Anda di halaman 1dari 20

PENERAPAN BERBAGAI MODEL INTERVENSI

PADA KASUS PERKEMBANGAN ANAK


Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Asesmen dan Intervensi Perkembangan

Dosen Pengampu:
Ibu Dr. Ika Febrian Kristiana S.Psi., M.Si.

Disusun oleh:
Nabila Putri Pramadhani (15000119120008)
Wulandika Ayu Pramesti (15000119120016)
Nabila Sya’bania Rachmawati (15000119120024)
Sanchia Dida Zadiat (15000119120032)
Azzahra Verintan Sania (15000119120060)
Frida Muna Arifia (15000119120068)
Gita Sukma Dewi (15000119130086)
Rista Nurinda (15000119140228)
Hani Cahya Agustin (15000119140278)

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2021
MODEL INTERVENSI EDUCATION PSYCHODYNAMIC

A. Judul jurnal
Intervensi Psikologis pada Pendidikan Anak dengan Keterlambatan Bicara

B. Deskripsi kasus
Subjek pada penelitian ini adalah anak berusia 5 tahun 1 bulan, dengan ciri fisik
tubuh terlihat kurus dan ceking, kepala agak besar, serta kurang gesit dalam bergerak...
Subjek berinisial S saat ini sedang duduk di bangku TKA sebuah TK tri-lingual di kota
Sidoarjo. Subjek dikatakan telah terdiagnosa mengalami keterlambatan bicara akibat
kurangnya stimulasi usia dini dan kesalahan pola asuh. Keterlambatan bicara yang
dialami subjek S disebabkan karena beberapa hal yang sifatnya eksternal, diantaranya
yaitu :
1. Subjek mengalami stimulasi bahasa pada tahun-tahun awal kehidupan akibat diasuh
oleh pengasuh yang berbeda-beda. Sehingga, subjek mengalami pola pengasuhan
yang berbeda-beda, mulai dari karakter dan bahasa kesehariannya. Apabila dilihat
dari usia idealnya, Menurut Santrock, 2007 kata-kata pertama yang seharusnya
muncul yaitu pada usia 8 hingga 18 bulan, namun di usianya sekarang ini subjek
telah menguasai kemampuan bicara hampir seperti orang dewasa, dan kosa kata
yang terucap sekitar 2.600 kata. (Papalia, dkk. 2009).
2. Kurangnya kesempatan untuk belajar bahasa, akibat pola pengasuhan yang diberikan
oleh ayahnya yang sangat protektif dalam mengatur kehidupan bersosialisasi seperti,
dilarang untuk bermain dengan teman-teman seusianya. Oleh karena itu, subjek
kurang dalam memaksimalkan kesempatan belajar berkomunikasi di lingkungan,
terkungkung, dan hanya dapat belajar bahasa sebatas apa yang ada di dalam pagar
rumah tempat tinggalnya. Hal tersebut dilakukan karena ayahnya beranggapan
bahwa lingkungan luar akan memberikan dampak negatif bagi kesehatan subjek.
3. Kurangnya motivasi untuk menggunakan bahasa verbal dengan lebih baik. Subjek
sangat jarang melakukan komunikasi dengan orang dirumahnya. Para pengasuhnya
lebih banyak diam selama mengasuh subjek, sekali berbicara, pengasuh tersebut
menggunakan bahasa yang berbeda dengan bahasa ibu yang dimiliki oleh
subjek.Selain itu, orangtua subjek mengatakan bahwa tidak telaten dalam melatih
kemampuan berbicara anaknya.

1
4. Pola asuh yang diterapkan orangtua serta kondisi lingkungan yang menguatkan
subjek untuk "tetap bahagia" dalam keterlambatan berbicaranya. Pengasuh subjek
adalah seorang calon tenaga kerja magang yang tugasnya (dari orangtua) adalah
melayani semua kebutuhan dan memberikan semua keinginan subjek, tanpa
mendidiknya atau mengajarkan keterampilan berbicara. Sehingga, sikap yang
diterima subjek menguatkan keterlambatan subjek dalam berkomunikasi verbal.

C. Intervensi
Setelah dilakukan pemeriksaan mulai dari wawancara, observasi, tes DDTK, dan
analisis dokumen, metode intervensi yang diimplementasikan untuk penanganan masalah
keterlambatan bicara pada subjek yaitu :
a. Konseling keluarga
Konseling dengan sasaran orang tua subjek dinilai merupakan salah satu
intervensi yang penting dalam penanganan kasus keterlambatan bicara ini,
mengingat salah satu penyebab keterlambatan bicara subjek terdapat pada pola asuh.
Tujuan dilakukannya konseling keluarga adalah untuk memberikan informasi pada
orang tua mengenai pola asuh anak dengan keterlambatan bicara. Proses konseling
keluarga diawali dengan penyampaian tujuan konseling, dilanjutkan dengan
penyampaian materi mengenai pola asuh yang tepat untuk menangani keterlambatan
bicara, dan diakhiri dengan sesi tanya jawab atau diskusi. Konseling ini
menggunakan pendekatan TRE (Terapi Rasional-Emotif) untuk menghilangkan
pandangan salah orang tua mengenai pengasuhan overprotective dan over
permissive.
b. Latihan bicara
Intervensi kedua yang dilakukan adalah latihan bicara dengan sasaran subjek
langsung dan menggunakan kolaborasi teori belajar modeling. Tujuannya adalah
untuk melatih subjek agar dapat melafalkan kata secara lebih jelas dan dapat
dipahami orang lain. Dalam latihan bicara ini, terdapat penerapan teknik modeling
dengan bermain sambil belajar. Selanjutnya, anak juga akan diputarkan CD lagu
anak-anak berbahasa Indonesia yang sederhana dan mengajak subjek untuk
menirukan gerakan dan ucapan syair lagu. Yang terakhir adalah menggunakan flash
card untuk menunjukkan gambar dan melafalkannya, kemudian subjek diminta
untuk menirukannya.
c. Pemberdayaan lingkungan

