Anda di halaman 1dari 39

MAKALAH

KETERBATASAN FISIK DAN GANGGUAN MOTORIK

PADA ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS


Disusun untuk memenuhi tugas

Mata Kuliah : Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus

Dosen Pengampu : Ibu Fahrunnisa, M.Psi.,

Oleh :

1. Isna Febri Astuti 21104030048

2. Isnaini Musyarofah 21104030064

3. Isfi Zahroum Mu’ashomah 21104030065

4. Zalifa Kunsyaharanti 21104030067

KELAS B

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM ANAK USIA DINI

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Keterbatasan Fisik Dan Gangguan
Motorik Pada Anak Berkebutuhan Khusus ini tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari
penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Pendidikan Anak
Berkebutuhan Khusus dengan Dosen Pengampu Ibu Fahrunnisa, M.Psi,. Selain itu, makalah
ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang gangguan yang dialami anak
berkebutuhan khusus bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Saya mengucapkan terima kasih kepada Ibu Fahrunnisa, M.Psi, selaku Dosen Pengampu Mata
Kuliah Pendidikan Anak Berkubutuhan Khusus dan juga semua pihak yang telah berkontribusi
dalam penyelesaian makalah ini. Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari
kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.

10 Maret 2023

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................ 2

DAFTAR ISI ......................................................................................................................... 3

BAB I .................................................................................................................................... 4

PENDAHULUAN .................................................................................................................. 4

A. Latar Belakang ........................................................................................................... 4

B. Rumusan Masalah....................................................................................................... 6

C. Tujuan ........................................................................................................................ 6

BAB II................................................................................................................................... 7

PEMBAHASAN .................................................................................................................... 7

A. TUNA NETRA ............................................................................................................ 7

B. TUNA RUNGU ......................................................................................................... 15

D. TUNADAKSA........................................................................................................... 25

E. DISPRAKSIA ........................................................................................................... 28

F. CEREBAL PALSY ................................................................................................... 30

G. TIC DISORDER.................................................................................................... 34

BAB III ............................................................................................................................... 38

PENUTUP ........................................................................................................................... 38

A. KESIMPULAN ......................................................................................................... 38

B. DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 38


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Fenomena gangguan perkembangan pada anak akhir-akhir ini seolah membuka


mat akita bahwa masih banyaknya kesimpang siuran informasi mengenai status dan
keberadaan mereka. Tidak ada orang yang meminta menjadi cacat. Namun menjadi
penyandang cacatpun bukan berarti tidak bisa berbuat apa-apa. Banyak individu yang
meskipun menjadi penyandang cacat bisa menjadi penerang hidup bagi teman-teman
berkebutuhan khusus lainnya. Secara kodrati semua manusia mempunyai berbagai
macam kebutuhan, tak terkecuali anak berkebutuhan khusus. Salah satu diantaranya
kebutuhan pendidikan. Dengan terpenuhi kebutuhan akan pendidikan anak
berkebutuhan khusus diharapkan bisa mengurusi dirinya sendiri dan dapat melepaskan
ketergantungan dengan orang lain. Tertampungnya anak berkebutuhan khusus dalam
lembaga pendidikan semaksimal mungkin berarti sebagian dari kebutuhan mereka
terpenuhi.
Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) merupakan istilah lain untuk menggantikan
kata “Anak Luar Biasa (ALB)” yang menandakan adanya kelainan khusus. Anak
berkebutuhan khusus mempunyai karakteristik yang berbeda antara yang satu dengan
yang lainnya. Karena karakteristik dan hambatan yang dimilki, ABK memerlukan
bentuk pelayanan pendidikan khusus yang disesuaikan dengan kemampuan dan potensi
mereka, contohnya, bagi tunanetra mereka memerlukan modifikasi teks bacaan menjadi
tulisan Braille dan tunarungu berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat.
Banyak kemudian istilah disematkan yang pada akhirnya mengacaukan pikiran
kita tentang kebermaknaan istilah tersebut. Mereka anak berkebutuhan khusus
merupakan bagian atau sekumpulan dari anak yang memiliki kekhususan dibandingkan
dengan anak normal lainnya. Anak berkebutuhan khusus dianggap berbeda oleh
masyarakat pada umumnya dibandingkan anak seusia mereka. Anak ini dapat dimaknai
dengan anak yang tergolong cacat atau menyandang ketunaan ataupun juga anak yang
memiliki kecerdasan atau bakat istimewa. Anak berkebutuhan khusus merupakan anak
yang memiliki kelainan fisik, mental, tingkah laku (behavioral) atau inderanya
memiliki kelainan yang sedemikian rupa sehingga untuk mengembangkan secara
maksimum kemampuannya (capacity) membutuhkan Pendidikan luar biasa yang beda
dengan anak kebanyakan. Jadi dari berbagai pendapat dapat disimpulkan bahwasannya
anak berkebutuhan khusus juga diartikan sebagai seorang anak yang memerlukan
Pendidikan yang disesuaikan dengan hambatan belajar dan kebutuhan masing-masing
anak secara individual.
Setiap anak secara kodrat membawa variasi dan irama perkembangannya
sendiri. Orang tua harus bersikap tenang dan terus memperhatikan pertumbuhan anak
agar terhindar dari gangguan apapun yang akan merugikannya. Tak dipungkiri pasti
semua orang tua mengharapkan anaknya lahir sempurna, tumbuh sehat, pandai serta
cerdas. Anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) adalah anak-anak yang tumbuh
dan berkembang dengan berbagai perbedaan dengan anak-anak pada umumnya.
Istilah anak-anak dengan kebutuhan khusus tidak mengacu pada sebutan untuk
anak-anak penyandang cacat, tetapi mengacu pada layanan khusus yang dibutuhkan
anak-anak dengan kebutuhan khusus. Anak luar biasa atau disebut sebagai anak
berkebutuhan khusus (children with special needs), memang tidak selalu mengalami
problem dalam belajar. Namun, ketika mereka diinteraksikan bersama-sama dengan
anak-anak sebaya lainnya dalam sistem pendidikan regular, ada hal-hal tertentu yang
harus mendapatkan perhatian khusus dari guru dan sekolah untuk mendapatkan hasil
belajar yang optimal.
Ada berbagai jenis kategori dalam lingkup jangka waktu anak-anak
dengankebutuhan khusus. Dalam konteks pendidikan khusus di Indonesia, anak-
anak dengan kebutuhan khusus dikategorikan dalam hal anak-anak tunanetra, anak-
anak tuna rungu, anak-anak dengan kecacatan intelektual, anak-anak penyandang cacat
motorik, anak-anak dengan gangguan emosi sosial, dan anak-anak dengan bakat cerdas
dan khusus. Setiap anak dengan kebutuhan khusus memiliki karakteristik berbeda
dari satu ke yang lain. Selain itu, setiap anak dengan kebutuhan khusus juga
membutuhkan layanan khusus yang disesuaikan dengan kemampuan dan
karakteristik mereka. Penting untuk melaksanakan kegiatan identifikasi dan
penilaian untuk mengidentifikasi karakteristik dan kebutuhan mereka. Hal ini
dianggap penting untuk mendapatkan layanan yang tepat sesuai dengan
karakteristik, kebutuhan dan kemampuannya.
Pemahaman anak berkebutuhan khusus terhadap konteks, ada yang bersifat
biologis, psikologis, sosio-kultural. Dasar biologis anak berkebutuhan khusus bisa
dikaitkan dengan kelainan genetik dan menjelaskan secara biologis penggolongan anak
berkebutuhan khusus, seperti brain injury yang bisa mengakibatkan kecacatan
tunaganda. Dalam konteks psikologis, anak berkebutuhan khusus lebih mudah dikenali
dari sikap dan perilaku, seperti gangguan pada kemampuan belajar pada anak slow
learner, gangguan kemampuan emosional dan berinteraksi pada anak autis, gangguan
kemampuan berbicara pada anak autis dan ADHD. Konsep sosio-kultural mengenal
anak berkebutuhan khusus sebagai anak dengan kemampuan dan perilaku yang tidak
pada umumnya, sehingga memerlukan penanganan khusus. Setiap anak berkebutuhan
khusus memiliki karakteristik yang berbeda-beda antara satu dengan yang lain.
Layanan untuk anak berkebutuhan khusus tidak dapat disamakan antara satu dengan
yang lain, akantetapi perlu diberikan sesuai dengan karakteristik kebutuhan dan
kemampuan mereka. Untuk mendapatkan layanan yang sesuai dengan karakteristik
kebutuhan dan kemampuannya, perlu dilakukan identifikasi dan asesmen terhadap
anak berkebutuhan khusus.

B. Rumusan Masalah

1. Apa defisini dari tunanetra, tunarungu, tunawicara, tunadaksa, dispraksia,


cerebal palsy, dan disorder?
2. Bagaimana cara mengenali dan mendiagnosa dari tunanetra, tunarungu,
tunawicara, tunadaksa, dispraksia, cerebal palsy, dan disorder?
3. Apa penyebab dari tunanetra, tunarungu, tunawicara, tunadaksa, dispraksia,
cerebal palsy, dan disorder?
4. Bagaimana upaya penanganan dari tunanetra, tunarungu, tunawicara, tunadaksa,
dispraksia, cerebal palsy, dan disorder?
5. Bagaimana pendidikan yang tepat bagi tunanetra, tunarungu, tunawicara,
tunadaksa, dispraksia, cerebal palsy, dan disorder?

C. Tujuan

1. Dapat mengetahui definisi dari tunanetra, tunarungu, tunawicara, tunadaksa,


dispraksia, cerebal palsy, dan disorder.
2. Dapat mengetahui Cara mengenali dan mendiagnosa dari masing-masing
gangguan.
3. Dapat memahami Penyebab dan pengobatan yang dilakukan.
4. Dapat mengetahui pendidikan yang tepat dari masing gangguan.
BAB II

