Anda di halaman 1dari 44

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menurut Prasetyono (2016) autis adalah gangguan perkembangan
khusunya terjadi pada masa anak-anak yang membuat seseorang tidak mampu
mengadakan interaksi sosial dan seolah-olah hidup dalam dunianya
sendiri.anak-anak penderita autisme tidak memiliki kemampuan untuk
menjalani hubungan persahabatan,menunjukan rasa empati, serta memahami
apa yang diharapkan oleh orang lain dalm bergam situasi sosial (Maulana,
2014). Menurut Sudrajat dan Rosinda (2013) autisme adalah gangguan
perkembangan yang luas dan berat yang yang gejalanya mulai tampak pada
anak sebelum mencapai usia 3 tahun. Secara umum penyandang autisme
dapat dikemlompokan menurut adanya gangguan perilaku yaitu gangguan
interaksi sosial, gangguan komunikasi, gangguan perilaku motorik, gangguan
emosi dan gangguan sensori (Nugraheri, 2012).
Tanda dan gejala yang paling utama nampak pada anak autis menurut
(Fadhil, 2016) adalah gangguan komunikasi verbal dan non verbal seperti
kelainan dalam pola berbicara, tidak mampu mempertahankan percakapan,
permainan sosial yang abnormal tidak adanya daya empati, kesulitan dalam
berteman, gerakan tubuh stereotip, kebutuhan kesamaan yang mencolok.
Dua faktor penyebab autisme, yaitu faktor psikososial, karena pola asuh
orang tua dan teori gangguan neuro biologist yang menyebutkan gangguan
neuroanatomi atau gangguan biokimiawi otak. Beberapa faktor yang sampai
sekarang dianggap penyebab autisme adalah faktor genetik, gangguan
pertumbuhan sel otak pada janin, gangguan pencernaan, gangguan auto imun,
pada anak-anak yang mengalami masalah pre-natal seperti: prematur,
postmatur, perdarahan (Erika, 2015).
Prevelensi autis didunia saat ini mencapai 6-6, 5 kasus perseribu anak.
Berdasarkan laporan Center for disease control, sekitar 1 dari 54 anak di
Amerika Serikat di diagnosis dengan gangguan spektrum autisme (CDC
2020)berdasarkan data pusat pengendalian penyakit atau the center fo

1
2

r disease control and prevention (CDC) baru-baru ini melaporkan


bahwa satu hari setiap 68 anak dilahirkan dengan ASD (Autism Spectrum
Disorder) CDC, 2014). Sedangkan menurut World Health
Organization/WHO (2018) menyebutkan bahwa diperkirakan satu dari 160
anak diseluruh dunia mengidap Autism Spectrum Disorder (ASD).
Berdasarkan laporan Center for disease control, Badan pusat statistik saat ini
di Indonesia terdapat sekitar 270,2 juta dengan perbandingan pertumbuhan
anak autis sekitar 3,2 juta anak (BPS, 2020).
Pusat data statistik sekolah luar biasa mencatat jumlah siswa autis di
Inonesia pada tahun 2019 sebanyak 144.102 siswa (Kemendikbud, 2020).
Angka tersebut naik dibanding tahun 2018 tercatatat sebanyak 133.826 siswa
autis di Indonesia dengan daerah tingkat pertama DKI Jakarta dan Sumatera
Barat di urutan ke 9 di Indonesia (Kemendibud, 2019). Berdasarkan data
dinas pendidikan Sumatera Barat jumlah anak berkebutuhan khusus mencapai
6.133 orang, (Sumber mahyeldi: 2018) .Agar anak autis mendapatkan
pendidikan normal seperti anak lainnya maka pemerintah menyediakan
sekolah khusus luar biasa atau di sebut juga SLB, dikota Padang sendiri
terdapat sebanyak 37 SLB yang terdiri dari 1.464 siswa yang tersebar di
sekolah luar biasa (SLB), dimana jumlah laki-laki sebanyak 929 orang dan
siswa perempuan 539 orang (Dapodikdasmen, 2019).
Anak yang mengalami autisme memiliki kesulitan dalam mencerna
bahasa, baik itu berupa aktivitas memperoleh maupun mempelajari bahasa.
Kekurangan pada autisme inilah yang akhirnya juga dapat mengakibatkan
gangguan dalam kemampuan berbahasa bagimana ia berinteraksi dengan
lingkunganya. Gangguan autisme adalah suatu gangguan proses
perkembangan, sehingga terapi jenis apapun yang dilakukan akan
memerlukan waktu yang lama. Kecuali itu, terapi harus dilakukan secara
terpadu dan setiap anakmembutuhkan jenis terapi yang berbeda.
Menurut seorang psikiater anak Leo Kanner (1943) dalam Endang
(2014), menjabarkan dengan rinci gejala-gejala aneh yang ia temukan pada 11
orang pasien kecilnya. Secara umum gejala yang sangat menonjol pada anak-
anak tersebut menurut Kanner adalah mereka sangat asik dengan dirinya

2
3

sendiri atau seolah-olah hidup dalam duniannya sendiri, kemudia Kanner


menggunakan istilah ‘Autism” atau autisme yang diartikan sebgai hidup
dalam dunianya sendiri. Genetik dan lingkungan adalah salah satu penyebab
autisme. Jika anak memang lemah secara genetik, sangat dimungkinkan
ketika ia menghadapi satu atau lebih faktor masalah seperti persoalan medis,
stress, masalah kekebalan tubuh, racun, gen infeksi dititik-titik spesifik
didalam perkembangan otak, maka inilah yang kemudia memicu serangkaian
kejadian yang mengarah kepada autisme (Anjali Sastry, 2014).
Salah satu tanda dan gejala anak autis bila reaksi emosi anak autis
membingungkan. Jika di panggil anak pasti cuek tanpa exspresi bahkan tanpa
kontak mata. Begitu bila merasa takut, bukan malah mendekat erat ia hanya
memegang rambut dan tangan. Sedangkan rasa senang biasanya akan
diexspresikan dengan perilaku aneh. Semisal dengan teriak-teriak, loncat –
loncat, berkeliling ruangan. Hal ini tergantung terhadap autisnya jika ringan
maka masih bisa di ajak bercanda meski perhatian atau kontak mata mudah
beralih. Hal ini perlu adanya terapi yaitu terapi perilaku mengubah perilaku
yang tidak wajar di masyarakat. Sehingga anak tidak terbiasa dengan
kebiasaan buruk tersebut. Terapi perilaku tidak hanya guru yang harus
menerapi tetapi orang tua dapat menanganinya di rumah dengan cara
mengenali apa yang dirasakan oleh anak, apa saja kesukaan anak, dan situasi
apa saja yang membuat anak tidak bisa konstrasi atau malah
meledakmarah.dengan itu orang tua dapat menanganinya lebih tepat (Nakita,
2002 dalam Wulandari, 2014).
Anak penyandang autis mempunyai gangguan dalam bidang interaksi
sosial, yaitu tidak tertarik untuk bermain bersama teman, lebih suka
menyendiri, tidak ada kontak mata atau menghindar untuk bertatapan, senang
menarik tangan orang lain untuk melakukan apa yang diinginkan, adanya
gangguan pada dalam interaksi sosial pada anak autis dapat mempengaruhi
aspek dalam belajar dan perilaku(Handojo, 2012). Apabila kelainann ini
berkelanjut sampai dewasa, maka akan menimbulkan dampak yang fatal,
misalnya tidak dapat meminta bantuan kepada orang lain karena adanya
keterbatasan dalam kemampuan berinteraksi sosial.
4

Terapi ABA (Applied Behavior Analysis) merupakan ilmu terapan yang


menggunakan prosedur perubahan perilaku agar menguasai berbagai
kemampuan dengan ukuran standar yang ada dimasyarakat( Sutadi, 2014).
Terapi ABA adalah terapi tatalaksan perilaku (Sutadi, 2014) menjelaskan
mengajarkan kedisiplinan dan dilaksanakan secara konsisten untuk
meningkatkan perilaku yang signifikan. Terapi ABA akan mendapatkan hasil
yang optimal apabila dilakukan sejak usia dini, intensif, konsisten dengan
melibatkan peran aktif orang tua dan terapis. Tujuan terapi ABA adalah
memberikan penguatan yang positif setiap kali anak merespon dengan benar
dan sesuai dengan instruksi yang diberikan.
Data yang didapat dari SLB di Kota Padang, Survey awal yang
dilakukan peneliti di SLBN 2 Kota Padang pada tanggal 20 April 2022
terdapat 12 orang siswa yang mengalami Autis dengan melakukan wawancara
dengan 3 orang siswa Autis, 2 orang anak ketika dipanggi tidak merespon
atau mengabaikan, 1 orang ketika berkomunikasi tidak adanya kontak mata
dan sibuk dengan dunianya sendiri, di SLBN 2 Kota Padang belum pernah
mendapatkan Terapi ABA. Survey awal yang dilakukan di SLB YPPA
Padang pada tanggal 22 Juli 2022 terdapat 40 orang siswa Autis dengan
melakukan wawancara pada 3 orang anak ketika dipanggil tidak merespon
atau mengabaikan, dan 2 orang siswa ketika dipanggil merespon dan
berinteraksi tidak adanya kontak mata, sibuk dengan dirinya, menghindari
kontak mata dengan orang lain, suka menyendiri, jarang tersenyum di SLB
YPPA sudah menerapkan terapi ABA.
Berdasarkan fenomena diatas, peneliti telah melakukan penelitian
tentang “Pengaruh Terapi ABA Terhadap Interaksi Sosial Pada Anak Autis di
Sekolah Luar Biasa Kota Padang Tahun 2022”.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada peneliti ini yaitu melihat “Apakah ada
Pengaruh Terapi ABA Terhadap Interaksi Sosial Pada Anak Autis di Sekolah
Luar Biasa Kota Padang Tahun 2022?
5

