Anda di halaman 1dari 22

Mengkonstrak Artikel

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas UAS Pada Mata Kuliah
Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus dengan Dosen Pengampu Yudi
Budianti, M.Pd

Disusun oleh:
Aulia Rachma Dewi (41182109220026)

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS ISLAM 45

2024
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ................................................................................................................ ii


BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
BAB II TUNAGRAHITA ........................................................................................... 3
2.1 Pengertian Tunagrahita ................................................................................... 3
2.2 Karakteristik Tunagrahita ............................................................................... 3
2.3 Layanan Tunagraahita .................................................................................... 5
BAB III KESULITAN BELAJAR ............................................................................. 7
3.1 Pengertian Kesulitan Belajar .......................................................................... 7
3.2 Karakteristik Kesulitan Belajar ...................................................................... 7
3.3 Layanan Kesulitan Belajar ............................................................................. 9
BAB IV Anak ADHD ................................................................................................ 10
4.1 Pengertian Anak ADHD ............................................................................... 10
4.2 Karakteristik Anak ADHD ........................................................................... 11
4.3 Layanan Anak ADHD .................................................................................. 12
BAB V Anak AUTIS ................................................................................................. 13
5.1 Pengertian Autis ........................................................................................... 13
5.2 Karakteristik Autis........................................................................................ 14
5.3 Layanan Autis............................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 18

ii
BAB I

PENDAHULUAN
Anak-anak dengan kebutuhan khusus berbeda dari anak-anak lainnya. Anak
berkebutuhan khusus, juga dikenal sebagai anak luar biasa, didefinisikan sebagai
anak yang memerlukan pendidikan dan layanan khusus untuk mengembangkan
potensi kemanusiaan mereka secara sempurna (Hallahan dan Kauffman, 2003:
12). Anak-anak berkebutuhan khusus ini tidak memiliki karakteristik
perkembangan mental atau fisik yang sama dengan anak seusianya. Meskipun
berbeda, ada juga anak-anak berkebutuhan khusus yang menunjukkan kesulitan
fisik, emosi, atau mental saat berada di lingkungan sosial. Beberapa jenis anak
berkebutuhan khusus yang sering kita temui termasuk tunarungu, tunanetra,
tunadaksa, tunagrahita, tunalaras, autis, down syndrome, dan retradasi mental
(kemunduran mental).
Anak berkebutuhan khusus (ABK) adalah anak yang memiliki karakteristik
khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya, seperti gangguan fisik, mental,
intelegensi, dan emosi. ABK memerlukan perhatian khusus untuk memenuhi
kebutuhan mereka dalam kehidupan sehari-hari. Orang tua anak berkebutuhan
khusus diharapkan mampu menghadapi tantangan dalam merawat dan mendidik
anak mereka yang memiliki kebutuhan khusus.
Ketika belajar, anak-anak dengan kebutuhan khusus sering melakukan
kesalahan memori sensasi karena memori mereka hanya pendek, mudah lupa, dan
fakta tersimpan dalam konteks yang berbeda daripada yang ada dalam satu
kerangka. Anak-anak Berkebutuhan Khusus memiliki kemampuan untuk memberi
respons terhadap pembelajaran, tetapi mereka menghadapi tantangan dalam
menghadapi situasi baru. Dalam hal interaksi sosial, anak-anak berkebutuhan
khusus memiliki masalah seperti kurang kontak mata, represif, sulit berinteraksi
dengan teman-teman dan guru, kesulitan memahami maksud orang lain, kesulitan
menyampaikan keinginan, takut, dan cenderung menghindari orang lain, dan
kesulitan memahami isyarat verbal-nonverbal. Anak-anak berkebutuhan khusus
seringkali kurang terampil dan terkordinir dalam melakukan tugas tertentu.
Sebaliknya, anak-anak dengan gerak motorik kasar seringkali kurang tangkas dan
keseimbangan.
Anak-Anak berkebutuhan khusus kerap kali kurang tangkas dan keseimbangan
dalam perihal Gerak Motorik Kasar, sedangkan dalam Gerak Motorik Halus.
Anak-anak berkebutuhan khusus kerap kurang terampil dan terkordinir dalam
melaksanakan salah satu tugas. Ada beberapa jenis penanganan anak berkebutuhan
khusus yang bisa dipraktikan baik pihak orang tua maupun pihak-pihak lainnya
agar anak berkebutuhan khusus ini dapat mengembangkan kemampuannya dalam
belajar dan berinteraksi dengan lingkungan sosial di sekitarnya. Dua metode
pembelajaran yang khusus diberikan pada anak berkebutuhan khusus ini adalah
metode pembelajaran dengan berbagai aktivitas berat (untuk membantu
mengoptimalkan kemampuan anak dan perilaku anak) dan bekali anak
berkebutuhan khusus dengan teknologi informasi dan keterampilan.
Ketika anak mengalami kesulitan belajar, hal itu dapat berdampak pada
perkembangan sosial-emosional mereka dan prestasi akademik mereka, yang
dapat berdampak pada masa depan mereka. Selain itu, anak-anak yang mengalami
kesulitan belajar juga cenderung mengalami masalah dalam interaksi sosial dan
emosional, seperti kurangnya rasa percaya diri, frustasi yang sering, dan
kurangnya keinginan untuk belajar. Hal ini dapat berdampak pada kesejahteraan
mental dan sosial anak serta membuat pembelajaran mereka lebih sulit.
Oleh karena itu, upaya harus dilakukan untuk mengatasi masalah belajar anak.
Para pendidik dan orang tua harus tahu apa yang menyebabkan anak mengalami
kesulitan belajar dan bagaimana mengatasi masalah tersebut. Faktor internal

1
seperti gangguan perilaku, gangguan emosi, atau kecerdasan yang kurang dapat
diatasi melalui terapi atau konseling. Sementara faktor eksternal seperti kondisi
keluarga, lingkungan sekolah, atau dinamika masyarakat dapat diatasi dengan
melakukan perubahan pada lingkungan belajar anak.
Beberapa prinsip umum yang perlu diperhatikan dalam mendidik anak
berkebutuhan khusus, seperti prinsip motivasi, prinsip latar/ kompleks, prinisp
keterarahan, prinsip hubungan sosial, prinsip individualisasi, prinsip belajar
sambil bekerja, prinsip pemecahan masalah, dan prinsip menemukan.
Amin (2004: 22) menjelaskan bahwa anak tunagrahita ringan anak yang
mengalami hambatan intelektualnya meskipun kecerdasan dan adaptasi serta
sosialnya terhambat, namun mereka mempunyai kemampuan untuk berkembang
dalam bidang pengajaran akademik, penyesuaian sosial dan berkembang bekerja.
Slameto (2010: 54) berpendapat bahwa ada tiga faktor yang dapat
mempengaruhi minat belajar, yakni faktor jasmani, faktor psikologis dan faktor
kelelahan Beberapa hal yang harus dikuasai anak tunagrahita dalam motivasi
belajar yaitu ketekunan belajar, keuletan dalam belajar, minat/perhatian dalam
belajar, tidak bosan belajar, belajar dan senang belajar. Berdasarkan keterbatasan
tersebut maka diperlukan pelayanan pendidikan khusus untuk mengembangkan
motivasi anak.
Dalam pendidikan, anak berkebutuhan khusus memerlukan lingkungan dan
pola asuh yang sesuai dengan kondisi mereka. Mereka juga perlu mendapatkan
pembelajaran khusus, termasuk pendidikan agama, agar mereka dapat mencapai
potensi mereka dalam keterbatasan yang mereka miliki. Selain itu, pemahaman
dan kesadaran masyarakat tentang kebutuhan anak berkebutuhan khusus serta
pentingnya dukungan keluarga dan lingkungan sangat penting karena dukungan
keluarga dapat memengaruhi kemampuan orang tua anak berkebutuhan khusus
untuk menghadapi tantangan sehari-hari.

