Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Anak merupakan generasi penerus bangsa yang layak untuk

mendapatkan perhatian dan setiap anak memiliki hak untuk mencapai

perkembangan kognisi, sosial dan perilaku emosi yang optimal agar tercapai

masa depan bangsa yang baik (Sugeng, 2019). Pada dasarnya, setiap orang tua

memiliki keinginan anaknya mengalami tumbuh dan berkembang dengan

sempurna (Pradana & Kustanti, 2018).

Prevalensi anak autis di dunia selalu meningkat. Berdasarkan data dari

World Health Organization/WHO (2018) menyebutkan bahwa diperkirakan satu

dari 160 anak di seluruh dunia mengidap Autism Spectrum Disorder (ASD).

Berdasarkan laporan Center for Disease Control tahun 2020, sekitar 1 dari 54

anak di Amerika Serikat didiagnosis dengan gangguan spektrum autisme (CDC,

2020).

Pusat Data Statistik Sekolah Luar Biasa mencatat jumlah siswa autis di

Indonesia pada tahun 2019 sebanyak 144.102 siswa (Kemendikbud, 2021).

Angka tersebut naik dibanding tahun 2018 tercatat sebanyak 133.826 siswa autis

di Indonesia (Kemendikbud, 2020).Badan Pusat Statistik saat ini di Indonesia

terdapat sekitar 270,2 juta dengan perbandingan pertumbuhan anak autis sekitar

3,2 juta anak (BPS, 2020). Periode tahun 2020-2021 dilaporkan sebanyak 5.530

1
orang, Jumlah anak autis ini selalu meningkat setiap tahunnya sebesar 147,

maka dalam 10 tahun sedikitnya 529,200. Wajar jika tahun ini diperkirakan

sebanyak 2,4 juta (BPS, 2022)

Pusat data statistik sekolah luar biasa mencatat jumlah siswa autis di

Inonesia pada tahun 2019 sebanyak 144.102 siswa (Kemendikbud, 2020). Angka

tersebut naik dibanding tahun 2019 tercatatat sebanyak 133.826 siswa autis di

Indonesia dengan daerah tingkat pertama DKI Jakarta dan Sumatera Barat di

urutan ke 9 di Indonesia (Kemendibud, 2021).

Berdasarkan data dinas pendidikan di Sumatera Barat tahun 2022 Anak

autis harus mendapatkan pendidikan normal seperti anak lainnya maka

pemerintah menyediakan sekolah khusus luar biasa atau di sebut juga SLB,

dikota Padang sendiri terdapat sebanyak 38 SLB yang terdiri dari 1.464 siswa

yang tersebar di sekolah luar biasa (SLB), dimana jumlah laki-laki sebanyak 929

orang dan siswa perempuan 539 orang (Dapodikdasmen, 2023)

Autisme adalah gangguan syaraf otak pada anak yang menghambat

perkembangan sehingga tidak mampu berkembang secara normal. Gangguan

perkembangan ini ditandai adanya gangguan berkomunikasi, berbahasa,

berinteraksi sosial, serta adanya ketertarikan terhadap sebuah hal dan berperilaku

berulang. Penderita autisme lebih dikenal dengan kata autis (Wang et al., 2018).

Gangguan perkembangan pada anak autis mempengaruhi dalam beberapa bagian

seperti bagaimana anak mempelajari dunia melalui pengalaman yang

dialaminya. Menyebabkan anak tersebut hidup didalam dunia sendiri (Indiarti &

2
Rahayu, 2020).

Anak autis memperlihatkan beberapa gejala, menurut Baron-Cohen dan

Belmonte adanya 3 gejala inti pada anak autis yang lebih kelihatan seperti:

kurangnya kemampuan untuk menginterpretasikan emosi, kapasitas untuk

berinteraksi dan berkomunikasi sosial, dan fokus terlalu lama pada sebuah subjek

atau kegiatan. Usia dua-tiga tahun, pada masa balita ini anak lain biasanya mulai

belajar berbicara, berbeda dengan anak autis yang tidak menampakkan tanda-

tanda berbicara. Anak autis sering kali melakukan sesuatu secara berulang,

seperti berputar-putar, mengepakngepakkan lengannya, menggoyang-goyang kan

badannya Purnomo & Hadriami, 2015)

Anak dengan Autism Spectrum Disorder (ASD) mengalami hambatan dan

kesulitan dalam hal komunikasi, bahasa, perilaku, dan interaksi sosial. Dalam

mengatasi hambatan pada anak autis agar anak tersebut mendapatkan pendidikan

yang layak, sesuai dengan UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional bahwa negara memberikan jaminan sepenuhnya kepada anak

berkebutuhan khusus untuk memperoleh layanan pendidikan yang bermutu,

pemerintah membuat program khusus Sekolah Inklusi (Kurniawan, 2018)

Keluarga merupakan dua orang tua yang hidup bersama dengan ikatan

dan kedekatan emosional baik yang tidak memiliki hubungan darah, perkawinan,

atau adopsi dan tidak memiliki batas keanggotaan dalam keluarga. Meskipun

dalam lingkup kecil, namun hubungan yang terbangun antar anggota keluarga

lebih erat dan intim (Zakaria, 2017)

3
Peran dan fungsi keluarga dalam mendampingi anak berkebutuhan kusus

disini anak autis sangat penting, berkaitan dengan hal tersebut WHO, (2020)

merilis berbagai panduan bagi orang tua dalam mendampingi putra-putri selama

pandemi ini berlangsung yang meliputi tips pengasuhan agar lebih positif dan

konstuktif dalam mendampingi anak selama beraktivitas di rumah. Orang tua

pada awalnya berperan dalam membimbing sikap serta keterampilan yang

mendasar, seperti pendidikan agama untuk patuh terhadap aturan, dan untuk

pembiasaan yang baik (Nurlaeni & Juniarti, 2017).

