Anda di halaman 1dari 26

PEMAHAMAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS SEBAGAI INDIVIDU

Disusun Guna Memenuhi Tugas Kelompok


Mata Kuliah: BK Berkebutuhan Khusus
Dosen Pengampu: Moh. Anwar Yasfin, M.Pd.

Disusun oleh:

Kelompok 2

1. Lutfiatun Ni’mah NIM 2011010003


2. Sri Fia Nurkhasanah NIM 2011010008
3. Ahmad Adib Hasani NIM 2011010032
4. Shofhal Jamil NIM 2011010034

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING PENDIDIKAN ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS

TAHUN AJARAN 2022/2023


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
“Pemahaman Anak Berkebutuhan Khusus Sebagai Individu” ini tepat pada waktunya.
Sholawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW
yang kami harapkan syafa’atnya di hari kiamat kelak.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh Bapak Moh. Anwar
Yasfin, M.Pd. pada mata kuliah BK Berkebutuhan Khusus. Selain itu, penulisan makalah ini
juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang pemahaman anak berkebutuhan khusus
sebagai individu bagi pembaca dan penyusun. Kami mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Kami menyadari bahwa kemampuan kami dalam menyusun makalah ini masih jauh
dari kata sempurna dan masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharapkan
kritik dan saran yang membangun dari pembaca. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
kami maupun pembaca. Aamiin.

Kudus, 24 September 2022

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................i

DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................1

A. Latar Belakang................................................................................................................1

B. Rumusan Masalah...........................................................................................................1

C. Tujuan Pembuatan Makalah............................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................3

A. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus...........................................................................3

B. Faktor Penyebab Anak Berkebutuhan Khusus.................................................................5

C. Jenis-jenis Anak Berkebutuhan Khusus........................................................................10

D. Konsep Diri Bagi Anak Berkebutuhan Khusus...................................................................17

E. Intervensi Pendidikan dalam Membentuk Konsep Diri yang Positif Bagi ABK...........19

BAB III PENUTUP.................................................................................................................22

A. Kesimpulan...................................................................................................................22

B. Saran..............................................................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................24
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Setiap individu disadari atau tidak dalam rentang perjalanan hidupnya ia telah
mengembangkan konsep dirinya melalui tahapan perkembangannya. Lingkungan
sangat memberi pengaruh terhadap proses pembentukan konsep diri masing-masing
individu. Begitupula halnya dengan anak berkebutuhan khusus yang membutuhkan
pemahaman dalam mengembangkan konsep dirinya sebagai individu. Individu akan
memiliki konsep diri yang baik apabila ia didukung oleh pemahaman terhadap dirinya
yang baik pula yang ia peroleh dari dirinya sendiri maupun dari orang-orang di
sekitarnya. Sebaliknya, konsep diri akan terbentuk dengan kualitas yang buruk apabila
individu memahami dirinya sebagai sosok yang lemah, tidak berarti, buruk dan
sebagainya yang penilaian-penilaian itu ia peroleh dari dirinya sendiri maupun dari
orang lain.

Kondisi ini tidak dapat dipandang sebagai hal yang sederhana mengingat setiap
individu memiliki tugas perkembangan yang dinamis dengan berorientasi pada
pengembangan diri untuk masa depannya agar ia mampu mandiri dan berkontribusi
bagi kehidupannya, baik secara pribadi maupun sosial dengan berpijak pada
perkembangan konsep diri yang kondusif bagi kehidupannya secara komprehensif.
Maka perlu adanya pemahaman individu dan lingkungan terhadap anak dengan
kebutuhan khusus yang dapat diperankan oleh masyarakat secara umum, khususnya
bagi orang tua maupun guru sebagai pelaku didik mereka mengenai hal yang terdapat
dalam diri mereka meliputi karakteristik mereka serta pemahaman tentang
pendampingan dan pendidikan apa yang dapat diberikan bagi anak dengan anak
dengan kebutuhan khusus untuk membentuk konsep diri yang baik bagi mereka agar
kelak di masa depannya mereka dapat mandiri bahkan ikut berkontribusi terhadap
lingkungan sekitar.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari anak berkebutuhan khusus?
2. Apa saja faktor penyebab anak berkebutuhan khusus?
3. Apa saja jenis-jenis anak berkebutuhan khusus?
4. Bagaimana konsep diri bagi anak berkebutuhan khusus?
5. Bagaimana intervensi pendidikan dalam membentuk konsep diri yang positif bagi
anak berkebutuhan khusus?