PEMBAHASAN

A. TUNA NETRA

1. Pengertian
Tunanetra atau yang lebih dikenal dengan buta adalah seseorang yang
tidak bisa melihat atau seseorang yang telah kehilangan fungsi penglihatannya,
padahal pengertian tunanetra tidak sesempit itu, karena anak yang hanya
mampu melihat dengan keterbatasan (low vision) juga disebut tunanetra.
Gangguan penglihatan atau kebutaan karena kerusakan/kelainan pada mata
seseorang, menyebabkan kemampuan indera penglihatan seseorang tidak dapat
berfungsi dengan baik atau bahkan tidak dapat berfungsi sama sekali. maka
dalam proses pembelajarannya lebih menekankan pada alat indera yang lain
yaitu indera perabaan dan pendengaran.
Keterbatasan kemampuan melihat merupakan gangguan dalam fungsi
penglihatan. Keadaan ini disebabkan oleh kerusakan secara anatomis pada
organ mata sehingga mereka tidak dapat melihat dengan detil, jelas, dan
langsung apa yang sedang dikerjakan oleh orang lain yang berada disekitarnya.
Mereka yang mengalami gangguan penglihatan atau sering disebut juga dengan
tunanetra. Anak tunanetra merupakan salah satu populasi dari anak
berkebutuhan khusus, yang karena satu hal mengalami hambatan dalam
penglihatannya.
Tunanetra adalah seseorang yang mempunyai penglihatan yang kurang
akurat/kurang baik dibandingkan dengan orang awas, walaupun mereka sudah
dibantu dengan alat bantu visual, dan menyebabkan mereka memerlukan energi
dan waktu yang banyak untuk mengerjakan tugas- tugas visual (Ratnasari,
2015). Anak tunanetra dibagi menjadi dua bagian yaitu buta total dan kerusakan
sebagian atau low vision, seorang anak dikatakan buta total jika anak tidak dapat
melihat sama sekali karena tidak adanya cahaya yang masuk kedalam mata,
sedangkan seorang anak dikatakan low vision jika anak masih bisa melihat atau
masih mempunyai sisa penglihatan walaupun hanya sedikit karena cahaya dapat
masuk ke dalam matanya, penglihatan anak low vision dapat dibantu dengan
menggunakan alat khusus seperti kaca pembesar. Dengan tidak berfungsinya
penglihatan dengan baik menyebabkan keterbatasan kepada anak tunanetra
seperti keterbatasan dalam memperoleh keanekaragaman pengalaman,
mengenal lingkungan, berpindah tempat, dan berinetraksi dengan lingkungan.
Kita telah mengetahui bahwa ketunanetraan bisa terjadi sejak lahir maupun
setelah lahir. Hal ini akan mempengaruhi kebutuhan diri seorang tunanetra.
Dalam terjadinya kerusakan visual kita dapat melihat dari dua factor yaitu: Usia
dan saat terjadinya kerusakan penglihatan dan bagaimana terjadinya kerusakan
penglihatan. Kedua factor tersebut menyebabkan pengaruh yang berbeda
terhadap diri tunanetra. Definisi Tunanetra menurut Kaufman & Hallahan
adalah individu yang memiliki lemah penglihatan atau akurasi penglihatan
kurang dari 6/60 setelah dikoreksi atau tidak lagi memiliki penglihatan. Karena
tunanetra memiliki keterbataan dalam indra penglihatan maka proses
pembelajaran menekankan pada alat indra yang lain yaitu indra peraba dan indra
pendengaran. Oleh karena itu prinsip yang harus diperhatikan dalam
memberikan pengajaran kepada individu tunanetra adalah media yang
digunakan harus bersifat taktual dan bersuara, contohnya adalah penggunaan
tulisan braille, gambar timbul, benda model dan benda nyata. sedangkan media
yang bersuara adalah tape recorder dan peranti lunak JAWS. Untuk membantu
tunanetra beraktivitas di sekolah luar biasa mereka belajar mengenai Orientasi
dan Mobilitas.
Berdasarkan pengertian tersebut dapat kita simpulkan bahwa anak-anak
tunanetra adalah anak yang mengalami permasalahan pada fungsi
penglihatannya, sehingga mereka mengalami permasalahan dalam berorientasi
dengan lingkunganmelalui indera penglihatannya. Tentunya anak yang
mengalami ketunanetraan akan menglami permasalahan dalam proses
belajarnya, berbeda dengan anak normal yang dapat menerima informasi
dariindera penglihatannya. Berdasarkan saat terjadinya gangguan tunanetra
sebagai berikut :
a. Tunanetra sebelum dan sejak lahir Kelompok ini terdiri dari orang yang
mengalami ketunanetraan pada saat dalam kandungan atau sebelum usia
satu tahun.
b. Tunanetra batita Tunanetra batita yaitu orang yang mengalami
ketunanetraan pada saat ia berusia dibawah tiga tahun.
c. Tunanetra balita Tunanetra balita yaitu orang yang mengalami
ketunanetraan pada saat ia berusia antara 3-5 tahun.
d. Tunanetra pada usia sekolah Kelompok ini meliputi anak yang
mengalami ketunanetraan pada usia anak 6 -12 tahun.
e. Tunanetra remaja Tunanetra remaja adalah orang yang mengalami
ketunanetraan pada saat usia remaja atau antara usia 13-19 tahun.
f. Tunanetra dewasa Tunanetra dewasa yaitu orang yang mengalami
ketunanetraan pada usia dewasa atau usia 19 tahun keatas.
Ada dua cara yang umum untuk mendefinisikan gangguan penglihatan:
a. Legal Definisi awam dan medis.
Definisi ini menyangkut pemeriksaan ketajaman dan bidang penglihatan
yang digunakan untuk menentukan apakah seorang individu untuk bisa
memperoleh keuntungan yang tersedia bagi orang buta. American
Medical Association mengusulkan definisi ini pada 1934 dan sekarang
diterima oleh American Foundation for the Blind. Orang yang buta
secara hokum adalah seorang yang mempunyai ketajaman visual20/200
atau kurang pada mata yang lebih baik, meskipun dengan koreksi
(misalnya kaca mata) atau mereka yang bidang penglihatannya
sedemikian sempit sehingga diameter terluas di bawah 20 derajad.
Pecahan 20/200 berarti orang melihat pada jarak 20 kaki apa yang dilihat
orang normal pada 200 kaki (ketajaman visual normal adalah 20/20).
Dimasukkannya bidang penglihatan yang sempit berarti bahwa
seseorang mungkin saja memiliki ketajaman 20/20 di pusat penglihatan,
tetapi mengalami penglihatan tepi yang parah. Sebagai tambahan pada
klasifikasi kebutaan, ada juga suatu kategori yang mengacu pada
kebutaan sebagian (partially blind) atau penglihatan sebagian (partially
sighted). Orang dengan kebutaan sebagian atau penglihatan sebagian,
menurut sistem klasifikasi legal, adalah orang yang ketajaman visualnya
antara 20/70 dan 20/200 pada mata yang baik dengan koreksi.
b. Educational Definisi dari para pendidik.
Sebagian besar pendidik menemukan bahwa skema legal masih kurang
memadai. Mereka mengamati bahwa ketajaman visual bukanlah
predictor yang akurat mengenai bagaimana orang akan berfungsi atau
menggunakan sisa penglihatan yang dimiliki. Untuk tujuan pendidikan,
orang yang buta adalah mereka yang mengalami gangguan yang parah
sehingga harus diajar membaca dengan Braille atau dengan
menggunakan metode pendengaran (pita audio atau rekaman); individu
dengan penglihatan sebagian dapat membaca cetakan walaupun mereka
perlu menggunakan kaca pembesar atau buku dengan cetakan yang
besar.
2. Cara mengenali atau mendiagnosa
a. Saat masih bayi, anak tidak merespon saat digoda dengan wajah lucu, dan
mainan berwarna mencolok yang biasanya disukai oleh anak lainnya.
b. Saat diajak berbicara, arah mata tidak tertuju kepada lawan yang diajak
berbicara, melainkan tertuju kearah lainnya.
c. Anak suka berkedip dan menyipitkan matanya.
d. Mata berair, infeksi, dan bengkak didekat bulu mata.
e. Secara psikis, anak-anak yang mengalami tunanetra akan lebih mudah
tersinggung, dikarenaka ia merasa memiliki kekurangan dibandingkan anak
lainnya.

3. Penyebab
Penyebab paling umum pada gangguan penglihatan adalah kesalahan
refraksi. Myopia (rabun jauh), hyperopia (rabun dekat) dan astigmatisme
(pandangan kabur) terjadi akibat kesalahan refraksi yang mempengaruhi
ketajaman visual. Myopia terjadi karena bola mata terlalu panjang, sehingga
fokus bayangan benda jatuh di depan retina. Myopia berpengaruh pada
pandangan jauh, tetapi pandangan dekat mungkin tidak terpengaruh.
Sebaliknya, hyperopia terjadi karena bola mata terlalu pendek, sehingga fokus
bayangan benda jatuh di belakang retina. Bila kornea atau lensa mata tidak
teratur, orang akan mengalami astigmatisme. Pada kasus ini, bayangan dari
objek akan kabur atau terdistorsi. Ketiga gangguan penglihatan ini bisa
dikoreksi dengan kaca mata atau lensa kontak. Gangguan penglihatan lain
adalah glaucoma, yaitu terjadinya tekanan yang berlebihan pada bola mata.
Penyebab glaucoma masih belum diketahui secara pasti. Bila tidak terdiagnosis,
kondisi ini bisa meningkat, sehingga penyaluran darah ke syaraf mata bisa
terhenti dan berakibat kebutaan. Cataract terjadi karena berawan/berkabutnya
lensa mata yang mengakibatkan pandangan menjadi kabur. Pada anak-anak, hal
ini disebut congenital cataract. Penglihatan jarak dan warna amat terpengaruh.
Tindakan operasi biasanya dilakukan untuk mengoreksi gangguan ini.
Gangguan yang disebabkan oleh diabetes adalah diabetic retinopathy, yaitu
suatu kondisi yang terjadi karena penyaluran darah ke retina terinterferensi.
Kondisi bawaan lain adalah coloboma, suatu penyakit degenerative dimana
daerah pusat atau tepi retina tidak terbentuk secara sempurna. Akibatnya terjadi
gangguan pada ketajaman medan atau pusat penglihatan. Kondisi prenatal yang
lain adalah retenistis pigmentosa, suatu penyakit herediter yang mengakibatkan
degenerasi pada retina. Termasuk dalam klasifikasi ini adalah infeksi yang
berpengaruh pada janin, seperti syphilis atau rubella. Dua gangguan penglihatan
yang lain adalah strabismus dan nystagmus. Strabismus adalah salah satu atau
kedua mata diarahkan terlalu ke dalam atau keluar. Hal ini terjadi karena fungsi
otot mata yang tidak tepat. Bila tidak dikoreksi, kondisi ini bisa menimbulkan
kebutaan, karena otak akan menolak signal dari mata yang menyimpang.
Nystagmus adalah gerakan mata yang cepat dan tak terkendali. Hal ini
mengakibatkan pusing dan mual. Nystagmus sering menandakan adanya
malfungsi otak atau masalah pada telinga dalam.
a. Faktor keturunan atau genetis
b. Faktor penyakit saat dalam kandungan
c. Kurangnya nutrisi pada saat ibu hamil
d. Faktor gangguan pada saat persalinan
e. Faktor penyakit tertentu, misalnya xeropthalmia trachoma, katarak,
glaucoma, diabetes, dan macular degeneration
f. Faktor kecelakaan.
4. Upaya penanganan
a. Mengasuh sendiri dan memilih sekolah terbaik.
b. Menerima kenyataan bahwa anak lemah dalam penglihatan dan
memberi pemahaman terhadap mereka.
c. Kesabaran untuk membangun kemandirian pada penyandang tunanetra.
d. Menumbuhkan kemampuan untuk berinteraksi secara sosial.
5. Bagaimana Pendidikan yang tepat
a. Mobility training and daily living skill, yaitu latihan untuk berjalan dan
orientasi tempat dan ruang dengan berbagai sarana yang diperlukan serta
latihan keterampilan kehidupan keseharian yang berkaitan dengan
pemahaman uang, belanja, mencuci, memasak, kebersihan diri, dan
membersihkan ruangan.
b. Traditional curriculum content area, yaitu orientasi dan mobilitas,
keterampilan berbahasa termasuk ekspresinya dan keterampilan
berhitung.
c. Communication media, yaitu penguasaan braille dalam komunikasi.
6. Pengukuran Kemampuan Visual
Ketajaman visual biasa diukur dengan peta Snellen (Snellen chart) yang
terdiri dari baris-baris huruf (untuk mereka yang tahu abjad) atau E (bagi anak
yang amat muda atau yang tak dapat membaca). Ada 8 baris yang berkaitan
dengan jarak 15, 20, 30, 40, 50, 70, 100 dan 200 kaki. Orang biasanya diuji pada
jarak 20 kaki (6 meter). Bila mereka bisa membaca huruf pada baris 20 kaki,
mereka dikatakan mempunyai ketajaman visual pusat 20/20; bila mereka bisa
membaca huruf pada baris 70 kaki yang lebih besar, mereka dikatakan
mempunyai ketajaman visual pusat 20/70. Salah satu masalah dalam
penggunaan peta Snellen adalah pengukuran ini bukan predictor yang akurat
mengenai seberapa baik anak akan dapat membaca. Ketajaman visual diukur
dalam jarak tertentu, bukan untuk jarak dekat. Oleh karena itu, laporannya
berkaitan dengan ketajaman visual jarak jauh. Padahal banyak aktivitas
pendidikan – terutama membaca – membutuhkan kemampuan visual jarak
dekat. Maka dikembangkan peta Snellen dengan jarak 14 inci (35 cm). Tes
penglihatan dekat lain adalah peta Jaeger (Jaeger chart) yang terdiri dari baris
huruf dengan berbagai ukuran. Salah satu 33 aspek yang bermanfaat dari peta
Jaeger adalah hasilnya bisa diinterprestasi dalam kaitan materi membaca apa
yang dapat digunakanoleh orang yang bergangguan penglihatan.
Barraga dan kawan-kawan telah mengembangkan instrument asesmen –
Diagnostic Assessment Procedure (DAP) – untuk memeriksa fungsi
penglihatan. DAP terdiri dari 40 tugas yang terbagi dalam 8 kategori.
a. Kesadaran akan stimulus visual
b. Kontrol gerakan mata, diskriminasi bentuk dan warna
c. Eksplorasi, diskriminasi , penggunaan objek
d. Diskriminasi dan identifikasi gambar objek, orang, aksi
e. Ingatan akan detil, hubungan bagian-keseluruhan, diskriminasi
figur-latar belakang
f. Diskriminasi, identifikasi, reproduksi figur dan simbol abstrak
g. Persepsi hubungan dalam gambar, figur abstrak, simbol
h. Identifikasi, persepsi, reproduksi simbol tunggal dan kombinasi
simbol

