Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

ASUHAN PADA PEREMPUAN KONDISI RENTAN

KELOMPOK 7
ANDI NURHAYANI
SRI AYU ANISA
SINAR A.
MAYANTI
AYU LESTARI HAS

UNIVERSITAS MEGAREZLKY MAKASSAR


FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN
TAHUN AKADEMIK 2021/2022
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang, kami panjatkan
puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-nya kepada kami
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONDISI
RENTAN (DISABILITAS)

Makalah ini kami susun bersama-sama dan mendapatkan bantuan dari beberapa pihak sehingga
memperlancar penyusunan makalah ini. Tak lupa pula kami ucapkan banyak terimakasih atas bantuan dan
konstribusinya baik materi maupun pikirannya.

Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengalaman dan pengetahuan bagi
pembaca. Untuk kedepannya dapat memperbaiki bentuk dan menambah isi makalah agar menjadi lebih
baik lagi.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin masih banyak
kekurangan dalam penyusunan makalah ini, oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik
dari pembaca yang membangun dan menambah pengetahuan kami dalam membuat makalah yang baik dan
benar.

Makassar, 21 Agustus 2021

Kelompok 7
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang

BAB II KAJIAN TEORI

BAB III KESIMPULAN


A. Kesimpulan
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Keluarga merupakan ranah bagi anak untuk mengarahkan dan membentuk pribadi yang akan
berkembang sesuai dengan apa yang diharapkan oleh kedua orang tua. Anak, pendidikan dan
lingkungan keluarga adalah satu kesatuan dari komponen merupakan pelengkap yang saling
berhubungan dan tidak dapat dipisahkan. Seorang anak yang tumbuh akan menjadi pribadi yang
berbeda-beda tergantung bagaimana anak dapat menyikapi lingkungan sekitar serta pendidikan yang
diberikan oleh kedua orang tuanya.

Penyandang disabilitas di Indonesia hidup dalam kondisi rentan, terbelakang, dan/atau miskin
disebabkan masih adanya pembatasan, hambatan, kesulitan dan pengurangan atau penghilangan hak
penyandang disabilitas. Dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas
pasal 1 angka 1 dijelaskan bahwa Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami
keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang mengalami
hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya
berdasarkan kesamaan hak. Sementara ini di Angka 5 dikatakan bahwa Perlindungan adalah upaya
yang dilakukan secara sadar untuk melindungi, mengayomi dan meperkuat hak penyandang disabilitas.

Para penyandang disabilitas memiliki kelemahan secara fisik, mental atau keduanya yang memiliki
perbedaan bila dibandingkan dengan orang-orang normal, sehingga haruslah mendapatkan
perlindungan hukum yang lebih spesifik. Dalam prakteknya, perlindungan disabilitas masih belum
terselesaikan dan belum dilakukan dengan baik. Hal ini disebabkan minimnya peraturan perundang-
undangan yang secara khusus mengatur disabilitas yang berhadapan dengan hukum, terutama menjadi
korban kejahatan. Disamping itu, penyandang disabilitas yang menjadi korban tindak kejahatan tidak
dapat 2 dijadikan basis pemberat pelaku di kepolisian dan kejaksaan. Usaha pemerintah belum secara
khusus diberikan kepada penyandang disabilitas yang berurusan dengan hukum. sehingga haruslah ada
peraturan bagi penyandang disabilitaas sebagai korban tindak pidana yang diperlukan untuk menjamin
perlindungan hukum bagi penyandang disabilitas.

Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2016 menunjukkan ada 29 kasus perempuan
disabilitas mengalami kekerasan yang ditangani lembaga-lembaga tersebut sebanyak 29, dengan
perincian 27 kasus kekerasan seksual berupa perkosaan, satu kekerasan ekonomi (terhadap istri) dan
satu kekerasan berlapis. Kasus-kasus perempuan dengan disabilitas banyak mengalami hambatan
dalam penyelesaian kasus karena kekurangan alat bukti, terutama kesaksian korban. Ke-disabilitas-an
perempuan korban ditengarai “dimanfaatkan” sebagai celah oleh pelaku untuk melakukan tindak
kekerasan.2 Badan Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga berencana (BP3AKB)
Boyolali terus berupaya untuk menekan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di Boyolali.
BP3AKB mencatat sejak tahun 2014 angka kekerasan terhadap perempuan dan anak terus mengalami
penurunan yang sangat signifikan. Dari 77 kasus pada tahun 2014, tahun 2015 menurun menjadi 53
kasus kekerasan dan hingga tri wulan pertama tahun 2016 masih terjadi 6 kasus.

Anak dengan disabilitas (ADD) dihadapkan dengan berbagai permasalahan lain yang harus mereka
hadapi. Rentetan persoalan diawali dengan keharusan anak untuk bisa menerima dan menyesuaikan
diri terhadap kedisabilitasan, kemudian anak harus berhadapan dengan reaksi lingkungan sekitar yang
tidak berpihak. Permasalahan fisik akibat disabilitas, masalah sosial psikologis menjadi masalah berat
yang harus dihadapi ADD, terlebih lagi bila dukungan sosial dari keluarga dan lingkungan tidak
diperoleh anak.

