Anda di halaman 1dari 10

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap orang tua pasti mempunyai harapan untuk memiliki anak

yang sempurna secara jasmani maupun rohani. Akan tetapi, tidak semua

anak yang telah dilahirkan akan tumbuh dalam keadaan normal. Anak

yang lahir bisa jadi memiliki keterbatasan baik secara fisik maupun secara

psikis yang dialami sejak awal perkembangan. Anak berkebutuhan khusus

(special needs chlidren) yaitu anak yang mengalami gangguan fisik dan

mental, sosial dan emosional dalam masa pertumbuhan dan

perkembangannya berbeda dengan anak-anak yang lain. Oleh karena itu,

anak berkebutuhan khusus ini memerlukan pelayanan pendidikan khusus

(Faradina, 2016).

Autisme adalah gangguan perkembangan pervasif yang ditandai dengan

ketidakmampuan penyandang disabilitas untuk berkomunikasi, mengekspresikan

emosi dan keinginan mereka, serta membentuk hubungan emosional dengan orang

lain. Akibatnya, terjadi gangguan internal yang muncul selama interaksi sosial,

komunikasi, pola preferensi, dan sikap abnormal. Melalui pemberian makanan,

anak autis dengan keterbatasannya tetap dapat tumbuh dan berkembang sesuai

dengan usianya dan pada akhirnya dapat menjadi orang dewasa yang berharga

(Sastra, 2017)

Saat ini, ada 15-20 insiden autisme per 10.000 anak, atau 0,15-0,20

persen, di seluruh dunia. Centers for Disease Control and Prevention (CDC)

melaporkan terjadi peningkatan dari tahun 2016–2017, yaitu sebesar 78 persen;


2

pada 2018–2019, 23 persen; dan pada Maret 2020, itu 1:50. Jumlah penyandang

autisme di Indonesia akan meningkat 0,15 persen, atau 6.900 anak, setiap tahun

jika negara ini memiliki angka kelahiran enam juta setiap tahun. Mungkin ada tiga

sampai empat kali lebih banyak anak laki-laki yang memiliki autisme. Menurut

perkiraan, ada antara 150.000 hingga 200.000 anak autis di Indonesia

(Kusumayanti, 2021)

Berdasarkan Melisa dalam republik 2019 menuliskan jumlah Anak

Berkebutuhan Khusus (ABK) di Indonesia ternyata cukup besar. Diperkirakan ada

kurang lebih 4,2 juta ABK di Indonesia paling sedikit 10 persen anak usia sekolah

(5-14 tahun) menyandang kebutuhan khusus. Di Propinsi Riau jumlah

penyandang disabilitas dan berkebutuhan khusus yang masih termasuk kategori

usia sekolah, pada akhir tahun 2020 diketahui terdapat 7.096 anak

berkebutuhan khusus usia (ABK) sekolah di Propinsi Riau. Dari jumlah tersebut,

yang telah dan sedang mengikuti pendidikan di SLB ada 3.782 siswa, sedang

yang bersekolah di sekolah penyelenggara pendidikan inklusi ada 1.388 siswa.

Sisanya, masih terdapat 1.926 ABK usia sekolah yang belum tertangani karena

berbagai faktor (Melisa, 2020).

Kabupaten Kampar adalah kabupaten yang terbilang cukup pesat

berkembang penduduknya. Jumlah penduduk di kabupaten kampar pada tahun

2020 terhitung sebanyak 847.175 jiwa. Jumlah anak lahir hidup yaitu pada tahun

tersebut adalah 13.269 jiwa. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Sosial

Kabupaten Kampar, ada sebanyak 663 penyandang disabilitas di Kabupaten

Kampar dan berkebutuhan khusus (Profil Kesehatan Kabupaten Kampar, 2020)


3

Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri Bangkinang sebagai salah satu lembaga

yang menyelenggarakan pendidikan khusus bagi siswa berkebutuhan khusus yang

berada di Kabupaten Kampar, merupakan wujud dari pelaksanaan UUD 1945 dan

UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Jumlah siswa/siswi

SLB Negeri Bangkinang kabupaten Kampar tahun 2020/2021 sebanyak 77

orang.Tingkat TKLB sebanyak 1 orang, SDLB Kelas I sampai VI sebanyak 35

orang. Tingkat SMPLB kelas VII sebanyak IX sebanyak 28 orang, dan tingkat

SMALB kelas X sampai XII sebanyak 13 orang.

