Anda di halaman 1dari 45

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Anak merupakan generasi penerus bangsa yang layak untuk

mendapatkan perhatian dan setiap anak memiliki hak untuk mencapai

perkembangan kognisi, sosial dan perilaku emosi yang optimal agar tercapai

masa depan bangsa yang baik (Sugeng, 2019). Pada dasarnya, setiap orang tua

memiliki keinginan anaknya mengalami tumbuh dan berkembang dengan

sempurna (Pradana & Kustanti, 2018).

Prevalensi anak autis di dunia selalu meningkat. Berdasarkan data dari

World Health Organization/WHO (2018) menyebutkan bahwa diperkirakan satu

dari 160 anak di seluruh dunia mengidap Autism Spectrum Disorder (ASD).

Berdasarkan laporan Center for Disease Control tahun 2020, sekitar 1 dari 54

anak di Amerika Serikat didiagnosis dengan gangguan spektrum autisme (CDC,

2020).

Pusat Data Statistik Sekolah Luar Biasa mencatat jumlah siswa autis di

Indonesia pada tahun 2019 sebanyak 144.102 siswa (Kemendikbud, 2021).

Angka tersebut naik dibanding tahun 2018 tercatat sebanyak 133.826 siswa autis

di Indonesia (Kemendikbud, 2020). Badan Pusat Statistik saat ini di Indonesia

terdapat sekitar 270,2 juta dengan perbandingan pertumbuhan anak autis sekitar

3,2 juta anak (BPS, 2020). Periode tahun 2020-2021 dilaporkan sebanyak 5.530

1
orang. Jumlah anak autis ini selalu meningkat setiap tahunnya sebesar 147,

maka dalam 10 tahun sedikitnya 529,200. Wajar jika tahun ini diperkirakan

sebanyak 2,4 juta (BPS, 2022)

Pusat data statistik sekolah luar biasa mencatat jumlah siswa autis di

Inonesia pada tahun 2019 sebanyak 144.102 siswa (Kemendikbud, 2020). Angka

tersebut naik dibanding tahun 2019 tercatatat sebanyak 133.826 siswa autis di

Indonesia dengan daerah tingkat pertama DKI Jakarta dan Sumatera Barat di

urutan ke 9 di Indonesia (Kemendibud, 2021).

Berdasarkan data dinas pendidikan di Sumatera Barat tahun 2022 Anak

autis harus mendapatkan pendidikan normal seperti anak lainnya maka

pemerintah menyediakan sekolah khusus luar biasa atau di sebut juga SLB,

dikota Padang sendiri terdapat sebanyak 38 SLB yang terdiri dari 1.464 siswa

yang tersebar di sekolah luar biasa (SLB), dimana jumlah laki-laki sebanyak 929

orang dan siswa perempuan 539 orang (Dapodikdasmen, 2023)

Autisme adalah gangguan syaraf otak pada anak yang menghambat

perkembangan sehingga tidak mampu berkembang secara normal. Gangguan

perkembangan ini ditandai adanya gangguan berkomunikasi, berbahasa,

berinteraksi sosial, serta adanya ketertarikan terhadap sebuah hal dan berperilaku

berulang. Penderita autisme lebih dikenal dengan kata autis (Wang et al, 2018).

Gangguan perkembangan pada anak autis mempengaruhi dalam beberapa bagian

seperti bagaimana anak mempelajari dunia melalui pengalaman yang

dialaminya. Menyebabkan anak tersebut hidup didalam dunia sendiri (Indiarti &

2
Rahayu, 2020).

Anak autis memperlihatkan beberapa gejala, menurut Baron-Cohen dan

Belmonte adanya 3 gejala inti pada anak autis yang lebih kelihatan seperti:

kurangnya kemampuan untuk menginterpretasikan emosi, kapasitas untuk

berinteraksi dan berkomunikasi sosial, dan fokus terlalu lama pada sebuah subjek

atau kegiatan. Usia dua-tiga tahun, pada masa balita ini anak lain biasanya mulai

belajar berbicara, berbeda dengan anak autis yang tidak menampakkan tanda-

tanda berbicara. Anak autis sering kali melakukan sesuatu secara berulang,

seperti berputar-putar, mengepakngepakkan lengannya, menggoyang-goyang kan

badannya Purnomo & Hadriami, 2015)

Anak dengan Autis mengalami hambatan dan kesulitan dalam hal

komunikasi, bahasa, perilaku, dan interaksi sosial. Dalam mengatasi hambatan

pada anak autis agar anak tersebut mendapatkan pendidikan yang layak, sesuai

dengan UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa

negara memberikan jaminan sepenuhnya kepada anak berkebutuhan khusus untuk

memperoleh layanan pendidikan yang bermutu, pemerintah membuat program

khusus Sekolah Inklusi (Kurniawan, 2018)

Keluarga merupakan dua orang tua yang hidup bersama dengan ikatan

dan kedekatan emosional baik yang tidak memiliki hubungan darah, perkawinan,

atau adopsi dan tidak memiliki batas keanggotaan dalam keluarga. Meskipun

dalam lingkup kecil, namun hubungan yang terbangun antar anggota keluarga

lebih erat dan intim (Zakaria, 2017)

3
Dalam suatu keluarga, orang tua berperan penting dalam medidik,

merawat dan membesarkan anaknya, karena sudah merupakan tanggung jawab

mereka, Mengasuh anak merupakan tugas yang paling penting sekaligus paling

sulit dan kompleks bagi orang tua. Ada beberapa alasan mengapa tugas mengasuh

anak tergolong penting sekaligus sulit dan kompleks. Pertama, karena kualitas

pengasuhan akan sangat mempengaruhi bagaimana berkembangnya anak,

misalnya karakter dan kompetensinya. Kedua, tugas mengasuh anak tidak hanya

berkaitan dengan merawat atau membesarkan anak, tetapi juga berkaitan dengan

melakukan proses sosialisasi atau penanaman nilai pada anak. Dan ketiga, tugas

pengasuhan anak tidak hanya bersifat dyiadic dengan anak, tetapi bersifat

polyandic karena dipengaruhi oleh berbagai konteks perkembangan (Desvi, 2018)

Peran dan fungsi keluarga dalam mendampingi anak berkebutuhan khusus

disini anak autis sangat penting, berkaitan dengan hal tersebut WHO, (2020)

merilis berbagai panduan bagi orang tua dalam mendampingi putra-putri selama

pandemi ini berlangsung yang meliputi tips pengasuhan agar lebih positif dan

konstuktif dalam mendampingi anak selama beraktivitas di rumah. Orang tua

pada awalnya berperan dalam membimbing sikap serta keterampilan yang

mendasar, seperti pendidikan agama untuk patuh terhadap aturan, dan untuk

pembiasaan yang baik (Nurlaeni & Juniarti, 2017).

Peranan keluarga yang kurang baik dalam merawat anak autis akibat

keluarga merasa tidak percaya diri, merasa tidak berdaya dan kehilangan harapan

4
harapan yang realistik karena kehadiran anak yang tidak sesuai dengan harapan

sehingga orang tua yang memiliki penyandang autis menjadi kaget, menjadi

bingung, perasaan panik, merasa dirinya bersalah, perasaan menjadi malu dan

perasaan menjadi bingung untuk menjelaskan pada orang lain tentang kondisi

anaknya, masalah penanggungan biaya perawatan, mengontrol keadaans emosi

anaknya dan cara menghadapi anak pada saat anak tantrum, menjadi bingung

mencari sekolah, dan menghadapi kekhawatiran masa depan anaknya (Nurlaeni

& Juniarti, 2017).