2
Intervensi yang ketiga adalah melakukan pemberdayaan lingkungan dengan
sasaran adalah pengasuh subjek, mengingat pola asuh orang tua dan pengasuh
berbeda (yang berdampak pada masalah keterlambatan bicara subjek). Tujuannya
adalah untuk memberikan informasi mengenai cara pengasuhan anak dengan
keterlambatan bicara. Prosesnya diawali dengan perbincangan nonformal dengan
pengasuh di sela-sela sesi intervensi subjek. Dilanjutkan dengan menjelaskan
mengenai karakteristik pola asuh anak yang mengalami keterlambatan bicara, dan
diakhiri dengan pemberian contoh pengasuhan dan panduan pendampingan anak
yang lambat bicara.

3
MODEL INTERVENSI BEHAVIORAL

A. Judul jurnal
Penerapan Metode ABA (Applied Behavior Analysis) dalam Meningkatkan Kemampuan
Perilaku, Interaksi Sosial, Bahasa dan Komunikasi Anak Autis

B. Deskripsi kasus
Autis adalah salah satu tipe gangguan perkembangan pervasif atau PDD (Pervasive
Developmental Disorder) yang ditandai dengan adanya abnormalitas pada domain
interaksi sosial dan komunikasi. Secara khas, gangguan yang termasuk tipe PDD ditandai
dengan distorsi perkembangan fungsi psikologis dasar majemuk yang meliputi
perkembangan keterampilan sosial dan bahasa seperti perhatian, persepsi, daya nilai
terhadap realitas, dan gerakan-gerakan motorik. Kata autis berasal dari kata “auto” yang
artinya sendiri. Penyandang autisme seakan-akan hidup di dunianya sendiri. Autisme
merupakan gangguan perkembangan neurobiologis yang sangat kompleks yang meliputi
gangguan pada aspek perilaku, interaksi sosial, komunikasi dan bahasa, emosi, bahkan
motorik yang gejalanya muncul pada usia sebelum tiga tahun.
Menurut Yuwono (2009) terdapat tiga gangguan yang dialami anak autis yaitu
gangguan perilaku, gangguan interaksi sosial, serta gangguan komunikasi dan bahasa.
Tiga gangguan tersebut saling berkaitan. Terdapat beberapa ciri anak autis yang dapat
diamati, antara lain:
1. Perilaku
a. Cuek terhadap lingkungan
b. Perilaku tidak terarah, misalnya mondar-mandir, lari-lari, manjat-manjat,
berputar-putar, lompat-lompat, dan sebagainya
c. Kelekatan terhadap benda tertentu
d. Perilaku tak terarah
e. Rigid routine
f. Tantrum
g. Obsessive-Compulsive Behavior
h. Terpukau terhadap benda yang berputar atau benda yang bergerak
2. Interaksi Sosial
a. Tidak mau menatap mata
b. Dipanggil tidak mau menoleh

4
c. Tidak mau bermain dengan teman sebayanya
d. Asyik bermain dengan dirinya sendiri
e. Tidak ada empati dalam lingkungan sosial
3. Komunikasi dan Bahasa
a. Terlambat bicara
b. Tidak ada usaha untuk berkomunikasi secara non verbal dengan bahasa tubuh
c. Meracau dengan bahasa yang tidak dapat dipahami
d. Membeo (echolalia)
e. Tidak memahami pembicaraan orang lain.
Penyebab autisme dapat bersumber dari berbagai faktor seperti faktor genetika,
neurologis, infeksi, faktor makanan berupa zat aditif, pola makan, dan faktor lingkungan.
Pada umumnya anak dengan autis dapat dideteksi bukan pada bentuk fisik atau fisiologis
tubuhnya yang tampak, karena biasanya kondisi fisik anak autis terlihat normal seperti
anak lainnya. Namun gejalanya bisa diketahui dengan melihat perilaku, interaksi sosial,
serta komunikasi dan bahasa anak yang tidak sesuai dengan perkembangan pada
umumnya.

