Anda di halaman 1dari 52

i

PSIKOLOGI PENDIDIKAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Psikologi Pendidikan 2

Dosen Pengampu: Dr. Diana Mutiah M.Si

Disusun Oleh:
Kelas 3D - Kelompok 3

Azka Amaliana Wijaya (11220700000051)

Alizzah Meidina Sari (11220700000126)

Mariyah Alqibtiyah (11220700000142)

Neyla Maharani Putri Amandira (11220700000145)

Mutiara Annisa (11220700000147)

Syifa Raihan MT (11220700000171)

Farhan Naufal Sidie (11220700000220)

Khairunnisa Wulan Syabani (11220700000234)

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya dan
karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Adapun judul
dari makalah ini adalah “Psikologi Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus”.
Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada Ibu Dr. Diana Mutiah M.Si selaku dosen pengampu mata kuliah Psikologi
Pendidikan 2. Kami juga ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang turut
membantu dalam pembuatan makalah ini.
Kami sadar bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, maka
kritik dan saran yang membangun senantiasa kami harapkan, semoga makalah ini dapat
berguna bagi kami pada khususnya dan para pembaca yang berkepentingan pada
umumnya.

Ciputat, 28 Oktober 2023

Pemakalah

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI..................................................................................................ii
BAB 1............................................................................................................. 3
PENDAHULUAN.................................................................................................... 3
A. Latar Belakang..................................................................................... 3
B. Rumusan Masalah................................................................................ 3
C. Tujuan Penulisan.................................................................................. 3
PEMBAHASAN............................................................................................5
A. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus.............................................. 5
B. Macam-macam Anak Berkebutuhan Khusus.......................................8
1. Anak Dengan Hambatan Penglihatan..........................................................9
2. Pendengaran dan bicara (Tunarungu-wicara)............................................ 11
3. Anak dengan hambatan fisik (Tunadaksa)................................................ 13
4. Anak dengan hambatan Intelektual (Tunagrahita).................................... 17
5. Anak dengan Gangguan Emosi dan Perilaku (Tuna Laras)...................... 19
6. Anak Berkesulitan Belajar.........................................................................21
7. Anak Autisme............................................................................................22
8. Anak dengan Inteligensi Tinggi................................................................ 24
9. Anak dengan Gangguan Pemusatan Perhatian.......................................... 25
C. Karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus.........................................27
D. Pelayanan untuk Anak Berkebutuhan Khusus...................................43
1. Bentuk Layanan Pendidikan Segregasi.............................................. 44
BAB III......................................................................................................... 50
PENUTUP.................................................................................................... 50
A. Kesimpulan........................................................................................ 50
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 52

iii
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Anak berkebutuhan khusus atau ABK adalah anak yang memiliki
keterbatasan ataupun kelebihan sehingga membutuhkan pelayanan
khusus, tidak seperti anak lain seusianya. Manusia merupakan makhluk
yang unik dalam alam semesta. Banyak kesamaan yang dimiliki manusia
tetapi juga banyak perbedaan yang dimiliki oleh setiap manusia. Salah
satu bentuk perbedaan itu adalah kebutuhan khusus. Kebutuhan khusus
tersebut memiliki perbedaan masing-masing, ada yang muncul sejak
lahir, ada juga yang muncul setelah manusia tersebut beraktivitas di
dunia ini. Anak Berkebutuhan Khusus merupakan salah satu manusia
yang bisa disebut sangat unik. Karena perbedaan ABK sangat jarang
dimiliki oleh manusia pada umumnya. Dekat kaitannya dengan
pendidikan.
Pendidikan merupakan konsep yang dijalani oleh setiap manusia,
baik formal maupun non formal. Dari kedua hal tersebut itulah yang
membuat peneliti tertarik untuk meneliti, seperti apakah pendidikan
mereka jika mereka berbeda terhadap manusia pada umumnya. Karena
pendidikan adalah hal yang pasti dilakukan oleh setiap manusia,
bagaimanakah sekolah SLB Ulaka Penca Jakarta memaksimalkan metode
pendidikan untuk membentuk ABK yang baik.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Anak Berkebutuhan Khusus?
2. Apa saja macam-macam Anak Berkebutuhan Khusus?
3. Bagaimana karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus?
4. Bagaimana pelayanan yang dapat diterapkan untuk Anak
Berkebutuhan Khusus?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian dari Anak Berkebutuhan Khusus
2. Untuk Mengetahui macam-macam Anak Berkebutuhan Khusus
3. Untuk mengetahui karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus

4
5

4. Untuk mengetahui pelayanan yang dapat diterapkan untuk Anak


Berkebutuhan
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus


Anak berkebutuhan khusus atau yang biasa kita sebut ABK adalah
anak yang membutuhkan penanganan khusus dibanding anak lain seusianya.
Anak berkebutuhan khusus memiliki keterbatasan (disability) dalam
kemampuan baik secara fisik seperti tunarungu dan tunawicara, maupun
secara psikologis seperti autism dan OCD. Keterbatasan itulah yang
membuat mereka mengalami hambatan dalam proses belajar dan
perkembangannya, maka dari itu dibutuhkan tenaga pendidik atau institusi
khusus yang dapat melayani sesuai dengan kebutuhan belajar
masing-masing jenis ABK. Sedangkan menurut para ahli, anak
berkebutuhan khusus adalah:
Anak yang secara signifikan berbeda dalam berbagai dimensi yang
penting dari fungsi kemanusiaannya. Mereka secara fisik, psikologis,
kognitif, ataupun sosial terhambat dalam mencapai tujuan-tujuan atau
kebutuhan dan potensinya secara maksimal, termasuk mereka yang tuli,
buta, mempunyai gangguan bicara, cacat tubuh, retardasi mental, dan
gangguan emosional. Juga anak-anak berbakat dengan intelegensi tinggi,
dapat dikategorikan sebagai anak khusus/luar biasa, karena memerlukan
penanganan yang terlatih dari tenaga profesional. (susan & Rizzo, 1979).
Dalam segi pendidikan, menurut Depdiknas (2004: 2) anak berkebutuhan
khusus yaitu anak yang dalam proses pertumbuhan atau perkembangannya
secara signifikan mengalami kelainan/ penyimpangan dalam hal fisik,
mental-intelektual, sosial, atau emosional dibandingkan dengan anak-anak
lain seusianya. Sehingga setiap anak memerlukan pelayanan pendidikan
yang disesuaikan dengan kebutuhan khususnya masing-masing.
Sebagaimana dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 ayat (1)
setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, begitupun untuk anak
berkebutuhan khusus. Dengan pendidikan yang tepat, mereka diharapkan

6
7

menjadi manusia yang mandiri dan memiliki keterampilan untuk menjalani


kehidupan dimasa yang akan datang, seperti tercantum dalam Undang-
Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Bab 1 Pasal 1 (1). Teknis
layanan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus atau anak yang
memiliki kecerdasan luar biasa dapat diselenggarakan dalam satuan
pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah seperti
SLB, ataupun secara inklusif berupa sekolah reguler. Pendidikan Inklusif
adalah sistem layanan pendidikan yang bersifat terbuka dengan
menyamaratakan hak dan kesempatan setiap siswa dalam mendapatkan
pendidikan, tak terkecuali ABK.
(Sugiarmin, 2006:23) Pendidikan inklusi merupakan pendidikan
yang mengikutsertakan anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus untuk
belajar bersama-sama dengan anak normal lainya. Artinya mereka tidak
mendapat perlakuan khusus ataupun hak-hak istimewa, melainkan
mendapatkan hak dan kewajiban yang sama dengan peserta didik lainnya.
PP No. 17 Tahun 2010 Pasal 129 ayat (3) menetapkan bahwa Peserta didik
berkelainan terdiri atas peserta didik yang: a. tunanetra; b. tunarungu; c.
tunawicara; d. tunagrahita; e. tunadaksa; f. tunalaras; g. berkesulitan belajar;
h. lamban belajar; i.autis; j. memiliki gangguan motorik; k. menjadi korban
penyalahgunaan narkotika, obat terlarang, dan zat adiktif lain; dan l.
memiliki kelainan lain. Menurut Pasal 133 ayat (4) menetapkan bahwa
Penyelenggaraan satuan pendidikan khusus dapat dilaksanakan secara
terintegrasi dalam dua jenis:
1. Integrasi antar jenjang
Adalah integrasi Sekolah Luar Biasa (SLB) dimana TKLB, SDLB,
SMPLB, SMSLB dikelola dalam satu lembaga dan dengan seorang
Kepala Sekolah.
1. Interaksi antar jenis kelainan.
Adalah integrasi Sekolah Luar Biasa (SLB) dimana diselenggarakan
layanan pendidikan bagi beberapa jenis ketunaan. Terdiri dari
TKLB; SDLB, SMPLB, dan SMALB yang masing-masing berdiri
sendiri masing-masing dengan seorang kepala sekolah.
8

Diantara kedua jenis tersebut, jenis layanan yang paling baik adalah
Integrasi Antar Jenis. Penyelenggara (sekolah) mendapat keuntungan
dengan dapat memberikan layanan yang terfokus sesuai kebutuhan anak
seirama perkembangan psikologis anak. Sedangkan bagi anak, anak
menerima layanan sesuai kebutuhan yang sebenarnya karena sekolah
mampu membedakan perlakuan karena memiliki fokus atas dasar
kepentingan anak pada setiap jenjang. Saat ini, penyelenggara pendidikan
khusus masih banyak yang menggunakan integrasi antar jenjang. Ini dapat
merugikan anak, karena dalam prakteknya guru yang mengajar akan
memberikan perlakuan yang relatif sama terhadap anak SDLB, SMPLB,
maupun SMALB. Secara kualitas mengajar dan psikologis juga kurang
baik, karena mengabaikan perbedaan karakteristik rentang usia.
Maka dari itu, penting bagi masyarakat khususnya orang tua untuk
peka terhadap pelayanan anak berkebutuhan khusus. Karena setiap jenis abk
tertentu akan membutuhkan bentuk pelayanan pendidikan yang berbeda
pula. Agar pendidikan yang diberikan efektif dan dapat membantu
meningkatkan pendidikan anak berkebutuhan khusus sehingga akan berguna
untuk masa depannya kelak.
B. Macam-macam Anak Berkebutuhan Khusus
Anak berkebutuhan khusus, tergantung dari kondisi umum
keberadaannya, dapat digolongkan menjadi Anak Berkebutuhan Khusus
sementara dan Anak Berkebutuhan Khusus permanen. Anak Berkebutuhan
Khusus yang bersifat sementara, Mangunsong mengemukakan, bahwa
sebagai akibat dari Krisis Asia ratusan ribu anak-anak hidup atau telah
hidup dalam kondisi dan situasi yang telah menciptakan anak-anak dengan
kebutuhan khusus yang bersifat sementara atau temporer.

Beberapa kondisi yang paling mengkhawatirkan dan umum


dihadapi oleh banyak anak di kota besar dan kecil di Indonesia adalah :
• Kekurangan makanan dan gizi yang baik
• Kurangnya layanan kesehatan yang baik
9

• Ketiadaan tempat tinggal atau Tunawisnia disebabkan kesulitan


keuangan ratusan ribu orang terpaksa hidup di, jalan atau
perumahan liar (dengan atau tanpa orang tua mereka)
• Kehilangan satu atau kedua orang tua disebabkan kematian.
• Terabaikan; diabaikan/dibuang atau perceraian, anak-anak sering
kali mampu mengatasi kematian orang tuanya dengan lebih
mudah daripada pengabaian oleh orang tuanya setelah perceraian
atau anak yang ditelantarkan.
• Penyiksaan secara verbal, sosial, fisik dan seksual
• Penyalahgunaan obat-obatan dan zat-zat berbahaya
• Buruh atau pekerja anak-pekerjaan paruh waktu atau penuh pada
industri, rumah tangga, pertanian, mengemis dll.

