BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
yang sempurna secara jasmani maupun rohani. Akan tetapi, tidak semua
anak yang telah dilahirkan akan tumbuh dalam keadaan normal. Anak
yang lahir bisa jadi memiliki keterbatasan baik secara fisik maupun secara
(special needs chlidren) yaitu anak yang mengalami gangguan fisik dan
(Faradina, 2016).
emosi dan keinginan mereka, serta membentuk hubungan emosional dengan orang
lain. Akibatnya, terjadi gangguan internal yang muncul selama interaksi sosial,
anak autis dengan keterbatasannya tetap dapat tumbuh dan berkembang sesuai
dengan usianya dan pada akhirnya dapat menjadi orang dewasa yang berharga
(Sastra, 2017)
Saat ini, ada 15-20 insiden autisme per 10.000 anak, atau 0,15-0,20
persen, di seluruh dunia. Centers for Disease Control and Prevention (CDC)
pada 2018–2019, 23 persen; dan pada Maret 2020, itu 1:50. Jumlah penyandang
autisme di Indonesia akan meningkat 0,15 persen, atau 6.900 anak, setiap tahun
jika negara ini memiliki angka kelahiran enam juta setiap tahun. Mungkin ada tiga
sampai empat kali lebih banyak anak laki-laki yang memiliki autisme. Menurut
(Kusumayanti, 2021)
kurang lebih 4,2 juta ABK di Indonesia paling sedikit 10 persen anak usia sekolah
usia sekolah, pada akhir tahun 2020 diketahui terdapat 7.096 anak
berkebutuhan khusus usia (ABK) sekolah di Propinsi Riau. Dari jumlah tersebut,
yang telah dan sedang mengikuti pendidikan di SLB ada 3.782 siswa, sedang
Sisanya, masih terdapat 1.926 ABK usia sekolah yang belum tertangani karena
2020 terhitung sebanyak 847.175 jiwa. Jumlah anak lahir hidup yaitu pada tahun
tersebut adalah 13.269 jiwa. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Sosial
Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri Bangkinang sebagai salah satu lembaga
berada di Kabupaten Kampar, merupakan wujud dari pelaksanaan UUD 1945 dan
orang. Tingkat SMPLB kelas VII sebanyak IX sebanyak 28 orang, dan tingkat
berkebutuhan khusus, dari 154 data orang tua terdapat, sebanyak 17 orang tua
(11,03%) merasa malu dan 10 orang tua (34,48%) merasa sangat kecewa dengan
kondisi anak yang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Bahkan ada kasus, di
mana orang tua tega menelantarkan anaknya dan ini adalah kejadian di beberapa
berlebihan, menurut gagasan Handojo (2017) perilaku melukai diri sendiri (self-
abuse), seperti menendang, memukul, menggigit, dan mencubit diri sendiri, serta
perilaku sosial yang buruk, kekurangan sensorik yang dapat menyebabkan anak-
anak dikira tuli, bermain salah dan menampilkan emosi yang tidak pantas, tertawa
atau menangis tak terkendali, dan melamun. Akibat dari pengawasan ekstra 24
jam yang diperlukan akibat perilaku ini, orang tua dari anak autis menjadi
4
biasanya berupa reaksi shock, shock batin, kesedihan, stres, rasa bersalah,
kekecewaan, marah, sakit hati, tidak dapat menerima kenyataan, merasa abu-abu,
Mangunsong (2019). Mengingat anak autis sulit untuk dididik misalnya dalam hal
tua juga bingung bagaimana membesarkan anak dengan gangguan autisme. Isu-
isu ini menjadi tekanan bagi orang tua dan memaksa mereka untuk bertindak
sesuai dengan tanggung jawab orang tua mereka, seperti belajar menyesuaikan
diri.
Menurut Cohen dan Bolton (2019) hingga 55% orang tua dari anak-anak
autis mengalami tingkat stres lebih tinggi dari pada orang tua dari anak-anak yang
normal (11%). Selain itu, Cohen dan Bolton (dalam Kusumastuti, 2019)
menegaskan bahwa memiliki anak autis dapat menyebabkan orang tua dari anak
yang dimiliki dan dihadapinya atau kondisi yang tidak menyenangkan, bahkan
mengubah kondisi kehidupan yang menyengsarakan menjadi suatu hal yang biasa
dan wajar untuk dijalani. Resiliensi menjadi penting untuk dimiliki oleh setiap ibu
yang memiliki anak penyandang autis agar ibu dapat mengatasi masalah dan
usaha, orang tua dari anak-anak autis tangguh dan berusaha untuk menjalani
kehidupan yang normal dan bermanfaat. Orang tua membutuhkan resiliensi untuk
perhatian dan kasih sayang kepada anak yang menderita autis akan memberikan
dampak peningkatan mental dan kesehatan kepada anaknya. Sumber stres primer
timbulnya stres. Lalu sumber stress sekunder berkaitan dengan dampak memiliki
anak autis itu sendiri baik di keluarga, pekerjaan, lingkungan sosial hingga
ekonomi. Kaitannya dengan anak autis, orangtua dalam kondisi stress dapat
orangtua tidak mampu mengelola stresor dengan cara yang positif, seperti
Setiap orang tua menanggapi masalah ini dengan cara khusus mereka
berbeda. Orang tua ingin mendukung pemulihan dan penerimaan anak autis
terhadap kondisinya, menurut Priyatna (2019) beberapa orang tua masih berjuang
untuk menerima kenyataan bahwa anak mereka menderita autisme. Fenomena ini
6
banyak orang tua mengalami konflik emosional karena memiliki anak autis.