2
BAB II

TUNAGRAHITA
2.1 Pengertian Tunagrahita

Menurut AAMD (Moh., 1995) Mendefinisikan tunagrahita sebagai


kelainan yang meliputi fungsi intelektual umum di bawah rata-rata, yaitu IQ 84 ke
bawah berdasarkan tes dan muncul sebelum usia 16 tahun.
Menurut PP No. 72 Tahun 1991 anak tuna grahita adalah anak yang secara
signifikan memiliki kecerdasan di bawah rata-rata pada umumnya dengan disertai
hambatan dalam penyesuaian diri dengan lingkungan sekitar.
Apriyanto (2014: 14) menyatakan anak tuna grahita dalam kehidupannya
memiliki hambatan dalam perkembangan kognitif ( bawah rata-rata anak pada
umumnya) dan hambatan dalam perilaku adaptif Akibat dari kondisi seperti itu,
anak tuna grahita mengalami kesulitan belajar secara akademik (bahasa dan
aritmatika atau matematika) dan kesulitan dalam hubungan interpersonal,
kesulitan dalam mengurus diri, kesulitan dalam menilai situasi ketergantungan
kepada orang lain, konflik, dan frustasi, dan belum mendapat perhatian yang
memadai.
Sedangkan menurut Endang Rochyadi dan Zainal Alimin (2005)
Menyebutkan bahwa tunagrahita berkaitan erat dengan masalah perkembangan
kemampuan kecerdasan kemampuan kecerdasan yang rendah dan merupakan
sebuah kondisi.
➢ Mengkonstruk: Tunagrahita adalah anak dengan kesulitan intelektual di bawah
rata-rata. Jadi, anak tunagrahita terhambat dalam belajar, bermain, dan
berinteraksi dengan lingkungannya. Ini sering membuat mereka dikucilkan dari
lingkungannya.

2.2 Karakteristik Tunagrahita


Menurut Astati (apriyanto, 2014: 34-35) karakteristik anak yang mengalami
tunagrahita yang dapat dipelajari meliputi:
• Kecerdasan
Kapasitas belajar anak terbelakang sangat terbatas. Terlebih lagi
kapasitas mengenai hal-hal yang abstrak. Mereka lebih banyak belajar dengan
membeo (rote learning) daripada dengan pengertian. Dari hari ke hari dibuatnya
kesalahan-kesalahan yang sama. Perkembangan. mentalnya mencapai puncak
pada usia masih muda.
• Sosial
Dalam pergaulan, mereka tidak dapat mengurus, memelihara, dan
memimpin dirinya sendiri. Waktu masih muda harus senantiasa dibantu, setelah
dewasa kepentingan ekonominya bergantung pada orang lai Mereka mudah
terperosok kedalam tingkah laku yang tidak baik.
• Fungsi-fungsi mental lain
Mereka mengalami kesukaran memusatkan perhatian, minatnya sedikit
dan cepat beralih perhatian, pelupa, sukar membuat asosiasi asosiasi, sukar
membuat kreasi baru. Mereka cenderung menghindar dan berfikir. e-ISSN:
2985-9190; p-ISSN: 2985-9670, Hal 87-94 91 KHIRANI - VOLUME 1, NO.
2, JUNI 2023.
• Dorongan dan emosi
Anak yang memperlihatkan dorongan untuk mempertahankan dirinya.
Kehidupan dan penghayatan terbatas.
• Kepribadian
Anak tuna grahita jarang yang mempunyai kepribadian yang dinamis,
menawan, berwibawa, dan berpandangan luas. Kepribadian mereka pada
umumnya mudah goyah.

3
• Organisme
Baik struktur tubuh maupun fungsi organismenya, anak tuna grahita pada
umumnya kurang dari anak normal. Sikap dan gerakannya kurang sigap.
Mereka juga kurang mampu melihat persamaan dan perbedaan.
Menurut AAMD (Moh, 1995), sebagai berikut:
a. Karakteristik Tunagrahita Ringan
Meskipun tidak dapat menyamai anak normal yang seusia
dengannya,mereka masih dapat belajar membaca, menulis, dan berhitung
sederhana. Pada usia 16 tahun atau lebih mereka dapat mempelajari bahan yang
tingkat kesukarannya sama dengan kelas 3 dan kelas 5 SD. Kematangan belajar
membaca baru dicapainya pada umur 9 tahun dan 12 tahun sesuai dengan berat
dan ringannya kelainan. Kecerdasannya berkembang dengan kecepatan antara
setengah dan tiga per empat kecepatan anak normal dan berhenti pada usia
muda. Perbendaharaan katanya terbatas, tetapi penguasaan bahasanya memadai
dalam situasi tertentu. Mereka dapat bergaul dan mempelajari pekerjaan yang
hanya memerluka semiskilled. Sesudah dewasa banyak diantara mereka yang
mampu berdiri sendiri. Pada usia dewasa kecerdasannya mencapai tingkat usia
anak normal 9 dan 12 tahun.
b. Karakteristik Tunagrahita Sedang
Anak tunagrahita sedang hampir tidak bisa mempelajari pelajaran-
pelajaran akademik. Perkembangan bahasanya lebih terbatas daripada anak
tunagrahita ringan. Mereka berkomunikasi dengan beberapa kata. Mereka dapat
membaca dan menulis, seperti namanya sendiri, alamatnya, nama orang tuanya,
dan lain-lain. Mereka mengenal angka-angka tanpa pengertian. Namun
demikian, mereka masih memiliki potensi untuk mengurus diri sendiri. Mereka
dapat dilatih untuk mengerjakan sesuatu secara rutin, dapat dilatih berkawan,
mengikuti kegiatan dan menghargai hak milik orang lain. Sampai batas tertentu
mereka selalu membutuhkan pengawasan, pemeliharaan, dan bantuan orang
lain. Tetapi mereka dapat membedakan bahaya dan bukan bahaya. Setelah
dewasa kecerdasan mereka tidak lebih dari anak normal usia 6 tahun. Mereka
dapat mengerjakan sesuatu dengan pengawasan
c. Karakteristik Anak Tunagrahita Berat dan Sangat Berat
Anak tunagrahita berat dan sangat berat sepanjang hidupnya akan selalu
tergantung pada pertolongan dan bantuan orang lain. Mereka tidak dapat
memelihara diri sendiri (makan, berpakaian, ke WC, dan sebagainya harus
dibantu). Mereka tidak dapat membedakan bahaya dan bukan bahaya. Ia juga
tidak dapat bicara kalaupun bicara hanya mampu mengucapkan kata-kata atau
tanda sederhana saja. Kecerdasannya walaupun mencapai usia dewasa berkisar,
seperti anak normal usia paling tinggi 4 tahun. Untuk menjaga kestabilan fisik
dan kesehatannya mereka perlu diberikan kegiatan yang bermanfaat, seperti
mengampelas, memindahkan benda, mengisi karung dengan beras sampai
penuh.
Anak-anak dengan retardasi mental ringan atau tunagrahita ringan
memiliki IQ antara 50 dan 75 dan hanya dapat mempelajari keterampilan setara
dengan tingkatan akademik sampai kelas 6 Sekolah Dasar (SD), menurut
Wantah (2007: 10). Anak tunagrahita ringan dapat berbicara, tetapi mereka
memiliki perbendaharaan kata yang sangat terbatas. Kekurangan
perbendaharaan kata menyebabkan mereka kesulitan untuk berpikir abstrak.
Meskipun demikian, mereka dapat mengikuti pendidikan baik di SD maupun
di sekolah Luar Biasa bagian C (SLB/C). Sebagai contoh, anak berusia 16 tahun
baru mencapai tingkat kecerdasan yang setara dengan anak berusia 12 tahun.
Secara umum, Efendi (2006: 98) menyatakan bahwa tunagrahita memiliki ciri-
ciri berikut:
1) Cenderung memiliki kemampuan berpikir konkrit dan sukar berpikir

4
2) Mengalami kesulitan untuk focus
3) Keahlian
Menurut Astati (Apriyanto, 2012: 34) adalah bahwa anak tunagrahita
memiliki kecerdasan dan kecerdasan yang sangat terbatas. Mereka juga
mengalami kesulitan dalam bergaul karena mereka tidak dapat hidup secara
mandiri. Mereka juga mungkin mengalami masalah dengan fungsi mental
lainnya, seperti kesulitan berkonsentrasi atau sulit untuk diajak berpikir.
Dorongan emosi, anak tunagrahita tidak memiliki inisiatif yang positif untuk
mempertahankan dirinya. Kepribadian, anak tunagrahita mudah digoyahkan.
Organisme, kondisi fisik yang kurang sempurna, gerakan motorik yang lambat,
tidak dapat membedakan baik atau buruk.

➢ Mengkonstruk: Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan


bahwa tunagrahita ringan memiliki karakteristik berikut: (1) memiliki IQ antara
50 dan 75; (2) mengalami keterlambatan dalam pertumbuhan fisik,
keterampilan motorik, mental, bahasa, kecerdasan, dan sosial; dan (3)
mengalami keterbatasan dalam beberapa aspek hidupnya, tetapi masih dapat
belajar keterampilan hidup dasar.

