Anda di halaman 1dari 22

UNIVERSITAS GUNADARMA

FAKULTAS PSIKOLOGI

HOPE PADA IBU YANG MEMILIKI ANAK


BERKEBUTUHAN KHUSUS

Disusun Oleh :

Kelompok 1

Nama Anggota Kelompok dan NPM :

Kelas

DEPOK

2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Disetiap pernikahan, kehadiran seorang anak merupakan anugerah yang tak


ternilai harganya bagi setiap orangtua. Namun, tidak sedikit yang dianugerahi anak-
anak yang memiliki kebutuhan yang berbeda dengan anak-anak lainnya, baik secara
fisik maupun psikis yang biasa disebut anak berkebutuhan khusus. Menurut Hadis
(2006), anak berkebutuhan khusus adalah anak dengan karakteristik khusus yang
berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukkan pada ketidak
mampuan mental, emosi, atau fisik. Menurut Toto (2005), anak berkebutuhan
khusus adalah anak yang menyimpang dari rata-rata atau normal dalam
karakteristik mental, kemampuan sensoris, karakteristik neuromotor atau fisik,
perilaku sosial, kemampuan berkomunikasi, atau gabungan dari berbagai variable
tersebut. Sementara itu menurut Mangunsong (2009), anak berkebutuhan khusus
adalah anak yang membutuhkan pendidikan dan layanan khusus untuk
mengoptimalkan fungsi kemanusiaannya secara utuh akibat adanya perbedaan
kondisi dengan kebanyakan anak lainnya. Anak yang termasuk dalam kategori
berkebutuhan khusus adalah anak dengan tunagrahita (mengalami retardasi
mental), tunanetra (mengalami hambatan penglihatan), tunarungu (mengalami
hambatan pendengaran), tunadaksa (mengalami cacat tubuh), autism, dan
tunaganda (mengalami hambatan lebih dari satu), yang masing-masing memiliki
karakteristik yang berbeda dan memerlukan penanganan dan pelayanan yang
berbeda juga (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2010).
Memiliki anak berkebutuhan khusus (ABK) memang cukup menantang bagi
orangtua. Banyak lika-liku yang harus dilewati agar anak tetap bisa tumbuh optimal
seperti anak pada umumnya. Seringkali, rasa stres, khawatir dan lelah menghampiri
pada waktu tertentu. Tetapi penting bagi orangtua untuk tidak membiarkan perasaan
negatif tersebut mengontrol perilakunya sehari-hari, apalagi kalau anak sudah
terkena dampaknya (Ajrina, 2018). Pada awalnya, orangtua akan melewati siklus
kedukaan dimana dihadapkan pada kenyataan yang menyakitkan, secara disadari

1
2

atau tidak, dia akan berusaha menyangkal kondisi itu, mungkin ada yang berhasil
hingga bisa mencapai tahap penerimaan tapi tidak sedikit yang terbelenggu pada
tahap penolakan, kemarahan, perundingan, atau depresi. Semua ini sangat
bergantung pada kondisi fisik dan psikologis (kejiwaan atau mental) ibu dan ayah,
anak itu sendiri, serta lingkungan sekitarnya. Dukungan positif dari lingkungan
sekitar akan memberikan dampak yang baik bagi orangtua dan anak penyandang
kebutuhan khusus tersebut (Rahmita, 2011).
Profesi ibu identik dengan merawat, mendidik anak, dan pekerjaan rumah
tangga. Meskipun sekarang banyak ibu yang bekerja di luar rumah, kegiatan-
kegiatan diatas masih menjadi tanggung jawab seorang ibu. Ibu-ibu untuk anak
kebutuhan khusus memiliki beban emosional yang lebih berat dikarenakan kondisi
anak. Ibu-ibu ini selain bekerja, mengurus rumah dan anak, juga masih harus
memikirkan perkembangan anak yang memiliki kebutuhan khusus. Kadang-kadang
di tengah kerumitan ini, seorang ibu juga sering dipersalahkan sebagai penyebab
dari kondisi anak yang memiliki kebutuhan khusus, padahal hal ini tidak benar.
(Sutrisno, 2016)
Setelah mendapat diagnosis bahwa anaknya memiliki kebutuhan khusus,
seorang Ibu harus berperan aktif dalam banyak hal, menjadi guru, pelindung,
penjaga, bahkan menjadi dokter bagi anaknya. Ibu juga wajib belajar banyak
mengenai kondisi anaknya, bagaimana cara menghadapi anak tersebut, dan
bagaimana caranya untuk merawat dan membesarkannya dengan baik tanpa
kesalahan (Purba, 2016). Menjalankan peran orangtua dengan anak berkebutuhan
khusus tidaklah mudah, penuh tantangan, dan melelahkan. Tidak ada salahnya, ibu
menyisihkan waktu untuk diri sendiri agar dapat istirahat sejenak dari aktvitas
keseharian menangani buah hati yang spesial. Orangtua dengan anak berkebutuhan
khusus harus ikhlas, tidak berkecil hati, dan sabar dalam mengasuh, membimbing
serta mendidik anak. Tantangan terbesar orangtua dengan anak berkebutuhan
khusus adalah mendidik anak menjadi generasi kuat, berbakat, berprestasi, mandiri,
dan bermakna dalam hidupnya (Yasmina Foundation, 2018).
Berdasarkan hasil wawancara awal, dapat diperoleh informasi bahwa subjek
merupakan seorang ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus dengan diagnosis
3

