Anda di halaman 1dari 17

10 Cara Terapi Anak Autis di Rumah Agar Mandiri

Berbagai jenis – jenis autis merupakan anak berkebutuhan khusus yang memang membutuhkan
penanganan khusus juga. Untuk penanganan dan cara terapi anak autis di rumah orang tuah harus
menitik beratkan pada pendekatan dengan memaksimalkan potensi yang anak miliki. Sehingga dalam hal
ini tentu saja peran orang tua akan sangat penting. Terapi ini akan berhubungan dengan pendidikan
khusus yang mengarah pada intervensi tingkah lalu anak. Tujuannya adalah untuk bisa memperbaiki
bagaimana anak bisa melakukan aktivitas sosial, melakukan keterampilan secara mandiri dan juga
meningkatkan kemampuan komunikasi anak baik secara verbal atau pun non verbal. Selain itu dari
berbagai macam terapi yang ada, orang tua juga sebaiknya memberikan pilihan terapi yang bisa
meningkatkan kemampuan fungsional anak serta mengurangi gangguan dan juga hambatan autisme.
Berikut adalah beberapa terapi dirumah yang bisa Anda lakukan pada anak autis.

1. Melatih anak disiplin dengan membuat aturan

Hal pertama yang bisa Anda lakukan pada anak autis dirumah adalah melatih nya untuk menjadi disiplin
dengan membuat sebuah aturan yang harus dipatuhi baik untuk anak maupun untuk orang tua yang akan
membimbingnya. Banyak orang tua yang mungkin lebih memilih untuk berumah tangga dengan santai
tanpa ada aturan. Namun tahukah Anda? Hal yang Anda lakukan akan berdampak pada anak apalagi
pada anak autis. Anda mesti memahami bahwa anak autis harus bisa menjalani aturan yang ada di luar
lingkungannya dengan baik. Oleh sebab itu hal yang pertama harus mengajar betapa pentingnya sebuah
peraturan adalah orang tua. Anda bisa mulai mengatur keteraturan jadwal anak dari mulai bangun tidur
hingga tidur lagi, biasakan anak untuk melakukannya tepat waktu, dengan begitu anak akan semakin
terbiasa. Anda juga bisa mencoba untuk membuat sebuah aturan misalnya saat dia akan makan apa
yang harus ia lakukan dan tidak boleh ia lakukan. Ini menjadi salah satu terapi anak ADHD yang sangat
baik terutama saat anak sudah agak lebih besar.

2. Latihlah anak untuk bisa berkonsentrasi

Anak yang memiliki gangguan autis biasanya akan kesulitan untuk bisa berkonsentrasi. Mereka sangat
mudah terganggu dengan lingkungan sekitarnya. Oleh sebab itu Anda bisa mulai mengajari anak
bagaimana caranya berkonsentrasi dan juga mencoba beberapa terapi wicara untuk anak autis . Jangan
mengajari untuk berkonsentrasi terlalu berat, Anda bisa mulai dengan yang sederhana terlebih dahulu.
Misalnya saat Anda sedang membersihkan sesuatu, Anda bisa coba mengajak nya untuk ikut serta. Atau
Anda bisa memberikan intruksi untuk melakukan suatu hal yang membuatnya akan bergerak, Anda bisa
lihat seberapa konsentrasi kah anak untuk mendapatkan instruksi dengan benar.

3. Memberikan pujian pada anak

Saat Anda meminta bantuan pada anak autis, Anda bisa memberikannya pujian dengan begitu anak
akan merasa sangat dihargai dan menyukai hal yang sedang ia lakukan. Jika yang dilakukannya positif?
Tentu saja itu akan sangat baik untuknya. Menyelesaikan tugas atau sesuatu walaupun memang sangat
sederhana dan sangat mudah dilakukan oleh anak normal, namun berbeda dengan anak autis. Mereka
harus menyelesaikannya dalam waktu lama dan kemungkinan bisa sedikit bingung sehingga orang tua
harus berkali-kali membantunya. Terapi perilaku untuk anak autis ini bisa membantu anak autis bisa
bertingkah laku yang baik.

4. Melatih anak untuk bisa bertanggung jawab

Pada poin ini masih sangat berhubungan dengan poin pertama, dimana orang tua bisa membantu anak
untuk membuatkan aturan yang bisa dipatuhi nya. Selain anak bisa disiplin, dengan daftar yang dibuat
pun anak akan memiliki tanggung jawa untuk bisa menyelesaikan suatu hal dengan sesuai dan tepat
waktu. Anda secara tidak langsung bisa membangun rasa kemandirian pada anak. Jika memang anak
lupa dengan apa yang harus ia lakukan, Anda bisa mengingatkannya. Jangan memberikan hukuman dan
memarahi nya jika ia tidak bisa melakukan hal dengan sempurna, karena memang proses penyesuaian
anak autis pada sesuatu hal akan sangat lama. Sehingga Anda bisa kembali pada nomor 3 yaitu
memberikan pujian pada anak agar percaya dirinya semakin tumbuh.

5. Melatih anak dengan memberikan permainan pada anak

Anak autis akan mengalami keterlambatan untuk bisa belajar dengan normal. Untuk itu, sebagai orang
tua Anda harus membantu mengasah kemampuan berpikir anak. Jika memang anak belum bisa belajar
dengan normal, Anda bisa coba memberikannya permainan sederhana yang menitik beratkan pada
strategi berpikir seperti permainan puzzle. Dengan begitu Anda akan membantunya untuk bisa lebih
meningkatkan daya pikir sekaligus tingkat konsentrasinya. Cara mendidik seperti ini bisa dilakukan sejak
kecil dengan memberikan mainan untuk bayi 4 bulan dan mainan untuk bayi 6 bulan.

6. Membantu anak untuk mengenal dunia luar

Bagaimanapun seorang anak autis harus bisa bersosialisasi dengan baik sehingga mereka tidak bisa
hanya mengenal baik lingkungan rumahnya saja. Jangan biarkan anak autis menjadi sangat pendiam
dan pemalu. Anda bisa membantu anak mengenal dunia luar secara perlahan, misalnya dengan pergi ke
sekolah atau bermain dengan anak sebayanya.

7. Mengajarkan kosa kata menggunakan cerita

Cara terapi anak autis selanjutnya adalah, Anda bisa mengajarkan anak beberapa kosa kata dengan
cara yang menarik agar anak tertarik. Salah satu caranya adalah dengan bercerita. Anda bisa coba
membacakan cerita yang sama secara terus menerus hingga anak benar-benar menghapal beberapa
kosa kata baru dengan baik. Ini juga menjadi salah satu cara mengajar anak autis bicara lancar.

