PENDIDIKAN INKLUSI
Berdasarkan Klasifikasinya
Dosen Pengampu:
Disusun Oleh:
2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena karunia, Rahmat, serta
hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Karakteristik Anak
Berkebutuhan Khusus Berdasarkan Klasifikasinya” untuk memenuhi tugas kelompok mata
kuliah Pendidikan Inklusi dengan tepat waktu.
Makalah ini bertujuan untuk menambah pengetahuan serta wawasan kita sebagai calon
pendidik dalam memahami karaktertistik anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa,
tunalaras berdasarkan klasifikasinya. Kami menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan
makalah ini banyak terdapat kekurangan, karena kurangnya wawasan dan pengetahuan kami.
Oleh sebab itu, segala tegur sapa demi penyempurnaan makalah ini sangat kami nantikan.
Demikian prakata dari kami, sekian dan terima kasih.
Kelompok 7
ii
DAFTAR ISI
iii
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................. 20
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
1
4. Apa saja karakteristik anak tundaksa?
5. Apa saja karakteristik anak tunalaras?
C. Tujuan
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Anak Tunanetra
3
b. Faktor Penyebab Anak Tunanetra
Anak-anak yang mengalami gangguan penglihatan memiliki faktor penyebab
yang berbeda, ada yang berasal dari dalam diri mereka sendiri ataupun dari luar diri
mereka. Berikut adalah klasifikasi faktor penyebab individu mengalami tunanetra:
1) Prenatal (Sebelum Kelahiran)
Tahap prenatal yaitu sebelum anak lahir pada saat masa anak di dalam
kandungan dan diketahui sudah mengalami ketunaan. Faktor prenatal berdasarkan
periodisasinya dibedakan menjadi periode embrio, periode janin muda, dan
periode janin aktini. Pada tahap ini anak sangat rentan terhadap pengaruh trauma
akibat guncangan, atau bahan kimia.Faktor lain yang menjadi faktor anak
mengalami tunanetra berkaitan dengan kondisi anak sebelum dilahirkan yaitu gen
(sifat pembawa keturunan), kondisi psikis ibu, kekurangan gizi, keracunan obat,
virus, dan sebagainya.
2) Neonatal (Saat Kelahiran)
Periode neonatal yaitu periode dimana anak dilahirkan. Beberapa faktornya
yaitu anak lahir sebelum waktunya (prematurity), lahir dengan bantuan alat (tang
verlossing), posisi bayi tidak normal, kelahiran ganda atau kesehatan bayi.
3) Posnatal (setela kelahiran)
Kelainan pada saat posnatal yaitu kelainan yang terjadi setelah anak lahir atau
saat anak dimasa perkembangan. Pada periode ini ketunaan bisa terjadi akibat
kecelakaan, panas badan yang terlalu tinggi, kekurangan vitamin, bakteri. Serta
kecelakaan yang sifatnya ekstern seperti masuknya benda keras atau tajam, cairan
kimia yang berbahaya, kecelakaan kendaraan, dan lain-lain. Dapat dipahami
bahwa terdapat tiga tahapan faktor penyebab terjadinya tunanetra pada diri anak
yaitu tahap prenatal yang meliputi pengaruh trauma akibat guncangan atau bahan
kimia. Tahap neonatal meliputi anak lahir sebelum waktunya, posisi bayi tidak
normal, kelahiran ganda, dan kesehatan bayi yang bersangkutan. Serta tahap
posnatal yang meliputi kecelakaan, panas badan yang terlalu tinggi, kekurangan
vitamin, bakteri, dan sebagainya.
4
c. Klasifikasi Anak Tunanetra
Menurut Aqila Smart dalam buku Anak Cacat Bukan Kiamat tunanetra
diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu buta total dan kurang penglihatan (low
fision). Berikut penjelasannya:
a) Buta Total (Blind)
Buta total yaitu kondisi penglihatan yang tidak dapat melihat dua jari di
mukanya atau hanya melihat sinar atau cahaya. Mereka tidak bisa menggunakan
huruf selain huruf braille. Ciri-ciri buta total diantaranya secara fisik mata terlihat
juling, sering berkedip,menyipitkan mata, kelopak mata merah, mata infeksi,
gerakan mata tak beraturan dan cepat, mata selalu berair dan pembengkakan pada
kulit tempat tumbuh bulu mata. Secara perilaku menggosok mata secara
berlebihan, menutup atau melindungi mata sebelah, memiringkan kepala, atau
mencondongkan kepala ke depan, sukar membaca atau mengerjakan tugas yang
memerlukanpenggunaan mata, berkedip lebih banyak, membawa buku ke dekat
mata, tidak dapat melihat benda yang agak jauh, menyipitkan mata atau
mengerutkan dahi.
