Anda di halaman 1dari 8

Senang bermain bola dan tidak suka bermain dengan anak lain.

Jika tidak ada faktor lain, seperti faktor lingkungan yang menyebabkan Rahmad tidak mau bermain dengan anak lain, maka kemungkinan Rahmad memiliki hambatan dalam interaksi sosial. Hal ini mengakibatkan Rahmad lebih suka menyendiri atau bermain sendiri dan tidak suka berkumpul dan bermain dengan anak-anak lain. Ketika diberi bola, dia menyusun bola-bola secara berjejer, setelah selesai lalu dibongkar, kemudian disusun berjejer lagi, dan dilakukan berulang-ulang. Hal ini menunjukkan perilaku yang stereotipik dan repetitif. Mainan dan objek sering dimainkan dengan cara ritualistik, dengan sedikit gambaran simbolik (menyusun bola secara berjejer). Aktivitas dan permainan anak ini sering kaku, berulang, dan monoton. Terapi autis Tujuan terapi untuk anak dengan gangguan autistik adalah untuk meningkatkan perilaku prososial dan perilaku yang secara sosial dapat diterima, untuk mengurangi gejala perilaku yang aneh, dan untuk memperbaiki komunikasi verbal serta nonverbal. Perbaikan bahasa dan akademik sring diperlukan. Intervensi perilaku dini dan edukasi saat ini dianggap sebagai pilihan terapi utama. Pada kenyataannya, tiap individu autis adalah unik dan berbeda. Oleh karena itu, terapi juga harus bersifat individual dan disesuaikan dengan umur, fase perkembangan dan gejala yang ditemukan. Berikut merupakan terapi yang saat ini sudah sering diterapkan pada anak dengan gangguan autistik. 1. Applied Behavioural Analysis (ABA) ABA diterapkan pertama kali oleh Prof Ole Ivaar Lovaas pada tahun 1962. ABA merupakan suatu ilmu perilaku terapan untuk mengajarkan dan melatih seseorang agar menguasai berbagai kemampuan yang sesuai dengan standar yang ada di masyarakat. ABA berkembang terus dan penerapannya menggunakan kurikulum, yaitu : 1. Cattrine Maurice (beginer, intermediate, advance) 2. Work in progres (sosialisasi & komunikasi) 3. Bridges (activity daily living) 4. Navigator (emosi) Kelebihan terapi ini adalah kurikulum yang sistematik, terstruktur dan terukur.

1. Terstruktur : menggunakan tehnik yang jelas, misalnya Discrete Trial training, Discrimination Training, dsb. 2. Terarah : terdapat kurikulum yang jelas untuk para professional untuk mengarahkan terapi,misalnya : Bridges 1981, Maurice 1996, dan McLeaf 1999) 3. Terukur : Keberhasilan dan kegagalan anak dalam menghasilkan perilaku yang diharapkan dapat diukur dengan berbagai cara, karena perilaku tersebut terlihat jelas. Prinsip Dasar ABA : Tujuan dasar ABA adalah membentuk perilaku yang lebih dapat diterima lingkungan social dan mengurangi perilaku yang bermasalah (Lovaas, 1981). Faktor yang menentukan keberhasilan terapi ABA       Lovaas (1981), Mendapatkan hasil optimal bila penanganan dilakukan : sejak usia dini (sebelum usia 3 tahun) Secara intensif (sekitar 40 jam seminggu) selama 2 tahun non stop Dilakukan dimanapun anak berada secara konsisten Anak tidak mengalami gangguan lain yang menghambat Terapis dan Orang tua menerima keadaan anak apa adanya

APA YANG DIAJARKAN?   Tujuan penanganan adalah mengajarkan anak berbagai ketrampilan yang akan menunjang perkembangannya. Penganan juga harus dapat membantunya mencapai   kemandirian dan kualitas hidup yang sebaik mungkin. ABA menggunakan dasar dari Operant Conditioning Dasar ABA adalah Operant Conditioning dari BF Skinner  Bahwa setiap perilaku mengandung konsekuensi dan konsekuensi tersebut dapat  diajarkan melalui pemberian hadiah/reward secara berkala. Untuk

memudahkannya,    secara sederhana kita bisa sebut sebagai rangkai A-B-C. A Antecedent--- hal yang mendahului perilaku (Stimulus atau instruksi). B Behavior --- Akibat yang terjadi sesudah antecedent diberikan (respon).

