Anda di halaman 1dari 21

“ANAK DENGAN KETERBATASAN, ISU-ISU PENDIDIKAN YANG

MELIBATKAN ANAK PENYANDANG DISABILITAS, ANAK-ANAK


BERBAKAT, DAN STUDI KASUS”

Makalah ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kelompok pada Mata Kuliah
Psikologi Pendidikan

Dosen Pengampu : Dr. Musdalifah Dachrud, S.Ag, S.Psi. M.Si.Psi.

Oleh Kelompok 2:

Cintia Dini Putri Manggo (1921040)

Harfiah Jannah Tunggali (1921044)

Arifah Ladjambu (1921048)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MANADO

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

PRODI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH

2021-2021

1
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang
telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami
bisa selesaikan makalah mengenai “Anak Dengan Keterbatasan, Isu-Isu
Pendidikan yang Melibatkan Anak Penyandang Disabilitas, Anak-Anak Berbakat,
dan Studi Kasus”.

Makalah ini sudah selesai kami susun secara maksimal dengan bantuan
pertolongan dari berbagai pihak sehingga bisa memperlancar pembuatan makalah
ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang
sudah ikut berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, Kami menyadari seutuhnya bahwa masih jauh
dari kata sempurna baik dari segi susunan kalimat mau pun tata bahasanya. Oleh
karena itu, kami terbuka untuk menerima segala masukan dan kritik yang bersifat
membangun dari pembaca, sehingga kami bisa melakukan perbaikan makalah ini
menjadi makalah yang baik dan benar.

Akhir kata, kami meminta semoga makalah tentang “Anak Dengan


Keterbatasan, Isu-Isu Pendidikan yang Melibatkan Anak Penyandang Disabilitas,
Anak-Anak Berbakat, dan Studi Kasus” ini bisa memberi manafaat atau pun
inspirasi kepada pembaca.

Manado, 22 September 2021

Kelompok 2

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .................................................................................................... 2

Daftar Isi .............................................................................................................. 3

Bab I Pendahuluan .............................................................................................. 4

A. Latar Belakang ........................................................................................... 4


B. Rumusan Masalah ...................................................................................... 5

Bab II Pembahasan .............................................................................................. 6

A. Anak Dengan Keterbatasan ........................................................................ 6


a. Pengertian ............................................................................................ 6
b. Jenis ..................................................................................................... 7
B. Isu-Isu Pendidikan yang Melibatkan Anak Penyandang Disabilitas ............ 8
C. Anak Berbakat............................................................................................ 10
a. Pengertian ............................................................................................ 10
b. Klasifikasi dan Karakteristik Anak Berbakat ......................................... 11
c. Identifikasi Anak Berbakat ................................................................... 12
d. Layanan Pendidikan Anak Berbakat ..................................................... 16
D. Studi Kasus ................................................................................................ 19

Bab III Penutup ................................................................................................... 20

A. Kesimpulan ................................................................................................ 20

Daftar Pustaka ..................................................................................................... 21

3
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Anak-anak yang mengalami keterbatasan atau ketidakmampuan
secara fisik, psikis, atau sosial membutuhkan kebutuhan yang lebih
khusus. Salah satu diantaranya yaitu anak retardasi mental. Anak retardasi
mental biasanya mengalami kepercayaan diri yang kurang, menarik diri
dari lingkungan, emosi yang tidak terkontrol, komunikasi yang kurang
selaras, sehingga anak retardasi mental membutuhkan pertolongan dan
bimbingan dari orang tua (Poerwanti &Widianingsih, 2010).
Heward (2008) menyatakan bahwa efektivitas berbagai program
penanganan dan peningkatan kemampuan hidup anak dan remaja yang
mengalami keterbelakangan mental akan sangat bergantung pada peran
serta dan dukungan penuh dari keluarga, sebab pada dasarnya keberhasilan
program tersebut bukan hanya merupakan tanggung jawab dari lembaga
pendidikan yang terkait saja. Disamping itu, dukungan dan penerimaan
diri setiap anggota keluarga akan memberikan energi dan kepercayaan
dalam diri anak dan remaja yang terbelakang mental untuk lebih
meningkatkan setiap kemampuan yang dimiliki, lepas dari ketergantungan
orang lain.
Hal seperti ini tentunya tidak mudah diterima oleh para orang tua,
dimana anaknya mengalami gangguan dan keterlambatan
perkembangannya. Anak dengan gangguan retardasi mental membutuhkan
penanganan dini dan intensif untuk membantu kemandirian. Peran orang
tua akan terlihat dalam kehidupan anak, tentang penerimaan atau
penolakan orang tua terhadap kondisi anak, yang berdampak pada sikap
dan pengasuhan terhadap sang anak, pengembangan dan pengaktualisasian
potensi diri sebagai manusia, orang tua, istri atau suami, dan bahkan
anggota masyarakat dalam mencapai tujuan hidup yang semula sudah
ditetapkan (Safaria, 2008). Tidak semua orang tua yang mempunyai anak
retardarsi mental akan selalu siap dan menerima kenyataan tersebut. Sikap
malu atau tertutup terdakang secara tidak sadar telah dilakukan oleh ibu.
Sikap malu dan tertutup ini semakin jelas terlihat pada saat anak masuk
dalam usia sekolah oleh orang tua tidak segera disekolahkan. Rasa malu
terhadap orang lain bahwa orang tua mempunyai anak retardaasi mental.
Nah, dalam hal ini selanjutnya yang akan kita bahas dalam
makalah ini adalah mengenai “Anak Dengan Keterbatasan, Isu-Isu
Pendidikan yang Melibatkan Anak Penyandang Disabilitas, dan Anak-
Anak Berbakat, serta dengan Studi Kasusnya.”

