Anda di halaman 1dari 6

enter

for
Diseases
Control
and
Prevention (CDC)
di Amerika Serikat p
ada
Maret 2013 melaporkan
prevalensi autis
me
yang meningka
t hingga 1:50 dalam
kurun
waktu setahun terakhir. Hal tersebut bukan
hanya terjadi di n
egara
-
negara maju seperti
Inggris, Australia, Jerman dan Amerika namun
juga terjadi di negara berkembang seperti
Fauziah
Lubis dan Jhons Fatriyadi
| Paparan Prenatal Valproat dan
Autism Spectrum Disorder
(ASD)
pada Anak
Majority | Volume 5 | Nomor
3
|
September
2016 |
86
Indonesia. Prevalensi autis
me
di dunia saat ini
mencapai 15
-
20 kasus p
er 10.000 anak atau
berkisar 0,1
5
-
0,20%. Jika angka kelahiran di
Indonesi
a 6 juta per tahun maka jumlah
penyandang autis
me
di Indonesia
akan
bertambah 0,15% atau 6.900 anak per
tahunnya.
5
Sumber
lain
menyatakan
,
prevalensi rata
-
rata secara global adalah
62:10.000 atau ada 1 dari 160 anak dengan
ASD.
6
Kasus ASD pada anak laki
-
laki ditemukan
lebih tinggi empat sampai lima kali dibanding
pada
anak
perempuan
.
N
amun,
anak
perempuan dengan ASD sering disertai
dengan
keterbelakangan mental yang be

Prevalensi penyandang autisme di seluruh dunia menurut data UNESCO pada tahun
2011yaitu 35 juta orang penyandang autisme di duniaadalah 6 di antara 1000 orang mengidap
autis (Sumaja, 2014).
Center for Disease Control (CDC) melaporkan data prevalensi autis dari tahun 2010-2014
mengalami peningkatan. Di tahun 2014, CDC memperkirakan bahwa 1 dari 68 anak (atau
14,7 per 1.000 anak usia delapan tahun) di beberapa komunitas di Amerika Serikat telah
diidentifikasi dengan ASD. Perkiraan baru ini sekitar 30% lebih tinggi dari perkiraan
sebelumnya. Dilaporkan pada tahun 2012 yaitu 1 dari 88 anak (11,3 per 1.000 anak usia
delapan tahun) yang diidentifikasi dengan ASD. Di Amerika kelainan autisme 5kali lebih
sering ditemukan pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan yaitu 1 di antara 42 anak
laki-laki dan 1 di antara 189 anak perempuan.
Lebih sering banyak diderita anak berkulit putih dibandingkan berkulit hitam (CDC, 2014).
Di Indonesia, pada tahun 2013 diperkirakan terdapat lebih dari 112.000 anak yang menderita
autisme dalam usia 5-19 tahun (Hazliansyah, 2013)
.
Menurut Pratiwi dan Dieny (2014), prevalensi autis di dunia saat ini mencapai 15-20 kasus
per10.000 anak atau berkisar 0,l5-0,20% jika angka kelahiran di Indonesia 6 juta per tahun
maka jumlah penyandang autis di Indonesia bertambah 0,15% atau 6.900 anak per tahun.
Saat ini belum ada data khusus terkait angka kejadian autisme, namun Kementerian
Kesehatan (Kemenkes) menyebutkan jumlah anak autis cukup tinggi di Indonesia (
Syarifah, 2014).
Jogja Autism Care(n.d)mengemukakan bahwa provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)
diperkirakan jumlah penderita autisme meningkat 4-6orang setiap tahunnya, dari tahun 2001
sampai 2010 terus meningkat jumlahnya.Menurut data Dinas Pendidikan DIY (n.d.)dalam
Badan Pemberdayaan Perempuan dan Masyarakat (BPPM) DIY (2014), di DIY saat ini
terdapat 272 anak penderita autis, jumlah anak laki-laki penderita autis lebih banyak
dibanding dengan perempuan.

UNESCO memiliki data pada 2011 lalu diperkirakan terdapat 35 juta orang dengan autisme
di dunia atau 6 orang di antara 1.000 orang populasi dunia menyandang autisme.