C. Intervensi
Metode ABA (Applied Behavior Analysis) adalah metode yang diperkenalkan oleh
Ivar O. Lovaas. Prinsip dasar metode ABA adalah cara pendekatan dan penyampaian
materi kepada anak autis yang harus dilakukan melalui :
a. Kehangatan yang berdasarkan kasih sayang yang tulus untuk menjaga kontak mata
yang lama dan konsisten
b. Tegas (tidak dapat ditawar anak)
c. Tanpa kekerasan dan tidak marah atau jengkel
d. Prompt (bantuan, arahan) secara tegas tapi lembut
e. Apresiasi anak dengan imbalan yang efektif sebagai motivasi agar selalu bergairah
Metode ABA merupakan salah satu metode terapis yang diterapkan pada anak
berkebutuhan khusus atau anak autis dengan prinsip-prinsip yang harus diperhatikan
sehingga proses terapi dapat berjalan efektif. Para ahli percaya bahwa anak dengan
autisme cenderung kurang mampu untuk belajar dari lingkungan dibandingkan dengan
anak yang lain. Metode ABA hadir dengan tujuan untuk mengisi kesenjangan tersebut
dengan cara menyediakan alat pengajaran yang berfokus pada penyederhanaan
langkah-langkah instruksional pembelajaran dan dilengkapi dengan penguatan-penguatan

5
yang konsisten. Tujuan utama dari metode ABA adalah membantu anak dengan autisme
untuk menjadi lebih mandiri dan lebih aktif dalam kehidupan sosial mereka.
Metode ABA termasuk salah satu metode yang digunakan untuk mendidik anak
autis. Metode ini didasarkan pada teori operant conditioning yang dipelopori oleh B. F.
Skinner (1904-1990). Dasar teori operant conditioning Skinner adalah pengendalian
perilaku melalui manipulasi imbalan atau hukuman. Dalam kaitannya dengan metode
ABA untuk anak autis, operant conditioning menerapkan adanya penguatan
(reinforcement) berupa hadiah atau pujian dan prompt atau arahan yang berkaitan dengan
tingkah laku anak. ABA (Applied Behavior Analysis) yaitu suatu ilmu perilaku terapan
untuk mengajarkan dan melatih seseorang agar menguasai berbagai kemampuan yang
sesuai dengan standar yang ada di masyarakat. Pendekatan pengajaran dalam ABA
antara lain keahlian sosial, motorik, verbal, serta keterampilan penalaran. Prinsip dasar
dari metode ABA adalah menghilangkan atau mengganti perilaku yang tidak diinginkan
dengan perilaku baru yang diinginkan dari suatu pemicu yang sama.

D. Proses intervensi
● Proses penerapan metode ABA dalam meningkatkan kemampuan perilaku anak
autis
Untuk meningkatkan kemampuan anak autis dalam hal perilaku, proses
penerapan metode ABA dilakukan dengan cara:
1. Pembentukan kepatuhan dan kontak mata
Hal paling mendasar yang diajarkan oleh terapis kepada anak autis adalah
adanya kepatuhan dan kontak mata yang terjadi antara terapis dan anak autis
sehingga proses pembelajaran dapat berjalan secara maksimal. Proses
pembentukan kontak mata dilakukan dengan cara memberikan prompt (arahan)
kepada anak sesuai dengan kebutuhannya, misalnya dengan menggerakkan
kepala anak agar sejajar dengan pandangan terapis. Arahan tersebut dilakukan
secara berulang jika anak belum mampu melakukan kontak mata sepenuhnya.
Jika anak sudah memiliki kontak mata yang bagus, selanjutnya anak diajarkan
bagaimana bisa patuh dengan apa yang diinstruksikan oleh terapis. Kepatuhan
yang diharapkan dari anak autis misalnya dengan melakukan perintah untuk
duduk, berdiri, melipat tangan, duduk rapi, melihat, dan lain-lain. Hal ini
penting dilakukan agar pembelajaran selanjutnya bisa berjalan efektif. Apabila

6
kepatuhan dan kontak mata sudah terjadi antara terapis dan anak autis, maka
selanjutnya dapat memberikan materi sesuai dengan kebutuhan anak saat itu.
2. Kemampuan menirukan (imitasi)
Pada pembelajaran kemampuan menirukan, terdapat beberapa tahap yang
harus dipelajari anak autis yaitu:
a. Imitasi gerakan motorik, bertujuan agar anak autis mampu mengikuti
gerakan yang dilakukan oleh terapis. Misalnya menirukan menepuk meja,
menepuk tangan, melambaikan tangan, mengangkat tangan, menggeleng,
mengangguk, dan lain sebagainya. Semua pelatihan tersebut memiliki
instruksi yang sama yaitu terapis berkata “tirukan” serentak disertai dengan
contoh gerakan. Ketika anak mampu menirukan gerakan tersebut secara
mandiri, maka dianggap berhasil.
b. Imitasi aksi terhadap objek, bertujuan agar anak autis mampu memberikan
respon terhadap objek sesuai dengan instruksi dan contoh yang diberikan
terapis. Misalnya meletakkan blok-blok ke dalam keranjang, mengatur
benda sesuai instruksi, memasang topi, meniup terompet, membunyikan
bel, memukul palu atau mainan, dan lainnya.
c. Imitasi gerakan motorik halus, bertujuan agar anak mampu melakukan
gerakan halus yang tidak mampu dilakukan anak sebelumnya. Prosesnya
sama dengan dua gerakan imitasi sebelumnya, yaitu terapis memberikan
instruksi “tirukan” sambil memberikan contoh gerakan kepada anak.
Gerakan yang dilakukan bisa seperti menggoyangkan jari tangan, menunjuk
bagian tubuh, membuka dan menutup mata, mengacungkan jempol,
bersalaman, dan lainnya.
d. Imitasi gerakan motorik mulut, bertujuan untuk mengajarkan anak agar bisa
melakukan gerakan-gerakan mulut. Misalnya membuka mulut, menjulurkan
lidah, meniup, tersenyum, mencium, dan lainnya. Pada imitasi gerakan
motorik mulut, biasanya anak tidak langsung mampu mengikuti instruksi
terapis sehingga perlu diberi arahan dari terapis.
Setiap anak yang mampu melakukan gerakan imitasi yang diinstruksikan
oleh terapis akan diberikan reward seperti dengan ucapan “bagus”, “pintar”,
“yes”, atau “tos”. Hal ini penting dilakukan agar anak senantiasa bersemangat
dalam belajar.