4
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud anak dengan keterbatasan?
2. Apa saja isu-isu yang melibatkan anak penyandang disabilitas?
3. Apa yang dimaksud dengan anak-anak berbakat?
4. Bagaimana studi kasusnya?

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Anak Dengan Keterbatasan


a. Penegertian
Keadaan (seperti sakit atau cedera) yang merusak atau membatasi
kemampuan mental dan fisik seseorang dan atau keadaan tidak mampu
melakukan hal-hal dengan cara yang biasa. 1 Sedangkan disabilitas
merupakan kata bahasa Indonesia yang berasal dari kata serapan bahasa
Inggris disability (jamak: disabilities) yang bearti cacat atau ketidak
mampuan. Menurut John C. Maxwell, penyandang disabilitas merupakan
seseorang yang mempunyai kelainan dan/atau yang dapat mengganggu
aktivitas. 2 Menurut IG.A.K Wardani anak berkebutuhan khusus adalah
anak yang mempunyai sesuatu yang luar biasa yang secara signifikan
memebedakan nya dengan anak-anak seusia pada umumnya.
Kekurangan yang dimiliki anak tersebut merupakan sesuatu yang
keluarbiasaan yang dimiliki anak tersebut dapat merupakan sesuatu yang
positif, dapat pula yang negatif. 3 Penyandang disabilitas adalah anggota
masyarakat dan memiliki hak untuk tetap berada dalam komunitas lokal.
Para penyandang disabilitas harus menerima dukungan yang
dibutuhkan dalam struktur pendidikan, kesehatan, pekerjaan dan pelayanan
sosial. Sehingga hak-hak penyandang disablitas dalam persektif HAM
dikategorikan sebagai hak khusus bagi kelompok masyarakat tertentu.4
Adapun beberapa pengertian tentang Penyandang Disabilitas/ Penyandang
Cacat yang diatur dalam Undang-Undang yaitu:
1. Menurut Resolusi PBB Nomor 61/106 tanggal 13 Desember 2006,
penyandang disabilitas merupakan setiap orang yang tidak mampu
menjamin oleh dirinya sendiri, seluruh atau sebagian, kebutuhan
individual normal dan/atau kehidupan sosial, sebagai hasil dari kecacatan

1
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/disabilitas diakses 21 September 2021

2
Sugiono, Ilhamuddin, dan Arief Rahmawan, ‘Klasterisasi Mahasiswa Difabel Indonesia
Berdasarkan Background Histories dan Studying Performance‟ (2014) 1 Indonesia Journal of
Disability Studies 20, 21

3
Igak Wardani, Pengantar pendidikan luar biasa, Jakarta, 2008 : Universitas Terbuka.

4
Bagir Manan dkk., Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan Hak Asasi Manusia di
Indonesia , Alumni ,2006 h.140-152.

6
mereka, baik yang bersifat bawaan maupun tidak, dalam hal kemampuan
fisik atau mentalnya.
2. Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, penyandang cacat/disabilitas merupakan kelompok masyarakat
rentan yang berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih
berkenaan dengan kekhususannya.
3. Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan
Sosial, penyandang cacat/disabilitas digolongkan sebagai bagian dari
masyarakat yang memiliki kehidupan yang tidak layak secara
kemanusiaan dan memiliki kriteria masalah sosial. 5

Kemudian, perbedaan antara istilah keterbatasan dan cacat yaitu:


keterbatasan (disability) adalah kondisi yang mengacu pada terbatasnya
fungsi individu sehingga menghalangi kemampuan indivdu tersebut.6
Sedangkan cacat (handicap) adalah kondisi yang dibebankan pada
seseorang yang mengalami keterbatasan.

b. Jenis
1. Anak disabilitas penglihatan adalah anak yang mengalami gangguan daya
penglihatan berupa kebutaan menyeluruh (total) atau sebagian (low
vision).
2. Anak disabilitas pendengaran adalah anak yang mengalami gangguan
pendengaran, baik sebagian ataupun menyeluruh, dan biasanya memiliki
hambatan dalam berbahasa dan berbicara.
3. Anak disabilitas intelektual adalah anak yang memiliki inteligensia yang
signifikan berada dibawah rata-rata anak seusianya dan disertai dengan
ketidakmampuan dalam adaptasi perilaku, yang muncul dalam masa
perkembangan.
4. Anak disabilitas fisik adalah anak yang mengalami gangguan gerak akibat
kelumpuhan, tidak lengkap anggota badan, kelainan bentuk dan fungsi
tubuh atau anggota gerak.
5. Anak disabilitas sosial adalah anak yang memiliki masalah atau hambatan
dalam mengendalikan emosi dan kontrol sosial, serta berperilaku
menyimpang.

5
Tim Independent Rights dan PPRBM Yayasan Bhakti Luhur, Hak-Hak Penyandang
Disabilitas, cetakan I,Cbm, Malang, 2016. h.105

6
Antary Yuniar Widi, “Pendidikan Anak Dengan Keterbatasan,”
(https://www.slideshare.net/yuniardiantary/pendidikan-anak-dengan-keterbatasan, diakses 21
September 2021)