8. Ajarkanlah bagaimana harus bekerjasama

Anak autis kebanyakan akan sulit untuk melakukan organisir pada suatu hal sehingga ia akan kesulitan
saat melakukan kegiatan yang menuntutnya untuk bekerja sama dengan kelompoknya. Agar anak
nantinya tidak kebingungan dan merasa kesulitan, sebagai orang tua tentu saja Anda harus mengajarkan
bagaimana ia harus bekerja sama dengan baik. Anda bisa coba melakukannya dirumah, misalnya saat
Anda akan membereskan tempat tidur, ajaklah anak untuk berbagi tugas walaupun kecil dan sedikit.
Langkah ini agar anak autis tidak manja dan selalu minta bantuan orang lain. Bahkan cara ini juga
dilakukan sebagai cara mengatasi anak manja.

9. Ajarkan anak mengenal simbol

Jika anak sudah benar-benar harus bersosialisasi dengan dunia luar, ia akan menemukan banyak simbol
yang harus dipahami. Akan kesulitan jika ia harus mengetahui sendiri, Anda harus mengenalkan anak
beberapa simbol penting seperti simbol zebra cross dan yang lainnya. Agar pengenalan nya lebih
menyenangkan Anda bisa melakukan simulasi dirumah dengan permainan sederhana seperti tebak
tebakan agar proses belajar menjadi lebih menyenangkan.

10. Melatih anak utuk mengenal rangsangan

Dalam istilah medis terapi ini dinamakan floortime yang akan memfokuskan anak pada perkembangan
emosi dan juga sosialnya. Terapi ini akan melatih anak untuk mengenalkan anak pada rangsangan
seperti cahaya, setuhan, dan juga melatih indera pengecap serta penciuman nya. Anda bisa
memberikannya makanan yang memiliki aroma pekat, atau hal lain yang berhubungan dengan
kemampuan rangsangan anak. Cobalah dengan beberapa metode ini agar anak juga berani karena ini
menjadi cara mendidik anak agar berani.

Itulah 10 cara terapi anak autis dirumah yang dapat Anda lakukan. Peran orang tua sangatlah penting,
sehingga ada baiknya Anda benar-benar mendukung dan terus mendorong anak agar semakin
berkembang.

PENGERTIAN AUTISME

Autisme atau Autism Spectrum Disorder (ASD) adalah gangguan perkembangan saraf
yang memengaruhi kemampuan anak dalam berkomunikasi, interaksi sosial, dan
perilaku. ASD tak hanya mencakup autisme, tapi juga melingkupi sindrom Asperger,
sindrom Heller, dan gangguan perkembangan pervasif (PPD-NOS).
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, diperkirakan ada sekitar 2,4 juta orang
penyandang autisme di Indonesia pada tahun 2010. Jumlah penduduk Indonesia pada
saat itu mencapai 237,5 juta jiwa, berarti ada sekitar satu penyandang autisme pada
setiap 100 bayi yang lahir.

Sangatlah penting untuk mewaspadai gejala-gejalanya sedini mungkin, sebab ASD


termasuk kondisi yang tidak bisa disembuhkan. Meski demikian, terdapat berbagai jenis
penanganan serta langkah pengobatan intensif yang bisa membantu para penyandang
autisme untuk menyesuaikan diri dalam kehidupan sehari-hari, serta mencapai potensi
mereka secara maksimal.

Gejala dan Diagnosis Autisme


Secara umum, gejala autisme terdeteksi pada usia awal perkembangan anak sebelum
mencapai tiga tahun. Gejala dan tingkat keparahan autisme juga cenderung bervariasi
pada tiap penyandang. Tetapi, gejala-gejala tersebut dapat dikelompokkan dalam dua
kategori utama.

Kategori pertama adalah gangguan interaksi sosial dan komunikasi. Gejala ini dapat
meliputi masalah kepekaan terhadap lingkungan sosial dan gangguan penggunaan
bahasa verbal maupun non verbal.

Sementara kategori kedua meliputi pola pikir, minat, dan perilaku yang terbatas serta
bersifat pengulangan. Contoh gerakan repetitif, misalnya mengetuk-ngetuk atau
meremas tangan, serta merasa kesal saat rutinitas tersebut terganggu.
Penyandang autisme juga cenderung memiliki masalah dalam belajar dan kondisi
kejiwaan lain, misalnya gangguan hiperaktif atau Attention Deficit Hyperactivity
Disorder(ADHD), gangguan kecemasan, atau depresi.
Hubungi dokter jika Anda menyadari adanya gejala autisme atau gangguan
perkembangan pada diri Anda maupun anak Anda. Penanganan sedini mungkin
sebaiknya dilakukan guna meningkatkan keefektifan perkembangan kondisi ini.

Penyebab Autisme Serta Mitosnya


Terdapat sejumlah faktor, seperti pengaruh genetika dan lingkungan, yang diperkirakan
dapat menyebabkan kelainan ini. Namun, penyebab autisme yang pasti belum diketahui
hingga saat ini. Dalam kasus-kasus tertentu, autisme juga mungkin dipicu oleh penyakit
tertentu.
Di samping itu, ada beberapa hal lain yang juga dianggap sebagai pemicu autisme.
Namun, anggapan dan dugaan tersebut telah terbukti tidak berhubungan dengan
autisme berdasarkan berbagai penelitian medis. Sejumlah mitos tersebut meliputi:

 Senyawa thiomersal yang mengandung merkuri (digunakan sebagai pengawet untuk beberapa
vaksin).
 Vaksin campak, gondong, dan rubela (MMR). Vaksin ini pernah dicurigai sebagai penyebab autisme
sehingga banyak orang tua yang enggan memberikannya pada anak mereka.
 Pola makan, seperti mengonsumsi gluten atau produk susu.

 Pola asuh anak.

Penyandang Autisme Dewasa dan Permasalahannya


Kondisi autisme terkadang baru terdeteksi hingga pengidapnya dewasa. Proses diagnosis saat
dewasa dapat membantu para pengidap serta keluarga untuk memahami autisme dan
memutuskan jenis bantuan yang dibutuhkan.

Sebagian penyandang autisme dewasa merasa kesulitan untuk mencari pekerjaan karena adanya
tuntutan dan perubahan sosial dalam pekerjaan. Pusat layanan khusus autisme bisa membantu
mereka untuk mencari pekerjaan yang cocok dengan kemampuan mereka.

Di Indonesia, khususnya Jakarta, terdapat sejumlah organisasi yang menitikberatkan layanan


khusus bagi penyandang autisme. Beberapa di antaranya adalah:

 Yayasan Autisma Indonesia (YAI)

 Yayasan Masyarakat Peduli Autis Indonesia (MPATI).


 Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC).

GEJALA AUTISME

Kemunculan gejala dan tingkat keparahan pada tiap penyandang autisme sangat bervariasi.
Tingkat keparahan autisme umumnya ditentukan berdasarkan masalah komunikasi dan perilaku
repetitif yang dialami oleh penderitanya serta bagaimana gangguan-gangguan ini memengaruhi
kemampuannya untuk berfungsi dalam masyarakat.

Secara umum, gejala autisme terdeteksi pada usia awal perkembangan anak sebelum mencapai
tiga tahun. Berikut adalah beberapa gejala umum yang mungkin dapat membantu Anda untuk
lebih waspada.

Gejala Menyangkut Interaksi dan Komunikasi Sosial


 Perkembangan bicara yang lamban atau sama sekali tidak bisa bicara.

