Anda di halaman 1dari 5

Komunikasi, Interaksi Sosial dan Perilaku Anak Autis

Pengertian Anak Autis

Menurut Sutadi (Sujarwanto, 2005: 168), autis merupakan gangguan proses


perkembangan yang terjadi dalam tiga tahun pertama yang menyebabkan gangguan pada bahasa,
kognitif, sosial dan fungsi adaptif, sehingga anak-anak tersebut semakin lama tertinggal
perkembangannya dibandingkan teman-teman seusia mereka. Menurut Faisal (Suryana, 2004:
13), autis ditandai oleh ciri-ciri utama yaitu : tidak peduli dengan lingkungan sosial, tidak bisa
bereaksi normal dalam pergaulan sosialnya, perkembangan bahasa dan berbicara tidak normal,
reaksi atau pengamatan terhadap lingkungan terbatas serta berulang-ulang. Jika interaksi sosial
anak dengan gangguan autisme sangat minim dengan lingkungan sekitar dan untuk komunikasi
anak mengalami gangguan. Seperti anak tidak mau berbicara dengan orang disampingnya atau
belum bisa berbicara sesuai dengan usianya, menarik diri (with drawl), dan selalu melakukan
aktifitas yang berulang-ulang. Berdasarkan karakteristik yang disampaikan oleh beberapa ahli,
karakteristik anak autis menitikberatkan ketidakpedulian anak dengan lingkungan sosial, tidak
bereaksi normal dalam pergaulan sosialnya, melakukan pengulangan dalam reaksi, dan perilaku
cenderung untuk melukai diri sendiri, tidak memiliki kepercayaan pada diri sendiri, bersikap
agresif, serta kurang atau berlebihan dalam merespon stimulus.

Komunikasi Anak Autis

Komunikasi berarti penyampaian suatu pernyataan oleh seseorang pada orang lain
sebagai konsekuensi dari hubungan sosial (Sunardi dan Sunaryo, 2006: 174). Menurut Quill
(dalam Gardner, at al., 1990: 2) menyatakan bahwa komunikasi merupakan proses yang dinamis
dari penyampaian pesan dan dokining dari penerima pesan, terjadi pertukaran informasi,
penyampaian perasaan (melibatkan emosi), ada tujuan-tujuan tertentu serta ada penyampaian ide.

Menurut Susman (Joko Yuwono, 2009: 7) perkembangan anak autis dipengaruhi oleh beberapa
faktor yaitu cara anak berinteraksi, cara anak berkomunikasi, alasan di balik komunikasi yang
dilakukan anak dan tingkat pemahaman anak. Selanjutnya ia menuliskan bahwa perkembangan
komunikasi anak autis melalui empat tahap berikut :

 Pertama, the own agenda stage. Pada tahap ini anak cenderung bermain sendiri dan
tampak tidak tertarik pada orang-orang sekitar. Anak belum memahami bahwa dengan
komunikasi dapat mempengaruhi orang lain.
 Kedua, the requester stage. Pada tahap ini anak autis sudah menyadari bahwa perilakunya
dapat mempengaruhi orang lain. Bila menginginkan sesuatu anak autis akan menarik
tangan dan mengarah ke benda yang diinginkannya.
 Ketiga, the early communication stage. Dalam tahap ini kemampuan berkomunikasi anak
autis lebih baik karena melibatkan gesture, suara dan gambar. Anak autis dapat
berinteraksi cukup lama dan dapat menggunakan suatu bentuk komunikasi meski dalam
situasi khusus.
 Keempat, the partner stage. Pada tahap ini merupakan fase yang paling efektif. Bila
kemampuan berkomunikasinya baik, maka anak autis berkemungkinan dapat melakukan
prcakapan sederhana. Anak dapat menceritakan kejadian yang telah lalu, meminta
keinginan yang belum terpenuhi dan mengekspresikan perasaannya. Namun demikian
anak masih cenderung menghafal kalimat dan sulit menemukan topik baru dalam
percakapan.

Komunikasi anak autis sangat berbeda dengan komunikasi anak lainnya. Anak autis kesulitan
dalam memahami konsep sehingga jarang merespon tugas. Mereka juga kesulitan dalam
menyampaikan pesan kepada orang lain, anak autis mungkin hanya mondar-mandir dan diam
saja hal lain yang mungkin terjadi adalah menangis atau mengamuk. Anak autis yang sudah bisa
berbicara, sebagian besar hanya menggunakan kalimat pendek dengan kosakata sederhana,
namun kosa katanya terbatas dan bicaranya sulit dimengerti. Sehingga banyak kosakata yang
diucapkan tidak dapat dipahami oleh orang lain. Anak autis juga sering kali menirukan ucapan
orang lain dan mengulang-ulang kata.