2.3 Layanan Tunagraahita


Menurut Endang Rochyadi dan Zainal Alimin (2005) yaitu :
• Tempat Khusus atau Sistem Segregasi
Sistem layanan pendidikan segregasi adalah sistem pendidikan yang
terpisah darisistem pendidikan anak normal. Tempat pendidikan yang
termasuksistem segregasi, adalah sebagai berikut.
1) Sekolah Khusus(Sekolah Luar Biasa) Sekolah khusus untuk anak tunagrahita
disebut Sekolah Luar Biasa C berasal dari luar daerah, karena mereka
terbatas fasilitas antar jemput.
2) Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) SDLB di sini berdiri sendiri dan hanya
menampung anak tunagrahita usia sekolah dasar. Model ini dibentuk agar
mempercepat pemerataan kesempatan belajar bagi anak luar biasa. Kurikulum
yang digunakan di SDLB adalah kurikulum yang digunakan di SLB untuk
tingkat dasar yang disesuikan dengan kekhususannya. Kegiatan belajar
dilakukan secara individual, kelompok, dan klasikal sesuai dengan ketunaan
masing-masing. Pendekatan yang dipakai juga lebih ke pendekatan
individualisasi.
3) Kelas Jauh
Kelas jauh adalah lembaga yang disediakan untuk memberi pelayanan
Pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus dalam hal ini anak tunagrahita
yang tinggal jauh dari SLB atau SDLB. Anak tunagrahita tersebar di seluruh
pelosok tanah air, sedangkan sekolah-sekolah yang khusus mendidik mereka
masih sangat terbatas di kota/kabupaten. Penyenggalaraan kelas jauh
kebijaksanaan pemerintah dalam rangka menuntaskan wajib belajar serta
pemerataan kesempatan belajar.
Pendidikan luar biasa khususnya pendidikan anak tunagrahita bukanlah
program pendidikan yang seluruhnya terpisah dan berbeda dari Pendidikan
umum. Pendidikan luar biasa yang termasuk pendidikan tunagrahita hanyalah
menunjuk kepada aspek-aspek yang unik/tambahan, seperti hal-hal yang perlu
dirujuk secara khusus karena kelainannya. Bobot macam layanan sesuai dengan
berat dan ringannya kelainan. Makin ringan kelainan yang disandangnya maka
makin sedikit layanan pendidikan luar biasa yang dibutuhkannya dan
sebaliknya makin berat kelainannya makin banyak pula pelayanan pendidikan
luar biasa yang dibutuhkannya. Berdasarkan pandangan di atas maka jenis
layanan untuk anak tunagrahita perlu mendapat perhatian sesuai dengan
kebutuhan anak tersebut, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta
orang tua dan masyarakat. Berikut ini akan dikemukakan hal-hal yang berkaitan
dengan jenis layanan anak tunagrahita.

5
• Kelas Biasa Tanpa Kekhususan Baik Bahan Pelajaran Maupun Guru Anak
tunagrahita yang dimasukkan dalam kelas ini adalah yang paling ringan
ketunagrahitaannya.
menurut Moh (1995).Mereka tidak memerlukan guru atau bahan
khusus. Anak-anak ini mungkin memerlukan lebih banyak waktu untuk belajar
bahan tertentu daripada rekan-rekannya. Mereka membutuhkan perhatian
khusus dari guru kelas (guru umum) untuk hal-hal seperti penempatan tempat
duduk, pengelompokan dengan teman-temannya, dan kebiasaan bertanggung
jawab.

• Kelas Biasa Dengan Guru Konsultan


Anak tunagrahita belajar bersama dengan anak normal di bawah
pimpinan guru kelasnya. Guru konsultan datang sesekali untuk membantu guru
kelas memahami masalah dan cara menanganinya, serta memberi petunjuk
tentang bahan pelajaran dan metode yang sesuai dengan keadaan anak
tunagrahita.
• Kelas Biasa Dengan Guru Kunjung
Anak tunagrahita belajar bersama dengan anak normal di bawah
pimpinan guru kelasnya. Tempat/sistem ini telah lama dikenal di Indonesia dan
berkembang pesat. Sistem segregasi hanya menyelenggarakan pendidikan
untuk anak luar biasanya saja, dalam hal ini tunagrahita. Biasanya di tempat ini
telah disediakan tim ahli (dokter, psikolog, ahli terapi bicara, dan lain-lain).
Sampai saat ini, tempat pendidikan ini telah memiliki kurikulum sendiri.
➢ Mengkonstruk : Maksimal sepuluh anak dengan guru khusus (tunagrahita) dan
teman sekelas yang dianggap memiliki kemampuan yang sama.

6
BAB III

KESULITAN BELAJAR
3.1 Pengertian Kesulitan Belajar
Menurut dari Hallahan, Kauffman, dan Lloyd (1985):Kesulitan belajar khusus
adalah suatu gangguan dalam satu atau lebih proses psikologis yang mencakup
pemahaman dan penggunaan bahasa ujaran atau tulisan.
Kesusahan belajar didefinisikan oleh Syaiful Bahri Djamarah (2002) sebagai
keadaan di mana siswa mengalami kesulitan belajar karena adanya ancaman,
kesulitan, atau gangguan dalam proses belajar mereka.
Menurut Hammill (1981) kesulitan belajar adalah beragam bentuk kesulitan
yang nyata dalam aktivitas mendengarkan, bercakapcakap, membaca, menulis,
menalar, dan/atau dalam berhitung.
Menurut Hallahan et al. (dalam Mukhtar dan Rusmini, 2001), kesulitan belajar
khusus didefinisikan sebagai gangguan pada proses psikologi dasar yang
mencakup pemahaman dan penggunaan bahasa lisan atau tulisan. Contohnya
termasuk masalah dengan berpikir, berbicara, mendengarkan, membaca, menulis,
mengeja, atau menghitung.
ACCALD (Association Committee for Children and Adult Learning
Disabilities) dalam Lovitt, (1989) mengatakan bahwa kesulitan belajar khusus
adalah suatu kondisi kronis yang diduga bersumber dari masalah neurologis, yang
mengganggu perkembangan kemampuan mengintegrasikan dan kemampuan
bahasa verbal atau nonverbal.
Sedangkan NJCLD (National Joint Committee of Learning Disabilities) dalam
Lerner, (2000) berpendapat bahwa kesulitan belajar adalah istilah umum untuk
berbagai jenis.
Salah satu istilah yang digunakan untuk menggambarkan kesulitan yang
dihadapi siswa ketika mereka menghadapi proses belajar di sekolah adalah
kesulitan belajar. Menurut Mulyadi, kesulitan belajar dapat didefinisikan sebagai
kondisi dalam suatu proses belajar yang ditandai dengan adanya hambatan tertentu
untuk mencapai hasil belajar. Sementara itu, Rumini dkk. mengatakan bahwa
kesulitan belajar adalah kondisi saat siswa menghadapi hambatan tertentu untuk
mengikuti proses pembelajaran dan mencapai hasil belajar yang optimal.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kesulitan belajar adalah segala
sesuatu yang menghalangi atau menghalangi siswa dalam mempelajari,
memahami, dan menguasai sesuatu dalam proses pembelajaran sehingga
menyebabkan hasil yang kurang memuaskan.
➢ Mengkonstruk: Kesulitan belajar adalah ketika anak tidak dapat memahami
materi dan kesulitan merubah tingkah lakunya secara psikologis saat
beraktivitas.

3.2 Karakteristik Kesulitan Belajar


Perilaku anak-anak dapat menunjukkan ciri-ciri kesulitan belajar, menurut
Mulyadi (2010), dalam hal psikomotorik, kognitif, dan afektif. Ada beberapa
perilaku yang menunjukkan gejala kesulitan belajar, seperti:
• menunjukkan prestasi belajar yang di bawah rata-rata kelompok kelas atau
• hasil yang tidak seimbang dengan upaya yang dilakukan.
• Lambat menyelesaikan tugas sekolah
• Menunjukkan sikap yang tidak wajar, seperti acuh tak acuh, menentang,
berpura-pura, atau berbohong