awal autism dan ketika diagnosis tambahan down syndrome dan thalassemia ketika
sudah beranjak besar. Subjek mengalami pendarahan diusia kandungan enam bulan
yang menyebabkan subjek harus melahirkan saat itu juga. Setelah mendengar
diagnosis dari dokter, subjek mengatakan bahwa subjek tidak merasa sedih atau
bingung karena subjek merasa sudah paham akan resiko kelahiran prematur. Subjek
awalnya merasa terkejut tapi sesudahnya subjek berusaha mencoba ikhlas dan
menerima. Subjek mengatakan pada saat itu subjek dan suami subjek berusaha
saling menguatkan dan fokus untuk memikirkan apa yang akan dilakukan supaya
anak subjek dapat hidup dengan baik. Subjek yang saat itu masih bekerja,
meluangkan waktunya untuk mencari tahu terapi yang cocok untuk anaknya dengan
cara banyak membaca buku dan sering mengikuti pelatihan atau seminar-seminar
dari ahli anak berkebutuhan khusus untuk menambah ilmunya.
Subjek juga mendirikan sekolah autis bersama dua temannya yang juga
memiliki anak berkebutuhan khusus. Motivasi subjek mendirikan sekolah autis itu
karena subjek merasa guru-guru yang ada di SLB belum sepenuhnya paham
menangani anak autis. Selain itu subjek juga merasakan bahwa sekolah inklusi
untuk anak autis itu mahal, sementara banyak diluar sana orang tua yang memiliki
anak berkebutuhan khusus namun kurang mampu dalam segi ekonomi. Lalu setelah
anak berusia 16 tahun, subjek sudah tidak mengikuti pelatihan-pelatihan terapi lagi,
karena subjek melihat anaknya sudah mandiri. Melihat anak berhasil mandiri,
subjek ingin membagikan pengalaman serta ilmu yang subjek punya kepada
orangtua lain yang memiliki anak berkebutuhan khusus. Subjek sudah merasa lebih
tenang dan tidak kesulitan saat ini karena merasa anak sudah mandiri.
Hal-hal yang dilakukan subjek ini, menunjukan bahwa subjek memiliki hope.
Orangtua yang memiliki anak berkebutuhan khusus umumnya memiliki harapan
agar anak dapat mandiri dan melakukan interaksi sosial. Snyder,
(2000) menyatakan hope merupakan keseluruhan dari kemampuan yang dimiliki
untuk menggunakan jalur-jalur tersebut. Hope didasarkan pada hope positif dalam
pencapaian tujuan. Lalu Edwards (dalam Lopez, 2009) menyatakan hope adalah
suatu mental yang positif yang akan meningkatkan kemampuan seorang individu
untuk mencapai tujuan di masa depan.
4

Snyder (2000) mengemukakan bahwa hope merupakan komponen penting


untuk memahami makna dari sikap individu dalam mengejar tujuan yang
diinginkan. Hope diketahui berkontribusi positif terhadap hubungan personal dan
keluarga dari seorang individu. Gottschalk (dalam Lopez, Snyder dan Pedrotti,
2003) mendefinisikan hope sebagai jumlah optimisme yang mengakibatkan hal-hal
yang disukai terwujud. Hope juga dipercaya sebagai usaha provokatif yang
memaksa individu untuk bergerak melewati masalah psikologis. Godfrey (dalam
Lopez, Snyder dan Pedrotti, 2003) mendefinisikan hope sebagai kepercayaan pada
beberapa kemungkinan dari hasil yang menyenangkan. Hope dituntun oleh persepsi
individu terhadap sumber daya yang ada atau sumber daya yang dirasa dapat
dikuasai oleh individu.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Hassan, Sadaf, Saeed, dan Idrees (2018)
sekelompok perempuan ternyata memiliki hope yang lebih tinggi daripada
sekelompok laki-laki. Selain itu, hasil penelitian ini juga menunjukan bahwa jika
individu memiliki hope dan berpikir optimis, maka individu akan merasa lebih puas
dalam menjalani hidup. Jadi, variabel hope ini memaksa individu untuk lebih
memikirkan masa depan yang lebih baik. Hal ini juga serupa dengan penelitian yang
dilakukan oleh Bailis dan Chipperfield (2012) dimana individu yang penuh hope
dan sering berpikir optimis dapat menjalani hidup dengan baik dimasa sekarang
maupun masa depan melalui regulasi tujuan dan regulasi risiko yang jelas,
manajemen emosional yang baik dan problem solving yang baik. Penelitian lain
yang dilakukan oleh Mohindru dan Sharma, (2019) juga mengungkapkan bahwa
hope dan berdampak pada emosi positif individu. Orang-orang yang berpikir positif
pada umumnya adalah individu yang juga percaya bahwa hidup ini penuh harapan
dan selalu ada sinar harapan bahkan di saat-saat tergelap sekalipun.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan para peneliti diatas, dapat disimpulkan
bahwa individu yang memiliki hope, maka individu tersebut akan merasa lebih puas
dalam menjalani hidup baik dimasa sekarang maupun masa depan, karena individu
memiliki regulasi tujuan dan regulasi risiko yang jelas, manajemen emosional dan
problem solving yang baik yang akan berdampak baik pada emosi positif individu.
5

B. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang penelitian, maka penulisan ini memfokuskan


perhatian dengan pertanyaan berikut :
1. Bagaimana gambaran hope pada ibu yang memiliki anak berkebutuhan
khusus?
2. Apa saja faktor-faktor yang menyebabkan ibu yang anaknya berkebutuhan
khusus memiliki hope?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pertanyaan penelitian, maka tujuan dari penelitian ini adalah


mengetahui gambaran hope pada ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus dan
mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan ibu yang anaknya berkebutuhn
khusus memiliki hope.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan dua manfaat yaitu manfaat teoritis
dan manfaat praktis:
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi perkembangan
ilmu pengetahuan psikologi, khusunya psikologi positif yang berkaitan dengan
dan hope pada ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus.
2. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan manfaat bagi :
a. Ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus
6

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi ibu yang memiliki
anak berkebutuhan khusus untuk dapat memiliki hope untuk anak dimasa
depan.
b. Bagi masyarakat
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi masyarakat luar
yang memiliki anak berkebutuhan khusus atau anggota keluarganya yang
memiliki anak berkebutuhan khusus agar dapat memberi motivasi atau
dukungan terhadap orang tuanya.
c. Penelitian selanjutnya
Penelitian ini diharapkan menjadi acuan untuk mengembangkan
penelitian selanjutnya bagi peneliti lain yang tertarik mengenai topik yang
membahas hope pada ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Hope

1. Definisi Hope
Irving, dan Anderson (dalam Luthans, Youssef dan Avolio, 2007)
mendefinisikan hope sebagai suatu kondisi dimana individu memiliki motivasi atau
dorongan positif. Dorongan positif tersebut berasal dari perasaan akan sukses,
energi dari organisasi yang diarahkan melalui tujuan organisasi, dan perencanaan
untuk memenuhi suatu tujuan. Snyder (2000) menyatakan hope adalah keseluruhan
dari kemampuan yang dimiliki individu untuk menghasilkan jalur mencapai tujuan
yang diinginkan, bersamaan dengan motivasi yang dimiliki untuk menggunakan
jalur-jalur tersebut. Hope didasarkan pada hope positif dalam pencapaian tujuan.
Lalu menurut Synder, (1994) hope adalah keseluruhan daya kehendak
(willpower/agency) dan strategi (waypower/pathway) yang dimiliki individu untuk
mencapai sasaran (goal). Bila seseorang tidak memiliki ketiga komponen tersebut,
hal itu tidak bisa disebut sebagai hope.
Averill (dalam Lopez, 2009) mendeskripsikan hope sebagai emosi yang
diarahkan oleh kognisi dan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Stotland dan
Gottschalk (dalam dalam Lopez, 2009) mendeskripsikan hope merupakan
keinginan untuk mencapai tujuan dan mendeskripsikan tenaga positif yang
mendorong seseorang untuk bekerja melalui keadaan yang sulit.
Berdasarkan definisi hope menurut para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa
hope merupakan suatu kondisi dimana individu memiliki motivasi atau dorongan
positif dengan memiliki kreatifitas, kepekaan dan semangat hidup untuk mencapai
tujuan yang diinginkan pada nilai kehidupan pada saat ini dan masa depan yang
mendorong seseorang untuk bekerja melalui keadaan yang sulit.