C. Tujuan Pembuatan Makalah


1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah BK Berkebutuhan Khusus.
2. Untuk mengetahui pengertian anak berkebutuhan khusus.
3. Untuk mengetahui faktor penyebab anak berkebutuhan khusus.
4. Untuk mengetahui jenis-jenis anak berkebutuhan khusus.
5. Untuk mengetahui konsep diri anak berkebutuhan khusus.
6. Untuk mengetahui intervensi pendidikan dalam membentuk konsep diri yang
positif bagi anak berkebutuhan khusus.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus
Dalam dunia pendidikan, kata luar biasa juga merupakan julukan atau sebutan bagi
mereka yang memiliki kekurangan atau mengalami berbagai kelainan dan
penyimpangan yang tidak dialami oleh orang normal pada umumnya. Kelainan atau
kekurangan yang dimiliki oleh mereka yang disebut luar biasa dapat berupa kelainan
dalam segi fisik, psikis, sosial, dan moral.
Pengertian "Luar Biasa" dalam dunia pendidikan mempunyai ruang lingkup
pengertian yang lebih luas daripada pengertian "berkelainan atau cacat" dalam
percakapan sehari-hari. Dalam dunia pendidikan istilah luar biasa mengandung
pengertian ganda, yaitu mereka yang menyimpang ke atas karena mereka memiliki
kemampuan yang luar biasa dibanding dengan orang normal pada umumnya dan
mereka yang menyimpang ke bawah, yaitu mereka yang menderita kelainan atau
ketunaan dan kekurangan yang tidak diderita oleh orang normal pada umumnya.
Anak berkebutuhan khusus (dulu disebut sebagai anak luar biasa) didefinisikan
sebagai anak yang memerlukan pendidikan dan layanan khusus untuk
mengembangkan potensi kemanusiaan mereka secara sempurna. Anak Luar Biasa
juga dapat didefinisikan sebagai anak yang Berkebutuhan Khusus. Anak luar biasa
disebut sebagai Anak Berkebutuhan Khusus, karena dalam rangka untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya, anak ini membutuhkan bantuan layanan pendidikan, layanan
sosial, layanan bimbingan dan konseling dan berbagai jenis layanan lainnya yang
bersifat khusus.1
Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memerlukan penanganan khusus karena
adanya gangguan perkembangan dan kelainan yang dialami anak. Berkaitan dengan
istilah disability, maka anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki
keterbatasan di salah satu atau beberapa kemampuan baik itu bersifat fisik seperti
tunanetra dan tunarungu, maupun bersifat psikologis seperti autism dan ADHD.
Pengertian lainnya bersinggungan dengan istilah tumbuh-kembang normal dan
abnormal, pada anak berkebutuhan khusus bersifat abnormal, yaitu terdapat
penundaan tumbuh kembang yang biasanya tampak di usia balita seperti baru bisa
1
MM Shinta Pratiwi, Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus, (Semarang: Semarang University Press,
2011), hlm. 1.
berjalan di usia 3 tahun. Hal lain yang menjadi dasar anak tergolong berkebutuhan
khusus yaitu ciri-ciri tumbuh-kembang anak yang tidak muncul (absent) sesuai usia
perkembangannya seperti belum mampu mengucapkan satu katapun di usia 3 tahun,
atau terdapat penyimpangan tumbuh-kembang seperti perilaku echolalia atau membeo
pada anak autis.
Pemahaman anak berkebutuhan khusus terhadap konteks, ada yang bersifat biologis,
psikologis, sosio-kultural. Dasar biologis anak berkebutuhan khusus bisa dikaitkan
dengan kelainan genetik dan menjelaskan secara biologis penggolongan anak
berkebutuhan khusus, seperti brain injury yang bisa mengakibatkan kecacatan
tunaganda. Dalam konteks psikologis, anak berkebutuhan khusus lebih mudah
dikenali dari sikap dan perilaku, seperti gangguan pada kemampuan belajar pada anak
slow learner, gangguan kemampuan emosional dan berinteraksi pada anak autis,
gangguan kemampuan berbicara pada anak autis dan ADHD. Konsep sosio-kultural
mengenal anak berkebutuhan khusus sebagai anak dengan kemampuan dan perilaku
yang tidak pada umumnya, sehingga memerlukan penanganan khusus.
Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia
2013, menjelaskan bahwa anak berkebutuhan khusus adalah:
“Anak yang mengalami keterbatasan atau keluarbiasaan,baik fisik, mental-
intelektual, sosial, maupun emosional, yang berpengaruh secara signifikan dalam
proses pertumbuhan atau perkembangannya, dibandingkan dengan anak-anak lain
yang seusia dengannya”.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa anak berkebutuhan khusus (Heward, 2002)
adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya
tanpa selalu menunjukkan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik. Istilah lain
bagi anak berkebutuhan khusus adalah anak luar biasa dan anak cacat. Anak dengan
kebutuhan khusus (special needs children) dapat diartikan secara simpel sebagai anak
yang lambat (slow) atau mangalami gangguan (retarded) yang sangat sukar untuk
Berhasil di sekolah sebagaimana anak-anak pada umumnya. Anak berkebutuhan
khusus adalah anak yang secara pendidikan memerlukan layanan yang spesifik yang
berbeda dengan anak-anak pada umumnya.
Banyak istilah yang dipergunakan sebagai variasi dari kebutuhan khusus, seperti
disability, impairment, dan handicap. Menurut World Health Organization (WHO),
definisi masing-masing istilah adalah sebagai berikut: Disability yaitu keterbatasan
atau kurangnya kemampuan (yang dihasilkan dari impairment) untuk menampilkan
aktivitas sesuai dengan aturannya atau masih dalam batas normal, biasanya digunakan
dalam level individu. Impairment yaitu kehilangan atau ketidaknormalan dalam hal
psikologis, atau struktur anatomi atau fungsinya, biasanya digunakan pada level
organ. Handicap yaitu ketidakberuntungan individu yang dihasilkan dari impairment
atau disability yang membatasi atau menghambat pemenuhan peran yang normal pada
individu.2
B. Faktor Penyebab Anak Berkebutuhan Khusus
Faktor-faktor penyebab anak menjadi berkebutuhan khusus, dilihat dari waktu
kejadiannya dapat dibedakan menjadi tiga klasifikasi, yaitu kejadian sebelum
kelahiran, saat kelahiran dan penyebab yang terjadi setelah lahir.
1. Pre-Natal
Terjadinya kelainan anak semasa dalam kandungan atau sebelum proses kelahiran.
Kejadian tersebut disebabkan oleh faktor internal yaitu faktor genetik dan
keturunan, atau faktor eksternal yaitu berupa Ibu yang mengalami pendarahan bisa
karena terbentur kandungannya atau jatuh sewaktu hamil, atau memakan makanan
atau obat yang menciderai janin dan akibta janin yang kekurangan gizi.
Berikut adalah hal-hal sebelum kelahiran bayi yang dapat menyebabkan terjadinya
kelainan pada bayi:
a. Infeksi Kehamilan
Infeksi kehamilan ini bisa terjadi akibat virus Liptospirosis yang berasal dari
air kencing tikus, lalu virus maternal rubella/morbili/campak Jerman dan virus
retrolanta Fibroplasia RLF.
b. Gangguan Genetika
Gangguan genetika ini dapat terjadi akibat kelainan kromosom, transformasi
yang mengakibatkan keracunan darah (Toxaenia) atau faktor keturunan.
c. Usia Ibu Hamil (high risk group)
Usia ibu hamil yang beresiko menyebabkan kelainan pada bayi adalah usia
yang terlalu muda, yaitu 12-15 tahun dan terlalu tua, yaitu di atas 40 tahun.
Usia yang terlalu muda memiliki organ seksual dan kandungan yang pada
dasarnya sudah matang dan siap untuk memiliki janin namun secara psikologis
belum siap terutama dari sisi perkembangan emosional sehingga mudah stres
dan depresi. Wanita dengan usia di atas 40, sejalan dengan perkembangan
jaman dan semakin banyaknya polusi zat serta pola hidup yang tidak sehat,
2
Dinie Ratri Desiningrum, Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus, (Yogyakarta: Psikosain, 2016), hlm.1-2.
bisa menyebabkan kandungan wanita tersebut tidak sehat dan mudah
terinfeksi penyakit.
d. Keracunan Saat Hamil
Keracunan dapat terjadi saat hamil, yaitu bisa diakibatkan janin yang
kekurangan vitamin atau bahkan kelebihan zat besi /timbal misalnya dari
hewan laut seperti mengkonsumsi kerang hijau dan tuna instant secara
berlebihan. Selain itu, penggunaan obat-obatan kontrasepsi ketika wanita
mengalami kehamilan yang tidak diinginkan seperti percobaan abortus yang
gagal, sangat memungkinkan bayi lahir cacat.
e. Penyakit menahun seperti TBC (tuberculosis)
Penyakit TBC ini dapat terjangkit pada individu yang tertular oleh pengidap
TBC lain, atau terjangkit TBC akibat bakteri dari lingkungan (sanitasi) yang
kotor. Penyakit TCB ini harus mendapatkan perawatan khusus dan rutin. Pada
ibu hamil yang mengidap TBC, maka dapat mengganggu metabolisme tubuh
ibu dan janin sehingga bayi bisa tumbuh tidak sempurna.
f. Infeksi karena penyakit kotor
Penyakit kotor yang dimaksud adalah penyakit kelamin/sipilis yang bisa
terjangkit pada ibu. Organ kelamin yang terkena infeksi penyakit sipilis ini
dapat menyebabkan tubuh ibu menjadi lemah dan mudah terkena penyakit
lainnya yang dapat membahayakan bagi janin dan ibu.
g. Toxoplasmosis (yang berasal dari virus binatang seperti bulu kucing),
trachoma dan tumor.
Penyakit-penyakit tersebut tergolong penyakit yang kronis namun
perkembangan ilmu kedokteran sudah menemukan berbagai obat imunitas,
seperti pada ibu yang sudah diketahui tubuhnya mengandung virus
toxoplasma, maka sebelum kehamilan dapat diimunisasi agar virus tersebut
tidak membahayakan janin kelak.
h. Faktor rhesus (Rh) anoxia prenatal, kekurangan oksigen pada calon bayi.
Jenis rhesus darah ibu cukup menentukan kondisi bayi, terutama jika berbeda
dengan bapak. Kelainan lainnya adalah ibu yang terjangkit virus yang bisa
menyebabkan janin kekurangan oksigen sehingga pertumbuhan otak janin
terganggu.
i. Pengalaman traumatic yang menimpa pada ibu.
Pengalaman traumatic ini bisa berupa shock akibat ketegangan saat
melahirkan pada kehamilan sebelumnya, syndrome baby blues, yaitu depresi
yang pernah dialami ibu akibat kelahiran bayi, atau trauma akibat benturan
pada kandungan saat kehamilan.
j. Penggunaan sinar X
Radiasi sinar X dari USG yang berlebihan, atau rontgent, atau terkena sinar
alat-alat pabrik, dapat menyebabkan kecacatan pada bayi karena merusak sel
kromosom janin.
