Anda di halaman 1dari 17

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Autis

1. Pengertian Autis

Autis merupakan gangguan perkembangan fungsi otak yang

mencakup bidang sosial dan fungsi afek, komunikasi verbal (bahasa) dan

non-verbal, imajinasi, fleksibilitas, lingkup interest(minat), kognisi dan

atensi. Autis merupakan salah satu defisit perkembangan pervasif pada

awal kehidupan anak yang disebabkan oleh gangguan perkembangan

otak yang ditandai dengan ciri pokok, yaitu terganggunya perkembangan

bahasa dan wicara, interaksi sosial, serta munculnya perilaku yang

bersifat repetitif, stereotipik, dan obsesif (Muhith, 2015).

Autis menurut Rahayu (2015) merupakan sutu gangguan

perkembangan secara menyeluruh yang mengakibatkan hambatan dalam

kemampuan komunikasi, sosialisasi dan juga perilaku. Gangguan

tersebut dari taraf yang ringan sampai dengan taraf yang berat. Autis ini

pada umumnya muncul sebelum anak berusia 3 tahun, dan pada

umumnya penyandang autis mengabaikan suara, penglihatan ataupun

kejadian yang melibatkan mereka.

2. Gejala anak Autis

Menurut Ni’matuzahroh et al., (2021) Untuk mengetahui anak dengan

gangguan autis, ada lima gejala awal yang mereka tunjukan yaitu :

8
9

a. Gangguan interaksi sosial

Masalah interaksi sosial pada anak autis berhubungan erat dengan

rendahnya kemampuan tanggap sosial. Orang tua dari anak autis

melihat bahwa balita atau anak mereka tidak merespon secara

normal saat melakukan interaksi, tatapan matanya sering berbeda

secara signifikan dari yang lain. Mereka kadang-kadang

menghindari kontak mata dengan orang yang berada disekitarnya.

b. Gangguan komunikasi

Anak autis mempunyai profil perkembangan komunikasi yang

sangat unik. Namun demikian, terlepas dari tingkatan kemampuan

komunikasi mereka, semuanya memiliki kesulitan di area yang

sama. Mereka mengalami gangguan komunikasi verbal dan non-

verbal, pemahaman bahasa yang sangat literal dan kemungkinan

mereka mempunyai pemahaman yang sangat terbatas dalam

menyimpulkan arti dari makna bahasa. Sebagian besar anak autis

kurang komunikatif saat berada dilingkungan sosial, hampir 50%

dianggap bisu karena tidak menggunakan bahasa, meraka cenderung

pasif dan diam saat berada dilingkungan sosial. Cara berbicara

mereka terdengar seperti robot dan cenderung mengulang-ulang

kata yang didengarnya.

c. Perilaku repetitif dan rigid

Anak dengan penyandang autis mempunyai rentang perilaku dan

minat yang terbatas. Hambatan dalam berimajinasi dan bermain

peran adalah gejala umum dari autis juga kecenderungan yang kuat

9
10

terhadap rutinitas dan terprediksi, contoh mereka menyukai

mamakai pakaian tertentu, menolak melakukan aktivitas tertentu.

Mereka kesulitan untuk beradaptasi dengan hal-hal baru karena

tidak mampu berpikir secara fleksibel, mereka menyukai rutinitas

dan perilaku yang sudah menjadi kebiasaan yang membuat mereka

nyaman.

d. Gangguan kognitif

Kebanyakan anak autis menampilkan defisit kognitif sama dengan

individu keterbelakangan mental. Anak autis mampu mengingat

lokasi mereka dalam ruang dari pada konsep. Sebagai contoh

“belanja” berarti pergi ke toko tertentu, di jalan tertentu, bukan

konsep mengunjungi jenis toko untuk membeli sesuatu.

e. Masalah sensori

Banyak anak autis menjukan respon yang tidak biasa terhadap

rangsangan/stimuli sensori. Respon mereka bisa over responsif dan

under responsif, mereka bisa mendengarkan suara yang biasa-biasa

saja menjadi suara yang sangat menakutkan dan menyakitkan.