7
6. Anak dengan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (GPPH)
atau attention deficit and hyperactivity disorder (ADHD) adalah anak yang
mengalami gangguan perkembangan, yang ditandai dengan sekumpulan
masalah berupa ganggguan pengendalian diri, masalah rentang atensi atau
perhatian, hiperaktivitas dan impulsivitas, yang menyebabkan kesulitan
berperilaku, berfikir, dan mengendalikan emosi.
7. Anak dengan gangguan spektrum autisma atau autism spectrum disorders
(ASD) adalah anak yang mengalami gangguan dalam tiga area dengan
tingkatan berbeda-beda, yaitu kemampuan komunikasi dan interaksi sosial,
serta pola-pola perilaku yang repetitif dan stereotipi.
8. Anak dengan gangguan ganda adalah anak yang memiliki dua atau lebih
gangguan sehingga diperlukan pendampingan, layanan, pendidikan
khusus, dan alat bantu belajar yang khusus.
9. Anak lamban belajar atau slow learner adalah anak yang memiliki potensi
intelektual sedikit dibawah rata-rata tetapi belum termasuk gangguan
mental. Mereka butuh waktu lama dan berulang-ulang untuk dapat
menyelesaikan tugas-tugas akademik maupun non akademik.
10. Anak dengan kesulitan belajar khusus atau specific learning disabilities
adalah anak yang mengalami hambatan atau penyimpangan pada satu atau
lebih proses psikologis dasar berupa ketidakmampuan mendengar,
berpikir, berbicara, membaca, menulis, mengeja dan berhitung.
11. Anak dengan gangguan kemampuan komunikasi adalah anak yang
mengalami penyimpangan dalam bidang perkembangan bahasa wicara,
suara, irama, dan kelancaran dari usia rata-rata yang disebabkan oleh
faktor fisik, psikologis dan lingkungan, baik reseptif maupun ekspresif.
12. Anak dengan potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa adalah anak
yang memiliki skor inteligensi yang tinggi (gifted), atau mereka yang
unggul dalam bidang-bidang khusus (talented) seperti musik, seni, olah
raga, dan kepemimpinan.7
B. Isu-isu Pendidikan yang Melibatkan Anak Penyandang Disabilitas
Pendidikan adalah salah satu pilar terpenting dalam kehidupan
manusia. Dengan pendidikan, peradaban manusia semakin berkembang
dengan pesat. Berarti peranan pendidikan sudah tidak dapat dipungkiri,
mengingat kemauan teknologi saat ini berasal dari pendidikan yang
berkualitas. Sebagian besar penyandang disabilitas fisik mengalami
kesulitan untuk mendapatkan pendidikan. Menurut Groce (2003) di
berbagai negara anak-anak penyandang disabilitas dianggap tidak mampu

7
https://www.kemenpppa.go.id/lib/uploads/list/b3401-panduan-penanganan-abk-bagi-
pendamping-_orang-tua-keluarga-dan-masyarakat.pdf diakses 22 September 2021

8
belajar, apa pun disabilitas yang dialami. 8 Selain itu, mereka juga kerap
kali dianggap sebagai pengganggu atau penghambat dalam proses
pembelajaran (Groce, 2003).
Selain itu, gedung sekolah pun dibangun dengan tangga-tangga dan
jauh dari fasilitas umum lainnya sehingga tidak akses bagi individu dengan
kesulitan mobilitas. Terbatasnya guru yang terlatih, materi pembelajaran
yang kurang sesuai dan ketidak inginan untuk melibatkan penyandang
disabilitas merupakan factor-faktor yang menyebabkan terbatasnya
peluang belajar bagi anak-anak penyandang disabilitas, baik disabilitas
fisik maupun disabilitas mental (Groce, 2003). UNICEF (1999) menduga
bahwa penyebab utama jarang ditemuinya penyandang disabilitas di
sekolah-sekolah adalah karena keluarga dan lingkungan sosial
menganggap mereka tidak membutuhkan pendidikan sehingga ketika
memasuki masa remaja ditemukan bahwa dalam hal pendidikan para
penyandang disabilitas ini sangat jauh tertinggal dari teman-teman
seusianya yang tidak menyandang disabilitas.
Terbatasnya pendidikan bagi anak-anak penyandang disabilitas
juga terjadi di Indonesia, walaupun Undang Undang Republik Indonesia
No. 4 tahun 1997 mengenai penyandang cacat telah menetapkan adanya
kesamaan kesempatan pendidikan bagi penyandang disabilitas. 9 Menurut
data hasil statistik, di Indonesia terdapat sekitar 1,5 juta penyandang
disabilitas yang berada pada usia sekolah. Akan tetapi hanya 5% atau
sekitar 77.000 individu yang menempuh pendidikan di Sekolah Luar Biasa
(SLB). Di Jakarta sendiri sudah terdapat sekitar 65 SLB, baik untuk anak-
anak penyandang disabilitas fisik maupun mental.
Sejak tahun 2003, pendidikan untuk anak-anak penyandang
disabilitas mulai berkembang. Undang Undang No. 20 tahun 2003
mengenai system pendidikan nasional mengemukakan hak penyandang
disabilitas untuk mendapatkan pendidikan khusus. Sejak itu pulalah
pemerintah menunjuk beberapa sekolah khususnya di Jakarta untuk
menjadi sekolah inklusi. Sekolah inklusi merupakan sekolah umum yang
memberikan kesempatan belajar bagi penyandang disabilitas. Selain
sekolah-sekolah Negeri yang ditunjuk oleh pemerintah, beberapa sekolah

8
Rafik, “Isu Pendidikan Penyandang Disabilitas”, (https://www.kartunet.com/isu-
pendidikan-penyandang-disabilitas-1063/, diakses 22 Sptember 2021)

9
Rafik, “Isu Pendidikan Penyandang Disabilitas”, (https://www.kartunet.com/isu-
pendidikan-penyandang-disabilitas-1063/, diakses 22 Sptember 2021)

9
swasta pun membuka kesempatan bagi penyandang disabilitas untuk
memperoleh pendidikan.
Walaupun pemerintah telah menunjuk sekolah-sekolah inklusi,
penyediaan fasilitas, sarana dan prasarana pendidikan bagi penyandang
disabilitas masih sangat terbatas (Dahlena dalam Sindo, 2008). Selain itu,
ketentuan mengenai system pendidikan inklusi pun kurang jelas sehingga
sekolah-sekolah mengalami kesulitan dalam pelaksanaannya. Hal ini
mengakibatkan pelayanan pendidikan bagi penyandang disabilitas pun
masih belum maksimal.
Kurangnya pelayanan pendidikan bagi penyandang disabilitas
mengakibatkan sebagian besar penyandang disabilitas memiliki tingkat
pendidikan rendah. Sebagian besar dari mereka berhenti sekolah atau
bahkan tidak bersekolah sama sekali dan pada akhirnya mereka berakhir di
jalanan, menjadi penganggur, terlibat dalam pekerjaan seksual,
kriminalitas dan narkoba (Groce, 2003). UNICEF (1999) mengestimasikan
sekitar 1/3 dari anak-anak jalanan merupakan anak-anak yang
menyandang disabilitas (dalam Groce, 2003).
Walaupun peluang bagi penyandang disabilitas untuk mendapatkan
pendidikan masih terbatas, tidak menutup kemungkinan bagi sebagian dari
mereka untuk menempuh pendidikan sampai ke tingkat perguruan tinggi.
Akan tetapi, kenyataan bahwa mereka mengalami disabilitas membuat
mereka tidak dapat menekuni bidang-bidang tertentu. Di Cina misalnya,
para mahasiswa yang mengalami disabilitas tidak diperbolehkan untuk
mengambil sebagian besar jurusan yang berkaitan dengan ilmu
pengetahuan karena kemungkinan besar mereka tidak dapat menekuni
bidang pekerjaan tersebut nantinya (Groce, 2003). Kesulitan yang dialami
penyandang disabilitas dalam menempuh pendidikan ini membuat
sebagian dari mereka tidak siap untuk memasuki dunia kerja.
C. Anak Berbakat
a. Pengertian

Batasan anak berbakat secara umum adalah “mereka yang karena


memiliki kemampuan-kemampuan yang unggul mampu memberikan
prestasi yang tinggi”. Istilah yang sering digunakan bagi anak-anak yang
memiliki kemampuan-kemampuan yang unggul atau anak yang tingkat
kecerdasannya di atas rata-rata anak normal, diantaranya adalah; cerdas,
cemerlang, superior, supernormal, berbakat, genius, gifted, gifted and
talented, dan super.10 Daniel P. Hallahan dan James M. Kauffman (1982;

10
https://uc.xyz/VyS4U?pub=link diakses 21 September 2021

10
376) mengemukakan “Besides the word ‘gifted’ a variety of other terms
have be en used to describ individuals who are superior in some way :
“talented, creative, genius, and precocious, for example”. Precocity
menunjukkan perkembangan yang sangat cepat. Beberapa anak gifted
memperlihatkan precocity dalam area perkembangan sepert; bahasa,
musik, atau kemampuan matematika.

Keberbakatan dipengaruhi oleh berbagai unsur kebudayaan,


bahkan bagi sementara ahli sifat-sifat anak berbakat tersebut bercirikan
“cultur bound” (dibatasi oleh batasan kebudayaan). Dengan demikian ada
dua petunjuk kunci dalam mengamati dan mengerti keberbakatan tersebut
yaitu:

1. Keberbakatan itu adalah ciri-ciri universal yang khusus dan luar biasa
yang dibawa sejak lahir maupun yang merupakan hasil interaksi dari
pengaruh lingkungannya.
2. Keberbakatan itu ikut ditentukan oleh kebutuhan maupun kecenderungan
kebudayaan dimana seseorang yang berbakat itu hidup. (Conny semiawan;
1994 : 40).
b. Klasifikasi dan Karakteristik Anak Berbakat
1. Genius: Genius ialah anak yang memiliki kecerdasan luar biasa, sehingga
dapat menciptakan sesuatu yang sangat tinggi nilainya. Intelligence
Quotien-nya (IQ) berkisar antara 140 sampai 200. Anak genius memiliki
sifat-sifat positif sebagai berikut; daya abstraksinya baik sekali,
mempunyai banyak ide, sangat kritis, sangat kreatif, suka menganalisis,
dan sebagainya. Di samping memiliki sifat-sifat positif juga memiliki sifat
negatif, diantaranya; cenderung hanya mementingkan dirinya sendiri
(egois), temperamennya tinggi sehingga cepat bereaksi (emosional), tidak
mudah bergaul, senang menyendiri karena sibuk melakukan penelitian,
dan tidak mudah menerima pendapat orang lain.
2. Gifted: Anak ini disebut juga gifted and talented adalah anak yang tingkat
kecerdasannya (IQ) antara 125 sampai dengan 140. Di samping memiliki
IQ tinggi, juga bakatnya yang sangat menonjol, seperti ; bakat seni musik,
drama, dan ahli dalam memimpin masyarakat. Anak gifted diantaranya
memiliki karakteristik; mempunyai perhatian terhadap sains, serba ingin
tahu, imajinasinya kuat, senang membaca, dan senang akan koleksi.
3. Superior: Anak superior tingkat kecerdasannya berkisar antara 110 sampai
dengan 125 sehingga prestasi belajarnya cukup tinggi. Anak superior
memiliki karakteristik sebagai berikut; dapat berbicara lebih dini, dapat
membaca lebih awal, dapat mengerjakan pekerjaan sekolah dengan mudah
dan dapat perhatian dari temantemannya. James H. Bryan and Tanis H.