7. Karakteristik Psikologis dan Perilaku


a. Perkembangan bahasa
Banyak penulis percaya bahwa gangguan penglihatan tidak mengubah
kemampuan memahami dan menggunakan bahasa. Mereka menunjuk pada
beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa siswa dengan hambatan
penglihatan tidak ada berbeda dengan yang berpenglihatan normal pada tes
inteligensi verbal maupun pada aspek-aspek penting bahasa. Hanya
beberapa aspek kecil, seperti gerak tubuh, yang menunjukkan perbedaan.
Karena sensori pendengaran lebih penting dari pada penglihatan dalam
belajar bahasa, maka penyandang tuna netra relatif tidak terpengaruh fungsi
bahasanya, bahkan mungkin lebih termotivasi karena merupakan saluran
utama untuk berkomunikasi.
b. Kemampuan intelektual
Menurut Samuel P. Hayes kebutaan tidak otomatis mengakibatkan
inteligensi yang rendah. Ia tidak menemukan bahwa anak yang buta
mengalami kemalangan dalam inteligensi verbal dan tidak ada hubungan
antara usia terjadinya kebutaan dan IQ.
c. Kemampuan konseptual
Perkembangan kemampuan konseptual atau berpikir pada anak buta
tertinggal di belakang anak yang melihat. Khususnya, anak yang terganggu
secara visual lebih buruk pada tugas-tugas yang membutuhkan berpikir
abstrak. Mereka jauh lebih bisa berinteraksi dengan lingkungan secara
konkrit. Hal ini juga diamati oleh Stephens dan Grube bahwa anak buta
lebih terbelakang dalam pemahaman terhadap tugas konseptual.
Kemampuan spasial Anak yang buta lebih inferior pada konsep spasial,
tetapi kemampuan ini bukanlah tidak mungkin dikembangkan oleh mereka
yang buta. Tampaknya orang buta mengembangkan konsep spasial dengan
menggunakan indera lain selain penglihatan. Orang buta kadang
mengembangkan penilaian jarak dengan memperhatikan waktu yang
dibutuhkan untuk berjalan dalam jarak tertentu. Indera peraba juga biasa
digunakan untuk memperoleh konseptualisasi spasial, tetapi karena
keterbatasan indera ini, kadang mereka juga mengalami kesulitan.
d. Mobilitas
Kemampuan yang mungkin paling penting bagi penyesuaian diri yang
berhasil adalah kemampuan mobilitas – kemampuan untuk bergerak di
lingkungan. Ketrampilan mobilitas ini tergantung pada kemampuan spasial.
Ada 2 cara orang yang cacat penglihatan dapat memroses informasi spasial:
1) Sebagai rute yang berangkai
2) Sebagai peta yang menggambarkan relasi umum dari berbagai poin
di lingkungan.
3) Yang terakhir disebut sebagai cognitive mapping, dan lebih disukai,
karena lebih menawarkan fleksibilitas dalam menavigasi
lingkungan.
e. Prestasi akademis
Penelitian mengenai prestasi akademik pada penderita gangguan
penglihatan hanya sedikit, karena kesulitan pengukuran yang bisa
membandingkan mereka yang buta dan melihat. Misalnya kesulitan untuk
mengukur kemampuan membaca antara mereka yang buta dan melihat,
karena huruf yang digunakan berbeda. Kesimpulan umum yang diterima
secara umum adalah pengaruh terhadap prestasi akademik mereka yang
terganggu penglihatannya tidak sebesar pengaruh pada mereka yang
terganggu pendengarannya. Terbukti pendengaran lebih penting bagi
pendidikan dari pada penglihatan. Stimuli 35 yang penting dalam belajar
lebih mudah dan lebih efektif disampaikan pada orang yang buta dari pada
orang yang tuli.
f. Penyesuaian sosial
Disimpulkan bahwa masalah kepribadian bukanlah kondisi yang
melekat pada kebutaan. Bila maladjustment terjadi pada orang buta, hal ini
lebih mungkin dikarenakan cara lingkungan memperlakukan mereka.
Reaksi lingkungan terhadap orang buta yang menentukan penyesuaian
mereka. Beberapa ahli percaya bahwa orang buta mengalami kesulitan
mempelajari ketrampilan sosial seperti ekspresi wajah yang tepat, karena
ketrampilan semacam ini biasanya diperoleh melalui modeling dan umpan
balik visual. Beberapa penulis memperhatikan bahwa mereka yang
mengalami gangguan visual tertinggal dalam perolehan informasi seksual
yang akurat, karena informasi tentang seks biasanya diperoleh melalui
organ penglihatan.
g. Pertimbangan Khusus dalam Pendidikan Prasekolah
Anak yang bergangguan penglihatan mengalami kesulitan untuk
melakukan eksplorasi benda apa yang ada di sekitar mereka. Hal ini
membawa konsekuensi serius dalam perkembangan kognitif, sehingga
mereka mengalami penundaan perkembangan kognitif selama kira-kira 18
bulan. Anak buta sering juga lambat dalam menggapai sumber suara.
Mereka tidak menggapai benda yang mereka dengar sampai akhir tahun
pertama, sementara anak yang melihat sudah melakukannya pada usia 6
bulan. Keterlambatan ini dispekulasi yang menyebabkan kelambatan
mereka untuk merangkak, karena mereka tidak mengejar apa yang ada di
sekitar. Orang tua mengalami kesulitan untuk menerima anaknya yang buta,
sehingga mereka kurang fokus untuk mengasuh anaknya yang buta. Oleh
karena itu, perlu ditekankan kelekatan emosi yang kuat dengan anak. Tanpa
ikatan emosi yang kuat, anak yang buta akan sulit untuk mengembangkan
kognisi. Hal ini bisa dimulai dengan pelatihan bahasa, kognisi dan
mobilitas. Salah satu hal yang juga penting adalah pengembangan fungsi
motorik. Hal ini bisa dilakukan dengan pelatihan gerakan yang terstruktur.
h. Pertimbangan Khusus dalam Pendidikan Remaja dan Dewasa Kemandirian
Ada beberapa saran untuk mengurangi ketergantungan orang buta:
1) Menghargai dan mendorong individualitas, kemampuan dan
kemandirian Orang buta kadang tidak perlu dibantu, maka bertanya
„apakah perlu dibantu‟ lebih baik dari pada langsung memberi
bantuan. Jangan merasa malu atau bantuan ditolak.
2) Mengajak bicara Perkenalkan diri sebelum mengajak berbicara atau
menawarkan bantuan dan memberi tahu bila akan meninggalkan
mereka.
3) Mengetahui teknik membimbing Membiarkan orang buta
memegang lengan dan berjalan sedikit di belakang dan berjalan
dengan kecepatan normal. Sedikit mendahului dan memberi tahu ke
arah mana pintu terbuka atau bila ada halangan di jalan.
4) Serba neka 36 Memberi orientasi ke arah mana ruangan yang
mereka tuju atau memberi tahu perlengkapan yang akan mereka
pergunakan.