Consequence---akibat

yang

diterima

sesudah

perilaku

terjadi

(konsekuensi).  contoh dari rangkaian A B - C ANTECEDENT-BEHAVIOR-CONSEQUENCE   Contoh Terapis memanggil :DirgaDirga datang Dirga dapat hadiah mainan Bila Dirga tidak datang, Terapis diam saja, dan Dirga tidak dapat apa-apa.

2. Terapi wicara Hampir semua anak dengan autisme memiliki kesulitan dalam berbicara dan berbahasa. Biasanya hal inilah yang paling menonjol, banyak pula individu autistik yang non verbal atau kemampuan bicaranya sangat kurang. Kadang-kadang bicaranya cukup berkembang, namun mereka tidak mampu untuk memakai bicaranya untuk berkomunikasi/berinteraksi dengan orang lain. Dalam hal ini terapi wicara sangat menolong.

3. Terapi okupasi Terapi okupasi merupakan terapi untuk membantu seseorang menguasai keterampilan motorik halus dengan lebih baik. Hampir semua anak autistik mempunyai keterlambatan dalam perkembangan motorik halus. Gerak-geriknya kaku dan kasar, mereka kesulitan untuk memegang pensil dengan cara yang benar dan lain sebangainya. Dalam hal ini terapi okupasi sangat penting untuk melatih mempergunakn otot-otot halusnya dengan benar.

4. Terapi fisik Autisme adalah suatu gangguan pervasif. Banyak diantara individu autistik mempunyai gangguan perkembangan pada motorik kasarnya. Terkadang tonus ototnya lembek sehingga jalannya kurang kuat dan keseimbangan tubuhnya juga kurang bagus. Fisoterapi dan terapi integrasi sensoris akan sangat banyak membantu utnuk menguatkan otot-ototnya, koordinasi, kemampuan olahraga dan memperbaiki keseimbangan tubuhnya

5. Floortime therapy Floor time yang secara harafiah diterjemahkan sebagai 'waktu di lantai' diperkenalkan oleh Stanley I. Greenspan dan Serena Wieder, sebagai pendekatan interaktif yang

berlandaskan kekuatan relasi dan struktur keluarga; dan mempergunakan relasi yang sistematik untuk membantu anak melewati tahapanperkembangan emosi Prinsip utama floor time adalah mencoba memanfaatkan setiap kesempatan yang muncul untuk berinteraksi dengan cara yang disesuaikan dengan tahap perkembangan emosinya. Interaksi tersebut diharapkan bermula dari inisiatif anak, anak dianggap sebagai pemimpin dan kita mengikuti minatnya

6. Terapi sosial Kekurangan yang paling mendasar bagi individu austisme adalah dalam bidang komunikasi dan interaksi. Banyak anak-anak ini membutuhkan pertolongan dalam keterampilan berkomunikasi dua arah, membuat teman dan bermain bersama di tempat bermain. Seorang terapis sosial membantu dengan memberikan fasilitas pada mereka untuk bergaul dengan teman-teman sebaya dan mengajari cara-caranya.

7. Terapi bermain Bermain adalah bagian integral dari masa kanak-kanak, media yang unik untuk memfasilitasi perkembangan ekspresi bahasa, ketrampilan komunikasi, perkembangan emosi, ketrampilan sosial, ketrampilan pengambilan keputusan, dan perkembangan kognitif pada anak-anak Seorang anak autistik membutuhkan pertolongan dalam belajar bermain. Bermain dengan teman sebayanya berguna untuk belajar bicara, komunikasi dan interaksi sosial. Seorang terapis bermain bisa membantu anak dalam hal ini dengan teknik-teknik tertentu. Terdapat beberapa contoh penerapan terapi bermain bagi anak-anak autistik, diantaranya adalah (Landreth, 2001):  Terapi yang dilakukan Bromfield terhadap seorang penyandang autisme yang dapat berfungsi secara baik. Fokus terapinya untuk dapat masuk ke dunia anak agar dapat memahami pembicaraan dan perilaku anak yang membingungkan dan kadang tidak diketahui maknanya. Bromfield mencoba menirukan perilaku obsessif anak untuk mencium/membaui semua objek yang ditemui menggunakan suatu boneka yang juga mencium-cium benda. Apa yang dilakukan Bromfield dan yang dikatakannya ternyata dapat menarik perhatian anak tersebut. Bromfield berhasil menjalin komunikasi lanjutan dengan anak tersebut menggunakan alat-alat bermain lain seperti boneka, catatan-catatan

kecil, dan telepon mainan. Setelah proses terapi yang berjalan 3 tahun, si anak dapat berkomunikasi secara lebih sering dan langsung.  Lower & Lanyado juga menerapkan terapi bermain yang menggunakan pemaknaan sebagai teknik utama. Mereka berusaha masuk ke dunia anak dengan memaknai bahasa tubuh dan tanda-tanda dari anak, seperti gerakan menunjuk. Tidak ada penjelasan detil tentang teknik mereka namun dikatakan bahwa mereka kurang berhasil dengan teknik ini.  Wolfberg & Schuler menyarankan penggunaan terapi bermain kelompok bagi anak-anak autistik dan menekankan pentingnya integrasi kelompok yang lebih banyak memasukkan anak-anak dengan kemampuan sosial yan tinggi. Jadi mereka memasangkan anak-anak autistik dengan anak-anak normal dan secara hati-hati memilih alat bermain dan jenis permainan yang dapat memfasilitasi proses bermain dan interaksi di antara mereka. Fasilitator dewasa hanya berperan sebagai pendukung dan mendorong terjadinya proses interaksi yang tepat.  Mundschenk & Sasso juga menggunakan terapi bermain kelompok ini. Mereka melatih anak-anak non-autistik untuk berinteraksi dengan anak-anak autistik dalam kelompok.  Voyat mendeskripsikan pendekatan multi disiplin dalam penggunaan terapi bermain bagi anak autisme, yaitu dengan menggabungkan terapi bermain dengan pendidikan khusus dan melatih ketrampilan mengurus diri sendiri. 8. Terapi visual Banyak penderita autis merupakan pemikir visual, sehingga metode pembelajaran berkomunikasi melalui gambar dapat dilakukan. Salah satu caranya adalah melalui PECS (Picture Exchange Communication). Selain itu pembelajran melalui video juga dapat dilakukan, baik dengan video modeling, video games ataupun sistem komunikasi elektronik lain. 9. Terapi Tingkah Laku

Anak

penderita autis seringkali terlihat

frustasi.