Dampak psikologi keluarga atau orang tua yang memiliki anak autis

mngalami beberapa masalah khususnya dalam kehidupan mereka, diantaranya

muncul kecemasan mengenai masa depan anak, pengalaman stigma sosial,

keterbatasan dalam bersosial dan karier, adanya hubungan yang canggung dengan

orang sekitar, kendala keuangan, kesejahteraan dan emosional yang buruk, dan

kurangnya layanan yang memadai. Hal tersebut berpengaruh terhadap tingkat

stres, depresi dan kecemasan orang tua dalam mengurus anak-anak mereka yang

berbeda dengan anak normal pada umumnya. Akibatnya orang tua mengalami

kesulitan untuk dapat beradaptasi dengan permasalahan yang sedang dihadapi.

Oleh karena itu, dibutuhkan kemampuan untuk menghadapinya. Kemampuan ini

dapat disebut sebagai resiliensi, yaitu kemampuan dalam mengatasi suatu

masalah atau bertahan dari cobaan dan mampu beradaptasi terhadap

permasalahan yang sedang dihadapi sehingga individu dapat berkembang secara

positif (Widya, 2019).

5
Beban lain yang juga dialami orangtua adalah banyaknya energi dan

waktu yang tersita untuk mengurus anak autis terganggunya pekerjaan,

terbatasnya interaksi dan sosialisasi mereka dengan lingkungan, berkurangnya

perhatian orangtua terhadap saudara anak autis, serta rendahnya kepuasan dalam

hubungan keluarga. Beratnya beban pengasuhan yang dihadapi orangtua dalam

mengasuh anak autis dapat berdampak negatif, baik pada orangtua sendiri,

maupun pada anak. Dibutuhkan sebuah dukungan yang dapat membantu mereka

beradaptasi terhadap beban pengasuhan tersebut (Desvi, 2018)

Menurut Ekaningtyas (2019) mengatakan bahwa dua faktor

mempengaruhi beban keluarga dalam merawat anak autis yaitu faktor pertama

dari tingkat keparahan anak autis, yang dimaksud dari tingkat keparahan adalah

perilaku yang ditunjukkan oleh anak autis. Faktor kedua adalah parenting self-

efficacy (PSE), mengatakan PSE adalah persepsi dan keyakinan orang tua apakah

mereka memiliki kemampuan secara positif untuk mempengaruhi perilaku dan

perkembangan anak. Selain itu faktor yang menjadi beban keluarga dalam

merawat anak Autis sehingga dapat mesnghasilkan informasi, salah satunya

pentingnya dukungan sosial dan pendidikan pada keluarga dalam merawat anak

Autis. Dengan adanya dukungan sosial yang baik dan pendidikan yang tinggi

maka akan mengurangi beban keluarga dalam merawat anak Autis.

Menurut Yola (2020) faktor-faktor yang mempengaruhi beban keluarga

dalam merawat anak autis diantaranya dukungan keluarga, dukungan sosial,

pendidikan, usia, penghasilan, dan jumlah anak. Dukungan sosial sangat

6
berpengaruh dalam menjaga kondisi seseorang yang mengalami tekanan. Ibu

dengan anak autis yang kurang mendapatkan dukungan sosial dari seseorang

yang berarti, seperti: teman, pasangan atau ayah dari anak, dan lingkungan

terdekat yang membuat energi positif yang ada pada ibu menjadi hilang. Ibu tidak

merasa terbantu dalam perannya sebagai seorang ibu dalam membesarkan anak

autis (Yolanda, Abdullah, & Erwina, 2016).

Disini keadaan orang tua juga mempengaruhi perkembangan anak

berkebutuhan khusus. Terutama keadaan ekonomi orang tua. Tidak semua orang

tua memiliki materi yang cukup mampu, ada beberapa orang tua yang memang

harus berjuang keras untuk mendapatkan materi. Ada beberapa yang terkendala

masalah ekonomi sehingga terpaksa untuk tidak menyekolahkan anaknya baik di

SLB, sekolah inklusi maupun sekolah umum. Seperti wawancara yang dilakukan

pada salah satu orang tua (Rabiatul, 2020)

Menurut teori Van Tongerloo et al,ss 2012 menyatakan Caregiver

berpenghasilan rendah dikaitkan beban yang lebih tinggi. Penghasilan yang

rendah adalah stressor yang mempengaruhi tekanan perasaan selama memberikan

perawatan bagi anggota keluarga yang sakit, karena selain memberikan

perawatan bagi anggota yang sakit, caregiver juga harus memecahkan masalah

keuangan dan mencari sumber uang. Mace dan Rabins dalam Lubis, 2009 dalam

merawat orang berkebutuhan khusus dapat menimbulkan dampak sosial dan

finansial pada keluarga yang merawatnya karena kondisi disabilitas anak

penyandang autis, sehingga sebuah beban bagi keluarga yang merawat anak autis.

7
Ekonomi keluarga turut mempengaruhi penerimaan diri anak

berkebutuhan khusus didalam keluarga, dikarenakan keuangan keluarga yang

memadai dapat memberikan kesempatan yang lebih baik bagi orang tua untuk

memberikan penyembuhan bagi anak, sehingga orang tua menjadi lega, dan

membuat orang tua lebih mudah untuk menerima anaknya. Sebagaimna

diungkapkan oleh Sarasvati (Nurfaizah, 2015) bahwa dengan finansial yang lebih

baik, makin besar pula kemungkinan orang tua untuk dapat memberikan beberapa

terapi sekaligus sehingga proses penyembuhan anak juga semakin cepat.

Menurut Kartini Kartono tahun (2019) status ekonomi keluarga adalah

kedudukan seseorang maupun keluarga di masyarakat berdasarkan pendapatan.

Untuk menggolongkan ke dalam kelas mana seseorang disejajarkan, Nasution

membagi dalam beberapa yakni. Pertama, adalah pekerjaan, artinya pekerjaan

yang profesional dan menggunakan kecakapan akademis akan lebih mendapat

penghargaan dari masyarakat, sehingga akan digolongkan ke dalam kelas atas.

Kedua, adalah pendapatan, artinya pendapatan yang tinggi dari suatu pekerjaan

yang profesional dan memiliki pendidikan akademis juga akan mendapatkan

penghargaan yang lebih baik dibandingkan dengan yang hanya menggunakan

tenaga kasar dan tidak berpendidikan.

Keluarga dalam hal ini orang tua adalah lingkungan terdekat dan utama

8
dalam kehidupan anak berkebutuhan khusus, peran orang tua dan dukungan

penuh dari keluarga sangat menentukan peningkatan kemampuan anak. Anak

yang mendapatkan kasih sayang dari orang terdekatnya akan mendorong anak

berusaha mempelajari hal – hal yang baru hingga akhirnya anak dapat berprestasi.

Disamping itu dukungan dari keluarga yang lain akan memberikan support bagi

orang tua untuk merawat anaknya (Dzikri, 2013)

Data jumlah anak SLB di kota Padang yaitu pertama SLB YPPA kota

Padang dengan jumlah siswa 96 orang, kedua SLB 2 Padang dengan jumlah 47

orang, dan ketiga SLB Wancana Asih dengan jumlah 40 orang. Studi

pendahuluan yang dilakukan peneliti pada tanggal 28 November 22 di SLB

YPPA kota Padang terbagi dalam dua kategori yaitu, 36 anak retardasi mental

ringan dan 60 anak lainnya dengan retardasi mental sedang, dari 38 SLB murid

yang paling banyak yaitu SLB YPPA kota Padang (SLB Kota Padang, 2022)

Penelitian yang dilakukan oleh Miftahul tahun (2020) tentang pengaruh

ekonomi orangtua anak berkebutuhan khusus menengah ke bawah terhadap

pendidikan anak berkebutuhan khusus di Sekolah Luar Biasa Tunas Harapan IV

Sumobito dapat ditarik kesimpulan bahwa perekonomian orangtua anak

berkebutuhan khusus menengah ke bawah mempengaruhi pendidikan anak

berkebutuhan khusus.

