FAKULTAS PSIKOLOGI
Disusun Oleh :
Kelompok 1
Kelas
DEPOK
2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
1
2
atau tidak, dia akan berusaha menyangkal kondisi itu, mungkin ada yang berhasil
hingga bisa mencapai tahap penerimaan tapi tidak sedikit yang terbelenggu pada
tahap penolakan, kemarahan, perundingan, atau depresi. Semua ini sangat
bergantung pada kondisi fisik dan psikologis (kejiwaan atau mental) ibu dan ayah,
anak itu sendiri, serta lingkungan sekitarnya. Dukungan positif dari lingkungan
sekitar akan memberikan dampak yang baik bagi orangtua dan anak penyandang
kebutuhan khusus tersebut (Rahmita, 2011).
Profesi ibu identik dengan merawat, mendidik anak, dan pekerjaan rumah
tangga. Meskipun sekarang banyak ibu yang bekerja di luar rumah, kegiatan-
kegiatan diatas masih menjadi tanggung jawab seorang ibu. Ibu-ibu untuk anak
kebutuhan khusus memiliki beban emosional yang lebih berat dikarenakan kondisi
anak. Ibu-ibu ini selain bekerja, mengurus rumah dan anak, juga masih harus
memikirkan perkembangan anak yang memiliki kebutuhan khusus. Kadang-kadang
di tengah kerumitan ini, seorang ibu juga sering dipersalahkan sebagai penyebab
dari kondisi anak yang memiliki kebutuhan khusus, padahal hal ini tidak benar.
(Sutrisno, 2016)
Setelah mendapat diagnosis bahwa anaknya memiliki kebutuhan khusus,
seorang Ibu harus berperan aktif dalam banyak hal, menjadi guru, pelindung,
penjaga, bahkan menjadi dokter bagi anaknya. Ibu juga wajib belajar banyak
mengenai kondisi anaknya, bagaimana cara menghadapi anak tersebut, dan
bagaimana caranya untuk merawat dan membesarkannya dengan baik tanpa
kesalahan (Purba, 2016). Menjalankan peran orangtua dengan anak berkebutuhan
khusus tidaklah mudah, penuh tantangan, dan melelahkan. Tidak ada salahnya, ibu
menyisihkan waktu untuk diri sendiri agar dapat istirahat sejenak dari aktvitas
keseharian menangani buah hati yang spesial. Orangtua dengan anak berkebutuhan
khusus harus ikhlas, tidak berkecil hati, dan sabar dalam mengasuh, membimbing
serta mendidik anak. Tantangan terbesar orangtua dengan anak berkebutuhan
khusus adalah mendidik anak menjadi generasi kuat, berbakat, berprestasi, mandiri,
dan bermakna dalam hidupnya (Yasmina Foundation, 2018).
Berdasarkan hasil wawancara awal, dapat diperoleh informasi bahwa subjek
merupakan seorang ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus dengan diagnosis
3
awal autism dan ketika diagnosis tambahan down syndrome dan thalassemia ketika
sudah beranjak besar. Subjek mengalami pendarahan diusia kandungan enam bulan
yang menyebabkan subjek harus melahirkan saat itu juga. Setelah mendengar
diagnosis dari dokter, subjek mengatakan bahwa subjek tidak merasa sedih atau
bingung karena subjek merasa sudah paham akan resiko kelahiran prematur. Subjek
awalnya merasa terkejut tapi sesudahnya subjek berusaha mencoba ikhlas dan
menerima. Subjek mengatakan pada saat itu subjek dan suami subjek berusaha
saling menguatkan dan fokus untuk memikirkan apa yang akan dilakukan supaya
anak subjek dapat hidup dengan baik. Subjek yang saat itu masih bekerja,
meluangkan waktunya untuk mencari tahu terapi yang cocok untuk anaknya dengan
cara banyak membaca buku dan sering mengikuti pelatihan atau seminar-seminar
dari ahli anak berkebutuhan khusus untuk menambah ilmunya.