11
Bryan (1979; 302) mengemukakan bahwa karakteristik anak berbakat itu
(gifted) meliputi; physical, personal, and social characteristics.
Sedangkan David G. Amstrogn and Tom V. Savage (1983; 327)
mengemukakan; “Gifted and talented students are individuals who are
characteristized by a blaned of (1) high intelligence, (2) high task
comitment, and (3) high creativity.
Secara umum hampir semua pendapat itu sama, bahwa anak
berbakat memiliki kemampuan yang tinggi jika dibandingkan dengan
anak-anak pada umumnya. Hasil studi lain menemukan bahwa “Anak-
anak berbakat memiliki karakteristik belajar yang berbeda dengan anak-
anak normal. Mereka cenderung memiliki kelebihan menonjol dalam kosa
kata dan menggunakannya secara luwes, memiliki informasi yang kaya,
cepat dalam menguasai bahan pelajaran, cepat dalam memahami hubungan
antar fakta, mudah memahami dalil-dalil dan formula-formula, tajam
kemampuan analisisnya, membaca banyak bahan bacaan (gemar
membaca), peka terhadap situasi yang terjadi di sekelilingnya, kritis dan
memiliki rasa ingin yang sangat besar” (Renzuli, 1979, Fahrle dkk.; 1985,
Galagher, 1985, Maker; 1982) dalam Dedi Supriadi (1992; 9)
c. Identifikasi Anak Berbakat

Pengertian kontemporer tentang keberbakatan memang telah


demikian berkembang dan kriterianya sudah lebih multidimensional
daripada sekedar intelegensi (umum, atau “faktor” menurut Spearman)
seperti yang pernah digunakan oleh Terman. IQ hanya salah satu kriteria
keberbakatan. Dengan perluasan kriteria ini, persoalan identifikasi anak-
anak berbakat menjadi lebih rumit dan harus menggunakan beragam
teknik dan alat ukur, Idealnya semua kriteria tersebut harus dideteksi
dengan menggunakan teknik dan prosedur, karena menurut berbagai studi
tidak semua dari faktor-faktor itu berkorelasi satu sama lain. 11 Misalnya IQ
dan kreativitas. Keberbakatan itu bersifat multidimensional, kriterianya
tidak hanya intelligensi, melainkan kreativitas, kepemimpinan, komitmen
pada tugas, prestasi akademik, motivasi dan lain-lain. Renjuli dkk. (1979)
dalam Dedi Supriadi (1992; 10) mengembangkan skala yang disebut
Scales for Rating Behavioral Characteristices of Superor Students
(SRBCSS) yang mencakup sepuluh karakteristik; beilajar, motivasi,
kreativitas, kepemimpinan, artistik, music, drama, komunikasi, komunikai
ekspresif, dan perencanaan.

11
https://uc.xyz/VyS4U?pub=link diakses 21 September 2021

12
Penjaringan terhadap keberbakatan intelektual dalam kelompok
populasi tertentu pada umumnya bertolak dari perkiraan kurang lebih 15 %
sampai 25 % populasi sampl yang secara kasar merupakan identfikasi
permulaan dalam menghadapi seleksi yang lebih cermat. Penjaringan
keberbakatan bisa menggunakan nominasi guru tentang kemajuan sehari-
hari siswa, namun bisa juga melalui penilaian beberapa mata pelajaran
tertentu tergantung dari tujuan penjaringan. Penjaringan atau penyaringan
dapat juga menggunakan tes psikologis yang didasarkan pada beberapa
aspek tertentu, tetapi yang paling penting hsrus diketahui untuk keperluan
apa tes dilakukan.

Tujuan akan memberikan dasar terhadap penilaian, kemampuan,


sifat, sikap atau prilaku seseorang. Kepada anak harus diberitahukan
bahwa penilaian yang baik akan menempatkan dia pada posisi yang
menguntungkan dalam arti tidak akan menuntut dia melakukan pekerjaan
atau kinerja yang tidak sesuai dengan kemampuannya. Identifikasi ini
biasanya berguna bagi peramalan tentang kinrja tertentu di dalam waktu
yang akan datang.12 Pola dan tahap identifkasi yang dilakukan di muka,
yang terdiri dari penjaringan dan penyaringan sebagai identifikasi kasar
yang kemudian diperhalus melalui suatu proses seleksi memiliki berbagai
variasi, tergantung dari keperluan Dengan demikian kini klasifikasi bakat
juga mencakup kreativitas, motivasi dan kepemimpinan. Beberapa
permasalahan dalam identifikasi diantaranya masih banyak pelanggaran
terjadi dalam aplikasi prinsip-prinsip identifikasi.

Beberapa penyalahgunaan prinsip identifikasi antara lain, adalah


perbedaan antara “gifted dan talen”. Dengan menyusun suatu hierarkhie
pengertian dengan menunjuk kepada pengertian kemampuan umum
intelektual yang diukur oleh tes intellegensi bagi pengertian keberbakatan,
dan bakat khusus akademis serta kemampuan kepemimpinan dan bakat
seni untuk pengetian talen. Sistem identifikasi SEM, ciptaan Renzulli agak
berbeda dengan yang lain, ia mengemukakan 6 langkah identifikasi, yaitu
sebagai berikut:

1. Beranjak dari penjaringan berdasarkan skor tes, tetapi mereka yang belum
terjaring tidak seluruhnya ditinggalkan, karena ingin menjangkau kurang
lebih 15 % dari populasi. Semua anak yang skornya di atas persentil ke 85
biasanya akan terjaring melalui tes inteligensi yang telah
terstandardisasikan. Untuk memberi peluang pada kelompok yang lebih