Meski di Indonesia belum ada data resmi yang menyatakan jumlah pasti anak dengan
autisme, pada 2013 lalu Direktur Bina Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan pernah
menduga jumlah anak dengan autisme di Indonesia sekitar 112 orang dengan rentang usia 5
sampai 19 tahun. Di Indonesia, pada tahun 2015 data dari klinikautisme per 250 anak
mengalami gangguan autisme dan terdapat kurang lebih 12.800 anak dengan autisme dan
134.000 orang dengan autisme di Indonesia.

Meski di Indonesia belum ada data resmi yang menyatakan jumlah pasti anak dengan autisme, pada
tahun 2013 lalu Direktur Bina Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan pernah menduga jumlah anak
dengan autisme di Indonesia sekitar 112 orang dengan rentang usia 5 sampai 19 tahun.

Data lain tahun 2015 di Indonesia memperkirakan lebih dari 12.800 anak menyandang autisme dan
134.000 menyandang spektrum Autisme (klinikautisme.com).

Disease Control and Prevention (CDC) di


Amerika Serikat pada tahun 2012 telah
diidentifikasi 1:68 dengan Kelainan
Spektrum Autisme dimana kejadian pada
anak laki 4.5 kali dari anak perempuan.
Kira kira 1:6 anak mengalami gangguan
tipe ringan seperti gangguan bicara dan
bahasa sampai tipe berat yaitu gangguan
intelektual, cerebral palsydan
autisme.(CDC,2015). Menurut Direktur
Bina Kesehatan Jiwa Kementerian
Kesehatan mengatakan, diperkirakan tahun
2013 terdapat 112.000 anak di Indonesia
menyandang autisme, pada rentang usia
sekitar 5-19 tahun (Melisa, 2013). Tahun
2015 diperkirakan terdapat kurang lebih
12800 anak penyandang Autisme dan
134.000 penyandang spektrum Autisme
(Judarwanto,W.,2015).
Hal pertama yang membantu proses penerimaan ini adalah informasi autis yang kini begitu
mudah didapat, tidak seperti lima tahun lalu. Begitu pula keluarga besar. Kalau keluarga
besar tidak bisa menerima, biasanya orang tua saling menyalahkan.

Pasangan menentukan faktor penerimaan. Biasanya, ibu yang mengurus dan mengantar anak
ke sana-sini. ketika suami ikut mendukung akan lebih mudah bagi istri untuk masuk ke fase
penerimaan.
Banyak dan mahalnya perawatan kerap memberikan tekanan tersendiri bagi orang tua anak
autis. Padahal, selain masalah finansial, gejala autis juga cukup membuat orang tua stres.
Seperti, sulitnya merangkul anak secara emosional, sulitnya berkomunikasi, dan juga
interaksi sering membuat orang-tua berbicara pada anak namun anak tak mengerti, dan
sebaliknya. Akhirnya keduanya frustrasi.

bahkan ada juga pasangan suami istri bertengkar lalu saling menyalahkan
Komitmen dikatakan sebagai prediktor
yang kuat dalam keutuhan pernikahan karena Stanley (dalam Lambert & Dollahite, 2008),
menjelaskan bahwa komitmen berhubungan dengan komunikasi yang lebih baik,
kebahagiaan yang lebih besar dan tingkah laku yang konstruktif ketika sedang menghadapi
kesulitan.
Komitmen pada pasangan suami istri telah terbukti menjadi prediktor terkuat dalam menjaga
stabilitas pernikahan (Clements & Swenson, 2000), oleh sebab itu komitmen dijadikan
sebagai cara untuk mempertahankan pernikahan, tetapi komitmen mengalami perubahan
sejak awal pernikahan sampai terjalinnya hubungan dalam waktu yang lama (Burgoyne,
Reibstein, Edmunds, & Routh, 2010).

sering dialami oleh orang tua yang memiliki anak autisme, diantaranya perasaan tidak
mampu, bersalah dan malu.Pada akhirnya akan menyebabkan orang tua berada pada kondisi
putus asa.
Banyak masyarakat luas yang belum memahami tentang autisme. Penolakan terhadap anak-
anak ini terlihat ketika mereka sulit diterima untuk bersekolah disekolah-sekolah umum
sebagaimana anak lainnya. Hal ini dapat menjadi beban bagi sebagian keluarga yang
memiliki anak autis. Ada perasaan malu dan perasaan untuk menjauh dari kehidupan
sosialnya (Marijani, 2013).