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui Pengaruh Terapi ABA Terhadap Interaksi Sosial Pada
Anak Autis di Sekolah Luar Biasa Autisma YPPA Kota Padang.
2. Tujuan Khusus
a. Diketahui rata-rata tingkat interaksi sosial anak autis sebelum
diberikan terapi ABA di Sekolah Luar Biasa Autisma YPPA Kota
Padang.
b. Diketahui rata-rata tingkat interaksi sosial anak autis sesudah
diberikan terapi ABA di Sekolah Luar Biasa Autisma YPPA Kota
Padang.
c. Diketahui Pengaruh Terapi ABA Terhadap Interaksi Sosial Pada
Anak Autis Di Sekolah Luar Biasa Autisma YPPA Kota Padang.
D. Manfaat Penelitian
1. Kepala Sekolah Luar Biasa Autisma YPPA Kota Padang
Penelitian ini dapat digunakan sebagai materi pada Terapi ABA
yang telah ada, yaitu menambahkan media kartu bergambar untuk
meningkatkan Interaksi Sosial di Sekolah Luar Biasa Autisma YPPA
Kota Padang
2. Bagi Institusi Pendidikan STIKes Indonesia Padang
Penelitian ini dapat memberikan manfaat dan tambahan informasi
awal tentang Pengaruh Terapi ABA (Applied Behaviour Analysis)
Terhadap Interaksi Sosial Pada Anak Autis di Sekolah Luar Biasa
Autisma YPPA Kota Padang
3. Bagi Peneliti
Penelitian ini diharapkan menambah pengetahuan dan pengalaman
peneliti khususnya mengenai konsep atau metode penelitian tentang
Pengaruh Terapi ABA (Applied Behaviour Analysis) Terhadap Interaksi
Sosial Pada Anak Autis di Sekolah Luar Biasa Autisma YPPA Kota
Padang
6

4. Bagi Peneliti Selanjutnya


Sebagai bahan perbandingan dan data dasar bagi penelitian
selanjutnya untuk melakukan penelitian dengan masalah yang sama
dengan variabel yang berbeda.
E. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian adalah Pengaruh Terapi ABA (Applied
Behaviour Analysis) Terhadap Interaksi Sosial Pada Anak Autis di Sekolah
Luar Biasa Autisma YPPA Kota Padang. Adapun variabel dependen adalah
Interaksi Sosial dan variabel independen adalah Terapi ABA.
7

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Autis
1. Pengertian Autis
Autisme merupakan salah satu jenis ABK yang berpengaruh
terhadap kehidupan anak. Perkembangan sosial, komunikasi, merupakan
gangguan yang paling utama, sama seperti individual yang normal,
kelainan pada intelegensi verbal atau bahasa dan kesulitan dalam
mengaktualisasikan tingkah laku secara menetap, keinginan, kesenangan
dan rutinitas (Angayasti, 2012).
Kata autis berasal dari bahasa Yunani terdiri dari dua kata yakni
auto (diri sendiri) dan isme (keadaan) .jika diperhatikan secara
seksama,kesannya penyandang autis hidup dalam dunia nya senidiri.
Istilah autisme pertama kali deperkenalkan Leo Kanner, seorang psikiater
dari Hardvard pada tahun 1943 (Winarno, 2013). Selanjutnya ia juga
memakai istilah “Early Infantile Autism”, atau dalam bahasa
indonesianya diterjemahkan sebagai “Autisme masa kanak-kanak”, hal
ini untuk membedakan dari orang dewasa yang menunjukan gejala
autisme seperti ini.
Menurut Prasetyono (2013) autis adalah gangguan perkembangan
khususnya terjadi pada masa anak-anak yang membuat seseorang tidak
mampu mengadakan interaksi sosial dan seolah-olah hidup dalam
dunianya sendiri. Anak-anak penderita autisme tidak memiliki
kemampuan untuk menjalin hubungan persahabatan, menunjukan rasa
empati,serta memahami apa yang diharapakan oleh orang laindalam
beragam situasi sosial (Maulana, 2014). Gangguan perkembangan adalah
apabila terjadi keterlambatan atau penyimpangan perkembangan dan
untuk gejala autis biasanya ditandai dengan adanya distorsi
perkembnagan fungsi psikologis secara majemuk yang meliputi,
perkembangan keterampilan, sosial dan berbahasa, seperti

7
8

perhatian,persepsi daya nilai, dan gerakan-gerakan motorik


(Suteja&Wulandari, 2013).
Menurut Sastra (2012) autisme adalah gangguan perkembangan
otak pada anak yang hakikat tidak dapat berkomunikasi dan tidak dapat
mengekspresikan perasaan dan keinginannya. Menurut Sudrajat dan
Rosida (2013) Autisme adalah gangguan perkembangan yang luas dan
berta yang gejalanya dimulai tampak pada anak sebelum mencapai usia
3 tahun. Secara umum penyandang autisme dapat dikelompokan menurut
adanya gangguan perilaku yaitu gangguan interaksi sosial, gangguan
emosi, gangguan komunikasi, gangguan perilaku motorik, dan gangguan
sensori.
Autisme adalah satu set kondisi perkembangan saraf yang
heterogen, yang dicirikan oleh perbedaan awal dalam komunikasi sosial
dan perilaku dan minat berulang yang sangat terbatas.prevalensi populasi
diseluruh dunia adalah sekitar 1% autisme lebih banyak terjadi pada pria
daripada wanita, dan komordibitas umum (> 70% memiliki kondisi
bersamaan). Individu dengan autisme memiliki profil kognitif atipikal,
seperti gangguan kognisi sosial dan persepsi sosial, disfungsi eksekutif,
dan persepsi atipikal dan pengolahan informasi. Profil-profil ini
didukung oleh pengembangan saraf atipikal pada tingkat sistem.
Genetikan memiliki peran kunci dalam etiologi autisme, bersama dengan
faktor lingkungan awal perkembangan (Lai, Lombardo, & Cohen,
2014).
Autis adalah gangguan yang terjadi sejak lahir ataupun saat
balita,yang membuat anak tidak dapat membentuk hubungan, menutup
diri secara total dan tidak mau berhubungan dengan dunia luar. Autisme
pada anak dapat dikenali sejak anak berusia 3 tahun ketidak mampuan
untuk berinteraksi dengan orang lain, gangguan berbahasa yang
ditunjukan dengan pengusaan bahasa yang tertunda, ecolalia
(pengulangan kalimat), mutism (ketidak mampuan /penolakan untuk
berbicara), pembalikan kalimat, adanya aktivitas bermain yang repetitive
(menimbulkan masalah nyeri) dan streotip (menimbulkan
9

prasangka/kecurigaan), rute ingatan yang kuat, keinginan yang obsesif


(keinginan kuat yang ingin dicapai) untuk mempertahankan keteraturan
didalam lingkungan (Noor, Indriati, & Elita, 2014).
2. Penyebab Terjadinya Autis
Secara spesifik faktor penyebab autis belum ditemukan secara
pasti, namun beberapa peneliti menggungkapkan bahwa penyebab
autisme yaitu faktor genetika, metabolik dan gangguan sraf pusat, infeksi
pada ibu hamil, gangguan pencernaan hingga keracunan (Yuwono,
2012).
a. Faktor Genetika
Gejala autis pada anak disebabkan oleh faktor keturunan.
Banyak manusia mengalami mutasu genetik yang bisa terjadi karena
cara hidup yang semakin moden (penggunaan zat kimia dalm
kehidupan sehari-hari), faktor udara yang semakin terpopulasi).
Namun kejadian autisme bisa muncul jika naka membawa kombinasi
banyak gen. Pada saat dalam kandungan ketika sampel darah janin
diambil dan dianalisis, anak autis mengalami peningkatan protein
dalam darah, yaitu tiga kali lebih tinggi dibandingkan dengan anak
normal (Winarno, 2013).
b. Faktor Prenatal
Prenatal adalah masa anak sebelum akan dilahirkan atau
selama anak dalam kandungan,penyebabnya antara lain, pada saat ib
mengandung menderita penyakit infeksi misalnya campak,
influenza, TBC, panas yang sangat tinggi dan lain sebagainya. Pada
waktu ibu mengandung terlalu banyak minum obat-obatan tanpa
resep dokter, keracunan selama ibu mengandung, ketika ibu
mengandung jatuh sedemikian rupa sehingga janin menderita sakit
otak, penyebab cacat mental pada masa prenatal ini juga bisa karena
penyiaran radiasi dengan sinar rontgen dan juga radiasi atom.
10