Interaksi Sosial Anak Autis

Interaksi sosial adalah perilaku antara dua individu atau lebih, dimana ada hubungan saling
pengaruh mempengaruhi, mengubah atau memperbaiki kelakuan antar individu yang satu dengan
yang lain. Wing dan Gould (Abdul Hadis, 2006: 52) mengklasifikasikan anak autis menjadi tiga
kelompok, yaitu grup aloof, grup pasif, dan group aktif tetapi aneh.

 Pertama, grup aloof merupakan ciri yang klasik dan banyak diketahui orang. Anak autis
pada kelompok ini sangat mnutup diri untuk berinteraksi dengan orang lain, anak autis
biasanya merasa tidak nyaman dan marah. Anak autis juga menghindari kontal fisik dan
sosial, walaupun kadangkadang masih mau bermain bermain secara fisik.
 Kedua, grup pasif merupakan jenis anak autis yang tidak berinteraksi secara spontan,
tetapi tidak menolak usaha interaksi dari pihak lain, bahkan kadang-kadang menunjukan
rasa senang. Kelompok anak autis ini dapat diajak bermain bersama, tetapi tanpa
imajinasi, berulang, dan terbatas. Anak autis dalam grup ini merupakan grup yang paling
mudah ditangani.
 Ketiga, grup aktif tetapi aneh merupakan kelompok anak autis yang bisa mendekati orang
lain, mencoba berkata atau bertanya tetapi bukan untuk kesenangan atau untuk tujuan
interaksi sosial secara timbal balik. Kemampuan anak autis dalam mendekati orang lain
biasanya berbentuk fisik, sangat melekat terhadap orang lain, walaupun orang lain
tersebut tidak menyukainya. Kemampuan bicaranya sering kali lebih baik jika
dibandingkan dengan kedua grup lainnya.

Perilaku Sosial Anak Autis

Perilaku yang ditujukan para penyandang autisme umumnya seringkali menjadi masalah
besar bagi para orang tua dan caregiver (pengasuh, pendidik,dll). Perilaku itu dapat meliputi
perilaku yang tidak wajar, berulang-ulang, perilaku agresif atau bahkan membahayakan serta
perilaku-perilaku lainnya yang sering terlihat pada mereka seperti flapping, rocking, dll.
Kemampuan berkomunikasi baik secara lisan maupun tulisan juga menjadi persoalan utama bagi
para penyandang autis. Hambatan berbahasa dan berbicara memiliki andil yang besar pada
timbulnya berbagai masalah dalam perilaku. Ketidakmampuan menggunakan bahasa untuk
mengkomunikasikan kebutuhannya, dapat membuat seorang anak autis berteriak-teriak
(Raymond, 2004). Tingkah laku seperti bersikap acuh tak acuh kepada orang, sulit sekali diajak
komunikasi, dan seolah hidup dalam dunianya sendiri. Hal-hal yang disebutkan tadi kadang
dirasa aneh dan masyarakat yang tidak mengerti dapat mengatakan bahwa anak itu gila. Akibat
yang dapat ditimbulkan dari hal di atas sangat berpengaruh pada psikologis orang tua
penyandang autis. Bisa saja mereka mengabaikan karena mungkin malu atau menganggap anak
mereka sebagai suatu bencana sehingga membuat anak mereka semakin parah. Keterbatasan
yang dialami anak autis adalah pada gangguan berkomunikasi, tetapi bukan berarti anak autis
tidak dapat berkomunikasi. Anak autis tetap melakukan komunikasi tetapi dengan gaya
komunikasi yang berbeda. Mereka juga berinteraksi dengan gaya mereka sendiri misalnya saja
melakukan sesuatu dengan berulang-ulang, membentur-benturkan kepala, berteriak-teriak,dll.
Perilaku-perilaku yang digambarkan tadi dapat membuat kita menyadari bahwa anak-anak
berkebutuhan khusus dalam hal ini anak autis memerlukan orang-orang yang dapat memahami
dan mengerti apa yang diinginkan anak tersebut.