7
● Proses penerapan metode ABA dalam meningkatkan kemampuan interaksi sosial
anak autis
Penerapan metode ABA dalam meningkatkan kemampuan interaksi sosial
anak autis dilakukan dengan tujuan agar anak autis mampu melakukan interaksi
sosial sederhana yang biasa dilakukan sehari-hari. Terdapat beberapa aktivitas yang
biasa dilakukan terapis, antara lain:
1. Menyapa anak. Pada saat anak baru datang ke tempat terapi maka sambutlah
dengan sapaan, misalnya dengan menyebutkan nama “halo (nama anak)” atau
mengucapkan salam kepada anak.
2. Menjawab pertanyaan sosial. Hal yang dapat dilakukan terapis misalnya dengan
bertanya “siapa namamu?”, “berapa umurmu?”, “siapa nama mamahmu?”,
“kesini sama siapa?”, “siapa nama gurumu?”, dan lain sebagainya.
3. Menyebutkan kata kerja alam, gambar, orang lain, dan diri sendiri. Hal yang
dapat dilakukan terapis misalnya bertanya “apa yang sedang kamu kerjakan?”
kemudian anak akan merespon dengan menjawab sesuai apa yang sedang dia
lakukan.
Proses pembelajaran pada tahap ini sangat membantu anak untuk lebih
mengenal dirinya, apalagi ketika mereka sedang berinteraksi dengan orang lain di
lingkungan sekitarnya.
● Proses penerapan metode ABA dalam meningkatkan kemampuan komunikasi dan
bahasa anak autis
Proses ini bertujuan agar anak dapat menjalankan komunikasi dengan lawan
bicara, misalnya dengan merespon apa yang disampaikan oleh orang lain atau
mampu mengidentifikasi objek. Terdapat beberapa proses yang dapat dilakukan
terapis, antara lain:
1. Mengikuti perintah sederhana. Misalnya terapis mengatakan “berdiri”, “tangan
ke atas”, “tepuk tangan”, “peluk saya”, ‘tos”, dan lainya. Kemudian anak bisa
merespon dengan mengikuti perintah terapis.
2. Identifikasi bagian-bagian tubuh. Misalnya terapis mengatakan “pegang
kepala”, “pegang hidung”, “pegang mata”, dan lainnya. Kemudian anak bisa
menunjuk objek bagian tubuh yang disebutkan oleh terapis.
3. Identifikasi objek. Hal ini dilakukan dengan cara menyiapkan tiga atau lebih
benda misalnya bola, sendok, pensil, dan lain-lain. Ketika terapis mengatakan
“pegang pensil” kemudian anak bisa memegang objek yang dimaksud.

8
4. Identifikasi gambar. Sama dengan identifikasi tubuh dan objek, anak akan
diminta menebak gambar objek yang berupa gambar. Terapis dapat memberi
instruksi “pegang (menyebutkan gambar)”, “cocokkan”, atau “pasangkan”.
Kemudian anak akan merespons instruksi tersebut.
Jika dalam proses pembelajaran identifikasi anak melakukan kesalahan, terapis
dapat mengatakan “tidak” untuk respon yang tidak sesuai dengan instruksi. Hal ini
dilakukan untuk membuat anak mencari jawaban atau respon lain sampai jawaban
yang disampaikan benar. Seperti proses lainnya, terapis harus memberikan reward
kepada anak jika dia menjawab dengan benar.
Proses terapi setiap anak akan dimulai dari berdoa, pemberian materi kepada
anak, terapis menuliskan hasil pembelajaran, kemudian sesi terapi ditutup dengan
berdoa. Setelah itu, terapis akan menemui orang tua/wali anak tersebut untuk
melaporkan hasil terapi. Perlu diingat, setiap materi yang diajarkan harus sesuai
dengan kebutuhan anak. Dalam proses intervensi, setiap anak autis biasanya akan
ditangani oleh tiga terapis secara bergantian pada setiap pekannya. Hal ini dilakukan
agar anak dapat beradaptasi tidak hanya pada satu orang terapis saja dan ketiga
terapis dapat mengukur peningkatan kemampuan anak autis. Hal ini penting karena
jika ketiga terapis mempunyai penilaian yang sama dalam peningkatan kemampuan
anak, maka anak tersebut dianggap telah menguasai materi yang diberikan. Setiap
anak akan mempunyai buku yang harus dibawa setiap proses terapi. Dalam buku
tersebut berisi materi yang akan diajarkan dan sebagai laporan terapis mengenai
hasil terapi pada saat itu.