2. Peri-Natal
Sering juga disebut natal, waktu terjadinya kelainan pada saat proses kelahiran
dan menjelang serta sesaat setelah proses kelahiran. Misalnya kelahiran yang sulit,
pertolongan yang salah, persalinan yang tidak spontan, lahir prematur, berat badan
lahir rendah, infeksi karena ibu mengidap Sipilis. Berikut adalah hal-hal yang
dapat mengakibatkan kecacatan bayi saat kelahiran:
a. Proses kelahiran lama, prematur, kekurangan oksigen (Aranatal noxia)
Bayi postmatur atau terlalu lama dalam kandungan seperti 10 bulan atau lebih,
dapat menyebabkan bayi lahir cacat. Hal ini dapat terjadi karena cairan
ketuban janin yang terlalu lama jadi mengandung zat-zat kotor yang
membahayakan bayi. Bayi yang prematur atau lahir lebih cepat dari usia
kelahiran, seperti 6-8 bulan, bisa berakibat kecacatan. Apalagi ketika bayi
mengalami kekurangan berat badan ketika kelahiran.
b. Bayi lahir di usia matang yaitu kurang lebih 40 minggu jika memang sudah
sempurna pertumbuhan organnya, terutama otak
Otak yang belum tumbuh sempurna, dapat menyebabkan kecacatan pada bayi
ketika lahir. Bayi yang ketika lahir tidak langsung dapat menghirup oksigen,
misalnya karena terendam ketuban, cairan kandungan masuk ke paru-paru dan
menutupi jalan pernapasan, atau akibat proses kelahiran yang tidak sempurna
sehingga kepala bayi terlalu lama dalam kandungan sementara tubuhnya sudah
keluar dan bayi menjadi tercekik, maka proses pernapasan bisa tertunda dan
bayi kekurangan oksigen.
c. Kelahiran dengan alat bantu
Alat bantu kelahiran meskipun tidak seluruhnya, dapat menyebabkan
kecacatan otak bayi (brain injury), misalnya menggunakan vacum, tang
verlossing.
d. Pendarahan
Pendarahan pada ibu bisa terjadi akibat placenta previa, yaitu jalan keluar bayi
yang tertutup oleh plasenta, sehingga ketika janin semakin membesar, maka
gerakan ibu dapat membenturkan kepala bayi pada plasenta yang mudah
berdarah, bahkan sangat membahayakan ketika bayi dipaksa lahir normal
dalam kondisi tersebut. Pendarahan juga bisa terjadi karena ibu terjangkit
penyakit (sipilis, AIDS/HIV, kista).
e. Kelahiran sungsang
Bayi normal akan lahir dalam proses kepala keluar terlebih dahulu. Bayi
dikatakan sungsang apabila kaki atau bokong bahkan tangan yang keluar dulu.
Ibu bisa melahirkan bayinya secara sungsang tanpa bantuan alat apapun,
namun ini sangat beresiko bayi menjadi cacat karena kepala yang lebih lama
dalam kandungan, bahkan bisa berakibat kematian bayi dan ibu. Ketika posisi
bayi sungsang, biasanya dokter menganjurkan untuk melakukan operasi caesar
agar terhindar dari resiko kecacatan dan kematian bayi.
f. Tulang ibu yang tidak proporsional (Disproporsi sefalopelvik)
Ibu yang memiliki kelainan bentuk tulang pinggul atau tulang pelvik, dapat
menekan kepala bayi saat proses kelahiran. Hal ini dapat dihindari dengan
melakukan operasi caesar saat melahirkan.
3. Pasca-Natal
Terjadinya kelainan setelah anak dilahirkan sampai dengan sebelum usia
perkembangan selesai (kurang lebih usia 18 tahun). Ini dapat terjadi karena
kecelakaan, keracunan, tumor otak, kejang, diare semasa bayi. Berikut adalah hal-
hal yang dapat menyebabkan kecacatan pada anak di masa bayi:
a. Penyakit infeksi bakteri (TBC), virus (meningitis, enchepalitis), diabetes
melitus, penyakit panas tinggi dan kejang-kejang (stuip), radang telinga (otitis
media), malaria tropicana
Penyakit-penyakit tersebut adalah penyakit-penyakit kronis yang bisa
disembuhkan dengan pengobatan yang intensif, namun jika terkena pada bayi
maka dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan fisik dan mental
anak, karena terkait dengan pertumbuhan otak di tahun-tahun pertama
kehidupan (golden age).
b. Kekurangan zat makanan (gizi, nutrisi)
Gizi dan nutrisi yang sempurna sangat dibutuhkan bayi setelah kelahiran. Gizi
tersebut dapat diperoleh dari ASI di 6 bulan pertama, dan makanan penunjang
dengan gizi seimbang di usia selanjutnya. Jika bayi kekurangan gizi atau
malnutrisi, maka perkembangan otaknya akan terhambat dan bayi dapat
mengalami kecacatan mental.
c. Kecelakaan
Kecelakaan pada bayi terutama pada area kepala dapat mengakibatkan luka
pada otak (brain injury), dan otak sebagai organ utama kehidupan manusia
jika mengalami kerusakan maka dapat merusak pula sistem/fungsi tubuh
lainnya.
d. Keracunan
Racun yang masuk dalam tubuh bayi, bisa dari makanan dan minuman yang
dikonsumsi bayi, jika daya tahan tubuh bayi lemah maka dapat meracuni
secara permanen. Racun bisa berasal dari makanan yang kadaluarsa/busuk
atau makanan yang mengandung zat psikoaktif. Racun yang menyebar dalam
darah bisa dialirkan pula ke otak dan menyebabkan kecacatan pada bayi.3
C. Jenis-jenis Anak Berkebutuhan Khusus
1. Tunanetra
Tunanetra berasal dari kata tuna yang berarti rusak atau rugi dan netra yang berarti
mata. Jadi tunanetra yaitu individu yang mengalami kerusakan atau hambatan
pada organ mata.4 Tunanetra merupakan salah satu tipe anak berkebutuhan khusus
(ABK), yang mengacu pada hilangnya fungsi indera visual seseorang. Untuk
melakukan kegiatan kehidupan atau berkomunaksi dengan lingkungannya mereka
menggunakan indera non-visual yang masih berfungsi, seperti indera
pendengaran, perabaan, pembau, dan perasa (pengecapan).
Menurut Ardhi dalam bukunya, klasifikasi tunanetra berdasarkan daya
penglihatannya terbagi menjadi tiga, diantaranya sebagai berikut.
a. Tunanetra ringan (defective vision/low vision); yakni mereka yang memiliki
hambatan dalam penglihatan akan tetapi mereka masih dapat mengikuti
program-program pendidikan dan mampu melakukan pekerjaan/kegiatan yang
menggunakan fungsi penglihatan.
3
Dinie Ratri Desiningrum, Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus, (Yogyakarta: Psikosain, 2016), hlm. 3-
6.
4
Esthy Wikasanti, Pengembangan Life Skills untuk Anak Berkebutuhan Khusus, (Yogyakarta: Redaksi
Maxima, 2014), hlm. 9-10.
b. Tunanetra setengah berat (partially sighted); yakni mereka yang kehilangan
sebagian daya penglihatan, hanya dengan menggunakan kaca pembesar
mampu mengikuti pendidikan biasa atau mampu membaca tulisan yang
bercetak tebal.
c. Tunanetra berat (totally blind); yakni mereka yang sama sekali tidak dapat
melihat.5
2. Tunarungu
Tunarungu adalah kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar baik
sebagian atau seluruhnya yang dialami oleh individu, penyebabnya yaitu karena
tidak fungsinya sebagian atau seluruh alat pendengaran, sehingga individu
tersebut tidak dapat menggunakan alat pendebngarannya dalam kehidupan sehari-
hari.
Tunarungu sendiri dibagi dalam beberapa kelompok, yaitu sebagai berikut.
a. Gangguan pendengaran sangat ringan (27-40 dB)
b. Gangguan pendengaran ringan (41-55 dB)
c. Gangguan pendengaran sedang (56-70 dB)
d. Gangguan pendengaran berat (71-90 dB)
e. Gangguan pendengaran ekstrem/tuli (diatas 91 dB)
3. Tunagrahita
Anak tunagrahita adalah suatu kondisi anak yang mengalami kesulitan dan
keterbatasan perkembangan mental-intelektual dan ketidakcakapan dalam
komunikasi sosial di bawah rata-rata, sehingga mengalami hambatan dalam
menyelesaikan tugas-tugasnya. Seseorang dikatakan tunagrahita apabila memiliki
tiga indikator, yaitu:
a. Keterhambatan fungsi kecerdasan secara umum atau di bawah rata-rata.
b. Ketidakmampuan dalam perilaku sosial/adaptif.
c. Hambatan perilaku sosial/adaptif terjadi pada usia 13 perkembangan yaitu
sampai dengan usia 18 tahun.
Berdasarkan tingkat kecerdasannya, anak tunagrahita diklasifikasikan menjadi
empat, yaitu:
a. Tunagrahita ringan, yaitu seseorang yang memiliki IQ 55-70.
b. Tunagrahita sedang, seseorang dengan IQ 40-55.
c. Tunagrahita berat, seseorang yang memiliki IQ 25-40.
5
Ardhi Widjaya, Seluk Beluk Tunanetra & Strategi Pembelajarannya, (Yogyakarta: Javalitera, 2012)
d. Tunagrahita berat sekali, yaitu seseorang yang memiliki IQ < 25.6
4. Tunalaras
Anak tunalaras adalah anak yang tidak mampu menyesuaikan diri terhadap
lingkungan sosial atau bertingkah laku menyimpang baik pada taraf sedang, berat
dan sangat berat sebagai akibat terganggunya perkembangan emosi dan sosial atau
keduanya sehingga merugikan dirinya sendiri maupun lingkungan sekolah,
keluarga, dan masyarakat. Anak tunalaras diartikan sebagai anak-anak yang sulit
untuk diterima dalam berhubungan secara pribadi maupun sosial karena memiliki
perilaku ekstrem yang sangat bertentangan dengan norma yang berlaku di
masyarakat. Perilaku ini biasa terjadi secara tidak langsung dan disertai dengan
gangguan emosi yang tidak menyenangkan bagi orang-orang di sekitarnya.
Berdasarkan dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa anak tunalaras
merupakan anak berkelainan emosi dan perilaku.
Kelainan perilaku dan masalah intrapersonal yang dialami anak secara ekstrim,
sehingga anak mengalami kesulitan dalam menyesuaikan perilakunya dengan
norma umum yang berlaku di masyarakat. Anak tunalaras yang mengalami
hambatan atau gangguan emosi terwujud dalam tiga jenis perbuatan, yaitu senang-
sedih, lambat cepat marah, dan rilekstekanan. Secara umum emosinya
menunjukkan sedih, cepat tersinggung atau marah, rasa tertekan, dan merasa
cemas. Keadaan tersebut seringkali terjadi pada usia anak-anak dan remaja,
akibatnya perkembangan emosi sosial ataupun keduanya akan terganggu. Maka
perlu adanya penyesuaian layanan khusus pengembangan potensi yang dimiliki
anak tunalaras. Berdasarkan kadar ketunalarasannya, anak tunalaras dibagi
menjadi tiga golongan, diantaranya: (1) tunalaras ringan, (2) tunalaras sedang, (3)
tunalaras berat.
5. Anak Cerdas Istimewa dan Bakat Istimewa (CIBI)
Anak berbakat adalah mereka yang memiliki kemampuankemampuan yang
unggul dalam segi kecerdasan (inteligensi), kreativitas, teknik, sosial, estetika,
fisik dan tanggungjawab yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan anak normal
seusianya, sehingga untuk mewujudkan potensinya menjadi prestasi yang nyata
memerlukan penyesuaian pelayanan khusus. Ada tiga golongan anak CIBI yang

