Anda di halaman 1dari 13

Self Acceptance yang Memiliki Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)

Oleh:

Yunita Efendi

12011626080

Bimbingan dan Konseling Pendidikan Islam

UIN Sultan Syarif Kasim Riau

Fakultas Tarbiyah dan Keguruan

Subtema: Dukungan Keluarga Melalui Penerimaan Diri (ABK) Bagi


Orang Tua dari Anak Berkebutuhan Khusus

pengantar

Memiliki anak merupakan bagian yang indah dalam sebuah


keluarga, dan anak juga bisa menjadi salah satu faktor yang
mempengaruhi kemantapan sebuah perkawinan (Hurlock, 2013). Anak
yang lahir dengan sempurna merupakan keinginan seluruh orang tua.
Orang tua bercita-cita untuk melahirkan anak yang sehat, baik secara fisik
maupun mental. Namun, tidak semua anak dilahirkan dan dibesarkan di
lingkungan yang normal (Rachmayanti & Zulkaida, 2007 ). Namun
Feldman berpendapat bahwa, perkembangan semua anak berbeda-beda,
sedangkan perkembangan fisik anak normal cenderung mampu
beradaptasi dengan kondisi saat ini, perkembangan anak yang
menyimpang menghambat adaptasi anak terhadap lingkungan (Somantri,
2007).

Kelahiran anak berkebutuhan khusus menciptakan situasi baru


yang intens dan penuh tantangan. Saat impian memiliki anak yang sehat
hancur, ada beban penyebab stres yang mungkin bertahan lama (Burke &
Hodapp, 2014; Shyam & Govil, 2014). Dalam sistem keluarga, peran
orang tua sebagai pengasuh anak berkebutuhan khusus, perilaku ABK,
dan interaksi antara anak dan orang tua dapat menjadi sumber stres
(Peters-Scheffer et al., 2012) . ; Walsh et al., 2013). Tidak mengherankan
jika sebagian besar penelitian yang meneliti orang tua anak berkebutuhan
khusus khawatir dengan efek negatif dari stres (Casey et al., 2012;
Fairthorne et al., 2014; Quasir et al., 2015). Tampaknya semakin tinggi
ancaman terhadap bidang-bidang penting kehidupan orang tua, semakin
rendah kesejahteraan mereka (Motaghedi & Haddadian, M., 2014).

Data Kementerian Sosial mencatat 30% atau 44.464 orang adalah


anak-anak, penyandang disabilitas 148.173 orang. Hanya 18% yang
mendapatkan layanan pendidikan. Dari 18% tersebut, 115.000 anak
bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB) dan 299.000 anak bersekolah di
sekolah reguler lainnya.

Data anak berkebutuhan khusus (ABK) seperti fenomena gunung


es, banyak kelahiran dengan ABK yang disembunyikan, karena tidak
semua keluarga bisa menerima dengan ikhlas keberadaan ABK di tengah-
tengah keluarga. Masih ada keluarga yang menyembunyikan keberadaan
anaknya. Akibatnya, banyak anak berkebutuhan khusus (ABK) di tengah
masyarakat yang belum mendapatkan layanan pendidikan yang layak,
mereka di rumah bersama keluarga, tanpa pengasuhan khusus. (Sriyanti,
Lilik 2020).

Ada beberapa istilah yang digunakan untuk menyebut ABK, seperti


disabilitity, impairment, dan handicap Menurut World Health Organization
(WHO), masing-masing istilah didefinisikan sebagai berikut: Disability
adalah keterbatasan atau ketidakmampuan (karena disabilitas) untuk
melakukan aktivitas sesuai dengan peraturan atau norma lingkungan yang
berlaku dalam masyarakat. Istilah ini digunakan pada tingkat individu.
Disabilitas adalah kehilangan atau ketidaknormalan yang berkaitan
dengan psikologi atau fungsi struktur anatomi. Istilah ini digunakan pada
tingkat organ tubuh manusia. Merugikan seseorang karena kecacatan,
gangguan atau gangguan yang membatasi atau mencegah pelaksanaan
peran normal.