Berasarkan hasil wawancara 28 November 2022 kepada orang tua yang

memiliki anak autis di Sekolah Luar Biasa Kota Padang Tahun 2022 dengan 10

orang ibu diantaranya 4 orang ibu mengatakan mengalami beban keluarga yang

9
berat karena ibu mengatakan merawat anak autis membutuhkan biaya yang

banyak, 3 orang ibu mengatakan mengalami beban keluarga yang sedang karena

ibu mengatakan cemas karena tidak sangup menyekolahkan anak autis, 3 orang

ibu mengatakan biaya perawatan kesehatan anak autis yang lebih tinggi, ibu juga

mengatakan bahwa mereka merasa stres yang ditandai sering terbangun ditengah

malam memikirkan masa depan anaknya, merasa kurang istirahat dalam

menghadapi perilaku anaknya yang perlu diawasi terus dan membuat ibu merasa

untuk susah beristirahat saat pulang kerja.

Berdasarkan fenomena diatas, peneliti telah melakukan penelitian tentang

“Gambaran faktor ekonomi terhadap beban keluarga dalam merawat anak autis

di Sekolah Luar Biasa Kota Padang Tahun 2023”.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada peneliti ini yaitu melihat gambaran faktor ekonomi

terhadap beban keluarga dalam merawat anak autis di Sekolah Luar Biasa Kota

Padang Tahun 2023

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui gambaran faktor ekonomi terhadap beban keluarga dalam

merawat anak autis di Sekolah Luar Biasa Kota Padang Tahun 2023

2. Tujuan Khusus

a. Diketahui beban keluarga yang merawat anak autis di Sekolah Luar

Biasa Kota Padang Tahun 2023

10
b. Diketahui gambaran ekonomi keluarga yang merawat anak autis di

Sekolah Luar Biasa Kota Padang Tahun 2023

D. Manfaat Penelitian

1. Pihak Sekolah Luar Biasa Kota Padang

Penelitian ini dapat digunakan sebagai materi gambaran tekait beban

keluarga yang merawat anak autis di Sekolah Luar Biasa Kota Padang tahun

2023

2. Bagi Institusi Pendidikan

Penelitian ini dapat memberikan manfaat dan tambahan informasi awal

tentang gambaran faktor ekonomi terhadap beban keluarga dalam merawat

anak autis di Sekolah Luar Biasa Kota Padang tahun 2023

3. Bagi Peneliti selanjutnya

Penelitian ini diharapkan menambah pengetahuan dan pengalaman

peneliti khususnya mengenai konsep atau metode penelitian tentang faktor

ekonomi terhadap beban keluarga dalam merawat anak autis.

11
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Autis

1. Pengertian Autis

Autis merupakan gangguan perkembangan fungsi otak yang

mencakup bidang sosial dan fungsi afek, komunikasi verbal (bahasa) dan

non-verbal, imajinasi, fleksibilitas, lingkup interest(minat), kognisi dan

atensi. Autis merupakan salah satu defisit perkembangan pervasif pada

awal kehidupan anak yang disebabkan oleh gangguan perkembangan

otak yang ditandai dengan ciri pokok, yaitu terganggunya perkembangan

bahasa dan wicara, interaksi sosial, serta munculnya perilaku yang

bersifat repetitif, stereotipik, dan obsesif (Muhith, 2015).

Autis menurut Rahayu (2015) merupakan sutu gangguan

perkembangan secara menyeluruh yang mengakibatkan hambatan dalam

kemampuan komunikasi, sosialisasi dan juga perilaku. Gangguan

tersebut dari taraf yang ringan sampai dengan taraf yang berat. Autis ini

pada umumnya muncul sebelum anak berusia 3 tahun, dan pada

umumnya penyandang autis mengabaikan suara, penglihatan ataupun

kejadian yang melibatkan mereka.

2. Gejala anak Autis

Menurut Ni’matuzahroh et al., (2021) Untuk mengetahui anak dengan

gangguan autis, ada lima gejala awal yang mereka tunjukan yaitu :

8
a. Gangguan interaksi sosial

Masalah interaksi sosial pada anak autis berhubungan erat dengan

rendahnya kemampuan tanggap sosial. Orang tua dari anak autis

melihat bahwa balita atau anak mereka tidak merespon secara

normal saat melakukan interaksi, tatapan matanya sering berbeda

secara signifikan dari yang lain. Mereka kadang-kadang

menghindari kontak mata dengan orang yang berada disekitarnya.

b. Gangguan komunikasi

Anak autis mempunyai profil perkembangan komunikasi yang

sangat unik. Namun demikian, terlepas dari tingkatan kemampuan

komunikasi mereka, semuanya memiliki kesulitan di area yang

sama. Mereka mengalami gangguan komunikasi verbal dan non-

verbal, pemahaman bahasa yang sangat literal dan kemungkinan

mereka mempunyai pemahaman yang sangat terbatas dalam

menyimpulkan arti dari makna bahasa. Sebagian besar anak autis

kurang komunikatif saat berada dilingkungan sosial, hampir 50%

dianggap bisu karena tidak menggunakan bahasa, meraka cenderung

pasif dan diam saat berada dilingkungan sosial. Cara berbicara

mereka terdengar seperti robot dan cenderung mengulang-ulang

kata yang didengarnya.

c. Perilaku repetitif dan rigid

Anak dengan penyandang autis mempunyai rentang perilaku dan

minat yang terbatas. Hambatan dalam berimajinasi dan bermain

peran adalah gejala umum dari autis juga kecenderungan yang kuat

9
terhadap rutinitas dan terprediksi, contoh mereka menyukai

mamakai pakaian tertentu, menolak melakukan aktivitas tertentu.

Mereka kesulitan untuk beradaptasi dengan hal-hal baru karena

tidak mampu berpikir secara fleksibel, mereka menyukai rutinitas

dan perilaku yang sudah menjadi kebiasaan yang membuat mereka

nyaman.

d. Gangguan kognitif

Kebanyakan anak autis menampilkan defisit kognitif sama dengan

individu keterbelakangan mental. Anak autis mampu mengingat

lokasi mereka dalam ruang dari pada konsep. Sebagai contoh

“belanja” berarti pergi ke toko tertentu, di jalan tertentu, bukan

konsep mengunjungi jenis toko untuk membeli sesuatu.

e. Masalah sensori

Banyak anak autis menjukan respon yang tidak biasa terhadap

rangsangan/stimuli sensori. Respon mereka bisa over responsif dan

under responsif, mereka bisa mendengarkan suara yang biasa-biasa

saja menjadi suara yang sangat menakutkan dan menyakitkan.

Kilatan lampu, lingkungan yang ramai dapat menyebabkan

kebingungan, serta rasa dan bau yang biasa saja bisa membuat anak

autis mual dan muntah.

3. Penyebab anak autis

Penyebab gangguan pada anak autis yang di kutip dalam Hallahan,

Kauffman (2006) dan Friend (2005) dalam Ni’matuzahroh et al., (2021)

10
ada beberapa faktor yang menyebabkan gangguan pada anak autis

khususnya secara umum yaitu :

a. Faktor neurologi

Adanya gangguan pada sistem saraf pusat pada otak yang

mengalami kelambatan pertumbuhan dan perkembangan pada anak

autis yang menyebabkan anak kesulitan untuk merespon saat

melakukan interaksi dengan orang disekitarnya.

b. Faktor genetik

Faktor genetik diduga menjadi bagian dari penyebab gangguan pada

anak autis. Gangguan autis 2-4% saudara kandung juga menderita

atau keturunan dari orang tua.

c. Faktor teratogenik

Faktor ini disebabkan karena kerusakanan perkembangan janin yang

dapat menyebabkan cacat atau kerusakan dalam perkembangan

janin seperti Fetal Alcholol Syndrome (FAS) yaitu suatu kondisi di

ana bayi lahir dengan berat badan kurang, kemunduran intelektual,

dan ketidaksempurnaan bentuk fisik.

d. Faktor medis

Faktor medis biasanya disebabkan karena kelahiran prematur dan

komplikasi pada saat lahir, rendahnya berat badan dan kekurangan

oksigen saat proses kelahiran yang menyebabkan kerusakan pada

saraf pusat.

