Anda di halaman 1dari 18

KEPERAWATAN JIWA

MAKALAH ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

DISUSUN OLEH

KELOMPOK 1

ADINDA MERY AZHARI 14220170012

YUTI FERIANTI YUNUS PADU 14220170014

SITI HADIJAH SYAM 14220170015

SUPARDIN 14220170053

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2019
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kita haturkan kepada Allah SWT sebab karena
limpahan rahmat serta anugerah dari-Nya kami mampu untuk menyelesaikan
makalah kami dengan judul “Makalah Anak Berkebetuhuan Khusus”
Sholawat serta salam tidak lupa selalu kita haturkan untuk junjungan nabi
agung kita, yaitu Nabi Muhammad SAW yang telah menyampaikan petunjukan
Allah SWT untuk kita semua, yang merupakan sebuah pentunjuk yang paling
benar yakni Syariah agama Islam yang sempurna dan merupakan satu-satunya
karunia paling besar bagi seluruh alam semesta.
Selanjutnya dengan rendah hati kami meminta kritik dan saran dari
pembaca untuk makalah ini supaya selanjutnya dapat kami revisi kembali. Karena
kami sangat menyadari, bahwa makalah yang telah kami buat ini masih memiliki
banyak kekurangan.
Kami ucapkan terimakasih kepada dosen mata kuliah yang telah
memberikan kami tugas dan untuk teman-teman yang telah mendukung serta
membantu kami selama proses penyelesaian makalah ini hingga rampungnya
makalah ini.
Demikianlah yang dapat kami haturkan, kami berharap supaya makalah
yang telah kami buat ini mampu memberikan manfaat kepada setiap pembacanya.

Makassar, 17 November 2019

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii

DAFTAR ISI........................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 2
C. Tujuan ....................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi Anak Berkebutuhan Khusus ........................................................ 3
B. Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus .................................................. 4
C. Definisi Autisme ...................................................................................... 6
D. Penyebab Autis ........................................................................................ 6
E. Gejala Autis ............................................................................................. 8
F. Penatalaksanaan Menyeluruh ................................................................... 10
G. Diagnosis Keperawatan ........................................................................... 13

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan ............................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 15

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tidak ada orang yang meminta menjadi cacat. Namun menjadi
penyandang cacatpun bukan berarti tidak bisa berbuat apa-apa. Banyak
individu yang meskipun menjadi penyandang cacat bisa menjadi penerang
hidup bagi teman-teman berkebutuhan khusus lainnya. Secara kodrati semua
manusia mempunyai berbagai macam kebutuhan, tak terkecuali anak
berkebutuhan khusus. Salah satu diantaranya kebutuhan pendidikan. Dengan
terpenuhi kebutuhan akan pendidikan anak berkebutuhan khusus diharapkan
bisa mengurusi dirinya sendiri dan dapat melepaskan ketergantungan dengan
orang lain. Tertampungnya anak berkebutuhan khusus dalam lembaga
pendidikan semaksimal mungkin berarti sebagian dari kebutuhan mereka
terpenuhi. Diharapkan lewat pendidikan yang mereka dapatkan mampu
memperluas cakrawala pandangan hidupnya. Sehingga mampu berfikir secara
kreatif, inovatif dan produktif. Istilah berkebutuhan khusus secara eksplisit
ditujukan kepada anak yang dianggap mempunyai kelainan/penyimpangan
dari kondisi rata-rata anak normal umumnya, dalam hal fisik, mental maupun
karakteristik perilaku sosialnya
Berdasarkan pengertian tersebut anak yang dikategorikan berkebutuhan
dalam aspek fisik meliputi kelainan dalam indra penglihatan (tunanetra)
kelainan indra pendengaran (tuna rungu) kelainan kemampuan berbicara (tuna
wicara) dan kelainan fungsi anggota tubuh (tuna daksa). Anak yang memiliki
kebutuhan dalam aspek mental meliputi anak yang memiliki kemampuan
mental lebih (super normal) yang dikenal sebagai anak berbakat atau anak
unggul dan yang memiliki kemampuan mental sangat rendah (abnormal) yang
dikenal sebagai tuna grahita. Anak yang memiliki kelainan dalam aspek sosial
adalah anak yang memiliki kesulitan dalam menyesuaikan perilakunya
terhadap lingkungan sekitarnya. Anak yang termasuk dalam kelompok ini
dikenal dengan sebutan tunalaras.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi anak berkebutuhan khusus?
2. Bagaimana klasifikasi anak berkebutuhan khusus?
3. Apa definisi dari autism?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi anak berkebutuhan khusus.
2. Untuk mengetahui anak berkebutuhan khusus.
3. Untuk mengetahui definisi dari autism.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Anak Berkebutuhan Khusus