Peranan keluarga yang kurang baik dalam merawat anak autis akibat

keluarga merasa tidak percaya diri, merasa tidak berdaya dan kehilangan harapan

harapan yang realistik karena kehadiran anak yang tidak sesuai dengan harapan

sehingga orang tua yang memiliki penyandang autis menjadi kaget, menjadi

bingung, perasaan panik, merasa dirinya bersalah, perasaan menjadi malu dan

perasaan menjadi bingung untuk menjelaskan pada orang lain tentang kondisi

anaknya, masalah penanggungan biaya perawatan, mengontrol keadaan emosi

anaknya dan cara menghadapi anak pada saat anak tantrum, menjadi bingung

mencari sekolah, dan menghadapi kekhawatiran masa depan anaknya (Nurlaeni

& Juniarti, 2017).

Dampak psikologi keluarga atau orang tua yang memiliki anak autis

mngalami beberapa masalah khususnya dalam kehidupan mereka, diantaranya

muncul kecemasan mengenai masa depan anak, pengalaman stigma sosial,

4
keterbatasan dalam bersosial dan karier, adanya hubungan yang canggung dengan

orang sekitar, kendala keuangan, kesejahteraan dan emosional yang buruk, dan

kurangnya layanan yang memadai. Hal tersebut berpengaruh terhadap tingkat

stres, depresi dan kecemasan orang tua dalam mengurus anak-anak mereka yang

berbeda dengan anak normal pada umumnya. Akibatnya orang tua mengalami

kesulitan untuk dapat beradaptasi dengan permasalahan yang sedang dihadapi.

Oleh karena itu, dibutuhkan kemampuan untuk menghadapinya. Kemampuan ini

dapat disebut sebagai resiliensi, yaitu kemampuan dalam mengatasi suatu

masalah atau bertahan dari cobaan dan mampu beradaptasi terhadap

permasalahan yang sedang dihadapi sehingga individu dapat berkembang secara

positif (Widya, 2019).

Beban lain yang juga dialami orangtua adalah banyaknya energi dan

waktu yang tersita untuk mengurus anak autis terganggunya pekerjaan,

terbatasnya interaksi dan sosialisasi mereka dengan lingkungan, berkurangnya

perhatian orangtua terhadap saudara anak autis, serta rendahnya kepuasan dalam

hubungan keluarga Beratnya beban pengasuhan yang dihadapi orangtua dalam

mengasuh anak autis dapat berdampak negatif, baik pada orangtua sendiri,

maupun pada anak. Dibutuhkan sebuah dukungan yang dapat membantu mereka

beradaptasi terhadap beban pengasuhan tersebut (Desvi, 2018)

Menurut Ekaningtyas (2019) mengatakan bahwa dua faktor

mempengaruhi beban keluarga dalam merawat anak autis yaitu; faktor pertama

dari tingkat keparahan anak autis, yang dimaksud dari tingkat keparahan adalah

5
perilaku yang ditunjukkan oleh anak autis. Faktor kedua adalah parenting self-

efficacy (PSE), mengatakan PSE adalah persepsi dan keyakinan orang tua apakah

mereka memiliki kemampuan secara positif untuk mempengaruhi perilaku dan

perkembangan anak. Selain itu faktor yang menjadi beban keluarga dalam

merawat anak Autis sehingga dapat menghasilkan informasi, salah satunya

pentingnya dukungan sosial dan pendidikan pada keluarga dalam merawat anak

Autis. Dengan adanya dukungan sosial yang baik dan pendidikan yang tinggi

maka akan mengurangi beban keluarga dalam merawat anak Autis.

Menurut Yola (2020) faktor-faktor yang mempengaruhi beban keluarga

dalam merawat anak autis diantaranya dukungan keluarga, dukungan sosial,

pendidikan, usia, penghasilan, dan jumlah anak. Dukungan sosial sangat

berpengaruh dalam menjaga kondisi seseorang yang mengalami tekanan. Ibu

dengan anak autis yang kurang mendapatkan dukungan sosial dari seseorang

yang berarti, seperti: teman, pasangan atau ayah dari anak, dan lingkungan

terdekat yang membuat energi positif yang ada pada ibu menjadi hilang. Ibu tidak

merasa terbantu dalam perannya sebagai seorang ibu dalam membesarkan anak

autis (Yolanda, Abdullah, & Erwina, 2016).

Dukungan keluarga adalah dukungan dari keluarga yang terdiri dari

informasi atau nasehat verbal dan non verbal, bantuan nyata, atau tindakan yang

diberikan oleh keakraban keluarga atau didapat karena kehadiran orang yang

mendukung dan mempunyai manfaat emosional. Dukungan keluarga merupakan

unsur terpenting dalam membantu individu dalam membangun resiliensi. Apabila

6
ada dukungan, rasa percaya diri akan bertambah dan motivasi untuk menghadapi

masalah yang terjadi akan meningkat. Dukungan keluarga akan semakin

dibutuhkan pada saat individu sedang menghadapi masalah, disinilah peran

anggota keluarga diperlukan untuk meningkatkan resiliensi orang tua yang

memiliki anak berkebutuhan khusus (Yudit Arazi 2017).

Menurut Notoatmodjo (2017) pendidikan juga sangat mempengaruhi

pengetahuan seseorang dengan tingkat pendidikan seseorang yang rendah akan

menentukan pola keputusan dan menerima informasi. Pendidikan yang lebih

tinggi akan lebih mudah menerima informasi daripada seseorang yang

berpendidikan rendah. Tingkat pendidikan seseorang keluarga yang rendah akan

sangat mempengaruhi pengetahuan dan sikap dalam merawat anak autis.