Kilatan lampu, lingkungan yang ramai dapat menyebabkan

kebingungan, serta rasa dan bau yang biasa saja bisa membuat anak

autis mual dan muntah.

3. Penyebab anak autis

Penyebab gangguan pada anak autis yang di kutip dalam Hallahan,

Kauffman (2006) dan Friend (2005) dalam Ni’matuzahroh et al., (2021)

10
11

ada beberapa faktor yang menyebabkan gangguan pada anak autis

khususnya secara umum yaitu :

a. Faktor neurologi

Adanya gangguan pada sistem saraf pusat pada otak yang

mengalami kelambatan pertumbuhan dan perkembangan pada anak

autis yang menyebabkan anak kesulitan untuk merespon saat

melakukan interaksi dengan orang disekitarnya.

b. Faktor genetik Faktor genetik diduga menjadi bagian dari penyebab

gangguan pada anak autis. Gangguan autis 2-4% saudara kandung

juga menderita atau keturunan dari orang tua.

c. Faktor teratogenik

Faktor ini disebabkan karena kerusakanan perkembangan janin yang

dapat menyebabkan cacat atau kerusakan dalam perkembangan

janin seperti Fetal Alcholol Syndrome (FAS) yaitu suatu kondisi di

ana bayi lahir dengan berat badan kurang, kemunduran intelektual,

dan ketidaksempurnaan bentuk fisik.

d. Faktor medis

Faktor medis biasanya disebabkan karena kelahiran prematur dan

komplikasi pada saat lahir, rendahnya berat badan dan kekurangan

oksigen saat proses kelahiran yang menyebabkan kerusakan pada

saraf pusat.

11
12

4. Klasifikasi Anak autis

Menurut Lisinus & Sembiring (2020) dalam berinteraksi sosial

anak autis dikelompokan menjadi 3 kelompok yaitu:

a. Kelompok menyendiri

1) Terlihat menghindari kontak fisik dengan lingkungan sekitarny

2) Bertedensi kurang menggunakan kata-kata

3) Menghabiskan harinya berjam-jam untuk sendiri, dan kalau

berbuat sesuatu anak autis akan melakukannya berulang-ulang

4) Gangguan perilaku pada kelompkk anak ini termasuk bunyi-

bunyi aneh, gerakan tangan, mudah marah, melukai diri sendiri,

menyerang teman sendiri, merusak dan menghancurkan

mainannya

b. Kelompok anak autis yang pasif

1) Lebih bisa bertahan pada kontak fisik dan sedikit mampu

bermain dengan teman sebaya nya, tetapi jarang sekali mencari

teman sendiri

2) Mempunyai kata yang lebih banyak meskipun masih agak

terlambat bisa berbicara dibandingkan sengan anak sebaya nya

3) Kadang anak autis lebih cepat merangkai kata

4) Kelompok pasif ini masih bisa diajari dan dilatih dibandingkan

dengan anak autis yang menyendiri.

c. Kelompok anak autis yang aktif tetapi menurut kemauannya sendiri

12
13

1) Kelompok ini bertolak belakang dengan kelompok anak autis

yang menyendiri karena lebih cepat bisa berbicara dan memiliki

kata yang paling banyak

2) Meskipun dapat merangkai kata dengan baik, tetapi tetap saja

ada akata yang aneh dan kurang dimengerti

3) Kurang mampu berbicara dengan teman sebayanya meskipun

masih ada kemampuan berbicara

4) Selalu mengulang-ulang kata atau kalimat

5) Tidak bisa spontan mempercayai teman bermainnya

5. Tiga Level Penyandang Autisme

a. Autisme ringan

Gejala-gejala yang timbul bagi penyandang autisme ini,

walaupun akan mempersulit mereka bersosialisasi, secara garis

besar autisme ringan tidak akan mengganggu kehidupannya sehari-

hari.

b. Autisme sedang

Penyandang autisme sedang pada tingkat ini akan mengalami

kesulitan yang lebih besar ketika berkomunikasi dengan orang lain,

selain itu autisme ini tidak menunjukan kontak mata dan tidak bisa

mengekspresikan emosinya melalui intonasi suara maupun wajah

layaknya orang lain.