4. Klasifikasi Anak autis

11
Menurut Lisinus & Sembiring (2020) dalam berinteraksi sosial

anak autis dikelompokan menjadi 3 kelompok yaitu:

a. Kelompok menyendiri

1) Terlihat menghindari kontak fisik dengan lingkungan sekitarnya

2) Bertedensi kurang menggunakan kata-kata

3) Menghabiskan harinya berjam-jam untuk sendiri, dan kalau

berbuat sesuatu anak autis akan melakukannya berulang-ulang

4) Gangguan perilaku pada kelompok anak ini termasuk bunyi-

bunyi aneh, gerakan tangan, mudah marah, melukai diri sendiri,

menyerang teman sendiri, merusak dan menghancurkan

mainannya

b. Kelompok anak autis yang pasif

1) Lebih bisa bertahan pada kontak fisik dan sedikit mampu

bermain dengan teman sebaya nya, tetapi jarang sekali mencari

teman sendiri

2) Mempunyai kata yang lebih banyak meskipun masih agak

terlambat bisa berbicara dibandingkan sengan anak sebaya nya

3) Kadang anak autis lebih cepat merangkai kata

4) Kelompok pasif ini masih bisa diajari dan dilatih dibandingkan

dengan anak autis yang menyendiri.

c. Kelompok anak autis yang aktif tetapi menurut kemauannya sendiri

1) Kelompok ini bertolak belakang dengan kelompok anak autis

yang menyendiri karena lebih cepat bisa berbicara dan memiliki

kata yang paling banyak

12
2) Meskipun dapat merangkai kata dengan baik, tetapi tetap saja

ada akata yang aneh dan kurang dimengerti

3) Kurang mampu berbicara dengan teman sebayanya meskipun

masih ada kemampuan berbicara

4) Selalu mengulang-ulang kata atau kalimat

5) Tidak bisa spontan mempercayai teman bermainnya

5. Tiga Level Penyandang Autisme

a. Autisme ringan

Gejala-gejala yang timbul bagi penyandang autisme ini,

walaupun akan mempersulit mereka bersosialisasi, secara garis

besar autisme ringan tidak akan mengganggu kehidupannya sehari-

hari.

b. Autisme sedang

Penyandang autisme sedang pada tingkat ini akan mengalami

kesulitan yang lebih besar ketika berkomunikasi dengan orang lain,

selain itu autisme ini tidak menunjukan kontak mata dan tidak bisa

mengekspresikan emosinya melalui intonasi suara maupun wajah

layaknya orang lain.

c. Autisme berat

Penyandang autisme ini sangat sulit menjalani kehidupannya

secara mandiri dan bersifat kurang sensitif atau terkadang sangat

sensitif terhadap stimulus dari luar seperti suara.

Secara kuantitas dan kualitas, ciri-ciri yang ditunjukan anak

autis berbeda-beda, ciri-ciri yang muncul pada anak autis yaitu :

13
a. Gangguan pada komunikasi verbal dan nonverbal, seperti

terlambat bicara atau tidak dapat berbicara sama sekali,

mengeluarkan kata-kata yang tidak dapat dimengerti oleh

orang lain.disamping itu, dalam berbicara tidak digunakan

untuk komunikasi tapi hanya meniru atau membeo bahkan

beberapa anak sangat pandai menirukan beberapa nyanyian

maupu kata-kata tanpa mengerti artinya, kadang bicara monoto

seperti robot, mimik mukanya datar, dan bila mendengar suara

yang disukainya akan bereaksi dengan cepat.

b. Gangguan pada bidang interaksi sosial, yaitu anak menolak

atau menghindar untuk bertatap muka,anak mengalami

ketulian, merasa tidak senang dan menolak bila dipeluk, tidak

ada usaha melakukan interaksi dengan orang sekitarnya.

c. Gangguan pada perilaku dan bermain,seperti tidak mengerti

secara bermain, bermain sangat monoton dan melakukan

gerakan yang sama berulanng-ulang, jika sudah senang satu

mainan tidak mau mainan lain dan cara bermainnya

B. Konsep Keluarga

1. Pengertian Keluarga

Dukungan keluarga adalah sikap, dan penerimaan orang tua terhadap

anggota keluarga lain (Setiawati, 2008). Anggota keluarga dalam menghadapi

keadaan yang berada diluar harapan yang menjadi stessor bagi keluarga

melalui proses tertentu akan memungkinkan keluarga itu untuk bertahan dan

beradaptasi dengan baik hingga menjadi sebuah keluarga yang relisen (Mc

14
Cubbin, 2001 dalam puspita, dkk, 2011) menyatakan bahwa fase adaptasi

merupakan konsep sentral dari ketahanan keluarga (family resiliency). Olson &

De Frain (2003) mengatakan bahwa keluarga akan saling memberikan

dukungan fisik, emosi dan ekonomi. Keluarga merupakan lingkungan pertama

dlam memberikan proses pertumbuhan anak. Keluarga yang harmonis akan

memberikan dampak positif dalam keluarga tanpa konflik ataupun tanpa

dinamika.

Bagi orang tua yang memiliki anak penyandang autis, banyak tantangan

yang harus dihadapi orang tua. Pertama, penolakan, baik dari diri pribadi,

keluarga besar maupun lingkungan. Kedua, besarnya biaya pengobatan.

Beragam pendapat tentang penyebab autis dan kompleksnya masalah yang

dihadapi anak-anak autis memunculkan berbagai macam penanganan yang

melibatkan berbagai disiplin ilmu. Ketiga, terbatasnya akses terhadap klinik

terapi atau lembaga pendidikan. Belum semua kabupaten/ kota di Riau terdapat

klinik terapi atau lembaga pendidikan yang menerima penyandang autis.

Memiliki anak yang menderita autis memang berat. Anak penderita

autis seperti seorang yg kerasukan setan. Selain tidak mampu bersosialisasi,

penderita tidak dapat mengendalikan emosinya. Kadang tertawa terbahak,

kadang marah tak terkendali. Dia sendiri tdk mampu mengendalikan dirinya

sendiri & memiliki gerakan-gerakan aneh yg selalu diulang-ulang. Selain itu

dia punya ritual sendiri yg harus dilakukannya pada saat-saat atau kondisi

tertentu (Dewo, 2006: 63). Namun bagi orang yang beriman, apapun

keadaannya (anak autis) perlu disadari kembali bahwa anak adalah anugrah dan

15
amanah. Sehingga perlu untuk disyukuri dan dijaga (dengan mendidik,

membimbing, serta mengarahkan) agar menjadi generasi penerus keturunan.