9
MODEL KOGNITIF PERILAKU

A. Judul jurnal
Terapi Kognitif Perilaku untuk Mengurangi Masalah Perilaku pada Anak Conduct
Disorder

B. Deskripsi kasus
Subjek pada merupakan seorang anak laki-laki berusia 10 tahun dan duduk di kelas
4 SD. Pada kasus ini subjek merupakan anak yang cukup sering menunjukkan perilaku
mengganggu (disruptive behavior) baik saat di sekolah maupun di panti asuhan. SS
mudah sekali marah meskipun karena hal-hal sepele dan sering berkelahi dengan
teman-temannya. Tak jarang, ia juga menyakiti teman-temannya seperti melempar
gunting atau menusuk tangan temannya menggunakan pensil, beberapa kali ketahuan
sedang membolos sekolah, mencuri, berbohong serta melawan orang dewasa.
Berdasarkan perilaku-perilaku di atas, dapat disimpulkan bahwa SS didiagnosis
mengalami conduct disorder. Saat merasa terganggu oleh teman-temannya dan ketika
dinasehati oleh orang dewasa, SS seringkali menunjukkan respon agresif, baik secara
fisik maupun verbal seperti memukul, memarahi dengan berteriak, melempar teman atau
melawannya.

C. Intervensi
Karena adanya bias dalam pemikiran SS dalam memandang situasi sosial serta
kemampuan pemecahan masalah interpersonal yang kurang baik, maka bentuk intervensi
yang tepat untuk mengurangi perilaku mengganggu nya adalah dengan menggunakan
problem solving skill training. Problem solving skill training merupakan salah satu
bentuk cognitive behavior therapy (CBT) yang membantu anak dalam mengembangkan
keterampilan pemecahan masalah interpersonal. Intervensi dengan CBT dinilai efektif
untuk menangani anak dengan conduct disorder. CBT pada anak merupakan sebuah
kombinasi dari strategi-strategi, yang meliputi prosedur perilaku dan intervensi kognitif
guna menghasilkan perubahan dalam berpikir, perasaan dan perilaku. Pada kasus ini
Problem solving skill training dikombinasikan dengan terapi perilaku, yaitu
menggunakan token economy.
Langkah pertama sebelum dimulai intervensi adalah pengambilan data untuk
mengetahui tingkat perilaku mengganggu (disruptive behavior) tersebut menggunakan

10
Child Behavior Check List (CBCL) oleh Achenbach (1991). Selanjutnya terdapat 5 tahap
dalam pelaksanaan intervensi menggunakan terapi kognitif Problem solving skill
training, yaitu:
1. Orientasi atau identifikasi masalah.
2. Menginterpretasi situasi sosial dimana pada tahap ini dibahas mengenai gaya
berpikir anak yang terdapat bias dan bagaimana perasaan yang timbul mengenai
pemikirannya tersebut.
3. Mengembangkan dan meningkatkan sensitivitas serta kontrol diri anak terhadap
orang lain.
4. Brainstorming solusi pemecahan masalahan untuk menghasilkan dan mengevaluasi
solusi yang potensial dan memilih yang paling tepat untuk memecahkan masalah
interpersonal
5. Mengevaluasi keberhasilan solusi pemecahan masalah
Selanjutnya dilakukan tahap terapi perilaku menggunakan metode token economy
yang bertujuan agar subjek memunculkan perilaku yang diharapkan, sehingga mereka
akan mendapat sejumlah token dan juga mengurangi perilaku mengganggunya. Terdapat
beberapa hal yang perlu dilakukan sebelum pelaksanaan token economy, yaitu:
mendefinisikan target perilaku, rancangan screening perilaku, identifikasi item yang akan
digunakan sebagai token dan backup reinforcers, memilih lokasi penukaran token, dan
menentukan pelaksanaan program token.

11
DEVELOPMENT, INDIVIDUAL DIFFERENCE, AND RELATIONSHIP (DIR) /
FLOORTIME MODEL

A. Judul jurnal
DIR / Floortime untuk meningkatkan komunikasi antara anak dengan autisme dan ibu
dengan profil sensori berbeda.

B. Deskripsi kasus
Partisipan adalah anak laki-laki berusia 4 tahun 2 bulan. Anak mendapatkan
pemeriksaan psikologis saat berusia 3 tahun 10 bulan dengan didiagnosis mengalami
Autism Spectrum Disorder (ASD) level 2. Anak kurang menunjukkan adanya minat
untuk melakukan interaksi sosial di luar pemenuhan kebutuhannya. Saat berinteraksi,
bentuk komunikasi yang ia lakukan terbatas pada komunikasi nonverbal. Anak cukup
memiliki banyak kosa kata namun hanya digunakan untuk melabel benda-benda yang ia
lihat dan tidak digunakan untuk berinteraksi dengan orang lain. Selain itu, ia memiliki
kebutuhan sensori gerak yang tinggi sehingga cenderung banyak bergerak dan lebih
menyukai kegiatan yang melibatkan banyak pergerakan, seperti lempar tangkap bola,
memanjat, dan melompat. Pada kemampuan motorik halus, anak masih menggenggam
crayon atau pensil dengan cara digenggam, bingung saat memegang sendok, dan
kesulitan melakukan kegiatan visual motorik halus lainnya.
Partisipan ibu berusia 30 tahun merupakan pengasuh utama dan menghabiskan
sebagian besar waktunya bersama anak. Ibu berprofesi sebagai penerjemah dan bekerja
dari rumah. Biasanya ibu sibuk dengan pekerjaannya saat jam kerja pada umumnya,
sehingga hanya banyak berinteraksi dengan anak saat istirahat makan siang, sore, dan
malam hari. Interaksi yang ibu lakukan dengan anak pun minim karena anak lebih
banyak fokus dengan gadget. Saat berinteraksi, ibu hanya akan meminta anak untuk
melabel sesuatu atau menunjuk benda yang ibu sebut. Saat anak aktif bergerak, ibu hanya
akan melihatnya dari jauh dan hanya akan memanggil anak meski kerap diabaikan.
Sesekali, ibu mengikuti pergerakan anak atau terlibat permainan lempar tangkap bola,
namun hal tersebut tidak berlangsung lama. Pada kesehariannya, ibu memang lebih
menikmati aktivitas yang tidak melibatkan banyak bergerak, sehingga saat bermain pun
ibu lebih memilih dengan cara duduk atau tiduran.