Anak berkebutuhan khusus sering mendapat predikat sebagai anak
berkelainan. Sedangkan Purwanta (2005) menyebut sebagai anak yang
mengalami gangguan tumbuh dan kembang yang berbeda dengan anak normal
lainnya, sehingga mereka yang mempunyai kelainan tersebut akan kesulitan
dalai mencapai tugas-tugas perkembangan. (Abd. Nasir, dkk., 2018)
Anak berkebutuhan khusus adalah anak-anak yang memiliki keunikan
tersendiri dalam jenis kebutuhan dan karakteristikinya, yang membedakan
mereka dari anak-anak normal pada umumnya (KPPPA, 2016).
Anak berkebutuhan khusus adalah mereka yang memerlukan penanganan
khusus yang berkaitan kekhususannya. Jika kita memahami lebih dalam lagii
maksud dari anak-anak berkebutuhan khusus, istilah itu tidak terlalu asing. Di
Indonesia, istilah ini lebih popular dengan istilah anak luar biasa (Aulia
Fadhli, 2010).
Kelainan yang dimiliki oleh anak berkebutuhan khusus menimbulkan
berbagai reaksi dari ibu yang memicu terjadinya kecemasan akibat tuntutan
yang tinggi agar anaknya bisa hidup normal seperti anak-anak lain pada
umumnya. Rentang respon yang dimiliki ibu mulai dari sangat mencemaskan
akan keberadaan di lingkungan sekitar akibat kekurangan yang dimiliki
hingga bersikap realistis dan objektif dalam menerima kondisi anaknya.
Menurut Abd. Nasir, dkk. (2018) pengetahuan digunakan sarana untuk
bertindak. Pengetahuan yang luas tentang anak berkebutuhan khusus sangat
diperlukan oleh ibu dalam mendampingi anaknya agar mampu mengelola
emosi dengan baik karena mempunyai banyak strategi yang diterapkan
sehingga tidak menimbulkan kecemasan yang berlebihan. Adanya kontribusi
yang maksimal dari pengetahuan yang tinggi terhadap penurunan kecemasan
pada ibu dalam mendampingi anak berkebutuhan khusus.

3
B. Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus
Menurut klasifikasi dan jenis kelainan, anak berkebutuhan dikelompokkan
ke dalam kelainan fisik, kelainan mental, dan kelainan karakteristik sosial.
1. Kelainan Fisik
Kelainan fisik adalah kelainan yang terjadi pada satu atau lebih organ
tubuh tertentu. Akibat kelainan tersebut timbul suatu keadaan pada fungsi
fisik tubuhnya tidak dapat menjalankan tugasnya secara normal. Tidak
berfungsinya anggota fisik terjadi pada: alat fisik indra, misalnya kelainan
pada indra pendengaran (tunarungu), kelainan pada indra penglihatan
(tunanetra), kelainan pada fungsi organ bicara (tunawicara); alat motorik
tubuh, misalnya kelainan otot dan tulang (poliomyelitis), kelainan pada
sistem saraf di otak yang berakibat gangguan pada fungsi motorik
(cerebral palsy), kelainan anggota badan akibat pertumbuhan yang tidak
sempurna, misalnya lahir tanpa tangan/kaki, amputasi dan lain-lain. Untuk
kelinan pada alat motorik tubuh ini dikenal dalam kelompol tunadaksa
(Nandiyah Abdullah, 2013).
2. Kelainan Mental
Anak kelainan dalam aspek mental adalah anak yang memiliki
penyimpangan kemampuan berpikir secara kritis, logis dalam menanggapi
dunia sekitarnya. Kelainan pada aspek mental ini dapat menyebar ke dua
arah, yaitu kelainan mental dalam arti lebih (supernormal) dan kelainan
mental dalam arti kurang (subnormal). Kelainan mental dalam arti lebih
atau anak unggul, menurut tingkatannya dikelompokkan menjadi: (a) anak
mampu belajar dengan cepat (rapid learner), (b) anak berbakat (gifted),
dan (c) anak genius (extremely gifted). Karakteristik anak yang termasuk
dalam kategori mampu belajar dengan cepat jika hasil kecerdasan
menunjukkan, bahwa indeks kecerdasannya yang bersangkutan berada
pada rentang 110-120, anak berbakat jika indeks kecerdsannya berada
pada rentang 120-140, dan anak sangat berbakat atau genius jika indeks
kecerdasannya berada pada rentang di atas 140 (Nandiyah Abdullah,
2013).