7
• Menunjukkan gejala emosional yang tidak wajar, seperti mudah tersinggung,
murung, pemarah, bingung, cemberut, kurang gembira, atau selalu sedih.
Hallahan (1975) menjelaskan bahwa tidak semua gejala selalu ditemukan pada
anak yang mengalami kesulitan belajar, adakalanya hanya beberapa ciri yang
tampak. Adapun pengelompokkannya adalah sebagai berikut:
1. Masalah Persepsi dan Koordinasi Hallahan (1975) mengemukakan bahwa
beberapa anak berkesulitan belajar menunjukkan gangguan dalam persepsi
penglihatan dan pendengaran.. Sebagai contoh, anak yang mengalami
gangguan persepsi visual, tidak dapat membedakan huruf atau kata-kata yang
bentuknya mirip, seperti huruf "d" dengan "b" atau membedakan kata "sabit"
dengan "sakit". Kemudian anak yang mengalami masalah persepsi pendengaran
mengalami kesulitan untuk membedakan kata yang bunyinya hampir sama,
seperti kata kopi dengan topi. Disamping mengalami masalah dalam persepsi,
pada anak berkesulitan belajar ada yang mengalami masalah dalam koordinasi
motorik yaitu gangguan keterampilan motorik halus seperti gangguan dalam
menulis dan keterampilan motorik kasar seperti tidak dapat melompat dan
menendang bola secara tepat.
2. Gangguan dalam Perhatian dan Hiperaktif Anak yang berkesulitan belajar
mengalami kesulitan untuk memusatkan perhatian dan mengalami hiperaktif.
Meskipun terdapat anak yang memiliki masalah dalam perhatian dan hiperaktif
tanpa disertai kesulitan belajar, munculnya kesulitan belajar sangat tinggi di
antara anak yang mengalami masalah perhatian dan hiperaktif. Para ahli
menekankan bahwa dalam hal ini masalahnya bukan pada kelebihan geraknya
akan tetapi yang lebih mendasar adalah masalah sulitnya berkonsentrasi.
Walaupun anak banyak melakukan gerakan yang dalam batas-batas tertentu
gerakannya lebih terarah, belum tentu disebut hiperaktif. Anak yang hiperaktif
banyak bergerak, akan tetapi tidak mengarah dan tidak bisa tenang dalam waktu
yang ditetapkan, seperti menyelesaikan pekerjaan dalam waktu 2 – 3 menit.
Disamping itu, anak yang hiperaktif sulit untuk melakukan kontak mata dan
sulit untuk mengkonsentrasikan perhatiannya. Nampaknya segala stimulus
yang ada di dekatnya diresponnya tanpa ada seleksi. Sebagai contoh, apabila
anak diberi tugas untuk melakukan sesuatu, ia tidak dapat menuntaskan
pekerjaannya karena perhatiannya segera beralih pada obyek lainnya, dan
begitu seterusnya.
3. Mengalami Gangguan dalam Masalah Mengingat dan Berfikir
a. Masalah Mengingat
• Anak berkesulitan belajar kurang mampu menggunakan strategi untuk
mengingat sesuatu.
Contoh: kepada beberapa anak diperlihatkan suatu daftar kata untuk
diingat. Anak normal secara spontan dapat mengkatagorikan kata-kata
tersebut agar mudah diingat sedangkan anak berkesulitan belajar tidak
mampu melakukan strategi tersebut.
• Anak berkesulitan belajar mendapat kesulitan untuk mengingat materi secara
verbal. Hal ini terjadi karena mereka mempunyai masalah dalam pemahaman
bunyi bahasa, sehingga sulit memaknai kata atau kalimat. Apabila anak salah
menangkap bunyi bahasa, maka akan menimbulkan kesalahan dalam
memaknai kata tersebut.
Misalnya anak sulit membedakan bunyi huruf k dan t, sehingga kata
kopi kedengarannya seperti topi. Dengan demikian ia sulit memahami ucapan
yang mengandung kata kopi dan topi, yang pada akhirnya ia sulit mengingat
kalimat yang diucapkan tersebut.
b. Masalah Berpikir
Berpikir meliputi kemampuan untuk memecahkan masalah sampai
kepada pembentukan konsep atau pengertian. Anak berkesulitan belajar
mengalami kelemahan dalam masalah tersebut. Contoh: bagaimana
menentukan strategi untuk menemukan kembali barang yang hilang. Contoh
lain adalah bagaimana mengungkapkan kembali suatu cerita yang telah

8
dibacanya. Anak yang berkesulitan belajar tidak mampu untuk menemukan
strategi yang diperlukan untuk kepentingan itu.
4. Kurang Mampu Menyesuaikan Diri
Anak berkesulitan belajar menunjukkan gejala kurang mampu menyesuaikan
diri dengan lingkungannya. Pada umumnya, anak yang mengalami kesulitan belajar
sering mengalami kegagalan sesuai dengan tingkat kesulitannya. Dampak dari
kegagalan tersebut yaitu anak menjadi kurang percaya diri, merasa cemas, dan takut
melakukan kesalahan yang akan menjadi bahan cemoohan teman-temannya,
sehingga ia menjadi ragu-ragu dalam berinteraksi dengan lingkungannya atau ia
mengasingkan diri.
5. Menunjukkan Gejala sebagai Siswa yang Tidak Aktif
Anak berkesulitan belajar kurang mampu melakukan strategi untuk
memecahkan masalah akademis secara spontan. Hal ini terjadi karena mereka
sering mengalami kegagalan. Contoh: Anak berkesulitan belajar tidak berani
menjawab pertanyaan guru atau menjawab soal di papan tulis secara spontan.
6. Pencapaian Hasil Belajar yang Rendah
Sebagian anak berkesulitan belajar memiliki ketidakmampuan dalam berbagai
bidang akademik, misalnya dalam membaca, pengucapan, tulisan, berhitung dan
sebagian anak lagi hanya pada satu atau dua aspek saja.
➢ Mengkonstruk : ciri-cirinya: hasil yang tidak seimbang dengan usaha yang
dilakukan; tidak dapat menguasai materi pelajaran dalam waktu yang telah
ditentukan; atau adanya hambatan fisik atau tubuh atau lingkungan yang
mengganggu proses belajar.

3.3 Layanan Kesulitan Belajar


Anak berkesulitan belajar memerlukan pelayanan Pendidikan khusus. Dalam
memilih sistem penempatan untuk memberikan pelayanan pendidikan kepada
anak berkesulitan belajar, ada faktor yang perlu dipertimbangkan. Berbagai faktor
tersebut adalah tingkat kesulitan, kebutuhan anak untuk memperoleh pelayanan
yang sesuai, dan keterampilan social dan akademik anak.
Tohirin (2008) menyatakan bahwa pendekatan bimbingan kesulitan belajar
harus melibatkan upaya untuk meningkatkan prestasi akademik siswa. Bimbingan
dapat berfokus pada penguasaan materi pelajaran, pengembangan keterampilan
belajar, dan meningkatkan keinginan siswa untuk belajar.
Menurut Lerner (1985: 141) ada tiga sistem atau layanan pendidikan yang
banyak dipilih oleh sekolah, yaitu kelas khusus (special class), ruang sumber
(resource room), dan kelas regular (regular class).
Menurut Helen (2002), pendekatan bimbingan kesulitan belajar harus
mempertimbangkan faktor-faktor yang mempengaruhi kapasitas siswa untuk
memahami materi pelajaran. Bimbingan dapat mencakup penggunaan berbagai
pendekatan pembelajaran, penggunaan perangkat bantu, atau memberikan
dukungan emosional kepada siswa.
➢ Mengkonstruk: mengatasi tantangan dengan berbagai pendekatan pembelajaran
dan mendorong siswa untuk mendapatkan dukungan emosional.

9
BAB IV

Anak ADHD
4.1 Pengertian Anak ADHD
Baihaqi dan Sugiarmin (2008) mendefinisikan bahwa ADHD dapat
didefinisikan sebagaiberikut: Gangguan perilaku neurobiologis yang ditandai
dengan tingkatinatensi yang berkembang tidak sesuai dan bersifat kronis dan
dalambeberapa kasus disertai hiperaktivitas. Gangguan biokimia kronis dan
perkembangan neurologis yangmempengaruhi kemampuan seseorang untuk
mengatur dan mencegah perilaku serta mempertahankan perhatian pada
suatutugas. Inefisiensi neurologis pada area otak yang mengontrol impuls
danpada pusat pengambilan keputusan (regulasi dan manajemen diri) Attention
Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) dapat disimpulkan“sebagai gangguan
aktivitas dan perhatian (gangguan hiperkinetik) adalah suatu gangguan psikiatrik
yang cukup banyak ditemukan dengan gejalautama inatensi (kurangnya
perhatian), hiperaktivitas, dan impulsivitas(bertindak tanpa dipikir) yang tidak
konsisten dengan tingkatperkembangan anak, remaja, atau orang dewasa.
Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (ADHD) dalam bahasa
Indonesia dikenal sebagai GPPH. Ini tidak berarti orang tua atau guru tidak
memberikan perhatian yang cukup kepada anak-anak dengan ADHD. Sebaliknya,
ini karena anak-anak tersebut mengalami kesulitan dan kesulitan untuk fokus pada
tugas-tugas yang dilakukan orang tua mereka. Meskipun anak-anak ini sangat
termotivasi, mereka menghadapi kesulitan untuk menyelesaikan tugas-tugasnya,
dan jika mereka mengerjakannya, mereka akan menghabiskan banyak energi
(Arga et al., 2010:2).
Suryadi (2010: 106) menggambarkan ADHD sebagai seorang anak yang
mengalami kekurangan atau gangguan pada pemusatan perhatian, tidak dapat
mengendalikan keinginan luar, dan suka melakukan banyak gerakan yang tidak
dapat dikontrol. Akibatnya, mereka cenderung hiperaktif.
Namun, menurut Hallahan et al. (2009: 229), ADHD anak adalah salah satu
golongan ABK yang mengalami atau mengalami masalah dalam perkembangan
otak karena gerak yang hiperaktif, impulsif, dan sulit untuk memusatkan perhatian
(inatensi).
Selain itu, Kewley, Gdan Latham, P (2010: 3) menjelaskan bahwa anak dengan
ADHD adalah anak yang hiperaktif, banyak bergerak, dan mengalami kesulitan
untuk berkonsentrasi, yang mengakibatkan keterlambatan dalam pertumbuhan
kemampuan lain.
ADHD adalah kondisi anak-anak yang menunjukkan gejala kurang konsentrasi,
hiperaktif, dan impulsif, yang dapat menyebabkan ketidakseimbangan dalam
sebagian besar aktivitas hidup mereka, menurut Baihaqi dan Sugiarmin (2006).
ADHD adalah suatu peningkatan aktivitas motorik hingga batas tertentu yang
menyebabkan gangguan perilaku yang terjadi, setidaknya di dua tempat dan
lingkungan berbeda. Perilaku ini ditandai dengan perasaan gelisah, selalu
menggerakkan jari tangan, kaki, atau pensil, dan tidak dapat duduk dengan tenang
(Husnah, 2007).
ADHD terdiri dari dua aspek, menurut Martaniah (2001), yaitu hiperaktivitas
dan impulsivitas serta ketidakmampuan untuk memperhatikan dan mengikuti
arahan.
➢ Mengkonstruk: ADHD adalah gangguan yang disebabkan oleh peningkatan
aktivitas hingga batas tertentu. Anak-anak dengan simtom-simtom kurang,
impulsif, dan tidak mampu bersosialisasi adalah tanda-tanda kelainan yang
berbeda
.