 Tidak pernah mengungkapkan emosi atau tidak peka terhadap perasaan orang lain.

 Tidak merespons saat namanya dipanggil, meski kemampuan pendengarannya normal.

 Tidak mau bermanja-manja atau berpelukan dengan orang tua serta saudara.

 Cenderung menghindari kontak mata.

 Jarang menggunakan bahasa tubuh.

 Jarang menunjukkan ekspresi saat berkomunikasi.

 Tidak bisa memulai percakapan, meneruskan obrolan, atau hanya bicara saat meminta sesuatu.

 Nada bicara yang tidak biasa, misalnya datar seperti robot.

 Sering mengulang kata-kata dan frasa, tapi tidak mengerti penggunaannya secara tepat.

 Cenderung terlihat tidak memahami pertanyaan atau petunjuk sederhana.

 Tidak memahami interaksi sosial yang umum, misalnya cara menyapa.

Gejala Menyangkut Pola Perilaku


 Memiliki kelainan dalam pola gerakan, misalnya selalu berjinjit.

 Lebih suka rutinitas yang familier dan marah jika ada perubahan.
 Tidak bisa diam.

 Melakukan gerakan repetitif, misalnya mengibaskan tangan atau mengayunkan tubuh ke depan dan
belakang.

 Cara bermain repetitif dan tidak imajinatif, misalnya menyusun balok berdasarkan ukuran atau warna
daripada membangun sesuatu yang berbeda.

 Hanya menyukai makanan tertentu, misalnya memilih makanan berdasarkan tekstur atau warna.

 Sangat terpaku pada topik atau kegiatan tertentu dengan intensitas fokus yang berlebihan.

 Cenderung sensitif terhadap cahaya, sentuhan, atau suara, tapi tidak merespons terhadap rasa sakit.

Periksakanlah diri Anda atau anak Anda ke dokter jika mengalami gejala-gejala tersebut. Penting
bagi pengidap untuk menjalani penanganan sesegera mungkin agar keefektifannya meningkat.

Gangguan Lain dan Autisme


Penyandang autisme umumnya juga memiliki gejala atau pengaruh dari gangguan lain, misalnya
hiperaktif (ADHD), epilepsi, sindrom Tourette (kedutan berulang di area tubuh
tertentu), gangguan obsesif kompulsif (OCD), depresi, gangguan kecemasan menyeluruh,
gangguan belajar, gangguan sensorik, serta gangguan bipolar.
Tiap gangguan tersebut mungkin membutuhkan penanganan secara terpisah, misalnya obat-
obatan atau terapi perilaku kognitif.

PENYEBAB AUTISME

Penyebab autisme belum diketahui secara pasti. Namun, ada beberapa faktor yang diduga bisa
memicu seseorang untuk mengalami gangguan ini. Faktor-faktor pemicu tersebut meliputi:

 Jenis kelamin. Anak laki-laki memiliki risiko hingga 4 kali lebih tinggi mengalami autisme
dibandingkan dengan anak perempuan.
 Faktor keturunan. Orang tua seorang pengidap autisme berisiko kembali memiliki anak dengan
kelainan yang sama.
 Pajanan selama dalam kandungan. Contohnya, pajanan terhadap minuman beralkohol atau
obat-obatan (terutama obat epilepsi untuk ibu hamil) selama dalam kandungan.
 Pengaruh gangguan lainnya, seperti sindrom Down, distrofi otot, neurofibromatosis, sindrom
Tourette, lumpuh otak (cerebral palsy) serta sindrom Rett.
 Kelahiran prematur, khususnya bayi yang lahir pada masa kehamilan 26 minggu atau kurang.
Perlu ditegaskan sekali lagi bahwa keterkaitan antara pemberian vaksin (terutama MMR) dengan
autisme tidaklah benar. Justru, dengan pemberian vaksin, anak Anda akan terhindar dari
terinfeksi maupun menyebarkan kondisi-kondisi yang berbahaya bagi dirinya maupun orang lain.

DIAGNOSIS AUTISME

Jika Anda mencemaskan perkembangan anak Anda, pastikan Anda mengonsultasikannya pada
dokter. Apabila dokter mencurigai adanya gejala autisme, Anda biasanya akan dirujuk pada
dokter maupun tenaga spesialis untuk diagnosis lebih lanjut seperti psikolog, ahli saraf anak,
psikiater, dokter spesialis anak, dan ahli terapi wicara.

Autisme umumnya didiagnosis berdasarkan gejala yang ditunjukkan oleh sang anak. Ini
dilakukan karena tidak ada langkah pemeriksaan spesifik untuk mendiagnosis autisme secara
akurat. Beberapa jenis pemeriksaan yang mungkin akan dianjurkan adalah sebagai berikut:

 Pemeriksaan kondisi fisik serta riwayat kesehatan pasien dan keluarga. Langkah ini
berfungsi untuk menghapus kemungkinan adanya penyakit lain.
 Pemantauan perkembangan kemampuan. Sang anak biasanya akan diminta untuk mengikuti
sejumlah kegiatan agar kemampuan dan aktivitasnya bisa diamati serta diperiksa secara khusus.
Pemeriksaan terfokus ini meliputi kemampuan bicara, perilaku, pola pikir anak, dan interaksi
dengan orang lain.
Meski demikian, hasil pemeriksaan tersebut belum tentu bisa mendiagnosis autisme secara pasti.
Jika para spesialis tidak bisa mengkonfirmasi diagnosis autisme meski pemeriksaan telah selesai,
anak Anda mungkin dianjurkan untuk menjalani pemeriksaan ulang saat usianya lebih tua dan
gejala autisme makin terlihat.

PENGOBATAN AUTISME

Autisme termasuk kelainan yang tidak bisa disembuhkan. Namun, banyak layanan bantuan
pendidikan serta terapi perilaku khusus yang dapat meningkatkan kemampuan penyandang
autisme. Aspek-aspek penting dalam perkembangan anak yang seharusnya menjadi fokus adalah
kemampuan berkomunikasi, berinteraksi, kognitif, serta akademis.

Penanganan autisme bertujuan untuk mengembangkan kemampuan para penyandang semaksimal


mungkin agar mereka bisa menjalani kehidupan sehari-hari. Beberapa langkah penanganan yang
umumnya dianjurkan adalah:
 Terapi perilaku dan komunikasi. Ini dilakukan agar penyandang autisme lebih mudah beradaptasi.
Contoh terapinya adalah terapi perilaku kognitif atau Cognitive Behavioural Therapy (CBT).
 Terapi keluarga agar orang tua atau saudara bisa belajar cara berinteraksi dengan penyandang autisme.
 Pemberian obat-obatan. Walau tidak bisa menyembuhkan autisme, obat-obatan mungkin diberikan
guna mengendalikan gejala-gejala tertentu. Contohnya, antidepresan untuk mengendalikan gangguan
kecemasan, penghambat pelepasan selektif serotonin (SSRI) untuk menangani depresi, melatonin untuk
mengatasi gangguan tidur, atau obat anti-psikotik untuk menangani perilaku yang agresif dan
membahayakan.
 Terapi psikologi. Penanganan ini dianjurkan apabila penyandang autisme juga mengidap masalah
kejiwaan lain, seperti gangguan kecemasan.