4
Anak yang berkelainan mental dalam arti kurang atau tunagrahita,
yaitu anak yang diidentifikasi memiliki tingkat kecerdasan yang
sedemikian rendahnya (di bawah normal ) sehingga untuk meniti tugas
perkembangannya memerlukan bantuan atau layanan secara khusus,
terutama di dalamnya kebutuhan program pendidikan dan bimbingannya.
Kondisi ketunagrahitaan dalam praktik kehidupan seharihari di kalangan
awam seringkali disalah persepsikan, terutama bagi keluarga yang
mempunyai anak tunagrahita, yakni berharap dengan memasukkan anak
tunagrahita ke dalam lembaga pendidikan, kelak anaknya dapat
berkembang sebagaimana anak normal lainnya (Nandiyah Abdullah,
2013).
3. Kelainan Perilaku Sosial
Kelainan perilaku atau tunalaras sosial adalah mereka yang mengalami
kesulitan untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan, tatatertib, norma
sosial, dan lain-lain. Manifestasi dari mereka yang dikategorikan dalam
kelainan perilaku sosial ini , misalnya kompensasi berlebihan, sering
bentrok dengan lingkungan, pelanggaran hukum/norma maupun
kesopanan (Nandiyah Abdullah, 2013).
Klasifikasi anak yang termasuk dalam kategori mengalami kelainan
perilaku sosial di antaranya anak psychotic dan neurotic, anak dengan
gangguan emosi dan anak nakal (delinquent). Berdasarkan sumber
terjadinya tindak kelainan perilaku sosial secara penggolongan dibedakan
menjadi: (1) tunalaras emosi, yaitu penyimpangan perilaku sosial yang
ekstrem sebagai bentuk gangguan emosi, (2) tunalaras sosial, yaitu
penyimpangan perilaku sosial sebagai bentuk kelainan dalam penyesuaian
sosial karena bersifat fungsional. Pengklasifikasian anak berkelainan
sebagaimana yang dijelaskan di atas, jika dikaitkan dengan kepentingan
pendidikan khususnya di Indonesia maka bentuk kelainan di atas dapat
disederhanakan sebagai berikut.
a. Bagian A adalah sebutan untuk kelompok anak tunanetra.
b. Bagian B adalah sebutan untuk kelompok anak tunarungu.
c. Bagian C adalah sebutan untuk kelompok anak tunagrahita.

5
d. Bagian D adalah sebutan untuk kelompok anak tunadaksa.
e. Bagian E adalah sebutan untuk kelompok anak tunalaras.
f. Bagian F adalah sebutan untuk kelompok anak dengan kemampuan di
atas rata-rata/ superior.
g. Bagian G adalah sebutan untuk kelompok anak tunaganda (Nandiyah
Abdullah, 2013).

C. Definisi Autis
Autis didefinisikan sebagai keadaaan introversi mental dengan perhatian
yang hanya tertuju pada ego sendiri. Anak yang mengalami gangguan ini akan
terlihat lebih emosional, serta ditandai dengan gangguan dan keterlambatan
dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi, dan interaksi sosial
(Aulia Fadhli, 2010).
Autisme berasal dari kata auto yang berarti sendiri. Penyandang autisme
seakan-akan hidup dalam dunianya sendiri. Istilah autisme baru diperkenalkan
oleh Leo Kanner sejak tahun 1943 (Handojo, 2008). Autisme bukan suatu
gejala penyakit, tetapi berupa sindroma (kumpulan gejala) yang terjadi
penyimpangan perkembangan sosial, kemampuan berbahasa, dan kepedulian
terhadap sekitar (Yatim, 2003). Menurut kamus psikologi, pengertian dari
autisme adalah anak dengan kecenderungan diam dan suka menyendiri yang
ekstrem. Anak autisme bisa duduk dan bermain berjam-jam lamanya dengan
jemarinya sendiri atau dengan serpihan kertas, serta tampaknya mereka itu
tenggelam dalam satu dunia sendiri (AH Yusuf, dkk., 2015).