Apabila kondisi di atas tidak diatasi dengan baik maka akan


mengakibatkan putus sekolah atau terpaksa putus sekolah. Trauma akibat
perasaan keterpisahan tidak hanya akan menimbulkan kebutuhan
pendidikan khusus tetapi juga kebutuhan sosial khusus.

Terdapat berbagai jenis anak berkebutuhan khusus permanen. Hal ini


tergantung pada perspektif yang digunakan. Dalam buku “Pendidikan Anak
Berkebutuhan Khusus”, ABK dikelompokkan menjadi 9 (sembilan)
kategori, yaitu:

1. Anak Dengan Hambatan Penglihatan


Tunanetra adalah kondisi ketidakmampuan melihat,
meskipun sebenarnya tidak selalu berarti kebutaan total. Dalam
literatur berbahasa Inggris, istilah yang sering digunakan adalah
visually handicapped atau visual impaired. Terdapat pemahaman
keliru yang menyamakan tunanetra dengan kebutaan, padahal
sebenarnya tunanetra mencakup beragam tingkatan. Untuk
anak-anak dengan gangguan penglihatan, mereka bisa didefinisikan
sebagai individu yang memiliki masalah dalam penglihatan yang,
10

meskipun dapat diperbaiki, masih memiliki dampak negatif pada


kehidupan sehari-hari. Definisi ini mencakup anak-anak yang
memiliki sebagian penglihatan yang masih berfungsi dan juga yang
benar-benar buta.

Hallahan dan Kauffman juga menyebutkan bahwa seseorang


dapat dianggap tunanetra jika setelah upaya perbaikan, ketajaman
visualnya tidak melebihi 20/200 atau jika medan penglihatannya
tidak lebih dari 20 derajat setelah berbagai upaya perbaikan pada
kemampuan visual.

Mangungsong menekankan pentingnya medan penglihatan


(field of vision) dan ketepatan penglihatan (visual acuity) dalam
definisi tunanetra. Contohnya, hasil pengukuran menggunakan
Snellen Chart dapat mengindikasikan tingkat penglihatan seseorang.
Sebagai contoh, jika hasilnya adalah 20/20, ini berarti seseorang bisa
melihat simbol pada jarak 20 kaki, seperti mata normal. Namun, jika
hasilnya adalah 20/200, ini berarti orang tersebut hanya bisa melihat
pada jarak 20 kaki, sementara mata normal bisa melihat pada jarak
200 kaki. Dengan kata lain, tunanetra adalah mereka yang memiliki
gangguan penglihatan sehingga tidak dapat menggunakan indera
penglihatannya secara fungsional, dan mereka memerlukan
pelayanan khusus, terutama dalam konteks pendidikan.

Sutjihati dalam bukunya "Psikologi Anak Luar Biasa"


mendefinisikan tunanetra sebagai individu yang tidak memiliki
fungsi penglihatan, baik pada mata kanan maupun kiri, sehingga
mereka tidak bisa menerima informasi visual dalam kehidupan
sehari-hari, berbeda dengan orang yang memiliki penglihatan
normal.
11

Kemudian, terdapat penekanan pada medan penglihatan,


yaitu area yang bisa dilihat seseorang dalam satu waktu, diukur
dalam derajat. Beberapa orang mungkin memiliki keterbatasan
dalam medan penglihatan mereka, terutama dalam situasi yang
penuh orang atau sempit. Heward menyatakan bahwa kerusakan
pada medan penglihatan, baik di pusat maupun di tepi, dapat
mengakibatkan seseorang dianggap buta secara hukum jika medan
penglihatannya terbatas pada 20 derajat atau kurang, dibandingkan
dengan normalnya 180 derajat. Penurunan medan penglihatan bisa
terjadi secara perlahan dan tanpa terdeteksi, oleh itu, pengujian
penglihatan yang komprehensif harus mencakup pengukuran medan
penglihatan dan ketepatan pandangan.

2. Pendengaran dan bicara (Tunarungu-wicara)


Tuna rungu adalah suatu keadaaan kehilangan pendengaran
yang mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap berbagai
rangsangan, terutama melalui indera pendengarannya.

Ketuna-runguan sering kali menyebabkan masalah


komunikasi yang melibatkan keterampilan bahasa, membaca,
menulis, serta penyesuaian sosial dan prestasi akademik. Menurut
Andreas Dwijosumarto, tuna rungu adalah seseorang yang tidak
dapat mendengar suara atau memiliki gangguan pendengaran. Mufti
Salim mendefinisikan anak tuna rungu sebagai anak yang
mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar
akibat kerusakan atau ketidakfungsian sebagian atau seluruh alat
pendengaran, yang menghambat perkembangan bahasa mereka.

Anak-anak tuna rungu ini memerlukan bimbingan dan


pendidikan khusus untuk mencapai kehidupan yang layak. Kesulitan
pertama mereka timbul dari ketidakmampuan mendengar, yang
menghambat pembentukan bahasa sebagai alat komunikasi. Dengan
12

ketidakmampuan berbahasa, terutama secara verbal, mereka


mengalami kesulitan dalam mengekspresikan pikiran, kebutuhan,
dan keinginan kepada orang lain, yang seringkali menyebabkan
frustasi dan isolasi sosial.

Penelitian oleh Yoshinaga-Itano dan Sedey menekankan


pentingnya identifikasi dini dan intervensi pada anak-anak tuna
rungu atau dengan gangguan pendengaran agar mereka dapat
mengembangkan bahasa dan melek huruf dengan baik. Pendidikan
formal di sekolah adalah salah satu upaya untuk membantu mereka,
tetapi kerja sama dengan orangtua, pendekatan terintegrasi, dan
dukungan profesional sangat penting untuk keberhasilan pendidikan
mereka.

Gangguan pendengaran dapat diklasifikasikan berdasarkan


frekuensi dan intensitas. Kepekaan pendengaran diukur dalam hertz
(Hz) dan decibel (dB). Audiometer digunakan untuk mengukur
seberapa baik seseorang dapat mendengar dan tingkat hilangnya
pendengaran, yang direkam dalam bentuk audiogram.

Moores dalam Hallahan dan Kauffman mendefinisikan


tunarungu sebagai kondisi di mana seseorang tidak mampu
mendengar suara dengan baik, terutama dalam konteks bicara atau
bunyi-bunyian lain, baik dalam derajat frekuensi maupun intensitas.
Mereka membedakan antara ketulian dan gangguan pendengaran, di
mana ketulian menghambat kemampuan seseorang dalam
memproses informasi bahasa melalui pendengaran, dengan atau
tanpa alat bantu dengar, sedangkan gangguan pendengaran
umumnya masih memungkinkan pemrosesan informasi bahasa
melalui pendengaran.
13

Ada juga batasan berdasarkan waktu munculnya ketulian,


yaitu Prelingual Deafness yang terjadi sejak lahir atau sebelum
perkembangan bicara dimulai, dan Postlingual Deafness yang terjadi
setelah seseorang menguasai bahasa. Ada juga batasan kuantitatif
yang mengacu pada tingkat hilangnya pendengaran yang dapat
diukur dengan audiometri, menggunakan satuan desibel (dB).

3. Anak dengan hambatan fisik (Tunadaksa)


Tunadaksa berasal dari kata “Tuna“ yang berarti rugi, kurang
dan “daksa“ berarti tubuh. Anak tunadaksa dapat diartikan sebagai
bentuk kelainan atau kecacatan pada sistem otot, tulang, dan
persendian yang bersifat primer atau sekunder yang dapat
mengakibatkan gangguan koordinasi, komunikasi, dan gangguan
perkembangan keutuhan pribadi. Menurut Departemen Kesehatan,
anak tunadaksa adalah anak yang menderita kekurangan yang
sifatnya menetap pada alat gerak (tulang, otot, sendi) sedemikian
rupa sehingga untuk berhasilnya pendidikan mereka perlu
mendapatkan perlakuan khusus.
Tunadaksa memiliki klasifikasi, ada dua klasifikasi secara
umum, yaitu:

1. Anak tunadaksa yang tergolong bagian D (SLB D) ialah anak


yang menderita cacat polio atau lainnya, sehingga mengalami
ketidak normalan dalam fungsi tulang, otot-otot atau
kerjasama fungsi otot-otot, tetapi mereka berkemampuan
normal.
2. Anak tunadaksa yang tergolong bagian D1 (SLB D1) ialah
anak keterbelakangan semenjak lahir atau cerebral palsy,
sehingga mengalami cacat jasmani karena tidak berfungsinya
tulang otot sendi dan syaraf. Kemampuan intelegensi mereka
di bawah normal atau terbelakang.Pada dasarnya kelainan
pada anak tunadaksa dapat dikelompokkan menjadi dua
bagian besar, yaitu (1) kelainan pada sistem serebral
14

(Cerebral System), dan (2) kelainan pada sistem otot dan


rangka (Musculus Skeletal System).
1) Kelainan pada Sistem Serebral (Cerebral System
Disorders)

Kerusakan pada sistem saraf pusat


mengakibatkan bentuk kelainan yang krusial, karena
otak dan sumsum tulang belakang sumsum
merupakan pusat komputer dari aktivitas hidup
manusia. Didalamnya terdapat pusat kesadaran, pusat
ide, pusat kecerdasan, pusat motorik, pusat sensoris
dan lain sebagainya. Kerusakan pada bagian tadi yang
disebut Cerebral Palsy. Cerebral Palsy
diklasifikasikan menjadi 3, yaitu:

a) Penggolongan Berdasarkan Derajat


Kecacatan

Terbagi menjadi 3 golongan, yaitu:

i) Golongan Ringan: Golongan yang


dimana merek dapat hidup
bersama-sama dengan anak normal
lainnya, meskipun cacat tetapi tidak
mengganggu kehidupan dan
pendidikannya.
ii) Golongan Sedang: Golongan ini
memerlukan alat dan treatment khusus
untuk membantu berjalan, berbicara,
dan mengurus dirinya sendiri.
iii) Golongan Berat: Golongan ini
memerlukan bantuan untuk mengurus
dirinya sendiri dan tidak dapat hidup
di tengah-tengah masyarakat.
15

b) Penggolongan Menurut Tipografi

Dilihat dari banyaknya anggota tubuh yang


lumpuh. Terbagi menjadi 6 golongan, yaitu:

i) Monoplegia, hanya satu anggota gerak


yang lumpuh misal kaki kiri sedang
kaki kanan dan kedua tangannya
normal.
ii) Hemiplegia, lumpuh anggota gerak
atas dan bawah pada sisi yang sama,
misalnya tangan kanan dan kaki
kanan, atau tangan kiri dan kaki kiri.
iii) Paraplegia, lumpuh pada kedua
tungkai kakinya.
iv) Diplegia, lumpuh kedua tangan kanan
dan kiri atau kedua kaki kanan dan kiri
(paraplegia).
v) Triplegia, tiga anggota gerak
mengalami kelumpuhan, misalnya
tangan kanan dan kedua kakinya
lumpuh, atau tangan kiri dan kedua
kakinya lumpuh.
vi) Quadriplegia, anak jenis ini
mengalami kelumpuhan seluruhnya
anggota geraknya. Mereka cacat pada
kedua tangan dan kedua kakinya,
quadriplegia disebutnya juga
tetraplegia.
c) Penggolongan Menurut Fisiologi
i) Spastik: Tipe Spastik ini ditandai
dengan adanya gejala kekejangan atau
kekakuan pada sebagian maupun
16

seluruh otot. Kekakuan itu timbul


sewaktu akan digerakan sesuai dengan
kehendak. Dalam keadaan
ketergantungan emosional kekakuan
atau kekejangan itu akan makin
bertambah, sebaliknya dalam keadaan
tenang, gejala itu menjadi berkurang.
ii) Athetoid: Pada tipe ini tidak terdapat
kekejangan atau kekakuan.
Otot-ototnya dapat digerakan dengan
mudah. Ciri khas tipe ini terdapat pada
sistem gerakan. Hampir semua
gerakan terjadi diluar kontrol.
iii) Ataxia: Gangguan utama pada tipe ini
terletak pada sistem koordinasi dan
pusat keseimbangan pada otak.
Akibatnya, anak tuna tipe ini
mengalami gangguan dalam hal
koordinasi ruang dan ukuran.
iv) Tremor: Gejala yang tampak jelas
pada tipe tremor adalah senantiasa
dijumpai adanya gerakan-gerakan
kecil dan terus menerus berlangsung
sehingga tampak seperti bentuk
getaran-getaran.
2) Kelainan pada Sistem Otot dan Rangka (Musculus
Scelatel System
a) Poliomylitis, Penderita polio mengalami
kelumpuhan otot, sehingga ototnya mengecil
dan kekuatannya melemah, suatu kondisi
virus polio menyerang sumsum tulang
17

belakang pada anak yang lebih besar. 2 (dua)


tahun sampai dengan 6 (enam) tahun.
b) Muscle Dystrophy, Anak dengan kelumpuhan
fungsi otot. Kelumpuhan pada penderita
distrofi otot bersifat progresif dan semakin
parah. Keadaan kelumpuhan bersifat simetris,
yaitu pada kedua tangan atau kedua kaki saja,
atau kedua tangan dan kedua kakinya.
Penyebab terjadinya muscle dystrophy belum
diketahui secara pasti. Tanda-tanda anak
menderita muscle dystrophy baru kelihatan
setelah anak berusia 3 (tiga) tahun melalui
gejala yang tampak yaitu gerakan-gerakan
anak lambat, semakin hari keadaannya
semakin mundur jika berjalan sering terjatuh
tanpa sebab terantuk benda, akhirnya anak
tidak mampu berdiri dengan kedua kakinya
dan harus duduk diatas kursi roda.

4. Anak dengan hambatan Intelektual (Tunagrahita)


Dalam kepustakaan asing digunakan istilah mental
retardation, mentally retarded, tal deficiency, mental defective, dan
lain-lain. Istilah tersebut sesungguhnya memiliki arti yang sama
yang menjelaskan isi anak yang kecerdasannya jauh di bawah
rata-rata dan ditandai oleh keterbatasan inteligensi dan
ketidakcakapan dalam interaksi sosial.
Tunagrahita menurut UU Publik Tahun 1990 adalah sebagai
berikut: Keterbelakangan mental adalah suatu keadaan yang
mempunyai kemampuan intelektual secara umum di bawah rata-rata,
disertai dengan berkurangnya dalam perilaku adaptif, dan terjadi
pada tahap perkembangan, dimana diantaranya mempunyai dampak
besar pada kinerja akademik anak-anak (Hawkins Shepard, 1994).
18

Kemampuan intelektual di bawah rata-rata adalah skor IQ 70


hingga 75 atau lebih rendah, berdasarkan tes standar kecerdasan
individu. Defisit perilaku adaptif adalah keterbatasan dalam dua
atau lebih bidang keterampilan adaptif, termasuk bidang:
komunikasi, perawatan diri, pemeliharaan rumah, keterampilan
sosial, kehidupan bermasyarakat, otonomi (pengarahan diri),
kesehatan dan keselamatan, keterampilan belajar, penggunaan waktu
luang dan pekerjaan. Keterbatasan tersebut mengacu pada
keterbatasan dalam kemampuan beradaptasi yang lebih berkaitan
dengan penerapan fungsional dibandingkan keadaan lain seperti
perbedaan budaya atau gangguan sensorik.

Berdasarkan skor IQ-nya, American Association on Mental


Defficiency (AAMD) mengklasifikasikan Tunagrahita ke dalam
empat tingkatan, yaitu:
1. Tunagrahita ringan (mild mental retardation) (IQ 68
52, MA 8,3 10,9 tahun) 2
2. Tunagrahita sedang (moderate mental retardation) (IQ
51 36, MA 5,7 8,2 tahun)
3. Tunagrahita berat (severe mental retardation) (IQ 35
20, MA 3,2 5,6 tahun)
4. Tunagrahita parah (profound mental retardation) (IQ
19 atau lebih rendah, MA 3,1 tahun atau lebih
rendah).
Pengelompokkan Tunagrahita terdiri dari tiga kelompok
berdasarkan taraf inteligensinya, yaitu:
1. Tunagrahita Ringan
Anak dengan Tunagrahita ringan disebutnya juga
moron atau debil. Mereka masih mampu belajar membaca,
menulis, dan menghitung secara sederhana. Bimbingan dan
pendidikan yang baik dapat membuat mereka menghasilkan
penghasilan untuk diri mereka sendiri.
19

Namun anak tunagrahita ringan belum bisa


beradaptasi secara mandiri dengan masyarakat. Ia
membelanjakan uang dengan naif, tidak bisa merencanakan
masa depan bahkan suka melakukan kesalahan. Secara
umum anak tunagrahita ringan tidak memiliki kelainan fisik.
Secara fisik, mereka mirip dengan anak-anak normal pada
umumnya. Oleh karena itu, secara fisik sulit membedakan
antara anak tunagrahita ringan dan anak normal.

2. Tunagrahita Sedang
Anak Tunagrahita Sedang disebut juga imbesil.
Mereka dapat dididik mengurus diri sendiri, melindungi diri
sendiri dari bahaya seperti menghindari kebakaran, berjalan
di jalan raya, berlindung dari hujan, dan sebagainya. Anak
tunagrahita mengalami masa-masa yang sangat sulit bahkan
tidak bisa belajar secara akademis seperti belajar menulis,
membaca dan berhitung, padahal mereka masih bisa menulis
secara sosial misalnya menulis nama, alamat pribadi, dan
lain-lain. Dalam kehidupan sehari-hari, anak tunagrahita
sedang membutuhkan pengawasan yang terus menerus.
3. Tunagrahita Berat
Anak Tunagrahita Berat disebut juga idiot. Kapasitas
mental maksimal atau MA bisa dicapai dalam waktu kurang
dari tiga tahun. Anak
dengan keterbelakangan mental berat memerlukan bantuan
perawatan penuh dalam berpakaian, mandi, makan, dll.
Faktanya, mereka perlu dilindungi dari bahaya sepanjang
hidup mereka.

5. Anak dengan Gangguan Emosi dan Perilaku (Tunalaras)


Istilah "tunalaras" berasal dari kata "tuna," yang berarti
kurang, dan "laras," yang berarti sesuai. Anak yang disebut sebagai
20

"tunalaras" adalah anak yang perilakunya sering tidak sesuai dengan


norma-norma sosial di sekitarnya. Mereka kerap melanggar aturan
yang berlaku dalam masyarakat tempat mereka tinggal. Istilah asing
lain yang digunakan untuk menggambarkan anak-anak dengan
gangguan sosial emosional meliputi "emotionally handicapped,"
"emotionally impaired," "behaviorally impaired,"
"socially/emotionally handicapped," "emotionally conflicted," dan
"seriously behaviorally disabled."
Semua istilah ini terus berkembang, dan pada tahun 1990,
Council for Children with Behavioral Disorders (CCBD)
mengusulkan penggunaan istilah yang lebih tepat, yaitu "behavioral
disturbed," menggantikan istilah "emotional disturbance" yang
diatur dalam Federal Laws and Regulations.
Anak yang mengalami gangguan emosional bisa dijelaskan
sebagai mereka yang merasakan tekanan dan menunjukkan gejala
seperti kecemasan, neurosis, atau perilaku psikotik. Pristiwaluyo
(2005:15) menjelaskan bahwa sebagian besar anak yang mengalami
gangguan emosional menunjukkan ketidaksesuaian sosial (social
maladjustment).
Menurut Pristiwaluyo & Sodiq (2005:62), gangguan
emosional merujuk pada keberadaan satu atau lebih dari efek
gangguan berikut:
1. Kesulitan dalam mengendalikan emosi yang tidak dapat
dijelaskan dengan faktor-faktor intelektual, sensoris, dan
kesehatan.
2. Kesulitan dalam membina hubungan interpersonal
dengan teman sebaya atau guru.
3. Perasaan yang tidak sesuai dengan anak-anak lain pada
umumnya.
4. Perasaan tidak bahagia atau tertekan, serta
kecenderungan untuk mengembangkan gejala fisik atau
21

rasa takut yang terkait dengan masalah-masalah pribadi


atau sekolah.
Kauffman (1977) memberikan definisi mengenai anak-anak
yang mengalami gangguan perilaku sebagai "anak yang secara jelas
dan berkelanjutan merespons lingkungan tanpa mencapai kepuasan
pribadi, namun masih dapat mempelajari perilaku yang dapat
diterima oleh masyarakat dan memuaskan diri mereka sendiri."
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa anak
tunalaras adalah anak yang mengalami hambatan emosi dan perilaku,
sehingga mereka mengalami kesulitan dalam beradaptasi dengan
lingkungannya. Hal ini dapat mengganggu proses belajar mereka.
Mereka sering menghadapi situasi belajar yang monoton, yang dapat
memperburuk perilaku bermasalah mereka. Oleh karena itu, jika
mereka diperlakukan seperti anak-anak pada umumnya, hal ini akan
merugikan mereka.