Jika melakukan perawatan dengan benar, anak autis akan bisa menyesuaikan dirinya. Mereka juga
akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Bahkan, bukan tidak mungkin bagi mereka untuk
menjadi lebih mandiri dari sebelumnya.

Mereka akan semakin terisolir dari dunia luar dan hidup dalam dunianya sendiri dengan
berbagai gangguan mental serta perilaku yang semakin mengganggu. Tentu semakin banyak
pula dampak negatif yang akan terjadi (Veskariyanti, 2008)
Keberadaan pendamping yaitu fisioterapi, orangtua, keluarga, dan masyarakat bagi anak
berkebutuhan khusus memiliki makna yang berarti bagi proses perlindungan dan tumbuh
kembangnya.
memahami perkembangan anak autistik dan melakukan penanganan dengan cara-cara yang
tepat serta sesuai dengan perkembangan anaknya. Dengan pemahaman
ibu yang baik tentang anakautistik diharapkan ibu dapat segera mengambil tindakatn
intervensi dini yang tepat dengan bantuan ahli yang dibutuhkan.sehingga anak mampuhidup
dan berbaur dalam masyarakat luas.

stigma negatif dari masyarakat terhadap anak autis, Banyak orang beranggapan bahwa anak
autis adalah anak-anak yang aneh dan ada juga yang beranggapan bahwa autisme adalah
penyakit menular dan sebahagian masyarakat bahkan tidak menerima dan mengakui
keberadaan anak-anak autis ini.Penolakan terhadap anak-anak autis ini terlihat ketika mereka
sulit diterima untuk belajar di sekolah-sekolah umum sebagaimana anak-anak lainnya. Pada
kenyataannya kebutuhan akan pendidikan adalah hak setiap anak, tidak kecuali anak
berkebutuhan khusus termasuk anak autis.

Ibu umumnya lebih dapat menerima keberadaan anak apa adanya sehingga ibu lebih banyak
berperan dalam proses perkembangan anak, sedangkan peranan ayah biasanya lebih
berorientasi pada pekerjaan, sementara tugas untuk mengurus anak baik pengasuhan maupun
pendidikan diserahkan pada ibu. Secara emosional, ayah kurang berperan bila dibandingkan
ibu sehingga penerimaan ayah dalam menerima kenyataan mengenai anak autis jauh lebih
sulit

Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Anak Autis

Hambatan – hambatan yang dialami anak autis baik hambatan fisik, kognitif, sosial,
emosional, dan kepribadian disebabkan oleh beberapa faktor. Berikut faktor – faktor yang
mempengaruhi perkembangan anak autis :

1. Perkembangan fisik anak autis :


a. Keadaan ibu ketika hamil
b. Kelainan perkembangan otak
c. Gangguan koordinasi otak ketika dalam kandungan
d. Kesalah pengasuhan paska kelahiran dan dalam tumbuh kembang

2. Perkembangan kognitif anak autis


a. Kemampuan daya ingat anak autis
b. Perkembangan otak anak autis
c. Pengalaman anak
d. Keadaan lingkungan
e. Penerimaan informasi

3. Perkembangan sosial anak autis


a. Lingkungan sekitar
b. Pengalaman anak di masyarakat
c. Keluarga
d. Pengetahuan yang diperoleh

4. Perkembangan emosional anak autis


a. Keadaan anak
b. Tekanan psikis
c. Lingkungan sekitar
d. Usia tumbuh kembang anak
e. Pengalaman yang dialami anak

5. Perkembangan kepribadian anak autis


a. Keadaan anak
b. Lingkungan sekitar
c. Bimbingan yang didapat
d. Interaksi sosial
e. Komunikasi

Anda mungkin juga menyukai