b) Low Vision
Low fision yaitu kondisi penglihatan yang apabila melihat sesuatu maka
harus didekatkan atau mata harus dijauhkan dari objek yang dilihatnya atau
memiliki pemandangan kabur ketika melihat objek. Ciri-ciri low fision
diantaranya menulis dan membaca dengan jarak yang sangat dekat, hanya dapat
membaca huruf yang berukuran besar, mata tampak terlihat putih di tengah mata
atau kornea (bagian bening di depan mata) terlihat berkabut, terlihat tidak menatap
lurus ke depan, memincingkan mata atau mengerutkan kening terutama di cahaya
terang atau saat melihat sesuatu, lebih sulit melihat pada malam hari, pernah
mengalami operasi mata dan atau memakai kacamata yang sangat tebal tetapi
masih tidak dapat melihat dengan jelas.
5
Tidak berfungsinya indera penglihatan berpengaruh terhadap penerimaan
informasi visual saat berkomunikasi dan berinteraksi. Seorang anak tunanetra
tidak memahami ekspresi wajah dari teman bicaranya atau hanya dapat melalui
suara saja. Hal ini mempengaruhi saat teman bicaranya berbicara dengan orang
lainnya secara berbisik-bisik atau kurang jelas, sehingga dapat mengakibatkan
hilangnya rasa aman dan cepat curiga terhadap orang lain. Anak tunanetra perlu
dikenalkan dengan orang-orang di sekitar lingkungannya terutama anggota
keluarga, tetangga, masyarakat sekitar rumah, sekolah dan masyarakat sekitar
sekolah.
b. Perasaan Mudah Tersinggung
Perasaan mudah tersinggung juga dipengaruhi oleh keterbatasan yang ia
peroleh melalui auditori/pendengaran. Bercanda dan saling membicarakan agar
saat berinteraksi dapat membuat anak tunanetra tersinggung. Perasaan mudah
tersinggung juga perlu diatasi dengan memperkenalkan anak tunanetra dengan
lingkungan sekitar. Hal ini untuk memberikan pemahaman bahwa setiap orang
memiliki karakteristik dalam bersikap, bertutur kata dan cara berteman. Hal
tersebut bila diajak bercanda, anak tunanetra dapat mengikuti tanpa ada perasaan
tersinggung bila saatnya ia yang dibicarakan.
c. Verbalisme
Pengalaman dan pengetahuan anak tunanetra pada konsep abstrak
mengalami keterbatasan. Hal ini dikarenakan konsep yang bersifat abstrak seperti
fatamorgana, pelangi dan lain sebagainya terdapat bagian-bagian yang tidak dapat
dibuat media konkret yang dapat menjelaskan secara detail tentang konsep
tersebut, sehingga hanya dapat dijelaskan melalui verbal. Anak tunanetra yang
mengalami keterbatasan dalam pengalaman dan pengetahuan konsep abstrak akan
memiliki verbalisme, sehingga pemahaman anak tunanetra hanya berdasarkan
kata-kata saja (secara verbal) pada konsep abstrak yang sulit dibuat media konkret
yang dapat menyerupai.
d. Perasaan Rendah Diri
Keterbatasan yang dimiliki anak tunanetra berimplikasi pada konsep
dirinya. Implikasi keterbatasan penglihatan yaitu perasaan rendah diri untuk
bergaul dan berkompetisi dengan orang lain. Hal ini disebabkan bahwa
penglihatan memiliki pengaruh yang cukup besar dalam memperoleh informasi.
Perasaan rendah diri dalam bergaul terutama dengan anak awas. Perasaan tersebut
6
akan sangat dirasakan apabila teman sepermainannya menolak untuk bermain
bersama.
7
kategori, yaitu tuli (deaf) atau kurang dengar (hard of hearing) (Laila, 2013: 10).
Murni Winarsih mengemukakan bahwa tunarungu adalah suatu istilah umum yang
menunjukkan kesulitan mendengar dari yang ringan sampai berat, digolongkan ke
dalam tuli dan kurang dengar. Orang tuli adalah yang kehilangan kemampuan
mendengar sehingga menghambat proses informasi bahasa melalui pendengaran, baik
memakai ataupun tidak memakai alat bantu dengar dimana batas pendengaran yang
dimilikinya cukup memungkinkan keberhasilan proses informasi bahasa melalui
pendengaran. Tin Suharmini mengemukakan tunarungu dapat diartikan sebagai
keadaan dari individu yang mengalami kerusakan pada indera pendengaran sehingga
menyebabkan tidak bisa menangkap berbagai rangsang suara, atau rangsang lain
melalui pendengaran (Laila, 2013: 10).
8
b. Faktor Rhesus (Rh) ibu dan anak yang sejenis
a) Anak lahir pre mature
b) Anak lahir menggunakan forcep (alat bantu tang)
c) Proses kelahiran yang terlalu lama
c. Faktor-faktor sesudah anak dilahirkan (postnatal)
a) Infeksi
b) Meningitis (peradangan selaput otak)
c) Tunarungu perseptif yang bersifat keturunan
d) Otitismedia yang kronis
e) Terjadi infeksi pada alat-alat pernafasan.
c. Karakteristik Anak Tunarungu
Karakteristik anak tunarungu menurut UNESCO yaitu:
o Tidak menyadari adanya bunti atau suara
o Tidak melihat ke sumber suara
o Terlihat mendekatkan telinga pada sumber suara
o Sulit untuk berbicara atau berbicara dengan kata yang tidak jelas dengan
suara keras
o Sulit untuk mengungkapkan perasaan dengan tepat
o Cenderung menggunakan mimic atau gerakan (tangan dan tubuh) untuk
berkomunikasi
o Cenderung pemata atau milihat anak lain melakukan sesuatu sebelum dia
melakukan apa yang diminta.
Berikut adalah karakteristik segi bahasa dari anak tunarungu:
a. Miskin dalam perbendaharaan kata, sehingga kesulitan pula bagi dirinya untuk
mengekspresikan bahasa dan bicaranya.
b. Penggunaan bahasa isyarat atau berbicara verbal tergantung dari kebiasaan di
lingkungan anak
c. Keterbatasan untuk membentuk ucapan dengan baik, oleh karena berbicara
lisan (verbal) diperlukan sejumlah kata-kata
d. Irama dan gaya bahasanya monoton
e. Sulit memahami kata-kata yang bersifat abstrak
f. Sulit memahami kata yang mengandung kiasan
9
g. Bahasa tulisan terlihat pendek-pendek, sederhana, dan menggunakan bahasa
yang diingatnya saja
h. Seringkali menggunakan kalimat tunggal, tidak menggunakan kata- kata yang
banyak oleh karena keterbatasan dalam mengingat kata-kata yang rumit
a. Karakteristik fisik
Cara berjalannya kaku dan sedikit bungkuk, gerakan matanya cepat, agak
beringas, gerakan tangan dan kakinya cepat atau lincah, pernafasannya pendek
dan agak terganggu.
b. Karakteristik intelegensi
Secara potensial anak tunarungu tidak berbeda dengan intelegensi anak normal
pada umumnya. Namun demikian secara fungsional intelegensi anak tunarungu di
bawah anak normal disebabkan oleh kesulitan anak tunarungu dalam memahami
bahasa karena terbatasnya pendengaran. Anak-anak tunarungu sulit dapat
menangkap pengertian yang abstrak, sebab untuk dapat menarik pengertian yang
abstrak diperlukan pemahaman yang baik akan bahasa lisan maupun bahasa
tulisan. Tidak semua aspek intelegensi anak tunarungu terhambat, yang
mengalami hambatan hanya bersifat verbal, misalnya dalam merumuskan
pengertian, menarik kesimpulan, dan meramalkan kejadian.
c. Karakteristik emosi
Emosi anak tunarungu selalu bergolak, di satu pihak karena kemiskinan
bahasanya dan di lain pihak karena pengaruh-pengaruh dari luar yang diterimanya.
Keterbatasan yang terjadi dalam komunikasi pada anak tunarungu mengakibatkan
perasaan terasing dari lingkungannya. Anak tunarungu mampu melihat semua
kejadian, akan tetapi tidak mampu untuk memahami dan mengikutinya secara
menyeluruh sehingga menimbulkan emosi yang tidak stabil, mudah curiga, dan
kurang percaya diri.
d. Karakteristik sosial
Dalam pergaulan anak tunarungu cenderung memisahkan diri terutama dengan
anak normal, hal ini disebabkan oleh keterbatasan kemampuan untuk melakukan
komunikasi secara lisan.
e. Karakteristik bahasa
10
Miskin dalam kosakata, sulit dalam mengartikan ungkapan-ungkapan bahasa
yang mengandung arti kiasan, sulit mengartikan kata-kata abstrak, kurang
menguasai irama dan gaya bahasa. Hal ini disebabkan adanya hubungan yang erat
antara bahasa dan bicara dengan ketajaman pendengaran, mengingat bahasa dan
bicara merupakan hasil proses peniruan sehingga para anak tunarungu sangat
terbatas dalam segi bahasa.
C. Anak Tunagrahita
a. Pengertian Tunagrahita
Anak tunagrahita Istilah tunagrahita berasal dari bahasa sansekerta tuna yang
artinya rugi (kurang), dan grahita artinya berpikir (Mumpuniarti, 2000: 25).
Tunagrahita mempunyai beberapa istilah, di antaranya dikemukakan oleh Inglas
(Mumpuniarti, 2000: 25), yaitu: mental retardation, mental defeciency, mental
defective, mentally handicapped, feebleminidedness, mental subnormality, amentia
and oligophredia. Di Indonesia tunagrahita disebut lemah ingatan, lemah otak, lemah
pikiran, cacat mental, terbelakang mental, dan lemah mental.
Menurut Ibrahim (2004: 37) anak tunagrahita atau anak keterbelakangan mental
adalah anak yang memiliki kondisi mental secara umum di bawah rata-rata yang
timbul selama periode perkembangan dan berkaitan dengan kelemahan perilaku
penyesuaian dirinya dengan lingkungan. Oleh karena itu, fungsi sosial anak
tunagrahita tidak berkembang dengan baik. Menurut American Psychiatric
Association (2013: 33) anak tunagrahita atau disebut dengan IDD (Intellectual
Developmental Disorder) atau gangguan perkembangan intelektual adalah anak yang
mengalami gangguan pada masa periode perkembangan yang meliputi intelektual dan
keterbatasan fungsi adaptif dalam konseptual, sosial, dan keterampilan adaptif. Oleh
karena itu, anak tunagrahita untuk meniti tugas perkembangannya sangat
membutuhkan layanan dan bimbingan secara khusus (Efendi, 2006: 110)
b. Karakteristik Anak Tunagrahita
1) Keterbatasan Inteligensi
Inteligensi merupakan kemampuan untuk mempelajari informasi dan
ketrampilan-ketrampilan menyesuaikan diri dengan masalah-masalah dan situasi-
11
situasi kehidupan baru, belajar dari pengalaman masa lalu, berfikir abstrak, kreatif,
dapat menilai secara kritis, menghindari kesalahan-kesalahan, mengatasi
kesulitan-kesulitan, dan kemampuan untuk merencanakan masa depan. Anak
tunagrahita memiliki kekurangan dalam hal tersebut. Kapasitas belajar anak
tunagrahita terutama yang bersifat abstrak seperti menulis, berhitung, dan
membaca juga sangat terbatas.
2) Keterbatasan Sosial
Disamping memiliki keterbatasan inteligensi, anak tunagrahita juga
memiliki kesulitan dalam mengurus diri sendiri dan bergaul di masyarakat. Oleh
karena itu mereka memerlukan bantuan dari orang lain untuk membantu mereka
berinteraksi dengan lingkungan. Anak tunagrahita cenderung berteman dengan
anak yang lebih muda usianya, ketergantungan terhadap orang tua sangat besar,
tidak mampu memikul tanggung jawab sosial dengan bijaksana, sehingga mereka
harus selalu dibimbing dan diawasi. Mereka juga mudah dipengaruhi dan
cenderung melakukan sesuatu tanpa memikirkan akibatnya.
3) Keterbatasan Fungsi Mental
Anak tunagrahita memerlukan waktu lebih lama untuk menyelesaikan reaksi
pada situasi yang baru dikenalnya. Mereka memperlihatkan reaksi terbaiknya bila
mengikuti hal-hal yang rutin dan secara konsisten dialaminya dari hari ke hari.
Anak tunagrahita tidak dapat menghadapi suatu kegiatan atau tugas dalam jangka
waktu yang lama.
Anak tunagrahita juga memiliki keterbatasan dalam penguasaan bahasa.
Mereka bukannya mengalami kerusakan artikulasi, akan tetapi pusat pengolahan
(perbendaharaan kata) yang kurang berfungsi sebagaimana mestinya. Karena
alasan itu mereka membutuhkan kata-kata konkret yang sering didengarnya.
Persamaan dan perbedaan harus ditujukan secara berulang-ulang. Latihan-latihan
sederhana seperti mengajarkan konsep besar dan kecil, keras dan lemah, perlu
menggunakan pendekatan yang konkrit. Selain itu mereka juga kurang mampu
untuk mempertimbangkan sesuatu, membedakan yang baik dan yang buruk.
Selain itu menurut Nur'aeni (1997), anak tunagrahita juga memiliki beberapa
karakteristik atau ciri-ciri, yaitu sebagai berikut:
12
- Tidak mampu mengubah cara hidupnya, ia cenderung rutin. Jika terjadi hal baru
di lingkungannya, ia menjadi bingung dan risau.
- Perhatiannya tidak dapat bertahan lama, amat singkat.
- Kemampuan berbahasa dan berkomunikasinya terbatas, umumnya anak gagap.
- Sering tidak mampu menolong diri sendiri.
- Motif belajarnya rendah sekali.
- Irama perkembangannya tidak rapi, suatu saat meningkat tinggi, tapi saat yang
lain menurun drastis.
- Tidak peduli pada lingkungan.
D. Anak Tunadaksa
13
b. Karakteristik Anak Tunadaksa
Karakteristik:
– Sulit menggerakan tubuh
– Sulit untuk berpindah dari suatu posisi ke posisi lain
– Sulit meraih/mengambil benda di tempat yang tinggi
– Gerakan tubuh kaku dan layu
– Sering terjatuh
– Bila terjadi kekakuan pada otot bicara, maka diantara mereka dengan hambatan
gerak juga akan mengalami hambatan bicara seperti pada mereka yang cerebral
palsy (CP).
- Karakteristik akademik
Anak tunadaksa dengan kelainan sistem otot dan rangka umumnya memiliki
tingkat kecerdasan normal sehingga bisa mengikuti pelajaran sama dengan anak
normal.Akan tetapi, anak dengan kelainan sistem saraf pusat biasanya punya
tingkat kecerdasan (IQ) yang lebih rendah (intellectual disability).
- Karakteristik sosial dan emosional
Beberapa anak tunadaksa mungkin merasa dirinya cacat, tidak berguna, dan
menjadi beban bagi orang lain sehingga membuatnya malas belajar, bermain, dan
bersosialisasi. Ketidakmampuan melakukan kegiatan fisik sebagaimana mestinya
juga bisa membuat anak mudah tersinggung, marah, rendah diri, pemalu,
penyendiri, hingga frustrasi.
- Karakteristik fisik dan Kesehatan
Kecenderungan gangguan kesehatan lain, seperti sakit gigi, berkurangnya
kemampuan pendengaran dan penglihatan, serta gangguan bicara umum terjadi
pada anak dengan disabilitas saraf. Selain itu, penyandang tunadaksa jenis ini juga
bisa menunjukkan tanda-tanda hiperaktif (sangat aktif) maupun hipoaktif (sangat
pasif) dalam perilakunya.
a. Karakteristik akademik
14
Karakteristik akademik anak tuna daksa meliputi ciri khas kecerdasan,
kemampuan kognisi, persepsi dan simbolisasi.
b. Karakteristik sosial/emosional
Konsep dan respon serta sikap masyarakat yang negatif terhadap anak
tunadaksa mengakibatkan anak tuna daksa merasa tidak mampu, tidak berguna,
dan menjadi rendah diri. Akibatnya, kepercayaan dirinya hilang dan akhirnya
tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan social nya.
c. Karakteristik fisik/Kesehatan
Anak tuna daksa biasanya selain mengalami cacat tubuh juga mengalami
gangguan lain seperti sakit gigi, gangguan bicara dan gangguan motorik.
E. Anak Tunalaras
a. Pengertian Tunalaras
Anak tunalaras adalah anak yang mengalami gangguan atau hambatan emosi dan
berkelainan tingkah laku, sehingga kurang dapat menyesuaikan diri dengan baik
terhadap lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Dalam masalah hubungan
sosial dan berorganisasi pada anak tunalaras sangatlah memperihatinkan karena pada
dasarnya anak tunalaras dapat dikatakan sebagai anak nakal tidak tahu aturan.