6
Tiwi Wira Pratika, Asesmen Siswa Berkebutuhan Khusus di SD Inklusi: Studi Deskriptif, (Yogyakarta:
Universitas Sanata Dharma, 2019)
sesuai dengan tingkat kecerdasan dan keistimewaan masing-masing, yang
meliputi (1) Superior, (2) Gifted (Anak Berbakat), dan (3) Genius.
Definisi menurut IDEA adalah anak yang memiliki kemampuan yang melebihi
dari kemampuan orang lain pada umumnya dan mampu untuk menunjukkan hasil
kerja yang sangat tinggi. Cerdas istimewa dan berbakat istimewa ini dapat dilihat
dari berbagai area seperti: kemampuan intelektual secara umum, akademis yang
khusus, berfikir kreatif, kepemimpinan, seni, dan psikomotor. Seorang anak dapat
dikatakan berbakat apabila ia memiliki kemampuan yang di atas rata-rata,
memiliki komitmen terhadap tugas yang tinggi dan juga kreatif.7
6. Tunadaksa
Tunadaksa berasal dari dua kata yaitu tuna dan daksa, tuna memiliki arti “kurang”
dan daksa yang berarti "tubuh". Tunadaksa juga dapat diartikan kekurangan yang
ada pada tubuh, kekurangan pada tunadaksa terlihat dari adanya anggota tubuh
yang tidak sempurna. Tunadaksa terkadang disebut cacat padahal tunadaksa hanya
cacat pada anggota tubuhnya saja bukan pada inderanya.
Anak tunadaksa yaitu anak yang mengalami kelainan atau kecacatan yang ada
pada sistem tulang, otot, tulang dan persendian. Tunadaksa ini disebabkan oleh
berbagai hal yaitu kelainan bawaan, kecelakaan atau kerusakan otak. Gangguan
yang terjadi pada penyitas tunadaksa biasanya berpengaruh pada kecerdasan,
komunikasi, gangguan gerak, perilaku dan cara beradaptasi.8
Jenis kecacatan anak tunadaksa terbagi menjadi tiga, yaitu sebagai berikut.
a. Tunadaksa taraf ringan. Termasuk dalam klasifikasi ini adalah tunadaksa
murni dan tunadaksa kombinasi ringan. Tunadaksa jenis ini pada umumnya
hanya mengalami sedikit gangguan mental dan kecerdasannya cenderung
normal. Kelompok ini lebih banyak disebabkan adanya kelainan anggota
tubuh saja. Seperti lumpuh, anggota tubuh berkurang (buntung) dan cacat fisik
lainnya.
b. Tunadaksa taraf sedang. Termasuk dalam klasifikasi ini adalah tunadaksa
akibat cacat bawaan, cerebral palsy ringan dan polio ringan. Kelompok ini
banyak dialami dari tuna akibat cerebral palsy (tunamental) yang disertai
dengan menurunnya daya ingat walau tidak sampai jauh dibawah normal.

7
Mirnawati, Identifikasi Anak Berkebutuhan Khusus di Sekolah Inklusi, (Yogyakarta: Deepublish, 2020)
8
Asep Karyana dan Sri Widiati, Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus, (Jakarta: PT Luxima Metro
Media, 2013)
c. Tunadaksa taraf berat. Termasuk dalam klasifikasi ini adalah tuna akibat
cerebral palsy berat dan ketunaan akibat infeksi. Pada umumnya, anak yang
terkena kecacatan ini tingkat kecerdasannya tergolong dalam kelas debil,
embesil dan idiot.9
7. Autis
Autisme yaitu gangguan pada perkembangan neurobiologis yang kompleks dan
berlangsung sepanjang hidup seseorang. Autisme biasanya memiliki masalah
dengan interaksi sosial dan komunikasi, sehingga mereka mengalami kesulitan
untuk berbicara, atau mereka tidak fokus saat berkomunikasi. Terkadang penyitas
autisme memiliki perilaku yang harus mereka lakukan atau yang mereka lakukan
berulang-ulang, contohnya mengatakan kalimat yang sama berulang-ulang.
Mereka terkadang juga menggunakan isyarat atau dengan cara menujuk sesuatu
objek untuk menggambarkan isi hati mereka. Autisme juga terkadang memberikan
respon yang berbeda jika mereka sedang mengalami kesedihan bahkan bisa
melukai dirinya sendiri.
Ciri-ciri anak autism yaitu memiliki gangguan sebagai berikut.
a. Gangguan dalam interaksi sosial
1) Ditandai penurunan dalam penggunaan beberapa perilaku nonverbal
seperti tidak melihat lawan biacaranya, ekspresi datar, dan lain-lain.
2) Kurang menguasai cara untuk mengembangkan hubungan dengan teman
sebaya yang sesuai dengan tingkat perkembangannya.
3) Kuranngnya spontanitas terhadap segala hal yang terjadi seperti ketika
lawan bicara bersedih autisme memberi respon datar.
4) Kurangnya timbal balik sosial atau emosional.
b. Gangguan dalam komunikasi
1) Keterlambatan atau kurangnya perkembangan bahasa lisan.
2) Penurunan kemampuan untuk memulai atau mempertahankan percakapan
dengan orang lain.
3) Mengulang bahasa atau bahasa istimewa.
4) Permainan khayalan spontan atau permainan imitatif sosial yang kurang
sesuai untuk tingkat perkembangan.
c. Gangguan pola perilaku, minat, dan kegiatan yang berulang

9
A. Rizeki Afiah, Penanganan Pembelajaran Pada Anak Berkebutuhan Khusus, (Sidoarjo: Universitas
Muhammadiyah, 2018)
1) Keasyikan dengan satu atau lebih yang tidak normal baik dalam intensitas
maupun fokus.
2) Kepatuhan yang tampaknya tidak fleksibel terhadap rutinitas atau ritual
khusus yang tidak memiliki fungsi yang penting.
3) Menggerakkan anggota tubuh secara berulang seperti menepuk tangan
secara terus menerus.
4) Keasyikan dengan bagian benda tertentu.
8. Tunawicara
Menurut Samuel A. Krik, (1986) dalam buku Moores (2001:27), “tunawicara
adalah individu yang mengalami kesulitan berbicara. Hal ini dapat disebabkan
oleh kurang atau tidak berfungsinya alat-alat bicara, seperti rongga mulut, lidah,
langit-langit dan pita suara. Selain itu, kurang atau tidak berfungsinya organ
pendengaran, keterlambatan perkembangan bahasa, kerusakan pada system saraf
dan struktur otot, serta ketidakmampuan dalam kontrol gerak juga dapat
mengakibatkan keterbatasan dalam berbicara. Selanjutnya menurut Bambang
Nugroho (2001:4), “tunawicara (bisu) disebabkan oleh gangguan pada organ-
organ seperti tenggorokan, pita suara, paru-paru, mulut, lidah, dsb”. Tunawicara
(bisu) sering diasosiasikan dengan tunarungu (tuli) karena ada sebuah saraf
eustachius yaitu saraf yang menghubungkan telinga tengah dengan rongga mulut
adapun organ berbicara antara lain mulut, hidung, kerongkongan, batang
tenggorokan, dan paru-paru. Menurut Bambang Nugroho (2001:7), “penghubung
penting lainnya antara telinga dan mulut adalah saraf trigeminal yaitu saraf yang
terhubung ke otot martil, serta ke otot-otot yang memungkinkan kita mengunyah
dan menutup mulut, yaitu otot temporal dan otot masseter”.10
9. ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder)
ADHD merupakan suatu gangguan neurobiologi dan bukan penyakit yang
mempunyai penyebab yang spesifik. ADHD adalah suatu kondisi di mana anak-
anak mengalami gangguan pada pusatan perhatian yang disebabkan oleh
kerusakan kecil pada sistem saraf pusat dan otak sehingga rentang konsentrasi
anak menjadi lebih pendek dan sulit dikendalikan. Menurut Barkley (2007: 78),
ADHD (Attentions Deficit Hyperactivity Disorder) adalah sebuah gangguan di

10
Ryska April Yanda dkk, Pengaruh Metode Drill pada Renang Gaya Dada untuk Peserta Didik
Tunawicara di Sekolah Luar Biasa Dharma Asih Kota Pontianak, (Pontianak: Jurnal Pendidikan dan
Pembelajaran Khatulistiwa, 2018), hlm. 1-9.
mana respon menjadi terhalang dan mengalami fungsi ganda pelaksanaan yang
mengarah terhadap kurangnya pengaturan diri, lemahnya kemampuan untuk
mengatur perilaku untuk tujuan sekarang dan masa yang akan datang, serta sulit
untuk beradaptasi terhadap sosial, dan perilaku tuntutan lingkungan.
Sedangkan menurut Baihaqi dan Sugiarman mengemukakan bahwa ADHD
merupakan suatu kondisi anak-anak yang memperlihatkan cirinya yang kurang
konsentrasi, hiperaktif, dan impulsif yang dapat menyebabkan ketidakseimbangan
terhadap aktivitas hidupnya. Umumnya gejala fisik yang tampak pada anak
ADHD adalah alergi shiner (lingkaran hitam di bawah mata) dan hidung
tersumbat. Gejala lainnya misalnya infeksi telinga, alergi (seperti eksim, gatal-
gatal dan asma), gangguan tidur, gangguan pencernaan berupa diare atau sembelit,
sakit kepala dan sakit pada bagian kaki di malam hari. Dilihat dari sifatnya,
umumnya anak ADHD bersifat agresif, penuh semangat, tidak dapat tenang, sulit
diajar, tidak tahan lama melakukan aktivitas, sulit bergaul dengan teman sebaya,
sulit menaati perkataan orang tua dan guru dan tidak mampu menyelesaikan tugas
yang diberikan oleh guru. Sementara itu terdapat ciri-ciri lain yang
menggambarkan tingkah laku anak ADHD, antara lain:
a. Lack of concentration (kurang berkonsentrasi).
b. Unusually aggressive (sangat agresif), dapat dilihat pada tingkah laku anak
saat bermain dengan teman sebayanya.
c. Unaware of physical danger (kurang menyadari bahaya fisik), sehingga
memungkinkan fisik anak terancam bahaya.
d. Impulsive (impulsif), yaitu anak sering tidak mampu bersikap sabar, sehingga
dapat mengatakan/ melakukan sesuatu tanpa berfikir terlebih dahulu.
e. Emotional and intellectual immaturity (Emosional dan intelektualnya tidak
matang).
f. Forgetfull or clumsy (Pelupa/ kikuk).
g. Attention-seeking (mencari perhatian).11
D. Konsep Diri Bagi Anak Berkebutuhan Khusus
Banyak para ahli yang mengemukakan tentang definisi dari konsep diri. Diantaranya
adalah Seifert dan Hoffnung (1994) yang mengidentifikasi bahwa konsep diri adalah
pemahaman diri (sense of self), yakni suatu pemahaman mengenai diri atau ide

