosesnya meliputi: pencatatan putusan
pengadilan,jati diri ,barang dan uang yang dibawa,pemeriksaan kesehatan,pembuatan
pasphoto,pengambilan sidik jari dan pembuatan berita acara serah terima terpidana.

Setiap narapidana mempunyai hak dan kewajiban yang sudah diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.Narapidana yang ditahan dirutan dengan cara tertentu
menurut Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana (KUHAP)
pasal 1 dilakukan selama proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan untuk
disidangkan di pengadilan.Pihak-Pihak yang menahan adalah Penyidik, Penuntut
Umum, Hakim dan mahkamah agung.Pada pasal 21 KUHAP Penahanan hanya
dapat dilakukan terhadap tersangka yang melakukan tindak pidana termasuk pencurian.
Batas waktu penahanan bervariasi sejak ditahan sampai dengan 110 hari sesuai kasus dan
ketentuan yang berlaku.
2. ETIOLOGI
Faktor-faktor penyebab kejahatan sehingga sesorang menjadi narapidana adalah:
a. Faktor ekonomi
 Sistem Ekonomi
Sistem ekonomi baru dengan produksi besar-besaran, persaingan bebas,
menghidupkan konsumsi dengan jalan periklanan, cara penjualan modern
dan lain-lain, yaitu menimbulkan keinginan untuk memiliki barang dan sekaligus
mempersiapkan suatu dasar untuk kesempatan melakukan penipuan-penipuan

 Pendapatan
Dalam keadaan krisis dengan banyak pengangguran dan gangguan ekonomi
nasional, upah para pekerja bukan lagi merupakan indeks keadaan ekonomi pada
umumnya. Maka dari itu perubahan-perubahan harga pasar (market fluctuations)
harus diperhatikan
 Pengangguran
Di antara faktor-faktor baik secara langsung atau tidak, mempengaruhi
terjadinya kriminalitas, terutama dalam waktu-waktu krisis, pengangguran
dianggap paling penting. Bekerja terlalu muda, tak ada pengharapan maju,
pengangguran berkala yang tetap, pengangguran biasa, berpindahnya pekerjaan
dari satu tempat ke tempat yang lain, perubahan gaji sehingga tidak mungkin
membuat anggaran belanja, kurangnya libur, sehingga dapat disimpulkan bahwa
pengangguran adalah faktor yang paling penting

b. Faktor Mental
 Agama
Kepercayaanhanya dapat berlaku sebagai suatu anti krimogemis bila
dihubungkan dengan pengertian dan perasaan moral yang telah meresap
secara menyeluruh. Meskipun adanya faktor-faktor negatif , memang merupakan
fakta bahwa norma-norma etis yang secara teratur diajarkan oleh bimbingan agama
dan khususnya bersambung pada keyakinan keagamaan yang sungguh,
membangunkan secara khusus dorongan-dorongan yang kuat untuk melawan
kecenderungan-kecenderungan kriminal.
 Bacaan dan film
Sering orang beranggapan bahwa bacaan jelek merupakan faktor
krimogenik yang kuat, mulai dengan roman-roman dari abad ke-18, lalu dengan
cerita-cerita dan gambar-gambar erotis dan pornografi, buku-buku picisan lain
dan akhirnya cerita-cerita detektif dengan penjahat sebagai pahlawannya,
penuh dengan kejadian berdarah. Pengaruh crimogenis yang lebih langsung
dari bacaan demikian ialah gambaran suatu kejahatan tertentu dapat berpengaruh
langsung dan suatu cara teknis tertentu kemudian dapat dipraktekkan oleh
si pembaca. Harian-harian yang mengenai bacaan dan kejahatan pada
umumnyajuga dapat berasal dari koran-koran. Di samping bacaan-bacaan
tersebut di atas, film (termasuk TV) dianggap menyebabkan pertumbuhan
kriminalitas tertutama kenakalan remaja akhir-akhir ini

c. Faktor Pribadi
 Umur
Meskipun umur penting sebagai faktor penyebab kejahatan, baik secara yuridis
maupun kriminal dan sampai suatu batas tertentu berhubungan dengan faktor-faktor
seks/kelamin dan bangsa, tapi faktor-faktor tersebut pada akhirnya merupakan
pengertian-pengertian netral bagi kriminologi. Artinya hanya dalam kerjasamanya
dengan faktor-faktor lingkungan mereka baru memperoleh arti bagi
kriminologi. Kecenderungan untuk berbuat antisocial bertambah selama masih
sekolah dan memuncak antara umur 20 dan 25, menurun perlahan-lahan sampai
umur 40, lalu meluncur dengan cepat untuk berhenti sama sekali pada hari tua.
Kurve/garisnya tidak berbeda pada garis aktivitas lain yang tergantung dari irama
kehidupan manusia
 Alkohol
Dianggap faktor penting dalam mengakibatkan kriminalitas, seperti
pelanggaran lalu lintas, kejahatan dilakukan dengan kekerasan, pengemisan,
kejahatan seks, dan penimbulan pembakaran, walaupun alcohol merupakan
faktor yang kuat, masih juga merupakan tanda tanya, sampai berapa jauh
pengaruhnya.3.PerangMemang sebagai akibat perang dan karena keadaan
lingkungan, seringkali terjadi bahwa orang yang tadinya patuh terhadap hukum,
melakukan kriminalitas. Kesimpulannya yaitu sesudahperang, ada krisis-krisis,
perpindahan rakyat ke lain lingkungan, terjadi inflasi dan revolusi ekonomi. Di
samping kemungkinan orang jadi kasar karena perang, kepemilikan senjata api
menambah bahaya akan terjadinya perbuatan-perbuatan kriminal.