B. TUNA RUNGU

1. Pengertian
Tunarungu dapat diartikan sebagai gangguan pendengaran, dimana anak
yang mengalami ketunarunguan adalah menglami permasalahan pada hilangnya
atau berkurangnyakemampuanpendengaran. Tunarungu berarti kekurangan
atau kehilangan kemampuan mendengar yang disebabkan oleh kerusakan
seluruh alat pendengaran yang mengakibatkan hambatan dalam perkembangan
bahasa sehingga memerlukan bimbingan dan pelayanan khusus. Dikalangan
masyarakat umum, tunarungu lebih dikenal dengan kata tuli, yaitu seseorang
yang tidak mampu mendengar atau memiliki kerusakan pada organ dengarnya.
Namun istilah tuli dimasyarakat kadang lebih sering menuju kearah mengejek
atau mencaci.
Anak tunarungu menunjukan kesulitan mendengar dari kategori ringan
maupun berat, digolongkan ke dalam kurang dengar dan tuli. Tunarungu adalah
orang yang kehilangan kemampuan mendengar sehingga menghambat
proses informasi bahasa melalui pendengarannya, baik memakai ataupun
tidak memakai alat bantu dengar dimana batas pendengaran yang
dimilikinya cukup memungkinkan keberhasilan proses informasi bahasa
melalui pendengaran. Menurut Soewito dalam buku Ortho paedagogik
Tunarungu adalah : “Seseorang yang mengalami ketulian berat sampai total,
yang tidak dapat menangkap tuturkata tanpa membaca bibir lawan bicaranya”.
Anak tunarungu adalah anak yang mengalami kehilangan kemampuan
mendengar baik itu sebagian atau seluruhnya yang diakibatkan kerusakan
fungsi pendengaran baik sebagian atau seluruhnya sehingga membawa
dampak kompleks terhadap kehidupannya. Anak tunarungu merupakan anak
yang mempunyai gangguan pada pendengarannya sehingga tidak dapat
mendengar bunyi dengan sempurna atau bahkan tidak dapat mendengar sama
sekali, tetapi dipercayai bahwa tidak ada satupun manusia yang tidak bisa
mendengar sama sekali. Walaupun sangat sedikit, masih ada sisa-sisa
pendengaran yang masih bisa dioptimalkan pada anak tunarungu tersebut.
Berkenaan dengan tunarungu, terutama tentang pengertian tunarungu
terdapat beberapa pengertian sesuai dengan pandangan masing-masing.
Menurut Andreas Dwidjosumarto mengemukakan bahwa seseorang
yang tidak atau kurang mampu mendengar suara dikatakan tunarungu.
Ketunarunguan dibedakan menjadi dua kategori, yaitu tuli (deaf) atau kurang
dengar (hard of hearing)(Laila, 2013: 10). Tunarungu adalah individu yang
memiliki hambatan dalam pendengaran baik permanen maupun tidak
permanen.
Beberapa pengertian dan definisi tunarungu di atas merupakan
definisi yang termasuk kompleks, sehingga dapat disimpulkan bahwa anak
tunarungu adalah anak yang memiliki gangguan dalampendengarannya, baik
secara keseluruhan ataupun masih memiliki sisa pendengaran. Meskipun anak
tunarungu sudah diberikan alat bantu dengar, tetap saja anak tunarungu
masih memerlukan pelayanan pendidikan khusus.
2. Klasifikasi
Ada dua sudut pandang dalam mendefinisikan dan mengklasifikasikan
gangguan pendengaran:
a. Orientasi fisiologis
Terutama memperhatikan pengukuran kehilangan pendengaran. Orang
yang tidak bisa mendengar di atas tingkat kekerasan (loudness) tertentu
dianggap tuli dan mereka yang kehilangan pendengaran di bawah tingkat
tertentu dianggap sulit mendengar (hard of hearing). Satuan
pengukurannya adalah decibel (0 adalah suara terlemah yang masih
terdengar oleh orang normal). Di atas 90 dB dianggap tuli.
b. Orientasi pendidikan
Terutama berkaitan dengan seberapa jauh kehilangan pendengaran
mempengaruhi kemampuan anak untuk berbicara dan mengembangkan
bahasa, karena ada hubungan yang erat antara kehilangan pendengaran
dengan tertundanya perkembangan berbahasa. Dari sudut pandang
tersebut muncul definisi-definisi:
Gangguan pendengaran adalah istilah generik yang menunjukkan
ketidakmampuan pendengaran yang mungkin bervariasi dari ringan sampai
parah. Pengertian ini meliputi tuli dan sulit mendengar.
Seorang yang tuli adalah mereka yang ketidakmampuan pendengarannya
menghalangi pemrosesan informasi linguistic melalui pendengaran, dengan
atau tanpa alat bantu dengar.
Orang yang sulit mendengar adalah mereka yang biasanya dengan
menggunakan alat bantu dengar mempunyai cukup sisa pendengaran untuk
memampukan pemrosesan informasi linguistic melalui pendengaran. Para
pendidik sangat memperhatikan onset gangguan pendengaran. Makin dini
kehilangan pendengaran, makin terganggu dalam kaitan dengan perkembangan
berbahasanya. Dengan alasan ini, para professional menggunakan istilah
congenitally deaf(mereka yang lahir tuli) dan adventitiously deaf (mereka yang
mengalami tuli beberapa waktu setelah kelahiran). Dua istilah lain yang lebih
spesifik dalam menekankan penerimaan bahasa adalah: prelingual deafness
(ketulian saat lahir atau pada usia dini sebelum perkembangan bicara atau
bahasa) dan postlingual deafness (ketulian yang terjadi pada usia perkembangan
bicara atau bahasa).
3. Cara mengenali atau mendiagnosa
a. Saat baru lahir tidak menangis.
b. Kurangnya respon saat dipanggil.
c. Sulit berbicara atau berbicara tanpa arti dan nada.
d. Sering memiringkan kepala saat diajak berbicara.
e. Terdapat kelainan fisik pada telinga
4. Penyebab gangguan
Sebab-sebab kelainan pendengaran atau tunarungu juga dapat terjadi sebelum
anak dilahirkan, atau sesudah anak dilahirkan. Menurut Sardjono
mengemukakan bahwa faktor penyebab ketunarunguan dapat dibagi dalam:
a. Faktor-faktor sebelum anak dilahirkan (pre natal)
1) Faktor keturunan Cacar air
2) Campak (Rubella, Gueman measles)
3) Terjadi toxaemia (keracunan darah)
4) Penggunaan pilkina atau obat-obatan dalam jumlah besar
5) Kekurangan oksigen (anoxia
6) Kelainan organ pendengaran sejak lahir.
b. Faktor-faktor saat anak dilahirkan (natal)
1) Faktor Rhesus (Rh) ibu dan anak yang sejenis
2) Anak lahir pre mature
3) Anak lahir menggunakan forcep (alat bantu tang)
4) Proses kelahiran yang terlalu lamad.
c. Faktor-faktor sesudah anak dilahirkan (post natal)
1) Infeksi
2) Meningitis (peradangan selaput otak)
3) Tunarungu perseptif yang bersifat keturunan
4) Otitismedia yang kronis
5) Terjadi infeksi pada alat-alat pernafasan
5. Upaya penanganan
a. Sabar dan ikhlas menghadapi amanah anak penyandang tunarungu.
b. Memeriksa anak dengan seksama dan memberikan sarana penunjang
untuk mendengar.
c. Terapi visual.
d. Terapi musik.
e. Terapi bermain.
f. Terapi wicara.
g. Terapi terpadu (terapi visual, terapi mendengar, terapi wicara).
6. Pendidikan yang tepat
a. Tidak mengajak anak untuk berbicara dengan cara membelakanginya.
b. Anak hendaknya didudukkan paling depan, sehingga memiliki peluang
untuk mudah membaca bibir guru.
c. Perhatikan postur anak yang sering memiringkan kepala untuk
mendengarkan.
d. Dorong anak untuk selalu memperhatikan wajah guru, berbicara dengan
anak dengan posisi berhadapan dan bila memungkinkan kepala guru
sejajar dengan kepala anak.
e. Guru berbicara dengan suara biasa tetapi dengan Gerakan bibirnya yang
harus jelas.
Dalam segi pelayanan pendidikan anak tunarungu memiliki kemampuan
yang tidak berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Namun daripada itu,
guru memerlukan metodekhususdalam menyampaikan materi pelajaran kepada
anak tunarungu. Guru harus mampu berbicara dengan mimik mulut yang
jelas, sehingga meskipun tanpa mendengar anak tunarungu dapat mencerna
informasi yang disampaikan. Lebih daripada itu, guru juga harus mampu
menggunakan bahasa isyarat atau bahasa tubuh untuk membantu proses
penyampaian informasi. Metode pembelajaran seperti ini dapat disebut dengan
pendekatan Komtal (Komunikasi Total) (Suparno,1989).
7. Karakteristik Psikologis dan Perilaku
Perkembangan bahasa dan bicara Bidang perkembangan yang paling
terganggu pada gangguan pendengaran adalah pemahaman dan produksi
bahasa. Disni ditekankan perbedaan bahasa lisan dan bahasa non lisan, karena
bahasa lisan adalah bahasa yang digunakan kebanyakan orang yang bisa
mendengar. Mereka yang mengalami gangguan pendengaran bisa saja pandai
dalam bentuk bahasa mereka sendiri. Kebanyakan orang dengan gangguan
bicara bisa berbicara. Meskipun gangguan pendengaran mengalami hambatan
perkembangan berbicara normal, tetapi hanya sedikit yang tidak dapat diajar
berbicara. Terbukti bahwa hampir tidak ada anak yang terlahir dengan tanpa
pendengaran yang absolut. Meskipun anak dengan gangguan pendengaran
mengalami hambatan perkembangan pemahaman dan produksi bahasa, tetapi
mereka yang tuli total hanya akan tumbuh bisu, kecuali bila diberi latihan
khusus. Kurangnya umpan balik juga disebut sebagai penyebab utama buruknya
produksi bahasa. Meskipun mereka sebenarnya mengalami tahap babbling
seperti anak yang normal, tetapi mereka sebentar dan lebih sedikit
menggunakan konsonan. Hal ini disebabkan anak yang bisa mendengar
mendapat penguatan verbal dan suara mereka sendiri.
8. Kemampuan intelektual
Ada 2 sudut pandang yang berbeda. Yang pertama, gangguan
pendengaran mengakibatkan kurangnya kemampuan konseptual, karena
berpikir tergantung pada bahasa. Akibatnya, konsep yang berkaitan dengan
bahasa sulit bagi individu dengan gangguan pendengaran. Yang lain
berpendapat bahwa kesulitan pada tugas konseptual mereka bukan karena
bahasa yang buruk, tetapi karena komunikasi yang tidak memadai dengan orang
di sekitar mereka. Kini sebagian besar penulis setuju bahwa bila menggunakan
tes inteligensi yang nonverbal, terutama bila tes ini menggunakan bahasa
isyarat, anak yang bergangguan pendengaran tidaklah terbelakang secara
intelektual. Mereka yang termasuk terbelakang berkisar 20 sampai 40 % dari
orang yang tuli dengan kecacatan tambahan, seperti visual, ketidakmampuan
belajar dan lain-lain.
9. Prestasi akademik
Sayangnya anak dengan gangguan pendengaran sering mengalami
hambatan prestasi akademik. Kemampuan membaca yang sangat
mengandalkan ketrampilan berbahasa dan merupakan aspek prestasi akademik
yang paling penting adalah yang paling terpengaruh. Anak dengan gangguan
pendengaran mengalami underachievement yang parah pada membaca. Pada
usia 20 tahun, hanya setengah dari siswa yang bisa membaca untuk kelas 4,
yaitu tingkat membaca surat kabar. Sedangkan di bidang hitungan, prestasi
tertinggi yang bisa dicapai remaja 20 tahun yang mengalami gangguan
pendengaran adalah kelas 8.
10. Penyesuaian sosial
Perkembangan kepribadian dan sosial pada populasi umum amat
tergantung pada komunikasi. Tidak mengherankan bahwa banyak peneliti
menemukan bahwa individu dengan gangguan pendengaran mempunyai
karakteristik kepribadian dan sosial yang berbeda dengan orang dengan
pendengaran yang normal. Meadow menunjukkan gangguan emosi yang berat
tidak lagi merupakan prevalensi pada individu yang tuli. Orang yang tuli
mempunyai masalah hidup yang lebih tinggi berkaitan dengan perkawinan,
sosial dan pekerjaan. Juga ada bukti bahwa 20 sampai 40 % anak tuli dengan
cacat tambahan –seperti gangguan visual, kesulitan belajar – lebih mungkin
mengalami maladjustment. Apakah anak dengan gangguan pendengaran
mengembangkan masalah perilaku tergantung pada bagaimana lingkungan
menerima ketidakmampuan mereka. Sama seperti gangguan fisik atau indera
yang lain, bagaimana penerimaan lingkungan – terutama orang tua – yang lebih
menentukan apakah anak akan menunjukkan masalah perilaku. Karena mereka
sering terputus dari komunikasi dengan lingkungan, anak dengan gangguan
pendengaran relatif terisolasi. Mereka mengalami kesulitan mencari teman dan
dipandang oleh guru sebagai amat pemalu, sehingga mereka menarik diri.
11. Perhatian Khusus dalam Pendidikan Anak Prasekolah
Moores menyatakan tiga faktor yang mendorong peningkatan program
pendidikan bagi anak yang bergangguan pendengaran adalah:
a. Banyak profesional memperhatikan penampilan akademik yang buruk
pada anak bergangguan pendengaran di sekolah dasar. Harapannya
bahwa intervensi yang lebih dini akan mengurangi buruknya penampilan
akademik.
b. Gerakan dalam pendidikan umum pada pendidikan pengganti/pelengkap
(misalnya Head Start) juga mempengaruhi para pendidik anak
bergangguan pendengaran mengamati pendidikan prasekolah sebagai
cara untuk memecahkan berbagai masalah pendidikan.
c. Epidemic campak pada 1964-1965 mengakibatkan lebih banyak anak
bergangguan pendengaran. Banyak diantara mereka mengalami
hambatan tambahan. Dalam mengantisipasi masuknya mereka ke
sekolah dasar pada tahun 1970an, para pendidik menyusun program
prasekolah untuk menolong mereka.

