Anda di halaman 1dari 15

KOPING RELIGIUS PADA ORANG TUA ANAK

BERKEBUTUHAN KHUSUS

Malitsa Giovanna Tahitu


Institut Agama Kristen Negeri Ambon

Abstract

This research was conducted to find out how parents deal with the phenomenon of
having a child with special needs, their difficulties in accepting each process, and
the support mechanisms used to deal with this situation. The phenomenological
research design used with 6 parents. The data obtained were phenomenologically
analyzed with the support of MAXQDA 11. Three aspects are discussed in this
study, namely difficulties in the acceptance process, coping strategies, and
religious coping. The aspect of self-acceptance difficulties discusses feelings of
shock, fear of losing children, disappointment, self-blame, loneliness, lack of
husband's support, the impact of a negative environment, concern for the future of
children, and hopelessness. Aspects of coping strategies discuss family support
and concern for the surrounding environment. Meanwhile, religious coping
aspects discuss accepting what is given by God, destiny, fear of God, blessings
from God, believing in God by surrendering, being grateful, praying.

Keywords : religious coping, parents of children with special needs

PENDAHULUAN
Didiagnosis memiliki anak berkebutuhan khusus adalah sebuah pengalaman
hidup yang traumatis bagi setiap keluarga. Banyak keluarga ingin memiliki dan
membesarkan anak yang terlahir normal serta memiliki harapan untuk masa depan
anak-anak mereka. Sebaliknya, keluarga dengan anak berkebutuhan khusus
mengalami perubahan yang dramatis baik secara emosi, sosial, ekonomi dan
harapan untuk masa depan anak-anak mereka.1 Saat keluarga mengetahui bahwa

1
Tina O’Connell, Maeve O’Halloran, and Owen Doody, “Raising a Child with Disability
and Dealing with Life Events: A Mother’s Journey,” Journal of Intellectual Disabilities 17, no. 4
(2013).
KOPING RELIGIUS PADA ORANG TUA ANAK 2022
BERKEBUTUHAN KHUSUS

anak mereka berkebutuhan khusus, beberapa reaksi emosional sering muncul.


Sebagian besar keluarga mengalami syok disertai perasaan yang berhubungan
dengan penyangkalan, penderitaan, kesedihan, dan depresi setelah harus
menghadapi situasi yang mengejutkan, karena kenyataan yang dihadapi berbeda
dari harapan mereka sebelumnya. Orang tua dengan anak berkebutuhan sering
menyangkal dengan keadaan yang dihadapi. Namun, setelah mengetahui bahwa
tidak ada yang dapat berubah maka seiring berjalannya waktu mereka menjadi
marah, merasa bersalah, dan malu. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa
ibu dengan anak berkebutuhan khusus memiliki tingkat depresi, kecemasan, dan
stres yang tinggi dari pada ibu yang memiliki anak normal.2 Herken dkk., dalam
penelitiannya juga menyatakan orang tua dengan anak Down sindrom memiliki
tingkat depresi yang tinggi dibandingkan dengan orang tua yang memiliki anak
sehat. Temuan lain juga, beberapa orang tua dengan anak cacat mental mengalami
kecemasan, kekhawatiran, kelelahan, serta menyalahkan orang lain dan bertanya-
tanya apa yang akan terjadi pada anak-anak mereka ketika mereka mati.3 Selain
itu menurut dari Wenar dan Kerig (dalam Wijayanti) ayah dari anak berkebutuhan
khusus ditemukan cenderung kurang merawat anak mereka dibandingkan ibu
sehingga terjadi perceraian dalam keluarga.4

Orang tua anak berkebutuhan khusus mengungkapkan keprihatinan mereka


atas kurangnya pemahaman masyarakat terhadap anak berkebutuhan khusus.
Orang tua anak berkebutuhan khusus merasa sendirian dalam masyarakat, kualitas
hidup dan kondisi kesehatan mereka menjadi buruk. Seperti yang disebutkan di
atas, ibu-ibu adalah orang yang umumnya bertanggung jawab atas perawatan anak
mereka serta tidak menerima dukungan yang memadai dari pasangan mereka.
Dalam sebuah studi, ibu dengan anak berkebutuhan khusus, ditemukan sering

2
Nura Eky Vikawati, Anggari Linda Destiana, and Hesty Wahyuningsih, “Tingkat
Depresi Keluarga Dengan Anak Berkebutuhan Khusus (Abk) Di Sekolah Luar Biasa (SLB)
Kabupaten Kendal,” YARSI Medical Journal 26, no. 3 (2019).
3
S. Herken, H., Turan, M., Şenol, Ş., & Karaca, “Coping Strategies and Depression
Levels of Mothers and Fathers of down’s Syndrome Children,” Çocuk ve Gençlik Ruh Sağlığı
Dergisi 7 (2000): 143–52,
4
Dian Wijayanti, “Subjective Well-Being Dan Penerimaan Diri Ibu Yang Memiliki Anak
Down Syndrome,” Psikoborneo 3, no. 2 (2015): 224–38.
TANGKOLEH PUTAI VOL 19 NO.2 JULI - DESEMBER 2022 95
KOPING RELIGIUS PADA ORANG TUA ANAK 2022
BERKEBUTUHAN KHUSUS