Pengajaran dan Pelatihan Untuk Orang Tua


Peran orang tua bagi anak-anak penyandang autisme sangatlah penting. Partisipasi aktif orang
tua akan mendukung dan membantu meningkatkan kemampuan sang anak.

Mencari informasi sebanyak mungkin tentang autisme serta penanganannya sangat dianjurkan
untuk para orang tua. Anda bisa mencari tahu lebih banyak melalui Masyarakat Peduli Autis
Indonesia (MPATI) serta Yayasan Autisma Indonesia.

Membantu anak Anda untuk berkomunikasi juga dapat mengurangi kecemasan dan memperbaiki
perilakunya, karena komunikasi adalah hambatan khusus bagi anak-anak dengan autisme. Kiat-
kiat yang mungkin bisa berguna meliputi:

 Menggunakan kata-kata yang sederhana.

 Selalu menyebut nama anak saat mengajaknya bicara.

 Manfaatkan bahasa tubuh untuk memperjelas maksud Anda.

 Berbicara dengan pelan dan jelas.

 Beri waktu pada anak Anda untuk memroses kata-kata Anda.

 Jangan berbicara saat di sekeliling Anda berisik.

Metode Pengobatan yang Sebaiknya Dihindari


Ada sejumlah metode pengobatan alternatif yang dianggap bisa mengatasi autisme, tapi,
keefektifannya sama sekali belum terbukti dan bahkan berpotensi membahayakan. Metode-
metode pengobatan alternatif yang sebaiknya dihindari tersebut adalah:
 Pola makan khusus, misalnya makanan bebas gluten.

 Terapi khelasi, yaitu pengguanaan obat-obatan atau zat tertentu untuk menghilangkan zat logam (terutama
merkuri) dari dalam tubuh.

 Terapi oksigen hiperbarik yang menggunakan oksigen dalam ruang udara bertekanan tinggi.

 Terapi neurofeedback, di mana pasien akan melihat gelombang otaknya melalui monitor dan diajari cara
untuk mengubahnya.
 Autisme adalah kelainan perkembangan sistem saraf pada seseorang yang kebanyakan
diakibatkan oleh faktor hereditas dan kadang-kadang telah dapat dideteksi sejak bayi
berusia 6 bulan. Deteksi dan terapi sedini mungkin akan menjadikan si penderita lebih dapat
menyesuaikan dirinya dengan yang normal. Kadang-kadang terapi harus dilakukan seumur
hidup, walaupun demikian penderita Autisme yang cukup cerdas, setelah mendapat terapi
Autisme sedini mungkin, seringkali dapat mengikuti Sekolah Umum, menjadi Sarjana dan
dapat bekerja memenuhi standar yang dibutuhkan, tetapi pemahaman dari rekan selama
bersekolah dan rekan sekerja seringkali dibutuhkan, misalnya tidak menyahut atau tidak
memandang mata si pembicara, ketika diajak berbicara. Karakteristik yang menonjol pada
seseorang yang mengidap kelainan ini adalah kesulitan membina
hubungan sosial, berkomunikasi secara normal maupun
memahami emosi serta perasaan orang lain.[1] Autisme merupakan salah satu gangguan
perkembangan yang merupakan bagian dari gangguan spektrum autisme atau Autism
Spectrum Disorders (ASD) dan juga merupakan salah satu dari lima jenis gangguan
dibawah payung Gangguan Perkembangan Pervasif atau Pervasive Development
Disorder (PDD). Autisme bukanlah penyakit kejiwaan karena ia merupakan suatu gangguan
yang terjadi pada otak sehingga menyebabkan otak tersebut tidak dapat berfungsi
selayaknya otak normal dan hal ini termanifestasi pada perilaku penyandang
autisme.[2] Autisme adalah yang terberat di antara PDD.
 Gejala-gejala autisme dapat muncul pada anak mulai dari usia tiga puluh bulan sejak
kelahiran hingga usia maksimal tiga tahun.[1][3] Penderita autisme juga dapat mengalami
masalah dalam belajar, komunikasi, dan bahasa.[1] Seseorang dikatakan menderita autisme
apabila mengalami satu atau lebih dari karakteristik berikut: kesulitan dalam berinteraksi
sosial secara kualitatif, kesulitan dalam berkomunikasi secara kualitatif, menunjukkan
perilaku yang repetitif, dan mengalami perkembangan yang terlambat atau tidak normal.[4]
 Di Amerika Serikat, kelainan autisme empat kali lebih sering ditemukan pada anak lelaki
dibandingkan anak perempuan dan lebih sering banyak diderita anak-anak
keturunan Eropa Amerika dibandingkan yang lainnya.[5] Di Indonesia, pada
tahun 2013 diperkirakan terdapat lebih dari 112.000 anak yang menderita autisme dalam
usia 5-19 tahun.[6] Sedangkan prevalensi penyandang autisme di seluruh dunia menurut
data UNESCO pada tahun 2011 adalah 6 di antara 1000 orang mengidap autisme

Gejala[sunting | sunting sumber]


Secara historis, para ahli dan peneliti dalam bidang autisme mengalami kesulitan dalam
menentukan seseorang sebagai penyandang autisme atau tidak. Pada awalnya, diagnosa
disandarkan pada ada atau tidaknya gejala namun saat ini para ahli setuju bahwa autisme lebih
merupakan sebuah kontinuum. Gejala-gejala autisme dapat dilihat apabila seorang anak memiliki
kelemahan di tiga domain tertentu, yaitu sosial, komunikasi, dan tingkah laku yang berulang.[7]
Aarons dan Gittents (1992) merekomendasikan adanya suatu pendekatan deskriptif dalam
mendiagnosa autisme sehingga menyertakan pengamatan-pengamatan yang menyeluruh di setting-
setting sosial anak sendiri. Settingya mungkin di sekolah, di taman-taman bermain atau mungkin di
rumah sebagai lingkungan sehari-hari anak dimana hambatan maupun kesulitan mereka tampak
jelas di antara teman-teman sebaya mereka yang normal.
Persoalan lain yang memengaruhi keakuratan suatu diagnosa seringkali juga muncul dari adanya
fakta bahwa perilaku-perilaku yang bermasalah merupakan atribut dari pola asuh yang kurang tepat.
Perilaku-perilaku tersebut mungkin saja merupakan hasil dari dinamika keluarga yang negatif dan
bukan sebagai gejala dari adanya gangguan. Adanya interpretasi yang salah dalam memaknai
penyebab mengapa anak menunjukkan persoalan-persoalan perilaku mampu menimbulkan
perasaan-perasaan negatif para orang tua. Pertanyaan selanjutnya kemudian adalah apa yang
dapat dilakukan agar diagnosa semakin akurat dan konsisten sehingga autisme sungguh-sungguh
terpisah dengan kondisi-kondisi yang semakin memperburuk? Perlu adanya sebuah model diagnosa
yang menyertakan keseluruhan hidup anak dan mengevaluasi hambatan-hambatan dan kesulitan
anak sebagaimana juga terhadap kemampuan-kemampuan dan keterampilan-keterampilan anak
sendiri. Mungkin tepat bila kemudian disarankan agar para profesional di bidang autisme juga
mempertimbangkan keseluruhan area, misalnya: perkembangan awal anak, penampilan anak,
mobilitas anak, kontrol dan perhatian anak, fungsi-fungsi sensorisnya, kemampuan bermain,
perkembangan konsep-konsep dasar, kemampuan yang bersifat sikuen, kemampuan musikal, dan
lain sebagainya yang menjadi keseluruhan diri anak sendiri.