Meadow-Orlans sampai pada beberapa kesimpulan menarik. Makin dini


intervensi dimulai, makin besar kesempatan untuk efektif. Ia mendaftar
intervensi awal bagi anak bergangguan pendengaran.

a. Sangat ditekankan konseling orang tua, baik secara kelompok maupun


individual.
b. Melakukan pemeriksaan alat bantu dengar setiap hari untuk memastikan
alat tersebut bekerja dengan baik.
c. Mendorong perkembangan ketrampilan oral dan bicara.
d. Memasukkan bahasa isyarat sebagai komponen program untuk orang tua
maupun anak. Pandangan bahwa bahasa isyarat merupakan bantuan
komunikasi bagi anak dan alat yang perlu untuk perolehan bahasa.
e. Pendekatan yang fleksibel untuk mencocokkan kebutuhan bahasa
keluarga dan kapasitas program. Ini berarti melibatkan berbagai bahasa
isyarat yang digunakan orang tua anak tuli yang terlibat dalam program
pendidikan.
f. Kehadiran orang tuli sebagai staf atau sumber, baik penuh-waktu
maupun paruh-waktu, mengindikasikan sikap positif pada ketulian.
12. Pengelolaan Anak di Sekolah
Ada sejumlah saran untuk menangani masalah khusus anak yang
bergangguan pendengaran di kelas regular. Sebagian besar dari saran ini
berdasarkan pemahaman rasional:
a. Guru seharusnya memberi perhatian khusus pada kualitas dankuantitas
interaksi social anak bergangguan pendengaran. Menempatkan anak
bergangguan pendengaran dan anak normal bersama tidak menjamin
interaksi social yang tepat. Anak dengan gangguan pendengaran
cenderung lebih berinteraksi dengan guru dari pada temannya. Guru
perlu mencegah anak bergangguan pendengaran untuk selalu mencari
guru untuk minta bantuan. Siswa lain bisa diminta untuk menolong anak
bergangguan pendengaran.
b. Guru seharusnya memungkinkan pengaturan tempat duduk khusus bagi
anak bergangguan pendengaran, sehingga mereka bisa menangkap
sebanyak mungkin isyarat auditif maupun visual. Anak bergangguan
pendengaran sebaiknya ditempatkan di depan, supaya bisa mendengar
dan melihat dengan lebih baik. Jarak yang optimal adalah 2 meter dari
guru.
c. Gangguan/distraksi auditori atau visual harus ditekan seminimum
mungkin.
d. Membaca bibir akan terfasilitasi bila guru berbicara secara natural.
e. Guru perlu menyadari seberapa penting wajah dan tubuhnya sepenuhnya
tampak pada anak bergangguan pendengaran.
f. Karena kurang mengerti apa yang dikatakan atau karena menyadari
bahwa bicara mereka kurang sempurna, anak bergangguan pendengaran
sering menarik diri dari diskusi kelas. Penting bagi guru untuk menarik
anak ini untuk bergabung dalam diskusi kelas sebagai anggota, misalnya
dengan bertanya pada mereka yang tidak hanya membutuhkan jawaban
yang singkat atau meminta mereka membacakan bacaan singkat.
g. Guru perlu menyadari bahwa akan bergangguan pendengaran telah
belajar coping tertentu yang membuat mereka seolah-olah mengerti apa
yang sedang terjadi padahal mereka tidak mengerti. Misalnya ikut
tertawa padahal mereka tidak tahu apa yang lucu, mereka hanya
menirukan teman.
h. Guru seharusnya memberanikan anak untuk bertanya; bila perlu
mengulang pernyataan atau instruksi untuk meningkatkan kemampuan
membaca bibir anak bergangguan pendengaran.
i. Guru seharusnya berusaha menggunakan setiap bantuan visual,
misalnya dengan menulis di papan tulis atau menggunakan alat bantu
visual yang lain.
C. TUNA WICARA
1. Pengertian
Tunawicara adalah individu yang mengalami gangguan pada hal
berbicara sehingga sulit untuk menghasilkan suara atau mengatakan sesuatu
dalam berkomunikasi. Tunawicara adalah peristilahan secara umum yang
diberikan kepada anak yang mengalami kehilangan atau kekurangan
kemampuan berbicara, sehingga ia mengalami gangguan dalam melaksanakan
kehidupannya sehari-hari (Haenudin, 2013). Menurut Heri purwanto,
tunawicara adalah apabila sesorang mengalami kelainan baik dalam
pengucapan (artikulasi) bahasa maupun suaranya dari bicara normal, sehingga
menimbulkan kesulitan dalam berkomunikasi lisan dalam lingkungan.
Sedangkan menurut Frieda Mngunsong dalam psikologi dan pendidikan
anak luar biasa, tunawicara atau kelianan bicara adalah hambatan komunikasi
verbal yang efektif. Menurut Dr.Mljono Bdurrachman dan Drs. Sudjadi S dalam
pendidikan luar biasa umum (19994) gangguan wicara atau tunawicara adalah
suatu kerusakan atau gangguan dari suara, artikulasi dari bunyi bicara atau
kelancaran bebicara. Dapat disimpulkan bahwa anak tunawicara adalah
individu yang mengalami gangguan atau hambatan dalam komunikasi verbal
sehingga mengalami kesulitan dalam berkomunikasi.
Penyandang tuna wicara adalah seseorang yang memiliki keterbatasan
dalam berkomunikasi. Biasanya anak peyandang tuna wicara berkomunikasi
lewat simbol-simbol tertentu. Penyandang tunawicara untuk memandang
keterbatasan saat dihadapkan dengan situasi yang mengharuskan mengeluarkan
pemikirannya bahkan menunjukkan kemampuan yang ia miliki melalui bahasa
isyarat berdasarkan konsep diri yang mereka tanamkan dalam dirinya (Khairani,
Yusanto, & Putri, 2016). Tuna wicara merupakan suatu kelainan fisik dimana
orang tadi memiliki gangguan dalam berbicara serta bahkan tak mampu bicara.
Kelainan tadi bisa disebabkan sang berbagai hal, mirip adanya gangguan pada
pita bunyi, tenggorokan atau organ tubuh lainnya, serta bisa pula disebabkan
sebab faktor keturunan. Tuna wicara biasanya diikuti dengan kelainan lainnya,
yaitu tuna rungu atau tuli.
Tunawicara merupakan ketidakmampuan seseorang dalam berbicara.
Hal ini disebabkan oleh kurang atau tidak berfungsinya organ-organ untuk
berbicara, seperti rongga mulut, langit-langit, lidah dan pita suara, seseorang
yang mengalami tunawicara memiliki cara tersendiri dalam berkomunikasi,
yaitu dengan menggunakan bahasa isyarat. Bahasa isyarat merupakan alat yang
digunakan untuk berkomunikasi penyandang tunawicara kepada masyarakat
normal dengan menggunakan gerakan tangan, mimik, tubuh yang membentuk
simbol-simbol yang mengartikan suatu huruf atau kata. Ada dua bahasa isyarat
yang digunakan di Indonesia, yaitu Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI) dan
Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO). Meskipun SIBI digunakan sebagai
bahasa isyarat resmi di sekolah, tetapi itu tidak umum digunakan oleh para
tunarungu pada kehidupan sehari-hari mereka

2. Cara mengenali atau mendiagnosa


a. Bayi usia diatas 3 bulan ketika disapa tidak bisa tersenyum dan tidak
mengeluarkan suara apapun saat dipanggil namanya.
b. Bayi usia diatas 6 bulan tidak memalingkan kepala ketika ada suara yang
dtang dari samping atau belakang.
c. Bayi usia diatas 10 bulan belum memahami Namanya dan tidak bereaksi
saat dipanggil dengan Namanya sendiri.
d. Sulit mengucapkan kata-kata padahal sudah menginjak usia diatas 2
tahun.
e. Diatas usia 2 tahun masih belum mahir mengucapkanbanyak kata-kata.
f. Diatas usia 3 tahun bahasa anak masih belum dimengerti oleh
keluarganya sendiri.
g. Diatas usia 7 tahun anak masih sulit mengucapkan kata dengan benar
h. Mengalami suara sengau dan bindeng sampai dewasa
i. Tidak mampu menirukan bahasa yang diucapkan olehorang tua dan
keluarga dalam kesehariannya.
j. Tidak adanya pengecapan yang baik pada saat makan.
3. Penyebab
a. Faktor genetis.
b. Adanya kekurangan oksigen saat janin berada dalam kandungan ibu,
sehingga menyebabkan anoxia, tergantungnya sistem saraf karena
kekurangan oksigen.
c. Bayi premature, lahir sebelum waktunya sehingga lahir tidak sempurna
d. Adanya penyakit atau infeksi setelah anak lahir.

Faktor penyebab tunawicara menurut Drs. Sardjono anak tunawicara dapat


terjadi karena gangguan ketika :
a. Sebelum anak dilahirkan /masih dalam kandungan (pre natal).
b. Pada waktu proses kelahiran dan baru dilahirkan (umur neo natal).
c. Setelah dilahirkan (pos natal).
4. Upaya penanganan
a. Terapi metode bubling. Metode ini bertujuan untuk melatih kemampuan
bicara anak yang disesuaikan dengan usianya. Prosesnya dilakukan
dengan meminta anak meniru suara hewan atau kendaraan secara acak.
b. Terapi metode imitasi. metode imitasi merupakan proses belajar dengan
meniru perkataan atau bunyi yang diucapkan oleh orang lain. Ini
bertujuan untuk melatih artikulasi atau pengucapan kata.
c. Terapi metode analogi. Metode ini dilakukan dengan mengajarkan anak
mengucapkan bunyi atau kata-kata yang sebelumnya didahului oleh
bunyi. Contohnya, pelafalan huruf ‘d’ yang didahului dengan latihan
mengucapkan huruf ‘b’ terlebih dulu.
d. Terapi metode visual. Metode ini dilakukan dengan media gambar atau
video untuk mengenal nama benda, buah atau binatang. Kemudian, anak
mengucapkan nama dari benda, buah atau binatang yang barusan
dilihatnya.
e. Terapi Metode Auditif, Taktil dan Moto Kinestik. Metode auditif
dilakukan dengan mendengarkan orang lain berbicara terlebih dahulu,
kemudian anak menirukannya. Sedangkan metode taktil dilakukan
dengan mengoptimalkan pancaindera. Dalam kasus tuna wicara, metode
taktik dilakukan dengan melihat dan mengulang perkataan. Terakhir,
metode moto kinestetik. Ini adalah metode artikulasi yang dilakukan
dengan menggerakkan bagian mulut, rahang, dan leher oleh terapis.
Tujuannya adalah mencegah dan memperbaiki artikulasi yang salah.
5. Pendidikan yang tepat
Model pendidikan yang dapat diberikan kepada anak atau siswa yang
mengalami tunawicara adalah memberikan pendidikan inklusif. anak dengan
gangguan komunikasi membutuhkan adanya keterlibatan dari para ahli patologi
bicara. Adanya keterlibatan tersebut dapat membantu anak dengan gangguan
komunikasi dalam mengikuti proses belajar di kelas inklusif.