3. MASALAH KESEHATAN NARAPIDANA


a. Kesehatan Mental
Menurut data dari Bureau of justice, 1999 kira-kira 285.000 tahanan
dilembaga pemasyarakatan mengalami gangguan jiwa. Penyakit jiwa yang sering
dijumpai adalah skozofrenia, bipolar affective disorder dan personality disorder.
Karena banyak yang mengalami ganguan kesehatan jiwa maka pemerintah harus
menyediakan pelayanan kesehatan mental.
b. Kesehatan fisik
Perawatan kesehatan yang paling penting adalah penyakit kronis danpenyakit
menular seperti HIV, Hepatitis dan Tuberculosis
- HIV
Angka kejadian HIV diantara para narapidana diperkiraan 6 kali
lebih tinggi daripada populasi umum. Tingginya angka infeksi HIV ini
berkaian dengan perilaku yang beresiko tinggi seperti penggunaan obat-
obaan, sexual intercourse yang tidak aman dan pemakaian tato. Pendekatan
yang dilakukan utnuk menekan angka kejadian yaitu dengan
dilakukannya penegaan dan program pendidikan kesehatan mengenai HIV dan
AIDS
- Hepatitis
Hepatitis B dan C meningkat lebih tinggi dariopada populasi umum
walaupun data yang ada belum lengkap. Hal ini berkaitan dengan
penggunaan obat-obat lewat suntikan, tato, imigran dari daerah dengan insiden
hepatitis B dan C tinggi. National Commision on Correctional Healt Care
(NCCHC) menyarankan agar dilakukan skrining pada semua tahanan dan
jika diindikasikan maka harus segera diberikan pengobatan. NCCHC juga
merekomendasikan pendidikan bagi semua staf dan tahanan mengenai cara
penyebaran, pencegahan, pengobatan dan kemajuan penyakit.
- Tuberculosis
Angka TB tiga kali lebih besar di LP dibanding populasi umum.
Hal ini terkait dengan kepadatan penjara dan ventilasi yang buruk, yang
mempengaruhi penyebaran penyakit. Pada tahun 196, lembaga yang
menangani tuberculosis yaitu CC merekomendasikan pencegahan dan
pengontrolan TB dilembaga pemasyarakatan yaitu
1. Diadakannya skrining TB bagi semua staf dan tahanan
2. Diadakan penegahan transmisi penyakit dan diberikan pengobatan
yang sesuai
3. Monitoring dan evaluasi skrining

4. KLASIFIKASI
Berdasarkan populasi narapidana yang mempunyai masalah kesehatan pada
lembaga pemasyarakatan, yaitu :
a. Wanita
Masalah kesehatan yang ada mungkin lebihkomplek misalnya tahanan wanita
yang dalam keadaan hamil, meninggalkan anak dalam pengasuhan orang lain
(terpisah dari anak), korban penganiayaan dan kekerasan social,
penyalahgunaan obat terlarang. Tetapi pelayanan kesehatan yang selama ini
diberikan belum cukup maksimal untuk memenuhi kebutuhan mereka seperti
pemeriksaan ginekologi untuk wanita hamil dan korbankekerasan seksual.
NCCHC menawarkan ketentuan-ketentuan berikut untuk pemenuhan
pelayanan kesehatan :
- LP memberikan pelayanan lengkap secara rutin termasuk pemeriksaan ginekologi
secara koprehensif.
- Pelayanan kesehatan komprehensif meliputi kesehatan reproduksi, korban
dari penipuan, konseling berkaitan dengan peran sebagai orang tua dan pemakaian
obat-obatan dan alcohol
b. Remaja
Meningkatnya jumlah remaja yang terlibat tindakkriminal membuat mereka
harus ikut dihukum dan ditahan seperti orang dewasa. Hal ini akan menghalagi
pemenuhan kebutuan untuk berkembang seperti perkembangan fisik, emosi dan
nutrisi yang dibutuhkan. Para remaja ini akan mempunyai masalah-masalah
kesehatan seperti kekerasan seksual, penyerangan oleh tahanan lain atau
tindakan bunuh diri. Disini perawat harus memantau tingkat
perkembangan dan pengalaman mereka dan perlu waspada bahwa pada usia ini
paling rentan terkena masalah kesehatan.

5. PENATALAKSANAAN
a. Psikoterapi
Terapi kerja baik sekali untuk mendorong penderita bergaul lagi dengan orang
lain, penderita lain, perawat dan dokter. Maksudnya supaya ia tidak
mengasingkan diri lagi karena bila ia menarik diri ia dapat membentuk
kebiasaan yang kurang baik. Dianjurkan untuk mengadakan permainan atau
latihan bersama. (Maramis,2005,hal.231)