Hingga saat ini ABK masih dalam posisi yang terhubung secara
sosial, hokum, politik dan ekonomi. Persepsi masyarakat terhadap ABK
cenderung negative. ABK sebagai anak cacat, kelahiran nya dianggap aib
keluarga, ada pula yang menganggap sebagai penyakit menular yang
harus dihindari (Sriyanti Lilik, 2020).

Berdasarkan data yang ditemukan, di Indonesia istilah anak


berkebutuhan khusus adalah Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Anak
berkebutuhan khusus (special needs children), yakni anak dengan
karakterstik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa
selalu menjukkan pada ketidakmampuan emosi, fisik dan mental
(Direktorat Pendidikan Luar Biasa Pengembangan, 2005). ABK tidak
hanya menunjukkan kecacatan emosional, fisik, atau mental tetapi
merupakan anak dengan ciri khusus yang membedakannya dengan anak
pada umumnya (Geniofam, 2010).

Dengan demikian, dari 18.000 anak yang tidak diberikan hak sesuai
kemampuannya, anak tersebut dikurung di rumah karena orang tuanya
malu dengan kondisi putra atau putrinya. Selain itu, masih terdapat
beberapa hal yang kurang seperti pendidikan, fasilitas umum dan
pelayanan kesehatan bagi anak berkebutuhan khusus yang masih sangat
sedikit di Indonesia. Tidak banyak guru yang mampu mengajar anak
berkebutuhan khusus, masyarakat seringkali memojokkan anak
berkebutuhan khusus, dan banyak sekolah yang tidak menerima anak
berkebutuhan khusus. (Zulqaidah, 2016).

Lembaga layanan membutuhkan jaminan bahwa program yang


mereka berikan efektif dan penerima puas. Terapis dan pendidik perlu
diyakinkan bahwa waktu yang mereka habiskan untuk memberikan dan
mendukung intervensi berbasis sekolah bermanfaat. Terakhir, orang tua
membutuhkan bukti bahwa program ini memiliki potensi untuk membantu
anak-anak mereka di lingkungan pendidikan.

Allport mengatakan , peran orang tua sangat penting jika anak


mendapat rasa aman dan kasih sayang yang cukup. Ketika anak-anak
tidak dicintai dan merasa tidak aman, mereka menjadi kejam, agresif,
menuntut, dan mengalami pertumbuhan psikologis yang buruk (Schult,
1991). Penerimaan diri adalah kemampuan untuk menerima aspek diri
sendiri, termasuk kelemahan dan kekurangan, tanpa menyerah pada
kenyataan yang ada (Schult, 1991).

Memiliki anak berkebutuhan khusus merupakan tekanan fisik dan


emosional yang sangat besar bagi orang tua. Tantangan hidup ABK
sangat kompleks. Di satu sisi anak dihadapkan pada masalah dengan
keterbatasan kemampuan dirinya. (Mira, 2012). Kondisi anak yang
terbatas pada ABK menimbulkan upaya dari orang tua untuk
menyingkirkan atau mengasingkan dari keluarga. Di balik
keterbatasannya, anak berkebutuhan khusus mempunyai potensi yang
bisa dikembangkan. Hal ini yang sering tidak disadari oleh orangtua,
sehingga tidak mampu memberikan layanan pendidikan secara maksimal
(Sriyanti Lilik, 2020).

Reaksi awal orang tua yang mengalami ABK adalah mereka


merasa memiliki masalah yaitu ketidakpercayaan, keterkejutan,
kesedihan, kekecewaan, rasa bersalah, kemarahan, dan penolakan. Tidak
mudah bagi orang tua dari anak berkebutuhan khusus untuk melewati
tahap ini sebelum akhirnya sampai pada tahap Self Acceptance . Ada juga
saat-saat bahkan orang tua tidak tahu apa yang harus dilakukan . Banyak
orang tua memilih untuk tidak secara terbuka mengungkapkan kondisi
anaknya kepada teman, tetangga, atau bahkan kerabat dekat, kecuali
dokter yang merawat
Dari sudut pandang keluarga yang terkena dampak, kehadiran
seorang anak dengan gangguan perkembangan dapat menjadi sumber
stres yang besar bagi orang tua. Anak-anak harus diberi lebih banyak
waktu dan perhatian. Oleh karena itu, keluarga menjadi tombak bagi
perkembangan anak. Pada tahun-tahun awal dan pada masa sulit. Ketika
orang tua gagal mengelola emosi negatif mereka dengan tepat ,
konsekuensinya tidak dapat dikesampingkan. Selain dukungan medis,
kesembuhan anak berkebutuhan khusus bergantung pada dukungan yang
diberikan oleh orang tua dan keluarga (Miranda, 2013).