Berdasarkan keterangan dari Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri

Bangkinang menyebutkan resiliensi pada orang tua yang memiliki anak

berkebutuhan khusus, dari 154 data orang tua terdapat, sebanyak 17 orang tua

(11,03%) merasa malu dan 10 orang tua (34,48%) merasa sangat kecewa dengan

kondisi anak yang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Bahkan ada kasus, di

mana orang tua tega menelantarkan anaknya dan ini adalah kejadian di beberapa

tahun yang lalu di Kabupaten Kampar.

Secara teoritis setiap anak autis memiliki kecenderungan untuk berperilaku

berlebihan, menurut gagasan Handojo (2017) perilaku melukai diri sendiri (self-

abuse), seperti menendang, memukul, menggigit, dan mencubit diri sendiri, serta

tantrum yang meliputi berteriak, terisak, dan melompat, merupakan contoh

perilaku yang berlebihan. Defisit perilaku ditandai dengan kesulitan verbal,

perilaku sosial yang buruk, kekurangan sensorik yang dapat menyebabkan anak-

anak dikira tuli, bermain salah dan menampilkan emosi yang tidak pantas, tertawa

atau menangis tak terkendali, dan melamun. Akibat dari pengawasan ekstra 24

jam yang diperlukan akibat perilaku ini, orang tua dari anak autis menjadi
4

semakin jengkel karena mereka tidak dapat memahami keinginan anak-anak

mereka karena kesulitan komunikasi yang mereka hadapi.

Reaksi awal orang tua yang mengetahui anaknya didiagnosa autisme

biasanya berupa reaksi shock, shock batin, kesedihan, stres, rasa bersalah,

kekecewaan, marah, sakit hati, tidak dapat menerima kenyataan, merasa abu-abu,

dan sampai enggan untuk berkomunikasi dengan orang lain, menurut

Mangunsong (2019). Mengingat anak autis sulit untuk dididik misalnya dalam hal

toilet training, pengenalan bahaya, bersosialisasi, dan keterampilan lainnya orang

tua juga bingung bagaimana membesarkan anak dengan gangguan autisme. Isu-

isu ini menjadi tekanan bagi orang tua dan memaksa mereka untuk bertindak

sesuai dengan tanggung jawab orang tua mereka, seperti belajar menyesuaikan

diri.

Menurut Cohen dan Bolton (2019) hingga 55% orang tua dari anak-anak

autis mengalami tingkat stres lebih tinggi dari pada orang tua dari anak-anak yang

normal (11%). Selain itu, Cohen dan Bolton (dalam Kusumastuti, 2019)

menegaskan bahwa memiliki anak autis dapat menyebabkan orang tua dari anak

autis mengalami lebih banyak stres daripada mereka yang anak-anaknya

berkembang dengan normal.

Resiliensi adalah kemampuan ibu dalam beradaptasi dengan masalah

yang dimiliki dan dihadapinya atau kondisi yang tidak menyenangkan, bahkan

mengubah kondisi kehidupan yang menyengsarakan menjadi suatu hal yang biasa

dan wajar untuk dijalani. Resiliensi menjadi penting untuk dimiliki oleh setiap ibu

yang memiliki anak penyandang autis agar ibu dapat mengatasi masalah dan

bahkan bangkit menjadi lebih kuat (Mangunsong, 2019).


5

Menurut Nasution (2019) terlepas dari kenyataan bahwa membesarkan

anak-anak dengan kebutuhan khusus membutuhkan lebih banyak waktu dan

usaha, orang tua dari anak-anak autis tangguh dan berusaha untuk menjalani

kehidupan yang normal dan bermanfaat. Orang tua membutuhkan resiliensi untuk

menunaikan kewajibannya sebagai orang yang mampu bertahan dan tetap

produktif dalam kehidupan di bawah tekanan.

Resiliensi ibu yang memiliki anak penyandang autis menyatakan bahwa

perhatian dan kasih sayang kepada anak yang menderita autis akan memberikan

dampak peningkatan mental dan kesehatan kepada anaknya. Sumber stres primer

berkaitan dengan perilaku dan karakteristik anak autis. Terjadi kebingungan

akibat kekurangannya pemahaman orang tua mengenai autisme memicu

timbulnya stres. Lalu sumber stress sekunder berkaitan dengan dampak memiliki

anak autis itu sendiri baik di keluarga, pekerjaan, lingkungan sosial hingga

ekonomi. Kaitannya dengan anak autis, orangtua dalam kondisi stress dapat

mengalami ketidakseimbangan kognitif, emosional, sosial dan instrumental yang

tentunya dapat mempengaruhi fungsi keluarga. Dengan segala perannya, apabila

orangtua tidak mampu mengelola stresor dengan cara yang positif, seperti

beradaptasi, optimis, meregulasi emosi, maka individu tersebut rentan untuk

berada dalam kondisi stress.