c. Faktor natal
Masa natal (masa kelahiran) sebab cacat mental pada saat
lahir disebabkan ketika pada saat lahir, proses kelahirannya terlalu
lama, akibatnya otaknya kurang oksigen dan sel-sel dalam otak akan
mengalami kerusakan,penyebab cacat mental pada masa ini juga bisa
karena lahir sebelum waktu atau bisa prematur
d. Faktor post natal
Post natal (setelah lahir) penyebab cacat pada masa ini
disebabkan adanya gangguan diotak. Anak menderita avitaminosis,
sakit yang lama pada masa anak-anak.
e. Faktor neurobiologis
Gangguan neurobiologis pada gangguan saraf pusat (otak)
biasanya gangguan ini terjadi pada pada tiga bulan pertama masa
kehamilan, bila pertumbuhan sel-sel otak dibeberapa tempat tidak
sempurna.
3. Tanda dan Gejala Anak Autis
Autisme (Autism Spectrum Disorder) merupaka suatu gangguan
perkembangan otak yang mempersulit penyandangnya dalam
berkomunikasi atau berinteraksi dengan orang lain, terdapat gejala
umum yang dapat ditemukan pada semua orang yang dibawah spectrum
autisme namun tingkat keparahan dari gejala ini berbeda-beda
a. Kurangnya keterampilan sosial
Mayoritas penyandang autis memiliki kecenderungan untuk
tidak merasa nyaman dikeramaian, tidak merespon ketika dipanggil
namanya, memiliki kesulitan untuk memahami perasaan orang lain.
b. Kesulitan dalam berkomunikasi
Penyandang autisme sering kali mengalami kesulitan
memahami apa yang dikatakan orang lain,terutama jika diberi
guyonan, lelucon. Bahkan, 40% dari anak-anak penyandang autisme
tidak berbicara sama sekali saat kecil,penyandang autisme juga
memiliki kecenderungan untuk melakukan tindakan repetitif seperti
mengayunkan tangan,atau mengatakan hal yang sama berulang kali
11

4. Ciri-ciri Anak autis


Ciri-ciri anak autis yang dapat diamati dalam lingkungan sehari-
hari adalah:
a. Perilaku
1) Cuek terhadap lingkungan
2) Perilaku tak terarah: mondar-mandir, lari-lari, memanjat-manjat,
berputar-putar, lompat-lompat sebagainya
3) Kelekatan terhadap benda tertentu
4) Perilaku tak terarah
5) Terpukau terhadap benda yang berputar atau benda yang
bergerak (Yuwono, 2012)
b. Interaksi sosial
1) Tidak mau menjalin interaksi seperti: kontak mata, ekspresi
muka, posisi tubuh serta gerak gerik kurang setuju
2) Kesulitan dalam bermain dengan orang lain ataupun teman
sebayanya
3) Tidak empati, perilakuny hanya sebagai minat atau kesenangan
4) Kurang bisa melakukan interaksi sosial dan emosional 2 arah
c. Komunikasi dan bahasa
1) Terlambat bicara
2) Tidak ada usaha untuk berkomunikasi secara non verbal dengan
bahasa tubuh
3) Meracau dengan bahsa yang tidak dapat dipahami
4) Membeo
5) Tidak memahami pembicaraan orang lain
5. Tiga Level Penyandang Autisme
a. Autisme ringan
Gejala-gejala yang timbul bagi penyandang autisme ini,
walaupun akan mempersulit mereka bersosialisasi, secara garis
besar autisme ringan tidak akan mengganggu kehidupannya sehari-
hari.
12

b. Autisme sedang
Penyandang autisme sedang pada tingkat ini akan mengalami
kesulitan yang lebih besar ketika berkomunikasi dengan orang lain,
selain itu autisme ini tidak menunjukan kontak mata dan tidak bisa
mengekspresikan emosinya melalui intonasi suara maupun wajah
layaknya orang lain.
c. Autisme berat
Penyandang autisme ini sangat sulit menjalani kehidupannya
secara mandiri dan bersifat kyrang sensitif atau terkadang sangat
sensitif terhadap stimulus dari luar seperti suara.
Secara kuantitas dan kualitas, ciri-ciri yang ditunjukan anak
autis berbeda-beda.ciri-ciri yang muncul pada anak autis yaitu,
a. Gangguan pada komunikasi verbal dan nonverbal, seperti
terlambat bicara atau tidak dapat berbicara sama sekali,
mengeluarkan kata-kata yang tidak dapat dimengerti oleh
orang lain.disamping itu, dalam berbicara tidak digunakan
untuk komunikasi tapi hanya meniru atau membeo bahkan
beberapa anak snagat pandai pandai menirukan beberapa
nyanyian maupu kata-kata tanpa mengerti artinya, kadang
bicara monoto seperti robot, mimik mukanya datar, dan bila
mendengar suara yang disukainya akan bereaksi dengan cepat.
b. Gangguan pada bidang interaksi sosial, yaitu anak menolak
atau menghindar untuk bertatap muka,anak mengalami
ketulian, merasa tidak senang dan menolak bila dipeluk, tidak
ada usaha melakukan interaksi dengan orang sekitarnya.
c. Gangguan pada perilaku dan bermain,seperti tidak mengerti
secara bermain, bermain sangat monoton dan melakukan
gerakan yang sama berulanng-ulang, jika sudah senang satu
mainan tidak mau mainan lain dan cara bermainnya
13

Menurut Mujiyanti (2012), ada banyak tingkah laku yang


tercakup dalam anak autis dan ada 4 gejala yang selalu muncul
yaitu:
a. Isolasi sosial
Banyak anak autis yang menarik diri dari kontak sosial
kedalam suatu keadaan yang disebut extreme autistic alones. Hal
ini akan semakin terlihat pada anak yang lebih besar, dan ia akan
bertingkah laku seakan-akan orang lain tidak ada
b. Kelemahan kognitif
Anak autis sebagian besar (70%) mengalami retardasi mental
(IQ<70) disebut dengan anak autis dengan tuna gharita tetapi
anak autis inferti tidak sedikit lebih baik, contohnya dalam hal
yangt berkaitan dengan hal sensor motorik. Anak autis dapat
meningkatkan hubungan sosial dengan temannya, tetapi hal itu
tidak berpengaruh terhadap retardasi mental yang dialaminya
c. Kekurangan dalam bahasa
Lebih dari setengah autis tidak dapat berbicara, yang
lainnya hanya mengoceh, merengek, atau menunjukan eccolia,
yaitu menirukan apa yang dikatakan orang lain . beberapa anak
autis mengulang potongan lagu, iklan tv atau potongan kata yang
terdengar tanpa tujuan. Beberapa anak autis menggunakan kata
ganti dengan cara yang aneh.
6. Karakteristik Autisme
Menurut Kosasih (2012) anak yang mengalami autisme
setidaknya memiliki enam karakteristik yakni sebagai berikut:
a. Masalah dibidang komunikasi
1) Kata yang digunakan terkadang tidak sesuai artinya
2) Mengoceh tanpa arti secara berulang-ulang
3) Bicara tidak dipakai untuk berkomunikasi
4) Senang meniru kata-kata atau lagu tanpa mengetahui apa
artinya
14

5) Senang menarik-narik tangan orang lain untuk melakukan apa


yang di inginkan
6) Sebagian anak autis tidak berbicara atau sedikit berbicara
b. Masalah di bidang interaksi sosial
1) Suka menyendiri
2) Menghindari kontak mata
3) Tidak tertarik untuk bermain bersama
4) Menolak atau menjauh bila diajak bermain
c. Masalah dibidang sensori
1) Tidak peka terhadap sentuhan
2) Tidak peka terhadap rasa sakit
3) Langsung menutup telinga bila mendengar suara keras
d. Masalah dibidang pola bermain
1) Tidak bermain seperti anak lain pada umunya
2) Tidak bermain sesuai fungsi mainan
3) Sangat lekat dengan benda-benda tertentu
4) Tidak memiliki kreatifitas dan imajinasi
e. Masalah dibidang perilaku
1) Dapat berperilaku berlebihan atau terlalu aktif, atau sebaliknya
2) Melakukan gerakan berulang-ulang
3) Tidak suka pada perubahan
4) Merangsang diri
B. Konsep Interaksi Sosial
1. Definisi Interaksi Sosial
Interaksi sosial adalah hubungan antar manusia dalam bentuk
tindakantindakan berdasarkan nilai-niai atau norma sosial yang berlaku
dimasyarakat yang menghasilkan suatu proses pengaruh mempengaruhi
dan hubungan tetap yang pada akhirnya memungkinkan pembentukan
struktur sosial (Sunaryo, 2004:266 dalam Agung, 2019).
15