6. Anak Berkesulitan Belajar


Secara harfiah, kesulitan belajar adalah terjemahan dari
"Learning Disability" dalam Bahasa Inggris, yang mengacu pada
ketidakmampuan dalam belajar. Kata "disability" diterjemahkan
sebagai "kesulitan" untuk memberikan kesan positif bahwa anak
masih memiliki potensi untuk belajar. Istilah lain yang digunakan
adalah "learning difficulties" dan "learning differences." Ketiga
istilah ini memiliki makna yang sedikit berbeda. Penggunaan istilah
"learning differences" lebih positif, tetapi "learning disabilities"
lebih mencerminkan kondisi sebenarnya.
Untuk menghindari bias dan perbedaan dalam referensi, kita
menggunakan istilah "Kesulitan Belajar." Kesulitan belajar merujuk
pada ketidakmampuan belajar, dan istilah ini mencakup disfungsi
otak serta gangguan neurologis. Pada tahun 1963, Samuel A Kirk
pertama kali mencetuskan ide penyatuan istilah-istilah gangguan
pada anak-anak, seperti "disfungsi minimal otak," "gangguan
22

neurologis," "disleksia," dan "afasia perkembangan." Konsep ini


telah diterima secara luas, dan pendekatan pendidikan terhadap
kesulitan belajar telah berkembang pesat.
Definisi yang diambil dari Hallahan, Kauffman, dan Lloyd
(1985) menyebutkan bahwa kesulitan belajar khusus adalah
gangguan dalam satu atau lebih proses psikologis, termasuk
pemahaman dan penggunaan bahasa lisan atau tulisan. Gangguan
tersebut dapat muncul dalam bentuk kesulitan mendengarkan,
berpikir, berbicara, membaca, menulis, mengeja, atau berhitung.
Kephart (1967) mengelompokkan penyebab kesulitan belajar
menjadi tiga kategori utama: kerusakan otak, gangguan emosional,
dan pengalaman. Kerusakan otak merujuk pada kerusakan pada
sistem saraf, seperti encephalitis, meningitis, dan keracunan. Kondisi
semacam ini dapat mengganggu fungsi otak yang diperlukan dalam
proses belajar pada anak dan remaja. Anak-anak yang mengalami
disfungsi minimal otak sejak lahir juga dapat menghadapi masalah
belajar yang signifikan.
Gangguan emosional yang menyebabkan kesulitan belajar
seringkali disebabkan oleh trauma emosional berkepanjangan yang
mengganggu sistem saraf. Dalam situasi ini, perilaku yang muncul
seringkali mirip dengan kasus kerusakan otak. Namun, tidak semua
trauma emosional menyebabkan kesulitan belajar.
Faktor "pengalaman" yang dapat menyebabkan kesulitan
belajar melibatkan kesenjangan perkembangan dan pengalaman
lingkungan. Biasanya, kondisi ini dialami oleh anak-anak yang tidak
memiliki akses ke rangsangan lingkungan yang sesuai atau tidak
pernah memiliki kesempatan untuk bermain dengan alat dan mainan
tertentu yang dapat membantu mereka mengembangkan
keterampilan manipulatif yang diperlukan dalam penggunaan alat
tulis seperti pensil dan ballpoint.

7. Anak Autisme
23

Sutadi (2002:9) menjelaskan bahwa autisme adalah


gangguan perkembangan neurobiologis yang serius, yang
mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berkomunikasi dan
berinteraksi dengan orang lain. Individu dengan autisme tidak dapat
berinteraksi dengan orang lain secara bermakna, dan kesulitannya
dalam berkomunikasi dan memahami perasaan orang lain
mengganggu kemampuannya untuk membangun hubungan yang
sehat dengan orang lain. Lebih lanjut dijelaskan bahwa penyandang
autisme mengalami gangguan dalam interaksi sosial, komunikasi
(baik verbal maupun non-verbal), imajinasi, serta memiliki pola
perilaku yang berulang dan resistensi terhadap perubahan dalam
rutinitas.
Leo Kanner, seorang dokter spesialis kesehatan jiwa anak,
dalam makalahnya pada tahun 1943 secara rinci menjelaskan
gejala-gejala "aneh" yang ia temukan pada 11 pasien anaknya. Ia
menemukan banyak kesamaan dalam gejala anak-anak ini, terutama
dalam perilaku mereka yang cenderung menjalani kehidupan dalam
dunia mereka sendiri dan menolak berinteraksi dengan orang di
sekitarnya. Kanner menggunakan istilah "autisme," yang berarti
hidup dalam dunia mereka sendiri. Ia juga menggambarkan kondisi
ini sebagai "Early Infantile Autism" (Autisme Masa Kanak-kanak).
Kanner menjelaskan karakteristik autisme yang pertama kali
dengan sangat rinci, berdasarkan pengamatan dasarnya. Ia
mendeskripsikan gangguan ini dengan tiga kriteria umum, yaitu:
a. Adanya gangguan dalam hubungan interpersonal,
b. Adanya gangguan dalam perkembangan bahasa, dan
c. Adanya kebiasaan ritualistik atau melakukan tingkah laku
yang sama berulang-ulang.
Selain definisi dari Kanner, ada juga beberapa definisi lain
tentang autisme, salah satunya adalah yang dikemukakan oleh
American Psychiatric Association dalam klasifikasi sistem autisme
sebagai gangguan perkembangan. Gangguan-gangguan dalam
24

kelompok ini terutama berkaitan dengan masalah kemampuan


berpikir, bahasa, motorik, atau keterampilan sosial. Di sisi lain,
dalam DSM III-R, autisme diklasifikasikan sebagai gangguan
perkembangan pervasif, yang ditempatkan bersama dengan beberapa
gangguan lainnya, termasuk pertumbuhan yang tidak khas, psikosis
simbiotik, psikosis pada anak-anak, skizofrenia pada anak-anak, dan
lain-lain.
8. Anak dengan Intelegensi Tinggi
Anak yang memiliki keterampilan intelegensi tinggi sering
disebut anak berbakat intelektual. Anak jenis ini memiliki
kecepatan belajar akademik yang tinggi sehingga memerlukan
program pembelajaran khusus agar potensi intelektualnya
berkembang optimal. Di Indonesia layanan bagi anak berbakat
intelektual tersebut dikenal dengan program percepatan atau
akselerasi. Program Akselerasi biasanya disertai dengan program
eskalasi sehingga dengan demikian anak tidak hanya menguasai
materi kurikulum dalam waktu yang cepat tetapi juga memperoleh
tingkat penguasaan materi yang lebih mendalam. Mereka
mempunyai kecakapan dan keberanian analitik yang mungkin
muncul secara bersamaan dengan dampak gangguan yang negatif
misalnya mudah tertipu, ingin serba sempurna, tidak menyukai
hal-hal yang rutin dan hafalan, tidak sabar, cenderung
mendominasi dalam diskusi.
Definisi yang disepakati pada Seminar Pengembangan
Pendidikan Luar Biasa di Jakarta pada tanggal 15 sampai 17
September 1980 adalah sebagai berikut:
Anak berbakat ialah mereka yang oleh orang-orang profesional
diidentifikasi sebagai anak yang mencapai prestasi tinggi karena
memiliki kemampuan-kemampuan unggul. Anak-anak tersebut
memerlukan program pendidikan yang berdiferensiasi dan/atau
pelayanan di luar jangkauan program sekolah reguler, agar dapat
merealisasikan sumbangan mereka terhadap masyarakat maupun
25

terhadap diri sendiri. Definisi tersebut tampaknya sesuai dengan


yang pernah dikemukakan oleh Marland pada tahun 1972, yang
selanjutnya digunakan oleh U.S. Commissioner of Education yang
dikutip oleh Arum sebagai berikut: “Gifted and talented children
are those identified by professionally qualified persons who by
virtue of outstanding abilities are capable of high performance.
These are children who require differentiated educational
programs and services beyond those normally provided by reguler
program in order to realize their contribution to self and society.”
Selanjutnya dikemukakan bahwa prestasi tinggi tersebut
meliputi (1) kemampuan intelek umum, (2) bakat akademik
khusus, (3) pemikiran kreatif (4) kemampuan memimpin, (5) seni
visual dan pertunjukan, dan (6) kemampuan psikomotor.
Pengembangan kecerdasan merupakan bagian terbesar dari
kegiatan pendidikan di sekolah. Anak yang memiliki keterampilan
kognitif tinggi sering disebut anak berbakat intelektual. Dampak
keberbakatan intelektual umumnya memiliki kesediaan untuk
menerima hal-hal yang unik, tertarik pada usaha-usaha pemecahan
masalah dengan hubungan sebab akibat. Mereka mempunyai
kecakapan dan keberanian analitik yang mungkin muncul secara
bersamaan dengan dampak gangguan yang negatif misalnya mudah
tertipu, ingin serba sempurna, tidak menyukai hal-hal yang rutin
dan hafalan, tidak sabar, cenderung mendominasi dalam diskusi.

9. Anak dengan Gangguan Pemusatan Perhatian


Gangguan Pemusatan Perhatian (GPP) adalah merupakan
gangguan konsentrasi pada anak, yang gejalanya ketidakmampuan
anak memusatkan perhatian pada suatu tugas tertentu, selalu gelisah
dan tidak dapat duduk dengan tenang. Ada beberapa studi yang
dilakukan oleh para pakar bahwa anak GPP disebabkan kekurangan
cairan di otak. Sebuah laporan yang ditulis pada tahun 1987 dalam
Kongres Amerika Serikat yang disiapkan oleh Inter-Agency
26

Committee of Learning Disabilities menerangkan, bahwa


sebab-sebab GPP ada kaitannya dengan gangguan fungsi neurologis
khususnya gangguan di dalam biokimia otak yang mencakup aspek
neurologis dari neurotransmitter. Namun, para peneliti kurang
mengerti dengan jelas mekanisme khusus mengenai bahan kimia
neurotransmitter ini. Ternyata neurotransmitter dapat mempengaruhi
perhatian, pengendalian impuls, dan tingkat aktivitas anak. Apabila
anak Anda seorang penderita Gangguan Pemusatan Perhatian,
gejalanya dapat dilihat ketika anak tidak dapat duduk diam atau
tenang.
Penderita GPP biasanya merupakan anak-anak yang berusia
3-10 tahun. Seorang anak yang menderita GPP biasanya
perhatiannya hanya mampu bertahan beberapa saat saja sehingga
mudah sekali beralih perhatian dari satu hal ke hal lainnya. Biasanya
anak-anak yang menderita GPP sulit berkonsentrasi dengan
pelajaran di sekolah ataupun kegiatan di luar sekolah.
Anak-anak dengan gangguan pemusatan perhatian dalam
istilah asingnya adalah ADHD dan ADD. ADHD adalah singkatan
dari Attention Deficit Hyperactivity Disorder, yaitu sebuah
gangguan pada perkembangan otak yang menyebabkan penderitanya
menjadi hiperaktif, impulsif, serta susah memusatkan perhatian.
Kondisi ini dulunya dikenal dengan ADD atau Attention Deficit
Disorder.
ADHD adalah kondisi yang bisa terdapat pada anak-anak,
remaja bahkan pada orang dewasa. Namun gejalanya biasanya mulai
berkembang pada masa kanak-kanak dan berlanjut hingga dewasa.
Diperkirakan terdapat 3-5 persen anak-anak atau anak usia sekolah
yang mengalami kondisi ini. Tanpa penanganan yang tepat, ADHD
dapat menimbulkan konsekuensi yang serius seperti malpresentasi
(underachievement), kegagalan di sekolah atau pekerjaan, susah
menjalin hubungan atau interaksi sosial, rasa tidak percaya diri yang
parah, dan juga depresi kronis.
27

C. Karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus


1. Anak Dengan Hambatan Penglihatan
Karakteristik Tunanetra
Tunanetra adalah keadaan di mana seseorang tidak dapat
melihat dengan baik, baik itu sepenuhnya buta (total blind) atau
memiliki penglihatan terbatas (low vision), meskipun mereka
menggunakan alat bantu penglihatan. Ada dua klasifikasi utama:
Tunanetra Total (Totally Blind) dan Kurang Awas (Low Vision).
Pengelompokan ini tergantung pada dua definisi yang berbeda, yaitu
batasan hukum yang digunakan untuk layanan medis dan
rehabilitasi, serta batasan yang diterapkan dalam konteks pendidikan
khusus. Oleh karena itu, pendidikan khusus tetap diperlukan untuk
orang-orang yang mengalami tunanetra, terlepas dari sejauh mana
gangguan penglihatan yang mereka alami.
a. Tunanetra Total (Totally Blind)
- Definisi Legal: Orang dengan ketajaman penglihatan
sangat buruk (tidak lebih baik dari 20/200) dan
medan pandang yang terbatas, meskipun telah
mencoba perbaikan penglihatan.
- Definisi Pendidikan: Mereka yang tidak bisa
menggunakan penglihatan normal untuk belajar dan
memerlukan Braille sebagai alat pembelajaran.
Seorang anak dianggap benar-benar buta jika tidak
merespons cahaya sama sekali (visus = 0).
b. Kurang Awas (Low Vision)
- Definisi Legal: Orang yang masih bisa merespons
cahaya, tetapi dengan penglihatan yang sangat buruk
(kurang dari 6/21). Atau mereka hanya bisa membaca
huruf pada jarak 6 meter yang normalnya bisa dibaca
pada jarak 21 meter.
28

- Definisi Pendidikan: Mereka yang masih


menggunakan huruf biasa, tetapi membutuhkan huruf
yang lebih besar sesuai dengan keterbatasan mereka.
Mereka memerlukan perhatian khusus dalam
pendidikan, termasuk pencahayaan yang kuat dan
kontras yang besar pada papan tulis.

Menurut Ilyas, cacat penglihatan dapat dibagi menjadi dua


jenis, yaitu reversible (dapat diperbaiki) dan irreversible (tidak dapat
diperbaiki). Reversible terjadi akibat kekeruhan media penglihatan,
seperti masalah pada kornea atau lensa mata. Sementara itu, cacat
penglihatan irreversible melibatkan kelainan pada retina dan syaraf
optik, baik sebagian maupun total.

Ilyas juga menjelaskan bahwa orang dengan cacat


penglihatan yang tidak dapat diperbaiki medis dapat menggunakan
rehabilitasi berdasarkan nilai tajam penglihatan. Ada beberapa
tingkatan cacat penglihatan, termasuk:
1) Penglihatan Normal: Mata sehat dengan ketajaman 6/6-6/7,5
atau 95-100%, tanpa masalah penglihatan.
2) Penglihatan Hampir Normal: Penglihatan 6/9-6/21 atau
75-90%, mungkin ada beberapa masalah tapi penyebabnya
bisa diperbaiki.
3) Low Vision Sedang: Penglihatan 6/60-6/120 atau 10-20%,
masih memungkinkan untuk berorientasi dan bergerak, tetapi
mengalami kesulitan dalam aktivitas sehari-hari seperti
membaca nomor mobil, memerlukan lensa kuat, dan
membaca dengan lambat.
4) Low Vision Nyata: Orang dengan low vision nyata memiliki
penglihatan sangat terbatas, sekitar 6/240 atau 5%. Mereka
mengalami kesulitan besar dalam orientasi dan mobilitas,
sering menggunakan tongkat putih untuk berjalan, dan
29

memerlukan sarana baca seperti Braille, radio, dan pustaka


kaset.
5) Hampir Buta: Orang dengan penglihatan hampir buta hanya
bisa melihat objek yang sangat dekat, misalnya menghitung
jari kurang dari empat kaki. Penglihatannya tidak berguna
untuk orientasi atau mobilitas, dan mereka memerlukan alat
bantu non-visual.
6) Buta Total: Orang dengan penglihatan buta total sama sekali
tidak bisa merespons rangsangan cahaya dan bergantung
pada indera selain mata untuk pengalaman dunia.

Menurut Kauffman dan Hallahan dalam konteks pendidikan,


ada dua kelompok gangguan penglihatan:
1) Siswa Buta Akademis: Termasuk siswa yang tidak bisa
menggunakan penglihatannya untuk membaca huruf
awas/cetak. Mereka mendapat pendidikan melalui sensori
non-visual.
2) Siswa Kurang Awas (Low Vision): Termasuk siswa dengan
tingkat penglihatan yang masih cukup, misalnya 20/70 –
20/200, atau mereka dengan ketajaman penglihatan normal
tetapi medan pandang terbatas. Mereka menggunakan sisa
penglihatannya semaksimal mungkin dengan bantuan lensa
khusus dan modifikasi lingkungan.

Ciri-ciri gangguan penglihatan melibatkan masalah seperti


ketidaknormalan dalam melihat, medan penglihatan yang terbatas,
ketidakmampuan membedakan warna, adaptasi yang terhambat
terhadap cahaya dan gelap, serta sensitivitas yang tinggi terhadap
cahaya atau ruang terang. Gangguan ini mempengaruhi
perkembangan anak dalam berbagai aspek, termasuk bahasa,
kemampuan intelektual, mobilitas, prestasi akademik, penyesuaian
sosial, dan perilaku stereotipik. Siswa yang kurang awas memiliki
30

kesulitan dalam tugas visual, tetapi dengan bantuan lensa dan


peralatan khusus, mereka dapat meningkatkan kemampuan mereka
melalui strategi penglihatan alternatif dan modifikasi lingkungan.

2. Pendengaran dan bicara (Tunarungu-wicara)


Karakteristik Tunarungu
Definisi dan kategorisasi ketulian adalah sebagai berikut:
- Kelompok 1 (Hilangnya pendengaran yang ringan, 20-30
dB): Individu dalam kelompok ini masih mampu
berkomunikasi dengan menggunakan pendengarannya,
meskipun memiliki gangguan pendengaran yang ringan.
Mereka berada di ambang antara sulit mendengar dan
normal.
- Kelompok 2 (Hilangnya pendengaran marginal, 30-40 dB):
Orang-orang dalam kelompok ini mengalami kesulitan
mengikuti pembicaraan pada jarak tertentu. Mereka masih
bisa mendengar tetapi memerlukan latihan.
- Kelompok 3 (Hilangnya pendengaran yang sedang, 40-60
dB): Dengan bantuan alat bantu dengar dan bantuan visual,
individu dalam kelompok ini masih dapat belajar berbicara
dengan mengandalkan alat pendengaran.
- Kelompok 4 (Hilangnya pendengaran yang berat, 60-75 dB):
Orang-orang dalam kelompok ini memerlukan teknik khusus
untuk belajar berbicara, dan mereka dianggap "tuli secara
edukatif."
- Kelompok 5 (Hilangnya pendengaran yang parah, >75 dB):
Orang-orang dalam kelompok ini tidak dapat belajar bahasa
hanya dengan menggunakan pendengaran, bahkan dengan
alat bantu dengar. Mereka dianggap tuli.

Menurut Telford dan Sawrey, karakteristik ketulian mencakup:


1) Kesulitan dalam memusatkan perhatian secara kronis.
31

2) Kegagalan merespons ketika diajak bicara.


3) Kemampuan berbicara yang terlambat atau artikulasi yang
kurang baik.
4) Keterbelakangan di sekolah.

Pada awal kehidupannya, anak tunarungu umumnya


mengeluarkan suara yang mirip dengan anak normal. Namun,
berbeda dengan anak normal yang biasanya mulai menggunakan
kata-kata pada usia 12-18 bulan, anak tunarungu tidak mampu
mengucapkan kata-kata pertama yang terarah. Jika pada tahun kedua
anak tidak menunjukkan perkembangan bicara ini, kemungkinan
besar anak tersebut mengalami ketulian. Namun, diagnosa ketulian
harus dikonfirmasi dengan cara lain karena ada kemungkinan bahwa
kesulitan berbicara anak bisa disebabkan oleh faktor lain seperti
kurangnya stimulasi lingkungan, konflik emosional, autisme,
keterbelakangan mental, atau keterlambatan perkembangan.

Cartwright menyajikan tiga metode identifikasi ketulian yang


dapat digunakan oleh orangtua atau guru dalam kehidupan
sehari-hari. Identifikasi ini melibatkan observasi perilaku,
tanda-tanda fisik, dan keluhan yang disampaikan oleh anak.

1) Indikator Perilaku:
- Kesulitan memberikan perhatian saat diajak
berbicara.
- Mengarahkan kepala atau telinga ke arah pembicara.
- Gagal mengikuti instruksi lisan, terutama dalam
situasi kelompok.
- Meminta pengulangan, terutama untuk pertanyaan.
- Mengalami kesulitan dalam berbicara.
- Menolak untuk berpartisipasi sebagai sukarelawan
dalam kelas atau kelompok diskusi.
32

- Menarik diri dari interaksi sosial.


- Berkonsentrasi berlebihan pada wajah atau mulut
lawan bicaranya.
- Menunjukkan respon yang tidak sesuai atau
inkonsisten terhadap rangsangan suara.
2) Tanda-tanda Fisik:
- Telinga mengeluarkan cairan.
- Bernapas melalui mulut secara terus-menerus.
- Sering menggunakan kapas pada telinga.
- Ekspresi wajah terlihat letih dan tertekan, bahkan
pada pagi hari.
3) Keluhan yang Sering Dikemukakan:
- Merasakan sakit pada telinga.
- Mendengar dengungan atau deringan di telinga.
- Mengalami sensasi "suara" di dalam kepala.
- Merasa ada benda asing di dalam telinga.
- Telinga terlihat luka atau meradang.
- Sering mengalami demam, sakit tenggorokan,
dan/atau radang amandel.

Penelitian Spencer dan Meadow-Orlans menunjukkan bahwa


pengamatan aktivitas bermain anak bisa digunakan sebagai indikator
penting dalam mengidentifikasi ketulian. Hasil studi ini mengungkap
tiga hal kunci:
1) Anak tunarungu cenderung memiliki perilaku bermain
representasional (simbolik) yang kurang pada usia sekitar
satu tahun dibandingkan dengan anak seusianya yang dapat
mendengar.
2) Saat anak-anak mulai mengungkapkan kata-kata dan
tanda-tanda kompleks pada usia sekitar 18 bulan, anak
tunarungu memiliki kesulitan dalam memproduksi urutan
33

logis dan realitas dalam permainan berdasarkan tema atau


perencanaan sebelumnya.
3) Anak tunarungu yang ibunya dapat mendengar menunjukkan
perbedaan respons interaktif yang signifikan pada usia yang
sama. Perbedaan ini mencakup kekurangan dalam tingkat
permainan simbolik yang terorganisir dan perencanaan
sebelumnya.