Diagnosis[sunting | sunting sumber]


Anak dengan autisme dapat tampak normal pada tahun pertama maupun tahun kedua dalam
kehidupannya. Para orang tua seringkali menyadari adanya keterlambatan kemampuan berbahasa
dan cara-cara tertentu yang berbeda ketika bermain serta berinteraksi dengan orang lain. Anak-
anak tersebut mungkin dapat menjadi sangat sensitif atau bahkan tidak responsif terhadap
rangsangan-rangsangan dari kelima panca inderanya(pendengaran, sentuhan, penciuman, rasa dan
penglihatan). Perilaku-perilaku repetitif (mengepak-kepakan tangan atau jari, menggoyang-
goyangkan badan dan mengulang-ulang kata) juga dapat ditemukan. Perilaku dapat menjadi agresif
(baik kepada diri sendiri maupun orang lain) atau malah sangat pasif. Besar kemungkinan, perilaku-
perilaku terdahulu yang dianggap normal mungkin menjadi gejala-gejala tambahan. Selain bermain
yang berulang-ulang, minat yang terbatas dan hambatan bersosialisasi, beberapa hal lain yang juga
selalu melekat pada para penyandang autisme adalah respon-respon yang tidak wajar
terhadap informasisensoris yang mereka terima, misalnya; suara-suara bising, cahaya, permukaan
atau tekstur dari suatu bahan tertentu dan pilihan rasa tertentu pada makanan yang menjadi
kesukaan mereka.
Beberapa atau keseluruhan karakteristik yang disebutkan berikut ini dapat diamati pada para
penyandang autisme beserta spektrumnya baik dengan kondisi yang teringan hingga terberat
sekalipun.

1. Hambatan dalam komunikasi, misal: berbicara dan memahami bahasa.


2. Kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain atau obyek di sekitarnya serta
menghubungkan peristiwa-peristiwa yang terjadi.
3. Bermain dengan mainan atau benda-benda lain secara tidak wajar.
4. Sulit menerima perubahan pada rutinitas dan lingkungan yang dikenali.
5. Gerakkan tubuh yang berulang-ulang atau adanya pola-pola perilaku yang tertentu
Para penyandang Autisme beserta spektrumnya sangat beragam baik dalam kemampuan yang
dimiliki, tingkat intelegensi, dan bahkan perilakunya. Beberapa di antaranya ada yang tidak
'berbicara' sedangkan beberapa lainnya mungkin terbatas bahasanya sehingga sering ditemukan
mengulang-ulang kata atau kalimat (echolalia). Mereka yang memiliki kemampuan bahasa yang
tinggi umumnya menggunakan tema-tema yang terbatas dan sulit memahami konsep-konsep yang
abstrak. Dengan demikian, selalu terdapat individualitas yang unik dari individu-individu
penyandangnya.
Terlepas dari berbagai karakteristik di atas, terdapat arahan dan pedoman bagi para orang tua dan
para praktisi untuk lebih waspasa dan peduli terhadap gejala-gejala yang terlihat. The National
Institute of Child Health and Human Development (NICHD) di Amerika Serikat menyebutkan 5 jenis
perilaku yang harus diwaspadai dan perlunya evaluasi lebih lanjut :

1. Anak tidak bergumam hingga usia 12 bulan


2. Anak tidak memperlihatkan kemampuan gestural (menunjuk, dada, menggenggam) hingga
usia 12 bulan
3. Anak tidak mengucapkan sepatah kata pun hingga usia 16 bulan
4. Anak tidak mampu menggunakan dua kalimat secara spontan di usia 24 bulan
5. Anak kehilangan kemampuan berbahasa dan interaksi sosial pada usia tertentu
Adanya kelima ‘lampu merah’ di atas tidak berarti bahwa anak tersebut menyandang autisme tetapi
karena karakteristik gangguan autisme yang sangat beragam maka seorang anak harus
mendapatkan evaluasi secara multidisipliner yang dapat
meliputi; Neurolog, Psikolog, Pediatric, Terapi Wicara, Paedagog dan profesi lainnya yang
memahami persoalan autisme.
Dokter spesialis yang cocok untuk mendeteksi Autisme adalah Dokter Spesialis Anak (Sp.A) yang
dibantu oleh Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa (Sp.KJ) untuk mengetahui antara lain tingkat
kecerdasan Balita, Dokter Spesialis Telinga Hidung Tenggorok-Bedah Kepala leher (Sp.THT-KL)
untuk mengetahui antara lain pendegaran Balita Yang tidak/kurang responsif terhadap suara atau
bahkan tidak dapat berkata-kata dan dapat disangka penderita Autisme, padahal bukan.
Simtoma klinis menurut DSM IV[sunting | sunting sumber]
A. Interaksi Sosial (minimal 2):

1. Tidak mampu menjalin interaksi sosial non verbal: kontak mata, ekspresi muka,
posisi tubuh, gerak-gerik kurang tertuju
2. Kesulitan bermain dengan teman sebaya
3. Tidak ada empati, perilaku berbagi kesenangan/minat
4. Kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional 2 arah
B. Komunikasi Sosial (minimal 1):

1. Tidak/terlambat bicara, tidak berusaha berkomunikasi non verbal


2. Bisa bicara tapi tidak untuk komunikasi/inisiasi, egosentris
3. Bahasa aneh & diulang-ulang/stereotip
4. Cara bermain kurang variatif/imajinatif, kurang imitasi social
C. Imaginasi, berpikir fleksibel dan bermain imaginatif (minimal 1):

1. Mempertahankan 1 minat atau lebih dengan cara yang sangat khas dan berlebihan,
baik intensitas dan fokusnya
2. Terpaku pada suatu kegiatan ritualistik/rutinitas yang tidak berguna
3. Ada gerakan-gerakan aneh yang khas dan berulang-ulang. Seringkali sangat
terpukau pada bagian-bagian tertentu dari suatu benda
Seorang anak penderita autisme, dengan jajaran mainan yang ia buat