Berbagai tingkah laku yang ditunjukkan dengan melakukan kontradiksi dalam norma-
norma sosial di masyarakat umum, seperti contoh melakukan pencurian, perusuh
lingkungan dan bertindak agresif terhadap orang lain (Khasanah, 2018). Anak
tunalaras juga menampakkan suatu perilaku penentangan yang terus menerus kepada
masyarakat, kehancuran suatu pribadi, serta kegagalan dalam belajar di sekolah,
termasuk kegagalannya dalam menyesuaikan diri secara sosial. Perilaku itu ditandai
dengan tidakan agresif, yaitu tidak mengikuti aturan, bersifat mengganggu
mempunyai sikap membangkang atau menentang, tidak dapat bekerja sama serta
15
melakukan kejahatan remaja seperti melanggar hukum (Kusmawati, Hadi & Putra,
2018).
16
o Anxiety-withdrwal, juga disebut personality problem, adalah perilaku
yang berkaitan dengan kepribadian seperti, cemas, takut, tegang, sangat
pemalu, menyendiri, tidak berteman, sedih, depresi, terlalu sensitif, terlalu
perasa, merasa rendah diri, kurang percaya diri, mudah bingung, sangat
tertutup, dan sering menangis.
o Immaturity/inadequacy, yaitu kelompok perilaku yang menunjukkan sikap
kurang dewasa, kurang matang, seperti kemampuan memperhatikan
pendek, tak dapat berkonsentrasi, melamun, kaku, pasif, kesulitan
memperhatikan, kurang minat, gagal menyelesaikan sesuatu, ceroboh, dan
tidak rapi.
18
BAB III
PENDAHULUAN
A. Kesimpulan
Anak berkebutuhan khusus (dulu di sebut sebagai anak luar biasa) di definisikan
sebagai anak yang memerlukan pendidikan dan layanan khusus untuk mengembangkan
potensi kemanusiaan mereka secara sempurna. Penyebutan sebagai anak berkebutuhan
khusus, dikarenakan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, anak ini membutuhkan
bantuan layanan pendidikan, layanan sosial, layanan bimbingan dan konseling, dan
berbagai jenis layanan lainnya yang bersifat khusus.
Klasifikasi anak-anak berkebutuhan khusus, yang mengalami kelainan fisik
mencakup anak-anak yang mengalami kelainan penglihatan (tunanetra), kelainan fungsi
pendengaran (tunarungu), dan anak-anak yang mengalami kelainan tubuh (tunadaksa).
Derajat kelainan masing-masing jenis ketunaan tersebut sangat beragam, dari kategori
ringan sampai yang berat, namun secara umum dapat dilihat klasifikasi secara umum
maupun klasifikasi secara khusus.
B. Saran
Diharapkan dengan adanya dapat membuat peserta didik lebih aktif lagi.Dan
motivasi belajar peserta didik hendaknya ditingkatkan lagi mengingat ini sangat penting
dalam belajar siswa.Karena dengan adanya motivasi maka peserta didik lebih percaya diri
19
dan aktif dalam kegiatan belajar. Mungkin saja seringkali muncul kesalahan dalam
penulisan makalah dan penulisan lainnya. Atas kesalahan dalam penyusunan makalah
penulis meminta maaf yang sebesar-besarnya dan berharap mendapat kritik dan saran dari
pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Awalia, H. R., & Mahmudah, S. (2016). Studi deskriptif kemampuan interaksi sosial Anak
Tunagrahita ringan. Jurnal Pendidikan Khusus, 9(1), 1-16.
Baker, Bruce L. and Alan J. Brightman, Steps to Independence – Teaching Everyday Skills to
Children with Special Needs, 1997, Paul H. Brookes Publishing Co. Inc, Baltimore,
US
Creswell, John W. (2014). Penelitian Kualitatif & Desain Riset: Memilih di antara lima
pendekatan edisi ketiga diterjemahkan Ahmad Lintang Lazuardi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Nisa, K., Mambela, S., & Badiah, L. I. (2018). Karakteristik dan kebutuhan anak
berkebutuhan khusus. Jurnal Abadimas Adi Buana, 2(1), 33-40.
Porwowibowo, Hendrijanto, K., & Trihartono, A. (2019). Mengenal Pembelajaran
Komunikasi Total Bagi Anak Tunarungu. Yogyakarta: Pandiva Buku.
Rahmah, F. N. (2018). Problematika anak tunarungu dan cara mengatasinya. Quality, 6(1), 1-
15.
Somantri, S. 2007. Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: P.T. Refika Aditama
Yosiani, N. (2014). Relasi karakteristik anak tunagrahita dengan pola tata ruang belajar di
sekolah luar biasa. E-Journal Graduate Unpar, 1(2), 111-1
21
22