Memiliki anak berkebutuhan khusus merupakan beban berat bagi orang tua baik secara fisik
maupun mental. Beban tersebut membuat reaksi emosional didalam diri orang tua. Orang tua yang
memiliki anak berkebutuhan khusus dituntut untuk terbiasa menghadapai peran yang berbeda dari
sebelumnya, karena memiliki anak berkebutuhan khusus (Mira, 2012). Anak yang lahir dengan kondisi
mental yang kurang sehat tentunya membuat orang tua sedih dan terkadang tidak siap menerimanya
karena berbagai alasan. Terlebih lagi alasan malu sehingga tidak sedikit yang memperlakukan anak
tersebut secara kurang baik. hal itu tentu saja sangat membutuhkan perhatian lebih dari pada orang tua
dan saudaranya (Setyaningrum, 2010).

Menurut Puspita (2004), reaksi pertama orang tua ketika awalnya dikatakan bermasalah adalah
tidak percaya, shock, sedih, kecewa, merasa bersalah, marah dan menolak. Tidak mudah bagi orang
tua yang anaknya menyandang berkebutuhan khusus untuk mengalami fase ini, sebelum akhirnya
sampai pada tahap penerimaan (acceptance). Ada masa orang tua merenung dan tidak mengetahui
tindakan tepat apa yang harus diperbuat. Tidak sedikit orang tua yang kemudian memilih tidak terbuka
mengenai keadaan anaknya kepada teman, tetangga ahkan keluarga dekat sekalipun, kecuali pada
dokter yang menangani anak tersebut .

Menurut Miranda (2013), ditinjau dari segi keluarga penderita, maka adanya seorang anak yang
menderita kelainan perkembangan bisa menjadi beban bagi orang tuanya. Lebih banyak waktu dan
perhatian harus diberikan kepada anak tersebut. Oleh sebab itu, keluarga mempunyai peranan yang
besar dalam mempengaruhi kehidupan seorang anak, terutama pada tahap awal maupun tahap-tahap
kritis, bila orang tua tidak mampu mengelola emosi negatifnya dengan baik, bukan tidak mungkin
akibatnya akan berimbas pada anak. Selain itu bantuan medis, kesembuhan anak berkebutuhan khusus
bertumpu penting pada dukungan orang tua
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)


1. Definisi Anak Berkebutuhan Khusus
Menurut ganda sumekar anak berkebutuhan khusus adalah anakanak yang menyimpang,
kelainan atau keturunan dalam segi fisik, mental, emosi, dan sosial, atau gabungan dari hal-hal
tersebut sehingga mereka memerlukan pelayanan pendidikan yang khusus yang disesuaikan dengan
penyimpangan, kelainan, atau ketunaaan mereka.45 Anak berkebutuhan khusus diantaranya anak
berkelainan yakni mereka yang mengalami penyimpangan atau perbedaan secara ssignifikan dari
keadaan orang pada umunya, sehingga mereka membutuhkan pelayanan pendidikan secara khusus
agar mereka dapat mengembangkan potensinya secara optimal.
Abdullah merinci klasifikasi yang dibuat oleh Efendi tentang jenis anak berkebutuhan khusus :
Pertama, kelainan fisik yaitu kelaian yang terjadi pada satu atau lebih organ tubuh. Akibatnya
fungsi anggota tubuh tidak bisa berjalan secara normal. Abk yang tergolong pada kelainan fisik
yaitu:
1) Tunarungu
2) Tunanetra
3) Tunawicara
4) Poliomyelitis
5) cerebral palsy
6) syaraf terjepit (HNP)
Kedua, kelainan mental yaitu anak yang memiliki penyimpangan kemampuan berpikir secara kritis
dan logis dalam menanggapi dunia sekitarnya. Kelainan mental ini bisa dalam arti “lebih” dan bisa
dalam arti “kurang”. Untuk yang memiliki kategori “lebih” contohnya yaitu:
1) anak yang mampu belajar dengan cepat (rapid leaner)
2) anak berbakat (extremely gifted).
Sedangkan yang memiliki kategori “kurang” yaitu:
1) anak tunagrahita yang didentifikasi memiliki tingkat kecerdasan di bawah normal.
2) kelainan perilaku atau tunalaras sosial yaitu anak yang mengalami kesulitan untuk menyesuaikan
diri terhadap lingkungan, tata tertib, dan norma sosial.
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Penerimaan diri pada orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus memiliki tahap-
tahap dan aspek dalam penerimaannya. Beberapa tahap yang dilalui oleh ketiga yang dilalui oleh
ketiga subjek dalam proses mencapai penerimaan terhadap anaknya yang didiagnosa mengalami
berkebutuhan khusus dan ketiga subjek melalui tahapan yang berbeda-beda karena kondisi anak
mereka yang berbeda juga.

B. Saran
Adapun beberapa saran yaitu sebagai berikut :
1. Bagi orang tua yang belum dapat menerima kondisi anak, agar dapat mengubah pandangan
dan penilaian negatif terhadap anak berkebutuhan khusus jika anak berkebutuhan khusus tidak
memiliki kemampuan apapun. Orang tua perlu menggali lebih banyak lagi pemahaman tentang
anak berkebutuhan khusus dengan cara mencari informasi tentang anak berkebutuhan khusus
melalui buku, majalah ataupun media elektronik.
2. Bagi subjek yang memiliki anak berkebutuhan khusus diharapkan dapat lebh lagi memberikan
perhatian dan kasih sayang untuk anak, memberikan dukungan pada anak, lebih bersabar
dalam menghadapi perilaku anak sehingga akan memberikan dampak positif pada
perkembangan anak.
3. Bagi pihak keluarga diharapkan dapat lebih memberikan dukungan dan perhatian pada orang
tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus sehingga orang tua dapat memberikan
pengasuhan yang baik pada anak.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai