Anda di halaman 1dari 40

ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DAN PERILAKU

MENYIMPANG

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 12

NUR ROHIM TOYIB PRASETYO (210204501018)


NURUL TARIZA (210204501021)
TENGKU FAUZAN DZAKI HULWAN (210204501020)

JURUSAN PENDIDIKAN TEKNIK ELEKTRO

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR

2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas selesainya
makalah yang berjudul

“ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DAN PERILAKU MENYIMPANG”

Atas dukungan moral dan materil yang diberikan dalam penyusu nan makalah ini,
maka penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak atau Ibu Sebagai dosen
pembimbing Mata kuliah Profesi Keguruan, Orang tua penulis yang banyak
memberikan dukungan baik moril maupun materil, Dan Semua pihak yang tidak
dapat penulis sebut satu per satu yang telah membantu dalam proses penyusunan
makalah ini. Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna oleh
karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari
pembaca untuk penyempurnaan makalah ini.

Makassar, 24 November 2022

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

ANAK BEKERBUTUHAN KHUSUS DAN PERILAKU MENYIMPANG...............i


KATA PENGANTAR...................................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................................iii
BAB I.......................................................................................................................................1
PENDAHULUAN...............................................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah..............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.......................................................................................................2
C. Tujuan Penulisan.........................................................................................................3
BAB II.....................................................................................................................................4
PEMBAHASAN..................................................................................................................4
A. Anak Berkebutuhan Khusus........................................................................................4
B. Perilaku Menyimpang................................................................................................17
C. Cara Guru Mengatasi Siswa Yang Berperilaku agresif..............................................25
BAB III..................................................................................................................................29
PENUTUP.........................................................................................................................29
A. KESIMPULAN.........................................................................................................29
B. SARAN.....................................................................................................................30
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................31

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki perbedaan dengan anak-
anak pada umumnya. Anak berkebutuhan khusus (dulu di sebut sebagai anak luar
biasa) didefinisikan sebagai anak yang memerlukan pendidikan dan layanan
khusus untuk mengembangkan potensi kemanusiaan mereka secara sempurna
(Hallahan dan Kauffman, 2003:12). Anak-anak berkebutuhan khusus ini tidak
memiliki ciri-ciri perkembangan psikis ataupun fisik dengan rata-rata anak
seusianya. Namun meskipun berbeda, ada juga anak-anak berkebutuhan khusus
menunjukan ketidakmampuan emosi, mental, atau fisiknya pada lingkungan sosial.
Terdapat beberapa jenis anak berkebutuhan khusus yang seringnya kita temui yaitu
tunarungu, tunanetra, tunadaksa, tunagrahita, tunalaras, autis, down syndrome, dan
retradasi mental (kemunduran mental).
Proses pengolahan ilmu di otak anak-anak berkebutuhan khusus itu relatif
kurang. Pada awal kehidupan sel-sel otak mulanya sedikit, ketika usia 6 tahun, sel-
sel otak mulai bertahmbah, hingga akhirnya pada usia 14 tahun dapat berkembang
lebih pesat. Anak berkebutuhan khusus hanya tertuju pada 1 pusat perhatian (topik
menarik) dalam proses otak. Yang berinteligensi tinggi akan menghadapi kesulitan
dalam pembelajaran normal, suka merasa bosan dan cenderung main-main sendiri.
Sedangkan yang inteligensinya rendah akan kesulitan dalam memahami materi
pembelajaran dan kerap membutuhkan banyak pengulangan dalam membahas
suatu pembelajaran (Santoso:2008).
Ketika belajar, anak berkebutuhan khusus kerap melakukan kesalahan
sensory memory karena memori mereka hanya pendek sekali jaraknya, mudah
lupa, fakta tersimpan tetapi tidak dalam kerangka konteks yang terjadi. Anak-Anak
Berkebutuhan Khusus sebenarnya bisa memberi respon terhadap sesuatu dalam

1
pembelajaran, tetapi mereka sulit menghadapi situasi baru. Dalam perihal interaksi
sosial anak-anak berkebutuhan khusus kurang kontak mata, represif, sulit
berinteraksi baik dengan teman-teman maupun para guru, tak bisa berempati,
memahami maksud orang lain, interaksi, kesulitan menyampaikan keinginan, takut
dan cenderung menghindari orang lain dan sulit memahami isyarat verbal-
nonverbal.
Anak-Anak berkebutuhan khusus kerap kali kurang tangkas dan
keseimbangan dalam perihal Gerak Motorik Kasar, sedangkan dalam Gerak
Motorik Halus. Anak-anak berkebutuhan khusus kerap kurang terampil dan
terkordinir dalam melaksanakan salah satu tugas. Ada beberapa jenis penanganan
anak berkebutuhan khusus yang bisa dipraktikan baik pihak orang tua maupun
pihak-pihak lainnya agar anak berkebutuhan khusus ini dapat mengembangkan
kemampuannya dalam belajar dan berinteraksi dengan lingkungan sosial di
sekitarnya. Dua metode pembelajaran yang khusus diberikan pada anak
berkebutuhan khusus ini adalah metode pembelajaran dengan berbagai aktivitas
berat (untuk membantu mengoptimalkan kemampuan anak dan perilaku anak) dan
bekali anak berkebutuhan khusus dengan teknologi informasi dan keterampilan.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah yang ada sebagai
berikut:

1. Apa definisi dari anak berkebutuhan khusus dan perilaku menyimpang?


2. Apa klasifikasi anak berkebutuhan khusus dan perilaku menyimpang?
3. Apa perspektif dari berbagai sudut pandang mengenai anak berkebutuhan
khusus dan perilaku, menyimpang?
4. Apa sikap terhadap anak berkebutuhan khusus dan perilaku menyimpang?

2
C. Tujuan Penulisan

Adapaun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui definisi dari anak berkebutuhan khusus dan perilaku


menyimpang.
2. Untuk mengetahui klasifikasi anak berkebutuhan khusus dan perilaku
menyimpang.
3. Untuk mengetahui perspektif dari berbagai sudut pandang mengenai anak
berkebutuhan khusus dan perilaku menyimpang.
4. Untuk mengetahui sikap terhadap anak berkebutuhan khusus dan perilaku
menyimpang.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Anak Berkebutuhan Khusus


1. Definisi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)
Anak berkebutuhan khusus (ABK) diartikan sebagai individu-individu
yang mempunyai karakteristik yang berbeda dari individu lainnya yang
dipandang normal oleh masyarakat pada umumnya. Secara lebih khusus anak
berkebutuhan khusus menunjukkan karakteristik fisik, intelektual, dan emosional
yang lebih rendah atau lebih tinggi dari anak normal sebayanya atau berada di
luar standar normal yang berlaku di masyarakat. Sehingga mengalami kesulitan
dalam meraih sukses baik dari segi sosial, personal, maupun aktivitas pendidikan
(Bachri,2010). Kekhususan yang mereka miliki menjadikan ABK memerlukan
pendidikan dan layanan khusus untuk mengoptimalkan potensi dalam diri mereka
secara sempurna (Hallan dan Kauffman 1986)
Heward (2003) mendefinisikan ABK sebagai anak dengan karakteristik
khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukkan
pada ketidak mampuan mental, emosi, atau fisik. Definisi tentang anak
berkebutuhan khusus juga diberikan oleh Suran dan Rizzo dalam (Semiawan dan
Mangunson,2010). ABK adalah anak yang secara signifikan berbeda dalam
beberapa dimensi yang penting dari fungsi kemanusiaannya. Mereka yang secara
fisik, psikologis, kognitif, atau sosial terlambat dalam mencapai tujuan-tujuan
atau kebutuhan dan potensinya secara maksimal,meliputi mereka yang
tuli,buta,gangguan bicara,cacat tubuh,retardasi mental, gangguan emosional,juga
anak-anak berbakat dengan inteligensi tinggi termasuk kedalam kategori anak
berkebutuhan khusus karena memerlukan penanganan dari tenaga professional
terlatih. Mangunsong (2009), menyebutkan penyimpangan yang menyebabkan
ABK berbeda terletak pada perbedaan ciri mental, kemampuan sensori, fisik dan