D. Penyebab
Autisme dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal. Faktor internal
meliputi genetik, psikologis, neorobiologis, prenatal, natal, infeksi virus, dan
trauma kelahiran. Sementara faktor eksternalnya antara lain lingkungan bahan
kimia beracun, merkuri, timbal, kadmium, arsenik, dan aluminium (AH
Yusuf, dkk., 2015):

6
1. Faktor Internal
a. Faktor psikologis
Orang tua yang emosional, kaku, dan obsesif, yang mengasuh anak
mereka yang secara emosional atau akibat sikap ibu yang dingin
(kurang hangat).
b. Neurobiologis
Kelainan perkembangan sel-sel otak selama dalam kandungan atau
sudah anak lahir dan menyebabkan berbagai kondisi yang
memengaruhi sistem saraf pusat. Hal ini diduga karena adanya
disfungsi dari batang otak dan neurolimbik.
c. Faktor genetik
Adanya kelainan kromosom pada anak autisme, tetapi kelainan itu
tidak berada pada kromosom yang selalu sama. Ditemukan 20 gen
yang terkait dengan munculnya gangguan autisme, tetapi gejala
autisme baru bisa muncul jika kombinasi dari banyak gen.
d. Faktor perinatal
Adanya komplikasi prenatal, perinatal, dan neonatal. Komplikasi yang
paling sering adalah perdarahan setelah trimester pertama, fetal
distress, dan penggunaan obat tertentu pada ibu yang sedang hamil.
Komplikasi waktu bersalin, terlambat menangis, gangguan pernapasan,
dan anemia pada janin.
2. Faktor Eksternal
Faktor eksternal berasal dari lingkungan yaitu kontaminasi bahan
kimia beracun dan logam-logam berat berikut ini (Yatim, 2003).

a. Merkuri (Hg)
Logam berat merkuri merupakan cairan yang berwarna putih
keperakan. Paparan logam berat Hg dapat berupa metyl mercury dan
etyl mercury (thimerosal) dalam vaksin. Merkuri dapat memengaruhi
otak, sistem saraf, dan saluran cerna. Racun merkuri menyebabkan
defisit kognitif dan sosial termasuk kehilangan kemampuan berbicara
atau kegagalan untuk mengembangkan gangguan memori, konsentrasi

7
yang buruk, kesulitan dalam mengartikan kata-kata dari berbagai
macam tingkah laku autisme.
b. Timbal
Timbal dikenal sebagai neurotoksin yang diartikan sebagai pembunuh
sel-sel otak. Kadar timbal yang berlebihan pada darah anak-anak akan
memengaruhi kemampuan belajar anak, defisit perhatian, dan
sindroma hiperaktivitas.
c. Kadmium (Cd)
Kadmium merupakan bahan alami yang terdapat pada kerak bumi.
Logam berat ini murni berupa logam. Logam berwarna putih perak
lunak dapat menyebabkan kerusakan sel membran sehingga logam
berat lain dipercepat atau dipermudah masuk ke dalam sel.
d. Arsenik (As)
Arsenik banyak digunakan pengusaha atau kontraktor untuk
membangun ruang bermain, geladak kapal, atau pagar rumah. Arsenik
dapat diisap, ditelan, dan diabsorbsi lewat kontak kulit. Arsenik dapat
disimpan di otak, tulang, dan jaringan tubuh, serta akan merusaknya
secara serius. Gejalanya yang berlangsung lambat dapat menyebabkan
diabetes dan kanker, juga dapat menyebabkan stroke dan sakit jantung.
Dalam jangka lama dapat merusak liver, ginjal, dan susunan saraf
pusat.
e. Aluminium (Al)
Keracunan aluminium adalah keadaan serius yang terjadi bila
mengabsorbsi sejumlah besar aluminium yang sering disimpan di
dalam otak. Pemaparan aluminium didapatkan dari konsumsi
aluminium dari produk antasid dan air minum (panic aluminium).
Aluminium masuk ke tubuh lewat sistem digestif, paru-paru, dan kulit
sebelum masuk ke jaringan tubuh.