b. Keperawatan
Terapi aktivitas kelompok dibagi empat, yaitu terapi aktivitas kelompok
stimulasi kognitif/persepsi, terapi aktivitas kelompok stimulasi sensori, terapi
aktivitas kelompok stimulasi realita dan terapi aktivitas kelompok sosialisasi
(Keliat dan Akemat,2005,hal.13). Dari empat jenis terapi aktivitas kelompok
diatas yang paling relevan dilakukan pada individu dengan gangguan konsep
diri harga diri rendah adalah terapi aktivitas kelompok stimulasi
persepsi.Terapi aktivitas kelompok (TAK) stimulasi persepsi adalah terapi yang
mengunakan aktivitas sebagai stimulasi dan terkait dengan pengalaman atau
kehidupan untuk didiskusikan dalam kelompok, hasil diskusi kelompok dapat
berupa kesepakatan persepsi atau alternatif penyelesaian masalah.(Keliat dan
Akemat,2005).
c. Terapi kerja
Terapi kerja atau terapi okupasi adalah suatu ilmu dan seni pengarahan
partisipasi seseorang untuk melaksanakan tugas tertentu yang telah ditetapkan. Terapi
ini berfokus pada pengenalan kemampuan yang masih ada pada seseorang,
pemeliharaan dan peningkatan bertujuan untuk membentuk seseorang agar
mandiri, tidak tergantung pada pertolongan orang lain (Riyadi dan Purwanto, 2009
 Terapi kerja pada narapidana laki laki
1. Pelatih binatang
Bekerja sebagai pelatih sekaligus merawat binatang-binatang
dianggap dapat membantu narapidana untuk mendapatkan terapi
secara psikologis dan menjadi lebih terlatih secara emosional.
Binatang yang dilatih tidak hanya binatang peliharaan, namun
juga binatang yang ditinggalkan atau dibuang oleh pemiliknya.
Diharapkan nantinya binatang binatang ini juga dapat berguna di
masyarakat, sama seperti narapidana yang mendapatkan pelatihan untuk
dapat diterima dan bekerja dengan masyarakat lainnya
2. Bidang kuliner
Dapur yang ada di penjara juga dapat dimanfaatkan sebagaipelatihan
memasak bagi para narapidana. Meskipun ada yang mendapatkan
pekerjaan sederhana seperti membuka kaleng, banyak pula yang
mendapatkan pelatihan memasak secara khusus, mulai dari membuat
menu hingga menyusun anggaran. Beberapa penjara juga bekerja sama
dengan restoran lokal untuk memberi pelatihan ini. Selain itu, dengan
pekerja di dapur, mereka tidak perlu banyak berinteraksi dengan
masyarakat yang mungkin memandang negative
3. Konseling
Meskipun Anda mungkin tidak berencana untuk berkonsultasi pada
mantan penjahat, namun dipenjara, narapidana diberikan pengetahuan
mengenai rehabilitasi dan terapi konseling. Hal ini dikarenakan
narapidana memiliki pengalaman yang membuat mereka lebih mengerti
mengenai tindak kejahatan.
Dengan pelatihan ini, mereka diharapkan untuk dapat memberikan
konseling dengan lebih baik kepada orang-orang yang bermasalah
berdasarkan pengalaman pribadi mereka serta pelatihan yang mereka
terima.
 Terapi kerja pada anak
- Keterampilan
Agar narapidana anak menjadi terampil dan juga sebagai bekal
baginya setelah kembali kemasyarakat nantinya, kepada mereka di
berikan latihan kerja. Pemberian latihan kerja ini dapat dilakukan
oleh lembaga pemasyarakatan sedangkan tempat penentuan kerja
dan jenis pekerjaan yang akan diberikan kepada narapidana
ditetapkan oleh Tim Pengamat Pemasyarakatan. Latihan kerja ini
berupa latihan kerja dibidang pertanian, Perkebunan, Pengelasan,
Penjahitan dan lain sebagainya.
 Terapi kerja pada narapidana perempuan
Program pembentukan perilaku wirausaha narapidana diLapas IIB
Sleman dilaksanakan melalui pembinaan soft kill dan hard skill dengan
pendekatan perilaku wirusaha. Pembinaan soft skill yang dilaksanakan yaitu
pembinaan intelektual, pembinaan kerohanian dan pembinaan
rekreatif.Pembinaan hard skill yang dilaksanakan yaitu pembinaan
keterampilan dan kemandirian melalui bimbingan kerja.Ketrampilan
khusus yang di latihkan pada naraidana perempuanberupa ketrampilan hidup
sepertipertukangan kayu, kerajinan sapu, las listrik, batik tulis, kerajinan
sangkar burung,perkebunan, dan pembuatan souvenir.
KONSEP KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN

1. Identifikasi klien

 Nama
 Umur
 Jenis kelamin
 Tanggal dirawat
 Tanggal pengkajian
 Nomor rekam medis
2. Faktor predisposisi
 Genetik
 Neurobiologis : penurunan volume otak dan perubahan sistem
neurotransmiter.
 Teori virus dan infeksi
3. Faktor presipitasi
 Biologis
 Sosial kutural
 Psikologi
4. Penilaian terhadap stress
5. Sumber koping
 Disonasi kognitif ( gangguan jiwa aktif )
 Pencapaian wawasan
 Kognitif yang konstan
 Bergerak menuju prestasi kerja
6. Mekanisme koping
 Regresi( berhubungan dengan masalah dalam proses informasi dan pengeluaran
sejumlah besar tenaga dalam upaya mengelola anxietas)
 Proyeksi ( upaya untuk menjelaskan presepsi yang membingungkan dengan
menetapkan tanggung jawab kepada orang lain)
 Menarik diri
 Pengingkaran

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Harga diri rendah
Harga diri adalah penilaian individu tentang nilai personal yang diperoleh
dengan menganalisis seberapa sesuai perilaku dirinya dengan ideal diri. (Gail. W.
Stuart, 2007).
Tanda dan gejala dari HDR meliputi DS dan DO yaitu :
DS:
 Mengejek dan mengkritik diri.
 Merasa bersalah dan khawatir, menghukum atau menolak diri sendiri.
 Menunda keputusan.
 Merusak diri: harga diri rendah menyokong klienuntuk mengakhiri hidup.
 Perasaan tidak mampu.
 Pandangan hidup yang pesimitis.
 Tidak menerima pujian.
 Penurunan produktivitas.
 Penolakan tehadap kemampuan diri
DO :
 Mengalami gejala fisik, misal: tekanan darah tinggi, gangguan
penggunaan zat.
 Kurang memperhatikan perawatan diri.
 Berpakaian tidak rapi
 Berkurang selera makan.
 Tidak berani menatap lawan bicara.
 Lebih banyak menunduk.
 Bicara lambat dengan nada suara lemah.
 Merusak atau melukai orang lain.
 Sulit bergaul.
 Menghindari kesenanganyang dapat memberi rasa puas.
 Menarik diri dari realitas, cemas, panic, cemburu, curiga dan
halusinasI

Dalam HDR juga terdapat faktor predisposisi yaitu :


1. Faktor yang mempengaruhi harga diri
2. Faktor yang mempengaruhi peran.
3. Faktor yang mempengaruhi identitas diri.
4. Faktor biologis

Faktor presipitasi dalam HDR yang mana stressor pencetus dapat berasal dari internal
dan eksternal, yaitu:
 Trauma seperti penganiayaan seksual dan psikologis atau menyaksikan peristiwa
yang mengancam kehidupan.
 Ketegangan peran berhubungan dengan peran atau posisi yang diharapkan dan
individu mengalaminya sebagai frustasi.