10
4.2 Karakteristik Anak ADHD
ADHD (Attention Deficit Hiperactivity Disorder) merupakan cacat dimana
anak secara konsisten menunjukkan satu atau lebih karakteristik selama satu
periode waktu meliputi (1) perhatian tidak fokus; (2) hiperaktivitas; (3) sifat
implusif (Driga&Drigas,2019).
Anak akan selalu berpindah. Selain itu, anak-anak dengan ADHD sangat
jarang berdiam diri selama sekitar lima hingga sepuluh menit untuk menyelesaikan
tugas kegiatan yang diberikan oleh guru. Oleh karena itu, anak-anak yang memiliki
ADHD di sekolah mengalami kesulitan untuk berkonsentrasi pada pekerjaan
mereka. Selain itu, dia sering bingung dan bingung, sulit untuk mengingat
instruksi, dan gagal melaksanakan tanggung jawab yang diberikan kepada pekerja
sekolah (Batshaw, 1986).
ADHD merupakan suatu gangguan kronis (menahun) yang dapat dimulai
pada masa bayi dan dapat berlanjut sampai dengan dewasa Layanan Anak
ADHD.
Kondisi tersebut mencakup pada fungsi otak, yang menyebabkan berbagai
masalah belajar, berperilaku, dan bersosialisasi. Perilaku yang ditunjukkan oleh
anak-anak yang didiagnosis dengan ADHD sangat membingungkan dan sangat
kontradiktif. Sumber utama stres bagi anak-anak, orang tua, saudara, guru, dan
teman di kelas adalah perilaku yang gegabah, atau tidak terkontrol, dan tidak
terorganisasi (Sugiarmin, 2006).
Anak ADHD memiliki karakteristik utama gangguan perhatian dan perilaku
hiperaktif-impulsif. Gejala gangguan yang dialami termasuk gerakan tidak teratur
mudah lupa, bingung, dan susah untuk mendapatkan perhatian pada tugasnya atau
kegiatan saat bermain-main.
Gejala dari kegiatan hiperaktif-impulsif ini seperti bertindak emosi, merasai
susah, sulit ketika bermain, sering mengganggu temannya, dan sering bergerak
yang sulit untuk dikendalikan seperti motor atau mesin hal ini diungkapkan oleh
M.Baihaqi dan Sugiarmin, (2006: 3).
Sedangkan Karakteristik anak ADHD berdasarkan penelitian para ahli, dalam
bukunya G. Martin, (2008:27-37):
1. Kurangnyaperhatian dan mudah terganggu pada anak ADHD ketika sedang
mengerjakan tugas disebabkan oleh ketidakmampuannya dalam memilih
stimulus dari lingkungan sekitar.
2. Hiperaktivitas pada anak ADHD ditandai dengan gejala kegelisahan,
melakukan gerakan secara terus menerus, emosi yang baik turun serta cepat
melupakan kejadian menyedihkan begitu saja.
3. Implusivitas pada anak ADHD menyebabkan anak selalu ingin menguasai
semua interaksi sosial yang berakibat anak ADHD tersebut mendapatkan
penolakan dari lingkungan sekitar.
4. Anak ADHD cenderung mengalami kesulitan dalam mematuhi peraturan.
5. Anak ADHD sering mengalami hiperfokus terhadap satu hal yang
menarik baginya sehingga tidak peka dengan keadaan sekitar

➢ Mengkonstruk: Anak-anak dengan ADHD di sekolah mengalami kesulitan


untuk berkonsentrasi dalam tugas-tugas kerjanya karena mereka sangat jarang
berdiam selama 5–10 menit untuk menyelesaikan tugas yang diberikan oleh
guru.

11
4.3 Layanan Anak ADHD
Pelayanan khusus dalam meningkatkan kebutuhan pengendalian diri yang
meliputi rentang perhatian, hiperaktif dan pengendalian impulsif dapat ditangani
dengan menerapkan program pelayanan dengan menggunakan pendekatan
perilaku yaitu merupakan satu set luas intervensi tertentu yang memiliki tujuan
bersama memodifikasi lingkungan fisik dan sosial seperti mengembangkan
metode pengajaran, masalah pengendalian perilaku, dan keterampilan fungsional
untuk mengubah suatu perilaku (Rusch, 1988).
Menurut Haryati (2018), ada beberapa model pelayanan inklusif untuk anak
berkebutuhan khusus yang menyertakan siswa dalam kurikulum kelas reguler.
Model kelas inklusif tidak melakukan banyak perubahan pada kurikulum, karena
semuanya disesuaikan dengan kondisi siswa.
Pelayanan khusus dalam meningkatkan kebutuhan akademik dengan melalui
Program pembelajaran Individual. Program ini didasarkan pada kebutuhan setiap
siswa dan berpusat pada siswa dan bekerja dengan siswa. Pembelajaran Individual
disebut juga dengan Individualisasi Pengajaran yaitu suatu proses pembelajaran
yang mengembangkan dan memelihara individualitas siswa. Program ini
merupakan cara yang senantiasa berupaya mengakomodasi kebutuhan dari
masalah yang dihadapi anak dengan Attentions Deficit Hyperactivity Disorder
(ADHD).
Program Pembelajaran Individu ini merupakan “roh”nya bagi pendidikan Anak
Berkebutuhan Khusus. Memberikan layanan yang bersifat klasikal dalam
batasbatas tertentu masih diperlukan. Berdasarkan kebutuhan tiap siswa dan
memberikan layanan yang lebih menfokuskan pada kemampuan dan kelemahan
kompetensi peserta didik (Delphie, 2006).
➢ Mengkonstruk; pertama berkaitan dengan kebutuhan untuk belajar dan
pengendalian diri. Kedua, seperti anak normal lainnya, anak ADHD
membutuhkan pengembangan diri melalui belajar. Ini karena pemenuhan
kebutuhan belajar mereka tidak mudah bagi anak ADHD. Anak dengan ADHD
akan mengalami kesulitan untuk belajar secara optimal dan mengembangkan
potensinya jika tidak menerima bantuan yang dirancang khusus. Kurikulum
kelas inklusif ini tidak banyak berubah karena disesuaikan dengan kondisi
siswa.