13
14

c. Autisme berat

Penyandang autisme ini sangat sulit menjalani kehidupannya

secara mandiri dan bersifat kyrang sensitif atau terkadang sangat

sensitif terhadap stimulus dari luar seperti suara.

Secara kuantitas dan kualitas, ciri-ciri yang ditunjukan anak

autis berbeda-beda.ciri-ciri yang muncul pada anak autis yaitu,

a. Gangguan pada komunikasi verbal dan nonverbal, seperti

terlambat bicara atau tidak dapat berbicara sama sekali,

mengeluarkan kata-kata yang tidak dapat dimengerti oleh

orang lain.disamping itu, dalam berbicara tidak digunakan

untuk komunikasi tapi hanya meniru atau membeo bahkan

beberapa anak snagat pandai pandai menirukan beberapa

nyanyian maupu kata-kata tanpa mengerti artinya, kadang

bicara monoto seperti robot, mimik mukanya datar, dan bila

mendengar suara yang disukainya akan bereaksi dengan cepat.

b. Gangguan pada bidang interaksi sosial, yaitu anak menolak

atau menghindar untuk bertatap muka,anak mengalami

ketulian, merasa tidak senang dan menolak bila dipeluk, tidak

ada usaha melakukan interaksi dengan orang sekitarnya.

c. Gangguan pada perilaku dan bermain,seperti tidak mengerti

secara bermain, bermain sangat monoton dan melakukan

gerakan yang sama berulanng-ulang, jika sudah senang satu

mainan tidak mau mainan lain dan cara bermainnya

14
15

B. Konsep Dukungan Keluarga Terhadap Anak Autis

1. Definisi Dukungan Keluarga

Dukungan keluarga adalah sikap, dan penerimaan orang tua terhadap

anggota keluarga lain (Setiawati, 2008). Anggota keluarga dalam menghadapi

keadaan yang berada diluar harapan yang menjadi stessor bagi keluarga

melalui proses tertentu akan memungkinkan keluarga itu untuk bertahan dan

beradaptasi dengan baik hingga menjadi sebuah keluarga yang relisen (Mc

Cubbin, 2001 dalam puspita, dkk, 2011) menyatakan bahwa fase adaptasi

merupakan konsep sentral dari ketahanan keluarga (family resiliency). Olson &

De Frain (2003) mengatakan bahwa keluarga akan saling memberikan

dukungan fisik, emosi dan ekonomi. Keluarga merupakan lingkungan pertama

dlam memberikan proses pertumbuhan anak. Keluarga yang harmonis akan

memberikan dampak positif dalam keluarga tanpa konflik ataupun tanpa

dinamika.

Bagi orang tua yang memiliki anak penyandang autis, banyak tantangan

yang harus dihadapi orang tua. Pertama, penolakan, baik dari diri pribadi,

keluarga besar maupun lingkungan. Kedua, besarnya biaya pengobatan.

Beragam pendapat tentang penyebab autis dan kompleksnya masalah yang

dihadapi anak-anak autis memunculkan berbagai macam penanganan yang

melibatkan berbagai disiplin ilmu. Ketiga, terbatasnya akses terhadap klinik

terapi atau lembaga pendidikan. Belum semua kabupaten/ kota di Riau terdapat

klinik terapi atau lembaga pendidikan yang menerima penyandang autis.

15
16

Memiliki anak yang menderita autis memang berat. Anak penderita

autis seperti seorang yg kerasukan setan. Selain tidak mampu bersosialisasi,

penderita tidak dapat mengendalikan emosinya. Kadang tertawa terbahak,

kadang marah tak terkendali. Dia sendiri tdk mampu mengendalikan dirinya

sendiri & memiliki gerakan-gerakan aneh yg selalu diulang-ulang. Selain itu

dia punya ritual sendiri yg harus dilakukannya pada saat-saat atau kondisi

tertentu (Dewo, 2006: 63). Namun bagi orang yang beriman, apapun

keadaannya (anak autis) perlu disadari kembali bahwa anak adalah anugrah dan

amanah. Sehingga perlu untuk disyukuri dan dijaga (dengan mendidik,

membimbing, serta mengarahkan) agar menjadi generasi penerus keturunan.