Studi pertama yang dilakukan penulis pada hari Kamis tanggal 24


November 2022 pukul 10.08 WIB sampai dengan selesai di SLB Panam
Mulia Pekanbaru. Berdasarkan hasil wawancara yang penulis lakukan
dengan salah satu orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus
yaitu seorang ibu berinisial A. Awalnya Ibu A memiliki anak berkebutuhan
khusus berjenis Tunarungu. Ibu A menjelaskan anaknya tidak ada
kekurangan sedikit pun, saat itu anaknya berinisial Z mengalami demam
tinggi namun tidak setahap yang terjadi saat anak menginjak usia 5 tahun.
Nama keluarga ibu A Dikatakan, saat dibawa ke dokter dan didiagnosa,
anaknya tidak mengalami masalah apapun. Kemudian pihak rumah sakit
memberikan informasi untuk dirujuk ke rumah sakit di luar daerah seperti
Padang dan Medan. Ibu berinisial A ini memilih pergi ke ladang sendirian.
Hingga akhirnya didiagnosa anak berinisial Z mengalami saraf terjepit di
telinga sehingga Z tidak bisa mendengar. Selama lebih dari 2 tahun, Ibu
berinisial A ini melakukan terapi di Padang. Terapi yang dilakukan adalah
terapi Pendengaran, sehingga saat ini anak sudah mulai dapat
merangsang atau menerima rangsangan dari bunyi-bunyian yang ada
meskipun hanya sekedar. Saat itu terjadi, Ibu A langsung turun. Saat ini
Ibu A sedang bekerja di perkebunan kelapa sawit. Ibu berinisial A ini
merasa down dan tidak berarti sebagai orang tua yang menjaga anaknya.
Ibu A merasa memiliki masalah yaitu ketidakpercayaan, keterkejutan,
kesedihan, kekecewaan, rasa bersalah, kemarahan, dan penolakan. Tidak
mudah bagi orang tua dari anak berkebutuhan khusus untuk melewati
tahap ini sebelum akhirnya sampai pada tahap Self Acceptance . Ibu A
mengatakan merasa tidak percaya diri dengan keadaan yang dialaminya.
Namun dengan kesabaran yang luar biasa, ucapan terima kasih dan
dukungan dari keluarga yang telah berjasa secara suportif dalam
memberikan bantuan baik materil maupun fisik, sehingga perlahan Ibu A
lebih bisa menerima keadaan yang dialaminya.

Berangkat dari fenomena tersebut, penulis ingin menulis esai


tentang Dukungan Keluarga terhadap Penerimaan Diri Orang Tua Bagi
Anak Berkebutuhan Khusus (ABK).

Pembahasan

Menerima diri sendiri

Hurlock (2013) Penerimaan diri adalah kemampuan untuk menerima


segala sesuatu yang ada dalam diri sendiri, baik kelemahan maupun
kelebihan yang dimiliki, dan ketika terjadi peristiwa yang tidak
menyenangkan, dimungkinkan untuk memahami kekuatan dan kelemahan
dari masalah yang muncul. dia bisa berpikir logis. Tanpa menimbulkan
permusuhan, rasa rendah diri, rasa malu atau kecemasan (Hurlock, 2013).
Penerimaan diri adalah kesediaan untuk menerima diri sendiri, baik
kelebihan maupun kekurangannya, termasuk kondisi fisik, psikologi sosial,
dan penampilan diri (Meilinda, 2013).
Penerimaan diri, yaitu penerimaan terhadap segala sesuatu dalam
hidup, baik itu terlalu sedikit maupun terlalu banyak, memungkinkan
seseorang untuk mengidentifikasi masalah positif atau negatif yang
muncul ketika peristiwa yang mungkin tidak baik terjadi. Inferiority (harga
diri rendah), Anger (marah) atau Pudency (malu), (Yiyi & Latifah, 2017).
Inilah yang harus dimiliki oleh setiap orang tua yang memiliki anak
berkebutuhan khusus. Sederhananya, penerimaan adalah ketika
seseorang menerima sesuatu apa adanya dan berdamai. Beberapa orang
menganggapnya gagal ketika mereka menerima sesuatu yang
bertentangan dengan keinginan mereka mereka, tanpa niat untuk
mengubah atau memperbaikinya (Mike Robins, 2007).