2. Komponen Hope
Snyder, (dalam Lopez, 2009) hope terdiri dari komponen-komponen
berikut:

7
8

a. Goal
Goal atau tujuan adalah sasaran dari rangkaian tindakan mental individu
yang menghasilkan komponen kognitif dan mengharuskan sasaran dari hope
tersebut cukup penting bagi individu. Tujuan dapat berupa tujuan jangka pendek
atau jangka panjang, namun tujuan harus cukup bernilai untuk mengaktifkan
pemikiran yang disadari. Tujuan harus memiliki kemungkinan untuk dicapai
tetapi juga mengandung beberapa ketidakpastian. Lopez, Snyder dan Pedrotti
(dalam Lopez & Snyder, 2003) menyatakan bahwa tujuan dapat berupa
approach-oriented in nature (misalnya sesuatu yang positif yang diharapkan
untuk terjadi) atau preventative in nature (misalnya sesuatu yang negatif yang
ingin dihentikan agar tidak terjadi lagi). Tujuan bervariasi dilihat dari tingkat
kemungkinan pencapaian hope.
b. Pathaway thinking
Pathway thinking atau waypower merupakan kemampuan seseorang untuk
mengembangkan suatu jalur dan mampu untuk membuat rencana-rencana
sukses untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Pathway thinking ditandai
dengan self talk. Pathway thinking memungkinkan individu untuk
mengutamakan aktivitas yang menjadi prioritas, merancang cara untuk
menuntaskan prioritas dan merefleksikan kemampuan individu dalam
membayangkan atau menciptakan strategi kognitif yang lebih untuk mencapai
tujuan. Pathway thinking menjadi mediator yang signifikan dalam
meningkatkan emosi positif dan kepuasan hidup.
c. Agency Thinking
Agency thinking atau willpower merupakan komponen motivasional dari
teori hope. Agency thinking didefinisikan sebagai kapasitas dan perasaan yakin
untuk mencapai tujuan, baik di masa lalu, masa kini, maupun masa yang akan
datang. Agency thinking mencerminkan persepsi individu bahwa individu
mampu mencapai tujuan melalui jalur-jalur yang telah dipikirkan. Agency
thinking juga dapat mencerminkan penilaian individu mengenai kemampuan
bertahan ketika menghadapi hambatan dalam mencapai tujuan. Diperlukan
9

keinginan terhadap tujuan yang setara dengan kepercayaan individu terhadap


kapasitas pribadi untuk mengejar, mempertahankan, dan mencapai tujuan.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hope


Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi tujuan dari hope dan perilaku yang
terarah menurut Synder (dalam Carr 2004) antara lain:
a. Seberapa besar nilai hasil yang diusahakan
b. Jalan keluar yang direncanakan dapat dipastikan terhadap hasil dan
keinginan yang sesuai tentang bagaimana keefektifan mereka akan berhasil
pada sesuatu yang dihasilkan
c. Pemikiran diri sendiri dan seberapa efektif seseorang akan mengikuti
jalannya dalam upaya mencapai tujuan

4. Karakteristik Individu yang Memiliki Hope Tinggi


Synder (1994), mengemukakan karakteristik psikologis individu yang memiliki
hope tinggi, yaitu:
a. Optimisme
Optimisme diartikan sebagai perasaan memiliki energi mental untuk
mencapai suatu tujuan. Scheir dan Carver (dalam Synder 1994) mendefinisikan
optimis sebagai suatu hope individu secara umum bahwa hal-hal yang baik akan
terjadi. Penelitian menunjukkan bahwa hope memiliki korelasi positif dengan
optimism. Optimisme sendiri berkaitan kuat dengan willpower daripada
komponen waypower dalam hope.
b. Persepsi mengenai kontrol
Umumnya individu yang memiliki hope lebih tinggi menginginkan untuk
menggunakan kontrol pribadi dalam kehidupan mereka. Hope dapat
dikorelasikan dengan keinginan dalam kontrol, kemungkinan untuk
menentukan, menyiapkan diri untuk melakukan antisipasi terhadap stres,
kepemimpinan, dan bahwa mereka dapat mengontrol nasib mereka sendiri.
c. Persepsi mengenai kemampuan pemecahan masalah
10

Kemampuan menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan hope


diperlukan ketika individu mengalami kesulitan untuk mencapai tujuan dalam
keadaan tersebut individu yang memiliki hope tinggi cenderung terfokus pada
tugas dan mencari berbagai cara alternatif untuk mendapatkan apa yang mereka
inginkan. Individu dengan hope tinggi telah mengantisipasi masalah dan
memahami bahwa mereka akan mengalami rintangan pada saat mencapai
tujuan.
d. Daya Saing
Individu yang memiliki hope tinggi akan memiliki daya saing yang lebih
besar. individu tersebut menikmati bekerja keras dan memiliki perasaan bahwa
mereka dapat menguasai keadaan fisiknya.
e. Self esteem
Individu dengan self esteem tinggi akan memiliki hope yang tinggi dan
terbiasa untuk berpikir mengenai keinginan dan rencana untuk mencapai tujuan.
Individu tersebut akan berpikir positif mengenai diri mereka sendiri karena
mereka memahami bahwa mereka harus mencapai suatu tujuan.
f. Afek positif
Afek positif merupakan keadaan mental disertai dengan konsentrasi penuh,
keterikatan, dan energi yang tinggi. Individu tersebut memiliki keinginan kuat
untuk mencoba berbagai solusi atau jalan untuk mencapai tujuan.
g. Tidak merasakan kecemasan dan depresi
Kecemasan merupakan keaadan dimana individu menghawatirkan kejadian
tertentu. Individu yang memiliki hope tinggi memiliki kecemasan yang lebih
rendah titik depresi merupakan keadaan negatif yang meresap dan biasanya
tidak memiliki fokus. individu dengan hope tinggi dipenuhi dengan energi
mental dan ide-ide mengenai pencapaian tujuan sehingga membuat mereka
terhindar dari depresi.