Dukungan keluarga menjadi dukungan yang utama yang memiliki anak

autis, dimana dukungan keluarga ini dapat berasal dari dukungan pasangan

hidup (suami), dukungan kedua adalah dari anak (saudara dari anak yang

mengalami autis), dukungan ketiga adalah dari orangtua, dukungan keempat

adalah dari mertua, dukungan kelima adalah dari kerabat dekat, dukungan

keenam diberikan oleh teman atau sahabat, dukungan Keluarga merupakan unit

terkecil dalam masyarakat. Keluarga didefinsikan dengan istilah kekerabatan

dimana invidu bersatu dalam suatu ikatan perkawinan dengan menjadi orang

tua. Dalam arti luas anggota keluarga merupakan mereka yang memiliki

hubungan personal dan timbal balik dalam menjalankan kewajiban dan

memberi dukungan yang disebabkan oleh kelahiran,adopsi,maupun perkawinan

(Stuart,2014) Menurut Duval keluarga merupakan sekumpulan orang yang

dihubungkan oleh ikatan perkawinan,adopsi,kelahiran yang bertujuan

menciptakan dan mempertahankan upaya yang umum,meningkatkan

perkembangan fisik mental,emosional dan social dari tiap anggota keluarga

(Harnilawati,2013).

Menurut Helvie keluarga adalah sekelompok manusia yang tinggal

dalam satu rumah tangga dalam kedekatan yang konsisten dan hubungan yang

erat. Keluarga adalah dua atau lebih individu yang tergabung karena hubungan

darah,hubungan perkawinan atau pengangkatan dan mereka hidup dalam satu

rumah tangga,berinteraksi satu sama lain dan didalam perannya masing-masing

menciptakan serta mempertahankan kebudayaan (Friedman,2010) Sehingga

16
dapat ditarik kesimpulan bahwa keluarga merupakan sekumpulan orang yang

dihubungkan melalui ikatan perkawinan,darah,adopsi serta tinggal dalam satu

rumah. yang terahir adalah dukungan yang diberikan oleh tetangga (Tyas,

2005).

2. Fugsi Keluarga

Menurut Friedman fungsi keluarga terbagi atas :

a. Fungsi Afektif

Fungsi ini merupakan presepsi keluarga terkait dengan pemenuhan

kebutuhan psikososial sehingga mempersiapkan anggota keluarga

berhubungan dengan orang lain

b. Fungsi Sosialisasi

Sosialisasi merupakan proses perkembangan individu sebagai hasil dari

adanya interaksi sosial dan pembelajaran peran sosial.. Fungsi ini melatih

agar dapat beradaptasi dengan kehidupan sosial.

c. Fungsi Reproduksi Keluarga berfungsi untuk meneruskan keturunan dan

menjaga kelangsungan keluarga.

d. Fungsi Ekonomi Keluarga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan secara

ekonomi dan mengembangkan kemampuan individu dalam meningkatkan

penghasilan.

e. Fungsi Kesehatan Menyediakan kebutuhan fisik-makanan,pakaian,tempat

tinggal,perawatan kesehatan. (Harnilawati,2013)

17
3. Tipe Keluarga

Tipe keluarga dibedakan menjadi dua jenis yaitu :

a. Tipe keluarga tradisional

1) Nuclear family atau keluarga inti merupakan keluarga yang terdiri

atas suami,istri dan anak.

2) Dyad family merupakan keluarga yang terdiri dari suami istri n

amun tidak memiliki anak

3) Single parent yaitu keluarga yang memiliki satu orang tua dengan

anak yang terjadi akibat peceraian atau kematian.

4) Single adult adalah kondisi dimana dalam rumah tangga hanya

terdiri dari satu orang dewasa yang tidak menikah

5) Extended family merupakan keluarga yang terdiri dari keluarga inti

ditambah dengan anggota keluarga lainnya.

6) Middle-aged or erdely couple dimana orang tua tinggal sendiri

dirumah dikarenakan anak-anaknya telah memiliki rumah tangga

sendiri.

7) Kit-network family, beberapa keluarga yang tinggal bersamaan dan

menggunakan pelayanan Bersama.

b. Tipe keluarga non tradisional

1) Unmaried parent and child family yaitu keluarga yang terdiri dari

orang tua dan anak tanpa adanya ikatan pernikahan.

2) Cohabitating couple merupakan orang dewasa yang tinggal bersama

tanpa adanya ikatan perkawinan.

18
3) Gay and lesbian family merupakan seorang yang memiliki

persamaan jenis kelamin tinggal satu rumah layaknya suami-istri

4) Nonmarital Hetesexual Cohabiting family,keluarga yang hidup

Bersama tanpa adanyanya pernikahan dan sering berganti pasangan

5) Faster family, keluarga menerima anak yang tidak memiliki

hubungan darah dalam waktu sementara. (Widagdo,2016)

4. Beban keluarga

Beban keluarga dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang dirasakan

orang tua akibat ketidakseimbangan antara kebutuhan orang tua dengan

kemampuan orang tua dalam mengasuh.

Menurut WHO (dalam Napolion, 2010, hlm 52), ada dua jenis

pengelompkan beban keluarga, yaitu:

a. Beban Objektif, yaitu beban yang berhubungan dengan masalah dan

pengalaman anggota keluarga meliputi gangguan hubungan antar

anggota keluarga, terbatasnya hubungan sosial dan aktifitas kerja,

kesulitan finansial dan dampak negatif terhadap kesehatan fisik

anggota keluarga.

b. Beban Subjektif, yaitu beban yang berhubungan dengan reaksi

psikologis anggota keluarga meliputi perasaan kehilangan, kesedihan,

cemas dan malu dalam situasi sosial, koping stress terhadap gangguan

perilaku dan frustasi yang disebabkan karena perubahan hubungan.

Sementara menurut Robinson (dalam Napolion, 2010, hlm 52) beban

19
keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan kebutuhan khusus

meliputi beban pekerjaan, keuangan, fisik, sosial, dan waktu keluarga

yang paling banyak terlibat dalam memberikan pengasuhan kepada

anak dengan kebutuhan khusus seperti autis.

Menurut Friedman (dalam Napolion, 2010, hlm 53) beban keluarga

dengan anak autis diartikan sebagai stress atau efek dari anak dengan autis.

Sedangkan menurut Hamid (dalam Napolion, 2010, hlm 53) stress pada

keluarga dapat dilihat dari adanya gangguan pada fungsi keluarga. Kehadiran

anak dengan Intellectual Disability di tengah keluarga akan membawa

masalah pada orang tua. Jenis beban yang dirasakan keluarga terkait

keberadaan anak dengan tunagrahita dapat berupa beban mental dan

material, yaitu :

1) Beban fisik, akan dirasakan sebagai kelelahan dan keluhan fisik oleh

anggota keluarga yang terlibat dalam proses pengobatan dan

perawatan.

2) Beban sosial, terjadi saat keluarga merasa tidak diterima

dimasyarakat karena ada salah satu anggota keluarga yang

mengalami keterbatasan.

3) Beban waktu, ini dialami oleh keluarga, karena hampir seluruh waktu

dihabiskan untuk mengasuh dan merawat anak dengan tunagrahita,

bahkan keluarga mengorbankan waktu pribadi, waktu untuk bekerja,

waktu untuk bergaul dengan lingkungan, dan waktu untuk berbagi

bersama dengan anggota keluarga yang lain.

20
4) Beban keuangan, sangat berhubungan dengan kebutuhan untuk

memenuhi semua kebutuhan anak tuna grahita seperti terapi. Seluruh

beban yang dirasakan orang tua merupakan permasalahan yang harus

dihadapi oleh orang tua.

5. Faktor-faktor yang Memengaruhi beban Keluarga Terhadap Anak

Autisme

Hasil penelitian juga memperlihatkan beberapa hal yang memengaruhi

orangtua terhadap anak autisme menurut : Yola (2020).

a. Pertama adalah dukungan dari keluarga besar.

Semua keluarga besar subjek 1 dan 2 sepenuhnya dapat menerima

kondisi yang dialami oleh anaknya yang didiagnosa menyandang

autisme. Sedangkan respon dari keluarga subjek 3 ada yang menerima

dan ada yang menolak kondisi anaknya. Hal tersebut sesuai dengan

pendapat Yola (2020) semakin kuatnya dukungan keluarga besar,

orangtua akan terhindar dari merasa ”sen dirian”, sehingga menjadi

lebih ”kuat” dalam menghadapi ”cobaan” karena dapat bersandar pada

keluarga besar mereka.

b. Kedua adalah latar belakang agama.