Setiap orang tua menanggapi masalah ini dengan cara khusus mereka

sendiri, mengekspresikan tingkat skeptisisme, keputusasaan, dan kemarahan yang

berbeda. Orang tua ingin mendukung pemulihan dan penerimaan anak autis

terhadap kondisinya, menurut Priyatna (2019) beberapa orang tua masih berjuang

untuk menerima kenyataan bahwa anak mereka menderita autisme. Fenomena ini
6

akan berdampak pada meningkatnya kejadian autisme, yang akan menyebabkan

banyak orang tua mengalami konflik emosional karena memiliki anak autis.

Dukungan keluarga sangat diperlukan oleh ibu yang memiliki anak

autis. Dukungan keluarga merupakan proses koneksi yang memerlukan masukan,

dorongan, dan keterlibatan emosional dari anggota keluarga lainnya. Bantuan dari

dalam keluarga dapat membantu keluarga berkembang sekaligus menumbuhkan

rasa memiliki. Anggota keluarga perlu mampu memahami, mengilhami, dan

membantu anak-anak muda yang membutuhkan. Perilaku, perspektif, dan

ketahanan anggota keluarga terhadap penyandang autisme atau disabilitas lainnya

memberikan dukungan orang tua, terutama di dalam keluarga (Nasution, 2019).

Ibu yang mendapat banyak dukungan dari keluarganya juga akan

tangguh. Keadaan ini menunjukkan betapa pentingnya memahami hubungan

antara dukungan keluarga dan resiliensi pada anak autis agar dapat membantu

resiliensi pada anak autis. Salah satu hal yang membantu ibu dan penyandang

autis dengan resiliensi adalah keluarga. Orang dengan autisme yang memiliki

keterbatasan sering merasakan kekurangan dalam pengalaman sehari-hari mereka.

Karena bantuan yang mereka terima dari keluarga mereka, penyandang autisme

diantisipasi untuk bertahan dalam keadaan ini (Mangunsong, 2019).

Hubungan dukungan keluarga dengan resiliensi pada ibu memiliki

anak penyandang autis dapat menghasilkan kosekuensi baik positif maupun

negatif. Dukungan dari keluarga atau orang tua adalah keterlibatan keluarga

secara aktif sangat dibutuhkan dalam mendukung perkembangan anak-anak autis

karena dapat berdampak terhadap keberhasilan anak sampai dengan 80%. Tanpa

pemberian kasih sayang yang baik maka potensi anak tidak akan mampu
7

berkembang secara baik. Interaksi yang baik antara orang tua dengan anak akan

mampu mengoptimalkan segala kemampuan yang dimiliki anak. Semakin tinggi

peran keluarga akan berhubungan dengan peningkatan kemampuan anak

penyandang autis (Chandra, 2018).

Berdasarkan hasil survei awal yag dilakukan tanggal 23 Mei 2022 dengan

wawancara salah satu orang tua anak autis berinisial NA yang mempunyai anak

berumur 10 tahun dan sejak umur 2 tahun di diagnosa autis oleh dokter. NA ini

merawat anaknya sudah 12 tahun. Ketika didiagnosa autis NA ini merasa sedih,

bingung, dan takut. Takut bahwa anaknya tidak bisa sembuh seperti anak-anak

normal yang lainnya dan takut kalau tidak mendampingi anaknya serta

memberikan yang terbaik. Awal tahu bahwa diagnosa anaknya adalah autis NA

sulit untuk menerima hal tersebut. Akan tetapi, NA bertekad bersama suami untuk

mencari informasi dan tempat terapi yang terbaik untuk anaknya proses

penerimaan yang dilalui oleh orang tua ini sangat sulit bahkan sempat merasa

malu ketika itu. Akan tetapi, dengan adanya dukungan dari keluarga dan orang tua

barulah sadar akan kekurangan anaknya NA dan suami tidak minder dan

menyembunyikan anaknya dari lingkungan sekitar justru malah memperkenalkan

ke lingkungan supaya tahu seperti apa autis itu.