Tahapan Penerimaan

Ada tahapan-tahapan yang dilakukan oleh orang tua menurut teori


penerimaan Kubbler Ross (2008), yaitu:
1. Penolakan
2. Kemarahan
3. Tawar - menawar
4. Depresi
5. Penerimaan

Ciri-ciri Sikap Penerimaan Diri

Ciri-ciri orang tua yang sudah sampai pada aspek penerimaan diri
yang dikemukakan oleh Kubler Ross (Gargiulo, 2004) antara lain:

1. Menerima anak apa adanya dan memberikan tanggung jawab


kepada anak.
2. Kirimkan cinta kepada anak-anak.
3. Berkolaborasi dengan ahli lapangan.
4. Bersyukurlah tanpa perasaan bersalah.
5. Tidak berlebihan dan membatasi anak.

Ada beberapa karakteristik positif dan negatif dari penerimaan ibu


terhadap anak yang terdiagnosis berkebutuhan khusus (Puspita, 2004).

Perspektif Penerimaan Diri

Sheerer (dalam Pancawati, 2013), mengemukakan perspektif sebagai


berikut:

1. persamaan
2. Percayalah pada kemampuan Anda
3. Memiliki kewajiban
4. Perkenalan penuh
5. Pendirian
6. Ketahui batasan Anda
7. Rangkullah kemanusiaan Anda

Anak berkebutuhan khusus

Anak yang memiliki keluarbiasaan ialah anak yang mempunyai


kondisi, karakter serta perkembangan yang berbeda dengan normal pada
umumnya (Aqila, 2010). Anak berkebutuhan khusus ialah anak istimewa
yang memiliki kemampuan terbatas pada anak umumnya (Sumekar,
2009).

Karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)

Menurut Somantri (2005), ciri- ciri anak berkebutuhan khusus adalah:

1. Buta
2. Tuli
3. Cacat mental
4. Kelainan pada otak dan disabilitas
5. Hambatan mengendalikan emosi dan control sosial
6. Anak-anak dengan ketidakmampuan pendidikan
7. Anak-anak dengan ketidakmampuan belajar
8. autisme
Orang Tua

Membesarkan anak, sebagai suatu peraturan, adalah tanggung


jawab orang tua, lembaga pendidikan yang paling penting dan
menentukan bagi anak-anak. Selain itu, anak mendapatkan pendidikan,
bimbingan, pembinaan dan pembelajaran pertama kali dari orang tuanya
di lingkungan rumah. Oleh karena itu peran pengasuh sangat penting dan
penting dalam tumbuh kembang anak, termasuk anak berkebutuhan
khusus.

Anak dari orang tua dengan tingkat sosial ekonomi rendah


cenderung membutuhkan pendidikan khusus. Dalam konteks ini, sedikit
perhatian diberikan kepada keluarga dengan anak berkebutuhan khusus
yang memiliki latar belakang sosial ekonomi yang lebih tinggi. Orang tua
merupakan pondasi utama bagi anak, termasuk di lingkungan rumah
berkebutuhan khusus, dan orang tua dapat memberikan pendidikan,
bimbingan dan lain-lain (Zaldy Munir, 2010).