dorongan, dan keterlibatan emosional dari anggota keluarga lainnya. Bantuan dari
antara dukungan keluarga dan resiliensi pada anak autis agar dapat membantu
resiliensi pada anak autis. Salah satu hal yang membantu ibu dan penyandang
autis dengan resiliensi adalah keluarga. Orang dengan autisme yang memiliki
Karena bantuan yang mereka terima dari keluarga mereka, penyandang autisme
negatif. Dukungan dari keluarga atau orang tua adalah keterlibatan keluarga
karena dapat berdampak terhadap keberhasilan anak sampai dengan 80%. Tanpa
pemberian kasih sayang yang baik maka potensi anak tidak akan mampu
7
berkembang secara baik. Interaksi yang baik antara orang tua dengan anak akan
Berdasarkan hasil survei awal yag dilakukan tanggal 23 Mei 2022 dengan
wawancara salah satu orang tua anak autis berinisial NA yang mempunyai anak
berumur 10 tahun dan sejak umur 2 tahun di diagnosa autis oleh dokter. NA ini
merawat anaknya sudah 12 tahun. Ketika didiagnosa autis NA ini merasa sedih,
bingung, dan takut. Takut bahwa anaknya tidak bisa sembuh seperti anak-anak
normal yang lainnya dan takut kalau tidak mendampingi anaknya serta
memberikan yang terbaik. Awal tahu bahwa diagnosa anaknya adalah autis NA
sulit untuk menerima hal tersebut. Akan tetapi, NA bertekad bersama suami untuk
mencari informasi dan tempat terapi yang terbaik untuk anaknya proses
penerimaan yang dilalui oleh orang tua ini sangat sulit bahkan sempat merasa
malu ketika itu. Akan tetapi, dengan adanya dukungan dari keluarga dan orang tua
barulah sadar akan kekurangan anaknya NA dan suami tidak minder dan
yang sederhana. Ketika orang tua mengetahui bahwa anak mereka menderita
autisme, mereka mungkin bereaksi dengan cemas, heran, tidak percaya, sedih,
marah, dan penolakan. Dari tahap pertama, ketika orang tua menyadari bahwa
(acceptance) anaknya, dapat dikatakan bahwa ini bukan proses yang mudah bagi
8
orang tua. Kebingungan dan kecemasan juga akan mempengaruhi orang tua,
membuat mereka tidak yakin tentang cara terbaik untuk merawat anak-anak
mereka.
Dilihat dari sisi keluarga penderita, adanya seorang anak yang menderita
gangguan perkembangan menjadi beban bagi orang tuanya . Orang tua harus lebih
banyak untuk memberikan waktu dan perhatian bagi seorang anak. Peranan orang
tua sangat besar dalam mempengaruhi kehidupan anak. Orang tua harus bisa
dalam mengelola emosi maupun perlakuan kepada seorang anak. Hal ini
disebabkan apabila orang tua memiliki atau mengeluarkan emosi negatif maupun
perlakuan negatif akan berimbas pada anak. Jadi, disini selain bantuan medis
kemandirian ibu terhadap anak autis, dengan kemandirian anak autis dengan
dukungan meningkat menjadi 34,6 persen dari 40,4 persen menjadi 53,8 persen.
Temuan ini menunjukkan hubungan antara sikap dan kemandirian dalam merawat
anak autis dan hubungan antara pengetahuan ibu dengan variabel bebas tentang
yang berjudul tentang hubungan dukungan keluarga dengan resiliensi pada ibu
B. Perumusan Masalah
ini adalah:”Apakah ada hubungan dukungan keluarga dengan resiliensi pada ibu
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
2. Tujuan Khusus
D. Manfaat Penelitian
1. Aspek Teoritis
MemperkayaPpemahamanPyangPberkaitanPdenganPilmuPpsikologi,Pdimana
fokusPbahasannyaPPadalahPtentangPdukunganPkeluargaPresiliensiPdiriPdanP
penyandangPautisPsertaPpenelitianPiniPbisaPdigunakanPuntukPreferensiPpen
2. Aspek Praktis
tua dan tentunya ibu yang memiliki anak autis supaya mereka memiliki
kekuatan dalam dirinya dan sebagai bahan informasi bahwa dukungan sosial
dan resiliensi membantu orangtua yang memiliki anak autis untuk mengatasi
stres pengasuhan