Pertama kali mengetahui bahwa anaknya didiagnosa menyandang

autisme, ketiga subjek tersebut merasa terkejut dan sedih. Subjek 2 dan

3 bersikap pasrah dan ikhlas dalam menerima takdir sebagai pemberian

dari Tuhan dikarenakan anaknya dari bayi sudah mengalami kejang-

kejang sebelum didiagnosa menyandang autisme. Perasaan bersalah

sempat muncul dalam benak subjek 1 dan 3, namun mereka segera

21
menyadari bahwa semua itu harus dilewati. Bahkan subjek 3 pada

awalnya merasa bahwa semua ini akibat dari ketidakadilan Tuhan

kepadanya, sampai akhirnya ia dapet menerima cobaan itu dengan

lapang dada. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Sarasvati (2004)

bahwa kepercayaan yang kuat kepada Yang Maha Kuasa membuat

orangtua yakin bahwa mereka diberikan cobaan sesuai dengan porsi

yang mampu mereka hadapi. Dengan keyakinan tersbut, mereka

mengupayakan yang terbaik untuk anak mereka, dan percaya bahwa

suatu saat, anak tersebut akan mengalami kemajuan

c. Ketiga adalah sikap para ahli yang mendiagnosa anaknya. Psikolog yang

mendiagnosa subjek 1 dan 2 memberikan semangat kepada mereka

untuk terus menjalani terapi demi kesembuhan anak mereka. Sedangkan

subjek 3 sering berkonsultasi ke dokter untuk menceritakan tiap-tiap

perubahan yang terjadi pada anaknya sehingga dokter dapat memberikan

masukan serta dukungan pada subjek. Hal tersebut sesuai dengan

pendapat Yola (2020 bahwa dokter ahli yang simpatik, akan membuat

orangtua merasa dimengerti dan dihargai. Apalagi jika dokter

memberikan dukungan dan pengarahan kepada orangtua (atas apa yang

sebaiknya mereka lakukan selanjutnya). Sikap dokter ahli yang

berempati, membuat orangtua merasa memiliki harapan, bahwa mereka

tidak sendirian dalam menghadapi ”cobaan” hidup ini.

d. Keempat adalah tingkat pendidikan suami istri.

Subjek 1 memiliki latar belakang pendidikan D3, subjek 2 dan 3

memiliki latar belakang pendidikan SMU. Sehingga subjek 1 bisa

22
dengan cepat menerima kondisi anaknya yang didiagnosis menyandang

autisme bila dibandingkan dengan subjek 2 dan 3. Dimana subjek 2 dan

3 masih sering mengeluh atas keadaan anaknya yang belum

menunjukkan perubahan yang berarti. Hal ini sesuai dengan pendapat

Yola (2020 yang mengatakan bahwa semakin tinggi pendidikan, relatif

makin cepat pula orangtua menerima kenyataan dan segera mencari

penyembuhan.

e. Kelima adalah ekonomi atau keuangan

Ekonomi keuangan keluarga juga menjadi faktor yang

mendukung beban keluarga yang meiliki anak autis. Keuangan keluarga

yang memiliki anak autis sangat harus di perhatikan khusus.

Ekonomi keluarga merupakan suatu komponen kelas sosial yang

menunjukkan tingkat dan sumber penghasilan keluarga. Penghasilan

yang cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga secara umum

diperoleh dari anggota keluarga yang bekerja atau dari sumber

penghasilan sendiri seperti uang pensiunan dan tunjangan (Nonpublik),

sebagian penghasilan lain yang diperoleh dari dinas sosial atau asuransi

bagi orang yang tidak bekerja umumnya kecil tidak stabil/benar – benar

tidak memadai. Keluarga yang berfungsi secara tidak adekuat dalam

bidang ini menunjukkan karakteristik ini:

1) Penghasilan seluruhnya berasal dari bantuan umum karena kaum

dewasa dalam keluarga gagal atau tidak mampu bekerja.

23
2) Penghasilan yang berasal dari bantuan kesejahteraan dengan cara

curang.

3) Dan jumlah penghasilan yang terlalu rendah atau tidak cukup

sehingga kebutuhan – kebutuhan pokok tidak terpenuhi.

Keluarga – keluarga yang menerima bantuan dari program – program

seperti aid to totally disabled: aid to the blind, aid to families of

dependent children: assistance to age old, meskipun dalam kebanyakan

kasus didasarkan pada kebutuhan yang logis, namun harus sesuai

dengan kategori marginas dan ketidakcukupan, karena tingkat

pembiayaan yang begitu rendah sehingga kebutuhan – kebutuhan dasar

sekalipun hampir tidak bisa dipenuhi.

Menurut hasil penelitian Elfi tahun (2017) membagi keluarga terdiri dari

empat tingkat ekonomi: adekuat, marginal, miskin, dan sangat miskin.

Adekuat menyatakan bahwa uang yang dibelanjakan atas dasar suatu

pemahaman bahwa pembiayaan – pembiayaan adalah tanggung jawab

kedua orang tua. Keluarga menganggarkan dan mengatur biaya – biaya

secara ralistis. Pada tingkat marginal, sering terjadi ketidaksepakatan

dan perselisihan siapa yang seharusnya mengontrol pendapatan dan

pengeluaran: keluarga tidak dapat hidup dengan cara – caranya sendiri:

pengaturan keuangan yang buruk akan menyebabkan didahulukannya

kemewahan – kemewahan diatas kebutuhan – kebutuhan pokok.

Manajemen keuangan yang buruk dapat atau tidak membahayakan

kesejahteraan anak. Tapi pengeluaran – pengeluaran dan kebutuhan

keuangan melebihi penghasilan. Akan tetapi manajemen keuangan yang

24
sangat jelek, termasuk pengeluaran seenaknya saja dan berutang terlalu

banyak, serta kurang tersedinya kebutuhan – kebutuhan dasar.

Tidak dapat dipungkiri bahwa faktor ekonomi juga turut andil

dalam menumbuhkan penerimaan orang tua terhadap anak berkebutuhan

khusus, orang tua yang memiliki tingkat ekonomi yang lebih akan

memiliki cukup uang untuk tetap mengusahakan pengobatan dan terapi

– terapi yang dibutuhkan oleh anak berkebutuhan khusus. Orang tua

yang memiliki tingkat ekonomi dibawah rata – rata akan merasakan

tekanan yang cukup besar

f. Keenam adalah dukungan sosial

Lingkungan tempat tinggal subjek 1 dan 2 semua sangat mendukung dan

dapat menerima keadaan anaknya. Namun pada awalnya subjek 2

sempat merasa malu untuk terbuka pada lingkungan, akan tetapi pada

akhirnya lingkungan lambat laun dapat menerimanya. Hal tersebut

sesuai dengan pendapat Yola (2020) di mana pada masyarakat yang

sudah lebih ”menerima”, mereka akan berusaha memberikan dukungan

secara tidak berlebihan (pada saat berhadapan dengan anak-anak dengan

kebutuhan khusus). Menanyakan secara halus apakah orangtua perlu

bantuan, memberikan senyuman kepada sang anak, memperlakukan

orangtua seperti layaknya orangtua lain (dengan anak yang normal),

merupakan hal-hal sederhana yang sebetulnya sangat membantu

menghilangkan stres pada keluarga dari anak dengan kebutuhan khusus.