Dukungan keluarga

Orang tidak dapat dipisahkan dari orang lain , sehingga


penerimaan orang tua terhadap anak dipengaruhi oleh dukungan sosial
dari orang- orang disekitarnya (Saravati, 2004). Dukungan keluarga
digambarkan sebagai sikap, perilaku, dan penerimaan keluarga terhadap
anggota keluarga. Keluarga dianggap sebagai bagian integral dari
lingkungan keluarga. Keluarga menyadari bahwa pendukung selalu siap
memberikan pertolongan dan dukungan saat dibutuhkan (Friedman,
1998). Dukungan dapat berupa dukungan sosial dan dukungan saudara
kandung (Friedman, 1998). Transisi dapat mewakili kemungkinan
perubahan posisi siswa (Roth dan Erstad 2016), tetapi, seperti yang
dicatat oleh Berg dan Nes (2010), pemahaman yang lebih baik tentang
posisi keluarga dalam kemitraan sekolah-rumah juga diperlukan.

Meningkatkan pemahaman tentang identitas posisi ibu sehingga


sekolah dapat mempererat kemitraannya dengan keluarga untuk
mendukung keberhasilan siswa. Untuk melakukannya, kami
mempertimbangkan cara orang tua mengalami ekspektasi yang kompleks
tentang kebutuhan anak mereka selama transisi pendidikan dari waktu ke
waktu.
Kesimpulan

Penerimaan diri orang tua terhadap anak berkebutuhan khusus


memiliki tingkatan dan dimensi penerimaan. Beberapa tahapan yang
dilalui orang tua adalah dalam proses penerimaan anak yang didiagnosa
berkebutuhan khusus, dan karena kondisi anak berbeda maka setiap
individu melewati tahapan yang berbeda. Dukungan keluarga bagi orang
tua dari anak berkebutuhan khusus (ABK) juga sangat penting untuk
memperkuat rasa percaya diri, penerimaan dan penghargaan orang tua.
Semoga para orang tua anak berkebutuhan khusus (ABK) ikhlas, ikhlas,
penuh kasih menerima segala ketidaksempurnaan yang diberikan oleh
Tuhan Yang Maha Esa.

Dukungan sosial keluarga dapat berupa dukungan sosial dari


keluarga, seperti saudara atau pasangan, keluarga eksternal, seperti
teman, tetangga, dan kerabat dekat (Friedman, 1998) .

Bibliografi

Brooks, J. (2011). Proses Menjadi Orang Tua. Edisi Kedelapan.


Yogyakarta: Perpustakaan Pelajar.

Burke, MM, & Hodapp, RM (2014). Menghubungkan stres ibu dari anak-
anak penyandang disabilitas perkembangan dengan kemitraan
keluarga-sekolah. Disabilitas Intelektual dan Perkembangan, 52(1),
13–23. https://doi.org/10.1352/1934-9556-52.1.13 Byra, S., Zyta,
A., & Cwirynkalo, K. (2017).

Casey, LB, Zanksas, S., Meindl, JM, Parra, GR, Cogdal, P., & Powell, K.
(2012). Gejala stres pasca-trauma orang tua setelah diagnosis
gangguan spektrum autisme pada anak: Sebuah studi
percontohan. Penelitian dalam Gangguan Spektrum Autisme, 6(3),
1186–1193. (1186). 1193.
https://doi.org/10.1016/j.rasd.2012.03.008
Anak Autisme). Jurnal Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas
Gresik. Vol 6. Diakses pada 14 September 2016 dari
http://journal.unigres.ac.id/index.php/jnc/view/45/44

Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa. (2005). Identifikasi Anak


Berkebutuhan Khusus dalam Pendidikan Inklusif, Direktorat
Pembinaan Sekolah Luar Biasa. Jakarta

Friedman, M. (1998). Teori dan Praktek Keperawatan Keluarga. Edisi 3.


Jakarta: Eg.

Geniofam. (2010). Membesarkan dan Mensukseskan Anak Berkebutuhan


Khusus. Yogyakarta: Garasi Anda.

Hewett dan D, Frenk. Anak Secara Emosional dalam Gangguan Kelas,


AS: Ellyn dan Bacon, Inc, 1968

Hurlock, EB (2013). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan


Sepanjang Rentang Hidup. Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga.

Kubler Ross, Elizabeth. (2008). Tentang Kehidupan Setelah Kematian


Direvisi. USA : Seni Surgawi.