Menurut Luthans, Youssef dan Avolio (2007), terdapat beberapa karakteristik


individu yang memiliki tingkat hope (hope) tinggi) diantaranya:
a. Memiliki kecenderungan untuk berpikir independen
11

b. Kebutuhan akan pertumbuhan dan pencapaian prestasi yang tinggi


c. Cenderung memiliki pemikiran yang kreatif
Berdasarkan karakteristik menurut para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa
individu yang memiliki hope yang tinggi umumnya memiliki karakteristik seperti,
berpikir secara optimis dan independen, memiliki kemampuan pemecahan masalah
yang kreatif, mampu bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan, dan terhindar dari
depresi atau kecemasan.

B. Ibu yang Memiliki Anak Berkebutuhan Khusus

1. Definisi Ibu yang Memiliki Anak Berkebutuhan Khusus


Menurut Kartono (1992) ibu adalah seseorang yang mendidik anak, memelihara
fisik anak, dan harus melibatkan diri dalam menjamin kesejahteraan psikis anak-
anak agar anak bisa mengadakan adaptasi terhadap lingkungan sosial. Lalu menurut
Partasari (2006) ibu adalah orang yang kuat sehingga dapat membentuk anak lebih
bersikap empati dan memberikan penguasaan diri yang baik. Dapat disimpulkan
bahwa ibu adalah seorang yang melibatkan diri dalam menjamin kesejahteraan anak
agar anak bisa beradaptasi serta bersikap empati dan memberikan penguasaan diri
yang baik.
Menurut Hadis (2006), anak berkebutuhan khusus adalah anak dengan
karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu
menunjukkan pada ketidak mampuan mental, emosi, atau fisik. Sementara itu
menurut Mangunsong (2009), anak berkebutuhan khusus adalah anak yang
membutuhkan pendidikan dan layanan khusus untuk mengoptimalkan fungsi
kemanusiaannya secara utuh akibat adanya perbedaan kondisi dengan kebanyakan
anak lainnya. Dapat disimpulkan bahwa anak berkebutuhan khusus adalah anak
dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya dan
membutuhkan pendidikan seerta layanan khusus untuk mengoptimalkan fungsi
kemanusiaannya secara utuh akibat adanya perbedaan kondisi dengan kebanyakan
anak lainnya
12

Berdasarkan definisi dari para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa ibu yang
memiliki anak berkebutuhan khusus adalah seseorang yang mendidik, memelihara
fisik, dan ikut melibatkan diri dalam menjamin kesejahteraan anak yang memiliki
karakteristik khusus dan membutuhkan pendidikan dan layanan khusus supaya anak
dapat memberikan penguasaan diri yang lebih baik.

2. Tugas - tugas Ibu


Menurut Gunarsa (2008) tugas ibu bagi anak ada empat, yaitu:
a. Menjadi model tingkah laku anak yang mudah ditiru
b. Menjadi pendidik yang memberi pengarahan, dorongan dan pertimbangan
bagi perbuatan-perbuatan anak untuk membentuk perilaku
c. Menjadi konsultan, yaitu yang memberi nasihat, pertimbangan, pengarahan
dan bimbingan
d. Menjadi sumber informasi, yaitu memberikan pengetahuan, pengertian dan
penerangan

3. Kategori Anak Berkebutuhan Khusus


Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2010) anak yang
termasuk dalam kategori berkebutuhan khusus antara lain:
a. Tunagrahita (mengalami retardasi mental)
b. Tunanetra (mengalami hambatan penglihatan)
c. Tunarungu (mengalami hambatan pendengaran)
d. Tunadaksa (mengalami cacat tubuh)
e. Tunaganda (mengalami hambatan lebih dari satu)
f. Autism
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian

1. Pendekatan Penelitian Kualitatif


Menurut Connole (dalam Hanurawan, 2016) metode penelitian kualitatif atau
metode penelitian interpretif adalah metode penelitian yang meletakkan penelitian
pada prioritas untuk mengungkapkan makna dan menginterpretasikan makna yang
terdapat dalam suatu objek berdasarkan sudut pandang partisipan penelitian
berbasis pada aktivitas sosial. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang
bermaksud memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian
misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain secara holistik, dan
dengan cara deskripsi dalam bentuk-bentuk kata-kata, bahasa, pada suatu konteks
khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah
(Moleong, 1999).
Menurut Kirk & Miller (dalam Moleong, 1999) penelitian kualitatif adalah
tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung
pada pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan
dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya. Menurut
Bogdan & Biklen (1992), penelitian kualitatif adalah salah satu prosedur penelitian
yang menghasilkan data deskriptif berupa ucapan atau tulisan, serta perilaku orang
yang diamati.
Menurut Strauss & Colbin (dalam Cresswell, 1998) penelitian kualittaif adalah
jenis penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dapat
diperoleh dengan dengan menggunakan pengukuran secara statstik. Sementara itu,
penelitian deskriptif adalah suatu bentuk penelitian yang ditujukan untuk
mendeskripsikan atau menggambarkan fenomena-fenomena yang ada, baik
fenomena alamiah maupun rekayasa manusia (Moleong, 1999).
Berdasarkan pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa penelitian
kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang dapat

13
14

mengungkapkan dan menginterpretasikan makna yang juga bermaksud memahami


fenomena tentang apa yang dialami subjek penelitian.
2. Definisi Studi Kasus
Menurut Mulyana (dalam Suwendra, 2018) studi kasus adalah uraian penjelasan
komprehensif mengenai berbagai aspek individu, kelompok, organisasi, program,
situasi sosial, dan sebagainya. Menurut Yin (2005) studi kasus merupakan strategi
yang lebih cocok bila pokok pertanyaan suatu penelitian berkenaan dengan how
atau why, bila peneliti hanya memiliki sedikit peluang untuk mengontrol peristiwa-
peristiwa yang akan diselidiki, dan bilamana fokus penelitiannya terletak pada
fenomena kontemporer (masa kini) di dalam konteks kehidupan nyata.
Berdasarkan pendapat para ahli diatas, penelitian kualititatif adalah uraian dan
penjelasan komprehensif mengenai berbagai aspek individu, kelompok, organisasi,
program, situasi sosial, dimana peneliti hanya memiliki sedikit peluang untuk
mengontrol peristiwa-peristiwa yang akan diselidiki, dan bilamana fokus
penelitiannya terletak pada fenomena kontemporer (masa kini) di dalam konteks
kehidupan nyata.

B. Sumber Data

1. Subjek
Pada penelitian ini, yang menjadi subjek yaitu seorang ibu berusia 54 tahun
yang memiliki anak perempuan yang berkebutuhan khusus yang sudah berusia 22
tahun. Subjek mendirikan sekolah inklusi pada tahun 1997 bersama tiga orang
temannya yang juga memiliki anak berkebutuhan khusus.
2. Significant Other
Pada penelitian ini, significant other yang peneliti wawancara adalah asisten
rumah tangga subjek yang sudah bekerja selama 15 tahun dan berusia 51 tahun.
15

C. Tahap-tahap Penelitian
16

1. Tahap Persiapan Penelitian


Tahap persiapan diawali dengan pertanyaan penelitian yang akan dijadikan
topik penelitian, setelah itu pertanyaan masalah dituangkan pada awal bab laporan
penelitian. Selanjutnya membuat sebuah pedoman wawancara berdasarkan konteks
atau situasi yang dialami oleh subjek.
Pedoman wawancara disusun sebagai panduan ketika pengambilan data
berlangsung. Pedoman wawancara berisi pertanyaan-pertanyaan tentang peristiwa
hidup yang dialami subjek terumata terkait anak subjek yang berkebutuhan khusus.
Pedoman wawancara akan berkembang menjadi pertanyaan-pertanyaan yang lebih
jelas pada saat wawancara berlangsung. Pedoman wawancara yang telah disusun,
ditunjukkan kepada ahlinya yaitu dosen pembimbing penelitian untuk mendapat
masukan mengenai isi dari pedoman wawancara. Setelah mendapat masukan dan
koreksi dari dosen pembimbing, peneliti melakukan perbaikan terhadap pedoman
wawancara dan melakukan persiapan diri untuk melakukan wawancara dengan
subjek yang sudah ditetapkan dan telah diminta kesediannya untuk diambil datanya.
2. Tahap Pelaksanaan Penelitian
Pada tahap ini peneliti akan melakukan pengambilan data dengan menggunakan
metode wawancara berdasarkan pedoman yang telah disusun sebelumnya ditahap
awal. Setelah data diperoleh, selanjutnya yang dilakukan oleh peneliti adalah
analisis data yang bersifat deskriptif. Pada saat melakukan proses analisis, peneliti
melakukan beberapa prosedur untuk mengelola data yang didapat untuk dijadikan
informasi yang nantinya akan dihubungkan dengan teori yang melatar
belakanginya. Pengolahan data wawancara dapat dilakukan dengan mencatat hasil
wawancara secara menyeluruh (verbatim), analisis hasil wawancara dengan coding,
dan pada akhirnya dapat ditarik kesimpulan dari hasil wawancara tersebut.
Kemudian hasil secara keseluruhan dibuatkan analisis psikologis, dan data yang
didapat kemudian dibuatkan kesimpulan serta dianalisis dengan teori yang melatar
belakangi, yang telah dituangkan di bab tinjauan pustaka. Setelah itu hasil-hasil
penelitian dibuat secara menyeluruh yang berisikan hasil gambaran penelitian
berupa analisis data yang telah dihubungkan dengan teori yang ada, serta poin- poin
17

kesimpulan penelitian, dan saran untuk subjek atau pihak-pihak yang berkaitan
dengan kepentingan penelitian lebih lanjut.