Mereka

kesulitan untuk

mengkomunikasikan kebutuhan mereka dan menderita akibat hipersensitifitas terhadap suara, cahaya ataupun sentuhan, sehingga terkadang mereka berlaku kasar atau menganggu. Seorang terapis tingkah laku dilatih untuk dapat mengetahui penyebab dibalik perilaku negatif tersebut dan merekomendasikan perubahan terhadap lingkungan ataupun keseharian anak untuk dapat memperbaiki tingkah lakunya. 10. Terapi Perkembangan Terapi perkembangan atau developmental therapies bertujuan untuk membangun minat, kekuatan dan perkembangan anak sendiri untuk meningkatkan kemampuan kecerdasan, emosional dan sosialnya. Terapi perkembangan seringkali bertolak belakang dengan terapi tingkah laku, yang biasanya paling baik dilakukan untuk mengajarkan keterampilan khusus pada anak, seperti misalnya mengikat tali sepatu, cara menggunakan sendok dan garpu saat makan, cara memakai baju atau menggosok gigi dan lain-lain. 11. Terapi Biomedik Terapi biomedik dikembangkan oleh kelompok dokter yang tergabung dalam DAN(Defeat Autism Now). Banyak dari para perintisnya memiliki anak auits. Mereka sangat gigih melakukan riset dan menemukan bahwa gejala-gejala anak ini diperparah oleh adanya gangguan metabolisme yang akan berdampak pada gangguan fungsi otak. Oleh karena itu, anak-anak ini diperiksa secara intensif dan dilakukan pemeriksaan seperti pemeriksaan darah, feses, urin dan rambut. Bila kasus tidak mengalami kemajuan dengan dengan satu metode terapi, harus dilakukan terapi kombinasi atau dicari cara terapi lain. Orang tua anak dengan gangguan autis juga harus diberikan edukasi mengenai kondisi yang dialami anaknya tersebut serta motivasi dan kiat-kiat dalam menyikapinya. 1. Mensyukuri apa pun kondisi anak dan tumbuhkan rasa empati Saat anak didiagnosa menyandang autisme, yang perlu dilakukan pertama kali oleh orang tua adalah mensyukuri apa pun kondisinya. Dengan begitu, para orang tua lebih mudah untuk memahami keunikan anak dengan autisme. Sikap menerima dan

memahami inilah yang kemudian akan menimbulkan rasa empati pada orang tua dan keluarga 2. Pelajarilah mengenai autism Orang tua diharapkan untuk mempelajari mengenai autism misalnya dengan berkonsultasi dengan dokter, membaca buku atau dari orang tua lain yang lebih berpengalaman karena anaknya telah terlebih dahulu terdiagnosa. 3. Memilih jenis terapi yang tepat Sebaiknya orang tua mempelajari terlebih dahulu berbagai jenis terapi dan cermati terapi mana yang paling cocok buat anak mereka. Namun jangan sampai terapi menyita seluruh waktu dan anak terlalu terbebani dengan terapi yang berlebihan. Ada waktu untuk terapi, namun ada juga waktu untuk bersantai dengan keluarga. 4. Hargai dan cintai anak Anak dengan austisme mempunyai banyak kekurangan, janganlah langsung memaksanya untuk segera bisa mengatasinya. Pastikan bahwa anak mersakan kasih sayang orang tuanya. Tak usah malu dengan kelainannya. Autisme bukan sesuatu yang memalukan. Bukan penyakit dan tidak menular. 5. Tetap bersabar dan bersikap positif Belajar untuk mengahrgai anak Hargai dia sebagai insan yang mempunyai sifat yang berbeda dan janganlah menyoroti hal-hal yang negatifnya saja Bersabar dan terima keadaan. Persiapkan diri untuk menjalani suatu perjalanan yang panjang. 6. Bantu anak dalam mengembangkan minat dan bakatnya 7. Perhatikan diet 8. Luangkan waktu untuk dir sendiri Tidak ada pengobatan spesifik untuk mengobati gejala inti gangguan autistik, meskipun demikian, psikofarmakoterapi merupakan terapi tambahan yang bernilai untuk mengurangi gejala perilaku terkait. Obat-obat telah dilaporkan memperbaiki gejala berikut yang mencakup agresi dan kemarahan hebat, perilaku mencedarai diri sendiri, hiperaktivitas, dan perilaku obsesif-kompulsif serta stereotipik. Pemberian obat anti psikotik seperti risperidon, haloperidol, dan pemoline dapat mengurangi agresi atau perilaku mencederai diri. Obatobatan ini diberikan agar perilaku hiperaktif anak dapat dikurangi serta dapat menjalani terapi dengan baik.

Anda mungkin juga menyukai