Data jumlah anak SLB di kota Padang yaitu pertama SLB YPPA kota

Padang dengan jumlah siswa 96 orang, kedua SLB 2 Padang dengan jumlah 47

orang, dan ketiga SLB Wancana Asih dengan jumlah 40 orang. Studi

pendahuluan yang dilakukan peneliti pada tanggal 28 November 22 di SLB

YPPA kota Padang terbagi dalam dua kategori yaitu, 36 anak retardasi mental

ringan dan 60 anak lainnya dengan retardasi mental sedang, dari 38 SLB murid

yang paling banyak yaitu SLB YPPA kota Padang (SLB Kota Padang, 2022)

Fitryasari, 2014 melakukan penelitian gambaran tingkat kecemasan

orang tua yang memiliki anak autisme di SLB pada keluarga yang memiliki anak

dengan autisme dan menyatakan perasaan berduka yang dirasakan oleh keluarga

terjadi melalui tahapan menyangkal, marah, tawar-menawar, depresi dan

7
menerima serta berbagai penyebab berduka tersebut menyebabkan berbagai

beban dalam keluarga sehingga memerlukan dukungan sosial dan finansial

selama merawat anak dengan autis.

Penelitian You & McGraw, 2011 dukungan sosial dan tingkat stres

orang tua yang memiliki anak retardasi mental di dapatkan hasil Hasil penelitian

ini menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan sosial

dengan tingkat stres pada orang tua dari anak dengan nilai p = 0.000< 0.005),

bahwa orang tua dari anak anak dengan autis yang menerima dukungan sosial

dari lingkungan yang berdampak dapat mengurangi stress.

Penelitian Chamak & Bonniau, 2013 faktor-faktor yang berhubungan

dengan beban keluarga yang merawat anak autis di kota padang tahun 2013

didapatkan hasil bahwa 64,3% dukungan keluarga kurang baik dalam merawat

anak autis dengan beban keluarga 70,2% dengan nilai p value= 0,002. Dapat

disimpulkan bahwa adanya hubungan dukungan dari orang terdekat dengan

beban keluarga yang merawat anak autis.

Berasarkan hasil wawancara 28 November 2022 kepada orang tua yang

memiliki anak autis di Sekolah Luar Biasa Kota Padang Tahun 2022 dengan 10

orang ibu diantaranya 4 orang ibu mengatakan stress dalam merawat anak autis

karena autis harus selalu di pantau, 3 orang ibu mengatakan tidak ada dukungan

dari ayah dapat membuat beban pikiran bagi ibu. Merawat dan membesarkan

anak autis tidak bisa dilakukan oleh ibu sendiri melainkan perlu adanya dukungan

dan bantuan dari pasangan yaitu ayah. dalam melakukan perawatan anak yang

8
autis, 3 orang ibu mengatakan biaya perawatan kesehatan anak autis yang lebih

tinggi, ibu juga mengatakan bahwa mereka merasa stres yang ditandai sering

terbangun ditengah malam memikirkan masa depan anaknya, merasa kurang

istirahat dalam menghadapi perilaku anaknya yang perlu diawasi terus dan

membuat ibu merasa untuk susah beristirahat saat pulang kerja.

Berdasarkan fenomena diatas, peneliti telah melakukan penelitian tentang

“Faktor-faktor yang berhubungan dengan beban keluarga dalam merawat anak

autis di Sekolah Luar Biasa Kota Padang Tahun 2022”.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada peneliti ini yaitu melihat “Faktor-faktor yang

berhubungan dengan beban keluarga dalam merawat anak autis di Sekolah Luar

Biasa Kota Padang Tahun 2023

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui Faktor-faktor yang berhubungan dengan beban keluarga

dalam merawat anak autis di Sekolah Luar Biasa Kota Padang Tahun 2023.

2. Tujuan Khusus

a. Diketahui beban keluarga yang merawat anak autis di Sekolah Luar

Biasa Kota Padang Tahun 2023

b. Diketahui dukungan keluarga yang merawat anak autis di Sekolah Luar

Biasa Kota Padang Tahun 2023

9
c. Diketahui dukungan sosial yang merawat anak autis di Sekolah Luar

Biasa Kota Padang Tahun 2023

d. Diketahui pendidikan keluarga yang merawat anak autis di Sekolah Luar

Biasa Kota Padang Tahun 2023

e. Diketahui hubungan dukungan keluarga dengan beban keluarga yang

merawat anak autis di Sekolah Luar Biasa Kota Padang Tahun 2023

f. Diketahui hubungan dukungan sosial dengan beban keluarga yang

merawat anak autis di Sekolah Luar Biasa Kota Padang Tahun 2023

g. Diketahui hubungan pendidikan dengan beban keluarga yang merawat

anak autis di Sekolah Luar Biasa Kota Padang Tahun 2023

D. 2Manfaat Penelitian

1. Pihak Sekolah Luar Biasa YPPA Kota Padang

Penelitian ini dapat digunakan sebagai materi gambaran tekait beban

keeluarga yang merawat anak autis di Sekolah Luar Biasa Kota Padang

tahun 2023

2. Bagi Institusi Pendidikan

Penelitian ini dapat memberikan manfaat dan tambahan informasi awal

tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan beban keluarga dalam

merawat anak autis di Sekolah Luar Biasa Kota Padang tahun 2023

3. Bagi Peneliti selanjutnya

10
Penelitian ini diharapkan menambah pengetahuan dan pengalaman

peneliti khususnya mengenai konsep atau metode penelitian tentang faktor

lain yang berhungan dengan beban kelurga dalam merawat anak autis.

11
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Autis

1. Pengertian Autis

Autis merupakan gangguan perkembangan fungsi otak yang

mencakup bidang sosial dan fungsi afek, komunikasi verbal (bahasa) dan

non-verbal, imajinasi, fleksibilitas, lingkup interest(minat), kognisi dan

atensi. Autis merupakan salah satu defisit perkembangan pervasif pada

awal kehidupan anak yang disebabkan oleh gangguan perkembangan

otak yang ditandai dengan ciri pokok, yaitu terganggunya perkembangan

bahasa dan wicara, interaksi sosial, serta munculnya perilaku yang

bersifat repetitif, stereotipik, dan obsesif (Muhith, 2015).