12
C. Pra intervensi
Pengambilan data baseline dilakukan pada setting free dan semi-structured play.
Baseline pada setting free play dilakukan selama 3 sesi sedangkan semi-structured play
selama 7 sesi.
● Free play
Aktivitas dimana anak dan ibu melakukan permainan bebas seperti yang biasa
mereka lakukan tanpa adanya struktur yang diberikan.
● Aktivitas pada setting semi-structured play
Aktivitas telah dirancang sebelumnya oleh peneliti berdasarkan kebutuhan anak,
yaitu untuk meningkatkan kemampuan motorik halus. Selama baseline, peneliti
melakukan pengisian lembar observasi CoC, FEAS, serta mengambil data mengenai
profil sensori partisipan.
● Psikoedukasi
Tujuan dari psikoedukasi adalah memberikan gambaran yang lebih terperinci
mengenai pelaksanaan intervensi DIR/Floortime, jumlah sesi, tujuan dari
masing-masing sesi, serta pentingnya pemahaman mengenai profil sensori dan
keterlibatan ibu untuk mengoptimalkan perkembangan anak
● Roleplay
Peneliti juga melakukan roleplay bersama ibu untuk melatih kemampuan ibu dalam
mengaplikasikan DIR/Floortime

D. Intervensi
Tahap intervensi dilakukan selama 12 sesi yang dibagi menjadi 10 sesi dilakukan di
klinik dan 2 sesi generalisasi di rumah partisipan. Pada setiap sesi, ibu dan anak bermain
dengan menerapkan prinsip DIR/ Floor Time pada setting free dan semi-structured play
dengan supervisi dari peneliti. Pelaksanaan setiap sesi disesuaikan dengan target
kuantitatif dan kualitatif yang disesuaikan dengan tahapan functional emotional
development.
● Terdapat peningkatan trendline pada kuantitas open di setting free play maupun
semi-structured play. Hal itu menandakan bahwa kemampuan anak dalam
menginisiasi interaksi cenderung meningkat setelah diberikan intervensi
dibandingkan saat baseline.
● Rata-rata kuantitas inisiasi interaksi yang anak lakukan (open Circle of
Communication) dan jumlah komunikasi dua arah antara anak dengan ibu (jumlah

13
CoC) baik pada setting free play maupun semi-structured play mengalami
peningkatan.
● Pada permainan simbolik, terdapat peningkatan pencapaian functional emotional
anak setelah diberikan intervensi.
● Ada aktivitas permainan sensori pada fase pre test, anak mampu meregulasi diri,
engage dengan ibu, serta menampakkan komunikasi dua arah dengan ibu. Pada fase
posttest, anak mulai mampu melakukan komunikasi dua arah dalam memecahkan
masalah. Meski demikian, secara umum skor yang diperoleh anak pada permainan
sensori tergolong at risk. Kondisi itu pun bertahan hingga pada fase follow up.
● Pada permainan semi-structured tingkat functional emotional anak tetap dalam
kategori deficient meski telah diberikan intervensi. Akan tetapi, terjadi peningkatan
pada sesi follow up. Hanya saja total skor yang diperoleh pada sesi follow up
menunjukkan bahwa secara umum functional emotional anak masih tergolong at
risk.
Terdapat beberapa faktor yang mendukung peningkatan kemampuan anak dalam
menjalin komunikasi dua arah setelah diberikan intervensi, yaitu:
● Faktor pertama adalah sikap kooperatif dari keluarga, terutama ibu dalam proses
intervensi. Pada setiap sesi, ibu berusaha menjalankan saran dari peneliti serta tidak
segan untuk bertanya ketika mengalami kesulitan.
● Penerapan prinsip DIR/Floortime di luar sesi intervensi yang dilakukan oleh ibu di
lingkungan rumah.

E. Post intervensi
Berdasarkan hasil penelitian, peneliti memperoleh beberapa kesimpulan. Pertama,
terdapat peningkatan kuantitas open anak pada setting free dan semi-structured play. Hal
itu menandakan bahwa setelah diberikan intervensi DIR/Floortime, kemampuan anak
dalam melakukan inisiasi komunikasi meningkat baik pada setting free play maupun
semi-structured play. Kedua, terdapat peningkatan jumlah CoC pada setting free dan
semi-structured play. Hal itu menandakan bahwa setelah diberikan intervensi
DIR/Floortime, jumlah komunikasi dua arah yang anak lakukan bersama ibu meningkat
pada setting free dan semi-structured play. Ketiga, terdapat peningkatan pada
perkembangan functional emotional anak dan ibu pada kedua setting bermain setelah
diberikan intervensi DIR/Floortime.