12
https://uc.xyz/VyS4U?pub=link diakses 21 September 2021

13
luas, kita membagi “pool” keberbakatan menjadi dua bagian dan semua
siswa yang skornya di atas persentil ke 92 (menurut norma lokal) pada
umumnya sudah otomatis termasuk “pool” tersebut, dan biasanya terdiri
dari 50 % jumlah populasi sampel. Skor tes yang dimaksud biasanya suatu
tes inteligensi atau tes hasil belajar atau tes bakat tunggal, yang memberi
peluang pada seseorang yang baik dalam bidang tertentu, tetapi mungkin
tidak baik dalam bidang yang lain, untuk dapat dimasukkan dalam “pool”
tersebut.13 Ciri utama keberbakatan, yaitu kemampuan di atas rata-rata
keterlekatan pada tugas dan kreativitas dapat dijaring melalui aspek
psikometrik, aspek perkembangan, aspek kinerja dan aspek sosiometrik
dengan berbagai alat.
2. Langkah kedua merupakan nominasi guru yang bagaimanapun juga harus
dihargai sama dengan hasil skor tes. Dalam nominasi ini digunakan skala
penilaian (rating scale) untuk memperoleh gambaran tentang profil
kemampuan anak.
3. Langkah ketiga adalah cara alternatif lain, yang bisa merupakan nominasi
teman sebaya, nominasi orang tua atau nominasi diri, maupun tes
kreativitas. Kalau pada skor tes yang tinggi nominasi itu secara otomatis
bisa diterima, tidaklah demikian pada langkah ketiga yang harus melalui
suatu panitia peneliti.
4. Langkah keempat adalah nominasi khusus yang merupakan review
terakhir dari mereka yang sebelumnya tak terlibat dalam nominasi-
nominasi tersebut. Mereka memperoleh seluruh daftar nominasi hasil
langkah kesatu sampai langkah ketiga dan boleh menambah nominasi
orang lain, bahkan juga boleh mengusulkan untuk membatalkan nominasi
tertentu berdasarkan pengalaman tertentu dengan anak tertentu.
5. Langkah kelima adalah nominasi informasi tindakan, proses ini terjadi bila
guru setelah memperoleh penataran dalam pendidikan anak berbakat,
dapat melakukan interaksi yang dinamis, sehingga meningkatkan motivasi
dan interes anak untuk suatu topik atau bidang tertentu di sekolah ataupun
di luar sekolah.
6. Langkah keenam adalah penyaringan melalui tes dan menjadi cara yang
populer, antara lain karena menghargai kriteria non tes. Tetapi lebih dari
itu potensi-potensi yang terjaring dari seluruh populasi sekolah telah
memberi peluang pada anak lain yang bukan karena kemampuan
umumnya, melainkan mungkin karena sebab lain yang biasanya tidak
terjaring oleh skor tes, untuk tetap diperhatikan dan dimasukkan dalam
“pool” anak berbakat sekolah tersebut. (Conny Semiawan; 117- 122).

13
https://uc.xyz/VyS4U?pub=link diakses 21 September 2021

14
Alat yang dapat dipergunakan dalam melakukan identifikasi anak
berbakat diantaranya adalah:

1. Kemampuan intelektual umum; Galton dalam Conny Semiawan (1994;


124) “Pengukuran kemampuan intelektual umum diperoleh melalui
pengukuran kekuatan otot, kecakapan gerak, sensitivitas terhadap rasa
sakit, kecermatan dalam pendengaran dan penglihatan, perbedaan dalam
ingatan dan lain-lain yang semua disebut “tes mental”.
2. Tes inteligensi umum; Salah satu perkembangan yang amat penting dalam
pengmbangan pengukuran intelegensi adalah timbulnya skala Wechsler
dalam mengukur inteligensi orang dewasa dengan menggunakan norma tes
bagi perhitungan IQ yang menyimpang.
3. Tes kelompok kontra tes individual; Tes kelompok lebih banyak
digunakan dalam sistem pendidikan, pelayanan pegawai, industri dan
militer. Tes kelompok dirancang untuk sekelompok tertentu, biasanya tes
kelompok menyediakan lembar jawaban dan “kunci-kunci” tes. Bentuk tes
kelompok berbda dari tes individual dalam menyusun item dan
kebanyakan menggunakan item pilihan ganda.
4. Pengukuran hasil belajar; Tes ini mengukur hasil belajar stelah mengikuti
proses pendidikan. Tes hasil belajar ini berbeda dengan tes bakat, tes
inteligensi, tes hasil belajar pada umumnya merupakan evaluasi terminal
untuk menentukan kedudukan individu setelah menyelesaikan suatu
latihan atau pendidikan tertentu. Penekanannya terutama pada apa yang
dapat dilakukan individu saat itu setelah mendapatkan pendidikan tertentu.
5. Tes hasil belajar individual; Pada umumnya tes hasil belajar adalah tes
kelompok yang bermaksud membandingkan kemajuan belajar antar
individu sebaya, namun di sini hanya hasil belajar individual saja. Di
Indonesia sering menggunakan pengukuran acuan norma (PAN) dan
pengukuran acuan kriteria (PAK).
6. Di Indonesia nampaknya diperlukan adanya standarisasi secara nasional
untuk prosedur identifikasi anak berbakat ini. Isu sentral dalam hal ini
ialah bagaimana menemukan model yang dianggap paling efektif dari segi
hasil (daya ramal terhadap performasi peserta didik kemudian) tetapi
efisien dari segi waktu, biaya dan tenaga. Hal ini disebabkan karena
kondisi sarana pendidikan, akses terhadap lembaga-lembaga pemeriksaan
psikologis, dan kemampuan guru yang sangat beragam di Indonesia,
sementara perhatian kepada anak-anak berbakat merupakan persoalan
pendidikan secara nasional.
d. Layanan Pendidikan Anak Berbakat
a) Kurikulum

15
Supriadi (1992; 11) yaitu; “Perancangan kurikulum, penyediaan
sarana pembelajarannya, model perllakuannya, kerjasama dengan keluarga
dan pihak luar, serta model bimbingan dan konselingnya”.

b) Model Pembelajaran

“Segregation, and enrichment”. Sedangkan David G. Amstrong


and Tom V. Savage (19883; 327) mengemukakan dua model, yaitu;
“Enrichment and acceleration”.