Sedangkan lingkungan subjek 3 ada yang menerima dan ada juga yang

25
menolak kehadiran anaknya. Hal tersebut membut subjek merasa

bingung dan menambah berat beban hidupnya.

g. Ketujuh adalah usia dari masing-masing orangtua.

Subjek 1 berusia 32 tahun, subjek dapat menentukan jalan keluar yang

terbaik untuk kesembuhan anaknya. Subjek 2 berusia 45 tahun, mereka

cukup matang dan dapat bersikap dewasa dalam memahami kondisi

anak. Sedangkan subjek 3 berusia 30 tahun, walaupun pada saat itu ia

sebagai single mother, ia dapat menerima diagnosa dengan tenang. Hal

tersebut sesuai dengan pendapat Yola (2020) bahwa usia yang matang

dan dewasa pada pasangan suami isteri, memperbesar kemungkinan

orangtua untuk menerima diagnosa dengan relatif lebih tenang. Dengan

kedewasaan yang mereka miliki, pikiran serta tenaga mereka difokuskan

pada mencari jalan keluar yang terbaik.

h. Terakhir adalah sarana penunjang.

Menurut Yola (2020 dengan semakin banyaknya sarana penunjang,

semakin mudah pula orangtua mencari ”penyembuhan” untuk anak

mereka, sehingga makin tinggi pula kesiapan mereka dalam menghadapi

”cobaan” hidupnya.Ketiga subjek tidak memanggil terapis ke rumah,

mereka hanya menerapkan kembali di rumah apa yang telah diajarkan di

tempat terapi. Karena faktor ekonomi, maka subjek 2 dan 3 hanya

melakukan terapi seminggu sekali untuk anaknya. Sedangkan pada

subjek 1, karena memang faktor ekonominya mendukung, maka

anaknya dapat mengikuti terapi seminggu tiga kali dan telah bersekolah

di sekolah umum.

26
C. Kerangka Teori
Anak

Normal Anak autis

Gejala anak autis :


1. Gangguan interaksi social
2. Gangguan komunikasi
3. Prilaku repetitive dan rigid
4. Gangguan kognitif
5. Masalah sensori

Penyebab anak autis :


1. Neurologis
2. Genetic
3. Teratogenic
4. Medis

Keluarga

Funsi keluarga
27
Faktor yang mempengaruhi beban keluarga :
1. Dukungan keluarga
2. Agama
3. Sikap ahli / psikologi
4. Pendidikan
5. Ekonomi / keuangan / penghasilan
6. Dukungan sosial
7. Usia
8. Sarana penunjang

Gambar 2.2

Kerangka Teori

Yola Yolanda dkk (2020)

28
37

BAB III
KERANGKA KONSEP

A. Kerangka Konsep
Pada penelitian ini dapat dilihat skema kerja penelitian pada gambar.

Variabel Independen Variabel Dependen

Ekonomi

Agama
Beban Keluarga

Sikpa akhi

Dukungan keluarga

Pendidikan

Dukungan sosial

Usia

Sarana penunjang

Gambar 3.1

Dari gambar di atas faktor-faktor yang berhubungan dengan beban keluarga dalam

merawat anak autis peneliti hanya melakukan penelitan faktor-faktor yang berada

pada kotak bergaris lurus sementara faktor yang dalam kotak garis putus - putus

tidak dilakukan penelitian. Berdasarkan dari teori Yolanda tahun (2020) tersebut

peneliti hanya ingin melakukan penelitian tntang gambaran faktor ekonomi

terhadap beban keluarga yang merawat anak autis.

37
BAB III

METODE PENELITIAN

B. Desain penelitian

Jenis penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif dengan desain cross

sectional study, untuk mengetahui gambaran faktor ekonomi terhadap beban

keluarga dalam merawat anak autis di Sekolah Luar Biasa Kota Padang

Tahun 2023.

C. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitan ini dimulai Februari sampai Maret 2023. Dilaksanakan di

Sekolah Luar Biasa Kota Padang.

D. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang

diteliti (Notoatmodjo, 2012). Populasi dalam penelitian ini adalah

seluruh anak autis yang berada di Sekolah Luar Biasa kota Padang

sebanyak 183 orang.

2. Sampel

Sampel adalah sebagian dari keseluruhan objek penelitian yang

diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Nursalam,2015).

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan

pengambilan sampel total sampling yaitu semua populasi dijadikan

sampel dalam penelitian.

37
Rumus yang di gunakan untuk menentukan jumlah sampel adalah

menggunakan rumus Notoadmodjo, 2010 :

N
n =
1+ N (d²)
Keterangan :
n : Besar sampel minimum
N : Jumlah populasi
d : Tingkat kesalahan

Jadi besarnya sampel adalah sebagai berikut :

183
n =
1+183 (0,1²)

183
n =
1 + 1,8

183
n =
2,8

n = 65,3

Maka sampel dibulatkan menjadi 65 orang

E. Kriteria inklusi dan Kriteria eksklusi

1. Kriteria inklusi

a. Orang tua yang merawat langsung dan tinggal dalam satu rumah

dengan anak autis

b. Orang tua mampu membaca dan menulis serta menyetujui untuk

menjadi responden

c. Orang tua kooperatif

38
2. Kriteria eksklusi

a. Orang tua yang tidak ibu kandung dari anak penyandang autis

b. Orang tua yang memiliki penyakit kronis, cacat atau yang

mengalami penyakit kejiwaan

F. Definisi Operasional

Table 3.3
Definisi Operasional
Definisi Skala
Variabel Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur
Operasional Ukur

Independen Beban mengacu Wawancara Kuisioner Nilai skor dari Ordi


Beban pada semua 22 pertanyaan nal
keluarga kesulitan dan untuk
tantangan yang di didapatkan
alami oleh distribusi
keluarga yang frekuensi dan
merawat anak autis proporsi dengan
sebagai total skor 33
kosensekuensi dari 1. Berat
merawat anngota jika
keluarga lain yang hasil
sakit, yang ukur >
meliputi beban 33
finansial, beban 2. Ringan
fisik, beban jika
mental, dan beban hasil
social ukur <
33
(Siska,
2017)

Dependen Gambaran status Wawancara Kuisioner Pendapatan Ordinal

39
Ekonomi ekonomi keluarga orang tua yang
diklasifikasikan
yang Metode
menjadi
Wawancara dua kategori
yaitu :
dengan Hasil ukur
1. Sejahter
diperoleh dalam a,
apabila
Ordinal 19
> UMR
dikelompokan 2. Tidak
sejahtera
berdasarkan
, apabila
pendapatan orang < UMR
tua

G. Instrumen Penelitian

Alat ukur dalam penellitian ini disebut dengan instrument penelitian.

Instrumen panelitian adalah suatu alat yang digunakan untuk mengukur variable

yang di amati. Instrumen penelitian ini terdiri dari variable independen (beban

keluarga)

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan instrumen data berupa

kuesioner dengan menggunakan pertanyaan dan pernyataan terkait dengan

penelitian, kuesioner yang digunakan yaitu :

1. Beban keluarga

Kuesioner yang digunakan adalah skala gutman. Skala ini bertujuan untuk

mengetahui beban keluarga yang memiliki autis. Kuesioner ini terdiri dari 22

pertanyaan dengan skor nilai masing - masing pertanyaan

Tidak pernah diberi nilai (1), Jarang diberi nilai (2), kadang-kadang diberi

nilai (3), sering diberi nilai (4)

H. Uji Validitas dan Reabilitas

40
1. Uji Validitas

Validitas adalah suatu indeks yang menunjukkan alat ukur itu benar-

benar mengukur apa yang diukur (Notoatmodjo, 2012). Alat ukur

menggunakan kuesioner yang sudah tervaliditas oleh Nursalam (2017)

untuk kuesioner beban keluarga, dukungan social dan pendidikan

keluarga yang memiliki anak autis. Adapun nilai r < 0,05 maka

pertanyaan dinyatakan tidak valid atau didasarkan pada nilai r, dimana

pertanyaan dinyatakan valid apabila r hitung > r tabel pada taraf

signifikasi 5% sehingga pertanyaan dapat di gunakan untuk

mengumpulkan data penelitian

2. Uji Reabilitas

Uji realibilitas adalah uji yang dilakukan untuk mengetahui apakah

instrument yang digunakan telah realibel. Suatu alat yang dikatakan

realibel alat itu mengukur suatu gejala dalam waktu berlainan senantiasa

menunjukkan hasil yang sama (Notoatmodjo, 2010). Penelitian ini tidak

dilakukan uji reabilitas karena peneliti menggunakan kuesioner dari

peneliti sebelumnya.