E. Gejala
Autisme timbul sebelum anak mencapai usia tiga tahun dan sebagian anak
memiliki gejala itu sudah ada sejak lahir. Seorang ibu yang sangat cermat
memantau perkembangan anaknya sudah akan melihat beberapa keganjilan

8
sebelum anaknya mencapai usia satu tahun. Hal yang sangat menonjol adalah
tidak adanya atau sangat kurangnya tatapan mata. Gejala-gajala akan tampak
makin jelas setelah anak mencapai usia tiga tahun, yaitu meliputi hal berikut
(AH Yusuf, dkk., 2015)
1. Gangguan dalam bidang komunikasi verbal dan nonverbal.
a. Terlambat bicara.
b. Meracau dengan bahasa yang tak dapat dimengerti orang lain.
c. Bila kata-kata mulai diucapkan, ia tidak mengerti artinya.
d. Bicara tidak dipakai untuk komunikasi.
e. la banyak meniru atau membeo (echolalia).
f. Beberapa anak sangat pandai menirukan nyanyian, nada, dan kata-
kata tanpa mengerti artinya. Sebagian dari anak-anak ini tetap tak
dapat bicara sampai dewasa.
g. Bila menginginkan sesuatu ia menarik tangan yang terdekat dan
mengharapkan tangan tersebut melakukan sesuatu untuknya.
2. Gangguan dalam bidang interaksi sosial.
a. Menolak atau menghindar untuk bertatap mata.
b. Tak mau menengok bila dipanggil.
c. Sering kali menolak untuk dipeluk.
d. Tak ada usaha untuk melakukan interaksi dengan orang lain, lebih
asyik main sendiri.
e. Bila didekati untuk diajak main, ia malah menjauh.
3. Gangguan dalam bidang perilaku.
a. Perilaku yang berlebihan (excess) dan kekurangan (deficient).
Contoh perilaku yang berlebihan adalah adanya hiperaktivitas
motorik, seperti tidak bisa diam, jalan mondar-mandir tanpa tujuan
yang jelas, melompat-lompat, berputar-putar, memukul-mukul pintu
atau meja, mengulang-ulang suatu gerakan tertentu. Contoh perilaku
yang kekurangan adalah duduk diam bengong dengan tatap mata yang
kosong, melakukan permainan yang sama atau monoton dan kurang
variatif secara berulang-ulang, sering duduk diam terpukau oleh
sesuatu misalnya bayangan dan benda yang berputar.

9
b. Kadang-kadang ada kelekatan pada benda tertentu, seperti kartu,
kertas, gambar, gelang karet, atau apa saja yang terus dipeganganya
dan dibawa ke mana saja.
c. Perilaku ritual (ritualistic).
4. Gangguan dalan bidang perasaan atau emosi.
a. Tidak dapat ikut merasakan apa yang dirasakan orang lain, misalnya
melihat anak menangis, maka ia tidak merasa kasihan, tetapi merasa
terganggu dan anak yang menangis tersebut mungkin didatangi dan
dipukul.
b. Kadang tertawa sendiri, menangis, atau marah tanpa sebab yang nyata.
c. Sering mengamuk takterkendali (bisa menjadi agresif dan destruktif).
5. Gangguan dalam persepsi sensori.
a. Mencium atau menggigit mainan atau benda apa saja.
b. Bila mendengar suara tertentu, maka ia langsung menutup telinga.
c. Tidak menyukai rabaan atau pelukan.
d. Merasa sangat tidak nyaman bila dipakaikan pakaian dari bahan yang
kasar.
F. Penatalaksanaan Menyeluruh
1. Terapi psikofarmaka
Kerusakan sel otak di sistem limbik, yaitu pusat emosi akan menimbulkan
gangguan emosi dan perilaku temper tantrum, agresivitas baik terhadap
diri sendiri maupun pada orang-orang di sekitarnya, serta hiperaktivitas
dan stereotipik. Untuk mengendalikan gangguan emosi ini diperlukan obat
yang memengaruhi berfungsinya sel otak (AH Yusuf, dkk., 2015).
2. Terapi perilaku
Penatalaksanaan gangguan autisme menggunakan metode Lovass. Metode
Lovass adalah metode modifikasi tingkah laku yang disebut dengan
Applied Behavioral Analysis (ABA). ABA juga sering disebut sebagai
intervensi perilaku (behavioral intervension) atau modifikasi (behavioral
modification). Dasar pemikirannya adalah perilaku yang diinginkan atau
yang tidak diinginkan bisa dikontrol atau dibentuk dengan sistem
penghargaan (reward) dan hukuman (punishment). Pemberian

10
penghargaan akan meningkatkan frekuensi munculnya perilaku yang
diinginkan, sedangkan hukuman akan menurunkan frekuensi munculnya
perilaku yang tidak diinginkan (AH Yusuf, dkk., 2015).
3. Terapi bicara
Gangguan bicara dan berbahasa diderita oleh hampir semua anak autisme.
Tata laksana melatih bicara dan berbahasa harus dilakukan karena
merupakan gangguan yang spesifik pada anak autisme. Anak dipaksa
untuk berbicara kata demi kata, serta cara ucapan harus diperhatikan.
Setelah mampu berbicara, diajarkan berdialog. Anak dipaksa untuk
memandang terapis, karena anak autisme tidak mau adu pandang dengan
orang lain. Dengan adanya kontak mata, maka diharapkan anak dapat
meniru gerakan bibir terapis (AH Yusuf, dkk., 2015).
4. Terapi okupasional
Melatih anak untuk menghilangkan gangguan perkembangan motorik
halusnya dengan memperkuat otot-otot jari supaya anak dapat menulis
atau melakukan keterampilan lainnya (AH Yusuf, dkk., 2015).
5. Terapi fisik
Autisme adalah suatu gangguan perkembangan pervasif. Banyak di antara
individu autis mempunyai gangguan perkembangan dalam motorik
kasarnya. Fisioterapi dan terapi integrasi sensoris akan sangat banyak
menolong untuk menguatkan otot-ototnya dan memperbaiki keseimbangan
tubuhnya (AH Yusuf, dkk., 2015).
6. Terapi sosial
Kekurangan yang paling mendasar bagi individu autis adalah dalam
bidang komunikasi dan interaksi. Banyak anak-anak ini membutuhkan
pertolongan dalam keterampilan berkomunikasi dua arah dan main
bersama di tempat bermain. Seorang terapis sosial membantu dengan
memberikan fasilitas pada mereka untuk bergaul dengan teman-teman
sebaya dan mengajari cara-caranya (AH Yusuf, dkk., 2015).

7. Terapi bermain

11
Meskipun terdengarnya aneh, seorang anak autistik membutuhkan
pertolongan dalam belajar bermain. Bermain dengan teman sebaya
berguna untuk belajar bicara, komunikasi, dan interaksi sosial. Seorang
terapis bermain bisa membantu anak dalam hal ini dengan teknik-teknik
tertentu (AH Yusuf, dkk., 2015)
8. Terapi perkembangan
Floortime, Son-rise, dan Relationship Developmental Intervention (RDI)
dianggap sebagai terapi perkembangan. Artinya anak dipelajari minatnya,
kekuatannya, dan tingkat perkembangannya, kemudian ditingkatkan
kemampuan sosial, emosional, dan intelektualnya(AH Yusuf, dkk., 2015)
9. Terapi visual
Individu dengan autisme lebih mudah belajar dengan melihat (visual
learners atau visual thinkers). Hal ini yang kemudian dipakai untuk
mengembangkan metode belajar komunikasi melalui gambar-gambar,
misalnya dengan metode Picture Exchange Communication System
(PECS). Beberapa video games bisa juga dipakai untuk mengembangkan
keterampilan komunikasi (AH Yusuf, dkk., 2015)
10. Pendidikan khusus
Anak autisme mudah terganggu perhatiannya, sehingga pada pendidikan
khusus satu guru menghadapi satu anak dalam ruangan yang tidak luas dan
tidak ada gambar-gambar di dinding atau benda-benda yang tidak perlu,
yang dapat mengalihkan perhatian anak. Setelah ada perkembangan, maka
mulai dilibatkan dalam lingkungan kelompok kecil, kemudian baru
kelompok yang lebih besar. Bila telah mampu bergaul dan berkomunikasi,
maka mulai dimasukkan pendidikan biasa di TK dan SD untuk anak
normal (AH Yusuf, dkk., 2015).
11. Terapi alternatif
Terapi yang digolongkan terapi altenatif adalah semua terapi baru yang
masih berlanjut dengan penelitian. Salah satunya adalah terapi
detoksifikasi. Terapi ini menggunakan nutrisi dan toksikologi. Terapi ini
bertujuan untuk menghilangkan atau menurunkan kadar bahan-bahan
beracun yang lebih tinggi dalam tubuh anak autisme dibanding dengan