Penanganan Komunikasi, Interaksi Sosial dan Perilaku Anak Autis

- Peran Orangtua
Peran orang tua dalam mendidik anak sangat besar pengaruhnya dalam proses
perkembangan anak, walaupun perlu didukung oleh lembaga sosial dan pendidikan.
Keberhasilan anak sangat ditentukan oleh keluarganya, karena keluarga adalah
pendidikan pertama bagi anak (Hyoscyamina, 2011:5).
Peran orang tua yang perlu dilakukan untuk mendukung prestasi anak adalah:
a. Sebagai pengasuh dan pendidik. Orang tua harus mampu dan bertanggung jawab
untuk mengembangkan kemampuan sosial anak.
b. Sebagai pembimbing. Orang tua harus selalu memberikan bimbingan secara
berkelanjutan.
c. Sebagai Motivator. Orang tua harus selalu memberikan dukungan, sehingga
anak merasa penting dan membutuhkan apa yang dianjurkan oleh orangtuanya.
Orang tua harus mampu menjadi motivator bagi semua kegiatan anaknya.
d. Sebagai fasilitator. Orang tua perlu memberikan berbagai fasilitas pada anak
seperti memberikan alat peraga, termasuk menentukan berbagai jalan untuk mendapatkan
fasilitas tertentu dalam menunjang program belajar anak (Umar, 2015:8).
- Peran Guru
Upaya yang dapat dilakukan oleh guru untuk bisa mengembangkan kemampuan sosial
anak autis seperti berbagai terapi. Semua terapi yang disusun untuk mengembangkan
interaksi anak autis diterapkan secara berkesinambungan dan menyesuaikan dengan
karakter anak. Beberapa terapi yang diterapkan pada anak autis yaitu Son Rice terapi ini
bertujuan untuk berusaha memahami anak yang didampingi dengan cara ikut masuk
dalam dunianya. Metode ini digunakan untuk menarik perhatian anak yang didampingi
agar patuh terhadap guru pendampingnya. Selain itu ada TEACCH (Treatmen and
education of autistic and related communicationHanddicspped Children), terapi ini
bertujuan untuk mengenalkan lingkungan disekitarnya. Terapi ini dilakukan di dalam
maupun diluar sekolah. Dalam terapi ini guru pendamping melakukan outingclass dan
pemberian tugas kelompok, hal ini memiliki dampak positif serta peningkatan interaksi
sosial dengan teman dan lingkungan di sekitar.
- Peran Lembaga Pendidikan Khusus
1. Terapi wicara
Terapis dapat mengajarkan atau memperbaiki kemampuan untuk dapat berkomunikasi
secara verbal yang baik dan fungsional dan juga penggunaan alat bantu yaitu gambar atau
simbol atau bahasa isyarat sebagai kode bahasa.
2. Terapi Bermain
Bermain adalah dunia anak. Dimanapun anak-anak berada dan diwaktu apapun, bermain
adalah aktivitas utama mereka. Melalui bermain, anak-anak dapat mengekspresikan
apapun yang mereka inginkan. Pemainan haruslah menyenangkan, spontan, sukarela,
motivasinya instrinsik, fleksibel dan berkait dengan pertumbuhan fisik dan kognitif. Pada
anak penyandang autisme, Terapi bermain dapat dilakukan untuk membantu
mengembangkan keterampilan sosial, menumbuhkan kesadaran akan keberadaan orang
lain dan lingkungan sosialnya, mengembangkan keterampilan bicara, mengurangi
perilaku stereotip dan mengendalikan agresivitas.
3. Terapi Musik
Terapi musik adalah suatu terapi yang menggunakan musik untuk membantu sseorang
dalam fungsi kognitif, psikologis, fisik, perilaku dan sosial yang mengalami hambatan
maupun kecacatan.
4. Terapi Perilaku
Terapi perilaku (behavior therapy) merupakan suatu metode untuk membangun
kemampuan yang secara sosial bermanfaat dan mengurangi atau menghilangkan hal-hal
kebalikannya yang merupakan masalah. Metode ini dapat melatih setiap keterampilan
yang tidak dimiliki anak, mulai dari respon sederhana, misalnya memandang orang lain
atau kontak mata, sampai keterampilan kompleks, misalnya komunikasi spontan dan
interaksi sosial

Referensi :
Rahayu, Fitri. 2014. “Kemampuan Komunikasi Anak Autis Dalam Interaksi Sosial(Kasus Anak
Autis di Sekolah Inklusi, SD Negeri Giwangan Kotamadya Yogyakarta)”. Skripsi. Yogyakarta:
Universitas Negeri Yogyakarta

Astuti, Yuli Tri. 2008. “Pola Interaksi Sosial Anak Autis Di Sekolah Khusus Autis”. Skripsi.
Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta

Rachmah, Ika Miftachur. 2016. “Peran Orangtua Untuk Meningkatkan Komunikasi Anak Autis”.
Skripsi. Malang: UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Patdriani, Siska. 2018. “Pelaksanaan Terapi Keterampilan Sosial Bagi Anak Autis Di Lembaga
Pendidikan Khusus Dan Pendidikan Layanan Khusus Mutiara Bunda Kota Bengkulu”. Skripsi.
Bengkulu: IAIN Bengkulu

Anda mungkin juga menyukai