D. TUNADAKSA
1. Pengertian
Anak tunadaksa sering disebut dengan istilah anak cacat tubuh, cacat
fisik dan cacat ortopedi. Istilah tunadaksa berasal dari kata “tuna dan daksa“,
tuna berarti rugi, kurang dan daksa berarti tubuh. Tunadaksa adalah anak yang
memiliki anggota tubuh tidak sempurna, sedangkan istilah cacat tubuh dan cacat
fisik dimaksudkan untuk menyebut anak cacat pada anggota tubuhnya, bukan
cacat indranya. Pengertian tuna daksa secara etimologis, yaitu seseorang yang
mengalami kesulitan mengoptimalkan fungsi anggota tubuh sebagai akibat dari
luka, penyakit, pertumbuhan yang salah perlakuan, dan akibatnya kemampuan
untuk melakukan gerakan-gerakan tubuh tertentu mengalami penurunan.
Tunadaksa adalah suatu keadaan yang terganggu atau rusak sebagai
akibat dari gangguan bentuk atau hambatan pada otot, sendi dan tulang dalam
fungsinya yang normal. Di masyarakat sendiri istilah tunadaksa masih belum
terlalu familiar, masyarakat menyebut tunadaksa dengan kata cacat atau cacat
tubuh. Padahal kata cacat adalah kata yang kurang baik untuk di ucapkan,
apalagi untuk anak berkebutuhan khusus.Tunadaksa yang dialami seseorang
dapat terjadi karena bawaan dari lahir ataupun disebabkan oleh penyakit dan
kecelakaan.
Tunadaksa adalah individu yang memiliki gangguan gerak yang
disebabkan oleh kelainan neuro-muskular dan struktur tulang yang bersifat
bawaan, sakit atau akibat kecelakaan, termasuk cerebral palsy, amputasi,
polio, dan lumpuh. Tingkat gangguan pada tunadaksa adalah ringan yaitu
memiliki keterbatasan dalam melakukan aktivitas fisik tetapi masih dapat
ditingkatkan melalui terapi, sedang yaitu memiliki keterbatasan motorik dan
mengalami gangguan koordinasi sensorik, berat yaitu memiliki keterbatasan
total dalam gerakan fisik dan tidak mampu mengontrol gerakan fisik. Tunadaksa
sedang yang dimaksudkan disini adalah anak yang memiliki keterbatasan
dalam melakukan aktivitas fisik juga mengalami hambatan perkembangan
intelektual,sehingga mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik,
kemampuan sosial, dan karenanya memerlukan layanan pendidikan
khusus.
Tarmansyah (dalam Kantor Berita Gemari : 2006) mendefinisikan
“Tunadaksa adalah istilah lain dari cacat tubuh, yang dimaksud disini
adalah berbagai jenis gangguan fungsi fisik, yang berhubungan dengan
kemampuan motorik dan beberapa gejala penyerta yang mengakibatkan
seorang mengalami hambatan dalam mengikuti pendidikan normal, serta dalam
proses penyesuaian diri dengan lingkungannya. karakteristik tuna daksa
meliputi :
a. Karakteristik akademik, penyandang tuna daksa yang mengalami
kelainan pada sistem otot dan rangka adalah normal sehingga dapat
mengikuti pelajaran sama dengan individu normal, sedangkan
penyandang tunadaksa yang mengalami kelainan pada sistem cerebral,
tingkat kecerdasannya berentang mulai dari tingkat idiocy sampai
dengan gifted.
b. Karakteristik Sosial atau emosional, karakteristik sosial atau
emosional penyandang tunadaksa bermula dari konsep diri individu
yang merasa dirinya cacat, tidak berguna, dan menjadi beban orang
lain yang mengakibatkan mereka malas belajar, bermain dan
membentuk perilaku yang salah. Kehadiran individu cacat yang tidak
diterima oleh orang tua dan disingkirkan dari masyarakat akan merusak
perkembangan pribadi seseorang. Kegiatan yang tidak dapat dilakukan
oleh penyandang tunadaksa dapat mengakibatkan timbulnya masalah
emosi, seperti mudah tersinggung, mudah marah, rendah diri, kurang
dapat bergaul, pemalu, menyendiri, dan frustrasi.
c. Karakteristik Fisik atau Kesehatan, karakteristik fisik atau kesehatan
penyandang tunadaksa biasanya selain mengalami cacat tubuh adalah
kecenderungan mengalami gangguan lain, seperti sakit gigi,
berkurangnya daya pendengaran, penglihatan, dan gangguan bicara.
Kelainan tambahan itu banyak ditemukan pada penyandang tuna daksa
sistem cerebral.
2. Cara mengenali atau mendiagnosa
a. Jari tangan kaku dan tidak dapat menggenggam.
b. Terdapat bagian anggota gerak yang tidak lengkap/tidak sempurna/lebih
kecil dari biasa.
c. Kesulitan dalam gerakan (tidak sempurna, tidak lentur/tidak terkendali,
bergetar).
d. Terdapat cacat pada anggota gerak.
e. Anggota gerak layu, kaku, lemah/lumpuh
3. Penyebab
a. Faktor kelahiran Beberapa masalah dalam kelahiran yang menyebabkan
tunadaksa yaitu
1) Pinggul ibu yang terlalu sempit membuat bayi menjadi sulit
keluar dan terjepit.
2) Pemberian injeksi yang berlebihan untuk mendorong bayi keluar
mempengaruhi sistem saraf otaknya.
3) Treatment untuk mengekuarkan bayi yang dilakukan secara
ditarik juga mempengaruhi saraf bayi.
b. Faktor kecelakaan
Faktor kecelakaan bisa menjadi hal yang utama penyebab
tunadaksa pada seseorang. Kecelakaan bisa terjadi pada semasih bayi,
misalnya terjatuh pada saat digendong. Bisa juga terjadi pada saat anak
sudah bisa berjalan, misal 79 terjatuh dari tangga, terjatuh dari sepeda
atau mengalami kecelakaan dengan orang lain.
c. Terkena virus
Tunadaksa juga bisa disebabkan oleh virus yang mungkin menggerogoti
tubuhnya. Sehingga salah satu atau beberaspa organ tubuh menjadi tidak
berfungi. Misalnya polio dan beberapa virus lainnya.
4. Upaya penanganan
a. Orangtua perlu menyadari dan menerima sepenuhnya keadaan anak.
b. Mencari info yang sebanyak-banyaknya tentang hal yang terkait dengan
penanganan terhadap penyandang tunadaksa.
c. Memberikan ruang gerak dan sekolah yang sesuai bagi anak agar mereka
mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya.
d. Stimulasi kemampuan anak dalam bidang yang dikuasai dan
digemarinya.
5. Pendidikan yang tepat
Model pelayanan bagi tunadaksa dibagi menjadi dua kategori, yaitu
"sekolah khusus" dan "sekolah terpadu". Sekolah khusus dipergunakan bagi
anak yang mengalami masalah intelektualnya, seperti retardasi mental/kesulitan
gerakan dan emosinya. Sedangkan sekolah terpadu dipergunakan bagi anak
tunadaksa yang memiliki intensitas masalah yang relatif ringan dan tidak
disertai problem penyerta. Dengan kata lain, pelayanannya disatukan dengan
anak-anak normal lainnya di sekolah reguler. Dalam proses pembelajaran, anak
tunadaksa memerlukan metode-metode khusus yang disesuaikan dengan
kondisi tubuh. Tidak setiap anak tunadaksa dapat menulis dengan baik
dikarenakan kondisi motorik halus yang tidak memungkinkan. Selain
pembelajaran berbasis akademik, anak tunadaksa juga memerlukan
pembelajaran-pembelajaran khusus untuk melatih Soft Skill agar dapat
memanfaatkan sisa kemampuan atau fungsi gerak untuk dapat menghasilkan
karya cipta. Pelayanan-pelayanan tersebut sangat diperlukan anak-anak
tunadaksa agar dapat membantu kualitas hidupnya lebih baik dan mandiri.

E. DISPRAKSIA

1. Pengertian
Dispraksia adalah suatu bentuk gangguan perkembangan koordinasi
motorik halus dan kasar pada anak. Kondisi ini disebabkan oleh gangguan pada
saraf yang menyebabkan otak sulit memproses sinyal perintah gerak.
Sederhananya, dispraksia membuat anak kesulitan memikirkan, merencanakan,
mengeksekusi, dan mengatur gerakan sehingga membuat mereka tidak mampu
melakukan aktivitas fisik umum seperti berjalan, melompat, atau memegang
alat tulis sebaik anak-anak lain yang usianya seumuran. Dispraksia juga
menyebabkan seorang anak memiliki postur dan pergerakan yang janggal.
Selain mengganggu koordinasi gerak tubuh, dispraksia juga dapat memengaruhi
artikulasi dan ucapan, persepsi dan pemikiran. Meski begitu, dispraksia berbeda
dari gangguan motorik lain seperti cerebral palsy yang dapat menyebabkan
penurunan fungsi kognitif otak dan tingkat intelegensia. Dispraksia adalah
kondisi seumur hidup. Meski begitu, ada banyak jenis terapi yang bisa
membantu anak beradaptasi untuk beraktivitas sehari-hari.
Seseorang dengan dispraksia mempunyai masalah dengan gerakan dan
kordinasi. Hal ini juga dikenal dengan "Motor Learning Disability". Orang itu
merasa sulit untuk melakukan gerakan-gerakan yang halus dan terkordinasi.
Dispraksia sering muncul bersamaan dengan masalah-masalah berbahasa, dan
kadang-kadang suatu tingkat kesulitan dengan persepsi dan berpikir. Dispraksia
tidak mempengaruhi kepintaran seseorang, namun dapat mengakibatkan
kesulitan belajar, khususnya bagi anak-anak. Dispraksia adalah gangguan
umum yang mempengaruhi gerakan dan koordinasi. Ini juga dikenal sebagai
gangguan koordinasi perkembangan. Dispraksia tidak mempengaruhi
kecerdasan seseorang, melainkan mempengaruhi keterampilan koordinasi,
seperti melakukan sesuatu yang membutuhkan keseimbangan, berolahraga, atau
belajar mengemudikan mobil. Dispraksia juga dapat mempengaruhi
keterampilan motorik halus, seperti menulis atau menggunakan benda kecil.
Dyspraxia atau developmental coordination disorder merupakan kelainan
bawaan, tetapi tidak selalu dapat terdeteksi sejak lahir.
Berdasarkan jenis gerakan fisik yang mengalami gangguan, dispraksia
dapat dibedakan menjadi beberapa kategori, yaitu:
a. Dispraksia ideomotor: kesulitan melakukan gerakan satu tahap, seperti
menyisir rambut dan melambaikan tangan.
b. Dispraksia ideational: kesulitan untuk melakukan gerakan berurutan,
seperti saat menyikat gigi atau membereskan tempat tidur.
c. Dispraksia oromotor: kesulitan menggerakan otot untuk berbicara dan
mengucapkan kalimat sehingga hal yang diucapkan tidak dapat
terdengar jelas dan sulit dipahami.
d. Dispraksional constructional: kesulitan untuk memahami bangun ruang
atau spasial sehingga anak sulit memahami dan membuat gambar
geometris dan menyusun balok.
2. Cara mengenali atau mendiagnosa
a. Kesulitan menggunakan alat makan dan lebih suka menggunakan
tangan.
b. Tidak bisa naik sepeda roda tiga atau bermain dengan bola.
c. Terlambat dalam kemampuan menggunakan toilet.
d. Tidak menyukai puzzle dan mainan yang menyusun lainnya.
e. Kesulitan untuk melompat.
f. Terlambat dalam menggunakan tangan yang dominan.
g. Kesulitan menggunakan alat tulis.
h. Kesulitan menutup dan membuka kancing.
i. Kesulitan mengucapkan kata-kata
3. Penyebab
Dispraksia adalah gangguan koordinasi gerak tubuh yang disebabkan
oleh gangguan saraf pengirim sinyal dari otak ke otot anggota gerak. Banyak
pakar kesehatan yang percaya bahwa kondisi ini diakibatkan oleh faktor
genetik. Risiko dispraksia dilaporkan meningkat jika ibu terbiasa minum
alkohol saat hamil, atau bayi lahir prematur dengan berat rendah. Meski begitu,
mekanisme yang menyebabkan belum diketahui pasti.
4. Upaya penanganan
a. Terapi okupasi untuk meningkatkan kemampuan beraktivitas, seperti
menggunakan alat dan menulis.
b. Terapi bicara untuk melatih kemampuan anak berkomunikasi dengan
lebih jelas.
c. Terapi motor perceptual untuk meningkatkan kemampuan bahasa,
visual, gerakan serta mendengarkan dan memahami.
Selain terapi bersama dokter, beberapa cara yang dapat kita lakukan di
rumah untuk membantu anak dengan dispraksia adalah:
a. Mendorong anak aktif bergerak, dengan cara bermain atau olahraga
ringan seperti berenang.
b. Bermain puzzle untuk membantu kemampuan persepsi visual dan
spasial anak.
c. Mendorong anak untuk aktif menulis dan menggambar dengan alat tulis
seperti pulpen, spidol dan pensil warna.
d. Bermain lempar bola untuk membantu koordinasi mata dengan tangan.
5. Pendidikan yang tepat
Pendidikan untuk penderita ini yaitu di sekolah inklusif, namun
dikelompokkan berdasarkan gangguan yang dideritanya. Peserta didik tanpa
disertai kemampuan intelektual di bawah rata-rata, dengan adaptasi dapat
dimungkinkan mengikuti standar kurikulum yang sama.