3. Anak dengan hambatan fisik (Tunadaksa)


Karakteristik umum anak dengan Tunadaksa memiliki jenis
dan tingkatannya tersendiri. Lewandowski dan cruickshank (1980)
mengemukakan enam faktor yang mempengaruhi diri anak
tunadaksa, yaitu:
1. Usia terjadinya ketunadaksaan, Faktor usia terjadinya
kelainan berpengaruh terhadap diri anak, baik menyangkut
aspek fisik, psikologis, maupun sosialnya.
2. Derajat kecacatan,
3. Kondisi-kondisi yang tampak,
4. Dukungan keluarga dan sosial,
5. Sikap terhadap anak tunadaksa,
6. Status sosial lingkungan
Sedangkan secara khusus karakteristik tunadaksa terbagi
menjadi dua, yaitu:
1. Karakteristik penyandang kelainan sistem cerebral
a. Gangguan Motorik, anak-anak cerebral palsy
mengalami gangguan fungsi motoriknya. Berupa
kekakuan, kelumpuhan, gerakan-gerakan yang tidak
dapat dikendalikan, gerakan ritmis, dan gangguan
keseimbangan.
b. Gangguan Sensoris, Gangguan sensorik yang disasar
adalah gangguan penglihatan, pendengaran, persepsi
gerak, dan gangguan sentuhan (taktil-kinestetik).
34

Gangguan pendengaran (gangguan pendengaran)


pada anak Cerebral Palsy sering bertipe athetoid.
Gangguan pendengaran pada anak Cerebral Palsy
terjadi karena anak sering mengalami kejang
menyebabkan saraf pendengaran sering tidak
berfungsi normal.
c. Tingkat Kecerdasan, tingkat kecerdasan anak cerebral
palsy berentang, mulai dari tingkat yang paling dasar,
yaitu idiocy sampai gifted.
d. Kemampuan Persepsi
e. Kemampuan Kognisi
f. Kemampuan Berbicara, Gangguan berbicara pada
anak Cerebral Palsy disebabkan oleh kelainan otot
motorik bicara dan ada juga kelainan yang timbul
karena kekurangan dan kurangnya interaksi dengan
lingkungan. Otot bicara lumpuh atau kaku (kejang)
seperti lidah, bibir dan rahang bawah akan
menghalangi terbentuknya artikulasi yang benar.
Simbolisasi, Simbol diterima oleh pendengaran dan
penglihatan. Kesulitan pendengaran dapat
mempengaruhi ketidakmampuan untuk memahami
kata-kata yang disampaikan dan memahami apa yang
dibicarakan. Sedangkan sulitnya melihat membuat
orang yang melihat kesulitan memahami isi pesan.
Emosi dan penyesuaian sosial, erat kaitannya dengan
konsep diri (Self-concept). Respon dan sikap di
masyarakat mempengaruhi pembentukan pribadi anak
dengan cerebral palsy.

2. Karakter Penyandang kelainan Musculus sceletal


Kelainan sistem musculus skeletal bentuknya antara
lain berupa kelumpuhan otot, kerusakan otot, dan kelemahan
35

otot. Derajat keterbatasan gerak pada setiap anak dengan


gangguan muskuloskeletal berbeda-beda. Anak dengan
gangguan sistem muskuloskeletal mempunyai kecerdasan
yang normal, karena kerusakan yang terjadi pada dirinya
tidak berhubungan langsung dengan pusat intelektual otak .

4. Anak dengan hambatan Intelektual (Tunagrahita)


Beberapa generalisasi karakteristik Tunagrahita, yaitu:
1. Anak tunagrahita ketinggalan oleh anak normal dalam
perkembangan bahasanya, meskipun cara perolehannya
sama.
2. Anak tunagrahita menunjukkan defisiensi tertentu dalam
penggunaan konstruksi gramatik tertentu dalam berbahasa.
3. Anak tunagrahita cenderung kurang menggunakan
komunikasi verbal, strategi penghafalan, serta proses-proses
kontrol lainnya yang memudahkan belajar dan mengingat.
4. Anak tunagrahita mengalami kesulitan dalam tugas-tugas
belajar dan hafalan yang melibatkan konsep-konsep abstrak
dan kompleks, tetapi relatif kurang mengalami kesulitan
dalam belajar asosiasi hafalan sederhana
Untuk memahami anak tunagrahita atau anak tunagrahita,
sebaiknya pahami dulu konsep Mental Age (MA). Mental Age
adalah kemampuan mental yang dimiliki seorang anak pada umur
tertentu, misal anak umur 6 tahun akan mempunyai kemampuan
sebanding dengan kemampuan anak umur 6 tahun. Oleh karena itu,
dapat diartikan bahwa anak berusia enam tahun akan menempuh
studi MA selama enam tahun.
Apabila seorang anak mempunyai MA yang berada di atas
usianya (Chronology Age), maka anak tersebut mempunyai
kemampuan mental dan kecerdasan di atas rata-rata. Sebaliknya, jika
MA anak lebih rendah dari usia anak, maka anak tersebut
mempunyai kemampuan intelektual di bawah rata-rata. Anak
36

tunagrahita selalu memiliki indeks MA yang jauh lebih rendah


dibandingkan CA.
Pada tahap awal perkembangan, hampir tidak ada perbedaan
antara anak tunagrahita dengan anak yang memiliki kecerdasan
rata-rata. Namun seiring berjalannya waktu, perbedaan pola
perkembangan antara anak tunagrahita dengan anak normal
semakin terlihat.
Tunagarhita tidak hanya terlihat jika IQ-nya saja, namun
perlu dilihat seberapa baik kemampuan adaptasi anak tersebut. Oleh
karena itu, jika anak ini bisa beradaptasi sendiri, maka tidak tepat
jika ia dianggap mengalami keterbelakangan mental. Terjadi pada
masa perkembangan, artinya bila keterbelakangan mental ini terjadi
setelah dewasa, maka tidak tergolong ke dalam Tunagrahita.
Tunagrahita atau keterbelakangan mental adalah suatu keadaan
dimana perkembangan mental menemui hambatan yang
menghalanginya mencapai tahap perkembangan optimal.
Beberapa karakteristik Tunagrahita secara umum, yaitu:
1. Keterbatasan Inteligensi
Inteligensi merupakan fungsi yang kompleks yang
dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mempelajari
informasi dan keterampilan-keterampilan menyesuaikan diri
dengan masalah-masalah dan situasi-situasi kehidupan baru,
belajar dari pengalaman masa lalu, berpikir abstrak, kreatif,
dll. Anak dengan Tunagrahita memiliki kekurangan dalam
semua hal tersebut. Kapasitas belajar anak tunagrahita
terutama yang bersifat abstrak seperti belajar dan berhitung,
menulis dan membaca juga terbatas. Kemampuan belajarnya
cenderung tanpa pengertian atau cenderung belajar dengan
membeo.
2. Keterbatasan Sosial
Anak dengan Tunagrahita tidak hanya memiliki
keterbatasan inteligensi, tapi juga memiliki keterbatasan
37

sosial yang menyulitkan mereka untuk mengurus diri sendiri.


Kemampuan belajar anak tunagrahita, terutama pada bidang
abstrak seperti belajar berhitung, belajar menulis, dan
membaca, juga terbatas. Kemampuan belajarnya cenderung
tanpa pemahaman atau cenderung belajar hafalan.
3. Keterbatasan Fungsi-Fungsi Mental Lainnya
Anak tunagrahita memiliki keterbatasan dalam penguasaan
bahasa. Mereka bukannya mengalami kerusakan artikulasi, akan
tetapi pusat pengolahan (perbendaharaan kata) yang kurang
berfungsi sebagaimana mestinya. Karena alasan itu mereka
membutuhkan kata-kata konkret yang sering didengarnya. Selain itu
perbedaan dan persamaan harus ditunjukkan secara berulang-ulang.
Latihan-latihan sederhana seperti mengajarkan konsep besar
dan kecil, keras dan lemah, pertama, kedua, dan terakhir, perlu
menggunakan pendekatan yang konkret. Selain itu, anak tunagrahita
kurang mampu untuk mempertimbangkan sesuatu, membedakan
antara yang baik dan yang buruk, dan membedakan yang benar dan
yang salah. Ini semua karena kemampuannya terbatas sehingga anak
tunagrahita tidak dapat membayangkan terlebih dahulu konsekuensi
dari suatu perbuatan.

5. Anak dengan Gangguan Emosi dan Perilaku (Tunalaras)


Gejala gangguan emosi dan perilaku umumnya dapat
dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu perilaku eksternal
(externalizing) dan perilaku internal (internalizing). Perilaku
eksternal memiliki dampak yang bisa dirasakan secara langsung atau
tidak langsung oleh orang lain. Contoh-contoh termasuk perilaku
agresif, ketidakpatuhan, kebohongan, pencurian, serta kurangnya
kendali diri. Sementara itu, perilaku internal mempengaruhi individu
dengan berbagai masalah seperti kecemasan, depresi, isolasi dari
interaksi sosial, gangguan makan, dan bahkan kecenderungan untuk
melakukan tindakan bunuh diri. Kedua tipe perilaku ini memiliki
38

dampak yang sama-sama merugikan dalam hal kegagalan dalam


proses belajar di sekolah.
1) Intelegensi dan Prestasi Belajar
Beberapa pakar menemukan bahwa anak-anak yang
mengalami gangguan ini memiliki tingkat kecerdasan di
bawah rata-rata (sekitar 90) dan ada juga yang di atas
rata-rata cerdas.
2) Karakteristik Sosial dan Emosional
Perilaku agresif dan perbuatan eksternal (externalizing),
seperti gangguan perilaku, adalah masalah yang sering
muncul pada anak-anak dengan gangguan emosi atau
perilaku. Perilaku-perilaku ini termasuk dalam tindakan
seperti memukul, berkelahi, mengejek, berteriak, menolak
mengikuti permintaan orang lain, menangis, merusak,
vandalisme, pemerasan, dan jika terjadi dengan frekuensi
tinggi, maka anak dapat dikategorikan mengalami gangguan.
3) Perilaku tidak matang dan penarikan diri (internalizing)
Pada anak-anak dengan gangguan ini, mereka menunjukkan
perilaku yang tidak matang dan lebih suka menjauh. Mereka
sering merasa terasing, hanya memiliki sedikit teman, jarang
bermain dengan anak sebaya, dan memiliki keterbatasan
dalam keterampilan sosial yang diperlukan untuk
bersenang-senang. Beberapa di antara mereka lebih suka
mengisolasi diri untuk berkhayal atau merenung, merasa
takut melebihi situasi sebenarnya, mengeluhkan rasa sakit
yang sebenarnya tidak ada, dan terlibat dalam aktivitas yang
di luar norma.
6. Anak Berkesulitan Belajar
A. Aspek Kognitif
Berbagai definisi kesulitan belajar sering lebih
menitikberatkan pada aspek akademik atau kognitif.
Masalah-masalah seperti kemampuan bicara, membaca, menulis,
39

mendengarkan, berpikir, dan matematis semuanya fokus pada aspek


akademik atau kognitif. Penekanan seperti ini mencerminkan
keyakinan bahwa masalah yang dihadapi anak-anak dengan
kesulitan belajar lebih terkait dengan domain akademik daripada
tingkat kecerdasan yang rendah. Sebagai contoh, kasus kesulitan
membaca (dyslexia) yang umum dijumpai di sekolah adalah contoh
klasik ketidakoptimalan dalam aspek kognitif anak yang mengalami
kesulitan belajar. Terkadang, anak-anak dengan kesulitan membaca
ini dapat memiliki kemampuan matematika yang tinggi. Ini
menunjukkan bahwa anak-anak dengan kesulitan belajar memiliki
kemampuan kognitif yang normal, tetapi kemampuan ini tidak
berfungsi dengan optimal, menyebabkan keterbelakangan akademik,
yaitu ketidaksesuaian antara apa yang seharusnya mereka lakukan
dengan apa yang mereka capai dalam kenyataan.
B. Aspek Bahasa
Masalah dalam bahasa yang dihadapi oleh anak-anak dengan
kesulitan belajar mencakup baik bahasa reseptif (pemahaman
bahasa) maupun bahasa ekspresif (kemampuan berbicara). Kedua
aspek kemampuan bahasa ini dapat diukur melalui tes kemampuan
berbahasa. Dalam proses belajar, kemampuan berbahasa merupakan
alat penting untuk memahami dan menyatakan pikiran. Oleh karena
itu, aspek kemampuan berbahasa seringkali tidak dapat dipisahkan
dari aspek kognitif karena proses berbahasa pada dasarnya adalah
proses kognitif. Dapat dilihat dengan jelas bahwa masalah
kemampuan berbahasa anak akan berdampak signifikan pada
kegagalan belajar.
C. Aspek Motorik
Masalah motorik sering kali dikaitkan dengan kesulitan
belajar. Masalah motorik yang dihadapi oleh anak-anak dengan
kesulitan belajar biasanya melibatkan keterampilan
motorik-perseptual yang diperlukan untuk mengembangkan
keterampilan meniru pola atau rancangan. Kemampuan ini sangat
40