D. Teknik Pengumpulan Data

1. Wawancara
Wawancara merupakan percakapan yang dilakukan oleh dua pihak dengan
maksud tertentu yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan
terwawanara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut
(Moleong 1999).
a. Jenis-jenis wawancara
Patton (dalam Moleong 1999) secara umum membedakan wawancara
berdasarkan jenis-jenisnya seperti berikut:
1) Wawancara Informal
Pada jenis wawancara ini pertanyaan yang diajukan sangat bergantung
pada pewawancara itu sendiri, jadi bergantung pada spontanistasnya dalam
mengajukan pertanyaan kepada yang diwawancarai.
2) Pendekatan menggunakan petunjuk umum wawancara
Jenis wawancara ini mengharuskan pewawancara membuat proses
kerangka dan garis besar pokok-pokok yang ditanyakan dalam proses
wawancara. Penyusun pokok-pokok itu dilakukan sebelum wawancara
dilakukan. Pokok- pokok yang dirumuskan tidak perlu ditanyakan secara
berurutan. Demikian pula penggunaan dan pemilihan kata-kata untuk
wawancara dalam hal tertentu tidak perlu dilakukan sebelumnya.
3) Wawancara baku terbuka
Jenis wawancara ini adalah wawacara yang menggunakan seperangkat
pertanyaan baku. Urutan pertanyaan kata-katanya, dan cara penyajiannya
pun sama untuk setiap responden. Keluwesan menggali pertanyaan terbatas
dan hal itu bergantung pada situasi wawancara dan kecakapan
pewawancara.
18

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis wawancara dengan


petunjuk umum wawancara, hal ini dikarenakan peneliti menyusun
kerangka dan garis besar pokok-pokok terlebih dahulu yang akan peneliti
gunakan sebagai pedoman wawancara.
2. Observasi
Menurut Poerwandari (1998), penelitian psikologis dalam bentuk apapun, baik
itu kualitatif maupun kuantitatif, selalu mengandung aspek observasi. Patton (dalam
Poerwandari, 1998) menegaskan observasi merupakan metode pengumpulan data
esensial dalam penelitian, terlebih penelitian dengan pendekatan kualitatif.
Menurut Poerwandari (1998), hasil observasi akan dicatat dalam catatan
lapangan sesuai dengan keadaan yang diamati oleh peneliti di lapangan. Dalam
penulisannya, catatan lapangan mutlak dibuat secara lengkap, dengan keterangan
tanggal dan waktu yang juga lengkap.
Berdasarkan definisi observasi diatas, dapat disimpulkan bahwa observasi
merupakan aspek yang penting dalam penelitian, terutama penelitian kualitatif,
dimana hasil observasi akan dicatat dalam catatan lapangan sesuai dengan keadaan
yang diamati oleh peneliti di lapangan. Terdapat jenis-jenis observasi menurut
Patton, (dalam Poerwandari, 2009), yaitu:
a. Observasi Partisipan (participant observation)
Observasi partisipan adalah observasi yang menggunakan strategi
pendekatan lapangan. Peneliti secara langsung terlibat dalam kegiatan
subjek dan mengikuti aktivitasnya. Observasi ini juga mengombinasikan
hasil wawancara dan observasi. Peneliti berpartisipasi langsung sekaligus
mengamati subjek.
b. Observasi Non-Partisipan (non-participant observation)
Dalam observasi non-partisipan peneliti tidak melibatkan diri secara
langsung dalam aktivitas subjek. Peneliti mengamati subjek secara pasif
dan observer berada di luar kegiatan subjek seolah-olah sebagai penonton.
Dalam observasi ini kegiatan observasi dan kegiatan wawancara terpisah
secara jelas.
19

Berdasarkan jenis-jenis observasi diatas, dalam penelitian ini peneliti


menggunakan metode observasi non-partisipan, hal ini dikarenakan peneliti
tidak terlibat dan hanya mengamati kejadian yang menjadi topik penelitian.