2. Jenis Interaksi Sosial


Menurut Sunaryo (2004) dalam Agung (2019), yaitu:
a. Interaksi antara individu dan individu
Interaksi ini terjadi pada saat dua individu bertemu, baik
adanya tindakan maupun tanpa tindakan. Hal yang terpenting
adalah individu sadar bahwa ada pihak lain yang menimbulkan
perubahan pada diri individu tersebut yang dimungkinkan oleh
faktor–faktor tertentu, misalnya bunyi sepatu atau bau parfum
yang menyengat.
b. Interaksi antara individu dan kelompok
Bentuk interaksi ini terjadi antara individu dengan
kelompok. Individu memiliki kepentingan untuk berinteraksi
dengan kelompok tersebut.
c. Interaksi antara kelompok dan kelompok
Jenis interaksi ini saling berhadapan dalam bentuk
komunikasi namun bisa juga kepentingan individu didalamnya atau
dalam kelompok tersebut. Ini merupakan suatu kesatuan yang
berhubungan dengan kepentingan individu dalam kelompok yang
lain.
3. Bentuk Interaksi Sosial
Beberapa bentuk interaksi sosial (soekanto, 2004) dalam Agung (2019):
a. Kerja sama (kooperation)
Kerja sama adalah suatu usaha bersama antara individu
dengan individu lain atau kelompok untuk mencapai tujuan
bersama. Kerja sama timbul karena adanya kepentingan bersama.
Kerja sama merupakan salah satu bentuk interaksi sosial yang
utama. Bentuk-bentuk kerja sama yaitu:
1) kerja sama spontan, yaitu kerja sama yang timbulnya secara
spontan;
2) kerja sama langsung, yaitu kerja sama atas dasar perintah
penguasa atau atasan;
16

3) kerja sama kontrak, yaitu kerja sama karena ada kepentingan


atau tujuan tertentu;
4) kerja sama tradisional, yaitu kerja sama sebagai unsur sistem
sosial, misalnya tolong menolong dan gotong royong.
b. Akomodasi atau penyesuaian diri (accommodation)
Akomodasi merupakan usaha-usaha untuk meredakan
pertentangan dan mencapai kestabilan. Tujuan akomodasi adalah
untuk mengurangi pertentangan dan memungkinkan terjadinya
kerja sama.
c. Persaingan (competition)
Persaingan adalah proses sosial dimana individu atau
kelompok manusia saling bersaing, mencari keuntungan melalui
bidang kehidupan yang pada suatu masa tertentu menjadi pusat
perhatian umum dengan cara menarik perhatian publik. Fungsi
persaingan yaitu menyalurkan keinginan individu atau kelompok
yang bersifat kompetitif, mengadakan seleksi, menyaring golongan
fungsional, sebagai jalan agar keinginan, kepentingan dan nilai-
nilai tersalurkan dengan baik.
d. Pertentangan atau pertikaian (conflic)
Pertentangan atau pertikaian adalah proses sosial dimana
individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya
dengan jalan menantang pihak lawan yang disertai dengan
ancaman. Penyebab terjadinya pertentangan adalah perbedaan
antar individu, kepentingan, kebudayaan, dan perubahan sosial.
Pertentangan dapat mengakibatkan menurunnya solidaritas,
goyah atau retaknya persatuan kelompok, perubahan
kepribadian individu, akomodasi, dominasi dan takluknya salah
satu pihak.
17

4. Faktor yang Mempengaruhi Interaksi Sosial


Terdapat 4 faktor penting yang mendasar dalam interaksi
sosial (Sunaryo, 2004), yaitu:
a. Imitasi
Imitasi adalah proses belajar dengan cara meniru atau
mengikuti perilaku orang lain. Imitasi dapat mengarah kepada hal-
hal yang positif atau negatif. Imitasi yang positif akan mendorong
seseorang untuk mematuhi nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang
berlaku. Imitasi yang negatif mengakibatkan terjadinya
penyimpangan-penyimpangan dan melemahkan pengembangan
daya kreasi seseorang.
b. Identifikasi
Identifikasi adalah usaha seseorang untuk menerapkan
norma-norma, sikap, cita-cita atau pedoman-pedoman tingkah laku
dalam bermacam- macam situasi dari orang lain kedalam
kehidupannya. Identifikasi merupakan keinginan dalam diri
seseorang untuk menjadi sama dengan orang lain. Proses ini dapat
berlangsung dengan sengaja atau tanpa sengaja.
c. Simpati
Simpati adalah perasaan tertarik yang timbul dalam diri
seseorang dan membuatnya seolah-olah berada dalam keadaan
yang sama.
d. Sugesti
Sugesti adalah cara pemberian suatu pandangan atau
pengaruh oleh seseorang kepada orang lain dengan cara tertentu
sehingga orang tersebut mengikuti tanpa berpikir panjang.
5. Karakteristik Interaksi Sosial Anak Autis
a. Aloff artinya bersikap menyendiri
b. Menyendiri dan tidak peduli dalam sebagian besar situasi
(pengecualian: ada kebeutuhan yang terpenuhi
18

c. Interaksi terutama dengan orang dewasa dilakukan secara fisik


(mencolek atau eksplorasi fisik)
d. Minat ang rendah dalam kontak sosial
e. Kontak mata yang rendah
f. Kemungkinan ada perilaku repetiti dan streotip
Ciri yang khas pada anak autis ini adalah senantiasa berusaha
menarikdiri (menyendiri) dimana lebih banyak menghabiskan
waktunya sendiri daripada dengan orang lain, tampak sangat pendiam,
serta tidak merespon terhadap isyarat sosial atau ajakan untuk
berbicara dengan orang disekitarnya. Anak autis cenderung tiddak
termotivasi untuk memperluas lingkup perhatian mereka
6. Cara Mengukur Kemampuan Interaksi Sosial
Kemampuan interaksi sosial anak autis dapat diukur dengan
menggunakan check list dari Autism Treatment Evaluation Checklist
(ATEC), antara lain:
1. tidak merespon bila dipanggil;
2. mengabaikan orang lain;
3. perhatian kurang;
4. tidak kooperatif;
5. kontak mata kurang;
6. suka menyendiri;
7. tidak bisa menyapa orang lain;
8. menghindari kontak dengan orang lain;
9. tidak dapat meniru;
10. menolak untuk dipeluk;
11. tidak dapat berbagi;
12. tidak dapat mengalah;
13. temper tantrum;
14. jarang tersenyum;
15. tidak sensitif pada perasaan orang lain;
16. tidak tertarik pada mainan;
17. ekspresi muka kurang hidup;
19

18. gerak-gerik kurang tertuju;


19. menangis/tertawa tanpa sebab;
20. tidak bisa bermain dengan teman sebaya.

C. Metode ABA (APPLIED BEHAVIOR ANALYSIS)


ABA terdiri dari kata. Yaitu Applied berarti terapan, Behaviour yang
berarti perilaku, sedangkan Analysis artinya mengurai atau memecah
menjadi bagian-bagian kecil kemudian mempelajari bagian-bagian tersebut
secara tersendiri serta hubungannya satu sama lain kemudian memodifikasi
dimana perlu. Menurut Rudy dan Liza (2015) Apllied Behaviour Analysis
(ABA). Adalah merupakan ilmu terapan yang menggunakan prosedur
perubahan perilakuagar menguasai berbagai kemampuan dengan ukuran
standar yang ada dimasyarakat.
Metode ABA dikembangakan oleh Ivar O Lovaas seorang profesor
dibidang psikolog dari universitas California Los Angles, Amerika Serikat.
Menurut Rini Hildayani (2009, dalam Haryana, 2012) ABA adalah salah
satu metode modifikasi tingkah laku (Behaviour Modification) yang
digunakan untuk mengatasi anak-anak penyandang autism.
Metode ABA dipilih sebagai teknik dalam mengembangkan bahasa
anak berdasarkan pertimbangan bahwa:
1. Komunikasi dua arah yang aktif
2. Sosialisasi kedalam lingkungan yang umum
3. Menghilangkan atau meminimalkan perilaku yang tidak wajar
4. Mengajarkan perilaku yang akademik
5. Kemampuan bantu diri atau bina diri dan keterampilan lain.
1. Pengertian metode Applied Behaviour Analysis (ABA)
Applied Behaviour Analysis (ABA) dapat didefinisikan sebagai
ilmu yang yang menerapkan prinsip-prinsip dari teori perilaku
yangbertujuan untuk mengubah, memperbaiki, dan meningkatkan
perilaku spesifik menjadi perilaku yang diterima secara sosial (Marlina,
2013). Saat ini pada ABA juga diajarkan dibawah ilmu pendidikan
karena berkembang sebagai metode pengajaran anak dengan autisme.
20

Tujuan dari ABA adalah untuk meningkatkan behaviour yang


diinginkan dan mengurangi Problem Behaviour (Rury Soeriawinata,
2018).
Metode ABA adalah jenis terapi yang telah lama dipakai, telah
dilakukan penelitian dan didesain khusus untuk anak dengan autisme.
System yang dipakai adalah memberi pelatihan khusu pada anak
dengan memberikan positif reinforcement (hadiah/pujian). ABA
didefinisikan sebagai ilmu yang menerapkan prinsip-prinsip sistematis
untuk meningkatkan perilaku yang signifikan secara sosial dan
menggunakan eksperimentasi untuk mengidentifikasi variabel-variabel
yang bertanggung jawab terhadap perubahan perilaku (Marlina, 2013)
Metode ABA sudah ada sejak puluhan tahun yang lalu akan tetapi
tak seorangpun yang mengklain sebagai penemuannya. Sekitar 15 tahun
yang lalu, seorang pakar terapi perilaku yang bernama Ivar O. Lovaas
dari University of California at Los Angeles (UCLA) Amerika Serikat
(AS), menerapkan metode ABA kepada anak-anak autis hasilnya sangat
menakjubkan. Autisme pada masa anak-anak yang semula sangat
mustahil disembuhkan, ternyata berhasil dengan menggunakan metode
ini, sehingga si pasien mampu memasuki sekolah formal (Handojo,
2012)
Metode ABA adalah metode yang sangat terstruktu dan mudah
diukur hasilnya, karena metode ABA memiliki teknik, tahapan-tahapan
yang jelas dalam penerapannya juga memiliki cara tersendiri dalam
menentukan hasil evaluasi. Selain untuk penyandang autis, metode ini
juga baik jika diterapkan kepada anak-anak dengan kelainan perilaku
lainnya bahkan anak normal sekalipun, karena tata laksana metode
ABA yang tegas dan tanpa kekerasan. Metode ABA sangat dibutuhkan
anak dengan Speech Delay yang kesulitan untuk menyesuaikan diri
dengan lingkungan sosialnya. Mengingat metode ABA mengajarkan
perilau dasar yang memberikan stimulasi sensoris dan motoris yang
cukup, tuntas, konsiten, dan berkelanjutan (Mardiah, 2019).
21