RENTANG RESPON

Respon adaptif respon maladaptif


Aktualisasi konsep diri positif harga diri rendah kerancuan identitas depolarisasi
Diri

Pohon masalah yang muncul menurut Fajariyah (2012)

resiko tinggi perileku kekerasan

perubahan persepsi sensori-halusinasi

isolasi sosial, menarik diri

harga diri rendah

koping individu tidak efektif

C. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Harga Diri Rendah
 Tujuan umum:klien tidak terjadi gangguan interaksi sosial, bisa berhubungan
dengan orang lain dan lingkungan.
 Tujuan khusus :
a. Klien dapat membina hubungan saling percaya
Tindakan :
- Bina hubungan saling percaya : salam terapeutik, perkenalan diri
- Jelaskan tujuan interaksi,
- ciptakan lingkungan yang tenang
- Buat kontrak yang jelas (waktu, tempat dan topik pembicaraan)
- Beri kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaannya
- Sediakan waktu untuk mendengarkan klien
- Katakan kepada klien bahwa dirinya adalah seseorang yang
berharga dan bertanggung jawab serta mampu menolong dirinya
sendiri
b. Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang
dimiliki
Tindakan :
- Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
- Hindarkan memberi penilaian negatif setiap bertemu klien,
- Utamakan memberi pujian yang realistis
- Klien dapat menilai kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
c. Klien dapat menilai kemampuan yang dapat digunakan
Tindakan :
- Diskusikankemampuan dan aspek positif yang dimiliki
- Diskusikan pula kemampuan yang dapat dilanjutkan setelah pulang ke
rumah
d. Klien dapat menetapkan/merencanakan kegiatan sesuai dengan kemampuan
yang dimiliki
Tindakan :
- Rencanakan bersama klien aktivitas yang dapat dilakukan setiap
hari sesuai kemampuan
- Tingkatkan kegiatan sesuai dengan toleransi kondisi klien
- Beri contoh cara pelaksanaan kegiatan yang boleh klien lakukan
e. Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi dan kemampuan
Tindakan:
- Beri kesempatan mencoba kegiatan yang telah direncanakan
- Beri pujian atas keberhasilan klien
- Diskusikan kemungkinan pelaksanaan di rumah
f. Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada
Tindakan :
- Beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara merawat klien
- Bantu keluarga memberi dukungan selama klien dirawat
- Bantu keluarga menyiapkan lingkungan di rumah6.4Beri reinforcement
positif atas keterlibatan keluarga

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA ANAK JALANAN DAN


GELANDANGAN

A. Keperawatan Kesehatan Jiwa


Jiwa adalah unsur manusia yang bersifat nonmateri, tetapi fungsi dan
manifestasinya sangat terkait pada materi, jiwa bersifat abstrak dan tidak berwujud
benda. Hal ini karena jiwa memang bukan berupa benda, melainkan sebuah sistem
perilaku, hasil olah pemikiran, perasaan, persepsi, dan berbagai pengaruh lingkungan
sosial. Semua ini merupakan manifestasi sebuah kejiwaan seseorang. Oleh karena itu,
untuk mempelajari ilmu jiwa dan keperawatannya, pelajarilah dari manifestasi jiwa
terkait pada materi yang dapat diamati berupa perilaku manusia.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sehat adalah dalam keadaan bugar dan
nyaman seluruh tubuh dan bagian-bagiannya. Bugar dan nyaman adalah relatif, karena
bersifat subjektif sesuai orang yang mendefinisikan dan merasakan.
World Health Organization (WHO) pada tahun 2008 menjelaskan kriteria orang
yang sehat jiwanya adalah orang yang dapat melakukan hal berikut.

1. Menyesuaikan diri secara konstruktif pada kenyataan, meskipun kenyataan itu buruk.
2. Merasa bebas secara relatif dari ketegangan dan kecemasan.
3. Memperoleh kepuasan dari usahanya atau perjuangan hidupnya.
4. Merasa lebih puas untuk memberi dari pada menerima.
5. Berhubungan dengan orang lain secara tolong-menolong dan saling memuaskan.
6. Mempunyai daya kasih sayang yang besar.
7. Menerima kekecewaan untuk digunakan sebagai pelajaran di kemudian hari.
8. Mengarahkan rasa permusuhan pada penyelesaian yang kreatif dan konstruktif.

Menurut WHO, kesehatan jiwa adalah berbagai karakteristik positif yang


menggambarkan keselarasan dan keseimbangan kejiwaan yang menceerminkan
kedewasaan kepribadiannya. UU Kesehatan Jiwa No. 3 Tahun 1966 tentang Upaya
Kesehatan Jiwa, memberikan batasan bahwa upaya kesehatan jiwa adalah suatu kondisi
dapat menciptakan keadaan yang memungkinkan atau mengizinkan perkembangan fisik,
intelektual, dan emosional yang optimal pada seseorang, serta perkembangan ini selaras
dengan orang lain. Menurut UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, pada Bab IX
tentang kesehatan jiwa menyebutkan Pasal 144 ayat 1 “Upaya kesehatan jiwa ditujukan
untuk menjamin setiap orang dapat menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari
ketakutan, tekanan, dan gangguan lain yang dapat mengganggu kesehatan jiwa”. Ayat 2,
“Upaya kesehatan jiwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas preventif,
promotif, kuratif, rehabilitatif pasien gangguan jiwa, dan masalah psikososial”.

B. Definisi Gelandangan dan Anak Jalanan


1. Definisi Gelandangan
Gelandangan sebagai entitas sosial merupakan orang-orang yang hidup dalam
keadaan yang tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat
setempat, serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah
tertentu dan hidup mengembara di tempat umum (PP No. 31 tahun 1980 tentang
Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis).
2. Definisi Anak Jalanan
Anak jalanan atau sering disingkat anjal adalah sebuah istilah umum yang
mengacu pada anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi di jalanan, namun
masih memiliki hubungan dengan keluarganya. Menurut Departmen Sosial RI (1999),
pengertian tentang anak jalanan adalah anak-anak di bawah usia 18 tahun yang karena
berbagai faktor, seperti ekonomi, konflik keluarga hingga faktor budaya yang
membuat mereka turun ke jalanan.
UNICEF memberikan batasan tentang anak jalanan, yaitu Street Child are those
who have abandoned their homes, school and immediate communities before they are
sixteen years of age, and have drifted into a nomadic streat life. Berdasarkan hal
tersebut, maka anak jalanan adalah anak-anak berumur di bawah 16 tahun yang sudah
melepaskan diri dari keluarga, sekolah, dan lingkungan masyarakat terdekantnya,
larut dalam kehidupan berpindah-pindah di jalan raya.
3. Definisi Anak Jalanan dan Gelandangan Psikotik
Gelandangan psikotik adalah penderita gangguan jiwa kronis yang keluyuran di
jalan-jalan umum, sehingga dapat mengganggu ketertiban umum dan merusak
keindahan lingkungan.
C. Psikotik
Psikotik adalah bentuk disorder mental atau kegalauan jiwa yang dicirikan dengan
adanya disintegrasi kepribadian dan terputusnnya hubungan jiwa dengan Realita. Kriteria
Psikotik adalah sebagai berikut:
1. Psikotik organic
sikotik yang penyebabnya adalah gangguan pada susunan syaraf pusat dan psikotik
yang disebabkan oleh kondisi fisik, gangguan metabolisme dan intoksikasi obat.
2. Psikotik Fungsional
Psikotik yang disebabkan oleh gangguan pada kepribadian seseorang yang bersifat
psikogenetik yaitu skizofrenia (perpecahan kepribadian) seperti psikotik paranoid dan
curiga.