12
BAB V

Anak AUTIS
5.1 Pengertian Autis
Autisme ialah kelainan perkembangan sistem saraf yang biasanya diwariskan.
Autisme adalah salah satu gangguan perkembangan yang keliru. Itu adalah bagian
dari kelainan Spektrum Autisme atau Autism Spectrum Disorders (ASD), dan juga
merupakan salah satu dari lima jenis gangguan yang diklasifikasikan di bawah
payung Gangguan Perkembangan Pervasif atau Pervasive Development Disorder
(PDD).
Safaria (2005:1) menggambarkan gangguan ini sebagai berikut:
ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan orang lain, gangguan berbahasa yang
ditunjukkan dengan dominasi tertunda, ecolalia, mutism, pembalikan kalimat,
aktivitas bermain yang repetitif dan stereotif, dan memori yang sangat cepat.
Karena autisme artinya suatu gangguan yang terjadi di otak yang menyebabkan
otak tidak bisa berfungsi selayaknya otak normal, autisme bukanlah penyakit
kejiwaan. Beberapa penyebab anak autis termasuk: Secara neurologis, penyandang
autis memiliki perkembangan sel-sel otak yang tidak normal, terutama pada
hippocampus dan amygdala, serta kelainan lobus parietal yang menyebabkan
gangguan perhatian pada lingkungan, pengecilan tempat sensoris, bahasa,
perhatian, dan berpikir di cerebellum.
Pengertian anak autis telah banyak dikemukakan oleh beberapa ahli. Secara
harfiah autisme berasal dari kata autos = diri dan isme = paham/aliran. Autisme
dari kata auto (sendiri), Secara etimologi: anak autis adalah anak yang memiliki
gangguaan perkembangan dalam dunianya sendiri. Seperti kita ketahui banyak
istilah yang muncul mengenai gangguan perkembangan:
a) Autism = autisme yaitu nama gangguan perkembangan komunikasi, sosial,
perilaku pada anak (Leo Kanner & Asperger, 1943).
b) Autist = autis: Anak yang mengalami ganguan autisme.
c) Autistic child = anak autistik: Keadaan anak yang mengalami gangguan
autisme.
d) Autistic disorder = gangguan autistic= anak-anak yang mengalami gangguan
perkembangan dalam criteria DSM-IV (Diagnostic and Statictical Manual-IV).
Leo Kanner (Handojo, 2003) autisme merupakan suatu jenis gangguan
perkembangan pada anak, mengalami kesendirian, kecenderungan menyendiri.
Sedangkan Chaplin (2000) mengatakan : (1) cara berpikir yang dikendalikan
oleh kebutuhan personal atau diri sendiri (2) menanggapi dunia berdasarkan
penglihatan dan harapan sendiri (3) Keyakinan ekstrim dengan fikiran dan fantasi
sendiri. American Psych: autisme adalah ganguan perkembangan yang terjadi pada
anak yang mengalami kondisi menutup diri.
Sebaliknya, “anak autis adalah kondisi anak yang mengalami gangguan
perkembangan fungsi otak yang mencakup bidang; sosial dan afek, komunikasi
verbal dan non verbal, imajinasi, fleksibilitas, minat, kognisi, dan atensi”
(Lumbantobing, 2002:82), menurut Pamuji (2007:1).
"Autisme adalah seseorang yang memiliki kelainan dengan gejala adanya
gangguan kualitas dalam interaksi sosial, komunikasi dan memiliki perilaku, minat
serta kegiatan dengan pola yang dipertahankan dan diulang-ulang", kata Salim
(2007: 160).
➢ Mengkonstruk: Anak autis adalah anak yang mengalami gangguan
perkembangan fungsi otak yang ditandai dengan gangguan dalam komunikasi,
interaksi sosial, dan perilaku emosi serta keterlambatan dalam pencapaian
akademik. Anak autis hanya memiliki perhatian terhadap dunianya sendiri, dan
adanya pengulangan tingkah laku serta kecenderungan hidup dalam dunianya
sendiri, sehingga hubungannya dengan orang lain terganggu.

13
5.2 Karakteristik Autis
Menurut Handojo (2004:24), beberapa karekteristik dari perilaku autisme di
anak-anak antara lain:
a. Bahasa / komunikasi: aktualisasi diri wajah yg datar, tidak memakai bahasa
/isyarat tubuh, jarang memaulai dengan komunikasi, tak meniru aksi atau
suara, Bicara sedikit, atau tidak terdapat, Intonasi atau ritme vokal yang aneh,
Tampak tidak mengerti arti kata, Mengerti serta memakai istilah secara
terbatas.
b. hubungan dengan orang: tidak responsif, tidak terdapat senyum sosial, tidak
berkomunikasi dengan mata, kontak mata terbatas, Tampak asyik Bila
dibiarkan sendiri, tidak melakukan permainan giliran, menggunakan tangan
orang dewasa sebagai alat.
c. korelasi menggunakan lingkungan: Bermain refetitif (diulang-ulang), murka
atau tidak menghendaki perubahan-perubahan, Berkembangnya rutinitas yg
kaku, memperlihatkan ketertarikan yg sangat tak fleksibel.
d. Respon terhadap indera/sensoris: Kadang panik terhadap suara-suara tertentu,
Sangat sensitif terhadap suara, Bermain-main dengan cahaya dan pantulan,
Memainkan jari-jari pada depan mata, Menarik diri waktu disentuh, Tertarik
di pola serta tekstur tertentu, Sangat in aktif atau hiperaktif, tak jarang
memutar-mutar, membentur-bentur ketua, menggingit pergelangan,
Melaompat-lompat atau mengepak-ngepakan tangan, serta tahan atau berespon
aneh terhadap nyeri.
e. Kesenjangan perkembangan sikap: Kemampuan mungkin sangat baik atau
sangat terlambat, mempelajari keterampilan diluar urutan normal, contohnya
membaca akan tetapi tidak mengerti arti, Menggambar secara rinci akan tetapi
tidak dapat mengancing baju, pintar mengerjakan puzzle, peg, akan tetapi amat
sukar mengikuti perintah, Berjalan di usia normal, tetapi tak berkomunikasi,
Lancar membeo bunyi, namun sulit berbicara asal diri sendiri, Suatu waktu
bisa melakukan sesuatu, akan tetapi tak di lain waktu.
Anak autisme memiliki ciri-ciri, yaitu (1) gangguang pada bidang komunikasi
verbal dan nonverbal; (2) gangguan pada bidang interaksi sosial; (3) gangguan
pada bidang perilaku dan bermain; (4) gangguan pada bidang perasaan dan emosi
dan; (5) gangguan dalam persepsi sensoris. (Angayasti, 2012)
Salah satu karakterisitk yg paling umum di anak-anak autistik adalah sikap yg
perseverative, kehendak yang kaku buat melakukan atau berada pada keadaan yg
sama terus menerus. bila seorang berusaha buat mengganti aktivitasnya, meskipun
kecil saja, atau bilamana anak-anak ini merasa terganggu perilaku ritualnya,
mereka akan murka sekali (tantrum). Sebagian asal individu yang autistik ada
kalanya bisa mengalami kesulitan pada masa transisinya ke pubertas sebab
perubahan-perubahan hormonal yang terjadi; dilema gangguan perilaku mampu
sebagai lebih seringkali dan lebih berat pada periode ini. tetapi demikian, masih
banyak jua anak anak autistik yg melewati masa pubertasnya menggunakan damai
(Kasran, 2003).
Banyak bayi-bayi autistik telah menunjukkan beda sejak lahir. Dua
karakteristik yang umum terlihat pada mereka adalah kecenderungannya
untuk melengkungkan punggungya ke belakang menjauhi pengasuhnya atau
yang merawatnya, untuk menghindari kontak fisik. Mereka umumnya
digambarkan sebagai bayi-bayi yang pasif atau kelewat gaduh (overlay
agitated). Bayi yang pasif adalah mereka yang kebanyakan diam sepanjang
waktu dan tidak banyak tuntutan pada orangtuanya. Sedangkan bayi yang
gaduh adalah yang hampir selalu menangis tidak ada hentinya pada waktu
terjaga.