2. Tujuan Metode ABA


Metode ABA memeiliki beberapa tujuan untuk anak dengan
kebutuhan khusus, antara lain (Haryana, 2012).
a. Untuk meningkatkan perilaku. Prasedur reinforcment atau
pemberian hadiah meningkatkan perilaku untuk menegerjakan
tugas, atau interaksi sosial
b. Untuk mengajarkan keterampilan baru. Intruksi sistematis dan
prosedur reinforcement mengajarkan keterampilan hidup
fungsional, keterampilan komunikasi atau keterampilan sosial
c. Untuk mempertahankan perilaku. Mengajarkan pengendalian diri
dan prosedurr pemantauan diri dan menggeneralisasikan pekerjaan
yang berkaitan dengan keterampilan sosial
d. Untuk mengeneralisasi atau mentransfer perilaku atau respon dari
suatu situasi ke situasi lain (misal selain dapat meneyelesaikan
tugas di ruang terapi anak juga dapat mengerjakan diruang kelas)
e. Untuk membatasi atau kondisi sempit dimana perilaku pengganggu
terjadi dengan memodifikasi lingkungan belajar
3. Kelebihan Metode ABA
Menurut Haryana (2012) ada kelebihan metode ABA yang tidak
dimilki dimetode lain yakni sebgai berikut:
a. Terstruktur yakni pengajaran menggunaan teknik yang jelas
b. Terarah yakni ada kurikulum jelas untuk membantu dan
mengarahkan terapi
c. Terukur yakni dengan berbagai cara terantung kebutuhan sehingga
kalau orangtua, guru, dan terapis menggunakan pelatihan yang
sama dan latihan sama, dapat meningkatkan kenyamanan dan
belajar untuk anak, menawarkan kesempatan terbaik bagi kemajuan
dan kesuksesan
22

4. Pengaruh ABA terhadap Interaksi Sosial Anak Autis


Applied Behaviour Analysis (ABA) adalah ilmu tentang perilaku
terapan, untuk mengajarkan dan melatih seseorang agar menguasai
berbagai kemampuan yang sesuai dengan standar dalam masyarakat
(Kresno dan Rudy, 2014). Tujuan dari metode ini adalah untuk
meningkatkan perilaku, mengajarkan keterampilan baru,
mempertahankan perilaku, mengeneralisasi atau mentransfer perilaku,
membatasi kondisi sempit dimana perilaku pengganggu terjadi dan
mengurangi perlaku pengganggu.
Metode ABA representative bagi penggulangan anak
berkebutuhan khusu karena memeliki prinsip yang terukur, terarah, dan
sistematis, sehingga dapat meningkatkan keterampilan motorik, motorik
kasar, komunikasi, dan kemampuan bersosialisasi (Haryana, 2012).
Metode terapi ABA dapat meningkatkan kemampuan bersosialisasi
karena dalam terapi ini mengajarkan aktivitas yang mampu melatih
kemampuan sosialisasi, akademik, bahasa, IQ, dan perilaku adaptif.
Metode ini mengajarakan anak mulai dari materi mengikuti tugas,
kemampuan imitasi, kemampuan kognitif, kemampuan bahasa reseptif,
kemampuan bahasa ekspresif, kemampuan akademik dan
kemamndirian serta bersosialisasi
5. Prinsip dasar Metode ABA
Prinsip dasar metode ABA merupakan cara pendekatan dan
penyampaian materi kepada anak yang harus dilakukan (Handjono,
2012) melalui:
a. Kehangantan yang berdasarkan kasih sayang yang tulus untuk
menjaga kontak mata yang lama dan konsisten
b. Tegas, yaitu instruksi yang diberikan terapi tidak boleh ditawar oleh
anak
c. Tanpa kekerasan yaitu terapis tidak boleh semena-mena, harus
menyayangi anak namun tidak boleh memanjakan
23

d. Adanya prompt (bantuan atau arahan) yang diberikan secara tegas


tapi lembut
e. Apresiasi anak dengan reinforcement (imbalan) yang efektif untuk
meningkatkan motivasi anak. Imbalan dapat berupa imbalan taktil
yaitu pelukan, ciuman, tepukan, dan elusan. Imbalan verbal juga
dapat diberikan bersama-sama yaitu bagus, pandai, pintar dan
sebagiannya.
24

D. SOP

Tabel 2.1
SOP
FIKES UNMUH
TERAPI BERMAIN
JEMBER
PROSEDUR NO DOKUMEN : NO REVISI : Halaman
TETAP TANGGAL TERBIT : DITETAPKAN OLEH :
1 PENGERTIAN Aktivitas bermain yang dilakukan pada anak yang
sakit dan dirawat di rumah sakit untuk memfasilitasi
tumbang anak
2 TUJUAN 1. Ekspresi perasaan takut, cemas, sedih, dan tegang
2. Distraksi dari rasa nyeri
3. Relaksasi
4. Memfasilitasi ide dan kreatifitas
5. Alat komunikasi yang efektif
6. Memulihkan perasaan mandiri anak
7. Memberi rasa senang
3 INDIKASI 1. Vital sign stabil 24 jam terakhir untuk terapi
bermain aktif
2. Tidak mengantuk
3. Tidak merasa lapar
4. Anak yang akan menghadapi operasi
5. Anak yang akan menghadapi prosedur diagnostik
6. Dilakukan secara rutin (individu/kelompok)
4 KEBIJAKAN 1. Tidak boleh bertentangan dengan terapi dan
perawatan
2. Tidak membutuhkan banyak energi
3. Harus mempertimbangkan keamanan anak
4. Melibatkan orangtua
5. Tenaga perawat (nurse play spesialist ) dan ruang
khusus bermain ada.
6. Kelompok umur sama
7. Alat permainan beresiko kecil terhadap infeksi
silang
8. Pemisahan penyakit menular dan tidak menular
5 PERSIAPAN 1. Memberitahu anak dan atau keluarga
PASIEN 2. Pemilihan pasien berdasarkan umur, penyakit, dan
keadaan umum terakhir
3. Mempersilahkan anak dan orang tua hadir di ruang
bermain
4. Bila tidak ada ruang khusus maka anak dan orang
tua disiapkan di tempat tidur anak
25

6 PERSIAPAN 1. Lembar Observasi


ALAT 2. Catatan kemajuan anak
3. Alat permaian untuk mengekspresikan perasaan:
alat tulis, crayon, kertas gambar, white board,
spidol white board, musik.
4. Alat permainan untuk distraksi: Game watch,
pancing-pancingan, boneka, balon warna-warni,
gambar tokoh anak-anak dalam ukuran besar, buku
cerita
5. Alat permainan untuk relaksasi: musik yang
lembut, bermain irama pernafasan, nonton TV
6. Alat untuk mengembangkan ide dan kreativitas:
plastisin, bongkar pasang, puzzle, balok-balok
berpasangan, menara kubus, menara warna, kertas
lipat
7. Alat permainan untuk memfasilitasi komunikasi:
boneka tangan, alat-alat rumah tangga, aneka
macam permainan buah-buahan, aneka macam
model sayur-sayuran, aneka macam lauk-pauk
8. Alat permainan menumbuhkan perasaan mandiri:
gunting kertas, lem, tempat menempel.
9. Alat permainan untuk menumbuhkan rasa senang:
menyanyikan lagu-lagu anak, balon berbunyi,
mainan berputar, mainan menimbulkan bunyi.
10. Bermain kata-kata, kartu
7 CARA 1. Melakukan klasifikasi anak yang sesuai indikasi
BEKERJA dan umur
2. Menetapkan tujuan bermain
3. Menyiapkan Alat permainan yang sesuai
4. Menentukan tempat bermain (di tempat tidur/
ruang bermain)
5. Mencuci tangan
6. Mempersilahkan anak dan orang tua untuk cuci
tangan
7. Memperkenalkan diri
8. Menanyakan identitas anak/dapat juga melalui
ibu
9. Menanyakan perasaan anak saat itu
10. Menanyakan jenis permainan yang diinginkan
anak
11. Menyampaikan tujuan permainan
12. Menyampaikan aturan permainan
13. Melakukan klarifikasi terhadap penjelasan yang
diberikan
14. Menanyakan pada anak mungkin ada ide
permainan yang lebih menarik
15. Melakukan aktivitas bermain yang sesuai dengan
26