Mengasuh anak berkebutuhan khusus, khususnya autis, bukanlah hal

yang sederhana. Ketika orang tua mengetahui bahwa anak mereka menderita

autisme, mereka mungkin bereaksi dengan cemas, heran, tidak percaya, sedih,

marah, dan penolakan. Dari tahap pertama, ketika orang tua menyadari bahwa

anaknya berkebutuhan khusus, hingga tahap di mana orang tua menerima

(acceptance) anaknya, dapat dikatakan bahwa ini bukan proses yang mudah bagi
8

orang tua. Kebingungan dan kecemasan juga akan mempengaruhi orang tua,

membuat mereka tidak yakin tentang cara terbaik untuk merawat anak-anak

mereka.

Dilihat dari sisi keluarga penderita, adanya seorang anak yang menderita

gangguan perkembangan menjadi beban bagi orang tuanya . Orang tua harus lebih

banyak untuk memberikan waktu dan perhatian bagi seorang anak. Peranan orang

tua sangat besar dalam mempengaruhi kehidupan anak. Orang tua harus bisa

dalam mengelola emosi maupun perlakuan kepada seorang anak. Hal ini

disebabkan apabila orang tua memiliki atau mengeluarkan emosi negatif maupun

perlakuan negatif akan berimbas pada anak. Jadi, disini selain bantuan medis

untuk membantu anak, dukungan orang tua juga sangat diperlukan

Menurut hasil penelitian Milyawati dan Hastuti (2019), terdapat

hubungan yang substansial antara dukungan keluarga dengan kemampuan ibu

dalam menangani anak autis. Memanfaatkan dukungan keluarga untuk

mengurangi ketegangan dalam membesarkan anak-anak autis. Penelitian ini juga

sejalan dengan Puspita (2017) yang mengungkapkan sikap dan pengetahuan

kemandirian ibu terhadap anak autis, dengan kemandirian anak autis dengan

dukungan meningkat menjadi 34,6 persen dari 40,4 persen menjadi 53,8 persen.

Temuan ini menunjukkan hubungan antara sikap dan kemandirian dalam merawat

anak autis dan hubungan antara pengetahuan ibu dengan variabel bebas tentang

cara merawat anak autis.


9

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian

yang berjudul tentang hubungan dukungan keluarga dengan resiliensi pada ibu

yang memiliki anak penyandang Autisme di Sekolah Dasar Luar Biasa

Bangkinang Tahun 2022 ”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang, maka rumusan masalah pada penelitian

ini adalah:”Apakah ada hubungan dukungan keluarga dengan resiliensi pada ibu

yang memiliki anak penyandang Autisme di Sekolah Dasar Luar Biasa

Bangkinang Tahun 2022? “.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan dukungan keluarga dengan resiliensi pada ibu

yang memiliki anak penyandang Autisme di Sekolah Dasar Luar Biasa

Bangkinang Tahun 2022.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui distribusi frekuensi dukungan keluarga yang memiliki anak

penyandang Autisme di Sekolah Dasar Luar Biasa Bangkinang Tahun 2022.

b. Mengetahui distribusi frekuensi resiliensi pada ibu yang memiliki anak

penyandang Autisme di Sekolah Dasar Luar Biasa Bangkinang Tahun 2022

c. Menganalisa hubungan dukungan keluarga dengan resiliensi pada ibu yang

memiliki anak penyandang Autisme di Sekolah Dasar Luar Biasa

Bangkinang Tahun 2022.


10

D. Manfaat Penelitian

1. Aspek Teoritis

MemperkayaPpemahamanPyangPberkaitanPdenganPilmuPpsikologi,Pdimana

fokusPbahasannyaPPadalahPtentangPdukunganPkeluargaPresiliensiPdiriPdanP

penyandangPautisPsertaPpenelitianPiniPbisaPdigunakanPuntukPreferensiPpen

elitian yang akan datang.

2. Aspek Praktis

Dapat meningkatkan kesadaran dalam memberikan dukungan sosial pada orang

tua dan tentunya ibu yang memiliki anak autis supaya mereka memiliki

kekuatan dalam dirinya dan sebagai bahan informasi bahwa dukungan sosial

dan resiliensi membantu orangtua yang memiliki anak autis untuk mengatasi

stres pengasuhan

Anda mungkin juga menyukai