Gejala autisme dapat sangat ringan (mild), sedang (moderate) hingga parah (severe),
sehingga masyarakat mungkin tidak menyadari seluruh keberadaannya. Parah atau
ringannya gangguan autisme sering kemudian di-paralel-kan dengan keberfungsian.
Dikatakan oleh para ahli bahwa anak-anak dengan autisme dengan
tingkat intelegensi dan kognitif yang rendah, tidak berbicara (nonverbal), memiliki
perilaku menyakiti diri sendiri, serta menunjukkan sangat terbatasnya minat dan rutinitas
yang dilakukan maka mereka diklasifikasikan sebagai low functioning autism.
Sementara mereka yang menunjukkan fungsi kognitif dan intelegensi yang tinggi,
mampu menggunakan bahasa dan bicaranya secara efektif serta menunjukkan
kemampuan mengikuti rutinitas yang umum diklasifikasikan sebagai high functioning
autism. Dua dikotomi dari karakteristik gangguan sesungguhnya akan sangat
berpengaruh pada implikasi pendidikan maupun model-model treatment yang diberikan
pada para penyandang autisme. Kiranya melalui media ini penulis menghimbau kepada
para ahli dan paktisi di bidang autisme untuk semakin mengembangkan strategi-strategi
dan teknik-teknik pengajaran yang tepat bagi mereka. Apalagi mengingat fakta dari
hasil-hasil penelitian terdahulu menyebutkan bahwa 80% anak dengan autisme memiliki
intelegensi yang rendah dan tidak berbicara atau nonverbal. Namun sekali lagi, apapun
diagnosa maupun label yang diberikan prioritasnya adalah segera diberikannya
intervensi yang tepat dan sungguh-sungguh sesuai dengan kebutuhan mereka.
Referensi baku yang digunakan secara universal dalam mengenali jenis-jenis gangguan
perkembangan pada anak adalah ICD (International Classification of Diseases) Revisi
ke-10 tahun 1993 dan DSM (Diagnostic And Statistical Manual) Revisi IV tahun 1994
yang keduanya sama isinya. Secara khusus dalam kategori Gangguan Perkembangan
Perpasiv (Pervasive Developmental Disorder/PDD): Autisme ditunjukkan bila ditemukan
6 atau lebih dari 12 gejala yang mengacu pada 3 bidang utama gangguan, yaitu:
Interaksi Sosial – Komunikasi – Perilaku.
Autisme sebagai spektrum gangguan maka gejala-gejalanya dapat menjadi bukti dari
berbagai kombinasi gangguan perkembangan. Bila tes-tes secara behavioral maupun
komunikasi tidak dapat mendeteksi adanya autisme, maka beberapa
instrumen screening yang saat ini telah berkembang dapat digunakan untuk
mendiagnosa autisme:

 Childhood Autism Rating Scale (CARS): skala peringkat autisme masa kanak-kanak
yang dibuat oleh Eric Schopler pada awal tahun 1970 yang didasarkan pada
pengamatan perilaku. Alat menggunakan skala hingga 15; anak dievaluasi
berdasarkan hubungannya dengan orang, penggunaan gerakan tubuh, adaptasi
terhadap perubahan, kemampuan mendengar dan komunikasi verbal
 The Checklis for Autism in Toddlers (CHAT): berupa daftar pemeriksaan autisme
pada masa balita yang digunakan untuk mendeteksi anak berumur 18 bulan,
dikembangkan oleh Simon Baron Cohen pada awal tahun 1990-an.
 The Autism Screening Questionare: adalah daftar pertanyaan yang terdiri dari 40
skala item yang digunakan pada anak dia atas usia 4 tahun untuk mengevaluasi
kemampuan komunikasi dan sosial mereka
 The Screening Test for Autism in Two-Years Old: tes screening autisme bagi anak
usia 2 tahun yang dikembangkan oleh Wendy Stone di Vanderbilt didasarkan pada
3 bidang kemampuan anak, yaitu; bermain, imitasi motor dan konsentrasi.
Diagnosa yang akurat dari Autisme maupun gangguan perkembangan lain yang
berhubungan membutuhkan pengamatan yang menyeluruh terhadap: perilaku anak,
kemampuan komunikasi dan kemampuan perkembangan lainnya. Akan sangat sulit
mendiagnosa karena adanya berbagai macam gangguan yang terlihat. Observasi dan
wawancara dengan orang tua juga sangat penting dalam mendiagnosa. Evaluasi tim
yang terdiri dari berbagai disiplin ilmu memungkinkan adanya standardisasi dalam
mendiagnosa. Tim dapat terdiri
dari neurolog, psikolog, pediatrik, paedagog, patologis ucapan/kebahasaan, okupasi
terapi, pekerja sosial dan lain sebaginya.

Penyebab[sunting | sunting sumber]


Hingga kini apa yang menyebabkan seseorang dapat menderita autisme belum
diketahui secara pasti. Riset-riset yang dilakukan oleh para ahli medis menghasilkan
beberapa hipotesa mengenai penyebab autisme. Dua hal yang diyakini sebagai pemicu
autisme adalah faktor genetik atau keturunan dan faktor lingkungan seperti
pengaruh zat kimiawi ataupun vaksin.[8]

Faktor genetik[sunting | sunting sumber]


Faktor genetik diyakini memiliki peranan yang besar bagi penyandang autisme
walaupun tidak diyakini sepenuhnya bahwa autisme hanya dapat disebabkan
oleh gen dari keluarga.[7] Riset yang dilakukan terhadap anak autistik menunjukkan
bahwa kemungkinan dua anak kembar identik mengalami autisme adalah 60 hingga 95
persen sedangkan kemungkinan untuk dua saudara kandung mengalami autisme
hanyalah 2,5 hingga 8,5 persen.[7] Hal ini diinterpretasikan sebagai peranan besar gen
sebagai penyebab autisme sebab anak kembar identik memiliki gen yang 100% sama
sedangkan saudara kandung hanya memiliki gen yang 50% sama.[7]

Faktor lingkungan[sunting | sunting sumber]


Ada dugaan bahwa autisme disebabkan oleh vaksin MMR yang rutin diberikan kepada
anak-anak di usia dimana gejala-gejala autisme mulai terlihat.[9] Kekhawatiran ini
disebabkan karena zat kimia bernama thimerosalyang digunakan untuk mengawetkan
vaksin tersebut mengandung merkuri.[9] Unsur merkuri inilah yang selama ini dianggap
berpotensi menyebabkan autisme pada anak. Namun, tidak ada bukti kuat yang
mendukung bahwa autisme disebabkan oleh pemberian vaksin. Penggunaan thimerosal
dalam pengawetan vaksin telah diberhentikan namun angka autisme pada anak
semakin tinggi.[9]

Penanganan autisme[sunting | sunting sumber]


Intensitas dari treatment perilaku pada anak dengan autisme merupakan hal penting,
namun persoalan-persoalan mendasar yang ditemui di Indonesia menjadi sangat krusial
untuk diatasi lebih dahulu. Tanpa mengabaikan faktor-faktor lain, beberapa fakta yang
dianggap relevan dengan persoalan penanganan masalah autisme di Indonesia di
antaranya adalah:

1. Kurangnya tenaga terapis yang terlatih di Indonesia. Orang tua selalu menjadi
pelopor dalam proses intervensi sehingga pada awalnya pusat-pusat intervensi
bagi anak dengan autisme dibangun berdasarkan kepentingan keluarga untuk
menjamin kelangsungan pendidikan anak mereka sendiri.
2. Belum adanya petunjuk treatment yang formal di Indonesia. Tidak cukup
dengan hanya mengimplementasikan petunjuk teatment dari luar yang
penerapannya tidak selalu sesuai dengan kultur kehidupan anak-anak
Indonesia.
3. Masih banyak kasus-kasus autisme yang tidak di deteksi secara dini sehingga
ketika anak menjadi semakin besar maka semakin kompleks pula persoalan
intervensi yang dihadapi orang tua. Para ahli yang mampu mendiagnosa
autisme, informasi mengenai gangguan dan karakteristik autisme serta
lembaga-lembaga formal yang memberikan layanan pendidikan bagi anak
dengan autisme belum tersebar secara merata di seluruh wilayah di Indonesia.
4. Belum terpadunya penyelenggaraan pendidikan bagi anak dengan autisme di
sekolah. Dalam Pasal 4 UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional telah diamanatkan pendidikan yang demokratis dan tidak diskriminatif
dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, dukungan ini membuka peluang
yang besar bagi para penyandang autisme untuk masuk dalam sekolah-sekolah
umum (inklusi) karena hampir 500 sekolah negeri telah diarahkan oleh
pemerintah untuk menyelenggarakan inklusi.
5. Permasalahan akhir yang tidak kalah pentingnya adalah minimnya
pengetahuan baik secara klinis maupun praktis yang didukung dengan validitas
data secara empirik (Empirically Validated Treatments/EVT) dari penanganan-
penanganan masalah autisme di Indonesia. Studi dan penelitian autisme selain
membutuhkan dana yang besar juga harus didukung oleh validitas data empirik,
namun secara etis tentunya tidak ada orang tua yang menginginkan anak
mereka menjadi percobaan dari suatu metodologi tertentu. Kepastian dan
jaminan bagi proses pendidikan anak merupakan pertimbangan utama bagi
orang tua dalam memilih salah satu jenis treatment bagi anak mereka sehingga
bila keraguan ini dapat dijawab melalui otoritas-otoritas ilmiah maka semakin
terbuka informasi bagi masyarakat luas mengenai pengetahuan-pengetahuan
baik yang bersifat klinis maupun praktis dalam proses penanganan masalah
autisme di Indonesia.
Terapi[sunting | sunting sumber]
Beberapa jenis terapi bersifat tradisional dan telah teruji dari waktu ke waktu sementara
terapi lainnya mungkin baru saja muncul. Tidak seperti gangguan perkembangan
lainnya, tidak banyak petunjuk treatment yang telah dipublikasikan apalagi prosedur
yang standar dalam menangani autisme. Bagaimanapun juga para ahli sependapat
bahwa terapi harus dimulai sejak awal dan harus diarahkan pada hambatan maupun
keterlambatan yang secara umum dimiliki oleh setiap anak autis, misalnya; komunikasi
dan persoalan-persolan perilaku. Treatment yang komprehensif umumnya meliputi;
Terapi Wicara (Speech Therapy), Okupasi Terapi (Occupational Therapy) dan Applied
Behavior Analisis (ABA) untuk mengubah serta memodifikasi perilaku.
Berikut ini adalah suatu uraian sederhana dari berbagai literatur yang ada dan
ringkasan penjelasan yang tidak menyeluruh dari beberapa treatment yang diakui saat
ini. Menjadi keharusan bagi orang tua untuk mencari tahu dan mengenali treatment
yang dipilihnya langsung kepada orang-orang yang profesional dibidangnya. Sebagian
dari teknik ini adalah program menyeluruh, sedang yang lain dirancang menuju target
tertentu yang menjadi hambatan atau kesulitan para penyandangnya.

 Educational Treatment, meliputi tetapi tidak terbatas pada: Applied Behavior


Analysis (ABA) yang prinsip-prinsipnya digunakan dalam penelitian Lovaas
sehingga sering disamakan dengan Discrete Trial Training atau Intervensi Perilaku
Intensif.
 Pendekatan developmental yang dikaitkan dengan pendidikan yang dikenal
sebagai Floortime.
 TEACCH (Treatment and Education of Autistic and Related Communication –
Handicapped Children).
 Biological Treatment, meliputi tetapi tidak terbatas pada: diet, pemberian vitamin
dan pemberian obat-obatan untuk mengurangi perilaku-perilaku tertentu
(agresivitas, hiperaktif, melukai diri sendiri, dsb.).
 Speech – Language Therapy (Terapi Wicara), meliputi tetapi tidak terbatas pada
usaha penanganan gangguan asosiasi dan gangguan
proses auditory/pendengaran.
 Komunikasi, peningkatan kemampuan komunikasi, seperti PECS (Picture Exchange
Communication System), bahasa isyarat, strategi visual menggunakan gambar
dalam berkomunikasi dan pendukung-pendukung komunikasi lainnya.
 Pelayanan Autisme Intensif, meliputi kerja team dari berbagai disiplin ilmu yang
memberikan intervensi baik di rumah, sekolah maupun lngkungan sosial lainnya.
 Terapi yang bersifat Sensoris, meliputi tetapi tidak terbatas pada Occupational
Therapy (OT), dan Auditory Integration Training (AIT).
Dengan adanya berbagai jenis terapi yang dapat dipilih oleh orang tua, maka sangat
penting bagi mereka untuk memilih salah satu jenis terapi yang dapat meningkatkan
fungsionalitas anak dan mengurangi gangguan serta hambatan autisme. Sangat
disayangkan masih minim data ilmiah yang mampu mendukung berbagai jenis terapi
yang dapat dipilih orang tua di Indonesia saat ini. Fakta menyebutkan bahwa sangat
sulit membuat suatu penelitian mengenai autisme. Sangat banyak variabel-variabel
yang dimiliki anak, dari tingkat keparahan gangguannya hingga lingkungan sekitarnya
dan belum lagi etika yang ada didalamnya untuk membuat suatu penelitian itu sungguh-
sungguh terkontrol. Sangat tidak mungkin mengontrol semua variabel yang ada
sehingga data yang dihasilkan dari penelitian-penelitian sebelumnya mungkin secara
statistik tidak akurat.
Tidak ada satupun jenis terapi yang berhasil bagi semua anak. Terapi harus
disesuaikan dengan kebutuhan anak, berdasarkan pada potensinya, kekurangannya
dan tentu saja sesuai dengan minat anak sendiri. Terapi harus dilakukan secara
multidisiplin ilmu, misalnya menggunakan; okupasi terapi, terapi wicara dan terapi
perilaku sebagai basisnya. Tenaga ahli yang menangani anak harus mampu
mengarahkan pilihan-pilihan anda terhadap berbagai jenis terapi yang ada saat ini.
Tidak ada jaminan apakah terapi yang dipilih oleh orang tua maupun keluarga sungguh-
sungguh akan berjalan efektif. Namun, tentukan salah satu jenis terapi dan laksanakan
secara konsisten, bila tidak terlihat perubahan atau kemajuan yang nyata selama 3
bulan dapat melakukan perubahan terapi. Bimbingan dan arahan yang diberikan harus
dilaksanakan oleh orang tua secara konsisten. Bila terlihat kemajuan yang signifikan
selama 3 bulan maka bentuk intervensi lainnya dapat ditambahkan. Tetap bersikap
obyektif dan tanyakan kepada para ahli bila terjadi perubahan-perubahan perilaku
lainnya.
Prognosis[sunting | sunting sumber]
Diperkirakan terdapat 400.000 individu dengan autisme di Amerika Serikat. Sejak tahun
80 – an, bayi-bayi yang lahir di California – AS, diambil darahnya dan disimpan di pusat
penelitian Autisme. Penelitian dilakukan oleh Terry Phillips, seorang pakar kedokteran
saraf dari Universitas George Washington. Dari 250 contoh darah yang diambil, ternyata
hasilnya mencengangkan; seperempat dari anak-anak tersebut menunjukkan gejala
autis. National Information Center for Children and Youth with Disabilities (NICHCY)
memperkirakan bahwa autisme dan PDD pada tahun 2000 mendekati 50 – 100 per
10.000 kelahiran. Penelitian Frombonne (Study Frombonne: 2003) menghasilkan
prevalensi dari autisme beserta spektrumnya (Autism Spectrum Disorder/ASD) adalah:
60/10.000 – best current estimate dan terdapat 425.000 penyandang ASD yang berusia
dibawah 18 tahun di Amerika Serikat. Di Inggris, data terbaru adalah: 62.6/10.000 ASD.
Autisme secara umum telah diketahui terjadi empat kali lebih sering pada anak laki-laki
dibandingkan yang terjadi pada anak perempuan. Hingga saat ini penyebabnya belum
diketahui secara pasti. Saat ini para ahli terus mengembangkan penelitian mereka untuk
mengetahui sebabnya sehingga mereka pun dapat menemukan ‘obat’ yang tepat untuk
mengatasi fenomena ini. Bidang-bidang yang menjadi fokus utama dalam penelitian
para ahli, meliputi; kerusakan secara neurologis dan ketidakseimbangan dalam otak
yang bersifat biokimia. Dr. Ron Leaf saat melakukan seminar di Singapura pada tanggal
26 – 27 Maret 2004, menyebutkan beberapa faktor penyebab autisme, yaitu:

 Genetic susceptibility – different genes may be responsible in different families


 Chromosome 7 – speech / language chromosome
 Variety of problems in pregnancy at birth or even after birth
Meskipun para ahli dan praktisi di bidang autisme tidak selamanya dapat menyetujui
atau bahkan sependapat dengan penyebab-penyebab di atas. Hal terpenting yang perlu
dicatat melalui hasil penelitian-penelitian terdahulu adalah bahwa gangguan autisme
tidak disebabkan oleh faktor-faktor yang bersifat psikologis, misalnya karena orang tua
tidak menginginkan anak ketika hamil.
Bagaimana di Indonesia? Belum ditemukan data yang akurat mengenai keadaan yang
sesungguhnya di Indonesia, namun dalam suatu wawancara di Koran Kompas; Dr.
Melly Budhiman, seorang Psikiater Anak dan Ketua dari Yayasan Autisme Indonesia
menyebutkan adanya peningkatan yang luar biasa. “Bila sepuluh tahun yang lalu jumlah
penyandang autisme diperkirakan satu per 5.000 anak, sekarang meningkat menjadi
satu per 500 anak” (Kompas: 2000). Tahun 2000 yang lalu, Dr. Ika Widyawati; staf
bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia memperkirakan terdapat
kurang lebih 6.900 anak penyandang autisme di Indonesia. Jumlah tersebut
menurutnya setiap tahun terus meningkat. Hal ini sungguh patut diwaspadai karena jika
penduduk di Indonesia saat ini mencapai lebih dari 160 juta, kira-kira berapa orang yang
terdata sungguh-sungguh menyandang austime beserta spektrumnya?

Perkembangan penelitian autisme[sunting | sunting sumber]


Penelitian mengenai autisme pertama kali diprakarsai oleh seorang psikiater asal
Amerika Serikat, Leo Kanner, pada tahun 1943.[10] Melalui makalah risetnya yang
berjudul "Autistic Disturbances of Affective Contact", Kanner mendiagnosa sebelas
orang anak yang memiliki gangguan yang sama dan mendeskripsikannya sebagai
"autisme".[10] Pada masa itu, anak-anak penderita autisme dianggap sebagai anak yang
bodoh dan terbelakang bukan sebagai anak yang mengalami gangguan
perkembangan.[10] Hasil penelitian yang dilakukan Kanner ini kemudian menjadi titik
tolak perkembangan penelitian autisme serta perubahan pandangan masyarakat
terhadap anak-anak yang menderita autisme.
Tahun 1960 penanganan anak dengan autisme secara umum didasarkan pada
model psikodinamika, menawarkan harapan akan pemulihan melalui experiential
manipulations (Rimland, 1964). Namun model psikodinamika dianggap tidak cukup
efektif. Pada pertengahan tahun 1960-an, terdapat sejumlah laporan penelitian bahwa
pelaku psikodinamik tidak dapat memberikan apa yang mereka janjikan (Lovaas, 1987).
Melalui berbagai literatur, dapat disebutkan beberapa ahli yang memiliki perbedaan
filosofis, variasi-variasi treatment dan target-target khusus lainnya, seperti:

 Rimland (1964): Meneliti karakteristik orang tua yang memiliki anak dengan
autisme, seperti: pekerja keras, pintar, obsesif, rutin dan detail. Ia juga meneliti
penyebab autisme yang menurutnya mengarah pada faktor biologis.
 Bettelheim (1967): Ide penyebab autisme adalah adanya penolakan dari orang
tua. Infantile Autism disebabkan harapan orang tua untuk tidak memiliki anak,
karena pada saat itu psikoterapi yang sangat berpengaruh, maka ia
menginstitusionalkan 46 anak dengan autistime untuk keluar dari stress berat.
Namun tidak dilaporkan secara detail kelanjutan dari hasil pekerjaannya tersebut.
 Delacato (1974): Autisme disebabkan oleh Brain injured. Sebagai
seorang Fisioterapi maka Delacato memberikan treatment yang bersifat sensoris.
Pengaruh ini kemudian berkembang pada Doman yang dikemudian hari
mengembangkan metode Gleen Doman.
 Lovaas (1987): Mengaplikasikan teori Skinne dan menerapkan Behavior
Modification kepada anak-anak berkebutuhan khusus, termasuk anak dengan
autistisme di dalamnya. Ia membuat program-program intervensi bagi anak-anak
berkebutuhan khusus yang dilakukannya di UCLA. Dari hasil program-program
Lovaas, anak-anak dengan autisme mendapatkan program modifikasi perilaku yang
kemudian berkembang secara professional dalam jurnal-jurnal psikologi.

Anda mungkin juga menyukai