Dukungan keluarga menjadi dukungan yang utama yang memiliki anak

autis, dimana dukungan keluarga ini dapat berasal dari dukungan pasangan

hidup (suami), dukungan kedua adalah dari anak (saudara dari anak yang

mengalami autis), dukungan ketiga adalah dari orangtua, dukungan keempat

adalah dari mertua, dukungan kelima adalah dari kerabat dekat, dukungan

keenam diberikan oleh teman atau sahabat, dukungan yang terahir adalah

dukungan yang diberikan oleh tetangga (Tyas, 2005).

2. Jenis Dukungan Keluaga

Dukungan keluarga mempunyai peranan sangat penting, karena keluarga

bisa memberikan dorongan fisik maupun mental. Keluarga memiliki

beberapa fungsi dukungan yaitu (Ayuni, 2020)

a. Dukungan Informasional

Mencakup pemberian nasehat, petunjuk saran dan mengajarkan

keterampilan yang bisa menyediakan pemecahan. Manfaat dalam

16
17

dukungan ini adalah adanya informasi yang diberikan dapat

menyumbangkan aksi sugesti yang khusus pada individu.

b. Dukungan Penghargaan Ungkapan penghargaan positif untuk orang

lain, dorong maju, persetujuan dengan gagasan atau dengan individu,

dan perhatian kepada individu lain.

c. Dukungan Instrumental Bantuan secara langsung seperti ketika

anggota keluarga lain memberikan, menolong, membantu

menyesuaikan masalah seseorang pada situasi tertentu. Keluarga

merupakan sumber pertolongan praktis dan konkrit.

d. Dukungan Emosional Mencakup ungkapan empati, kepedulian dan

perhatian terhadap individu lain. Dengan begitu individu merasa

dicinati dan merasa aman.

e. Dukungan Sosial Hubungan sosial adalah yang memerlukan bantuan

orang lain. Bisa juga menghabiskan waktu dengan orang lain pada

waktu luang atau rekreasi. Oleh karena itu, individu merupakan

bagian dari keluarga, teman sekolah atau kerja, kegiatan agama atau

baian dari kelompok lainnya.

3. Faktor-faktor yang Memengaruhi beban Keluarga Terhadap Anak

Autisme

Hasil penelitian juga memperlihatkan beberapa hal yang memengaruhi

orangtua terhadap anak autisme menurut : Yola (2020).

a. Pertama adalah dukungan dari keluarga besar.

Semua keluarga besar subjek 1 dan 2 sepenuhnya dapat menerima

kondisi yang dialami oleh anaknya yang didiagnosa menyandang

17
18

autisme. Sedangkan respon dari keluarga subjek 3 ada yang

menerima dan ada yang menolak kondisi anaknya. Hal tersebut

sesuai dengan pendapat Yola (2020) semakin kuatnya dukungan

keluarga besar, orangtua akan terhindar dari merasa ”sen dirian”,

sehingga menjadi lebih ”kuat” dalam menghadapi ”cobaan” karena

dapat bersandar pada keluarga besar mereka.

b. Faktor kedua adalah kemampuan keuangan keluarga.

Menurut Yola (2020) di mana keuangan keluarga yang memadai,

dapat memberikan kesempatan yang lebih baik bagi orangtua untuk

dapat memberikan ”penyembuhan” bagi anak mereka. Dengan

kemampuan finansial yang lebih baik, makin besar pula

kemungkinan orangtua untuk dapat memberikan beberapa terapi

sekaligus, sehingga proses ”penyembuhan” juga akan semakin

cepat. Subjek 1 dan 2 memiliki tingakat sosial ekonomi menengah

ke atas, sedangkan sebjek 3 memiliki ekonomi menengah ke bawah.