Berikut faktor penyebab psikotik, antara lain:


1. Tekanan-tekanan kehidupan ( emosional)
2. Kekecewaan yang tidak pernah terselesaikan
3. Adanya hambatan yang terjadi pada masa tumbuh kembang
4. Kecelakaan yang menyebabkan kerusakan gangguan otak
5. Tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan masyarakat.

Menurut UU no 23 tentang kesehatan jiwa menyebutkan penyebab munculnya


anak jalanan dan gelandangan psikotik adalah:

1. Keluarga tidak perduli


2. Keluarga malu
3. Keluarga tidak tahu
4. Obat tidak diberikan
5. Tersesat ataupun karena Urbanisasi

D. Tanda dan Gejala Anak Jalanan dan Gelandangan Psikotik


1. Orang dengan tubuh yang kotor sekali,
2. Rambutnya seperti sapu ijuk
3. Pakaiannya compang-camping dengan membawa bungkusan besar yang berisi
macam- macam barang
4. Bertingkah laku aneh seperti tertawa sendiri
5. Sukar diajak berkomunikasi
6. Pribadi tidak stabil
7. Tidak memiliki kelompok

E. Layanan yang dibutuhkan oleh anak jalanan dan gelandangan psikotik


1. Kebutuhan fisik, meliputi kebutuhan makan, pakaian, perumahan dan kesehatan
2. Kebutuhan layanan psikis meliputi terapi medis psikiatris. keperawatan dan
psikologis
3. Kebutuhan sosial seperti rekreasi, kesenian dan olah raga
4. Layanan kebutuhan ekonomi meliputi ketrampilan usaha, ketrampilan kerja dan
penempatan dalam masyarakat.
5. Kebutuhan rohani
6.
F. Asuhan Keperawatan Pada Anak Jalanan Dan Gelandangan
1. Pengkajian
a. Faktor predisposisi
 Genetik
 Neurobiologis : penurunan volume otak dan perubahan sistem
neurotransmiter.
 Teori virus dan infeksi
b. Faktor presipitasi
 Biologis
 Sosial kutural
 Psikologis

c. Penilaian terhadap stressor

Respon Adaptif Respon Maladaptif


 Berikir logis  Pemikiran sesekali  Gangguan oemikiran
 Persepsi akurat  Terdistorsi  Waham atau halusinasi
 Emosi konsisten dengan  Ilusi  Kesulitan pemulangan
pengalaman
 Perilaku sesuai  Reaksi emosi berlebih dan  Emosi
tidak bereaksi
 Berhubungan sosial  Perilaku aneh  Perilaku kacau dan isolasi
sosial
 Penarikan tidak bisa 
berhubungan sosial

d. Sumber koping
 Disonasi kognitif ( gangguan jiwa aktif )
 Pencapaian wawasan
 Kognitif yang konstan
 Bergerak menuju prestasi kerja
e. Mekanisme koping\
 Regresi( berhubungan dengan masalah dalam proses informasi dan
pengeluaran sejumlah besar tenaga dalam upaya mengelola anxietas)
 Proyeksi ( upaya untuk menjelaskan presepsi yang membingungkan dengan
menetapkan tanggung jawab kepada orang lain)
 Menarik diri
 Pengingkaran
2. Diagnosa Keperawatan
a. Harga Diri Rendah
b. Isolasi Sosial
c. Gangguan Persepsi Sensori: Halusinasi
d. Resiko perilaku kekerasan/Perilaku kekerasan
e. Gangguan Proses Pikir: Waham
f. Resiko Bunuh Diri
g. Defisit Perawatan Diri
3. Intervensi Keperawatan
Diagnosa 1. Harga Diri Rendah
Tujuan umum : klien tidak terjadi gangguan interaksi sosial, bisa berhubungan
dengan orang lain dan lingkungan.
Tujuan khusus :
a. Klien dapat membina hubungan saling percaya Tindakan :
o Bina hubungan saling percaya : salam terapeutik, perkenalan diri,
o Jelaskan tujuan interaksi, ciptakan lingkungan yang tenang,
o Buat kontrak yang jelas (waktu, tempat dan topik pembicaraan)
o Beri kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaannya
o Sediakan waktu untuk mendengarkan klien
o Katakan kepada klien bahwa dirinya adalah seseorang yang berharga dan
bertanggung jawab serta mampu menolong dirinya sendiri

b. Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki


Tindakan :
 Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
 Hindarkan memberi penilaian negatif setiap bertemu klien,
 Utamakan memberi pujian yang realistis
c. Klien dapat menilai kemampuan dan aspek positif yang dimiliki 3.Klien dapat
menilai kemampuan yang dapat digunakan
Tindakan :
 Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
 Diskusikan pula kemampuan yang dapat dilanjutkan setelah pulang ke rumah
d. Klien dapat menetapkan / merencanakan kegiatan sesuai dengan kemampuan
yang dimiliki
Tindakan :
 Rencanakan bersama klien aktivitas yang dapat dilakukan setiap hari sesuai
kemampuan
 Tingkatkan kegiatan sesuai dengan toleransi kondisi klien
 Beri contoh cara pelaksanaan kegiatan yang boleh klien lakukan
e. Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi dan kemampuan
Tindakan :
 Beri kesempatan mencoba kegiatan yang telah direncanakan
 Beri pujian atas keberhasilan klien
 Diskusikan kemungkinan pelaksanaan di rumah
f. Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada Tindakan :
 Beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara merawat klien
 Bantu keluarga memberi dukungan selama klien dirawat
 Bantu keluarga menyiapkan lingkungan di rumah
 Beri reinforcement positif atas keterlibatan keluarga