Penjelasan dari mode-model di atas adalah sebagai berikut:

1. Pengayaan (enrichment)
Dalam model enrichment ini anak mendapatkan pembelajaran
tambahan sebagai pengayaan. Pengayaan ini dapat dilakukan melalui dua
cara, yaitu sebagai berikut: Secara vertikal; Cara ini untuk memperdalam
salah satu atau sekelompok mata pelajaran tertentu.14 Anak diberi
kesempatan untuk aktif memperdalam ilmu Pengetahuan yang disenangi,
sehingga menguasai materi pelajaran secara luas dan mendalam.
Sedangkan secara horizontal; Anak diberi kesempatan untuk memperluas
pengetahuan dengan tambahan atau pengayaan yang berhubungan dengan
pelajaran yang sedang dipelajari.
2. Percepatan (scceleration)

Secara konvensional bagi anak yang memiliki kemampuan


superior dipromosikan untuk naik kelas lebih awal dari biasanya. Dalam
percepatan ini ada beberapa cara yang dapat dilakukan, yaitu sebagai
berikut: a) Masuk sekolah lebih awal/sebelum waktunya (early
admission), misalnya sebelum usia 6 tahun, dengan catatan bahwa anak
sudah matang untuk masuk Sekolah Dasar. b) Loncat kelas (grade
skipping) atau skipping class, misalnya karena kemampuannya luar biasa
pada salah satu kelas, maka langsung dinaikkan ke kelas yang lebih tinggi
satu tingkat (dari kelas satu langsung ke kelas tiga). c) Penambahan
pelajaran dari tingkatan di atasnya, sehingga dapat menyelesaikan materi
pelajaran lebih awal. d) Maju berkelanjutan tanpa adanya tingkatan kelas.
Dalam hal ini sekolah tidak mengenal tingkatan, tetapi menggunakan
sistem kredit. Ini berarti anak berbakat dapat maju terus sesuai dengan
kemampuannya tanpa menunggu teman-teman yang lainnya.

3. Segregasi

14
https://uc.xyz/VyS4U?pub=link diakses 21 September 2021

16
Mengenai sistem penyelenggaraan pendidikan, selain yang telah
dikemukakan di atas, ada beberapa sistem dalam pendidikan bagi anak
berbajat, yaitu; (1) Sekolah khusus, (2) Kelas khuus, dan (Terintegrasi
dalam kelas reguler atau normal dengan perlakukan khusus. Model
pertama dan ke dua nampaknya banyak mengundang kritik, karena
cenderung eksklusif dan elit, sehingga bisa menimbulkan kecemburuan
sosial. Kedua sistem ini hanya bisa dilakukan untuk bidang-bidang tertenu
saja.

Model yang kini populer adalah sistem dimana anak-anak berbakat


diintegrasikan dalam kelas reguler atau normal. Cara ini mempunyai
banyak keuntungan bagi perkembangan psikologis dan sosial anak. Hal
yang menyulitkan adalah bagaimanakah perhatian diberikan secara
berbeda melalui apa yang disebut “pengajaran yang diindividualisasikan”,
yaitu settingnya kelas tetapi perhatian diberikan kepada individu anak. 15
Konsekwensinya perlu kurikulum yang fleksibel, yaitu kurikulum yang
berdiferensiasi, yang bisa mengakomodasi anak-anak biasa dan anak
berbakat.

Pada dasarnya penyelenggaraan pendidikan anak berbakat


menyangkut bagaimana anak-anak diperlakukan di sekolah melalui sistem
pengelompokkan. Sistem pengelompokkan bermacam-macam, tetapi
intinya ada dua, yaitu pengelompokkan homogen dan heterogen. Dasar
pengelompokkan bisa berupa jenis kelamin, tingkat kemampuan belajar,
atau minat-minat khusus pada mata pelajaran tertentu.

Fahrle, Duffi dan Schulz (1985) dalam Dedi Supriadi (1992; 23)
mengemukakan bahwa program pendidikan untuk anak-anak berbakat
harus memberikan kepada anak-anak dua macam pengalaman yang
bernilai sosial. Pertama mereka harus memiliki kesempatan untuk bergaul
secara luas dan wajar dengan teman-teman sebayanya. Kedua program
pendidikan untuk anak-anak berbakat harus menyediakan peluang kepada
peserta didik untuk secara intelektual tumbuh bersama rekan-rekan
sebayanya.

Sistem manapun yang dipilih, penyelenggara harus tetap berpegang


pada prinsip bahwa pendidikan itu tidak boleh mengorbankan fungsi
sosialisasi nilai-nilai budaya (toleransi, solidaritas, kerja sama) kepada
anak. Program pendidikan untuk anak-anak berbakat tidak identik dengan

15
https://uc.xyz/VyS4U?pub=link diakses 21 September 2021

17
perlakuan yang eksklusif dan elitis, melainkan semata-mata supaya untuk
memberikan peluang kepada anak didik untuk berkembang sesuai dengan
potensi yang dimilikinya.

Dalam layanan pendidikan bagi anak berbakat, khususnya pada


jenjang sekolah dasar di Indonesia saat ini adalah sistem yang terpadu,
yakni anak-anak berbakat masuk ke sekolah yang samaadian mereka
diperlakukan dengan sistem pengajaran yang dindividualisasikan, yakni
sistem yang memberikan perhatian secara individual kepada setiap siswa
dalam kelas biasa.

Dengan demikian yang diperlukan dalam layan pendidikan bagi


anak berbakat khususnya pada sekolah dasar, bukanlah sekolah, kelas,
ataupun kurikulum khusus, melainkan modifikasi kurikulum dan sarana
pendukungnya agar sesuai dengan kebutuhan anak-anak berbakat.

c) Model Penilaian

Tujuan pengukuran pada dasarnya berbeda-beda, bila hendak


membandingkan anak tertentu, maka gunakan pengukuran acuan norma
dengan:

1. Membandingkan anak berbakat dengan seluruh populasi.


2. Membandingkan anak berbakat dengan teman sebaya.
3. Membandingkan anak berbakat dengan populasi anak berbakat lagi.
4. Membandingkan anak berbakat dengan dirinya sendiri.
5. Membandingkan anak berbakat dengan populasi anak berbakat lagi.