penting untuk aktivitas seperti menggambar, menulis, atau


menggunakan gunting. Keterampilan ini memerlukan koordinasi
yang baik antara tangan dan mata, yang dalam banyak kasus kurang
dimiliki oleh anak-anak dengan kesulitan belajar.
D. Aspek Sosial dan Emosi
● Dua karakteristik yang sering kali muncul dalam
konteks sosial dan emosi anak-anak dengan kesulitan
belajar adalah kelabilan emosional dan keimpulsifan.
Kelabilan emosional ditandai oleh perubahan suasana
hati dan temperamen yang sering terjadi.
Keimpulsifan merujuk pada kendala yang kurang
baik terhadap dorongan untuk bertindak. Seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya, karakteristik anak-anak
dengan kesulitan belajar tidak selalu bersifat
universal bagi setiap anak, karena setiap kesulitan
belajar yang spesifik memiliki gejala dan
karakteristiknya sendiri. Bagian selanjutnya akan
secara singkat membahas beberapa jenis kesulitan
belajar khusus bersama dengan gejala dan
karakteristiknya. Gejala dan karakteristik ini dapat
berguna baik untuk mengidentifikasi anak-anak
dengan kesulitan belajar maupun dalam merancang
layanan pendidikan, layanan psikologis, dan program
remedi.

7. Anak Autisme
Versi terbaru yang dijelaskan oleh Childhood Autism Rating
Scale (CARS, Schopler & Renner) dalam Berkell, menyebutkan
bahwa autisme memiliki 15 ciri-ciri khas, yaitu: adanya
keterlambatan atau gangguan dalam hubungan sosial, gangguan
dalam kemampuan meniru, gangguan dalam respon emosional,
kebingungan dalam menggunakan anggota tubuh, ketidaktepatan
41

dalam menggunakan objek, kesulitan beradaptasi dengan


perubahan, respons visual yang tidak biasa, respons pendengaran
yang tidak biasa, penggunaan respons pengecap, penciuman, dan
perabaan yang tidak konvensional, ketakutan yang tidak umum,
keterlambatan dalam komunikasi verbal, keterlambatan dalam
komunikasi non-verbal, tingkat aktivitas yang abnormal, gangguan
fungsi intelektual, dan munculnya gejala autistik sebelum usia tiga
puluh bulan.
Gangguan Spektrum Autisme (ASD) memiliki gejala yang
berbeda-beda pada setiap anak, dan bukan disebabkan oleh
pengasuhan yang salah. Pada kasus autisme yang lebih parah, anak
cenderung tinggal dalam dunianya sendiri untuk waktu yang lama,
tidak menggunakan atau memahami bahasa, lebih tertarik dengan
peralatan rumah tangga daripada bermain, dan sering
menghabiskan waktu dengan gerakan berulang seperti ayunan atau
menggerakkan tangan di dekat tubuhnya. Beberapa anak dengan
kasus yang lebih ringan mungkin tidak segera memperhatikan
masalah sosial ketika mereka kecil, tetapi kesulitan ini dapat
muncul saat mereka tumbuh lebih besar dan harus berinteraksi
dengan teman sebaya yang lebih kritis, serta adanya variasi dalam
perilaku sosial.
8. Anak dengan Inteligensi Tinggi
Kitano dan Kirby dalam Arum menyimpulkan dampak
keberbakatan intelektual sebagai berikut :
a. Memiliki perbendaharaan kata-kata yang maju pada usianya.
b. Memiliki minat yang lebih dini terhadap buku-buku dan
membaca
c. Memiliki kemampuan lebih awal dan belajar sendiri pada usia
dua atau tiga tahun
d. Membaca secara mandiri dan menyukai buku-buku bacaan orang
dewasa
e. Cepat dalam belajar dan mudah mengingat informasi faktual
42

f. Cepat memahami hubungan sebab akibat


g. Memiliki rasa ingin tahu yang besar yang ditandai dengan
pertanyaan, “bagaimana” dari “mengapa”
h. Lebih menyukai teman-teman yang usianya lebih tua darinya
i. Memiliki rasa humor yang matang untuk usianya
j. Menyukai pengalaman pengalaman baru dan menantang
k. Memiliki kemampuan yang tinggi dalam membuat perencanaan,
pemecahan masalah dan berpikir abstrak.
Uraian di atas menjelaskan bahwa keberbakatan pada
individu akan memberikan dampak-dampak tertentu baik positif
ataupun negatif.

9. Anak dengan Gangguan Pemusatan Perhatian


Karakteristik anak ADHD dan ADD Gejala atau pertanda
ADHD bisa berbeda bagi setiap orang. Gejalanya biasanya mulai
tampak saat masa anak-anak. Berikut ini adalah tiga gejala utama
ADHD yang umum pada anak-anak :

1. Hiperaktif
Tampak seperti kelebihan energi, selalu aktif dan tidak bisa
diam. Tanda-tandanya yang biasanya tampak adalah :
• Tidak bisa bermain dengan tenang
• Susah berdiam diri, menggeliat, gelisah, dan sering berdiri
kembali ketika duduk
• Selalu bergerak, seperti berlari atau memanjat pada sesuatu
• Tidak bisa duduk dengan tenang. Inattention atau
bermasalah pada perhatian

2. Inattention atau bermasalah pada perhatian


Berupa gangguan atau kesulitan untuk memperhatikan
sesuatu. Gejala yang biasanya tampak antara lain:
• Sangat susah untuk memusatkan perhatian
• Tampak tidak mendengarkan ketika orang lain berbicara
kepadanya
• Perhatiannya sangat mudah teralihkan
• Sering membuat kesalahan akibat kurang berhati-hati atau
karena kurang memperhatikan
• Susah mengikuti arahan atau menyelesaikan tugas
43

• Sering melupakan atau menghilangkan sesuatu


• Memiliki kecenderungan untuk mengigau saat tidur

3. Impulsif
Penderita ADHD biasanya memiliki sifat impulsif atau
bertindak tanpa berpikir (spontan). Gejala yangdapat dikenali
misalnya :
• Kesulitan untuk menunggu giliran
• Menjawab pertanyaan sebelum pertanyaan selesai atau
sebelum diberi kesempatan
• Sering menginterupsi orang lain
• Bertindak impulsif tanpa memikirkan
konsekuensinya, seperti berlari di tengah acara formal,
mengejar sesuatu yang berbahaya, dsb. Selain ketiga gejala
di atas, terdapat juga beberapa gejala lain yang bisa terjadi
anak dengan gangguan ADHD, antara lain:
• Menunjukkan sikap menentang atau melanggar peraturan
• Susah untuk bersosialisasi dengan orang lain
• Kurangnya rasa percaya diri
• Kemampuan mengorganisasi yang buruk
• Cepat bosan
• Gelisah
• Sering terburu-buru dalam mengambil keputusan.

D. Pelayanan untuk Anak Berkebutuhan Khusus


Pelayanan untuk anak berkebutuhan khusus adalah jenis
pelayanan yang disediakan untuk anak-anak yang memiliki
kebutuhan khusus, seperti gangguan perkembangan, gangguan fisik,
gangguan sensorik, atau gangguan perilaku. Tujuan utama dari
pelayanan ini adalah untuk membantu anak-anak ini mencapai
potensi penuh mereka, mendukung pertumbuhan dan perkembangan
mereka, serta memastikan bahwa mereka memiliki kesempatan yang
sama untuk belajar dan berkembang seperti anak-anak lainnya.
Berikut adalah beberapa komponen utama pelayanan untuk anak
berkebutuhan khusus:
1. Penilaian dan Diagnostik: Langkah pertama adalah
melakukan penilaian dan diagnosis yang tepat untuk
mengidentifikasi kebutuhan khusus anak. Ini dapat
44

melibatkan profesional kesehatan, psikolog, terapis, dan ahli


lainnya.
2. Perencanaan Individual: Setelah diagnosis, perlu dibuat
rencana individual yang disesuaikan dengan kebutuhan setiap
anak. Ini dapat mencakup tujuan pendidikan, terapi fisik atau
berbicara, dukungan sosial, dan lain-lain.
3. Pendidikan Inklusif: Prinsip pendidikan inklusif mendorong
anak-anak berkebutuhan khusus untuk belajar di lingkungan
sekolah reguler sebanyak mungkin. Ini dapat mencakup
penggunaan guru pendamping, modifikasi kurikulum, atau
peralatan khusus.
4. Terapi dan Dukungan: Anak-anak berkebutuhan khusus
mungkin memerlukan terapi fisik, terapi bicara, atau terapi
lainnya. Dukungan juga dapat berupa konseling, bimbingan,
dan perawatan medis yang diperlukan.
5. Pelatihan Guru dan Tenaga Pendidik: Guru dan staf sekolah
perlu diberikan pelatihan khusus untuk memahami kebutuhan
anak-anak berkebutuhan khusus dan memberikan dukungan
yang sesuai.
6. Keterlibatan Orang Tua: Melibatkan orang tua dalam proses
pendidikan dan perawatan anak sangat penting. Mereka perlu
mendapatkan informasi dan dukungan untuk mendukung
anak mereka di rumah.
7. Dukungan dari Komunitas: Masyarakat, teman sebaya, dan
lingkungan sekitar anak juga memiliki peran penting dalam
mendukung anak berkebutuhan khusus agar bisa hidup dan
tumbuh secara optimal.
8. Evaluasi dan Pemantauan: Proses pendidikan dan perawatan
harus dievaluasi secara berkala untuk memastikan bahwa
rencana kerja sesuai dengan perkembangan anak.
Pelayanan untuk anak berkebutuhan khusus dapat bervariasi
berdasarkan kebutuhan individu masing-masing anak. Penting untuk
45