14
MODEL INTERVENSI BIOEKOLOGI

A. Judul jurnal
Program bimbingan dan konseling ekologis bagi anak dengan ADHD (Attention Deficit
Hyperactivity Disorder)

B. Deskripsi kasus
Sebut saja G. ia didiagnosis memiliki ADHD yang melibatkan permasalahan
dalam perilaku, hubungan sosial, kognitif, emosi, dan juga fisik (muro dan Kottman,
1953). Anak dengan ADHD memiliki kesulitan akademik dan berperilaku dalam kelas
sehingga berpengaruh pada proses belajar. Penderita ADHD memiliki sifat yang sulit
untuk disiplin, mempunyai rasa toleransi yang rendah akan rasa frustasi, serta
mempunyai masalah dalam hubungannya dengan teman sebayanya (Santrock, 2007:
258).
G memiliki kemampuan komunikasi verbal dengan tingkatan di bawah anak yang
seusianya. Perlu waktu yang lama untuk mengeluarkan kata-kata, dimana ia hanya bisa
mengemukakan suku kata yang sulit dipahami. G juga mengalami kesulitan dalam
berkegiatan di dalam kelas, termasuk kesulitannya dalam memahami instruksi. Ia tidak
dapat berbaur dengan temannya, sehingga ia hanya melihat temannya yang sedang
bermain. Ketika ada teman yang mencoba mendekati, G pun berusaha menghindar.
Selain itu, G juga belum mampu mengendalikan keinginan buang air besar maupun kecil
di kamar mandi. Hal ini membuatnya harus menggunakan popok ketika masuk ke
sekolah.
Tak hanya G yang merasakan problematika atas gangguan ADHD, guru G pun
juga merasakan hal-hal terkait problematika dari gangguan ADHD yang dialami oleh G.
Dimana guru G belum bisa menemukan dan mengaplikasikan pendekatan pembelajaran
yang efektif untuk diberikan kepada G. Guru G bingungm intervensi metode
pembelajaran yangs seperti apa yang tepat agar G juga bisa menikmati pendidikan
layaknya teman-teman yang lain.
Orang tua G pun terbilang sulit untuk berkolaborasi dengan guru untuk membuat
G bisa menikmati pendidikannya. Mengingat problematika yang dimiliki oleh G itu
pastinya tidak terlepas dari peranan kedua orang tuanya, maka dari itu orang tua punya
peran penting bagi perkembangan sang anak. Namun, orang tua G terkesan kurang peduli
dan cuek dalam menerima masukan dari guru G. Tentu bukan hal yang mudah untuk

15
memiliki anak dengan ADHD, apalagi orangtua G memiliki dua anak yang didiagnosa
memiliki gangguan ADHD. Ayah dengan perilaku kasar, dan ibu yang kemungkinan
memiliki tekanan psikologis yang ditandai dengan kondisi fisik yang begitu kurus dan
kurangnya kemampuan dalam mengurus diri.
Selain itu, orang tua G juga kurang bisa menggunakan waktu untuk sekedar
bercengkrama bersama anak-anaknya. Adanya hal ini kemungkinan disebabkan oleh
kebutuhan dana terapi, khususnya untuk terapi kakak dari G.

C. Asesmen
Asesmen yang dilakukan kepada G adalah dengan cara mengobservasi G di
lingkungan sekolah serta mewawancarai guru dan pengasuh G untuk mengetahui lebih
dalam mengenai G di lingkungan rumah dan masyarakat. Dari hasil asesmen tersebut
dapat ditarik suatu kesimpulan sementara mengenai potensi dan kebutuhan G.
➢ Potensi
G mempunyai tingkat intelegensi rata-rata atau tinggi dan juga bakat yang harus
dikembangkan. Hanya saja tertutupi dengan gangguan ADHD yang dialami olehnya.
Untungnya, G tidak pernah mengalami tantrum di sekolah.
➢ Kebutuhan
G sebagai anak ADHD membutuhkan intervensi komprehensif dari berbagai pihak
seperti intervensi pendidikan, intervensi perilaku, intervensi sosialisasi, intervensi
medis, dan lain sebagainya. Selain itu, G pun membutuhkan suatu lingkungan
perkembangan yang kondusif agar ia dapat berkembang optimal. Lingkungan
terdekat G saat ini adalah keluarga dan sekolah, maka program intervensi yang akan
diberikan kepada G akan melibatkan guru dan orang tua di dalamnya.

D. Intervensi
Intervensi yang dilakukan untuk menangani G sebagai anak dengan ADHD dalam
model intervensi bioekologi ini adalah dengan memberikan program intervensi kepada
guru dan keluarga G.
➢ Program bagi guru
1. Konsultasi mengenai anak ADHD. Peneliti sebagai pemberi intervensi
mengadakan diskusi seputar anak ADHD, mulai dari apa itu ADHD, bagaimana
karakteristiknya, bagaimana cara memahami anak dengan ADHD, contoh anak
ADHD dapat berprestasi, dan sebagainya. Peneliti juga memotivasi guru agar

16
terus mencari tahu bagaimana cara-cara intervensi pendidikan dalam menangani
anak ADHD.
2. Pendidikan inklusi. Maksud dari pendidikan inklusi ini adalah agar sekolah
tidak membatasi karakteristik siswa yang dapat bersekolah di sana, sehingga
anak dengan kebutuhan khusus dapat juga bersekolah di sekolah umum. Peneliti
mengajak guru untuk melaksanakan sekolah inklusi, seperti memberi
pemahaman mengenai konsep pendidikan inklusif, bagaimana
penyelenggaraannya, apa yang harus dipersiapkan dalam penyelenggaraannya,
keuntungan dan kelemahan pendidikan inklusif, dan lain sebagainya
➢ Program bagi keluarga
1. Asesmen dalam bentuk catatan harian. Catatan harian digunakan untuk
menggali bagaimana keseharian G dengan orang tuanya di rumah, selain itu
didalamnya terdapat tips pengasuhan positif bagi anak berkebutuhan khusus
sekaligus sebagai edukasi bagi orang tua G, kalimat bijak dari beberapa tokoh
dan syair dari dua lagu yang sangat menyentuh. Dengan ini, diharapkan orang
tua mau secara terbuka menuliskan kegiatan yang mereka lakukan dengan G,
dan memiliki sedikit perubahan dalam berkomunikasi dengan pihak sekolah
terkait anaknya. Hal ini digunakan peneliti untuk menjadi bahan pertimbangan
dalam pembuatan program intervensi bagi orang tua yang sesuai dengan
kebutuhan orang tua.
2. Konseling keluarga, dengan cognitive behavioral marital family therapy.
Asumsi dari terapi tersebut adalah bahwa perilaku bermasalah dan kognisi
dipelajari dan dikelola oleh interaksi pola perilaku berulang tertentu. Terapi ini
melatih klien untuk membentuk dan memperkuat perilaku tidak bermasalah
pada anggota keluarga lainnya dan dengan menentang pengetahuan negatif
mereka. Misalnya, dalam pelatihan perilaku orangtua G, orang tua G belajar
untuk memperkuat perilaku positif pada diri mereka dalam memperlakukan G.
Restrukturisasi kognitif adalah intervensi utama yang digunakan untuk
menentang kognisi negatif. Anggota keluarga diundang untuk memantau dan
merekam situasi yang menimbulkan kognisi tertentu, dan dampak selanjutnya
terhadap suasana hati dan perilaku interpersonal. Ketika kognisi negatif
diidentifikasi dengan cara ini, klien dilatih dalam menentang ini dengan
menemukan bukti nyata untuk mendukung atau menentang mereka. Ketika
kognisi negatif tidak didukung, klien diundang untuk merevisinya sehingga

17
kognisi baru muncul. Mereka juga diundang untuk merekam dampak kognisi
yang direvisi pada suasana hati dan perilaku interpersonal. Dalam memudahkan
intervensi maka konselor akan memberikan suatu catatan pikiran yang akan diisi
bersama-sama dengan orang tua G. Proses pembuatan catatan pikiran terdiri dari
tujuh kolom (Greenberger and Padesky, 1995) :
● Situation (menggambarkan situasi yang dialami)
● Moods (mengidentifikasi mood dan memberi rating mood dalam skala 1 -
100
● Automatic thought (Apa yang dipikirkan sebelumnya, pikiran lain, image,
dan pikiran panas))
● Evidence that supports the hot thought (bukti yang mendukung pikiran
panas)
● Evidence that does not support the hot thought (bukti yang tidak
mendukung pikiran panas)
● Alternatif / balance thought (pikiran alternatif atau pikiran seimbang)
● Rate moods now (rating mood yang dirasakan sekarang)
3. Salah satu fungsi konseling adalah advokasi yang bertujuan agar menghasilkan
kondisi pembelaan terhadap berbagai bentuk pengingkaran hak-hak
perkembangan. Sesuai fungsi tersebut, peneliti menyarankan orang tua G untuk
mengikuti komunitas orang tua yang memiliki anak ADHD.

18
DAFTAR PUSTAKA

Habib, Zainal & Hidayati, Laily. (2012). Intervensi Psikologis Pada Pendidikan Anak dengan
Keterlambatan Bicara. Jurnal Madrasah, 5(2), 76-93.

Hildawati. (2018). Penerapan Metode ABA (Applied Behavior Analysis) dalam


Meningkatkan Kemampuan Perilaku, Interaksi Sosial, Bahasa dan Komunikasi Anak
Autis. Jurnal Paedagogia, 7(2), 39-60.

Isnannisa, E. D., & Boediman, L. M. (2019). DIR/Floortime untuk Meningkatkan


Komunikasi antara Anak dengan Autisme dan Ibu dengan Profil Sensori Berbeda.
Jurnal Psikologi Sains dan Profesi, 3 (3), 177-187.

Lestari, M. (2017). Program bimbingan dan konseling ekologis bagi anak dengan ADHD.
Jurnal Sosio E-Kons, 9 (1), 257 - 265.

Muro, JJ and Kottman, T. (1995). Guidance and Counseling in the Elementary and Middle
Schools. USA: Brown & Benchmark Publishers.

Santrock, JW. (2007). Perkembangan Anak. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Septiani, D., & Ervika, E. (2011). Terapi Kognitif Perilaku untuk Mengurangi Masalah pada
Anak Conduct Disorder. Jurnal Intervensi Psikologi, 3(1).

19

Anda mungkin juga menyukai