14
Kira-kira separuh dari anak-anak autistik menunjukkan perkembangan
yang normal sampai pada usia 1½–3 tahun; kemudian gejala-gejala autisme mulai
timbul. Individu demikian ini sering disebutsebagai menderita autisme “regresif”.
J Kedokter Trisakti Vol.22 No.1 25 Dibandingkan teman-teman sebayanya,
anak-anak autistik seringkali ketinggalan dalam hal komunikasi, ketrampilan
sosial dan kognisi. Di samping itu, perilaku disfungsional mulai tampak, seperti
misalnya, aktivitas repetitif dan perilaku yang tidak bertujuan (non-goal directed
behavior) (mengayun-ayunkan badan tiada hentinya, melipatlipat tangan),
mencederai diri sendiri, bermasalah dalam makan dan tidur, tidak peka terhadap
rasa sakit.Perilaku mencederai diri sendiri seperti menggigit diri sendiri
dan membenturkan kepala mungkin merupakan bentuk stereotipi yang berat
dan menurut teori yang baru disebabkan oleh peningkatan endorphin
Salah satu karakterisitk yang paling umum pada anak-anak autistik adalah
perilaku yang perseverative, kehendak yang kaku untuk melakukan atau berada
dalam keadaan yang sama terus menerus. Apabila seseorang berusaha untuk
mengubah aktivitasnya, meskipun kecil saja, atau bilamana anak-anak ini merasa
terganggu perilaku ritualnya, mereka akan marah sekali (tantrum). Sebagian dari
individu yang autistik ada kalanya dapat mengalami kesulitan dalam masa
transisinya ke pubertas karena perubahan-perubahan hormonal yang terjadi;
masalah gangguan perilaku bisa menjadi lebih sering dan lebih berat pada
periode ini. Namun demikian, masih banyak juga anak-anak autistik yang
melewati masa pubertasnya dengan tenang. (Kasran, 2003).
Menurut Huzaemah (2010:7-11), ciri-ciri anak autis termasuk masalah dalam
berkomunikasi verbal maupun non-verbal, seperti keterlambatan berbicara atau
tidak dapat berbicara sama sekali.
1) Gangguan dalam bidang interaksi sosial termasuk menolak atau menghindar
untuk berbicara dengan orang lain
2) Gangguan dalam bidang bermain termasuk bermain yang sangat monoton
dan aneh
3) Kegagalan anak untuk menyampaikan keinginannya menyebabkan gangguan
perasaan dan emosi.
Menurut Gunarhadi ( 2004:106), satu atau lebih dari tanda-tanda berikut
biasanya ditunjukkan pada anak yang didiagnosis dengan autisme:
• kesulitan dalam berinteraksi dengan orang lain;
• kesulitan dalam berbicara.
• Kesulitan berkomunikasi non-verbal
• Kesulitan membuat permainan yang memerlukan kreativitas
• Menjaga rutinitas
Anak autis juga memiliki karakteristik dalam bidang komunikasi, interaksi
sosial, sensoris, pola bermain, perilaku dan emosi sebagai berikut:
a. Komunikasi
• Perkembangan bahasa lambat atau sama sekali tidak ada.
• Anak tampak seperti tuli, sulit berbicara, atau pernah bicara tapi
kemudian sirna.
• Kadang kata-kata yang digunakan tidak sesuai artinya.
• Mengoceh tanpa arti berulangulang dengan bahasa yang tidak dapat
dimengerti orang lain.
• Bicara tidak dipakai untuk alat komunikasi.
• Senang meniru atau membeo (echolalia). Bila senang meniru, dapat
hafalbetul kata-kata atau nyanyian tersebut tanpa mengerti artinya.
• Sebagian dari anak ini tidak berbicara (nonverbal) atau sedikit berbicara
(kurang verbal) sampai usia dewasa.Senang menarik-narik tangan orang lain
untuk melakukan apa yang ia inginkan, misalnya bila ingin meminta sesuatu.
b. Interaksi Sosial
• Penyandang autistik lebih suka menyendiri.
• Tidak ada atau sedikit kontak mata atau menghindari untuk
bertatapan.

15
• Tidak tertarik untuk bermain bersama teman.
• Bila diajak bermain, ia tidak mau dan menjauh.c.Gangguan Sensoris
• Sangat sensitif terhadap sentuhan, seperti tidak suka dipeluk.
• Bila mendengar suara keras langsung menutup telinga.
• Senang mencium-cium, menjilat mainan atau benda-benda.
• Tidak sensitif terhadap rasa sakit dan rasa takut.
c. Gangguan Sensoris
• Sangat sensitif terhadap sentuhan, seperti tidak suka dipeluk.
• Bila mendengar suara keras langsung menutup telinga.
• Senang mencium-cium, menjilat mainan atau benda-benda.
• Tidak sensitif terhadap rasa sakit dan rasa takut
d. Pola Bermain
• Tidak bermain seperti anak-anak pada umumnya.
• Tidak suka bermain dengan anak sebayanya.
• Tidak kreatif, tidak imajinatif.
• Tidak bermain sesuai fungsi mainan, misalnya sepeda dibalik lalu rodanya
diputar-putar.
• Senang akan benda yang berputar seperti kipas angin, roda sepeda.
• Dapat sangat lekat dengan benda-benda tertentu yang dipegang terus dan
dibawa kemana-mana.
e. Perilaku
• Dapat berperilaku berlebihan (hiperaktif) atau kekurangan (deficit).
• Memperlihatkan perilaku stimulasi diri seperti bergoyang-goyang,
mengepakan tangan, berputar-putar dan melakukan gerakan yang berulang-
ulang.
• Tidak suka pada perubahan.
• Dapat pula duduk bengong dengan tatapan kosong.
f. Emosi
• Sering marah-marah tanpa alasan yang jelas, tertawa-tawa, menangis tanpa
alasan.
• Tempertantrum(mengamuk tak terkendali) jika dilarang tidak diberikan
keinginannya.
• Kadang suka menyerang dan merusak.
• Kadang-kadang anak berperilaku yang menyakiti dirinya sendiri.
• Tidak mempunyai empati dan tidak mengerti perasaan orang lain.
➢ Mengkonstruk: Karakteristik anak autis pada umumnya mengalami gangguan
dalam perkembangan, termasuk gangguan dalam interaksi sosial, komunikasi,
sensoris, perilaku, emosi, dan bermain. Dalam hal komunikasi, anak autis
mengalami kesulitan untuk mengkomunikasikan semua keinginannya.
Perlambatan pertumbuhan bahasa dikaitkan dengan kesulitan berbicara dan
meniru kata orang lain. Anak-anak kadang-kadang mengucapkan sesuatu yang
tidak sesuai dengan apa yang mereka harapkan.

5.3 Layanan Autis


• Kelas transisi
Kelas ini diperuntukkan bagi anak autistik yang telah diterapi memerlukan
layanan khusus termasuk anak autistik yang telah diterapi secara terpadu atau
struktur. Kelas transisi sedapat mungkin berada di sekolah reguler, sehingga pada
saat tertentu anak dapat bersosialisasi dengan anak lain. Kelas transisi merupakan
kelas persiapan dan pengenalan pengajaran dengan acuan kurikulum SD dengan
dimodifikasi sesuai kebutuhan anak.
• Program Pendidikan Inklusi
Program ini dilaksanakan oleh sekolah reguler yang sudah siap memberikan
layanan bagi anak autistik. Untuk dapat membuka program ini sekolah harus
memenuhi persyaratan antara lain: Guru terkait telah siap menerima anak autistic

16
Tersedia ruang khusus (resourse room) untuk penanganan individual. Tersedia guru
pembimbing khusus dan guru pendamping. Dalam satu kelas sebaiknya tidak lebih
dari 2 (dua) anak autistik.
• Program Pendidikan Terpadu
Program Pendidikan Terpadu dilaksanakan disekolah reguler. Dalam
kasus/waktu tertentu, anak-anak autistik dilayani di kelas khusus untuk remedial
atau layanan lain yang diperlukan. Keberadaan anak autistik di kelas khusus bisa
sebagian waktu atau sepanjang hari tergantung kemampuan anak.
• Sekolah Khusus Autis
Sekolah ini diperuntukkan khusus bagi anak autistik terutama yang tidak
memungkinkan dapat mengikuti pendidikan di sekolah reguler. Anak di sekolah ini
sangat sulit untuk dapat berkonsentrasi dengan adanya distraksi sekeliling mereka.
Pendidikan di sekolah difokuskan pada program fungsional seperti bina diri, bakat,
dan minat yang sesuai dengan potensi mereka.
• Program Sekolah di Rumah
Program ini diperuntukkan bagi anak autistik yang tidak mampu mengikuti
pendidikan di sekolah khusus karena keterbatasannya. Anak-anak autistik yang
nonverbal, retardasi mental atau mengalami gangguan serius motorik dan
auditorinya dapat mengikuti program sekolah di rumah. Program dilaksanakan di
rumah dengan mendatangkan guru pembimbing atau terapis atas kerjasama
sekolah, orangtua dan masyarakat.
• Panti Rehabilitasi Autis
Anak autistik yang kemampuannya sangat rendah, gangguannya sangat parah
dapat mengikuti program di panti (griya) rehabilitasi autistik. Program dipanti
rehabilitasi lebih terfokus pada pengembangan : Pengenalan diri Sensori motor dan
persepsi Motorik kasar dan halus Kemampuan berbahasa dan komunikasi Bina diri,
kemampuan social Ketrampilan kerja terbatas sesuai minat, bakat dan potensinya.
Dari beberapa model layanan pendidikan di atas yang sudah eksis di lapangan
adalah Kelas transisi, sekolah khusus autistik dan panti rehabilitasi.
Jadi, pendidikan harus mengajarkan kemampuan berikut: (1) komunikasi yang
spontan dan efektif; (2) kemampuan untuk bermain dengan teman sebaya; (3)
kemampuan sosial yang sesuai umur, seperti bagaimana anak kecil berinteraksi
dengan ibunya; (4) kemampuan kognitif, seperti berpikir, yang berguna dan berlaku
dalam kehidupan sehari-hari; (5) perilaku yang lebih baik untuk mengganti perilaku
yang bermasalah; dan (6) kemampuan akademik yang efektif. Menurut (Hallahan
& Kauffman,2006:413).
Menurut Jamila Muhammad (2008:109), pembelajaran yang efektif untuk anak
autistik mencakup hal-hal seperti pengawasan tingkah laku, kemampuan
komunikasi, dan sosial. Untuk mencapai semua ini, semua pihak yang terlibat harus
bekerja sama dengan orang tua untuk memastikan bahwa pendekatan tersebut
digunakan secara konsisten.
Menurut Sunaryo Kartadinata et al. (2002:136), anak berkebutuhan khusus
memiliki kebutuhan yang sama seperti anak normal, tetapi karena kelainannya,
mereka memiliki kebutuhan sosial, pendidikan, disiplin, gambaran diri,
kepercayaan diri, dan kebebasan berkembang.
Pendidikan untuk anak autistik usia sekolah bisa dilakukan di berbagai
penempatan. Berbagai model antara lain :
1. Kelas transisi
Kelas ini diperuntukkan bagi anak autistik yang telah diterapi
memerlukan layanan khusus termasuk anak autistik yang telah diterapi secara