menjaga pendekatan yang holistik dan berkelanjutan agar anak-anak


ini dapat mencapai potensi maksimal mereka dan terlibat secara aktif
dalam masyarakat.
1. Bentuk Layanan Pendidikan Segregasi
Sistem pendidikan segregasi adalah sistem pendidikan yang
terisolasi dari sistem pendidikan konvensional. Pendidikan
berkebutuhan khusus melalui sistem segregasi merujuk pada
penyelenggaraan pendidikan yang diselenggarakan secara eksklusif
dan terpisah dari pendidikan anak-anak biasa. Dengan kata lain,
anak-anak berkebutuhan khusus menerima layanan pendidikan di
lembaga-lembaga khusus untuk anak-anak dengan kebutuhan
khusus, seperti Sekolah Luar Biasa atau Sekolah Dasar Luar Biasa,
Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa, dan Sekolah Menengah
Atas Luar Biasa.
Sistem pendidikan segregasi merupakan bentuk sistem
pendidikan yang telah ada sejak lama. Pada awalnya, sistem ini
diterapkan karena ada kekhawatiran atau ketidakpercayaan terhadap
kemampuan anak-anak berkebutuhan khusus untuk belajar bersama
dengan anak-anak normal. Selain itu, keberadaan kecacatan tertentu
pada anak-anak berkebutuhan khusus mengharuskan pemberian
layanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan khusus mereka.
Sebagai contoh, anak-anak tunanetra membutuhkan layanan
spesialis seperti penggunaan braille dan pelatihan orientasi
mobilitas. Anak-anak tunarungu memerlukan pendekatan
komunikasi total dan pengembangan persepsi bunyi. Sementara
anak-anak tunadaksa membutuhkan dukungan dalam hal mobilitas
dan aksesibilitas, serta terapi untuk mendukung fungsi fisik mereka.
Ada empat bentuk pelayanan pendidikan dengan sistem segregasi
yang dapat diidentifikasi:
A. Sekolah Luar Biasa (SLB): SLB adalah bentuk sekolah yang
sudah ada sejak lama. Ini adalah unit pendidikan yang
menyelenggarakan semua tingkat pendidikan dari persiapan
46

hingga tingkat lanjutan dalam satu sekolah dengan kepala


sekolah tunggal. Awalnya, SLB dikembangkan untuk setiap
jenis kebutuhan khusus, misalnya SLB-A untuk anak
tunanetra, SLB-B untuk anak tunarungu, SLB-C untuk anak
tunagrahita, SLB-D untuk anak tunadaksa, dan SLB-E untuk
anak tunalaras. Setiap SLB ini memiliki tingkat persiapan,
dasar, dan lanjutan, dan pengajaran lebih berfokus pada
pendekatan individualisasi. Beberapa SLB juga dapat
menggabungkan beberapa jenis kebutuhan khusus, seperti
SLB-BC untuk anak tunarungu dan tunagrahita, atau
SLB-ABCD untuk anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita,
dan tunadaksa.
B. Sekolah Luar Biasa Berasrama: Bentuk ini adalah SLB
dengan fasilitas asrama. Peserta didik SLB berasrama tinggal
di asrama yang dikelola sebagai bagian dari sekolah. Sistem
pembelajaran di SLB berasrama seragam dengan SLB
konvensional, dengan tambahan fasilitas asrama. Ini menjadi
pilihan yang sesuai untuk peserta didik dari luar daerah yang
sulit untuk antar-jemput.
C. Kelas Jauh / Kelas Kunjung: Kelas jauh atau kelas kunjung
adalah lembaga yang disediakan untuk memberikan layanan
pendidikan kepada anak-anak berkebutuhan khusus yang
tinggal jauh dari SLB. Ini bertujuan untuk memastikan
kesempatan belajar yang merata bagi anak-anak dengan
kebutuhan khusus yang tersebar di seluruh negara. Kelas ini
diselenggarakan oleh SLB terdekat dengan guru yang datang
sebagai guru kunjung. Administrasi kelas jauh dilakukan di
SLB terdekat.
D. Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB): Pemerintah mulai
menyelenggarakan SDLB untuk memastikan kesempatan
belajar bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Di SDLB,
anak-anak dengan berbagai jenis kebutuhan khusus, seperti
47

tunanetra, tunarungu, tunagrahita, dan tunadaksa, belajar


bersama di satu sekolah. Tenaga pendidikan di SDLB
termasuk guru yang mengajar berdasarkan jenis kebutuhan
khusus, dokter, fisioterapis, psikolog, dan tenaga ahli lainnya.
Kurikulum di SDLB disesuaikan dengan kekhususannya,
dengan fokus pada pendekatan individualisasi. Selain itu,
SDLB juga menyediakan layanan khusus sesuai dengan
kebutuhan anak, seperti latihan braille, komunikasi total,
layanan fisioterapi, dan lainnya. Lama pendidikan di SDLB
sama dengan SLB konvensional, dengan 6 tahun untuk
beberapa jenis kebutuhan khusus dan 8 tahun untuk yang
lainnya.

2. Bentuk Layanan Pendidikan Terpadu / Integrasi


Bentuk integrasi dalam layanan pendidikan adalah sistem
yang memberikan kesempatan kepada anak-anak berkebutuhan
khusus untuk belajar bersama dengan anak-anak normal dalam satu
lembaga. Integrasi dalam sistem pendidikan, yang juga disebut
sebagai pendekatan terpadu, adalah pendekatan yang menghadirkan
anak-anak berkebutuhan khusus ke dalam lingkungan yang bersatu
dengan anak-anak normal. Integrasi ini dapat terjadi dalam skala
yang berbeda, baik secara menyeluruh maupun sebagian, dengan
tujuan meningkatkan interaksi sosial.

Dalam kerangka integrasi, jumlah anak berkebutuhan khusus


dalam satu kelas biasanya dibatasi hingga maksimal 10% dari total
jumlah siswa. Selain itu, hanya satu jenis kelainan yang
diperbolehkan dalam satu kelas. Hal ini dilakukan untuk
meringankan beban guru kelas, jika dibandingkan dengan
pengajaran berbagai jenis kelainan dalam satu kelas. Dalam rangka
membantu anak-anak berkebutuhan khusus mengatasi kesulitan
mereka, sekolah terpadu biasanya menyediakan Guru Pembimbing
48

Khusus (GPK). GPK memiliki peran ganda sebagai konsultan bagi


guru kelas, kepala sekolah, atau anak berkebutuhan khusus itu
sendiri. Selain itu, GPK juga dapat berfungsi sebagai pembimbing di
ruang bimbingan khusus atau dalam kelas khusus. Menurut
Depdiknas (1986), terdapat tiga bentuk integrasi dalam layanan
pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus:
A. Keterpaduan Penuh di Kelas Biasa
Dalam bentuk keterpaduan ini, anak-anak berkebutuhan
khusus belajar sepenuhnya di kelas biasa dengan mengikuti
kurikulum reguler. Oleh karena itu, sangat penting bagi guru
kelas atau guru mata pelajaran untuk memberikan dukungan
maksimal, dengan memperhatikan petunjuk-petunjuk khusus
dalam mengadakan kegiatan pembelajaran di kelas biasa.
Bentuk keterpaduan ini juga dikenal sebagai "keterpaduan
penuh."
Guru pembimbing khusus dalam konteks ini berperan
sebagai konsultan bagi kepala sekolah, guru kelas, atau orang
tua anak berkebutuhan khusus. Sebagai konsultan, guru
pembimbing khusus memberikan nasihat terkait kurikulum
dan masalah-masalah yang muncul dalam mengajar anak
berkebutuhan khusus. Oleh karena itu, perlu ada ruang
konsultasi khusus untuk guru pembimbing.
Pendekatan, metode pengajaran, dan penilaian yang
digunakan di kelas biasa tidak berbeda dengan yang
digunakan untuk siswa biasa. Namun, beberapa mata
pelajaran mungkin perlu disesuaikan dengan kondisi anak,
seperti untuk anak tunanetra dalam mata pelajaran
menggambar, matematika, menulis, dan membaca.
B. Kelas Biasa dengan Ruang Bimbingan Khusus
Dalam bentuk keterpaduan ini, anak berkebutuhan khusus
mengikuti kelas biasa dengan kurikulum reguler, sambil
menerima layanan khusus untuk mata pelajaran tertentu yang
49

tidak dapat diikuti bersama dengan siswa reguler. Layanan


khusus ini disediakan dalam ruang bimbingan khusus oleh
guru pembimbing khusus (GPK) dengan pendekatan
individual dan metode yang sesuai. Ruang bimbingan ini
dilengkapi dengan peralatan khusus untuk memberikan
latihan dan bimbingan khusus, misalnya, alat tulis Braille
untuk anak tunanetra.
C. Kelas Khusus
Dalam bentuk keterpaduan ini, anak berkebutuhan khusus
mengikuti pendidikan yang sesuai dengan kurikulum di
Sekolah Luar Biasa (SLB) sepenuhnya di kelas khusus di
sekolah umum yang menerapkan program pendidikan
terpadu. Ini juga dikenal sebagai "keterpaduan lokal" atau
"keterpaduan sosialisasi."
Pada tingkat ini, guru pembimbing khusus bertindak sebagai
pelaksana program di kelas khusus. Pendekatan, metode, dan
cara penilaian yang digunakan di kelas khusus ini sesuai
dengan yang digunakan di SLB. Keterpaduan pada tingkat
ini hanya berlaku secara fisik dan sosial, terutama untuk
kegiatan non-akademik seperti olahraga, keterampilan, dan
interaksi sosial selama waktu istirahat atau acara-acara lain
yang diadakan oleh sekolah.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari hasil penjabaran di atas, maka dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut:
1. Anak berkebutuhan khusus atau yang sering kita sebut ABK
merupakan anak yang memerlukan perlakuan khusus dibandingkan
dengan anak lain pada usia yang sama.
2. Anak berkebutuhan khusus mempunyai keterbatasan (disabilitas)
pada kemampuannya, baik yang bersifat fisik seperti gangguan
pendengaran dan bahasa, maupun psikis seperti autisme dan OCD.
3. Terdapat berbagai jenis anak berkebutuhan khusus permanen. Hal ini
tergantung pada perspektif yang digunakan. Dalam buku
“Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus”, ABK dikelompokkan
menjadi 9 (sembilan) kategori.
4. Kategori pertama, Anak dengan hambatan penglihatan. Tuna rungu
merupakan gangguan pendengaran yang menghalangi seseorang
dalam mempersepsikan berbagai rangsangan, terutama melalui
pendengaran.
5. Kategori ketiga, Tunadaksa. Tunadaksa berasal dari kata “Tuna“
yang berarti rugi, kurang dan “daksa“ berarti tubuh. Anak tunadaksa
dapat diartikan sebagai bentuk kelainan atau kecacatan pada sistem
otot, tulang, dan persendian yang bersifat primer atau sekunder yang
dapat mengakibatkan gangguan koordinasi, komunikasi, dan
gangguan perkembangan keutuhan pribadi.
6. Kategori keempat, Tunagrahita. Anak yang kecerdasannya jauh di
bawah rata-rata dan ditandai oleh keterbatasan inteligensi dan
ketidakcakapan dalam interaksi sosial.
7. Kategori kelima, Tunalaras. anak yang perilakunya sering tidak
sesuai dengan norma-norma sosial di sekitarnya. Mereka kerap

50
51

8. melanggar aturan yang berlaku dalam masyarakat tempat mereka


tinggal.
9. Kategori keenam, Anak Berkesulitan Belajar. Kesulitan belajar
merujuk pada ketidakmampuan belajar, dan istilah ini mencakup
disfungsi otak serta gangguan neurologis.
10. Kategori ketujuh, Autisme. Autisme memiliki 15 ciri-ciri khas.
11. Kategori kedelapan, Anak dengan Inteligensi Tinggi. Anak jenis ini
memiliki kecepatan belajar akademik yang tinggi
12. Kategori kesembilan, Anak dengan Gangguan Pemusatan Perhatian.
DAFTAR PUSTAKA

Fitria, R. (2012). Proses Pembelajaran dalam Setting Inklusi di Sekolah


Dasar. Jurnal Ilmiah Pendidikan Khusus , 90-101.

Suharsiwi. (2017). Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta:


CV Prima Print.

52

Anda mungkin juga menyukai