16. Mengobservasi dan mencatat reaksi anak, bila


anak kelelahan hentikan permainan
17. Evaluasi secara menyeluruh dengan cara
membandingkan antara pelaksanaan bermain
dengan tujuan yang ditetapkan
18. Menanyakan perasaan anak setelah melakukan
aktifitas bermain
19. Memberikan pujian pada anak
20. Menjadikan hasil kreasi anak menjadi kenang-
kenangan atau dekorasi ruangan
21. Menutup permainan dengan:
a menyampaikan hasil kegiatan
b rencana kegiatan yang akan dikerjakan
setelah anak bermain
22. Mempersilahkan anak cuci tangan dan kembali
ke ruangan, atau mengembalikan anak dalam
posisi yang menyenangkan
23. Membuat pencatatan kegiatan terapi bermain
yang meliputi
a Hari, dan Tanggal
b Jam
c Jenis permainan
d Peserta/pasien yang mengikuti terapi bermain
e Pelaksanaan terapi bermain
f Hambatan yang terjadi dan solusi yang
dilakukan
24. Merapikan alat dan tempat
25. Mencuci tangan
8 REFERENSI 1. Supartini, Y. 2004, Buku Ajar Konsep Dasar
Keperawatan Anak, EGC, Jakarta.
2. Wong. D. L., 2004, Pedoman Klinis Keperawatan
Pediatrik, EGC, Jakarta
3. Soetjiningsih,1995, Tumbuh Kembang Anak,
EGC, Jakarta
27

E. Kerangka Teori

Anak Autis

Penyebab : Tanda dan Gejala


1. Faktor Genetika 1. Tidak merespon ketika dipanggil
2. Faktor Prenatal 2. Kontak mata kurang
3. Faktor Natal 3. Sibuk dengan dunia sendiri
4. Faktor Post Natal 4. Menangis/ tertawa tanpa sebab
5. Faktor Neurologis

Gangguan perkembangan anak autis:


1. Komunikasi dan bahasa
2. Interaksi Sosial
3. Perilaku

Interaksi Sosial
1. bermain dengan teman sebaya
2. Asik dengan diri sendiri
3. tidak ada kontak mata

Metode Applied
Behaviour Analysis
(ABA)

Peningkatan
Kemampuan Interksi
Sosial

Gambar 2.2
Kerangka Teori
Jannah, Miftakhul (2016).
28
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Desain penelitian
Jenis penelitian ini menggunakan desain quasi-eksperimen design
dengan pendekatan pretest posttest one only group design (Notoadmojo,
2016). Desain penelitian yang melakukan observasi (pengukuran).
Rancangan penelitian tersebut adalah sebagai berikut:
Tabel 3.1
Rancangan penelitian
Subjek Pretest Perlakuan Posttest

K1 01 X 02

Keterangan:
K1 : Responden
01 : Pengukuran tingkat interaksi sosial bicara anak autis sebelum
diberikan perlakuan terapi
02 : Pengukuran tingkat interaksi sosial bicara anak autis sesudah
diberikan perlakuan terapi
X : Terapi Perilaku

B. Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitan ini dimulai Februari sampai September 2022.
Dilaksanakan di Sekolah Luar Biasa Autisma YPPA Kota Padang.
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang
diteliti (Notoatmodjo, 2012). Populasi dalam penelitian ini adalah
seluruh anak autis yang bersekolah di Sekolah Luar Biasa Autisma
YPPA terbanyak 40 orang.

28
29

2. Sampel
Sampel adalah sebagian dari keseluruhan objek penelitian yang
diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Nursalam,2015).
Menurut Sugiyono (2012) untuk penelitian eksperimen sederhana
jumlah anggota sampel adalah 10-20 orang. Teknik pengambilan
sampel dalam penelitian ini adalah teknik purposive sampling.
Purposive sampling adalah pengambilan anggota peneliti sampel dari
populasi dilakukan berdasarkan penilaian peneliti bahwa dia adalah
pihak yang paling baik untuk dijadikan sampel penelitian. Hal ini
dilakukan karena jumlah populasi relatif kecil dan karakteristik
responden yang homogen dengan kondisi autis yang usia relatif sama
(usia sekolah).
Jumlah sampel yang digunakan adalah berjumlah 10 orang
autis , dilihat dari pengambilan data awal serta pengamatan langsung
atau observasi mengenai berdasarkan usia.
a. Kriteria inklusi
1) Siswa-siswa autis di Sekolah Luar Biasa Autisma YPPA
Padang
2) Siswa Autis berusia 6-12 tahun
b. Kriteria eksklusi
1) Tidak hadir disekolah
D. Alat, Bahan dan Prosedur Kerja
1. Alat yang digunakan
a. Kartu gambar ukuran 10X15 cm, gambar kendaraan (Sisiliana,
2012)
2. Bahan yang digunakan
a. Lembar Observasi
3. Prosedur Kerja
a. Hari pertama
1) peneliti duduk berhadapan dengan anak
2) Terapis memanggil nama anak beserta pancingan berupa hadiah
kecil yang dipegang setinggi mata peneliti
30

3) Segera berikan bantuan penguatan kontak mata dengan cara


memegang pipi anak
4) Lalu memperkenalkan diri peneliti kepada anak
5) Memcoba bertanya kembali kepada anak untuk mengulang
kembali nama peneliti
6) Berikan pujian kepada anak
7) Instruksikan anak untuk memperkenalkan diri dan melakukan
jabat tagan: nama, tempat tinggal, hobi, dan cita-cita, dll
8) Berikan pujian kepada anak
b. Hari kedua
1) Memberikan anak posisi dengan nyaman
2) Bertanya kembali kepada anak nama peneliti
3) Memulai permainan dengan metode kartu gambar dipandu
peneliti
4) Peneliti mulai memperkenalkan kartu gambar yang akan
digunakan selama permainan dengan dibacakan dan
diperlihatkan kepada responden
5) Letakan gambar-gambar pada meja didepan anak
6) Berikan perintah pegang atau ambil pada anak
7) Berikan promt kepada anak
8) Berikan reinforcement kepada anak : hebat
9) Instruksikan anak mengambil gambar disebutkan peneliti
c. Fase terminasi
1) Evaluasi subjektif
2) Evaluasi objektif
3) Tetapkan rencana tindak lanjut
4) Kontrak topik, waktu dan tempat berikutnya
31