Diagnosa 2: Menarik diri

Tujuan Umum : Klien dapat berinteraksi dengan orang lain

Tujuan Khusus :

1. Klien dapat membina hubungan saling percaya Tindakan :


a. Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip komunikasi
terapeutik dengan cara :
 Sapa klien dengan ramah baik verbal maupun non verbal
 Perkenalkan diri dengan sopan
 Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai
 Jelaskan tujuan pertemuan
 Jujur dan menepati janji
 Tunjukkan sikap empati dan menerima klien apa adanya
 Berikan perhatian kepada klien dan perhatian kebutuhan dasar klien
b. Klien dapat menyebutkan penyebab menarik diri Tindakan:
 Kaji pengetahuan klien tentang perilaku menarik diri dan tanda-tandanya.
 Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan penyebab
menarik diri atau mau bergaul
 Diskusikan bersama klien tentang perilaku menarik diri, tanda-tanda serta
penyebab yang muncul
 Berikan pujian terhadap kemampuan klien mengungkapkan perasaannya
c. Klien dapat menyebutkan keuntungan berhubungan dengan orang lain dan
kerugian tidak berhubungan dengan orang lain.
Tindakan :
 Identifikasi bersama klien cara tindakan yang dilakukan jika terjadi
halusinasi ( tidur, marah, menyibukkan diri dll)
 Kaji pengetahuan klien tentang manfaat dan keuntungan berhubungan
dengan orang lain
- Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan
tentang keuntungan berhubungan dengan prang lain
- Diskusikan bersama klien tentang manfaat berhubungan dengan
orang lain
- Beri reinforcement positif terhadap kemampuan mengungkapkan
perasaan tentang keuntungan berhubungan dengan orang lain
 Kaji pengetahuan klien tentang kerugian bila tidak berhubungan dengan
orang lain
- beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan
dengan orang lain
- diskusikan bersama klien tentang kerugian tidak berhubungan
dengan orang lain
- beri reinforcement positif terhadap kemampuan mengungkapkan
perasaan tentang kerugian tidak berhubungan dengan orang lain
d. Klien dapat melaksanakan hubungan sosial Tindakan:
 Kaji kemampuan klien membina hubungan dengan orang lain
 Dorong dan bantu kien untuk berhubungan dengan orang lain melalui
tahap :
- K–P
- K – P – P lain
- K – P – P lain – K lain
- K – Kel/Klp/Masy
 Beri reinforcement positif terhadap keberhasilan yang telah dicapai.
 Bantu klien untuk mengevaluasi manfaat berhubungan
 Diskusikan jadwal harian yang dilakukan bersama klien dalam mengisi
waktu
 Motivasi klien untuk mengikuti kegiatan ruangan
 Beri reinforcement positif atas kegiatan klien dalam kegiatan ruangan
e. Klien dapat mengungkapkan perasaannya setelah berhubungan dengan orang
lain Tindakan:
 Dorong klien untuk mengungkapkan perasaannya bila berhubungan
dengan orang lain
 Diskusikan dengan klien tentang perasaan masnfaat berhubungan dengan
orang lain.
 Beri reinforcement positif atas kemampuan klien mengungkapkan
perasaan manfaat berhubungan dengan oranglain
f. Klien dapat memberdayakan sistem pendukung atau keluarga Tindakan:
 Bina hubungan saling percaya dengan keluarga :
- Salam, perkenalan diri
- Jelaskan tujuan
- Buat kontrak
- Eksplorasi perasaan klien
 Diskusikan dengan anggota keluarga tentang :
- erilaku menarik diri
- Penyebab perilaku menarik diri
- Akibat yang terjadi jika perilaku menarik diri tidak ditanggapi
- Cara keluarga menghadapi klien menarik diri
 Dorong anggota keluarga untukmemberikan dukungan kepada klien
untuk berkomunikasi dengan orang lain.
 Anjurkan anggota keluarga secara rutin dan bergantian menjenguk klien
minimal satu kali seminggu
 Beri reinforcement positif positif atas hal-hal yang telah dicapai oleh
keluarga

Diagnosa 3: Perilaku kekerasan

TujuanUmum : Klien terhindar dari mencederai diri, orang lain dan lingkungan.

Tujuan Khusus:

a. Klien dapat membina hubungan saling percaya. Tindakan:


 Bina hubungan saling percaya : salam terapeutik, empati, sebut nama perawat
dan jelaskan tujuan interaksi.
 Panggil klien dengan nama panggilan yang disukai.
 Bicara dengan sikap tenang, rileks dan tidak menantang.
b. Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.
Tindakan :
 Beri kesempatan mengungkapkan perasaan.
 Bantu klien mengungkapkan perasaan jengkel / kesal.
 Dengarkan ungkapan rasa marah dan perasaan bermusuhan klien dengan sikap
tenang.
c. Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan. Tindakan :
 Anjurkan klien mengungkapkan yang dialami dan dirasakan saat
jengkel/kesal.
 Observasi tanda perilaku kekerasan.
 Simpulkan bersama klien tanda-tanda jengkel / kesal yang dialami klien.
d. Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan yang biasa dilakukan. Tindakan:
 Anjurkan mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
 Bantu bermain peran sesuai dengan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
 Tanyakan "apakah dengan cara yang dilakukan masalahnya selesai?"
e. Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan. Tindakan:
 Bicarakan akibat/kerugian dari cara yang dilakukan.
 Bersama klien menyimpulkan akibat dari cara yang digunakan.
 Tanyakan apakah ingin mempelajari cara baru yang sehat.
f. Klien dapat mengidentifikasi cara konstruktif dalam berespon terhadap
kemarahan.
Tindakan :
 Beri pujian jika mengetahui cara lain yang sehat.
 Diskusikan cara lain yang sehat.Secara fisik : tarik nafas dalam jika sedang
kesal, berolah raga, memukul bantal / kasur.
 Secara verbal : katakan bahwa anda sedang marah atau kesal / tersinggung
 Secara spiritual : berdo'a, sembahyang, memohon kepada Tuhan untuk diberi
kesabaran.
g. Klien dapat mengidentifikasi cara mengontrol perilaku kekerasan. Tindakan:
 Bantu memilih cara yang paling tepat.
 Bantu mengidentifikasi manfaat cara yang telah dipilih.
 Bantu mensimulasikan cara yang telah dipilih.
 Beri reinforcement positif atas keberhasilan yang dicapai dalam simulasi.
 Anjurkan menggunakan cara yang telah dipilih saat jengkel / marah.
h. Klien mendapat dukungan dari keluarga. Tindakan
 Beri pendidikan kesehatan tentang cara merawat klien melalui pertemuan
keluarga.
 Beri reinforcement positif atas keterlibatan keluarga.
i. Klien dapat menggunakan obat dengan benar (sesuai program). Tindakan:
 Diskusikan dengan klien tentang obat (nama, dosis, frekuensi, efek dan efek
samping).
 Bantu klien mengunakan obat dengan prinsip 5 benar (nama klien, obat, dosis,
cara dan waktu).
 Anjurkan untuk membicarakan efek dan efek samping obat yang dirasakan.