Meilinda, E. (2013). Hubungan Penerimaan Diri Dengan Kesesuaian


Terhadap Niat Merokok Pada Remaja Di SMK Istiqomah
Muhammadiyah 4 Samarinda. Psikologi Jurnal. Vol. 1 No. 1.
Diakses pada 13 Juni 2016 dari
http://ejournal.psikologi.fisipunmul.ac.id/site/wpcontent/uploads/
2013/03/journal% ( 03-11-13-05-54-50 ) .pdf.

Miranda, Destryarini. (2013). Strategi Coping dan Kelelahan Emosional


pada Ibu yang Memiliki Anak Berkebutuhan Khusus (Studi Kasus di
Rumah Sakit Jiwa Daerah Atma Husada Mahakam Samarinda
Kalimantan Timur). jurnal elektronik psikologi . Jilid 1 Nomor 2,
Halaman 123-135. Samarinda: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Mulawarman.

Motaghedi, S., & Haddadian, M. (2014). Pengaruh penilaian pertumbuhan


dan penilaian stres individu terhadap kesehatan mental orang tua
anak autis. Jurnal Ilmu Hayati, 11, 32–37.

Pancawati, Ririn (2013). Penerimaan Diri dan Dukungan Orang Tua untuk
Anak Autis. jurnal elektronik psikologi . Jilid 1 Nomor 1, Halaman
38-47. Samarinda: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Mulawarman

Peters-Scheffer, N., Didden, R., & Korzilius, H. (2012). Stres ibu diprediksi
oleh karakteristik anak dengan gangguan spektrum autisme dan
cacat intelektual. Penelitian dalam Gangguan Spektrum Autisme,
6(2), 696–706. https://doi.org/10.1016/j.rasd.2011.10.003 Phelps,
KW, McCammon, SL

Puspita, D. (2004). Peran Keluarga dalam Penanganan Individu Dengan


Autistic Spectrum Disorder . Diakses pada 13 Juni 2016 dari
http://puterakembara.org/rm/peran_ortu.htm

Rachmayanti, S.Zulkaida, A. (2007). Penerimaan Diri Orang Tua


Terhadap Anak Autis dan Perannya Dalam Terapi Autis. Jurnal
psikologi. Vol 1. Diakses pada tanggal 14 September 2016 dari
http://dosen.narotama.ac.id/wp-content/uploads/2012/03/penerimaa
n-diri-orangtua-terhadap-anak-autism-dan-role-in-therapy -
autisme.pdf

Sarasvati. (2004). Meniti Pelangi: Perjalanan Seorang Ibu yang Pantang


Menyerah dalam Membimbing Putranya Keluar dari Belenggu
ADHD dan Autisme. Jakarta: PT. Elex Media Kompatindo.

Schultz, D. (1991). Model Psikologi Pertumbuhan Kepribadian Sehat.


Yogyakarta: Kanisius.
Setyaningrum, A. (2011). Pengaruh Multimedia Interaktif Tipe Benar Salah
Dalam Pembelajaran Terhadap Prestasi Belajar Matematika Anak
Tunagrahita Kelas IV SLB ABCD YSD Polokarto Tahun Pelajaran
2010/2011.

Somantri, S. (2007). Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: Refika Aditama.

Sriyanti, Lilik (2020). Bimbingan dan Konseling: Terapi Bagi Anak


Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta: Trust Media Publishing

Twistiandayani, R. Ratnahandika, S. (2015). Hubungan dukungan


keluarga dengan penerimaan diri ibu yang memiliki anak autis
(hubungan dukungan keluarga dengan penerimaan diri ibu yang
memiliki anak autis)

Yiyi Dwi Panti Rahayu dan Latifah Nur Ahyani. Kecerdasan Emosi dan
Dukungan Keluarga Dengan Penerimaan Diri Orang Tua Yang
Memiliki Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), halaman 2.
Gargiulo, RM (2004). Pendidikan khusus dalam masyarakat kontemporer.
Boston: Perusahaan Houghton Mifflin

Zulqaidah. (2016). Diakses pada 23 Januari 2017 dari


http://www.republika.co.id/berita/koran/leasure/14/12/16/ngny4a4-
parenting-hak-anak-difabel

Anda mungkin juga menyukai