17
terpadu atau struktur. Kelas transisi sedapat mungkin berada di sekolah reguler,
sehingga pada saat tertentu anak dapat bersosialisasi dengan anak lain. Kelas
transisi merupakan kelas persiapan dan pengenalan pengajaran dengan acuan
kurikulum SD dengan dimodifikasi sesuai kebutuhan anak.
2. Program Pendidikan Inklusi
Program ini dilaksanakan oleh sekolah reguler yang sudah siap
memberikan layanan bagi anak autistik. Untuk dapat membuka program ini
sekolah harus memenuhi persyaratan antara lain : Guru terkait telah siap
menerima anak autistic Tersedia ruang khusus (resourse room) untuk
penanganan individual. Tersedia guru pembimbing khusus dan guru
pendamping. Dalam satu kelas sebaiknya tidak lebih dari 2 (dua) anak autistik.
3. Program Pendidikan Terpadu
Program Pendidikan Terpadu dilaksanakan disekolah reguler. Dalam
kasus/waktu tertentu, anak-anak autistik dilayani di kelas khusus untuk
remedial atau layanan lain yang diperlukan. Keberadaan anak autistik di kelas
khusus bisa sebagian waktu atau sepanjang hari tergantung kemampuan anak.
4. Sekolah Khusus Autis
Sekolah ini diperuntukkan khusus bagi anak autistik terutama yang
tidak memungkinkan dapat mengikuti pendidikan di sekolah reguler. Anak di
sekolah ini sangat sulit untuk dapat berkonsentrasi dengan adanya distraksi
sekeliling mereka. Pendidikan di sekolah difokuskan pada program fungsional
seperti bina diri, bakat, dan minat yang sesuai dengan potensi mereka.
5. Program Sekolah di Rumah
Program ini diperuntukkan bagi anak autistik yang tidak mampu
mengikuti pendidikan di sekolah khusus karena keterbatasannya. Anak-anak
autistik yang non verbal, retardasi mental atau mengalami gangguan serius
motorik dan auditorinya dapat mengikuti program sekolah di rumah. Program
dilaksanakan di rumah dengan mendatangkan guru pembimbing atau terapis
atas kerjasama sekolah, orangtua dan masyarakat.
6. Panti Rehabilitasi Autis.
Anak autistik yang kemampuannya sangat rendah, gangguannya sangat
parah dapat mengikuti program di panti (griya) rehabilitasi autistik. Program
dipanti rehabilitasi lebih terfokus pada pengembangan : Pengenalan diri Sensori
motor dan persepsi Motorik kasar dan halus Kemampuan berbahasa dan
komunikasi Bina diri, kemampuan social Ketrampilan kerja terbatas sesuai
minat, bakat dan potensinya. Dari beberapa model layanan pendidikan di atas
yang sudah eksis di lapangan adalah Kelas transisi, sekolah khusus autistik dan
panti rehabilitasi.
➢ Mengkonstruk: Bimbingan belajar umumnya diperlukan untuk anak autis,
termasuk bimbingan ketrampilan dasar belajar, pengawasan tingkah laku atau
sikap, bimbingan kemampuan komunikasi, dan bimbingan sosial. Namun, hasil
evaluasi anak akan menentukan jenis bimbingan yang lebih baik

18
DAFTAR PUSTAKA

Fernando, F. (2021). Bimbingan Dan Layanan Terapi Pada Anak Autis. QALAM:
Jurnal Pendidikan Islam, 2(1).
Handayani, I. N. (2019). Pendidikan Inklusif untuk Anak ADHD (Attetention Defic
Hyperactifity Disorder). In Annual Conference on Islamic Early Childhood
Education (ACIECE) (Vol. 4, pp. 291-302).
Hayati, D. L., & Apsari, N. C. (2019). Pelayanan Khusus Bagi Anak Dengan Attentions
Deficit Hyperactivity Disorder (Adhd) Dalam Meningkatkan Kebutuhan
Pengendalian Diri Dan Belajar Di Sekolah Inklusif. Prosiding Penelitian dan
Pengabdian kepada Masyarakat, 6(1), 108-122.
Maranata, G., Sitanggang, D. R., Pakpahan, S. H., & Herlina, E. S. (2023). Penanganan
Bagi Anak Berkebutuhan Khusus , (Tuna Grahita). Jurnal Pendidikan Anak Usia
Dini, 1(2), 87–94.
Novia Sari, A., Rohmawati, A., & Artikel, R. (2020). PENANGANAN ANAK ADHD
(ATTENTION DEFICIT HIPERACITIVITY DISODER) DI MI AMANAH
TANGGUNG TUREN-MALANG Info Artikel ABSTRAK. 2(1), 2020–2021.
Nurfadhillah, S., Syariah, E. N., Mahromiyati, M., & Nurkamilah, S. (2021). Analisis
Karakteristik Anak Berkebetuhan Khusus (Autisme) Di Sekolah Inklusi SDN 3
Cipondoh. jurnal Pendidikan dan Sains, 3, 459–465.
Pautina, A. R. (2018). Aplikasi Teori Gestalt Dalam Mengatasi Kesulitan Belajar Pada
Anak. Tadbir: Jurnal Manajemen Pendidikan Islam, 6(1), 14-28.
Rahayu, S. M. (2015). Deteksi dan Intervensi Dini Pada Anak Autis. Jurnal Pendidikan
Anak, 3(1). https://doi.org/10.21831/jpa.v3i1.2900.
Rochyadi, E. (2012). Karakteristik dan Pendidikan Anak Tunagrahita. Pengantar
Pendidikan Luar Biasa, 1-54.
Rosyad, A. (2022). MODEL DAN STRATEGI PEMBELAJARAN ANAK ADHD
(Attention Deficit Hyperactivity Disorder). Journal of Innovation Research and
Knowledge, 2(3), 591-600.
Selekta, M. C. (2013). Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) Pada Anak
Usia 2 Tahun. Jurnal Medula, 1(03), 19-25.
Siyoto, S. (2015). Visual Schedule Terhadap Penurunan Behavior Problem Saat
Aktivitas Makan Dan Buang Air Pada Anak Autis. Jurnal Ners, 10(2).
Suryani, Y. E. (2010). Kesulitan belajar. Magistra, 22(73), 33.
Tarbiyah, J., Sufyan, S., & Majenang, T. (2020). JURUSAN TARBIYAH - STAI
SUFYAN TSAURI MAJENANG https://ejournal.stais.ac.id/index.php/qlm.
Pemanfaatan Jaringan Penggerak Sekolah Madrasah Muhammadiyah (Jpsm)
Dalam Benchmarking Madrasah Muhammadiyah Di Purbalingga, 01(2), 92–108.
Widiastuti, N. L. G. K., & Winaya, I. M. A. (2019). Prinsip khusus dan jenis layanan
pendidikan bagi anak tunagrahita. Jurnal Santiaji Pendidikan (JSP), 9(2).
Widiastuti, N. L. G. K. (2019). Karakteristik Dan Model Layanan Pendidikan Bagi
Anak Berkesulitan Belajar. Widya Accarya, 10(1).
Yahya, R. E., Anatarsya, A. A., Gunarto, K., & Maruti, E. S. (2023). Memahami Anak
Autis dan Penerapan Model Pembelajaran. In SEMINAR NASIONAL SOSIAL,
SAINS, PENDIDIKAN, HUMANIORA (SENASSDRA) (Vol. 2, No. 2, pp. 48-58).
Yosiani, N. (2014). Relasi karakteristik anak tunagrahita dengan pola tata ruang belajar
di sekolah luar biasa. E-Journal Graduate Unpar, 1(2), 111-124.

19
20

Anda mungkin juga menyukai