12
anak normal, agar tidak mengancam perkembangan otak. Kandungan yang
dikeluarkan terutama bahan beracun merkuri atau air raksa dan timah yang
memengaruhi sistem kerja otak. Terapi ini meliputi mandi sauna,
pemijatan, dan shower, yang diikuti olahraga, konsumsi vitamin dosis
tinggi, serta air putih minimal dua liter sehari. Tujuannya untuk
mengeluarkan racun yang menumpuk dalam tubuh (AH Yusuf, dkk.,
2015).
Selain terapi yang dijelaskan diatas, terdapat pula penatalaksanaan yang
dinamakan psikoedkuasi keluarga. Menurut Ellya Qolina (2017) dalam
penelitiannya, proses pelaksanaan psikoedukasi keluarga memberikan
kesempatan kepada keluarga untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang
berkaitan dalam merawat anak dengan autis yang memerlukan dukungan
internal (keluarga maupun eksternal (lingkungan) sehingga keluarga dapat
beradapasi dengan kondisi anggota keluarga berkebutuhan khusus, seperti
yang diuraikan dalam teori model adaptasi Roy. Hasil penelitian tingkat
ansietas keluarga dengan anak autis sebelum dan sesudah pemberian terapi
psikoedukasi. menunjukan dapat menurunkan tingkat ansietas secara
bermakna pada keluarga yang mempunyai anak dengan autis dari rata-rata 15
dengan kategori ansietas sedang menjadi 9 dengan kategori ansietas ringan.
Peneliti berpendapat bahwa kondisi anak dengan autis berdampak terhadap
kondisi kecemasan keluarga keluarga seperti dilaporkan Hines et al. (2012)
dan mampu meningkatkan kemampuan keluarga dalam mengatasi ansietas,
bahwa orang tua/pengasuh melaporkan adanya stress dan kecemasan terkait
dengan merawat anak dengan Autis.

G. Diagnosis Keperawatan Yang Timbul


1. RPK berhubungan dengan gangguan neurologis.
2. Isolasi sosial berhubungan dengan gangguan neurologis.
3. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan stimulasi sensori yang
kurang, menarik diri.
4. Gangguan identitas diri berhubungan dengan stimulasi sensori yang
kurang (AH Yusuf, dkk., 2015).

13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Anak berkebutuhan khusus adalah anak-anak yang memiliki keunikan
tersendiri dalam jenis kebutuhan dan karakteristikinya, yang membedakan
mereka dari anak-anak normal pada umumnya (KPPPA, 2016). Menurut
klasifikasi dan jenis kelainan, anak berkebutuhan dikelompokkan ke dalam
kelainan fisik, kelainan mental, dan kelainan karakteristik sosial.
Autisme berasal dari kata auto yang berarti sendiri. Penyandang autisme
seakan-akan hidup dalam dunianya sendiri. Autis didefinisikan sebagai
keadaaan introversi mental dengan perhatian yang hanya tertuju pada ego
sendiri. Anak yang mengalami gangguan ini akan terlihat lebih emosional,
serta ditandai dengan gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif,
bahasa, perilaku, komunikasi, dan interaksi sosial (Aulia Fadhli, 2010).

14
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Nandiyah. 2013. Mengenal Anak Berkebutuhan Khusus. Jurnal


Magistra No 25:1-6. Klaten (ID): Psikologi Fakultas Psikologi
UNWIDHA.

Fadhli, Aulia. 2010. Buku Pintar Kesehatan Anak. Yogyakarta: Pustaka Anggrek.

KPPPA. 2016. Profil anak berkebutuhan khusus di provinsi Kalimantan timur


2016. Kalimantan Timur: Kerja Sama KPPPA Kalimantan Timur.

Nasir, Abd., Rindayanti, dan Mey Susilowati. 2018. Hubungan Pengetahuan


Dengan Tingkat Kecemasan Ibu Dalam Mendampingi Anak Berkebutuhan
Khusus. Jurnal Of Ners Community 09(02): 139-146. Surabaya (ID):
Universitas Airlangga.

Qolina, Ellya, dkk. 2017. Pengaruh Psikoedukasi Keluarga Terhadap Ansietas Dan
Depresi Keluarga Yang Mempunyai Anak Dengan Autis Di Sekolah Khusus
Autis Harapan Utama Ananda Depok. Jurnal JKFT Vol 2:90-97. Depok (ID):
Ilmu Keperawatan Peminatan Keperawatan Jiwa Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia

Yusuf, Ah., dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta:
Salemba Medika.

15

Anda mungkin juga menyukai