Autis menurut Rahayu (2015) merupakan sutu gangguan

perkembangan secara menyeluruh yang mengakibatkan hambatan dalam

kemampuan komunikasi, sosialisasi dan juga perilaku. Gangguan

tersebut dari taraf yang ringan sampai dengan taraf yang berat. Autis ini

pada umumnya muncul sebelum anak berusia 3 tahun, dan pada

umumnya penyandang autis mengabaikan suara, penglihatan ataupun

kejadian yang melibatkan mereka.

2. Gejala anak Autis

Menurut Ni’matuzahroh et al., (2021) Untuk mengetahui anak dengan

gangguan autis, ada lima gejala awal yang mereka tunjukan yaitu :
a. Gangguan interaksi sosial

Masalah interaksi sosial pada anak autis berhubungan erat dengan

rendahnya kemampuan tanggap sosial. Orang tua dari anak autis

melihat bahwa balita atau anak mereka tidak merespon secara

normal saat melakukan interaksi, tatapan matanya sering berbeda

secara signifikan dari yang lain. Mereka kadang-kadang

menghindari kontak mata dengan orang yang berada disekitarnya.

b. Gangguan komunikasi

Anak autis mempunyai profil perkembangan komunikasi yang

sangat unik. Namun demikian, terlepas dari tingkatan kemampuan

komunikasi mereka, semuanya memiliki kesulitan di area yang

sama. Mereka mengalami gangguan komunikasi verbal dan non-

verbal, pemahaman bahasa yang sangat literal dan kemungkinan

mereka mempunyai pemahaman yang sangat terbatas dalam

menyimpulkan arti dari makna bahasa. Sebagian besar anak autis

kurang komunikatif saat berada dilingkungan sosial, hampir 50%

dianggap bisu karena tidak menggunakan bahasa, meraka cenderung

pasif dan diam saat berada dilingkungan sosial. Cara berbicara

mereka terdengar seperti robot dan cenderung mengulang-ulang

kata yang didengarnya.

c. Perilaku repetitif dan rigid

Anak dengan penyandang autis mempunyai rentang perilaku dan

minat yang terbatas. Hambatan dalam berimajinasi dan bermain

peran adalah gejala umum dari autis juga kecenderungan yang kuat
terhadap rutinitas dan terprediksi, contoh mereka menyukai

mamakai pakaian tertentu, menolak melakukan aktivitas tertentu.

Mereka kesulitan untuk beradaptasi dengan hal-hal baru karena

tidak mampu berpikir secara fleksibel, mereka menyukai rutinitas

dan perilaku yang sudah menjadi kebiasaan yang membuat mereka

nyaman.

d. Gangguan kognitif

Kebanyakan anak autis menampilkan defisit kognitif sama dengan

individu keterbelakangan mental. Anak autis mampu mengingat

lokasi mereka dalam ruang dari pada konsep. Sebagai contoh

“belanja” berarti pergi ke toko tertentu, di jalan tertentu, bukan

konsep mengunjungi jenis toko untuk membeli sesuatu.

e. Masalah sensori

Banyak anak autis menjukan respon yang tidak biasa terhadap

rangsangan/stimuli sensori. Respon mereka bisa over responsif dan

under responsif, mereka bisa mendengarkan suara yang biasa-biasa

saja menjadi suara yang sangat menakutkan dan menyakitkan.

Kilatan lampu, lingkungan yang ramai dapat menyebabkan

kebingungan, serta rasa dan bau yang biasa saja bisa membuat anak

autis mual dan muntah.

3. Penyebab anak autis

Penyebab gangguan pada anak autis yang di kutip dalam Hallahan,

Kauffman (2006) dan Friend (2005) dalam Ni’matuzahroh et al., (2021)


ada beberapa faktor yang menyebabkan gangguan pada anak autis

khususnya secara umum yaitu :

a. Faktor neurologi

Adanya gangguan pada sistem saraf pusat pada otak yang

mengalami kelambatan pertumbuhan dan perkembangan pada anak

autis yang menyebabkan anak kesulitan untuk merespon saat

melakukan interaksi dengan orang disekitarnya.

b. Faktor genetik Faktor genetik diduga menjadi bagian dari penyebab

gangguan pada anak autis. Gangguan autis 2-4% saudara kandung

juga menderita atau keturunan dari orang tua.

c. Faktor teratogenik

Faktor ini disebabkan karena kerusakanan perkembangan janin yang

dapat menyebabkan cacat atau kerusakan dalam perkembangan

janin seperti Fetal Alcholol Syndrome (FAS) yaitu suatu kondisi di

ana bayi lahir dengan berat badan kurang, kemunduran intelektual,

dan ketidaksempurnaan bentuk fisik.

d. Faktor medis

Faktor medis biasanya disebabkan karena kelahiran prematur dan

komplikasi pada saat lahir, rendahnya berat badan dan kekurangan

oksigen saat proses kelahiran yang menyebabkan kerusakan pada

saraf pusat.

4. Klasifikasi Anak autis


Menurut Lisinus & Sembiring (2020) dalam berinteraksi sosial

anak autis dikelompokan menjadi 3 kelompok yaitu:

a. Kelompok menyendiri

1) Terlihat menghindari kontak fisik dengan lingkungan sekitarnya

2) Bertedensi kurang menggunakan kata-kata

3) Menghabiskan harinya berjam-jam untuk sendiri, dan kalau

berbuat sesuatu anak autis akan melakukannya berulang-ulang

4) Gangguan perilaku pada kelompkk anak ini termasuk bunyi-

bunyi aneh, gerakan tangan, mudah marah, melukai diri sendiri,

menyerang teman sendiri, merusak dan menghancurkan

mainannya

b. Kelompok anak autis yang pasif

1) Lebih bisa bertahan pada kontak fisik dan sedikit mampu

bermain dengan teman sebaya nya, tetapi jarang sekali mencari

teman sendiri

2) Mempunyai kata yang lebih banyak meskipun masih agak

terlambat bisa berbicara dibandingkan sengan anak sebaya nya

3) Kadang anak autis lebih cepat merangkai kata

4) Kelompok pasif ini masih bisa diajari dan dilatih dibandingkan

dengan anak autis yang menyendiri.

c. Kelompok anak autis yang aktif tetapi menurut kemauannya sendiri

1) Kelompok ini bertolak belakang dengan kelompok anak autis

yang menyendiri karena lebih cepat bisa berbicara dan memiliki

kata yang paling banyak


2) Meskipun dapat merangkai kata dengan baik, tetapi tetap saja

ada akata yang aneh dan kurang dimengerti

3) Kurang mampu berbicara dengan teman sebayanya meskipun

masih ada kemampuan berbicara

4) Selalu mengulang-ulang kata atau kalimat

5) Tidak bisa spontan mempercayai teman bermainnya

5. Tiga Level Penyandang Autisme

a. Autisme ringan

Gejala-gejala yang timbul bagi penyandang autisme ini,

walaupun akan mempersulit mereka bersosialisasi, secara garis

besar autisme ringan tidak akan mengganggu kehidupannya sehari-

hari.

b. Autisme sedang

Penyandang autisme sedang pada tingkat ini akan mengalami

kesulitan yang lebih besar ketika berkomunikasi dengan orang lain,

selain itu autisme ini tidak menunjukan kontak mata dan tidak bisa

mengekspresikan emosinya melalui intonasi suara maupun wajah

layaknya orang lain.

c. Autisme berat

Penyandang autisme ini sangat sulit menjalani kehidupannya

secara mandiri dan bersifat kyrang sensitif atau terkadang sangat

sensitif terhadap stimulus dari luar seperti suara.

Secara kuantitas dan kualitas, ciri-ciri yang ditunjukan anak

autis berbeda-beda.ciri-ciri yang muncul pada anak autis yaitu,


a. Gangguan pada komunikasi verbal dan nonverbal, seperti

terlambat bicara atau tidak dapat berbicara sama sekali,

mengeluarkan kata-kata yang tidak dapat dimengerti oleh

orang lain.disamping itu, dalam berbicara tidak digunakan

untuk komunikasi tapi hanya meniru atau membeo bahkan

beberapa anak snagat pandai pandai menirukan beberapa

nyanyian maupu kata-kata tanpa mengerti artinya, kadang

bicara monoto seperti robot, mimik mukanya datar, dan bila

mendengar suara yang disukainya akan bereaksi dengan cepat.

b. Gangguan pada bidang interaksi sosial, yaitu anak menolak

atau menghindar untuk bertatap muka,anak mengalami

ketulian, merasa tidak senang dan menolak bila dipeluk, tidak

ada usaha melakukan interaksi dengan orang sekitarnya.

c. Gangguan pada perilaku dan bermain,seperti tidak mengerti

secara bermain, bermain sangat monoton dan melakukan

gerakan yang sama berulanng-ulang, jika sudah senang satu

mainan tidak mau mainan lain dan cara bermainnya

B. Konsep Dukungan Keluarga Terhadap Anak Autis

1. Definisi Dukungan Keluarga

Dukungan keluarga adalah sikap, dan penerimaan orang tua terhadap

anggota keluarga lain (Setiawati, 2008). Anggota keluarga dalam menghadapi

keadaan yang berada diluar harapan yang menjadi stessor bagi keluarga

melalui proses tertentu akan memungkinkan keluarga itu untuk bertahan dan
beradaptasi dengan baik hingga menjadi sebuah keluarga yang relisen (Mc

Cubbin, 2001 dalam puspita, dkk, 2011) menyatakan bahwa fase adaptasi

merupakan konsep sentral dari ketahanan keluarga (family resiliency). Olson &

De Frain (2003) mengatakan bahwa keluarga akan saling memberikan

dukungan fisik, emosi dan ekonomi. Keluarga merupakan lingkungan pertama

dlam memberikan proses pertumbuhan anak. Keluarga yang harmonis akan

memberikan dampak positif dalam keluarga tanpa konflik ataupun tanpa

dinamika.

Bagi orang tua yang memiliki anak penyandang autis, banyak tantangan

yang harus dihadapi orang tua. Pertama, penolakan, baik dari diri pribadi,

keluarga besar maupun lingkungan. Kedua, besarnya biaya pengobatan.

Beragam pendapat tentang penyebab autis dan kompleksnya masalah yang

dihadapi anak-anak autis memunculkan berbagai macam penanganan yang

melibatkan berbagai disiplin ilmu. Ketiga, terbatasnya akses terhadap klinik

terapi atau lembaga pendidikan. Belum semua kabupaten/ kota di Riau terdapat

klinik terapi atau lembaga pendidikan yang menerima penyandang autis.

Memiliki anak yang menderita autis memang berat. Anak penderita

autis seperti seorang yg kerasukan setan. Selain tidak mampu bersosialisasi,

penderita tidak dapat mengendalikan emosinya. Kadang tertawa terbahak,

kadang marah tak terkendali. Dia sendiri tdk mampu mengendalikan dirinya

sendiri & memiliki gerakan-gerakan aneh yg selalu diulang-ulang. Selain itu

dia punya ritual sendiri yg harus dilakukannya pada saat-saat atau kondisi

tertentu (Dewo, 2006: 63). Namun bagi orang yang beriman, apapun

keadaannya (anak autis) perlu disadari kembali bahwa anak adalah anugrah dan
amanah. Sehingga perlu untuk disyukuri dan dijaga (dengan mendidik,

membimbing, serta mengarahkan) agar menjadi generasi penerus keturunan.

Dukungan keluarga menjadi dukungan yang utama yang memiliki anak

autis, dimana dukungan keluarga ini dapat berasal dari dukungan pasangan

hidup (suami), dukungan kedua adalah dari anak (saudara dari anak yang

mengalami autis), dukungan ketiga adalah dari orangtua, dukungan keempat

adalah dari mertua, dukungan kelima adalah dari kerabat dekat, dukungan

keenam diberikan oleh teman atau sahabat, dukungan yang terahir adalah

dukungan yang diberikan oleh tetangga (Tyas, 2005).

2. Jenis Dukungan Keluaga

Dukungan keluarga mempunyai peranan sangat penting, karena keluarga

bisa memberikan dorongan fisik maupun mental. Keluarga memiliki

beberapa fungsi dukungan yaitu (Ayuni, 2020)

a. Dukungan Informasional

Mencakup pemberian nasehat, petunjuk saran dan mengajarkan

keterampilan yang bisa menyediakan pemecahan. Manfaat dalam

dukungan ini adalah adanya informasi yang diberikan dapat

menyumbangkan aksi sugesti yang khusus pada individu.

b. Dukungan Penghargaan Ungkapan penghargaan positif untuk orang

lain, dorong maju, persetujuan dengan gagasan atau dengan individu,

dan perhatian kepada individu lain.

c. Dukungan Instrumental Bantuan secara langsung seperti ketika

anggota keluarga lain memberikan, menolong, membantu


menyesuaikan masalah seseorang pada situasi tertentu. Keluarga

merupakan sumber pertolongan praktis dan konkrit.

d. Dukungan Emosional Mencakup ungkapan empati, kepedulian dan

perhatian terhadap individu lain. Dengan begitu individu merasa

dicinati dan merasa aman.

e. Dukungan Sosial Hubungan sosial adalah yang memerlukan bantuan

orang lain. Bisa juga menghabiskan waktu dengan orang lain pada

waktu luang atau rekreasi. Oleh karena itu, individu merupakan

bagian dari keluarga, teman sekolah atau kerja, kegiatan agama atau

baian dari kelompok lainnya.

3. Faktor-faktor yang Memengaruhi beban Keluarga Terhadap Anak

Autisme

Hasil penelitian juga memperlihatkan beberapa hal yang memengaruhi

orangtua terhadap anak autisme menurut : Yola (2020).

a. Dukungan keluarga

Semua keluarga besar subjek 1 dan 2 sepenuhnya dapat menerima

kondisi yang dialami oleh anaknya yang didiagnosa menyandang

autisme. Sedangkan respon dari keluarga subjek 3 ada yang

menerima dan ada yang menolak kondisi anaknya. Hal tersebut

sesuai dengan pendapat Yola (2020) semakin kuatnya dukungan

keluarga besar, orangtua akan terhindar dari merasa ”sen dirian”,

sehingga menjadi lebih ”kuat” dalam menghadapi ”cobaan” karena

dapat bersandar pada keluarga besar mereka.

b. Faktor kedua dukungan sosial


Lingkungan tempat tinggal subjek 1 dan 2 semua sangat

mendukung dan dapat menerima keadaan anaknya. Namun pada

awalnya subjek 2 sempat merasa malu untuk terbuka pada

lingkungan, akan tetapi pada akhirnya lingkungan lambat laun dapat

menerimanya. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Yola (2020) di

mana pada masyarakat yang sudah lebih ”menerima”, mereka akan

berusaha memberikan dukungan secara tidak berlebihan (pada saat

berhadapan dengan anak-anak dengan kebutuhan khusus).

Menanyakan secara halus apakah orangtua perlu bantuan,

memberikan senyuman kepada sang anak, memperlakukan orangtua

seperti layaknya orangtua lain (dengan anak yang normal),

merupakan hal-hal sederhana yang sebetulnya sangat membantu

menghilangkan stres pada keluarga dari anak dengan kebutuhan

khusus. Sedangkan lingkungan subjek 3 ada yang menerima dan

ada juga yang menolak kehadiran anaknya. Hal tersebut membut

subjek merasa bingung dan menambah berat beban hidupnya.

c. . Faktor ketiga adalah tingkat pendidikan.

Subjek 1 memiliki latar belakang pendidikan D3, subjek 2 dan 3

memiliki latar belakang pendidikan SMU. Sehingga subjek 1 bisa

dengan cepat menerima kondisi anaknya yang didiagnosis

menyandang autisme bila dibandingkan dengan subjek 2 dan 3.

Dimana subjek 2 dan 3 masih sering mengeluh atas keadaan

anaknya yang belum menunjukkan perubahan yang berarti. Hal ini

sesuai dengan pendapat Yola (2020 yang mengatakan bahwa


semakin tinggi pendidikan, realtif makin cepat pula orangtua

menerima kenyataan dan segera mencari penyembuhan.

4. Faktor yang mempengaruhi keefektifan dukungan sosial keluarga

Faktor – faktor yang mempengaruhi dukungan sosial, (Cohen & Syme, 1985

dalam Widyastuti, 2008) adalah :

a. Pemberian dukungan sosial Dukungan lebih mempunyai mansa, apabila

berasal dari sumber yang sama. Hal ini akan menjalankan keakraban dan

tingkat kepercayaan penerima dukungan.

b. Jenis dukungan Dukungan yang diberikan itu bermanfaat sesuai dengan

kondisi yang terjadi, misalnya dukungan informatife yang diberikan akan

lebih bermanfaat diberikan pada orang yang kekurangan pengetahuan.

c. Penerimaan dukungan Penerimaan dukungan itu dipengaruhi oleh

kemampuan penerimaan dukungan untuk mencari dan mempertahankan

dukungan yang diperoleh.

d. Lamanya pemberian dukungan Lama atau singkatnya pemberian

dukungan tergantung kapasitas dari pemberian dukungan dalam suatu

periode tertentu.
C. Kerangka Teori

Anak autis

Penyebab : Tanda dan Gejala


1. Faktor Genetika 1. Tidak merespon ketika dipanggil
2. Faktor Prenatal 2. Kontak mata kurang
3. Faktor Natal 3. Sibuk dengan dunia sendiri
4. Faktor Post Natal 4. Menangis/ tertawa tanpa sebab
5. Faktor Neurologis

Faktor yang mempengaruhi


beban keluarga :
1. Dukungan keluarga
2. Dukungan sosial
3. Pendidikan
4. Usia
5. Penghasilan
6. Jumlah anak

Gambar 2.2

Kerangka Teori

Yola Yolanda dkk (2020)


BAB III
KERANGKA KONSEP

A. Kerangka Konsep
Pada penelitian ini dapat dilihat skema kerja penelitian pada gambar.

Variabel Independen Variabel Dependen

Dukungan keluarga

Dukungan sosial
Beban Keluarga

Pendidikan

Usia

Penghasilan

Jumlah anak

Gambar 3.1

Dari gambar di atas faktor-faktor yang berhubungan dengan beban keluarga dalam

merawat anak autis peneliti hanya melakukan penelitan faktor-faktor yang berada

pada kotak bergaris lurus sementara faktor yang dalam kotak garis putus-putus

tidak dilakukan penelitian. Berdasarkan jurnal yang ditemukan bahwa hampir

80% faktor yang berhubungan dengan beban keluarga yaitu dukungan keluarga,

dukungan social, dan pendidikan. Sementara faktor lainnya tidak terdapat

hubungan yang bermakna.


38

B. Hipotesis Penelitian

Ha : Tedapat hubungan dukungan kelurga dengan beban keluarga yang

merawat anak autis di Sekolah Luar Biasa Kota Padang Tahun 2023.

Ha : Tedapat hubungan dukungan sosial dengan beban keluarga yang

merawat anak autis di Sekolah Luar Biasa Kota Padang Tahun 2023.

Ha : Terdapat hubungan pendidikan dengan beban keluarga yang merawat

anak autis di Sekolah Luar Biasa Kota Padang Tahun 2023

Ho : Tidak ada hubungan dukungan kelurga dengan beban keluarga yang

merawat anak autis di Sekolah Luar Biasa Kota Padang Tahun 2023.

Ho : Tidak ada hubungan dukungan sosial dengan beban keluarga yang

merawat anak autis di Sekolah Luar Biasa Kota Padang Tahun 2023.

H0 : Tidak ada hubungan pendidikan dengan beban keluarga yang merawat

anak autis di Sekolah Luar Biasa Kota Padang Tahun 2023


BAB III

METODE PENELITIAN

C. Desain penelitian

Jenis penelitian ini adalah deskriptif analitik dengan desain cross

sectional study, untuk mengetahui Faktor-faktor yang berhubungan dengan

beban keluarga dalam merawat anak autis di Sekolah Luar Biasa Kota

Padang Tahun 2023, dimana baik variabel independen maupun variable

dependen diambil secara bersamaan dengan mengamati individu (sampel)

dari satu populasi pada periode tertentu.

D. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitan ini dimulai Februari sampai Maret 2023. Dilaksanakan di

Sekolah Luar Biasa Kota Padang.

E. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang

diteliti (Notoatmodjo, 2012). Populasi dalam penelitian ini adalah

seluruh anak autis yang berada di Sekolah Luar Biasa kota Padang

sebanyak 183 orang.

2. Sampel

Sampel adalah sebagian dari keseluruhan objek penelitian yang

diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Nursalam,2015).

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan


pengambilan sampel total sampling yaitu semua populasi dijadikan

sampel dalm penelitian.

Rumus yang di gunakan untuk menentukan jumlah sampel adalah

menggunakan rumus Notoadmodjo, 2010 :

N
n =
1+ N (d²)
Keterangan :
n : Besar sampel minimum
N : Jumlah populasi
d : Tingkat kesalahan

Jadi besarnya sampel adalah sebagai berikut :

183
n =
1+183 (0,1²)

183
n =
1 + 1,8

183
n =
2,8

n = 65,3

Maka sampel dibulatkan menjadi 65 orang

F. Kriteria inklusi dan Kriteria eksklusi

1. Kriteria inklusi

a. Orang tua yang merawat langsung dan tinggal dalam satu rumah

dengan anak autis


b. Orang tua mampu membaca dan menulis serta menyetujui untuk

menjadi responden

c. Orang tua kooperatif

2. Kriteria eksklusi

a. Orang tua yang tidak ibu kandung dari anak penyandang autis

b. Orang tua yang memiliki penyakit kroni, cacat atau yang mengalami

penyakit kejiwaan

G. Definisi Operasional

Table 3.3
Definisi Operasional
Cara Alat Skala
Variabel Definisi Operasional Hasil Ukur
Ukur Ukur Ukur

Independen Beban keluarga dalam Wawancara Kuisio 1. Berat bila Ordi


nilai
Beban melakukan perawatan ner nal
jawaban ≥
keluarga terhadap anggota 60 %
2. Ringan bila
keluarga yang memilki
nilai jawaban
anak autsi < 60%

(Riasmin, M.
2012)

Dependen Dukungan yang diterima Wawancara Kuisio 1. Baik bila Ordinal


nilai jawaban
Dukungan individu dari keluarga ner
≥ 60 %
keluarga terdekat seperti suami 2. Kurang
baik bila nilai
jawaban <
60%
(Notoadmojo,
2010)

Dependen Dukungan yang diterima Wawancara Kuisio 1. Baik bila Ordinal


nilai jawaban
Dukungan individu dari orang- ner ≥ 60 %
2. Kurang
sosial orang tertentu dalam
baik bila nilai
kehidupannya dan jawaban <
60%
berada di dalam
(Notoadmojo,
lingkungan sosial 2010)

Pendidikan Jenjang pendidikan Wawancara Kuisio 1. Tinggi Ordinal


(SMA-
terakhir oleh oerang tua ner
Perguruan
yang memiliki anak autis tinggi)
2. (Tidak
Sekolah
sampai SMP)

H. Instrumen Penelitian

Alat ukur dalam penellitian ini disebut dengan instrument penelitian.