E. Alat Bantu Penelitian


Menurut Poerwandari (1998) dalam pengumpulan data yang menggunakan
metode wawancara dan observasi, peneliti membutuhkan alat bantu penelitian
untuk memudahkan peneliti dalam memperoleh pengumpulan data, yaitu :
1. Pedoman Wawancara
Pedoman wawancara berisi petunjuk yang dikembangkan sesuai tujuan
penelitian dan berdasarkan pertanyaan penelitian. Pedoman wawancara
dimaksudkan agar pertanyaan yang diberikan peneliti tidak menyimpang dari
tujuan penelitian.
2. Alat Perekam
Alat perekan digunakan sebagai alat bantu saat wawancara, dimaksudkan
agar memudahkan peneliti dan agar dapat berfokus pada proses pengambilan
data tanpa harus terintrupsi untuk mencatat jawaban-jawaban subjek. Alat
perekam yang digunakan adalah berupa handphone.
3. Alat Tulis
Alat tulis yang digunakan dapat berupa pulpen dan buku tulis. Alat tulis ini
digunakan untuk mencatat informasi-informasi yang diperoleh selama proses
wawancara.

F. Keakuratan Penelitian
Menurut Moleong (1999), triangulasi adalah teknik pemeriksaan keakuratan
data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan
pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Teknik triangulasi yang
paling banyak digunakan ialah pemeriksaan melalui sumber lainnya. Denzin (dalam
Moleong, 1999) membedakan empat macam triangulasi sebagai teknik
pemeriksaan yang memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik, dan teori:
20

1. Triangulasi Sumber
Patton (Dalam Moleong, 1999) berarti membandingkan dan mengecek balik
derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat
yang berbeda dalam metode kualitatif. Dalam penelitian ini, peneliti akan
membandingkan hasil wawancara pada subjek dengan hasil wawancara pada
significant other.
2. Triangulasi Metode
Menurut Patton (dalam Moleong, 1999) terdapat dua strategi yaitu,
pengecekan derajat kepercayaan penemuan hasil penelitian beberapa teknik
pengumpulan data dan pengecekan derajat kepercayaan beberapa sumber data
dengan metode yang sama. Dalam penelitian ini, peneliti akan membandingkan
hasil wawancara dengan hasil observasi.
3. Triangulasi Teori
Menurut Lincoln & Guba (dalam Moleong, 1999) berdasarkan anggapan bahwa
fakta tertentu tidak dapat diperiksa derajat kepercayaanya dengan satu atau lebih
teori. Dalam hal ini jika analisis telah menguraikan pola, hubungan, dan
menyertakan penjelasan yang muncul dari analisis, maka penting sekali untuk
mencari tema atau penjelasan pembanding atau penyaing. Dalam penelitian ini,
peneliti akan mencocokkan hasil wawancara dengan teori-teori yang dikemukakan
oleh para ahli.
4. Triangulasi Pengamat
Teknik ini memanfaatkan peneliti atau pengamat lainnya untuk keperluan
pengecekan kembali derajat kepercayaan data. Pemanfaatan pengamat lainnya
membantu mengurangi kemencengan dalam pengumpulan data. Pada dasarnya
penggunaan suatu tim penelitian dapat direalisasikan dilihat dari segi teknik ini.
Cara lain adalah membandingkan hasil pekerjaan seorang analisis dengan analisis
lainnya. Dalam penelitian ini, peneliti dibantu oleh dosen pembimbing untuk
melihat keakuratan dari hasil penelitian ini.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan triangulasi sumber, triangulasi
metode, triangulasi teori dan triangulasi pengamat sebagai teknik keakuratan
penelitian.
21

G. Teknik Analisis Data


Hubberman dan Miles (dalam Fuad & Nugroho, 2014) mengungkapkan terdapat tiga
hal utama dalam analisis interaktif yaitu, reduksi data, penyajian data dan penarikan
kesimpulan atau verifikasi sebagai sesuatu yang jalin-menjalin pada saat sebelum, selama,
dan sesudah pengumpulan data dalam bentuk yang sejajar, untuk membangun wawasan
umum yang disebut ‘analisis’, kegiatan analisis data dapat dilakukan melalui beberapa
tahapan, antara lain:
1. Reduksi Data
Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyederhanaan, pengabstrakan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-
catatan tulisan dilapangan (field note), dimana reduksi data berlangsung secara terus
menerus selama penelitian yang berorientasi kualitatif berlangsung.
2. Penyajian Data
Penyajian data merupakan sekumpulan informasi tersusun yang memberi
kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan keputusan yang terus
berkembang menjadi sebuah siklus dan penyajian data bisa dilakukan dalam sebuah
matrik.
3. Coding
Kode dalam penelitian kualitatif merupakan kata atau frasa pendek yang secara
simbolis bersifat meringkas, menonjolkan pesan, menangkap esensi dari suatu porsi
data, baik itu data berbasiskan bahasa atau data visual. Dengan bahasa yang lebih
sederhana, kode adalah kata atau frasa pendek, yang memuat esensi dari suatu segmen
data.
4. Verifikasi
Verifikasi atau penarikan kesimpulan merupakan sebagian dari suatu kegiatan dan
konfigurasi yang utuh. Dimana, kesimpulan-kesimpulan diverifikasi selama penelitian
berlangsung.

Anda mungkin juga menyukai