Diagnosa 4: Gangguan Proses Pikir : Waham

Tujuan umum : klien tidak terjadi gangguan proses fikir yang berhubungan dengan
gangguan konsep diri (harga diri rendah/klien akan meningkat harga dirinya)

Tujuan khusus :

 Pasien dapat berorientasi kepada realitas secara bertahap


 Pasien dapat memenuhi kebutuhan dasar
 Pasien mampu berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan
 Pasien menggunakan obat dengan prinsip 5 benar.

a. Dapat membina hubungan saling percaya Tindakan :


 Bina hubungan saling percaya : salam terapeutik, perkenalan diri, jelaskan
tujuan interaksi, ciptakan lingkungan yang tenang, buat kontrak yang jelas
(waktu, tempat dan topik pembicaraan)
 Beri kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaannya
 Sediakan waktu untuk mendengarkan klien
 Jangan membantah dan mendungkung waham klien, katakan perawat
menerima keyakinan klien “saya menerima keyakinan anda” disertai ekspresi
menerima, katakana perawat tidak mendukung disertai ekspresi ragu dan
empati, tidak membicarakan isi waham klien.
 Katakan kepada klien bahwa dirinya adalah seseorang yang berharga dan
bertanggung jawab serta mampu menolong dirinya sendiri
b. Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
Tindakan :
 Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
 Hindarkan memberi penilaian negatif setiap bertemu klien, utamakan
memberi pujian yang realistis
 Klien dapat menilai kemampuan dan aspek positif yang dimiliki.
c. Klien dapat menilai kemampuan yang dapat digunakan Tindakan :
 Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
 Diskusikan pula kemampuan yang dapat dilanjutkan setelah pulang ke rumah
d. Klien dapat menetapkan / merencanakan kegiatan sesuai dengan kemampuan
yang dimiliki
Tindakan :
 Rencanakan bersama klien aktivitas yang dapat dilakukan setiap hari sesuai
kemampuan
 Tingkatkan kegiatan sesuai dengan toleransi kondisi klien
 Beri contoh cara pelaksanaan kegiatan yang boleh klien lakukan
 Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi dan kemampuan Tindakan :
 Beri kesempatan mencoba kegiatan yang telah direncanakan
 Beri pujian atas keberhasilan klien
 Diskusikan kemungkinan pelaksanaan di rumah
e. Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada Tindakan :
 Beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara merawat klien
 Bantu keluarga memberi dukungan selama klien dirawat
 Bantu keluarga menyiapkan lingkungan di rumah
 Beri reinforcement positif atas keterlibatan keluarga

Diagnosa 5 : Defisit Perawatan Diri : kebersihan diri, berdandan, makan,


BAB/BAK

Tujuan Umum : Pasien tidak mengalami defisit perawatan diri


kebersihan diri, berdandan, makan, BAB/BAK.

Tujuan Khusus :

 Pasien mampu melakukan kebersihan diri secara mandiri


 Pasien mampu melakukan berhias/berdandan secara baik
 Pasien mampu melakukan makan dengan baik
 Pasien mampu melakukan BAB/BAK secara mandiri
Intervensi

a. Melatih pasien cara-cara perawatan kebersihan diri


 Menjelasan pentingnya menjaga kebersihan diri.
 Menjelaskan alat-alat untuk menjaga kebersihan diri
 Menjelaskan cara-cara melakukan kebersihan diri
 Melatih pasien mempraktekkan cara menjaga kebersihan diri
b. Melatih pasien berdandan/berhias
 Untuk pasien laki-laki latihan meliputi:
- Berpakaian
- Menyisir rambut
- Bercukur
 Untuk pasien wanita, latihannya meliputi :
- Berpakaian
- Menyisir rambut
- Berhias
 Melatih pasien makan secara mandiri
- Menjelaskan cara mempersiapkan makan
- Menjelaskan cara makan yang tertib
- Menjelaskan cara merapihkan peralatan makan setelah makanPraktek
makan sesuai dengan tahapan makan yang baik
c. Mengajarkan pasien melakukan BAB/BAK secara mandiri
 Menjelaskan tempat BAB/BAK yang sesuai
 Menjelaskan cara membersihkan diri setelah BAB dan BAK
 Menjelaskan cara membersihkan tempat BAB dan BAK