Instrumen panelitian adalah suatu alat yang digunakan untuk mengukur variable

yang di amati. Instrumen penelitian ini terdiri dari variable independen (beban

keluarga) variable dependen yaitu dukungan social dan pendidikan dengan

menggunakan kuisioner penelitian yang dilakukan oleh Riasmini, N.M (2012

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan instrumen data berupa

kuesioner dengan menggunakan pertanyaan dan pernyataan terkait dengan

penelitian, kuesioner yang digunakan yaitu:

1. Beban keluarga

Kuesioner yang digunakan adalah skala gutman. Skala ini bertujuan untuk

mengetahui beban keluarga yang memiliki autis. Kuesioner ini terdiri dari 30

pertanyaan

2. Pendidikan
Kuesioner ini di gunakan untuk melihat jenjang pendidikan seseorang sesuai

dengan teori Notoamodjo, 2010

3. Dukungan sosisal

Kuesioner yang digunakan untuk melihat dukungan social terdiri dari 26

pertanyaan untuk melihat gambaran dari dukungan sosial pada keluarga yang

memliki anak autis

4. Dukungan keluarga

Kuesioner yang digunakan untuk melihat dukungan social terdiri dari 26

pertanyaan untuk melihat gambaran dari dukungan sosial pada keluarga yang

memliki anak autis

I. Uji Validitas dan Reabilitas

1. Uji validitas

Validitas adalah suatu indeks yang menunjukkan alat ukur itu benar-

benar mengukur apa yang diukur (Notoatmodjo, 2012). Alat ukur

menggunakan kuesioner yang sudah tervaliditas oleh Nursalam (2017)

untuk kuesioner beban keluarga, dukungan social dan pendidikan

keluarga yang memiliki anak autis. Adapun nilai r < 0,05 maka

pertanyaan dinyatakan tidak valid atau didasarkan pada nilai r, dimana

pertanyaan dinyatakan valid apabila r hitung > r tabel pada taraf

signifikasi 5% sehingga pertanyaan dapat di gunakan untuk

mengumpulkan data penelitian

2. Uji Reabilitas

Uji realibilitas adalah uji yang dilakukan untuk mengetahui apakah

instrument yang digunakan telah realibel. Suatu alat yang dikatakan


realibel alat itu mengukur suatu gejala dalam waktu berlainan senantiasa

menunjukkan hasil yang sama (Notoatmodjo, 2010). Penelitian ini tidak

dilakukan uji reabilitas karena peneliti menggunakan kuesioner dari

peneliti sebelumnya.

J. Etika penelitian

Menurut Hidayat (2018), penelitian apapun khususnya menggunakan

manusia sebagai objek tidak boleh bertentangan dengan etika, oleh karena

itu setiap peneliti menggunakan subjek untuk mendapatkan persetujuan dari

subjek yang diteliti. Peneliti memperhatikan aspek etika responden dengan

menekankan masalah etika yang diteliti.

Untuk menjaga kerahasiaan identitas subjek, peneliti tidak mencantumkan

nama lengkap subyek pada lembar pengumpulan data. Peneliti memberikan

informasi kepada responden untuk mencantumkan inisial nama saja. Namun

jika ada responden yang bersedia mencantumkan nama lengkap, maka

peneliti akan menjaga privasi dari responden

K. Metode Pengumpulan data

1. Jenis Pengumpulan Data

a. Data Primer
Data primer adalah data yang didapatkan langsung dari

responden saat penelitian berlangsung dengan meggunakan

kuisioner penelitian

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data anak autis yang di Sekolah Luar

Biasa Kota Padang.

2. Teknik Pengumpulan Data

Tahap-tahap dalam pengumpulan data yang peneliti lakukan adalah:

a. Mengurus surat izin untuk pengumpulan data tentang angka

kejadian anak autis di Sekolah Luar Biasa Kota Padang

b. Setelah mendapat surat izin peneliti meminta izin kepada Waka

Sekolah Luar Biasa Kota Padang untuk melakukan pengambilan

data awal

c. Kemudian peneliti diarahkan keruangan guru dan mewawancari

guru yang mengajar pada hari itu

d. Menjelaskan kepada guru prosedur,tujuan dan manfaat penelitian

e. Kemudian peneliti meminta persetujuan kepada guru untuk

kesediaan anak autis tersebut menjadi responden penelitian

3. Teknik Pengolahan Data

Data yang telah terkumpul,diolah terlebih dahulu dengan tujuan

untuk menyederhankan seluruh data yang terkumpul dan menyajikan dalam

bentuk susunan yang baik dan rapi,selanjutnya dianalisis dengan

komputerisasi. Pengolah data dilakukan dengan menggunakan komputer

dengan tahap-tahap sebagai berikut.


a. Memeriksa data (Editing)

Editing ini dilakukan untuk memastikan bahwa data yang

dikumpulkan sudah lengkap dan untuk menterjemahkan semua

variabel sesuai dengan tujuan penelitian. Data yang dikumpulkan dan

diperiksa yaitu pengukuran tingkat berbicara responden yang diisi oleh

peneliti yang konsisten dan sesuai dengan hasil pengukuran selama

penelitian

b. Memasukan data (Entery data)

Data yang dimasukan kedalam master tabel untuk dianalisa

c. Pembersihan data (cleaning data)

Data yang di entry diperiksa kembali untuk memastikan bahwa

sata bersih dari kesalahn sehingga siap dianalisa. Data yang diperoleh

merupakan hasil pengukuran tingkat berbicara responden selama

penelitian. Hasil pengukuran tersebut dihubungkan untuk menguji

hipotesa penelitian sehingga dapat diketahui adanya hubungan antara

variabel dependen dengan independen

L. Analisa Data

1. Analisa Univariat

Peneliti melakukan analisa univariat dengan cara analisis

statistik deskriptif meliputi nilai mean,median, dan standar deviasi dari

setiap variabel. Tujuan Analisa data adalah untuk menjelaskan atau

mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian.

2. Analisa Bivariat
Analisa bivariat dilakukan dengan komputerisasi untuk mengetahui

hubungan yang bermakna antara variable dependen dengan variable

independen. Data yang didapatkan diolah dengan uji statistik untuk

melihat distribusi data dengan uji chi square jika nilai p value <0,05

berarti ada hubungan yang bermakna antara variable dependen dengan

variable independen.

Anda mungkin juga menyukai