MINGGU PERTAMA
Tabel 3.2
Jadwal Kegiatan
HARI NAMA ANAK WAKTU KEGIATAN

Senin Anak 1-10 08.00-09.00 Pretest

Senin Anak 1 09.00-09.20

Anak 2 09.20-09.40 Memperkenalkan diri


antara anak dan peneliti
Anak 3 09.40-10.00

Anak 4 10.00-10.20

Anak 5 10.20-10.40

10.40-11.00 Istirahat

Anak 6 11.00-11.20

Anak 7 11.20-11.40 Memperkenalkan diri


antara anak dan peneliti
Anak 8 11.40-12.00

Anak 9 12.00-12.20

Anak 10 12.20-12.40

Selasa Anak 1 8.00-8.20

Anak 2 8.20-8.40 Mengajak anak bermain


kartu gambar
Anak 3 8.40-09.00

Anak 4 09.00-09.20

Anak 5 09.20-09.40

09.40-10.00 istirahat

Anak 6 10.00-10.20

Anak 7 10.20-10.40

Anak 8 10.40-11.00 Mengajak anak bermain


kartu gambar
Anak 9 11.00-11.20
32

Anak 10 11.20-11.40

Rabu Anak 1 8.00-8.20

Anak 2 8.20-8.40 Mengajak anak bermain


kartu gambar
Anak 3 8.40-09.00

Anak 4 09.00-09.20

Anak 5 09.20-09.40

09.40-10.00 Istirahat

Anak 6 10.00-10.20

Anak 7 10.20-10.40 Mengajak anak bermain


kartu gambar
Anak 8 10.40-11.00

Anak 9 11.00-11.20

Anak 10 11.20-11.40

Kamis Anak 1 8.00-8.20

Anak 2 8.20-8.40 Mengajak anak bermain


kartu gambar
Anak 3 8.40-09.00

Anak 4 09.00-09.20

Anak 5 09.20-09.40

09.40-10.00 Istirahat

Anak 6 10.00-10.20

Anak 7 10.20-10.40

Anak 8 10.40-11.00 Mengajak anak bermain


kartu gambar
Anak 9 11.00-11.20

Anak 10 11.20-11.40

Jumat Anak 1 8.00-8.20

Anak 2 8.20-8.40
33

Anak 3 8.40-09.00 Mengajak anak bermain


kartu gambar
Anak 4 09.00-09.20

Anak 5 09.20-09.40

09.40-10.00 Istirahat

Anak 6 10.00-10.20

Anak 7 10.20-10.40

Anak 8 10.40-11.00 Mengajak anak bermain


kartu gambar
Anak 9 11.00-11.20

Anak 10 11.20-11.40

Jumat Anak 1-10 11.40-12.40 Post test

E. Teknik Pengumpulan Data


1. Jenis Pengumpulan Data
a. Data Primer
Data primer adalah data yang didapatkan langsung oleh
penliti dari responden dengan cara pengukuran tingkat interaksi
sosial menggunakan lembar observasi dengan jumlah soal 20,
dengan jawaban ya dilakukan dan tidak apabila tidak dilakukan.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data anak autis yang di Sekolah Luar
Biasa Kota Padang.
2. Teknik Pengumpulan Data
Tahap-tahap dalam pengumpulan data yang peneliti lakukan adalah:
a. Mengurus surat izin untuk pengumpulan data tentang angka
kejadian anak autis di Sekolah Luar Biasa Autsima YPPA Kota
Padang
b. Setelah mendapat surat izin peneliti meminta izin kepada Waka
Sekolah Luar Biasa Autisma YPPA Kota Padang untuk melakukan
pengambilan data awal
c. Kemudian peneliti diarahkan keruangan guru dan mewawancari
guru yang mengajar pada hari itu
d. Menjelaskan kepada guru prosedur,tujuan dan manfaat penelitian
e. Kemudian peneliti meminta persetujuan kepada guru untuk
kesediaan anak autis tersebut menjadi responden penelitian
F. Teknik Pengolahan Data
Data yang telah terkumpul,diolah terlebih dahulu dengan tujuan
untuk menyederhankan seluruh data yang terkumpul dan menyajikan dalam
bentuk susunan yang baik dan rapi,selanjutnya dianalisis dengan
komputerisasi. Pengolah data dilakukan dengan menggunakan komputer
dengan tahap-tahap sebagai berikut.
1. Memeriksa data (Editing)
Editing ini dilakukan untuk memastikan bahwa data yang
dikumpulkan sudah lengkap dan untuk menterjemahkan semua
variabel sesuai dengan tujuan penelitian. Data yang dikumpulkan dan
diperiksa yaitu pengukuran tingkat berbicara responden yang diisi oleh
peneliti yang konsisten dan sesuai dengan hasil pengukuran selama
penelitian
2. Memasukan data (Entery data)
Data yang dimasukan kedalam master tabel untuk dianalisa

34
35

3. Pembersihan data (cleaning data)


Data yang di entry diperriksa kembali untuk memastikan bahwa
sata bersih dari kesalahn sehingga siap dianalisa. Data yang diperoleh
merupakan hasil pengukuran tingkat berbicara responden selama
penelitian. Hasil pengukuran tersebut dihubungkan untuk menguji
hipotesa penelitian sehingga dapat diketahui adanya pengaruh terapi.
G. Analisa Data
1. Analisa Univariat
Peneliti melakukan analisa univariat dengan cara analisis
statistik deskriptif meliputi nilai mean,median, dan standar deviasi dari
setiap variabel. Tujuan Analisa data adalah untuk menjelaskan atau
mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian.
2. Analisa Bivariat
Analisa bivariat dilakukan dengan komputerisasi untuk
mengetahui perbedaan antara sebelum (pretest) dan sesudah (post test)
diberikan perlakuan pemberian terapi perilaku. Data yang didapatkan
diolah dengan uji normalitas untuk melihat distribusi data dengan uji.
Data terdistribusi normal (p> 0,05) maka menggunakan uji
nonparametik yaitu T-test paired dengan tingkat kepercayaan 95%
(ɑ=0,05) jika p= <0,05 berarti ada pengaruh terapi ABA terhadap
interaksi sosial pada anak autis di sekolah luar biasa Autisma YPPA
Kota Padang.

H. Kerangka Konsep
Pada penelitian ini dapat dilihat skema kerja penelitian pada gambar.
Variabel Independen Variabel Dependen

Terapi ABA Interaksi Sosial

Gambar 3.1
Pengaruh Terapi ABA (Applied Behaviour Analysis) Terhadap
Interaksi Sosial Pada Anak Autis di Sekolah
Luar Biasa Autisma YPPA Kota Padang
36

I. Definisi Operasional

Table 3.3
Definisi Operasional
Cara Alat Skala
Variabel Definisi Operasional Hasil Ukur
Ukur Ukur Ukur

Independen Serangkaian tindakan - - - -


Terapi ABA tata laksana perilaku
yang diberikan kepada
anak autis untuk
melatih kemampuan
interaksi sosial dalam
kehidupan sehari-hari

Dependen Hubungan interaksi Observasi Kuisio Tahapan Ordinal


Interaksi yang dilakukan oleh ner kelengkapan
Sosial anak penderita ATEC dalam rentang
autis dengan teman-
0-20
temannya (penderita
autis yang lain) untuk Kurang : 0-6
melatih kemampuan Cukup : 7-12
interaksi sosial dalam Baik : 13-20
kehidupan sehari-hari (Agung, 2019)

J. Hipotesis Penelitian
Ha : Ada Pengaruh Terapi ABA Terhadap Interaksi Sosial Pada Anak
Autis di Sekolah Luar Biasa Autisma YPPA Kota Padang
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Analisis Situasi
Pada Bab IV ini akan membahas mengenai hasil penelitian yang
dilaksanakan di Sekolah Luar Biasa Autisma YPPA Kota Padang pada
tanggal 22 sampai 26 Agustus 2022 dengan jumlah responden 10 siswa.
Pada saat penelitian di hari pertama yaitu hari sabtu tanggal 20
September 2022 diawali dengan penyerahan surat penelitian bahwa
akan melakukan penelitian di Sekolah Luar Biasa Autisma YPPA Kota
Padang ke waka Sekolah Luar Biasa Autisma YPPA Kota Padang
setelah itu setelah itu langsung diproses. Setelah itu langsung
diserahkan kepada Wali Kelas I-IV yang akan diteliti.
Penelitian ini dilakukan selama 5 hari dengan total 4 kelas.
Situasi saat penelitian lancar, hari pertama dilakukan Pre test dan dan
hari terakhir dilakukan Post test. Tujuan penelitian ini untuk
mengetahui Pengaruh Terapi ABA (Applied Behaviour Analysis)
Terhadap Interaksi Sosial Pada Anak Autis di Sekolah Luar Biasa
Autisma YPPA Kota Padang.
2. Karakteristik Responden
Peneliti telah melakukan penelitian di Sekolah Luar Biasa
Autisma YPPA Padang, dengan responden sebanyak 10 orang anak
autis, jenis kelamin laki-laki sebanyak 90% dan jenis kelamin
perempuan sebanyak 10% dengan rentang usia 6 tahun sampai 10 tahun

37
38

3. Analisa Univariat
a. Rata-Rata Tingkat Interaksi Sosial Anak Autis Sebelum
diberikan Terapi ABA

Tabel 4.1
Rata-Rata Tingkat Interaksi Sosial Anak Autis Sebelum
diberikan Terapi ABA di Sekolah Luar Biasa Autisma
YPPA Kota Padang Tahun 2022

Variabel Mean Std. Devation Min Max

Pre 6.4 1.95505 4 10

Pada Tabel 4.1 menunjukkan bahwa nilai rata-rata tingkat


interaksi sosial anak autis sebelum diberikan terapi ABA (Applied
Behaviour Analysis) yaitu 6.4 (Interaksi Sosial Kurang) dengan
standar deviasi 1.95505. Pada anak autis di Sekolah Luar Biasa
Autisma YPPA Kota Padang

b. Rata-Rata Tingkat Interaksi Sosial Anak Autis Sesudah


diberikan Terapi ABA

Tabel 4.2
Rata-Rata Tingkat Interaksi Sosial Anak Autis Sesudah
diberikan Terapi ABA di Sekolah Luar Biasa Autisma
YPPA Kota Padang Tahun 2022

Variabel Mean Std. Devation Min Max

Post 10.7 2.83039 7 15

Pada Tabel 4.2 menunjukkan bahwa nilai rata-rata tingkat


interaksi sosial anak autis sesudah diberikan terapi. Terapi ABA
yaitu 10.7 (Interaksi Sosial Baik) dengan standar deviasi 2.83039.
Pada anak autis di Sekolah Luar Biasa Autisma YPPA Kota
Padang.
39

4. Analisa Bivariat

a. Rata-Rata Tingkat Interaksi Sosial Anak Autis Sebelum dan


Sesudah diberikan Terapi ABA

Tabel 4.3
Rata-Rata Tingkat Interaksi Sosial Anak Autis Sebelum dan
Sesudah diberikan Terapi ABA di Sekolah Luar Biasa Autisma YPPA
Kota Padang Tahun 2022

Variabel N Mean SD SE P-value

Pre 10 6.4 1.95505 .61824 0.000

Post 10 10.7 2.83039 .89505

Pada Tabel 4.3 menunjukkan adanya perbedaan antara tingkat


interaksi sosial anak autis sebelum dan sesudah diberikan terapi ABA
dengan nilai rata-rata 6.4 dengan standar deviasi 1.95505 menjadi
nilai rata-rata 10.7 dengan standar deviasi 2.83039. Hasil uji statistik
didapatkan nilai p-value 0.000 (p≤0.05) yang berarti ada pengaruh
terapi ABA terhadap interaksi sosial pada anak autis di Sekolah Luar
Biasa Autisma YPPA Kota Padang Tahun 2022.