Diagnosa 6: perubahan persepsi sensorik : Halusinasi berhubungan dengan


menarik diri

Tujuan Umum : klien mampu mengontrol halusinasinya

Tujuan khusus :
 Klien mampu membina hubungan saling percaya
 Klien dapat mengenal halusinasinya
 Klien dapat mengotrol halusinasinya
 Klien dapat menggunakan obat dengan benar TUK 1

a. Pasien dapat membina hubungan saling percaya


 Sapa pasien dengan ramah baik verbal maupun non verbal
 Perkenalkan nama, nama panggilan dan tujuan perawat berkenalan
 Tanyakan nama lengkap dan panggilan yang disukai
 Buat kontrak yang jelas
 Tunjukkan sikap jujur dan menunjukkan sikap empati serta menerima apa
adanya
 Beri perhatian kepada pasien dan perhatikan kebutuhan dasar pasien
 Beri kesempatan pasien untuk mengungkapkan perasaannya
 Dengarkan ungkapan pasien dengan penuh perhatian ada ekspresi perasaan
pasien.
b. Pasien dapat mengenal halusinasinya
 Adakan kontak sering dan singkat secara bertahap
 Observasi tingkah laku yang terkait dengan halusinasi (verbal dan non verbal)
 Bantu mengenal halusinasi
 Jika pasien tidak berhalusinasi, klarivikasi tentang adanya halusinasi ,
diskusikan dengn pasien isi, waktu, dan frekuensi halusinasi pagi,siang,sore,
malam atau sering, jarang)
 Diskusikan tentang apa yang dirasakan saat terjadi halusinasi
 Diskusikan tentang dampak yang dialami jika pasien menikmati halusinasi
c. Pasien dapat mengontrol halusinasinya Intervensi :
 Identifikasi bersama tentang cara tindakan jika terjadi halusinasi
 Diskusikan manfaat cara yang digunakan pasien
 Diskusikan cara baru untuk memutus/mengontrol halusinasi
 Bantu pasien memilih cara yang sudah dianjurkan dan latih untuk
mencobanya.
 Pantau pelaksanan tindakan yang telah dipilih dan dilatih, jika berhasil beri
pujian.
d. Pasien dapat menggunakan obat dengan benar
 Diskusikan tentang manfaat dan kerugian tidak minum obat, dosis, nama,
frekuensi, efek samping minum obat.
 Pantau saat pasien minum obat (pasien harus minum obat didepan perawat,
dan benar- benar meminum obat)
 Anjurkan pasien minta sendiri obatnya pada perawat
 Beri reinforcmen jika pasien menggunakan obat dengan benar
 Diskusikan akibat berhenti minum obat tanpa konsultasi dokter
 Anjurkan pasien berkonsultasi dengan dokter/perawat jika terjadi hal-hal yang
tidak diinginkan.

Diagnosa 7: Risiko Bunuh Diri

a. Tindakan keperawatan klien yang mengancam atau mencoba bunuh diri.


Tujuan : Klien tetap aman dan selamat
Tindakan : melindungi klienPerawat yang dapat melakukan hal-hal berikut untuk
melindungi klien yang mengancam atau berupaya bunuh diri.
 Tetap menemani klien sampai dipindahkan ketempat yang lebih aman
 Menjauhkan semua benda yang berbahaya
 Memastikan bahwa pasien benar-benar telah meminum obatnya, jikia pasien
mendapatkan obat
 Menjelaskan dengan lembut pada pasien bahwa saudara akan melindungi
pasien sampai pasien melupakan keinginanya untuk bunuh diri.
b. Tindakan keperawatan untuk klien yang menunjukan isyarat untuk bunuh diri
Tujuan :
a. Klien mendapatkan perlindungan dari lingkungannya
b. Klien dapat mengungkapkan perasaanya
c. Klien dapat menggunakan cara penyelesaian masalah yang baik
Tindakan

 Mendiskusikan tentang cara menagatasi keinginan bunug diri, yaitu dengan


meminta bantuan dari keluarga atau teman dekat
 Meningkatkan harga diri klien dengan memberikan kesempatan untuk
mengungkapkan perasaannya, berikan pujian untuk klien, menyakinkan klien
bahwa dirinya berarti untuk orang lain
 Meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah, dengan cara
mendiskusikan dengan klien cara menyesaikan masalahnya, mendiskusikan
dengan klien efektifitas masing-masing cara penyelesaian masalah
DEFIN
SI
Pedo"lia terdiri
dari dua suku
kata; pedo
(anak) dan
"lia(cinta).
Pedo"lia adalah
kecenderungan
seseorang yang
telahdewasa
baik
pria maupun
wanita untuk
melakukan
aktivitas
seksual berupa
hasrat ataupun
fantasi impuls
seksual dengan
anak-anak
kecil.
Bahkan
terkadang
melibatkan anak
dibawah umur.
Pedo"lia adalah
perbuatan seks
yang tidak
wajar dimana
terdapat
dorongan yang
kuat beulang-
ulang berupa
hubungan
kelamin dengan
anak pra-
pubertas atau
kesuakaan
abnormal
terhadap anak,
aktivitas seks
terhadap anak-
anak (Dorlan.
1998)

DEFIN
SI
Pedo"lia terdiri
dari dua suku
kata; pedo
(anak) dan
"lia(cinta).
Pedo"lia adalah
kecenderungan
seseorang yang
telahdewasa
baik
pria maupun
wanita untuk
melakukan
aktivitas
seksual berupa
hasrat ataupun
fantasi impuls
seksual dengan
anak-anak
kecil.
Bahkan
terkadang
melibatkan anak
dibawah umur.
Pedo"lia adalah
perbuatan seks
yang tidak
wajar dimana
terdapat
dorongan yang
kuat beulang-
ulang berupa
hubungan
kelamin dengan
anak pra-
pubertas atau
kesuakaan
abnormal
terhadap anak,
aktivitas seks
terhadap anak-
anak (Dorlan.
1998)
DEFIN
SI
Pedo"lia terdiri
dari dua suku
kata; pedo
(anak) dan
"lia(cinta).
Pedo"lia adalah
kecenderungan
seseorang yang
telahdewasa
baik
pria maupun
wanita untuk
melakukan
aktivitas
seksual berupa
hasrat ataupun
fantasi impuls
seksual dengan
anak-anak
kecil.
Bahkan
terkadang
melibatkan anak
dibawah umur.
Pedo"lia adalah
perbuatan seks
yang tidak
wajar dimana
terdapat
dorongan yang
kuat beulang-
ulang berupa
hubungan
kelamin dengan
anak pra-
pubertas atau
kesuakaan
abnormal
terhadap anak,
aktivitas seks
terhadap anak-
anak (Dor

Anda mungkin juga menyukai