11
Mif. Baihaqi dan M. Sugiarmin, Memahami dan Membantu Anak ADHD, (Bandung: Refika Aditama,
2006), hlm. 2-4
tentang diri sendiri. Santrock (1996) menggunakan istilah konsep diri mengacu pada
evaluasi bidang tertentu dari diri sendiri. Sementara itu Atwater (1987) menyebutkan
bahwa konsep diri adalah keseluruhan gambar diri yang meliputi persepsi seseorang
tentang dirinya, perasaan, keyakinan, dan nilai-nilai yang berhubungan dengan
dirinya.12
William H. Fits (1971) mengemukakan bahwa konsep diri merupakan aspek penting
dalam diri seseorang, dimana konsep diri merupakan kerangka acuan (frame of
reference) dalam berinteraksi dengan lingkungan. Fits menjelaskan konsep diri secara
fenomenologis dan mengatakan bahwa ketika individu mempersepsi dirinya,
memberikan arti dan penilaian serta membentuk abstraksi tentang dirinya berarti ia
menunjukkan suatu kesadaran diri (self awareness) dan kemampuan untuk keluar dari
diri sendiri untuk melihat dirinya seperti yang ia lakukan terhadap dunia di luar
dirinya. Diri secara keseluruhan (total self) seperti yang dialami individu disebut juga
diri fenomenal. Diri fenomenal ini adalah diri yang diamati, dialami, dan dinilai oleh
individu sendiri, yaitu diri yang ia sadari. Keseluruhan kesadaran atau persepsi ini
merupakan gambaran tentang diri atau konsep diri individu.13
Pembentukan konsep diri sangat dipengaruhi oleh bagaimana kondisi individu secara
keseluruhan. Ada tiga faktor pembentuk konsep diri yang meliputi pengalaman,
kompetensi dalam area yang dihargai oleh individu dan orang lain serta aktualisasi
diri, atau implementasi dan realisasi dari potensi pribadi yang sebenarnya.
Pada anak berkebutuhan khusus yang begitu banyaknya keterbatasan baik secara fisik
maupun mental tentu menjadi hal yang tidak mudah dalam membangun konsep diri
yang positif bagi mereka. Dalam realita yang ada banyak penolakan dan persepsi yang
buruk yang diberikan oleh lingkungan dimana anak berkebutuhan khusus berada
seperti orang tua, guru, keluarga, teman dan masyarakat secara luas. Disadari atau
tidak, kondisi fisik maupun mental yang berbeda yang melekat pada diri anak
berkebutuhan khusus kerap menjadi stimulus yang memancing respons yang kurang
bersahabat bagi proses perkembangan diri anak berkebutuhan khusus. Sikap resistensi
orang tua, guru maupun teman serta keluarga yang dipersepsi oleh ABK kerap
berdampak pada perkembangan yang buruk dalam aspek kepribadian ABK. Secara
berkepanjangan kondisi ini akan menciptakan perasaan inferior dalam diri mereka
12
Desmita, Psikologi Perkembangan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), hlm. 180.
13
Hendriati Agustiani, Psikologi Perkembangan: Pendekatan Ekologi Kaitannya Dengan Konsep Diri Dan
Penyesuaian Diri Pada Remaja, (Bandung: Refika Aditama, 2006), hlm. 138-139.
yang pada proses yang panjang akan melahirkan konsep diri yang buruk pada diri
ABK.
Pengalaman anak berkebutuhan khusus terkait sikap resistensi lingkungan terhadap
mereka seperti hinaan, marjinalisasi, serta penolakan-penolakan yang disadari atau
tidak bagi pelakunya akan berdampak pada ketidakmampuan ABK untuk menerima
dirinya. Demikian juga dalam aktualisasi diri mereka yang sangat penuh keterbatasan.
Keterbatasan baik secara kognitif, afektif, psikomotorik maupun psikososial akan
menghambat kesempatannya untuk mengembangkan kompetensi dirinya secara lebih
baik. Keterbatasan secara fisik maupun mental itu pula yang kerap menjadikan ABK
mengalami kegagalan serta rendahnya penghargaan yang ia terima dari lingkungan
sosialnya yang seharusnya menjadi sumber dukungan terbesar dalam pembentukan
konsep diri yang positif. Terbentuknya penilaian individu tentang dirinya dalam
dimensi eksternal juga dapat dipengaruhi oleh penilaian dan interaksinya dengan
orang lain. Seseorang tidak begitu saja memperoleh penilaian tentang fisiknya tanpa
ia memperoleh kontribusi dari reaksi orang lain terhadap kondisinya.14 Maka pada
dasarnya, kondisi anak berkebutuhan khusus memiliki posisi yang sangat sensitif
dalam proses pembentukan konsep diri mereka sehingga dibutuhkan pendampingan
yang lebih khusus dalam proses pendidikan dan keterampilan mereka.
E. Intervensi Pendidikan dalam Membentuk Konsep Diri yang Positif Bagi Anak
Berkebutuhan Khusus
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa konsep diri pada setiap individu terus mengalami
proses perkembangan sepanjang rentang kehidupannya. Perkembangan konsep diri
tersebut sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya adalah faktor
lingkungan.
Pada anak berkebutuhan khusus, kondisi yang berbeda baik secara fisik maupun
psikis yang melekat pada diri mereka akan memicu munculnya respons negatif dari
lingkungan dimana anak berkebutuhan khusus ini melakukan aktualisasi diri. Diantara
respons lingkungan yang sering di persepsi oleh ABK dari lingkungannya adalah
sikap resistensi yang cukup tinggi terhadap dirinya dengan segenap keterbatasannya
yang akan membentuk persepsi yang buruk terhadap diri ABK akan keberadaan
dirinya. Pada akhirnya, akan muncul penolakan terhadap diri sendiri yang secara
berkepanjangan akan mengakibatkan sikap frustasi, depresi, dan sikap-sikap negatif
lainnya yang menghambat perkembangan konsep dirinya baik secara secara personal
14
Hendriati Agustiani, Psikologi Perkembangan: Pendekatan Ekologi ..., hlm. 142.
maupun sosial. Padahal, orientasi yang paling mendasar dalam mendampingi ABK
adalah dalam rangka membangun kemandirian ABK secara utuh sehingga secara
jangka panjang ia mampu menyelesaikan semua tugas perkembangannya bahkan
mampu melakukan aktualisasi diri secara lebih baik di masa depannya.
Dalam mendampingi anak berkebutuhan khusus, selain orang tua, peran pendidik pun
sangat berkontribusi dalam membantu anak berkebutuhan khusus untuk mencapai
kemandirian melalui pengembangan konsep diri mereka. Selain membekali
pendidikan dan keterampilan khusus bagi para guru anak berkebutuhan khusus, di
dalam pendampingan dan proses pendidikan bagi mereka pun harus dilakukan dengan
penuh empati.
Pendidikan yang diberikan pada anak berkebutuhan khusus hendaknya lebih
mengedepankan sikap empati para guru dimana para guru memiliki kepedulian, rasa
cinta dan penerimaan terhadap kondisi mereka apa adanya. Hal ini sebagaimana
pengalaman terapi yang pernah dilakukan oleh Bettelheim, seorang pendidik di
Orthogenic School di Chicago, dimana ia bersama stafnya memberikan layanan
pendidikan dan perawatan pada anak yang mengalami berbagai gangguan emosi
khususnya autism.
Menurut Bettelheim, keberhasilannya dalam membangun kepribadian para siswanya
adalah dengan mengembangkan cinta, perhatian dan perlindungan yang melimpah
ruah terhadap para peserta didiknya. Di mata Bettelheim, pendidik bagi anak
berkebutuhan khusus hendaknya mampu memberikan terapi yang mencakup
penyediaan banyak cinta dan perhatian, memberikan penghargaan secara penuh
terhadap diri mereka apa adanya sebagai manusia. Bettelheim juga meyakini sikap
terapis yang menerima dan menghargai segala symptom-symptom yang terdapat dalam
diri anak berkebutuhan khusus akan membantu mereka untuk terlepas dari
penderitaan yang ada pada mereka. Guru atau terapis hendaknya mampu melakukan
komunikasi dengan anak berkebutuhan khusus, bukan dengan tujuan agar si anak
berkebutuhan khusus mampu memasuki dunia terapis atau guru, namun sebaliknya,
hendaknya guru atau terapis melakukan komunikasi dengan memasuki dunia mereka
sebagai bentuk usaha guru atau terapis untuk memahami pengalaman unik mereka.15
Keberhasilan Betttelheim sebagaimana disebutkan di atas adalah salah satu gambaran
bagaimana kita memberikan pendidikan dan pendampingan anak berkebutuhan
khusus untuk menyelesaikan tugas perkembangannya. Keberhasilan mereka dalam
15
William Crain, Teori Perkembangan: Konsep Aplikasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 480.
menyelesaikan tugas perkembangannya akan beriringan dalam proses pembentukan
konsep diri yang positif bagi anak berkebutuhan khusus. Perasaan diterima dan
dihargai akan memberikan dampak pada kepuasan diri bagi anak berkebutuhan
khusus terhadap dirinya sendiri yang hal tersebut adalah menjadi indikator bagi
pencapaian keberhasilan mereka dalam membentuk konsep diri yang positif. Dengan
segenap keterbatasan baik secara fisik maupun mental, mereka akan tetap mampu
melakukan aktualisasi diri secara mandiri melalui pengembangan konsep diri
yangtelah berhasil mereka dengan dukungan lingkungan yang kondusif yang dapat
diberikan oleh guru sebagai salah satu pendukung bagi anak berkebutuhan khusus
untuk merubah kualitas hidupnya secara lebih baik.
Selain dukungan emosional yang disediakan pendidik dalam mendampingi anak
berkebutuhan khusus, dukungan secara material pun juga tidak kalah penting.
Dukungan secara material dapat berupa penyediaan sarana dan prasarana yang
mendukung mereka untuk mencapai kompetensi personalnya secara lebih baik.
Dengan dukungan secara material tersebut, anak berkebutuhan khusus akan
merasakan bahwa dirinya memiliki eksistensi yang dapat diterjemahkan sebagai
bentuk penerimaan lingkungan terhadap mereka. Tentunya hal tersebut akan
membantu mereka dalam melakukan aktualisasi diri sebagaimana teman-teman yang
normal.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Anak berkebutuhan khusus (ABK) adalah anak yang mengalami keterbatasan atau
keluarbiasaan, baik fisik, mental-intelektual, sosial, maupun emosional, yang
berpengaruh secara signifikan dalam proses pertumbuhan atau perkembangannya,
dibandingkan dengan anak-anak lain yang seusia dengannya. Faktor-faktor penyebab
anak menjadi berkebutuhan khusus, dilihat dari waktu kejadiannya dapat dibedakan
menjadi tiga klasifikasi, yaitu kejadian sebelum kelahiran (Pre-Natal), saat kelahiran
(Peri-Natal) dan setelah lahir (Pasca-Natal). Jenis-jenis anak berkebutuhan khusus ada
banyak, di antaranya yaitu tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunalaras, tunadaksa,
tunawicara, anak cerdas istimewa dan bakat istimewa (CIBI), autis, ADHD (Attention
Deficit Hyperactivity Disorder), dan sebagainya.
Konsep diri merupakan aspek penting dalam diri seseorang, dimana konsep diri
merupakan kerangka acuan (frame of reference) dalam berinteraksi dengan
lingkungan. Pada anak berkebutuhan khusus yang begitu banyaknya keterbatasan baik
secara fisik maupun mental tentu menjadi hal yang tidak mudah dalam membangun
konsep diri yang positif bagi mereka. Oleh karena itu, pendidikan yang harus
diberikan pada anak berkebutuhan khusus hendaknya lebih mengedepankan sikap
empati para guru yang memiliki kepedulian, rasa cinta dan penerimaan terhadap
kondisi mereka apa adanya. Selain dukungan emosional yang disediakan pendidik
dalam mendampingi anak berkebutuhan khusus, dukungan secara material pun juga
tidak kalah penting. Dengan dukungan secara material tersebut, anak berkebutuhan
khusus akan merasakan bahwa dirinya memiliki eksistensi yang dapat diterjemahkan
sebagai bentuk penerimaan lingkungan terhadap mereka. Tentunya hal tersebut akan
membantu mereka dalam melakukan aktualisasi diri sebagaimana teman-temannya
yang normal.
B. Saran
Kami sebagai penyusun makalah bukanlah makhluk yang sempurna. Apabila ada
kesalahan kata ataupun kalimat kami memohon untuk diingatkan. Kami berharap
kritik dan saran yang membangun agar kami bisa membuat makalah yang lebih baik
di waktu yang akan datang. Penyusun berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi kita semua. Aamiin.
DAFTAR PUSTAKA