Pada subjek 1 tidak sulit baginya untuk memberikan kesempatan

beberapa terapi sekaligus, namun untuk sebjek 2 meskipun memiliki

tingkat sosial ekonomi menengah ke atas juga akan tetapi hal

tersebut tidak bisa ia lakukan mengingat lebih memfokuskan untuk

membiayai kuliah kedua anaknya yang lain.

c. Faktor ketiga adalah latarbelakang agama.

Pertama kali mengetahui bahwa anaknya didiagnosa menyandang

autisme, ketiga subjek tersebut merasa terkejut dan sedih. Subjek 2

dan 3 bersikap pasrah dan ikhlas dalam menerima takdir sebagai

18
19

pemberian dari Tuhan dikarenakan anaknya dari bayi sudah

mengalami kejang-kejang sebelum didiagnosa menyandang

autisme. Perasaan bersalah sempat muncul dalam benak subjek 1

dan 3, namun mereka segera menyadari bahwa semua itu harus

dilewati. Bahkan subjek 3 pada awalnya merasa bahwa semua ini

akibat dari ketidakadilan Tuhan kepadanya, sampai akhirnya ia

dapet menerima cobaan itu dengan lapang dada. Hal tersebut sesuai

dengan pendapat Sarasvati (2004) bahwa kepercayaan yang kuat

kepada Yang Maha Kuasa membuat orangtua yakin bahwa mereka

diberikan cobaan sesuai dengan porsi yang mampu mereka hadapi.

Dengan keyakinan tersbut, mereka mengupayakan yang terbaik

untuk anak mereka, dan percaya bahwa suatu saat, anak tersebut

akan mengalami kemajuan

d. Faktor keempat adalah sikap para ahli yang mendiagnosa anaknya.

Psikolog yang mendiagnosa subjek 1 dan 2 memberikan semangat

kepada mereka untuk terus menjalani terapi demi kesembuhan anak

mereka. Sedangkan subjek 3 sering berkonsultasi ke dokter untuk

menceritakan tiap-tiap perubahan yang terjadi pada anaknya

sehingga dokter dapat memberikan masukan serta dukungan pada

subjek. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Yola (2020 bahwa

dokter ahli yang simpatik, akan membuat orangtua merasa

dimengerti dan dihargai. Apalagi jika dokter memberikan dukungan

dan pengarahan kepada orangtua (atas apa yang sebaiknya mereka

lakukan selanjutnya). Sikap dokter ahli yang berempati, membuat

19
20

orangtua merasa memiliki harapan, bahwa mereka tidak sendirian

dalam menghadapi ”cobaan” hidup ini.

e. Faktor kelima adalah tingkat pendidikan suami istri.

Subjek 1 memiliki latar belakang pendidikan D3, subjek 2 dan 3

memiliki latar belakang pendidikan SMU. Sehingga subjek 1 bisa

dengan cepat menerima kondisi anaknya yang didiagnosis

menyandang autisme bila dibandingkan dengan subjek 2 dan 3.

Dimana subjek 2 dan 3 masih sering mengeluh atas keadaan

anaknya yang belum menunjukkan perubahan yang berarti. Hal ini

sesuai dengan pendapat Yola (2020 yang mengatakan bahwa

semakin tinggi pendidikan, realtif makin cepat pula orangtua

menerima kenyataan dan segera mencari penyembuhan.

f. Faktor keenam adalah keuangan

Keuangan keluarga juga menjadi factor yang mendukung beban

keluarga yang meiliki anak autis. Keuangan keluarga yang memiliki

anak autis sangat harus di perhatikan khusus.

g. Faktor ketujuh adalah dukungan sosial

Lingkungan tempat tinggal subjek 1 dan 2 semua sangat

mendukung dan dapat menerima keadaan anaknya. Namun pada

awalnya subjek 2 sempat merasa malu untuk terbuka pada

lingkungan, akan tetapi pada akhirnya lingkungan lambat laun dapat

menerimanya. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Yola (2020) di

mana pada masyarakat yang sudah lebih ”menerima”, mereka akan

berusaha memberikan dukungan secara tidak berlebihan (pada saat

20
21

berhadapan dengan anak-anak dengan kebutuhan khusus).