Subjek juga mendirikan sekolah autis bersama dua temannya yang juga
memiliki anak berkebutuhan khusus. Motivasi subjek mendirikan sekolah autis itu
karena subjek merasa guru-guru yang ada di SLB belum sepenuhnya paham
menangani anak autis. Selain itu subjek juga merasakan bahwa sekolah inklusi
untuk anak autis itu mahal, sementara banyak diluar sana orang tua yang memiliki
anak berkebutuhan khusus namun kurang mampu dalam segi ekonomi. Lalu setelah
anak berusia 16 tahun, subjek sudah tidak mengikuti pelatihan-pelatihan terapi lagi,
karena subjek melihat anaknya sudah mandiri. Melihat anak berhasil mandiri,
subjek ingin membagikan pengalaman serta ilmu yang subjek punya kepada
orangtua lain yang memiliki anak berkebutuhan khusus. Subjek sudah merasa lebih
tenang dan tidak kesulitan saat ini karena merasa anak sudah mandiri.
Hal-hal yang dilakukan subjek ini, menunjukan bahwa subjek memiliki hope.
Orangtua yang memiliki anak berkebutuhan khusus umumnya memiliki harapan
agar anak dapat mandiri dan melakukan interaksi sosial. Snyder,
(2000) menyatakan hope merupakan keseluruhan dari kemampuan yang dimiliki
untuk menggunakan jalur-jalur tersebut. Hope didasarkan pada hope positif dalam
pencapaian tujuan. Lalu Edwards (dalam Lopez, 2009) menyatakan hope adalah
suatu mental yang positif yang akan meningkatkan kemampuan seorang individu
untuk mencapai tujuan di masa depan.
4
B. Pertanyaan Penelitian
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan dua manfaat yaitu manfaat teoritis
dan manfaat praktis:
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi perkembangan
ilmu pengetahuan psikologi, khusunya psikologi positif yang berkaitan dengan
dan hope pada ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus.
2. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan manfaat bagi :
a. Ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus
6
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi ibu yang memiliki
anak berkebutuhan khusus untuk dapat memiliki hope untuk anak dimasa
depan.
b. Bagi masyarakat
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi masyarakat luar
yang memiliki anak berkebutuhan khusus atau anggota keluarganya yang
memiliki anak berkebutuhan khusus agar dapat memberi motivasi atau
dukungan terhadap orang tuanya.
c. Penelitian selanjutnya
Penelitian ini diharapkan menjadi acuan untuk mengembangkan
penelitian selanjutnya bagi peneliti lain yang tertarik mengenai topik yang
membahas hope pada ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Hope
1. Definisi Hope
Irving, dan Anderson (dalam Luthans, Youssef dan Avolio, 2007)
mendefinisikan hope sebagai suatu kondisi dimana individu memiliki motivasi atau
dorongan positif. Dorongan positif tersebut berasal dari perasaan akan sukses,
energi dari organisasi yang diarahkan melalui tujuan organisasi, dan perencanaan
untuk memenuhi suatu tujuan. Snyder (2000) menyatakan hope adalah keseluruhan
dari kemampuan yang dimiliki individu untuk menghasilkan jalur mencapai tujuan
yang diinginkan, bersamaan dengan motivasi yang dimiliki untuk menggunakan
jalur-jalur tersebut. Hope didasarkan pada hope positif dalam pencapaian tujuan.
Lalu menurut Synder, (1994) hope adalah keseluruhan daya kehendak
(willpower/agency) dan strategi (waypower/pathway) yang dimiliki individu untuk
mencapai sasaran (goal). Bila seseorang tidak memiliki ketiga komponen tersebut,
hal itu tidak bisa disebut sebagai hope.
Averill (dalam Lopez, 2009) mendeskripsikan hope sebagai emosi yang
diarahkan oleh kognisi dan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Stotland dan
Gottschalk (dalam dalam Lopez, 2009) mendeskripsikan hope merupakan
keinginan untuk mencapai tujuan dan mendeskripsikan tenaga positif yang
mendorong seseorang untuk bekerja melalui keadaan yang sulit.