F. CEREBAL PALSY

1. Pengertian
Cerebral palsy menurut asal katanya terdiri atas dua kata cerebral
cerebrum yang berarti otak, dan palsy yang berarti kekakuan. Menuru arti kata,
cerebral palsy berarti "kekakuan" yang disebabkan oleh sebab-sebab yang
terletak di dalam otak. Cerebral palsy merupakan suatu cacit yang disebabkan
oleh adanya gangguan yang terdapat di dalam otak, dan cactnya bersifat
kekakuan pada anggota geraknya. Tetapi kenyataannya tidaklah demikian, anak
cerebral palsy sering pula dijumpai mengalami kelayuhan, gangguan gerak,
gangguan koordinasi, getaran-getaran ritmis, dan gangguan sensoris. Istilah
cerebral palsy dimaksudkan untuk menerangkan adanya kelainan gerak, sikap
ataupun bentuk tubuh, gangguan koordinasi, dan kadang kadang disertai
gangguan psikologis dan sensoris, yang disebabkan oleh adanya kerusakan atau
kecacatan pada masa perkembangan otak. Menurut arti katanya cerebralpalsy
berasal dari perkataan cerebral dan palsy. Cerebral yang berarti otak dan palsy
berarti kekakuan. Jadi menurut asal katanya cerebralpalsy berarti kekakuan
yang disebabkan karena sebab-sebab yang terjadi di dalam otak (Soeharso,
1997, Yulianto 2006, Tri Budi Santosa, 2006). Cerebralpalsy merupakan
keadaan yang komplek, tidak hanya terjadi gangguan gerak, tetapi juga terjadi
gangguan pada pendengaran, penglihatan serta kecerdasan dan bicara. Oleh
karena itu, anak dengan celebralpalsy dianggap sebagai kelainan yang
kompleks.
Cerebral palsy merupakan salah satu jenis disabilitas fisik. Cerebral
palsy ini bukan sebuah penyakit, melainkan sebuah kondisi. Sehingga, kondisi
ini bersifat tidak bisa disembuhkan atau menetap. Maka, orangtua yang
memiliki anak dengan kondisi cerebral palsy harus menghadapi anaknya
dengan kondisi tersebut dalam jangka waktu panjang, bahkan seumur hidup.
Cerebral palsy (CP) adalah kelainan dari fungsi motor (berlawanan dengan
fungsi mental) dan postural tone yang didapat pada umur yang dini, bahkan
sebelum kelahiran. Tanda-tanda dan gejalagejala dari cerebral palsy biasanya
menunjukan diri pada tahun pertama kehidupan. Cerebral Palsy (CP,
Kelumpuhan Otak Besar) adalah suatu keadaan yang ditandai dengan buruknya
pengendalian otot, kekakuan, kelumpuhan dan gangguan fungsi saraf lainnya.
Cerebral palsy merupakan gangguan neuromotor yang disebabkan oleh luka/
kerusakan pada otak atau spinal cord (kerusakan neurological) yang juga
mempengaruhi kemampuan untuk menggerakan bagian-bagian tubuh manusia
(gangguan motorik). Gangguan ini dapat diasosiasikan dengan luka pada otak
karena infeksi pada janin, saat kesulitan persalinan, dan atau keadaan setelah
kelahiran yang menyebabkan jejas/ luka pada otak.
Cerebral palsy adalah kecacatan motorik yang paling umum dimasa
tumbuh-kembang seorang anak. Cerebral palsy adalah kecacatan yang 4
berhubungan dengan gangguan di otak. Palsy sendiri dapat diartikan dengan
kelemahan atau masalah yang berhubungan dengan otot. Pada masa anak-anak
otak akan berkembang, dan perkembangan otak akan berhenti ketika seorang
anak berusia 6-7 tahun. Cerebral palsy disebabkan oleh perkembangan otak
yang tidak normal atau kerusakan pada otak yang sedang berkembang dimana
dapat memengaruhi kemampuan seseorang untuk mengendalikan otot-ototnya.
Istilah cerebral palsy, yang dipergunakan secara luas, meliputi kelainan sistem
saraf yang ditandai dengan gejala kelumpuhan pada masa bayi atau anak-anak.
Anak dengan cerebral palsy akan mengalami gangguan motorik yang
dikarenakan adanya kerusakan pada jaringan otak, khususnya pada pusat
motorik atau jaringan penghubungnya. Kerusakan pada otak ini dapat terjadi
pada masa kehamilan, persalinan atau selama proses pembentukan syaraf pusat.
Anak dengan cerebral palsy juga bisa mengalami berbagai gangguan penyerta,
yaitu gangguan kognitif dan gangguan fisik. (Eliyanto & Hendriani, 2013).
Anak dengan cerebral palsy memiliki kondisi fisik yang berbeda dengan anak
tanpa cerebral palsy. Kondisi fisik anak cerebral palsy akan berbeda tergantung
pada tingkatan kondisinya, tetapi sebagian besar anak dengan cerebral palsy
tidak mampu bergerak dan beraktivitas dengan bebas (Maimunah, 2013). Anak
dengan cerebral palsy biasanya memiliki kesulitas dalam memegang objek,
merangkak, dan berjalan. Selain itu, anak dengan cerebral palsy memiliki
kelemahan dalam mengendalikan otot pada tenggorokkan, mulut, dan lidah
yang menyebabkan anak dengan cerebral palsy tampak selalu berliur, kesulitas
makan, dan menelan (Maimunah, 2013).
Menurut (Clark 1964, dalam Sriwidodo, 1985), cerebral palsy
merupakan suatu keadaan kerusakan jaringan otak pada pusat motorik atau
jaringan penghubungnya, yang terjadi pada masa prenatal, saat persalinan atau
selama proses pembentukan syaraf pusat, ditandai dengan adanya paralisis,
paresis, gangguan kordinasi atau kelainan-kelainan fungsi motorik.
2. Cara mengenali atau mendiagnosa
Pada anak yang terkena cerebral palsy, dapat timbul sejumlah gejala berikut ini:
a. Kecenderungan menggunakan satu sisi tubuh. Misalnya, menyeret salah
satu tungkai saat merangkak atau menggapai sesuatu hanya dengan satu
tangan.
b. Terlambatnya perkembangan kemampuan gerak (motorik), seperti
merangkak atau duduk.
c. Kesulitan melakukan gerakan yang tepat, misalnya saat mengambil
suatu benda.
d. Gangguan penglihatan dan pendengaran.
e. Gaya berjalan yang tidak normal, seperti berjinjit, menyilang, misalnya
gunting, atau dengan tungkai terbuka lebar.
f. Otot kaku atau malah sangat lunglai.
g. Tremor.
h. Gerakan menggeliat yang tidak terkontrol (athetosis).
i. Kurang merespons terhadap sentuhan atau rasa nyeri.
j. Masih mengompol walaupun usianya sudah lebih besar, akibat tidak bisa
menahan kencing (inkontinensia urine).
k. Gangguan kecerdasan.
l. Gangguan berbicara (disartria).
m. Kesulitan dalam menelan (disfagia).
n. Terus-menerus mengeluarkan air liur atau ngiler.
o. Kejang.
3. Penyebab
a. Kelahiran prematur adalah faktor risiko untuk cerebral palsy. Otak
premature berada pada risiko perdarahan yang tinggi, dan ketika cukup
parah, ia dapat berakibat pada cerebral palsy
b. kecelakaan dari perkembangan otak, penyakit-penyakit genetik, stroke
yang disebabkan oloeh pembuluh-pembuluh darah yang abnormal atau
gumpalan-gumpalan darah, atau infeksi-infeksi dari otak.
c. kekurangan oksigen ke otak selama kelahiran (birth asphyxia)
4. Upaya penanganan
d. CP tidak dapat disembuhkan dan merupakan kelainan yang berlangsung
seumur hidup. Tetapi banyak hal yang dapat dilakukan agar anak bisa
hidup semandiri mungkin.
e. Pengobatan yang dilakukan biasanya tergantung kepada gejala 21
f. Jika tidak terdapat gangguan fisik dan kecerdasan yang berat, banyak
anak dengan CP yang tumbuh secara normal dan masuk ke sekolah
biasa. Anak lainnya memerlukan terapi fisik yang luas, pendidikan
khusus dan selalu memerlukan bantuan dalam menjalani aktivitasnya
seharihari.
g. Pada beberapa kasus, untuk membebaskan kontraktur persendian yang
semakin memburuk akibat kekakuan otot, mungkin perlu dilakukan
pembedahan.
h. Pembedahan juga perlu dilakukan untuk memasang selang makanan dan
untuk mengendalikan refluks gastroesofageal.
5. Pendidikan yang tepat
Selama proses mengikuti Pendidikan di sekolah, seorang penyandang cp
perlu mendapat perhatian dan layanan khusus. Untuk itulah dalam proses
pembelaaranya diperlukan modifikasi model agar mereka dapat mengikuti
pembelajaran dengan baik. Pengembangan model pembelajaran tersebut tentu
menjadi suatu tantangan berkreasi bagi para pendidik.