Afiah, A. Rizeki. 2018. Penanganan Pembelajaran Pada Anak Berkebutuhan Khusus.

Sidoarjo: Universitas Muhammadiyah.

Agustiani, Hendriati. 2006. Psikologi Perkembangan: Pendekatan Ekologi Kaitannya


Dengan

Konsep Diri Dan Penyesuaian Diri Pada Remaja. Bandung: Refika Aditama.

Baihaqi, Mif. dan M. Sugiarmin. 2006. Memahami dan Membantu Anak ADHD. Bandung:

Refika Aditama.

Crain, William. 2007. Teori Perkembangan: Konsep Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Desiningrum, Dinie Ratri. 2016. Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta:

Psikosain.

Desmita. 2009. Psikologi Perkembangan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Karyana, Asep dan Sri Widiati. 2013. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta: PT

Luxima Metro Media.

Mirnawati. 2020. Identifikasi Anak Berkebutuhan Khusus di Sekolah Inklusi. Yogyakarta:

Deepublish.

Pratika, Tiwi Wira. 2019. Asesmen Siswa Berkebutuhan Khusus di SD Inklusi: Studi

Deskriptif. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.

Pratiwi, MM Shinta. 2011. Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus. Semarang: Semarang

University Press.

Widjaya, Ardhi. 2012. Seluk Beluk Tunanetra & Strategi Pembelajarannya. Yogyakarta:

Javalitera.
Wikasanti, Esthy. 2014. Pengembangan Life Skills untuk Anak Berkebutuhan Khusus.

Yogyakarta: Redaksi Maxima.

Yanda, Ryska April dkk. 2018. Pengaruh Metode Drill pada Renang Gaya Dada untuk

Peserta Didik Tunawicara di Sekolah Luar Biasa Dharma Asih Kota Pontianak.
Pontianak: Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Khatulistiwa.

Anda mungkin juga menyukai