Menanyakan secara halus apakah orangtua perlu bantuan,

memberikan senyuman kepada sang anak, memperlakukan orangtua

seperti layaknya orangtua lain (dengan anak yang normal),

merupakan hal-hal sederhana yang sebetulnya sangat membantu

menghilangkan stres pada keluarga dari anak dengan kebutuhan

khusus. Sedangkan lingkungan subjek 3 ada yang menerima dan

ada juga yang menolak kehadiran anaknya. Hal tersebut membut

subjek merasa bingung dan menambah berat beban hidupnya.

h. Faktor kedelapan adalah usia dari masing-masing orangtua.

Subjek 1 berusia 32 tahun, subjek dapat menentukan jalan keluar

yang terbaik untuk kesembuhan anaknya. Subjek 2 berusia 45

tahun, mereka cukup matang dan dapat bersikap dewasa dalam

memahami kondisi anak. Sedangkan subjek 3 berusia 30 tahun,

walaupun pada saat itu ia sebagai single mother, ia dapat menerima

diagnosa dengan tenang. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Yola

(2020) bahwa usia yang matang dan dewasa pada pasangan suami

isteri, memperbesar kemungkinan orangtua untuk menerima

diagnosa dengan relatif lebih tenang. Dengan kedewasaan yang

mereka miliki, pikiran serta tenaga mereka difokuskan pada mencari

jalan keluar yang terbaik.

i. Faktor yang terakhir adalah sarana penunjang.

Menurut Yola (2020 dengan semakin banyaknya sarana penunjang,

semakin mudah pula orangtua mencari ”penyembuhan” untuk anak

21
22

mereka, sehingga makin tinggi pula kesiapan mereka dalam

menghadapi ”cobaan” hidupnya.Ketiga subjek tidak memanggil

terapis ke rumah, mereka hanya menerapkan kembali di rumah apa

yang telah diajarkan di tempat terapi. Karena faktor ekonomi, maka

subjek 2 dan 3 hanya melakukan terapi seminggu sekali untuk

anaknya. Sedangkan pada subjek 1, karena memang faktor

ekonominya mendukung, maka anaknya dapat mengikuti terapi

seminggu tiga kali dan telah bersekolah di sekolah umum.

4. Faktor yang mempengaruhi keefektifan dukungan sosial keluarga

Faktor – faktor yang mempengaruhi dukungan sosial, (Cohen & Syme, 1985

dalam Widyastuti, 2008) adalah :

a. Pemberian dukungan sosial Dukungan lebih mempunyai mansa, apabila

berasal dari sumber yang sama. Hal ini akan menjalankan keakraban dan

tingkat kepercayaan penerima dukungan.

b. Jenis dukungan Dukungan yang diberikan itu bermanfaat sesuai dengan

kondisi yang terjadi, misalnya dukungan informatife yang diberikan akan

lebih bermanfaat diberikan pada orang yang kekurangan pengetahuan.

c. Penerimaan dukungan Penerimaan dukungan itu dipengaruhi oleh

kemampuan penerimaan dukungan untuk mencari dan mempertahankan

dukungan yang diperoleh.

d. Lamanya pemberian dukungan Lama atau singkatnya pemberian

dukungan tergantung kapasitas dari pemberian dukungan dalam suatu

periode tertentu.

22
23

C. Kerangka Teori

Anak autis

Penyebab : Tanda dan Gejala


1. Faktor Genetika 1. Tidak merespon ketika dipanggil
2. Faktor Prenatal 2. Kontak mata kurang
3. Faktor Natal 3. Sibuk dengan dunia sendiri
4. Faktor Post Natal 4. Menangis/ tertawa tanpa sebab
5. Faktor Neurologis

Faktor yang mempengaruhi


beban keluarga :
1. Dukungan keluarga
2. Dukungan sosial
3. Pendidikan
4. Usia
5. Penghasilan
6. Jumlah anak

Gambar 2.2

Kerangka Teori

Yola Yolanda dkk (2020

23
28

Anda mungkin juga menyukai