G. TIC DISORDER

1. Pengertian
Tics muncul sebagai gerakan atau suara motorik yang tiba-tiba, cepat,
tanpa tujuan yang melibatkan kelompok otot yang terpisah. Mereka juga
stereotip bahwa mereka akan muncul dengan cara yang sama setiap kali
dilakukan. Dibandingkan dengan beberapa gangguan gerakan atau kondisi
kejiwaan (misalnya stereotipe, korea, atau diskinesia), pasien dengan tics
melaporkan kemampuan untuk menekannya, meskipun hanya untuk durasi
yang singkat. Namun, mereka melaporkan bahwa penekanan seringkali
menyebabkan ketidaknyamanan. Hampir semua Gerakan dan suara.
Sindrom tourette merupakan suatu kondisi abnormal yang ditandai
dengan gerakan anggota tubuh yang tidak dapat dikontrol (Resna 2003, 12).
Menurut Brown dan Sammons (2002, 135-147), sindrom tourette adalah suatu
gangguan saraf dan perilaku (neurobehavioral disorder), yang dicirikan oleh
perilaku tidak disadari, berlangsung cepat (brief involuntary actions), berupa tik
vokal dan motor, juga disertai gangguan kejiwaan (psychiatric disturbances).
Selain itu, menurut PPDGJ-III, sindrom tourette berada dalam kategori
gangguan tik (Maslim 2003, 46). Tik adalah suatu gerakan motorik atau
vokalisasi yang terjadi tiba-tiba, cepat, berulang, non-ritmik, dan stereotipik.
Sindrom tourette dapat terjadi pada setiap orang dari semua kelompok etnis.
Akan tetapi, wanita lebih s ering terkena 3-4 kali dari pada laki-laki.
Dengan kata lain, rasio perbandingan antara laki-laki dan wanita adalah
1:3.
Studi yang dilakukan pada subjek dengan sindrom tourette yang
berjumlah lebih dari 400 orang menunjukan bahwa 16,7% gangguan sindrom
tourette diturunkan oleh ibu, dan 13,9% diturunkan oleh ayah. Gangguan tik
memiliki hubungan dengan kebiasaan ibu yang merokok yang dapat
mengakibatkan berat badan bayi menjadi rendah (di bawah normal) pada
saat kelahiran, stres yang dialami secara psikososial, kecemasan dan infeksi
GABHS (Robertson 2000, 425-462).
Sindrom Tourette (TS) adalah gangguan neuropsikiatri yang melibatkan
beberapa motorik dan fonik. Tik, yang biasanya dimulai antara usia 6 dan 8
tahun, tiba-tiba, cepat, stereotip, dan tampaknya tanpa tujuan gerakan atau suara
yang melibatkan kelompok otot diskrit. Individu dengan TS mengalami
berbagai fenomena sensorik yang berbeda, termasuk dorongan premonitori
sebelum tik dan hipersensitivitas somatik karena gangguan pemantauan sensor.
Selain kondisi lain, stres, kecemasan, kelelahan, atau keadaan emosi lain yang
meningkat cenderung memperparah tika, sementara relaksasi, olahraga, dan
konsentrasi fokus pada tugas tertentu cenderung meringankan gejala tika. 90
persen anak dengan TS juga memiliki kondisi koma, seperti gangguan
hiperaktivitas defisit perhatian (ADHD), gangguan obsesif-kompulsif (OCD),
atau gangguan kontrol impuls. Gangguan ini sering kali menyebabkan lebih
banyak masalah bagi anak di rumah maupun di sekolah dibandingkan dengan
yang dilakukan sendiri. Diagnosis dan pengobatan TS yang tepat melibatkan
evaluasi dan pengakuan yang tepat, tidak hanya trik, tetapi juga kondisi terkait
ini.
Sindrom Tourette (TS) pertama kali dideskripsikan oleh ahli saraf
Prancis, Gilles de la Tourette, pada tahun 1885 sebagai "destika malaria".
Dalam seri kasus aslinya yang menggambarkan sindrom yang sekarang
menyandang namanya, Gilles de la Tourette menulis tentang banyak
karakteristik sindrom ini termasuk: gerakan dan suara yang tidak disengaja,
reaksi mengejutkan yang mencolok, kecenderungan untuk mengulangi baik
vokal (ekolalia) dan gerakan (ekopraxia), dan obscen verbal yang tidak
terkendaliities (koprolalia) (Lajonchere et al., 1996). Sejak itu, pengetahuan kita
tentang TS telah berkembang secara signifikan, termasuk kemajuan dalam
pemahaman kita tentang tik, fenomena sensorik sekitarnya, dan peran utama
penyakit lain yang terjadi bersama, seperti gangguan hiperaktivitas defisit
perhatian (ADHD) dan gangguan obsesif-kompulsif (OCD), pada keseluruhan
kursus klinis disorder. Ulasan ini akan berfokus pada pemahaman kita saat ini
tentang diagnosis, karakterisasi klinis dan penilaian tics serta kursus klinis
mereka. Ulasan lain akan berfokus pada pengobatan berbasis bukti dan
neurobiologi gangguan tic.
Sindrom Tourette dan gangguan lainnya. Prevalensi TS bervariasi
berdasarkan desain studi dan lokasi. Prevalensi internasional 0,6-1% telah
dilaporkan untuk anak-anak sekolah arus utama, dengan gangguan ini 3-4 kali
lebih umum pada laki-laki daripada perempuan (Cavanna dan Termine, 2012).
Data dari National Survey of Children's Health (NSCH) 2007 menunjukkan
perkiraan prevalensi 0,3% di antara anak-anak AS berusia 6-17 tahun (Scaill et
al., 2009). Jumlah ini mungkin merupakan angka yang meremehkan prevalensi
TS sejak data dikumpulkan
2. Cara mengenali atau mendiagnosa
Tics dicirikan oleh lokasi anatomis, jumlah, frekuensi, dan durasinya.
Mereka juga dijelaskan lebih lanjut oleh kekuatan atau intensitasnya dan
kompleksitasnya (mulai dari yang sederhana hingga yang kompleks). Skala
peringkat keparahan tic yang paling banyak digunakan adalah Skala Keparahan
Tic Global Yale (YGTSS), yang mencakup skor terpisah dari 0 hingga 5 untuk
jumlah, frekuensi, intensitas, kompleksitas, dan interferensi (sejauh mana
tindakan atau ucapan yang direncanakan adalah terganggu oleh tics) dari kedua
motor. Kriteria diagnostik dari sindrom tourette antara lain adalah :
a. Baik tik motorik multipel maupun satu atau lebih tik vokal ditemukan
pada suatu waktu perjalanan penyakit, walaupun tidak perlu bersamaan.
b. Tik terjadi beberapa kali sehari (biasanya dalam waktu yang singkat)
hampir setiap hari atau secara intermiten sepanjang suatu periode lebih
dari 1 tahun, dan selama periode ini tidak pernah terdapat periode bebas
dari tik lebih dari 3 bulan berturut-turut.
c. Onset sebelum berumur 18 tahun.
d. Gangguan bukan karena efek fisiologis langsung dari zat (misalnya,
stimulansia) atau suatu kondisi medis umum (misalnya, penyakit
Huntington atau ensefalitis pascainfeksi virus).
Selain itu, ada 2 kategori untuk sindrom tourette (Staff Development
in Special Education Tourette Syndrome, 2006): pertama, Simple yakni
gejala-gejala yang ditunjukkan adalah tik (seperti kedipan mata, gerak tubuh
& wajah) dan vokalisasi (seperti suara serak yang berulang). Kedua, Complex,
yakni gejala-gejalanya lebih berat, termasuk melompat, berputar-putar,
kompulsi, vokalisasi pengulangan kata-kata atau suara (echolalia), mengikuti
apa yang dilakukan oleh orang lain (echopraxia) dan (coprolalia).
3. Penyebab
a. Cedera kepala
b. Stroke
c. Racun
d. Infeksi
e. Operasi
f. Penyakit huntington
g. Factor genetic
h. Jenis kelamin
Sindrom tourette sebagian besar terjadi karena faktor genetik (minimal
memiliki riwayat tikdan OCD), namun pola pewarisan gangguan ini masih
belum jelas (Robertson 2000, 425-462). Akan tetapi, terdapat kemungkinan
bahwa salah satu penyebab sindrom tourette merupakan akibat dari gangguan
cedera saat kelahiran bayi. Berdasarkan faktor neurokimiawi, penyebab
sindrom tourette yaitu lemahnya pengaturan dopamin di caudate nucleus
(Dhamayanti, Riandani & Resna 2004, 31-40). Menurut Moe, Benke dan
Bernard (2007, 21-23), sindrom tourette juga dipicu oleh stimulan seperti
methylphenidate dan dextroamphetamine. Di samping itu, adanya
ketidakseimbangan atau hipersensitivitas terhadap neurotransmiter,
terutama dopamin, serotonin dan norepinephrine yang bertanggung jawab
dalam komunikasi antar sel saraf. Ketidaknormalan otak di daerah tertentu
seperti ganglia dan frontal lobes juga dapat menjadi penyebab dari gangguan
ini.
4. Upaya penanganan
a. Terapi
b. Pelatihan kesadaran
c. Pelatihan respon
d. Intervensi perilaku kognitif
e. Pengobatan
f. Perawatan neurologis
Haloperidol adalah obat yang sering digunakan untuk
mengendalikan gejala pada penderita sindrom tourette, tetapi saat ini frekuensi
penggunaannya telah menurun karena ada beberapa efek samping yang
ditimbulkan. Farmakoterapi lainnya adalah penggunaan pimozide,
clonazepam, dan clonidine (Brown & Sammons 2002, 135-147).
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Anak berkebutuhan khusus merupakan anak yang tumbuh dan berkembang


dengan berbagai perbedaan dengan anak-anak pada umumnya. Sebutan anak
berkebutuhan khusus tidak selalu merujuk pada kecacatan yang dialami, namun
merujuk pada layanan khusus yang dibutuhkan karena mengalami suatu
hambatanatau kemampuan diatas rata-rata. Meskipun jenis anak berkebutuhan
khusus sangat beragam, namun dalam konteks pendidikan khusus di Indonesia
anak berkebutuhan khusus di kategorikan dalam istilah anak tunanetra, anak
tunarungu, anak tunagrahita, anak tunadaksa, anak tunalaras, dan anak cerdas dan
bakat istimewa. Setiap anak berkebutuhan khusus memiliki karakteristik yang
berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Layanan untuk anak berkebutuhan
khusus tidak dapat disamakan antara satu dengan yang lain, akantetapi perlu diberikan
sesuai dengan karakteristik kebutuhan dan kemampuan mereka. Untuk mendapatkan
layanan yang sesuai dengan karakteristik kebutuhan dan kemampuannya, perlu
dilakukan identifikasi dan asesmen terhadapnanak berkebutuhan khusus.
Berbagai bentuk layanan perlu diberikan untuk menunjang kebutuhan mereka,
tidak hanya pada bidang pendidikan namun layanan non akademik juga sangat
diperlukan untuk meningkatkan kualitas hidup mereka menjadi lebih baik dan mandiri.
Dari banyaknya gangguan yang diderita anak berkebutuhan khusus, setiap gangguan
yang diderita memiliki ciri dan penyebab yang berbeda. Maka dari itu penanganan atau
pengobatan yang dilakukan guna penyembuhan gejala ini juga berbeda. Anak
berkebutuhan khusus yang menderita gejala atau gangguan ini memerlukan pelayanan
dan penanganan khusus karena perkembangan yang dilalui mereka tidak sama dengan
anak seusia mereka.

B. DAFTAR PUSTAKA

Kristiana, I. F., & Widayanti, C. G. (2021). Buku ajar psikologi anak


berkebutuhan khusus.
Ridwan, R., & Bangsawan, I. (2021). Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus.
Widiastuti, N. L. G. K. (2019). Model Layanan Pendidikan Bagi Anak Berkebutuhan
Khusus Yang Mengalami Kecacatan Fisik. Jurnal Ilmiah Ilmu Sosial, 5(1), 46-54.
https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0149763412002035
Rahmah, F. N. (2018). Problematika anak tunarungu dan cara mengatasinya.
Quality, 6(1), 1-15.
Kristiana, I. F., & Widayanti, C. G. (2021). Buku ajar psikologi anak
berkebutuhan khusus.
Onah, O. (2017). Peningkatan Hasil Belajar Perkalian Melalui Penggunaan
Sempoa Pada Siswa Tunadaksa Kelas IV di SDLB Pri Pekalongan. Jurnal Profesi
Keguruan, 3(1), 60-79.
Nisa, K., Mambela, S., & Badiah, L. I. (2018). Karakteristik dan kebutuhan anak
berkebutuhan khusus. Jurnal Abadimas Adi Buana, 2(1), 33-40.

Anda mungkin juga menyukai