Guru Anak Berbakat Untuk menangani anak berbakat di Sekolah


Dasar, tentunya membutuhkan guru-guru yang memiliki kemampuan yang
khusus. Dalam hal ini David G. Armstrong And Tom V. Savage (1983;
334) mengutip pendapat James O. Schnur (1980) sebagai berikut; “most
descriptions of capable teachers of the gifted and talnted”. Deskripsi
kemampuan guru yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1) Memiliki kematangan dan keamanan.


2) Memiliki kreativitas dan fleksibilitas.
3) Memiliki kemampuan mengindividualisasikan materi pelajaran.
4) Memiliki kedalaman pemahaman terhadap pengajaran.
D. Studi Kasus
Berdasarkan hasil pembahasan tentang Pembelajaran IPS Terpadu
Pada Siswa SMA Luar Biasa (dalam jurnal penelitian Studi Kasus Pada
SMA Luar Biasa B Dharma Bhakti Dharma Pertiwi Bandar Lampung

18
Tahun Ajaran 2013-2014) dapat disimpulkan bahwa: Kurikulum yang
digunakan dalam proses pembelajaran IPS Terpadu merupakan kurikulum
khusus yang dirancang untuk peserta didik yang memiliki keterbatasan
fisik dalam hal ini tunarungu.16 Kurikulum ini memiliki presentase 60%
keterampilan dan 40% materi umum.
Dalam pembelajaran IPS Terpadu metode yang digunakan dikelas
X B (tunarungu) ialah dua metode khusus yaitu metode kelompok
meliputi, metode demonstrasi, metode drill, dan karya wisata. Sedangkan
metode individu meliputi metode tanya jawab, face to face dan oral. Dan
untuk menunjang proses belajar mengajar anak tunarungu diperlukan
sarana pembelajaran khusus dalam menjalankan aktivitas belajar mengajar
yaitu terdiri dari ruang khusus yang dilengkapi alat-alat khusus untuk
meningkatkan potensinya yang masih dapat diperbaiki dan dikembangkan
terutama masalah komunikasi baik dengan menggunakan bahasa lisan
maupun tulisan.

16
https://media.neliti.com/media/publications/246261-studi-kasus-pada-sma-luar-biasa-b-
tunaru-b2b922b6.pdf, diakses 21 September 2021

19
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Anak dengan keterbatasan atau berkebutuhan khusus adalah anak
yang memiliki sesuatu yang luar biasa yang di mana pada umumnya
membedakan mereka dengan anak-anak seusianya. Atau keterbatasan
(disability) merupakan kondisi yang mengacu pada terbatasnya fungsi
individu sehingga menghalangi kemampuan indivdu tersebut. Yang di
mana sebagian besar mereka mengalami kesulitan dalam bidang
pendidikan, lebih tepatnya untuk mendapatkan pendidikan. Salah satu
faktor penyebabnya karena fasilitas yang tidak memadai.
Selanjutnya mengenai Anak berbakat, secara umum anak berbakat
merupakan mereka yang memiliki kemampuan-kemampuan yang unggul
atau anak yang tingkat kecerdasannya di atas rata-rata anak normal. Yang
di mana sama halnya dengan anak dengan keterbatasan yang
membutuhkan sistem pendidikan atau fasilitas khusus sebagai pendukung,
mereka juga para anak berbakat membutuhkan hal yang sama.
Salah satu contoh studi kasusnya yaitu Pembelajaran IPS Terpadu
Pada Siswa SMA Luar Biasa (dalam jurnal penelitian Studi Kasus Pada
SMA Luar Biasa B Dharma Bhakti Dharma Pertiwi Bandar Lampung
Tahun Ajaran 2013-2014) yang di mana salah satu poinnya memiliki
keterkaitan dengan pembahasan dalam paragraf sebelumnya yaitu untuk
menunjang proses belajar mengajar anak tunarungu diperlukan sarana
pembelajaran khusus dalam menjalankan aktivitas belajar mengajar atau
fasilitas penunjang.

20
DAFTAR PUSTAKA

Igak Wardani. Pengantar pendidikan luar biasa. Jakarta. 2008 : Universitas


Terbuka.

Manan Bagir dkk., Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan Hak Asasi


Manusia di Indonesia. Alumni. 2006 h.140-152.

Sugiono. Ilhamuddin. dan Rahmawan Arief. “Klasterisasi Mahasiswa


Difabel Indonesia Berdasarkan Background Histories dan Studying
Performance‟ (2014) 1 Indonesia Journal of Disability Studies 20,
21.

Tim Independent Rights dan PPRBM Yayasan Bhakti Luhur. Hak-Hak


Penyandang Disabilitas. cetakan I. Cbm. Malang. 2016. h.105

Widi Antary Yuniar, “Pendidikan Anak Dengan Keterbatasa,”


(https://www.slideshare.net/yuniardiantary/pendidikan-anak-
dengan-keterbatasan, diakses 21 September 2021)

Rafik, “Isu Pendidikan Penyandang Disabilitas”,


(https://www.kartunet.com/isu-pendidikan-penyandang-disabilitas-
1063/, diakses 22 Sptember 2021)

https://www.kemenpppa.go.id/lib/uploads/list/b3401-panduan-
penanganan-abk-bagi-pendamping-_orang-tua-keluarga-dan-
masyarakat.pdf diakses 22 September 2021.

https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/disabilitas diakses 21 September 2021

https://uc.xyz/VyS4U?pub=link diakses 21 September 2021

https://media.neliti.com/media/publications/246261-studi-kasus-pada-sma-
luar-biasa-b-tunaru-b2b922b6.pdf, diakses 21 September 2021.

21

Anda mungkin juga menyukai