I. Etika penelitian

Menurut Hidayat (2018), penelitian apapun khususnya

menggunakan manusia sebagai objek tidak boleh bertentangan dengan

etika, oleh karena itu setiap peneliti menggunakan subjek untuk

mendapatkan persetujuan dari subjek yang diteliti. Peneliti memperhatikan

aspek etika responden dengan menekankan masalah etika yang diteliti.

41
Untuk menjaga kerahasiaan identitas subjek, peneliti tidak mencantumkan

nama lengkap subyek pada lembar pengumpulan data. Peneliti memberikan

informasi kepada responden untuk mencantumkan inisial nama saja. Namun

jika ada responden yang bersedia mencantumkan nama lengkap, maka

peneliti akan menjaga privasi dari responden

J. Metode Pengumpulan data

1. Jenis Pengumpulan Data

a. Data Primer

Data primer adalah data yang didapatkan langsung dari

responden saat penelitian berlangsung dengan meggunakan

kuisioner penelitian

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data anak autis yang di Sekolah Luar

Biasa Kota Padang.

2. Teknik Pengumpulan Data

Tahap - tahap dalam pengumpulan data yang peneliti lakukan adalah :

a. Mengurus surat izin untuk pengumpulan data dan surat izin

penelitian dari Universitas Mohammad Natsir

b. Berdasarkan surat izin tersebut peneliti menghadap pihak sekolah

luar biasa untuk menjelaskan maksud dan tujuan penelitian

c. Sebelum melakukan penelitian, peneliti memilih 1 orang guru

untuk memfasilitasi yang nanti akan di libatkan dalam membantu

penelitian

42
d. Peneliti menjelaskan kepada responden, tujuan dan manfaat

penelitian

e. Peneliti meminta persetujuan kepada responden untuk kesediaan

mengikuti penelitian dengan menandatangani inform consent

f. Peneliti meminta responden mengisi kuesioner penelitian

3. Teknik Pengolahan Data

Data yang telah terkumpul,diolah terlebih dahulu dengan tujuan

untuk menyederhanakan seluruh data yang terkumpul dan menyajikan

dalam bentuk susunan yang baik dan rapi,selanjutnya dianalisis dengan

komputerisasi. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan komputer

dengan tahap-tahap sebagai berikut.

a. Memeriksa data (Editing)

Editing ini dilakukan untuk memastikan bahwa data yang dikumpulkan

sudah lengkap dan untuk menterjemahkan semua variabel sesuai

dengan tujuan penelitian. Data yang dikumpulkan dan diperiksa yaitu

pengukuran tingkat berbicara responden yang diisi oleh peneliti yang

konsisten dan sesuai dengan hasil pengukuran selama penelitian

b. Memasukan data (Entery data)

Data yang dimasukan kedalam master tabel untuk dianalisa

c. Pembersihan data (cleaning data)

Data yang di entry diperiksa kembali untuk memastikan bahwa sata

bersih dari kesalahn sehingga siap dianalisa. Data yang diperoleh

merupakan hasil pengukuran tingkat berbicara responden selama

penelitian. Hasil pengukuran tersebut dihubungkan untuk menguji

43
hipotesa penelitian sehingga dapat diketahui adanya hubungan antara

variabel dependen dengan independen

K. Analisa Data

1. Analisa Univariat

Peneliti melakukan analisa univariat dengan cara analisis

statistik deskriptif meliputi nilai mean,median, dan standar deviasi dari

setiap variabel. Tujuan Analisa data adalah untuk menjelaskan atau

mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian.

44
KUISIONER PENELITIAN
GAMBARAN FAKTOR EKONOMI TERHADAP BEBAN KELUARGA
DALAM MERAWAT ANAK AUTIS DI SEKOLAH LUAR BIASA
KOTA PADANG TAHUN 2023

Nama (Inisial) : ……..


Umur : ……..
Pendidikan : ……..
Lama kerja : …….. tahun
Pendapatan :……... bulan
Jumlah anak :……...
Jumlah anggota keluarga serumah :………….

Silahkan Bapak/ ibu pilih salah satu hal yang pernah dirasakan dalam merawat
anak autis.

No Perasaan keluarga dalam Tidak Jarang Kadang Sering

merawat anak Pernah Kadang

1. Apakah bapak/ibu merasa meminta

bantuan lebih dari yang dibutuhkan

2. Apakah bapak/ibu merasa tidak

punya kesempatan untuk mengurus

diri kraena harus merawat anak

3. Apakah bapak/ibu merasa tidak

mapu membagi waktu antara

merawat anak dan memenuhi

tanggung jawab kepada keluarga

45
atau bekerja

4. Apakah bapak/ibu merasa malu

dengan prilaku anak yang

bapak/ibu rawat

5. Apakah bapak/ibu merasa marah

ketika berada dekat anak

6. Apakah bapak/ibu merasa

hubungan bapak/ibu terganggu

dengan anggota keluarga lain dan

teman-teman akibat merawat anak

7. Apakah bapak/ibu merasa kwatir

dengan kondisi yang dialami anak

di masa depan

8. Apakah bapak/ibu merasa

tergantung kepada bapak/ibu

9. Apakah bapak/ibu merasa tegang

ketika berada bersama anak

10. Apakah bapak ibu merasa

kesehatan bapak/ibu terganggu

karena harus merawat anak

11. Apakah bapak/ibu merasa

mempunyai kesempatan.untu

memenuhi dan keinginan pribadi

karena harus merawat anak

46
12. Apakah bapak/ibu merasa

mengalami gangguan dalam

melakukan dalam melakukan

kegiatan sosial di masyarakat

karena harus merawat anak

13. Apakah bapak/ibu merasa tidak

nyaman ketika teman-teman datang

berkunjung karena anak mengalami

anak autis

14. Apakah bapak/ibu merasa anak

berharap hanya Apakah bapak/ibu

yang bisa di andalkan untuk

merawatnya

`15. Apakah bapak/ibu merasa tidak

mempunyai cukup dana untuk

merawat anak selain harus

mempunyai kebutuhan naggota

keluarga lainnya

16. Apakah bapak/ibu merasa tidak

sanggup merawat anak lebih lama

lagi

17. Apakah bapak/ibu merasa tidak

mampu mengatur kehidupan

Apakah bapak/ibu ketika harus

47
merawat anak yang sakit

18. Apakah bapak/ibu berharap dapat

mengalihkan perawatan anak

kepada orang lain

19. Apakah bapak/ibu merasa kurang

yakin dengan apa yang harus

Apakah bapak/ibu lakukan untuk

merawat anak

20 Apakah bapak/ibu merasa

sebaiknya melakukan sesuatu lebih

banyak untuk anak

21. Apakah bapak/ibu meras tidak

mampu melakukan perawatan yang

lebih baik kepada anak

22. Secara keseluruhan seberapa

terbebani yang Apakah bapak/ibu

rasakan dalam merawat anak

48

Anda mungkin juga menyukai