Berdasarkan definisi hope menurut para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa
hope merupakan suatu kondisi dimana individu memiliki motivasi atau dorongan
positif dengan memiliki kreatifitas, kepekaan dan semangat hidup untuk mencapai
tujuan yang diinginkan pada nilai kehidupan pada saat ini dan masa depan yang
mendorong seseorang untuk bekerja melalui keadaan yang sulit.
2. Komponen Hope
Snyder, (dalam Lopez, 2009) hope terdiri dari komponen-komponen
berikut:
7
8
a. Goal
Goal atau tujuan adalah sasaran dari rangkaian tindakan mental individu
yang menghasilkan komponen kognitif dan mengharuskan sasaran dari hope
tersebut cukup penting bagi individu. Tujuan dapat berupa tujuan jangka pendek
atau jangka panjang, namun tujuan harus cukup bernilai untuk mengaktifkan
pemikiran yang disadari. Tujuan harus memiliki kemungkinan untuk dicapai
tetapi juga mengandung beberapa ketidakpastian. Lopez, Snyder dan Pedrotti
(dalam Lopez & Snyder, 2003) menyatakan bahwa tujuan dapat berupa
approach-oriented in nature (misalnya sesuatu yang positif yang diharapkan
untuk terjadi) atau preventative in nature (misalnya sesuatu yang negatif yang
ingin dihentikan agar tidak terjadi lagi). Tujuan bervariasi dilihat dari tingkat
kemungkinan pencapaian hope.
b. Pathaway thinking
Pathway thinking atau waypower merupakan kemampuan seseorang untuk
mengembangkan suatu jalur dan mampu untuk membuat rencana-rencana
sukses untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Pathway thinking ditandai
dengan self talk. Pathway thinking memungkinkan individu untuk
mengutamakan aktivitas yang menjadi prioritas, merancang cara untuk
menuntaskan prioritas dan merefleksikan kemampuan individu dalam
membayangkan atau menciptakan strategi kognitif yang lebih untuk mencapai
tujuan. Pathway thinking menjadi mediator yang signifikan dalam
meningkatkan emosi positif dan kepuasan hidup.
c. Agency Thinking
Agency thinking atau willpower merupakan komponen motivasional dari
teori hope. Agency thinking didefinisikan sebagai kapasitas dan perasaan yakin
untuk mencapai tujuan, baik di masa lalu, masa kini, maupun masa yang akan
datang. Agency thinking mencerminkan persepsi individu bahwa individu
mampu mencapai tujuan melalui jalur-jalur yang telah dipikirkan. Agency
thinking juga dapat mencerminkan penilaian individu mengenai kemampuan
bertahan ketika menghadapi hambatan dalam mencapai tujuan. Diperlukan
9
Berdasarkan definisi dari para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa ibu yang
memiliki anak berkebutuhan khusus adalah seseorang yang mendidik, memelihara
fisik, dan ikut melibatkan diri dalam menjamin kesejahteraan anak yang memiliki
karakteristik khusus dan membutuhkan pendidikan dan layanan khusus supaya anak
dapat memberikan penguasaan diri yang lebih baik.
13
14
B. Sumber Data
1. Subjek
Pada penelitian ini, yang menjadi subjek yaitu seorang ibu berusia 54 tahun
yang memiliki anak perempuan yang berkebutuhan khusus yang sudah berusia 22
tahun. Subjek mendirikan sekolah inklusi pada tahun 1997 bersama tiga orang
temannya yang juga memiliki anak berkebutuhan khusus.
2. Significant Other
Pada penelitian ini, significant other yang peneliti wawancara adalah asisten
rumah tangga subjek yang sudah bekerja selama 15 tahun dan berusia 51 tahun.
15
C. Tahap-tahap Penelitian
16
kesimpulan penelitian, dan saran untuk subjek atau pihak-pihak yang berkaitan
dengan kepentingan penelitian lebih lanjut.