B. Pembahasan
a. Analisa Univariat Interaksi Sosial Anak Autis
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai rata-rata tingkat
interaksi sosial anak autis sebelum diberikan terapi ABA yaitu 6.4
dengan standar deviasi 1.95505. Tingkat interaksi sosial dengan nilai
maksimum 10 dan nilai minimum 4 pada anak autis dan nilai rata-rata
tingkat interaksi sosial anak autis sesudah diberikan terapi ABA yaitu
10.7 dengan standar deviasi 2.83039. Tingkat interaksi sosial dengan
nilai maksimum 15 dan nilai minimum 7 pada anak autis di Sekolah
Luar Biasa Kota Padang.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
Yuswatingsih, E. (2021) tentang Kemampuan Interaksi Sosial pada
Anak Autis didapatkan hasil hampir seluruh responden (81,8%)
40

memiliki kriteria kemampuan interaksi adalah cukup. Interaksi sosial


anak autis ditunjukan anak dengan menghindari bahkan menolak
kontak mata, tidak mau menoleh jika dipanggil, tidak ada usaha untuk
melakukan interaksi dengan orang lain, lebih senang bermain sendiri,
tidak dapat merasakan empati, sering kali menolak untuk dipeluk,
menjauh jika didekati untuk diajak bermain. Selain itu, anak
berinteraksi dengan orang lain dengan cara menarik-narik tangan orang
lain untuk melakukan apa yang diinginkannya.
Interaksi sosial merupakan suatu kesulitan nyata bagi anak
autis untuk melakukan hubungan sosial dengan lingkungannya.
Adanya gangguan dalam interaksi sosial pada anak autis dapat
mempengaruhi aspek dalam belajar dan berperilaku. Anak autis sering
kali ditandai dengan perilaku yang suka mengasingkan diri, meskipun
dalam ruangan yang penuh dengan teman sebayanya. Gangguan yang
terjadi dapat menyebabkan anak untuk mempunyai kemampuan
bersosialisasi atau melakukan hubungan sosial (Handojo, 2014).
Gangguan perkembangan anak salah satunya adalah autisme. Autisme
adalah abnormalitas perkembangan dengan ciri utama yaitu gangguan
pada kemampuan berkomunikasi dan bersosialisasi, serta terbatasnya
dalam aktivitas dan ketertarikan. Gangguan ini bisa berkembang
seiring dengan bertambahnya usia kronologis anak (Birch & Bloom,
2014).
Menurut analisa Peneliti, Interaksi sosial sebelum diberikan
terapi ABA pada Anak Autis berada pada kategori kurang. Hal ini
dapat dilihat dari olah data kuesioner bahwa sebanyak 80% anak autis
tidak mampu tersenyum atau tertawa saat ada hal yang lucu, tidak
dapat mengalah, dan tidak dapat meniru suara atau gerakan yang
dilakukan oleh orang lain. Hal ini juga terlihat saat penelitian, anak
masih sulit untuk tersenyum atau meniru gerakan peneliti meski telah
berinteraksi dua sampai tiga kali. Interaksi sosial setelah diberikan
terapi ABA berubah menjadi kategori interaksi sosial Baik. Perubahan
paling terlihat pada kemampuan anak yaitu sebanyak 70% anak autis
41

telah mampu meningkatkan kontak mata dalam interaksi, mulai dapat


meniru gerakan atau suara orang lain, serta anak mulai terlihat tertarik
pada pembicaraan bersama Peneliti dengan sering tersenyum.

b. Analisa Bivariat Pengaruh Terapi ABA terhadap Interaksi Sosial


Anak Autis
Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan antara tingkat
interaksi sosial anak autis sebelum dan sesudah diberikan terapi ABA
dengan nilai rata-rata 6.4 dengan standar deviasi 1.95505 menjadi nilai
rata-rata 10.7 dengan standar deviasi 2.83039. Hasil uji statistik
didapatkan nilai p-value 0.000 (p≤0.05) yang berarti ada pengaruh
terapi ABA terhadap interaksi sosial pada anak autis di Sekolah Luar
Biasa Autisma YPPA Kota Padang Tahun 2022.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Sugiarto, dkk
(2020) tentang Pengaruh Metode ABA terhadap Kemampuan Interaksi
Sosial Anak Autis, didapatkan hasil Penelitian sebelum diberikan
metode ABA menunjukkan sebagian besar responden memiliki kriteria
kurang (66,7%) dengan jumlah 22, setelah diberikan metode ABA
menunjukkan hampir seluruh responden dengan kategori cukup (81,8)
dengan jumlah 27 responden. Hasil uji statistik dengan metode uji
wilcoxon didapatkan hasil nilai p sebesar 0,000 < α=0,05 sehingga H1
diterima.
Interaksi sosial merupakan kesulitan yang nyata bagi anak-anak
berkebutuhan khusus, terutama dalam melakukan hubungan sosial
dengan teman sebaya serta lingkungannya (Panzilion et al., 2021;
Padila et al., 2021). Interaksi sosial adalah hubungan manusia dengan
manusia lainnya atau hubungan manusia dengan kelompok atau
hubungan kelompok dengan kelompok. Anak autisme sulit dalam
melakukan komuniasi dan berinteraksi dengan lingkungannya, hal ini
akibat keterlambatan dan gangguan pada perkembangannya baik itu
gangguan motorik halus maupun kasar (Jessy & Diswantika, 2019).
42

Penanganan masalah interaksi sosial anak dengan autisme harus


dilakukan sedini mungkin dan perlu dukungan dari berbagai pihak
seperti orang tua, guru dan tenaga kesehatan. Salah satu cara untuk
menangani permasalahan interaksi sosial pada anak autisme yaitu
dengan metode Applied Behavior Analysis (ABA). ABA merupakan
sebuah ilmu terapan yang digunakan untuk mempelajari perilaku
autisme agar dapat diketahui perilaku mana yang ada kejanggalan
sehingga dapat diberikan intervensi yang sesuai dengan bagian tersebut
(Iskandar & Indaryani, 2020).
Dengan melakukan terapi ABA secara berulang, anak autisme
lama-kelamaan akan mendapat pemahaman bahwa ketika kita
melakukan tugas sesuai intruksi akan mendapatkan hadiah atau reward.
Sehingga tugas-tugas yang diberikan juga akan memberikan
pemahaman kepada anak autisme cara yang baik untuk mengungkapkan
keinginan. Ketika ABA diterapkan terus menerus akan dapat merubah
tingkat bahasa, kognitif, komunikasi dan interaksi sosialnya menjadi
lebih baik (Ginting & Fitrah, 2019).
Menurut analisa peneliti, setelah diberikan terapi ABA terjadi
peningkatan dimana sebelumnya tidak adanya kontak mata ketika
diajak berbicara dan tidak merespon bila dipanggil orang lain lebih dari
3 kali. Terapi ABA menggunakan kartu bergambar membantu peneliti
dan anak meningkatkan interaksi dari kontak mata hingga fokus pada
respons anak khususnya apabila Peneliti memanggil nama anak
tersebut. Hal ini karena pada terapi ABA menggunakan kartu
bergambar, anak autis dipanggil namanya dan diminta menunjuk
gambar yang diarahkan Peneliti. Proses ini berlangsung selama 5 hari
sehingga secara konsisten, kegiatan rutin ini mampu meningkatkan
adanya kontak mata dan respons anak selama interaksi kepada Peneliti.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada responden
mengenai Pengaruh Terapi ABA (Applied Behaviour Analysis) Terhadap
Interaksi Sosial Pada Anak Autis di Sekolah Luar Biasa Autisma YPPA
Kota Padang Tahun 2022, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Rata-rata tingkat interaksi sosial anak autis sebelum diberikan terapi
ABA yaitu 6.4 (Interaksi Sosial Kurang) dengan standar deviasi
1.95505. dengan nilai maksimum 10 dan nilai minimum 4 pada anak
autis di Sekolah Luar Biasa Autisma YPPA Kota Padang.
2. Rata-rata tingkat interaksi sosial anak autis sesudah diberikan terapi
ABA yaitu 10.7 (Interaksi Sosial Baik) dengan standar deviasi 2.83039
dengan nilai maksimum 15 dan nilai minimum 7 pada anak autis di
Sekolah Luar Biasa Autisma YPPA Kota Padang.
3. Ada ada pengaruh terapi ABA terhadap interaksi sosial pada anak autis
di Sekolah Luar Biasa Autisma YPPA Kota Padang Tahun 2022 dengan
hasil uji statistik p-value = 0.000
B. Saran
1. Kepala Sekolah Luar Biasa Autisma YPPA Kota Padang
Hasil penelitian ini disarankan, melalui Kepala Sekolah dapat
digunakan sebagai materi pada Terapi ABA yang telah ada, yaitu
menambahkan media kartu bergambar untuk meningkatkan Interaksi
Sosial di Sekolah Luar Biasa Autisma YPPA Kota Padang.
2. Bagi STIKes Indonesia Padang
Hasil penelitian ini melalui Ketua Prodi Keperawatan diharapkan
dapat dijadikan bahan bacaan serta menambah referensi di perpustakaan
STIKes Indonesia Padang atau menjadi materi pembelajaran kuliah.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Sebagai bahan perbandingan dan data dasar bagi penelitian
selanjutnya untuk melakukan penelitian dengan masalah Interaksi sosial
menggunakan Terapi yang berbeda.

43

Anda mungkin juga menyukai