4
neuromoskuler, perilaku sosial dan emoional, kemampuan berkomunikasi,
maupun kombinasi dua atau tiga dari hal-hal tersebut.
Pada masa Renaisant (masa peralihan atau perubahan di Eropa), anak-anak
dengan karakteristik fisik, emosional maupun intelektual yang berbeda dianggap
sebagai anak “cacat” yang kemasukan roh jahat dan tidak sepantasnya
diperlakukan seperti manusia. Sehingga tidak sedikit dari mereka yang kemudian
dikurung, diikat, bahkan dipasung. Sampai pada abad 16 terjadi perubahan sikap
yang lebih positif terhadap anak-anak yang dianggap “cacat” tersebut. Beberapa
rumah sakit di Paris mulai memberikan treatmen khusus pada penderita
gangguan emosional, setelah itu muncullah nama John Locke yang dikenal
sebagai orang pertama yang membedakan penderita keterbelakangan mental
dengan gangguan emosional. Hingga pada akhirnya, pada abad ke-18 seorang
ahli berkebangsaan Perancis yakni Jean Marc Itard, mulai menggeser istilah
“anak cacat” menjadi anak luar biasa (Mangunsong,1998). Istilah anak luar
biasapun kemudian mengalami pergeseran menjadi anak berkebutuhn khusus,
karena istilah luar biasa umumnya digunakan untuk menyebut seseorang dengan
kemampuan yang mengagumkan atau diatas rata-rata (Hadis,2006).
Ada beberapa istilah yang digunakan untuk menunjukkan keadaan anak
berkebutuhan khusus. Istilah anak berkebutuhan khusus merupakan istilah
terbaru yang digunakan dan merupakan terjemahan dari children with special
need yang telah digunakan secara luas di dunia internasional. Ada beberapa
istilah lain yang digunakan untuk menyebut anak berkebutuhan khusus. antara
lain anak cacat, anak tuna, anak berkelainan, anak menyimpang, dan anak luar
biasa. Selain itu, WHO juga merumuskan beberapa istilah yang digunakan untuk
menyebut anak berkebutuhan khusus, yaitu:

a. Impairement: merupakan suatu keadaan atau kondisi dimana individu


mengalami kehilangan atau abnormalitas psikologi, fisiologi atau fungsi
struktur anatomisecara umum pada tingkat organ tubuh. Contoh seorang
yang mengalami amputasi satu kaki, maka ia mengalami kecacatan kaki

5
b. Disability: merupakan suatu keadaan dimana individu menjadi “kurang
mampu” melakukan kegiatan sehari-hari karena adanya keadaan
impairement, seperti kecacatan pada organ tubuh. Contoh, pada orang yang
cacat kaki,dia akan merasakan berkurangnya fungsi kaki untuk mobilitas
c. Handicaped: suatu keadaan dimana individu mengalami ketidak mampuan
dalam bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungan. Hal ini
dimungkinkan karena adanya kelainan dan berkurangnya fungsi organ
individu. Contoh orang yang mengalami amputasi kaki, dia akan mengalami
masalah mobilitas sehingga dia memerlukan kursi roda (Purwanti,2012).

Selain istilah yang umum digunakan WHO, ada juga yang menggunakan
istilah anak difabel yang merupakan kependekan dari diference ability. Istilah ini
digunakan untuk menyebut mereka yang memiliki kemampuan di atas atau
dibawah rata-rata orang pada umumnya. Misalnya pada anak tunagrahita dan
gifted. Anak berkebutuhan khusus berbeda dengan anak-anak pada umumnya.
Mereka berproses dan tumbuh tidak dengan modal fisik yang wajar. Karenanya
mereka cenderung defensif (menghindar), rendah diri, atau mungkin agresif,
serta memiliki semangat belajar yang rendah (Purwanti,2012).
Berdasarkan beberapa definisi yang telah diberikan oleh para tokoh di
atas, ABK dapat didefinisikan sebagai individu yang memiliki karakteristik fisik,
intelektual, maupun emosional, di atas atau di bawah rata-rata inividu pada
umumnya.

2. Etiologi Anak Berkebutuhan Khusus


Menurut Irwanto, Kasim, dan Rahmi (2010), secara garis besar faktor
penyebab anak berkebutuhan khusus jika dilihat dari masa terjadinya dapat
dikelompokkan dalam 3 macam, yaitu:
a. Faktor penyebab anak berkebutuhan khusus yang terjadi pada pra kelahiran
(sebelum lahir)
yaitu masa anak masih berada dalam kandungan telah diketahui mengalami
kelainan dan ketunaan. Kelainan yang terjadi pada masa prenatal,

6
berdasarkan periodisasinya dapat terjadi pada periode embrio, periode janin
muda, dan periode aktini (sebuah protein yang penting dalam
mempertahankan bentuk sel dan bertindak bersama-sama dengan mioin
untuk menghasilkan gerakan sel) (Arkandha, 2006). Antara lain: Gangguan
Genetika (Kelainan Kromosom, Transformasi), Infeksi Kehamilan, Usia ibu
hamil (high risk group), Keracunan saat hamil, Pengguguran, dan lahir
prematur.
b. Faktor penyebab anak berkebutuhan khusus yang terjadi selama proses
kelahiran
Yang dimaksud disini adalah anak mengalami kelainan pada saat proses
melahirkan. Ada beberapa sebab kelainan saat anak dilahirkan, antara lain
anak lahir sebelum waktunya, lahir dengan bantuan alat, posisi bayi tidak
normal, analgesik (penghilang nyeri) dan anesthesia (keadaan narkosis),
kelainan ganda atau karena kesehatan bayi yang kurang baik. Proses
kelahiran lama (Anoxia), prematur, kekurangan oksigen, Kelahiran dengan
alat bantu (Vacum), Kehamilan terlalu lama: > 40 minggu.
c. Faktor penyebab anak berkebutuhan khusus yang terjadi setelah proses
kelahiran
yaitu masa dimana kelainan itu terjadi setelah bayi dilahirkan, atau saat
anak dalam masa perkembangan. Ada beberapa sebab kelainan setelah anak
dilahirkan antara lain infeksi bakteri (TBC/ virus), Kekurangan zat makanan
(gizi, nutrisi), kecelakaan, dan keracunan.
d. Rata-rata
Berdasarkan faktor tersebut di atas, sebagian besar (70,21%) anak
berkebutuhan khusus disebabkan oleh bawaan lahir, kemudian karena
penyakit (15,70%) dan kecelakaan/bencana alam sebesar 10,88%. Pola yang
sama terjadi baik di daerah perkotaan maupun daerah pedesaan.

7
3. Klasifikasi anak berkebutuhan khusus
Klasifikasi gangguan anak berkebutuhan khusus menurut Davidson, Neale
dan Kring (2006) terdiri dari gangguan pemusatan perhatian atau hiperaktivitas,
gangguan tingkah laku, disabilitas belajar, retardasi mental, dan gangguan
autistik. Sedangkan Syamsul (2010) mengklasifikasikan anak berkebutuhan
khusus apabila termasuk kedalam salah satu atau lebih dari kategori berikut ini:
a. Kelainan sensori, seperti cacat penglihatan atau pendengaran
b. Deviasi mental, termasuk gifted dan retardasi mental
c. Kelainan komunikasi, termasuk problem bahasa dan dan ucapan
d. Ketidak mampuan belajar, termasuk masalah belajar yang serius karena
kelainan fisik
e. Perilaku menyimpang, termasuk gangguan emosional
f. Cacat fisik dan kesehatan, termasuk kerusakan neurologis, ortopedis, dan
penyakit lainnya seperti leukimia dan gangguan perkembangan.
Adapun anak berkebutuhan khusus yang paling banyak mendapat perhatian
guru menurut Kauff dan Hallahan (dalam Bandi,2006), antara lain tunagrahita,
Kesulitan belajar (learning disability), hiperaktif (ADHD dan ADD), tunalaras,
tunawicara, tunanetra, autis, tunadaksa, tunaganda dan anak berbakat.

1) Tunagrahita atau retardasi mental


Menurut PP No.72 tahun 1991, anak tunagrahita diartikan sebagai anak-anak
yang memiliki kecerdasan di bawah rata-rata anak pada umumnya. Bandi (2006)
secara lebih lengkap mendefinisikan tunagrahita sebagai individu yang memiliki
intelegensi yang signifikan berada dibawah rata-rata dan disertai dengan ketidak
mampuan dalam adaptasi prilaku, yang muncul dalam masa perkembangan.
Payne & Payton (1981) berpendapat bahwa skor IQ seseorang tunagrahita adalah
70.
Definisi yang diberikan Bandi tidak sekedar memberikan pengertian tentang
tungrahita saja, tapi juga memberikan pengertian bahwa tunagrahita merupakan
suatu kondisi bukan penyakit yang harus diobati secara medis. Tunagrahita juga

8
bisa menjadi bagian dari satu kondisi disabilitas seperti halnya pada kasus
sindrom down (Hildebrand,2000). Anak tunagrahita seringkali memiliki masalah
dalam pengendalian emosi, pengendalian fisik, dan keterampilan sosial, tapi
masih bisa belajar (Hildebrand, 2000). Proses pembelajaran pada anak
tunagrahita berbeda dengan anak pada umumnya. Pembelajaran pada anak
tunagrahita harus lebih sering diulang, menggunakan bahasa yang jelas (mudah
difahami). Intensitas pembelajaran yang semakin sering berperan besar dalam
peningkatan kemandirian dan ketrampilan kerjanya (Hildebrand,2000).

2) Kesulitan belajar (learning disability)


Kesuliran belajar adalah Kesulitan dalam memproses informasi, khususnya
dalam matematika dan konsep kebahasaan (Hildebrand, 2000). Kesulitan belajar
tidak ada kaitanya dengan inteligensi yang rendah, tapi banyak orang yang salah
dalam memahaminya. National Joint Committee on Learning Disability (NCLD),
suatu kelompok yang terdiri dari perwakilan beberapa organisasi profesional,
mendefinisikan kesulitan belajar sebagai suatu istilah umum yang mengacu pada
beragam kelompok gangguan yang terlihat pada kesulitan dalam menguasai dan
menggunakan kemampuan mendengarkan, berbicara, membaca, menulis,
berfikir, atau kemampuan matematis (Smith, 2006). Kesulitan belajar dibagi
menjadi 2, yaitu kesulitan belajar umum (learning disability) dan kesulitan
belajar khusus (spesific learning disability). Kesulitan belajar umum ditunjukkan
dengan prestasi belajar rendah untuk semua pelajaran. Sedangkan kesulitan
belajar khusus ditujukan pada siswa yang berprestasi rendah dalam bidang
akademik tertentu, seperti membaca, menulis, dan kemampuan matematika.
Kondisi kelainan ini bisa disebabkan oleh hambatan persepsi (perceptual
handicaps), luka pada otak (brain injury), ketidak berfungsian sebagian fungsi
otak (minimal brain dysfunction), disleksia atau afasia perkembangan
(development aphasia). (Purwanti, 2012).

9
3) Hiperaktif (ADHD dan ADD)
Hiperaktivitas adalah salah satu aspek dari Attention Deficit with/without
Hyperactivity Disorder (ADD/HD) atau yang dikenal dengan istilah Gangguan
Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH). ADHD/GPPH mencakup
gangguan pada tiga aspek, yaitu sulit memusatkan perhatian, hiperaktif, dan
impulsivitas. Apabila gangguan hanya terjadi pada aspek yang pertama, maka
dinamakan Gangguan Pemusatan Perhatian (ADD) atau Attention Deficit
Disorder (ADD), sedangkan bila ketiga aspek terkena imbas gangguan barulah
disebut GPPH /ADHD (Mangunsong, 2009) Hiperaktif bukan suatu penyakit,
tapi gejala yang terjadi disebabkan faktor kerusakan otak, kekacauan emosi,atau
retardasi mental (Solek, 2004 dalam Bandi, 2006). Anak yang mengalami
hiperaktif mengalami masalah dalam memfokuskan peratian, mengatur tingkat
aktivitas, dan perilaku penghambat (Sousa,2003 dalam Semiawan dan
Mangunsong, 2010). Hiperaktif adalah gangguan belajar yang sifatnya umum
pada anak maupun orang dewasa. Umumnya ditemukan pada usia TK sampai SD
kelas permulaan, serta terus dimilikinya sampai usia remaja, bahkan terkadang
sampai usia dewasa (Semiawan dan Mangunsong,2010).

4) Tunalaras
Tunalaras adalah individu yang mengalami hambatan dalam mengendalikan
emosi dan kontrol sosial. individu tunalaras biasanya menunjukan prilaku
menyimpang yang tidak sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku
disekitarnya. Rhoides (dalam Mangunsong,2009) menganjurkan pendekatan
ekologi dalam memaknai gangguan gangguan perilaku. Ia menggambarkan
ketidakstabilan emosi dan perilaku lebih merupakan suatu produk budaya,
masyarakat, dan lingkungan keluarga di mana “individu ada” sebagai “individu
hasil” dari lingkungan tersebut. Lebih lanjut Mangunsong (2009) menjelaskan,
ada tiga perilaku utama yang tampak pada seorang anak dengan kelainan perilaku
menyimpang, yaitu: agresif, suka menghindar diri dari keramaian, dan sikap

10
bertahan diri. Adapun karakteristik anak tunalaras menurut Slavin (2006) adalah
sebagai berikut:
a. Kurang mampu dalam belajar. Ketidak mampuan ini bukan karena faktor
intelektual, sensori, atau faktor kesehatan
b. Tidak mampu membangun atau memelihara hubungan interpersonal yang baik
dengan guru atau teman sebaya
c. Seringkali menampakkan perilaku yang tidak sopan

5) Tunarungu
Tunarungu adalah individu yang memiliki hambatan dalam pendengaran baik
permanen maupun tidak permanen. Klasifikasi tunarungu berdasarkan tingkat
gangguan pendengaran adalah:
a. Gangguan pendengaran sangat ringan (15-40dB), tidak dapat mendengar
percakapan berbisik dalam keadaan sunyi pada jarak dekat
b. Gangguan pendengaran sedang (40-60dB), tidak apat mendengarkan
percakapan normal dalam keadaan sunyi pada jarak dekat
c. Gangguan pendengaran berat (60-90dB), hanya mampu mendengarkan suara
yang keras pada jarak dekat seperti suara vakum cleaner d. Gangguan
pendengaran ekstrem/tuli (di atas 90dB), hanya dapat mendengarkan suara
yang sangat keras seperti suara gergaji mesin dalam jarak dekat (Alexander
Graham Bell Asocition for the Deal adn Hard of Hearing, 2011 dalam
Slavin,2006).
Setiap anak yang mengalami gangguan pendengaran seringkali mengalami
beberapa masalah lain, seperti gangguan bahasa. Walaupun memiliki potensi
yang sangat tinggi dan cara berfikir kreatif visualnya juga tinggi, apabila
kemampuan berbahasanya kurang, maka perkemangan kognitif, prestasi
akademik, dan kemampuan sosialpun akan terpengaruh (Semiawan dan
Mangunsong,2010).

11
6) Tunanetra
Tunanetra adalah individu yang memiliki hambatan dalam penglihatan.
tunanetra dapat diklasifikasikan kedalam dua golongan yaitu: buta total (Blind)
dan low vision. Definisi Tunanetra menurut Kaufman dan Hallahan (2006)
adalah individu yang memiliki lemah penglihatan atau akurasi penglihatan
kurang dari 6/60 setelah dikoreksi atau tidak lagi memiliki penglihatan.

7) Autis
Mayoritas gangguan autisme di sebabkan karena abnormalitas di otak
(Coleman dalam Ormrod,2008). Karakteristik umum dari gangguan ini ditandai
dengan adanya gangguan dalam kognisi sosial (misalnya kemampuan
mempertimbangkan perspektif orang lain), kemampuan sosial, dan interaksi
sosial (Baron dalam Ormrod,2008). Anak-anak dengan autisme seringkali
menunjukkan sifat-sifat kelainan yang bisa diidentifikasi sejak sebelum umur 3
tahun (Semiawan dan Mangunsong,2010), diantara sifat-sifat tersebut antara lain:
a. Tidak tanggap terhadap orang lain.
b. Gerakan diulang-ulang seperti bergoyang, berputar, dan memilin tangan.
Menghindari kontak mata dengan orang lain.
c. Tetap dalam kebiasaan (Smith,2006). Ciri-ciri sifat tersebut baru bisa dikatakan
sebagai perwujudan autisme apabila terjadi dalam intensitas yang tinggi.
Menurut Sousa (2003) (dalam Semiawan dan Mangunsong,2010) autis dapat
dikelompokkan dalam 4 tipe sebagai berikut:

a. Tipe kanner, yaitu tipe klasik atau juga disebut autisme infantil, ditandai oleh
ciri: menghindar kontak mata, lamban berbicara, perilaku mengulang, dan
kemungkinan retardasi mental.
b. Sindrom asperger (SA), yaitu perkembangan perilaku menentang yang
spektrum cirirnya adalah defisit sosial, namun perkembangan kognisi, dan
bahasa relatif normal, serta minat yang mendalam dalam idiosynkretis.
c. Perkembangan perilaku menentang tanpa tanda-tanda lain, kecuali dalam
perkembangannya anak ini tidak memenuhi gejala-gejala tersebut sebelum

12
umur 3 tahun. Kadang kala klasifikasi ini digunakan apabila kondiis ini muncul
meskipun tidak terlalu berat an tidak konsisten, sehingga tipe ini kurang
diperkirakan sebagai tipe kenner
d. Tipe regresif/epileptis, tipe ini ditandai dengan ketidak mampuan memahami
orang lain, input sensori yang tidak menentu, bacaan EEG yang tidak normal,
retardasi mental dan tingkat kecerdasan tinggi.

8) Tunadaksa
Tunadaksa adalah individu yang memiliki gangguan gerak yang disebabkan
oleh kelainan neuro-muskular dan struktur tulang yang bersifat bawaan, sakit
atau akibat kecelakaan, termasuk celebral palsy, amputasi, polio, dan lumpuh.
Tingkat gangguan pada tunadaksa adalah:
a. Ringan yaitu memiliki keterbatasan dalam melakukan aktivitas fisik tetap masih
dapat ditingkatkan melalui terapi
b. Sedang yaitu memiliki keterbatasan motorik dan mengalami gangguan
koordinasi sensorik
c. Berat yaitu memiliki keterbatasan total dalam gerakan fisik dan tidak mampu
mengontrol gerakan fisik (Haris,2006)

9) Tunaganda
Istilah ini digunakan untuk menyebut anak- anak yang mengalami cacat
ganda atau lebih dari satu. Misalnya seorang anak yang mengalami kelainan
pengelihatan ringan, 22 mungkin juga memerlukan bantuan khusus yang
berkaitan dengan penyesuaian sosial dan intelektual (Syamsul, 2010).
a. Anak berbakat
b. Istilah gifted digunakan untuk menyebut anak-anak berbakat dengan IQ di atas
135 dengan kreativitas, motivasi dan ketahanan kerja yang tinggi. Semantara
Winner (2003) mendefinisikan gifted sebagai kemampuan atau bakat yang
sangat tinggi dalam satu atau lebih pada bidang tertentu, seperti musik,
matematika, sedemikian rupa sehingga membutuhkan pelayanan pendidikan
khusus agar dapat mengembangkan potensi itu sepenuhnya.

13
c. Gangguan bicara dan Bahasa
d. American speech-language hearing association (ASHA) mendefinisikan
kelainan bicara sebagai kemunduran artikulasi pengucapan suara, kefasihan,
dan atau bunyi suara. Kelainan berbicara dan bahasa merupakan kategori
terbesar kedua diantara anak-anak, setelah kesulitan belajar (Smith,2006).
Yang termasuk kedalam kategori gangguan bicara antara lain:
a. Gangguan artikulasi, kelainan ini merupakan kesulitan dalam menghasilkan
suara yang menyusun kata. Ada 4 jenis kelainan artikulasi, yaitu: penggantian
(subtitution), penghilangan (omission), penambahan (addition), dan
penyimpangan (distortion).
b. Gagap (stuttering), apabila cara bicara seorang anak didominasi oleh ketidak
lancaran tertentu meski pada usia yang sangat muda, maka kemungkinan anak
tersebut mengalami kelainan bicara. Indikasi paling umum untuk mengenali
gangguan kelancaran bicara biasanya adalah adanya ucapan gagap. Gagap
dicirikan dengan adanya pengulangan suku kata, pemanjangan suku kata, dan
terbata-bata (Smith,2006). Penyebab kegagapan telah lama merupakan
masalah yang tak pernah terpecahkan. Alasannya, mungkin pada dasarnya
tidak ada penyebab tunggal bagi kelainan artikulasi ini (Silverman,1995).
Pada beberapa kasus, faktor keturunan merupakan salah satu faktor yang
dapat dipertimbangkan (Andrews.,1991 dalam Smith, 2006), adapula bukti
yang menyatakan bahwa gagap disebabkan oleh cidera otak dan masalah
emosi (Gagnon dan Ladouceur,1992).
c. Bicara nyerocos (cluttering), kelainan ini menyangkut ucapan yang begitu
cepat sehingga sangat berantakan yang mengakibatkan kata-kata dan ide
bercampur aduk dan membingungkan (Smith,2006).
Kelainan bahasa terjadi bila anak-anak mempunyai kesulitan dalam
mengembangkan dan menggunakan bahasa, bukan mengeluarkan ucapan.
Kelainan bahasa pada anakanak sering berhubungan dengan keterlambatan
bicara (speech delayed). Keterlambatan bicara dihubungkan dengan ketidak
matangan pertumbuhan lain dalam diri anak, yang mungkin disertai dengan

14
perkembangan terbelakang mental, ketidak stabilan emosi, autistik, atau
cidera otak.
Termasuk dalam kelainan bahasa adalah aphasia. aphasia memiliki dua
bentuk, pertama development aphasia, yaitu istilah yang digunakan untuk
menjelaskan tidak ada perkembangan bahasa yang menyeluruh yang kadang-
kadang ditandai dengan autis berat (severe autism). Kedua, acquired aphasia
yaitu hilangnya kemampuan bahasa disebabkan oleh cidera paa otak (brain
injury). Cidera otak ini akibat kecelakaan dan peyakit infeksi seperti radang
otak yang merupakan penyebab utama pada anak dan remaja (Kaplan,1996).

2. Penanganan Anak Berkebutuhan Khusus di Lingkungan Sekolah

Guru sebagai pendidik adalah tokoh yang paling banyak bergaul dan
berinteraksi dengan murid dibandingkan dengan personil lainnya di sekolah.
Guru bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembalajaran, menilai
hasil belajar, melakukan bimbingan dan pelatihan, melakukan penelitian dan
pengkajian, dan membuka komunikasi dengan masyarakat (Syaiful Sagala,2009).

Untuk mengembangkan potensi anak, guru kelas harus bekerja secara


kooperatif dan kolaborasi dengan guru pembimbing khusus sehingga anak dalam
program pendidikan khusus tidak terkucilkan dari teman-temannya (Agus
Wibowo & Hamrin, 2012). Harus disadari bahwa kurangnya pelayanan yang
optimal bagi anak berkebutuhan khusus akan menurunkan prestasi belajar anak.
Oleh karena itu, perlakuan seluruh anak didik dengan baik terutama anak-anak
berkebutuhan khusus. Seperti yang kita ketahui, kualitas pendidikan yang baik
berusaha memberikan pembelajaran yang berbeda sesuai dengn kemampuan
anak didik dan perbedaan individual yang dimilikinya (Ernawati,2012). Namun
tidak ada sebuah strategi yang dapat digunakan guru untuk memastikan semua
anak berkebutuhan khusus menerima pendidikan yang tepat. Intinya, “ciri paling
penting dari anak luar biasa adalah kemampuan mereka, bukan ketidakmampuan
mereka” (Hallahan Khuddiman, 2007: 7; dalam Agus Wibowo & Hamrin,2012).

15
Oleh karena itu, (Santrock 2010,) memberikan beberapa cara menangani anak
berkebuhan khusus oleh guru kelas,yaitu:

1) Jalankan rencana pendidikan individual (individualized Educational Plan –


IEP) untuk setia anak.
2) Dorong sekolah anda untuk memberikan tambahan dukungan dan training
cara mengajar anak berkebuhan khusus.
3) Gunakan dukungan yang tersedia dan cari dukungan yang lain.
4) Pelajari dan pahami tipe-tipe anak berkebuhan khusus di kelas.
5) Berhati-hatilah dalam memberikan label pada anak berkebutuhan khusus.
6) Lakukan beberapa strategi:

a. Penuh perhatian.
b. Meliki ekspetasi positif terhadap pembelajaran.
c. Membantu anak mengembangkan keahlikan komunikasi, social, dan
juga keahlian akademiknya.
d. Rencanakan dan susun kelas secara efektif.
e. Bersemangat dalam membantu anak termotivasi belajar.
f. Pantau pembelajaran anak dan berikan umpan balik baik yang efektif.

Beberapa contoh dalam menangani anak berkebutahn khusus di atas


memberikan gambaran kepada guru kelas untuk lebih memahami cara
penanganan anak berkebutuhan khusus secara tepat. Dari contoh-contoh tersebut,
dapat disimpukan bahwa seorang guru kelas hendaknya memeberikan program
yang khusus untuk anak berkebuhankhusus, selain itu, guru kelas juga harus
memberikan bimbingan dan bantuan bagi anaj berkebutuhan khusus secara
kontinyu dalam proses pendidikannya. Guru kelas juga diharapkan mampu
memperluas pengetahuannya tentang anak berkebuhan khusus dan cara
penanganannya. Hal tersebut penting agar guru kelas memliki kemampuan dalam
nengani anak berkebuhan khusus dalam pembelajaran maupun pengelolaan di
kelas yang tidak kalah penting adalah menunjukkan sikap penerimaan dan sikap
positif terhadap anak berkebutuhan khusus. Bagaimanapun juga, keterbatasan

16
yang dimiliki ileh anak berkebuhan khusus bukan menjadi alasan bagi semua
orang untuk memberikan penolakan atau menyikapi kehadirannya secara negatif.

B. Perilaku Menyimpang
1. Definisi Perilaku Menyimpang

Perilaku menyimpang yang biasa dikenal dengan istilah penyimpangan


sosial merupakan perilaku atau tindakan yang tidak sesuai dengan nilai dan
norma yang berlaku di masyarakat. Seperti kita ketahui kehidupan manusia itu
tidak terlepas dari yang namanya kehidupan bermasyarakat dan kehidupan
bermasyarakat itu selalu berkaitan dengan nilai dan norma di dalamnya. Nilai
merupakan sesuatu yang dicita-citakan oleh masyarakat dan berharga bagi
kehidupan, sedangkan norma adalah aturan-aturan yang berlaku dalam
kehidupan masyarakat yang disertai dengan sanksi apabila tidak melakukannya
atau melanggarnya. Nilai-nilai dan norma-norma itu bersifat mengikat, ada
yang tertulis dan ada juga yang tidak tertulis. Masyarakat percaya bahwa
dengan mereka menjalankan sebuah nilai dan norma dalam kehidupan sehari-
harinya akan menjadikan keteraturan dan ketertiban sosial dalam kehidupan
bermasyarakat. Oleh karena sifat nilai dan norma yang mengatur dan mengikat
menjadikan sebagian orang atau kelompok orang menjadi terganggu karena
merasa diatur dan hidup tidak bebas. Hal ini yang menjadi salah satu faktor
yang melatarbelakangi seseorang melakukan penyimpangan dan tidak patuh
pada nilai dan norma yang sudah disepakati dan dijalankan oleh masyarakat
pada umumnya.

Penyimpangan terhadap nilai dan norma dalam masyarakat disebut dengan


deviasi (deviation), sedangkan pelaku atau individu yang melakukan
penyimpangan disebut devian (deviant). Banyak faktor-faktor yang
mempengaruhi seseorang melakukan perilaku menyimpang. Bisa karena faktor
internal dari dalam dirinya dan juga faktor eksternal yang merupakan faktor
yang berasal dari lingkungan luar. Faktor internal bisa disebabkan karena

17
seseorang itu merasa terkekang dan ingin hidup bebas sehingga melakukan
suatu hal atau tindakan diluar nilai dan norma yang dianut masyarakat pada
umumnya. Adapun faktor eksternal yang seringkali ditemukan sebagai suatu
hal yang paling berpengaruh bagi seseorang melakukan penyimpangan. Faktor
eksternal itu biasanya berasal dari lingkungan. Seorang anak yang beranjak
dewasa akan melewati dulu masa remaja, dimana masa remaja ini merupakan
masa yang paling rawan dari seseorang untuk melakukan penyimpangan atau
perilaku menyimpang. Hal ini dikarenakan pada masa remaja seseorang akan
lebih sering menghabiskan waktunya berada di luar rumah. Artinya, seseorang
ini sedikit demi sedikit akan terpengaruh dan terbentuk oleh lingkungannya.
Tidak semua lingkungan merupakan lingkungan yang baik untuk tumbuh
kembang seorang remaja.

Sekolah merupakan lingkungan kedua setelah lingkungan rumah yang akan


dialami oleh seorang remaja. Di sekolah seorang anak akan belajar mengenai
ilmu pengetahuan dan juga belajar bagaimana untuk hidup bersosial yang
merupakan kodrat seorang manusia yang selain sebagai seorang individu
manusia juga merupakan seorang makhluk sosial yang membutuhkan orang lain
dalam menjalankan kehidupannya. Di sekolah anak diajarkan dan dikenalkan
dengan sebuah peraturan sekolah yang sifatnya mengikat dan mengatur.
Diajarkan untuk disiplin, berpakian dan berpenampilan rapih, bertatakrama
kepada guru dan lain sebagainya. Di sekolah juga anak diajarkan untuk menjadi
pribadi yang bertanggung jawab dengan diberikan kewajiban untuk belajar dan
mengerjakan tugas-tugas oleh guru yang berkaitan dengan pembelajaran itu
sendiri. Meskipun semua aturan-aturan dan kewajiban yang harus anak penuhi
di sekolah merupakan sesuatu yang baik, namun tidak semua anak merasa
demikian, seringkali ada anak yang merasa terbebani dengan semua itu. Inilah
salah satu faktor kenapa ada anak yang melakukan penyimpangan dengan
melakukan hal-hal yang melanggar nilai dan norma atau peraturan-peraturan
yang ada di sekolahnya.

18
2. Macam-Macam Perilaku Menyimpang
Perilaku menyimpang dapat kita golongkan atas tindakan kriminal atau
kejahatan, penyimpangan seksual, penyimpangan dalam bentuk pemakaian, dan
pengedaran obat terlarang, serta penyimpangan dalam gaya hidup.
1) Tindakan kriminal atau kejahatan
Tindak kriminal maupun kejahatan umumnya bertentangan dengan norma sosial,
dan norma agama yang berlaku di masyarakat. Yang termasuk ke dalam tindakan
kriminal antara lain: pencurian, penganiayaan, pembunuhan, penipuan,
pemerkosaan, dan perampokan. Tindakan kejahatan ini biasanya menyebabkan
pihak lain kehilangan harta benda, cacat tubuh bahkan kehilangan nyawa. Tindak
kejahatan mencakup pula semua kegiatan yang dapat mengganggu keamanan dan
kestabilan negara, seperti korupsi, makar, subversi, dan terorisme.
Emil.Durkheim menyebut penyimpangan sebagai kejahatan, sedangkan ahli
sosiologi lain membuat klasifikasi berbeda. Light, Keller, dan Calhoun
membedakan tipe kejahatan menjadi empat yaitu:
a. Kejahatan tanpa korban (crime without victim)
Kejahatan ini tidak mengakibatkan penderitaan pada korban akibat tindak
pidana orang lain. Contoh perbuatan berjudi, penyalahgunaan obat bius,
mabuk-mabukan. Meskipun tidak membawa korban, perilaku-perilaku ini
tetap dogolongkan sebagai perilaku menyimpang oleh masyarakat.
Kejahatan seperti ini dapat mengorbankan orang lain apabila menyebabkan
tindakan negatif lebih lanjut.
b. Kejahatan terorganisasi (organized crime)
Pelaku kejahatan merupakan komplotan yang secara berkesinambungan
melakukan berbagai cara untuk mendapatkan uang atau kekuasaan dengan
jalan menghindari hukum. Misalnya komplotan korupsi peminjaman uang
dengan bunga tinggi (rentenir). Kejahatan terorganisasi yang melibatkan
hubungan antarnegara disebut kejahatan terorganisasi transnasional. Contoh
penjualan bayi ke luar negeri, jaringan narkoba internasional.
c. Kejahatan kerah putih (white collar crime)

19
Kejahatan ini merupakan tipe kejahatan yang mengacu pada kejahatan yang
dilakukan oleh orang terpandang atau orang yang berstatus tinggi dalam
rangka pekerjaannya. Contoh, penghindaran pajak, penggelapan uang
perusahaan oleh pemilik perusahaan, atau pejabat negara yang melakukan
korupsi.
d. Kejahatan korporat (corporate crime)
Kejahatan ini merupakan jenis kejahatan yang dilakukan atas nama
organisasi dengan tujuan menaikkan keuntungan atau menekan kerugian.
Misalnya, suatu perusahaan membuang limbah racun ke sungai dan
mengakibatkan penduduk sekitar mengalami berbagai jenis penyakit.
2) Penyimpangan Seksual
Penyimpangan seksual adalah perilaku seksual yang tidak lazim dilakukan.
Contoh:
a. Perzinahan ialah hubungan seksual di luar nikah.
b. Lesbianisme ialah hubungan seksual yang dilakukan oleh sesama wanita.
c. Homoseksual ialah hubungan seksual yang dilakukan oleh sesama lelaki.
d. Kumpul kebo ialah hidup seperti suami istri tanpa nikah.
e. Sodomi ialah hubungan seks melalui anus.
f. Transvestitisme ialah memuaskan keinginan seks dengan mengenakan
pakaian lawan jenis.
g. Sadisme ialah pemuasan seks dengan menyakiti orang lain.
h. Pedophilia ialah memuaskan keinginan seks dengan mengadakan kontak
seksual dengan anak-anak.
3) Pemakaian dan Pengedaran Obat Terlarang
Penyimpangan dalam bentuk pemakaian dan pengedaran obat terlarang
merupakan bentuk penyimpangan dari nilai dan norma sosial maupun agama.
Akibat negatifnya bukan hanya pada kesehatan fisik dan mental seseorang,
tetapi lebih jauh pada eksistensi sebuah negara.contoh obat terlarang adalah
narkotika (ganja, candu, putaw), psikotropika (estasy, amphetamine,
magadon), dan alkohol.Penyalahgunaan obat-obat terlarang memang lebih

20
banyak terjadi pada kaum remaja karena perkembangan emosi mereka yang
belum stabil, cenderung ingin mencoba, kepribadian yang cenderung asosial
(tidak mempertimbangkan orang lain. Menurut Dr. Graham Baliance, kaum
remaja lebih mudah terjerumus pada peggunaan obat terlarang
4) Penyimpangan Dalam Bentuk Gaya Hidup
Penyimpangan dalam bentuk gaya hidup yang lain dari biasanya antara
lain sikap arogansi dan eksentrik. Sikap arogansi antara lain kesombongan
terhadap sesuatu yang dimilikinya seperti kekayaan, kekuasaan dan
kepandaian. Sikap arogan bisa saja dilakukan seseorang yang ingin menutupi
kekurangan yang dimilikinya. Sikap eksentrik ialah perbuatan yang
menyimpang dari biasanya sehingga dianggap aneh, seperti anak-anak
memakai anting-anting atau benda lainnya yang biasa dikenakan wanita dan
seniman atau pemuda yang berambut panjang.
Anthony Giddens menambahkan satu jenis kejahatan, yaitu kejahatan
pemerintahan (governmental crime). Contoh, pemerintahan Polpot yang
membantai jutaan penduduk Vietnam. Selain itu, dengna berkembangnya
teknologi informasi, muncul jenis kejahatan baru yang dinamakan kejahatan
dunia maya (cybercrime). Contoh, peryebaran virus komputer, pornografi,
pencurian kartu kredit, atau merusak sistem sebuah organisasi.
Tindakan yang menyimpang tidak akan terjadi apabila orang-orang
memiliki memiliki kecenderungan untuk lebih mementingkan kaidah-kaidah
yang dominan dan disertai kesadaran untuk melaksanakannya. Pudarnya
kesadaran dan kepercayaan masyarakat terhadap suatu norma akan
menyebabkan masyarakat tersebut hidup dalam ketidakteraturan (anomie) dan
dihadapkan pada berbagai masalah sosial.

3. Pencegahan Perilaku Menyimpang


Salah satu cara untuk mencegah perilaku meyimpang adalah dengan
penanggulangan sejak dini. Strategi yang dilakukan adalah sebagai berikut:

21
1) Penanganan di Lingkungan Sekolah
Salah satu penyebab anak usia sekolah nakal karena tidak memiliki sistem
nilai sebagai pedoman dalam kehidupanya.
a. Pendekatan Moral dan Hukum (PPKN)
PPKn merupakan bidang studi yang mengajarkan nilai, norma, dan moral
kepada siswa, untuk itu guru PPKn memeliki kewajiban untuk ikut
menyelesaikan masalah kenakalan remaja.
b. Pendekatan melalui Bimbingan Konseling (BK)
Bimbingan konseling sangat berperan dalam menangani masalah siswa
(remaja). Melaui BK diharapkan siswa mau menyampaikan masalah yang
dihadapinya, karena BK memiliki keahlian khusus dalam bidang psikologi.
2) Penanganan di Lingkungan Keluarga
Keluarga sebagai tempat pendidikan anak pertama harus lebih peka
terhadap perkembangan perilaku anaknya, Menjaga hubungan baik antara
orang tua dan anak, Memberi nasihat mana yang dianggap baik dan benar,
dan Harus saling keterbukaan antar anggota keluarga.
Untuk mencegah terjadinya perilaku menyimpang, ada beberapa upaya
yang dapat dilakukan;
a. Menciptakan suasana dan lingkungan yang harmonis
b. Menanamkan nilai-nilai Agama dan nilai budi pekerti
c. Penuh perhatian dalam keluarga
d. Menanamkan kedisiplinan dan rasa kekeluargaan
e. memberikan pujian jika dia baik dan memberikan teguran jika dia salah.
f. Penanganan Di Lingkungan Masyarakat (Bidang Sosial)
Untuk mencegah agar remaja tidak terjerumus dalam perilaku menyimpang
dan bertindak terlalu permisif dalam berhubungan dengan lawan jenisnya harus
diakui bukanlah hal yang mudah. Di tengah kesibukan orang tua bekerja dan
waktu yang makin terbatas bersosialisasi dengan anak-anaknya, maka kontrol
dan upaya mencegah anak agar tidak terjerumus melakukan hal-hal yang negatif

22
mau tidak mau harus melibatkan pihaklain, yakni sekolah dan pemerintah kota
sebagai lembaga subtitutif pengganti orang tua.
Kalau memilih jalan pintas, untuk mencegah remaja terlibat dalam pergaulan
yang keliru dan merambu agar remaja tidak mengembangkan perilaku yang
menyimpang, cara yang paling mudah adalah dengan pendekatan yang regulatif,
bahkan represif. Melarang remaja keluar rumah, memaksa remaja terus berkutat
dengan buku pelajaran, dan lain sebagainya, untuk jangka pendek mungkin
terkesan efektif. Tetapi, untuk lebih menjamin kelangsungan dan tumbuhnya
kesadaran remaja secara mandiri menjaga kehormatan dan etika susila, maka
langkah taktis yang dibutuhkan sesungguhnya adalah bagaimana memfasilitasi
kebutuhan remaja di usia pubertas yang senantiasa menginginkan afiliasi dan
intimasi dengan lawan jenis secara sehat, tanpa harus meninggalkan norma susila
dan etika yang berlaku di masyarakat.
Model pembinaan dan pendampingan yang efektif untuk menangani remaja
di usia pubertas, selain harus mampu menawarkan berbagai kegiatan alternatif
yang menyenangkan, yang tak kalah penting adalah bagaimana pendekatan yang
dikembangkan benar-benar memahami dan bertumpu pada gaya hidup (lifestyle)
remaja secara kontekstual, serta pola relasi remaja yang umumnya lebih
menyukai interaksi yang bersifat egaliter.

4. Penanganan perilaku menyimpang di lingkungan sekolah

Dalam teori Labelling yang dikemukakan oleh Edwin M. Lemerd (1951),


bahwa terdapat dua bentuk penyimpangan, yaitu penyimpangan primer dan
penyimpangan sekunder. Pada tahap primer, penyimpangan masih bersifat
temporer atau kadangkala, tidak dilakukan secara berulang. Pada penyimpangan
skunder, penyimpangan mulai dilakukan secara berulang. Apabila seseorang
yang telah melakukan penyimpangan pada tahap primer (pertama) lalu oleh
masyarakat diberi cap atau diberikan julukan sebagai penyimpang, maka orang
tersebut akan terdorong untuk melakukan penyimpangan secara skunder (tahap
lanjut).

23
Harus diingat, sekolah bukanlah tempat pemberian hukuman tetapi tempat
pendidikan, pembinaan, dan pengajaran. Hak-hak anak untuk belajar di sekolah
telah dilindungi oleh UUD 1945 Pasal 28C, bahwa “setiap orang berhak
mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak
mendapatkan pendidikan, dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan
teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi
kesejahteraan umat manusia”. Implikasinya adalah bahwa semua anak harus
mendapat kesempatan yang sama dalam memperoleh pendidikan. Sekolah tidak
boleh mengeluarkan peserta didik dan sekolah wajib menciptakan suasana belajar
yang menyenangkan dan menjauhi kekerasan verbal dan fisik terhadap siswa.
Oleh karena itu, dalam penanganan penyimpangan perilaku siswa di sekolah
diperlukan guru-guru yang memiliki tingkat kematangan emosi yang baik.
Beberapa peristiwa, dampak penanganan perilaku menyimpang siswa disekolah
yang tidak tepat menyisakan dendam pada peserta didik yang akhirnya
menimbulkan kebencian kepada guru yang bersangkutan. Tidak jarang kita
mendengar peristiwa seorang anak didik yang mengancam bahkan memukul
gurunya. Kasus lainnya, siswa merusak sekolahannya sendiri. Perilaku tersebut
tidak dapat kita lihat dari aksi mereka saja tetapi harus dilihat, apa akar penyebab
aksi tersebut dilakukan.
Yang harus diperhatikan dalam penanganan kasus di sekolah adalah maksud
dan tujuan dari penangan kasus tersebut. Pihak-pihak yang menangani kasus-
kasus di sekolah pada awal penanganan harus menjauhi dahulu pikiran untuk
mengeluarkan siswa dari sekolah. Pilihan mengeluarkan siswa dari sekolah
bukan tujuan dari penanganan kasus. Mengeluarkan siswa bermasalah dari
sekolah dapat menciptakan masalah sosial baru di masyarakat atau bahkan akan
menyebabkan siswa tersebut melakukan tindakan penyimpangan yang lebih jauh
lagi sebagai luapan perasaan karena merasa tersisih dan tidak diterima lagi di
dunia pendidikan. Fokus tujuan utama yang harus dimiliki para guru adalah
bagaimana membuat siswa yang bermasalah menjadi lebih baik, menyadari

24
kesalahannya, memahami adanya konsekuensi dari perbuatannya dimasa
sekarang dan masa yang akan datang.
Menghukum siswa yang melakukan penyimpangan perilaku di sekolah
dengan menjauhkannya dari dunia pendidikan sama saja dengan memutuskan
harapan siswa tersebut dari kehidupan yang lebih baik. Melalui pendidikan
diharapkan penyimpangan perilaku tersebut dapat diperbaiki.
Adapun pendekatan yang dapat dilakukan dalam mengatasi penyimpangan
perilaku siswa di sekolah dapat melalui:
a. Pendekatan disiplin dengan hukuman
Pendekatan ini dilakukan untuk meluruskan penyimpangan yang dilakukan siswa
agar siswa menyadari bahwa perilakunya adalah menyimpang. Akibat dari
perilakunya tersebut, maka siswa diajak untuk memahami bahwa setiap
pelanggaran akan mengakibatkan timbulnya sanksi. Sanksi yang diberikan
sekolah harus sanksi yang bersifat mendidik.
Guru dalam posisi pemberi sanksi harus memiliki kematangan emosi. Pada
beberapa peristiwa, masih tampak guru memberikan sanksi yang tidak mendidik
dan karena tidak memiliki kematangan emosi, siswa tersebut mendapatkan
kekerasan secara verbal dan fisik dari guru yang jauh dari mendidik.
b. Pendekatan bimbingan dan Konseling
Pendekatan melalui bimbingan dan konseling, umumnya tidak menjatuhkan
sanksi kepada siswa yang melakukan pelanggaran. Bimbingan dan konseling
mengarah pada pemberian bantuan atau pertolongan kepada siswa dalam
menghindari atau mengatasi persoalan kehidupannya sehingga memiliki
kehidupan yang lebih bermakna. Penangan kepada siswa yang melakukan
penyimpangan lebih kepada terapi atau meningkatkan pemahaman siswa
mengenai dampak-dampak perilaku yang menyimpang dan bagaimana cara
mencegah, menghindari, dan memberikan jalan keluar agar tidak melakukan
penyimpangan kembali, juga meningkatkan kemampuan siswa dalam mengatasi
masalah, dan menetaokan pilihan-pilihannya secara lebih bertanggungjawab.

25
Asas dalam bimbingan dan konseling adalah adanya kepercayaan dari
peserta didik bahwa guru akan menjaga kerahasiaanya, adanya kerelaan dari
peserta didik untuk mencurahkan permasalahannya sehingga mereka
mengungkapkannya dengan kejujuran.

C. Cara Guru Mengatasi Siswa Yang Berperilaku agresif

Munculnya fenomena seperti perkelahian antarsiswa, baik yang terjadi di


dalam satu sekolahan sendiri maupun melakukan penyerangan ke salah satu
sekolahan merupakan indikasi terjadinya agresivitas di kalangan siswa. Selain itu,
munculnya genk pelajar seakan menunjukkan agresivitas di kalangan siswa telah
diorganisir dengan baik. Berbagai ilustrasi faktual memberikan gambaran
senyatanya tentang perilaku agresif yang terjadi di rumah maupun di sekolah.
Ketidakmampuan anak mengerjakan tugas guru di sekolah sebagai suatu gambaran
agresivitas yang bersifat pasif. Perilaku agresif lainnya yang biasanya ditunjukkan
anak-anak misalnya: menganggu teman, berperilaku kasar, merusak barang-barang
hingga mengacaukan proses pembelajaran di kelas sehingga membuat guru
menjadi frustasi. Selain itu banyak dijumpai siswa yang berperilaku agresif.
Perilaku agresif siswa muncul baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Perilaku
tersebut berupa perampasan barang milik teman, misalnya alat tulis; berkelahi;
mendorong teman sampai jatuh; dan memukul. Hal tersebut memberikan dampak
negatif baik bagi siswa sendiri maupun bagi orang lain, misalnya teman siswa.
Perilaku tersebut tidak seharusnya didiamkan begitu saja, tetapi perlu
mendapatkan perhatian khusus.
Agresivitas merupakan kecenderungan manusia untuk melakukan agresi.
Agresi umumnya diartikan sebagai segala bentuk tingkah laku yang disengaja,
yang bertujuan untuk mencelakakan individu atau benda-benda lain. Sebagaimana
Dayakisni dan Hudaniah (2003:45) mengemukakan bahwa agresivitas adalah
tingkah laku individu yang ditujukan untuk melukai atau mencelakakan individu
lain yang tidak menginginkan datangnya tingkah laku tersebut. Perilaku agresif
dapat bersifat verbal seperti menghina, memaki, marah, dan mengumpat.

26
Sedangkan untuk perilaku agresif non-verbal atau bersifat fisik langsung adalah
perilaku memukul, mendorong, berkelahi, menendang, dan menampar. Perilaku
menyerang, memukul, dan mencubit yang ditunjukkan oleh siswa atau individu
bisa dikategorikan sebagai perilaku agresif.
Timbulnya agresivitas di kalangan siswa ini memerlukan adanya perhatian
dari berbagai pihak. Sekolah sebagai tempat pendidikan formal memiliki tanggung
jawab dalam menangani agresivitas siswa. di dalam sistem sekolah, semua pihak
memiliki tanggung jawab dan memiliki peran yang urgen dalam mengatasi
agresivitas siswa. Salah satu yang sangat urgen yang memiliki peran penting
adalah guru pembimbing atau guru BK. Keberadaan dan peran serta guru
pembimbing di sekolah sangat diperlukan. Salah satu fungsi bimbingan dan
konseling adalah fungsi atau upaya pencegahan (preventif), yakni suatu upaya
untuk melakukan intervensi mendahului kesadaran akan kebutuhan pemberian
bantuan. Upaya-upaya pembentukan kelompok belajar, bimbingan kelompok,
bimbingan individu dan kegiatan ekstrakurikuler, kesemuanya itu merupakan
bagian dari rangkaian upaya preventif. Upaya preventif yang dimaksudkan adalah
kegiatan yang dilakukan secara sistematis, terencana, dan terarah, untuk menjaga
agar agresivitas siswa tidak terjadi. Guru pembimbing dapat membuat program-
progran preventif antara lain:

1) Guru pembimbing dapat melakukan bimbingan individu maupun bimbingan


kelompok dengan memberikan pembinaan mental spritual keagamaan, agar
siswa memiliki kepribadian yang bermoral, berbudi pekerti yang luhur dan
bersusila,
2) Bimbingan individu maupun kelompok perlu ditanamkan kepada siswa
kejujuran, kasih sayang terhadap sesama manusia, dan diberi penjelasan
jangan cepat berprasangka buruk yang dapat mengakibatkan timbulnya
pertengkaran,
3) Guru pembimbing dapat memberikan informasi dan penyuluhan kepada
siswa tentang bahaya perilaku agresif, memahami tentang bahaya dan

27
dampak negatif perilaku agresif, menganjurkan kepada siswa untuk
menyelenggarakan diskusi tentang perilaku agresif dengan segala aspeknya,
menganjurkan agar siswa aktif mengikuti kegiatan ekstrakurikuler di sekolah
seperti pramuka, olahraga, privat, mengikuti lomba poster/leaflet, lomba
pidato dan lain-lain, memberikan pengertian kepada siswa agar berani
menolak ajakan teman andai disuruh melakukan perilakun  agresif,
mengadakan pendekatan secara khusus kepada siswa yang berpotensi ingin
melakukan perilaku agresif, termasuk kepada siswa yang berpenampilan
sederhana maupun yang mapan,
4) Guru pembimbing perlu membangun kerjasama dengan orang tua. Orang tua
sebagai pendidik anak di rumah perlu mengajarkan pada anak untuk bersikap
asertif, yaitu dengan melatih anak untuk mengembangkan kontrol diri dan
melatih anak untuk dapat menyampaikan hal-hal yang ingin disampaikan
anak kepada orang lain dengan menghindarkan sikap kekerasan, dan 5) guru
pembimbing dapat mengadakan forum silaturrahmi siswa antar sekolah yang
dikemas dalam kegiatan yang konstruktif dalam membangun kebersamaan
dan kerjasama yang positif.

Uraian di atas menunjukkan keberadaan dan peran guru pembimbing di


sekolah sangat urgen. Namun, mengatasi agresivitas siswa tidak sama dengan
mengobati suatu penyakit. Setiap penyakit sudah ada obat-obat tertentu, akan
tetapi agresivitas siswa belum mempunyai obat tertentu untuk penyembuhannya.
Hal ini dikarenakan agresivitas itu adalah kompleks dan amat banyak ragamnya
serta amat banyak jenis penyebabnya sehingga upaya mengatasi agresivitas siswa
tidak hanya dapat dilakukan oleh guru pembimbing sekolah saja. Namun, perlu
juga perhatian oleh pihak lain/stakeholders pendidikan.

BAB III

PENUTUP

28
A. KESIMPULAN
Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang dalam proses
perkembangannya secara signifikan mengalami penyimpangan baik fisik, mental,
intelektual, sosial, emosional dibandingkan dengan anak lain seusianya sehingga
memerlukan pendidikan khusus.
Proses pengolahan ilmu di otak anak-anak berkebutuhan khusus itu relatif
kurang. Pada awal kehidupan sel-sel otak mulanya sedikit, ketika usia 6 tahun, sel-
sel otak mulai bertahmbah, hingga akhirnya pada usia 14 tahun dapat berkembang
lebih pesat. Anak berkebutuhan khusus hanya tertuju pada 1 pusat perhatian (topik
menarik) dalam proses otak. Yang berinteligensi tinggi akan menghadapi kesulitan
dalam pembelajaran normal, suka merasa bosan dan cenderung main-main sendiri.
Sedangkan yang inteligensinya rendah akan kesulitan dalam memahami materi
pembelajaran dan kerap 2 membutuhkan banyak pengulangan dalam membahas
suatu pembelajaran
Perilaku menyimpang adalah tindakan yang tidak sesuai dengan norma-
norma dan nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat. Penyebab perilaku
menyimpang, yaitu, Ketidaksanggupan menyerap nilai dan norma yang berlaku
dalam masyarakat, Proses belajar yang menyimpang, Ketegangan antara
kebudayaan dan struktur sosial, Akibat proses sosialisasi nilai-nilai subkebudayaan
menyimpang, Akibat proses sosialisasi yang tidak sempurna, Desakan faktor
ekonomi, dan sebagainya.
Perilaku menyimpang ada yang bersifat positif (yang dapat di terima
masyarakat) dan bersifat negative (Yang tidak dapat diterima masyarakat)
Terdapat berbagai jenis perilaku menyimpang yang terjadi selama ini. Perilaku
menyimpang harus segera ditangani dengan cara Penanganan di Lingkungan
Sekolah, Penanganan di lingkungan keluarga, dan Penanganan Di Lingkungan
Masyarakat (Bidang Sosial).
B. SARAN
Mengingat bahwa ujung tombak pelaksanaan pendidikan adalah guru yang
terlibat langsung dalam upaya pembelajaran anak didik, maka berikut ini penulis

29
menyampaikan beberapa masukan sebagai bahan pertimbangan dalam upaya
layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusif.

1. Guru reguler di sekolah inklusif diharapkan betul-betul memahami


karakteristik dari masing-masing anak, termasuk anak berkebutuhan khusus;
dan disarankan agar mereka meningkatkan kemampuan dalam mendidik
anak berkebutuhan khusus sebagai bagian dari kelas inklusif, misalnya
dengan membaca buku, penataran, pelatihan, dsb.
2. Guru pembimbing khusus diharapkan dapat memberikan bantuan,
bimbingan atau sharing pengalaman kepada guruguru reguler tentang
bagaimana cara memberikan layanan pendidikan pada ABK.
3. Agar sekolah dapat diakses dengan mudah oleh semua siswa, sekolah
hendaknya memperhatikan aksesibilitas fisik dan aksesibilitas nonfisik.

DAFTAR PUSTAKA

Agus Wibowo dan Hamrin. 2012. Menjadi Guru Brekarakter Strategi Membangun
Kompetensi & Karakter Guru, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Amin, Syamsul Munir. 2010. Bimbingan dan Konseling Islami. Jakarta: Amzah

30
Arkandha, S. 2006. Ikhtisar Pediatrika Kesehatan, Pencegahan, dan Pengobatan
Bagi Anak. Jakarta: Bina Aksara

Bachri (2010). "Meyakinkan Validitas Data Melalui Triangulasi Pada Penelitian


Kualitatif". Teknologi Pendidikan, 10, 46–62.

BKIN (2007). Naskah Akademik: Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan


Layanan Bimbingan dan Konseling Dalam Jalur Pendidikan Formal.
Jakarta: Dirjen Dikti Depdiknas.

Coleman. C. James (1969). Psychology and Effective Behavior. California:


Malibu

Davison, G. C., Neale, J. M. dan Kring, A. M. 2006. Psikologi abnormal (9th ed.).
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Dayakisni, T., & Hudaniah. (2003). Psikologi Sosial. Malang: UMM Press

Gagnon, M., & R. Ladouceur. (1992). Behavioral Tratment of Child Extension.


Behavior Therapy,23,113-129

Hadis. 2006. Psikologi Dalam Pendidikan. Bandung: CV. Alfabeta.

Hallahan, D.P. & Kauffman, J.M. (2003). Exceptional Learners: Introduction to


Special Education 10th ed. USA: Pearson.

Haris, Abdul. 2006, Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Bandung: Alfabeta.

Heward, W.L. (2003). Exceptional Children And Introduction to Special


Education. New Jersey: Merrill, Prentice Hall.

Hildebrand, Verna. (1986). Introduction to Early Childhood Education, 4 th, ed.


New York: Mac Millan Publishing Co.

31
Hurloock, E.B.,1999. Perkembangan Anak Julid 1 (edisi 6). Penerbit Erlangga:
Jakarta

Johnson, R.C. & Medinnus, G.R. (1967). Child Psychology Behavior and
Development. New York: John Wiley and Sons inc.

Kaplan, H.I., Sadock, B.J. 1998. Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat. Penerjemah
(W.M. Roan). Jakarta: Widya Medika.

Mangunsong, F. 2009. Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Jilid


I. Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan
Psikologi (LPSP3) Kampus Baru UI, Depok.

Mangunsong, Frieda. 1998. Psikologi dan Pendidikan Anak Luar Biasa. Jakarta:
LPSP3 UI.

Payne, S James & Patton, R James. (1981). Mental Retardation. Ohio: Bell &
Howell Company.

Purwanti (2012). Sikap Remaja Terhadap Menarche. Jakarta EGC

Sagala, Syaiful, 2009. Konsep dan Makna Pembelajaran: Rineka Cipta

Santrock, John W. (2009). Perkembangan Anak. Edisi 11. Jakarta. Erlangga

Schultz, Duane. 1991. Psikologi Pertumbuhan, Model-Model Kepribadian Sehat.


Yogyakarta: Kanisius.

Semiawan, Conny R dan Mangunsong, Frieda. 2010. Keluarbiasaan Ganda.


Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Silverman, F.H. (1995). Speech, Language, and Hearing Disorder.Boston: Allyn


and Bacon. Inc

32
Slavin. R., E. (2006). Educational Psychology; Theory and Practice (8th Edition).
Boston; Pearson Edcation Inc.

Smith, J. A. (2006). Dasar-Dasar Psikologi Kualitatif: Pedoman Praktis Metode


Penelitian. Bandung: Nusamedia.

HASIL DISKUSI

1. Penanya : Wiwiani Jesika

33
Pertanyaan : Bagaimana peran seorang guru dalam mendidik siswa
yang mempunyai keterbatasan dalam pembelajaran?

Penjawab : Nurul Tariza

Jawaban :

Peran yang dilakukan oleh guru untuk menanggulangi kerumitan siswa,


yaitu menyampaikan perhatian kepada siswa yang mengalami kesulitan
dalam belajar, menggunakan media pembelajaran, memberikan tugas dan
Latihan agar siswa mau belajar secara mandiri, mengarahkan siswa belajar
dalam kelompok dan lain sebagainya.

2. Penanya : Julinda Sari

Pertanyaan : Bagaimana bentuk layanan Pendidikan bagi anak yang


memerlukan layanan Pendidikan khusus?

Penjawab : Nurul Tariza

Jawaban :

Layanan Pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus secara umum terbagi


dalam 3 bagian yaitu segregasi, integrasi dan inklusi. Adapun
penjelasannya sebagai berikut:

 Bentuk layanan segresi

Bentuk layanan segresi yaitu bentuk layanan Pendidikan bagi anak


berkebutuhan khusus yang mengacu pada jenis atau karakteristik
spesifik dari keturunan yang di alami seseorang.

 Sekolah luar biasa berasrama

34
Sekolah luar biasa berasrama merupakan bentuk sekolah luar biasa
yang di lengkapi dengan fasilitas asrama. Peserta didi LSB
berasrama tinggal di asrama. Bentuk satuan pendidikannya pun
juga sama dengan bentuk LSB,sehingga ada LSB-A untuk tuna
Netra, SLB untuk tunarungu (SLB-B),SLB untuk tunagrahita (SLB-
C), untuk tunadaksa (SLB-D), dan LSB untuk tunalaras (LSB-E).

3. Penanya : Nurnabila Harshiva

Pertanyaan : Hal apa saja yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan


dalam mengajar anak berkebutuhan khusus?

Penjawab : Tengku Fauzan

Jawaban :

Aspek-aspek yang penting yang harus diperhatikan orang tua dalam


mempersiapkan anak berkebutuhan khusus dalam bersekolah:

 Perkembangan fisik (melingkup motoric halus dan kasar)


 Bahasa (resptif dan ekspresif)
 Kognisi (pendekatan pembelajaran)
 Membaca dan menulis
 Perhitungan dasar
 Sosial
 emosi

4. Penanya : Nurfadilah

35
Pertanyaan : Hambatan apa saja yang ada pada perkembangan
Pendidikan anak berkebutuhan khusus?

Penjawab : Tengku Fauzan

Jawaban :

Anak-anak berkebutuhan khusus mengalami hambatan dalam


perkembangannya. Hambatan perkembangan yang dialami beragam
meliputi gangguan pendengaran, penglihatan, kecerdasan, interaksi dan
komunikasi, gerak serta aspek sosial dan prilaku.

5. Penanya : Muh. Afif

Pertanyaan : Mengapa anak berkebutuhan khusus perlu


mengembangkan diri dan bersekolah pada Pendidikan
inklusi?

Penjawab : Nur Rohim Prasetyo

Jawaban :

Dengan bersekolah di sekolah inklusi, anak berkebutuhan khusus akan


mendapatkan berbagai manfaat yaitu: hak dan kewajiban yang sama
dengan peserta didik regular lainnya di kelas, berbagai fasilitas untuk
belajar dan mengembangkan diri terlepas dari keterbatasannya. Dan juga
mendorong kepercayaan diri.

6. Penanya : Nurfadillah

36
Pertanyaan : Bagaimana cara mencegah dalam meminimalisir penyebab
lahirnya anak berkebutuhan khusus?

Penjawab : Nur Rohim Prasetyo

Jawaban :

Dengan cara menjaga asupan makanan bergizi, mengonsumsi asam folat,


rutin melakukan pemeriksaan, menghindari asupan alcohol, menghindari
paparan infeksi, dan melakukan vaksinasi.

7. Penanya : Heriyanti Rambung Sandainan

Pertanyaan : Apakah anak ABK berhak mendapatkan kesempatan yang


sama seperti anak normal pada bidang Pendidikan?

Penjawab : Nurul Tariza

Jawaban :

Tidak jauh berbeda dengan orang-orang normal, anak-anak berkebutuhan


khusus juga mempunyai hak dan kebutuhan yang sama. Untuk memenuhi
kebutuhan pendidikannya, anak berkebutuhan khusus memiliki hak yang
sama dengan anak normal lainnya. Dalam pasal 31 UUD 1945 disebutkan
bahwa semua warga negara berhak mendapatkan Pendidikan.

37

Anda mungkin juga menyukai