1. Wawancara
Wawancara merupakan percakapan yang dilakukan oleh dua pihak dengan
maksud tertentu yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan
terwawanara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut
(Moleong 1999).
a. Jenis-jenis wawancara
Patton (dalam Moleong 1999) secara umum membedakan wawancara
berdasarkan jenis-jenisnya seperti berikut:
1) Wawancara Informal
Pada jenis wawancara ini pertanyaan yang diajukan sangat bergantung
pada pewawancara itu sendiri, jadi bergantung pada spontanistasnya dalam
mengajukan pertanyaan kepada yang diwawancarai.
2) Pendekatan menggunakan petunjuk umum wawancara
Jenis wawancara ini mengharuskan pewawancara membuat proses
kerangka dan garis besar pokok-pokok yang ditanyakan dalam proses
wawancara. Penyusun pokok-pokok itu dilakukan sebelum wawancara
dilakukan. Pokok- pokok yang dirumuskan tidak perlu ditanyakan secara
berurutan. Demikian pula penggunaan dan pemilihan kata-kata untuk
wawancara dalam hal tertentu tidak perlu dilakukan sebelumnya.
3) Wawancara baku terbuka
Jenis wawancara ini adalah wawacara yang menggunakan seperangkat
pertanyaan baku. Urutan pertanyaan kata-katanya, dan cara penyajiannya
pun sama untuk setiap responden. Keluwesan menggali pertanyaan terbatas
dan hal itu bergantung pada situasi wawancara dan kecakapan
pewawancara.
18
F. Keakuratan Penelitian
Menurut Moleong (1999), triangulasi adalah teknik pemeriksaan keakuratan
data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan
pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Teknik triangulasi yang
paling banyak digunakan ialah pemeriksaan melalui sumber lainnya. Denzin (dalam
Moleong, 1999) membedakan empat macam triangulasi sebagai teknik
pemeriksaan yang memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik, dan teori:
20
1. Triangulasi Sumber
Patton (Dalam Moleong, 1999) berarti membandingkan dan mengecek balik
derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat
yang berbeda dalam metode kualitatif. Dalam penelitian ini, peneliti akan
membandingkan hasil wawancara pada subjek dengan hasil wawancara pada
significant other.
2. Triangulasi Metode
Menurut Patton (dalam Moleong, 1999) terdapat dua strategi yaitu,
pengecekan derajat kepercayaan penemuan hasil penelitian beberapa teknik
pengumpulan data dan pengecekan derajat kepercayaan beberapa sumber data
dengan metode yang sama. Dalam penelitian ini, peneliti akan membandingkan
hasil wawancara dengan hasil observasi.
3. Triangulasi Teori
Menurut Lincoln & Guba (dalam Moleong, 1999) berdasarkan anggapan bahwa
fakta tertentu tidak dapat diperiksa derajat kepercayaanya dengan satu atau lebih
teori. Dalam hal ini jika analisis telah menguraikan pola, hubungan, dan
menyertakan penjelasan yang muncul dari analisis, maka penting sekali untuk
mencari tema atau penjelasan pembanding atau penyaing. Dalam penelitian ini,
peneliti akan mencocokkan hasil wawancara dengan teori-teori yang dikemukakan
oleh para ahli.
4. Triangulasi Pengamat
Teknik ini memanfaatkan peneliti atau pengamat lainnya untuk keperluan
pengecekan kembali derajat kepercayaan data. Pemanfaatan pengamat lainnya
membantu mengurangi kemencengan dalam pengumpulan data. Pada dasarnya
penggunaan suatu tim penelitian dapat direalisasikan dilihat dari segi teknik ini.
Cara lain adalah membandingkan hasil pekerjaan seorang analisis dengan analisis
lainnya. Dalam penelitian ini, peneliti dibantu oleh dosen pembimbing untuk
melihat keakuratan dari hasil penelitian ini.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan triangulasi sumber, triangulasi
metode, triangulasi teori dan triangulasi pengamat sebagai teknik keakuratan
penelitian.
21