merasa ditinggalkan, kesepian, merasa kecewa dan terisolasi dari kehidupan


sosial.5 Meskipun itu adalah fakta yang dialami orang tua anak berkebutuhan
khusus dalam menghadapi kesulitan merawat anak-anak mereka, prosesnya akan
menjadi lebih sederhana ketika strategi koping digunakan oleh mereka. Muller
dan Spitz mengatakan strategi koping merupakan sebuah upaya kognitif dan
perilaku untuk mengatasi situasi yang membuat stres.6 Folkman dan Lazarus
mengemukakan bahwa ada dua jenis tanggapan strategi koping yaitu memecahkan
masalah dan mengatur reaksi emosi terhadap stress.7 Endler dan Parker juga
mengemukakan tiga dimensi coping yaitu selingan (distraction), pemecahan
masalah (problem solving), dan penghiburan diri (self consolation).8

Koping dalam pengelolaan stres salah satunya yaitu koping yang bersifat
religius. Koping religius meliputi menggunakan kognitif atau strategi perilaku
yang didasarkan pada kepercayaan dan praktik-praktik religi seperti berdoa untuk
mencari ketenangan atau kekuatan dari Tuhan. Koping religius adalah cara – cara
memahami dan merespon peristiwa negatif dalam kehidupan dengan mengaitkan
pada sesuatu yang suci/kepercayaan keagamaan. Agama mempunyai peran
penting dalam mengelola stres, agama dapat memberikan individu
pengarahan/bimbingan, dukungan, dan harapan seperti halnya pada dukungan
emosi.9 Menurut sebuah penelitian yang dilakukan oleh Kara10 pada keluarga
dengan anak cacat mental, 73,17% menganggap memiliki anak cacat sebagai
kehendak Tuhan, 87,7% berdoa kepada Tuhan untuk anak-anak mereka, 96,4%
menyarankan berdoa berpengaruh positif terhadap keadaan psikologis mereka,

5
Herken, H., Turan, M., Şenol, Ş., & Karaca, “Coping Strategies and Depression Levels
of Mothers and Fathers of down’s Syndrome Children.”
6
Spitz E Muller L, “Multidimensional Assessment of Coping: Validation of the Brief
COPE among French Population,” L’encéphale 517–518 (2002).
7
Susan Folkman and Richard S. Lazarus, “An Analysis of Coping in a Middle-Aged
Community Sample,” Journal of Health and Social Behavior 21 (1980): 219–39.
8
James D A Parker, “Interactionism Revisited : Reflections on the Continuing Crisis in
the Personality Area,” no. July (2020).
9
Muhana Sofiati Utami, “Religiusitas , Koping Religius , Dan kesejahteraan subjektif”
39, no. 1 (2012): 46–66.
10
Elif Kara, “The Parents Having Mentally Retarded Children and Their Assesment of
Their Children’s Situation in Terms of Religion,” Ondokuz Mayıs Üniversitesi İlahiyat Fakültesi
Dergisi 26(26-27), (2008).
TANGKOLEH PUTAI VOL 19 NO.2 JULI - DESEMBER 2022 96
KOPING RELIGIUS PADA ORANG TUA ANAK 2022
BERKEBUTUHAN KHUSUS

59,6% orang tua mengira mereka ditakdirkan untuk memiliki anak cacat, 47,4%
menganggap anak mereka mengalami cacat karena karena pernah melakukan
kesalahan di masa lalu, 66,7% menunjukkan kebertahananan orang tua dalam
merawat anak-anak mereka, 89,5% berpikir Tuhan tidak adil untuk mereka,
96,54% berpikir Tuhan tidak mencintai mereka, dan 94,7% berdoa kepada Tuhan
untuk meminta bantuan saat menghadapi kesulitan dalam mengasuh anak mereka.

Orang tua anak berkebutuhan khusus terus-menerus berusaha mencari


makna dalam hidup mereka. Pencarian makna hidup ini merupakan alasan agar
mereka berhasil mempertahankan hidup dan mencari dukungan ketika
menghadapi situasi traumatis atau ketika mereka gagal menemukan solusi untuk
masalah mereka. Mendekatkan diri kepada Tuhan dan menempuh jalan agama
adalah cara salah satu cara yang dilakukan oleh orang tua anak berkebutuhan
khusus. Beberapa orang tua mengatakan Tuhan memilih mereka karena Dia tahu
mereka bisa mengatasinya, sementara yang lain mengatakan Tuhan hanya
memberikan anak-anak yang sukses dan sehat kepada orang-orang yang Dia
cintai. Sebuah studi yang dilakukan oleh Gören juga membahas bagaimana orang
tua dengan anak-anak cacat secara spiritual memahami situasi mereka. Di dalam
penelitiannya, orang tua ditemukan menganggap anak-anak cacat yang mereka
miliki merupakan titipan dari Tuhan untuk tetap dilindungi, merasa anak-anak
mereka membawa berkat bagi mereka, keberuntungan untuk hidup mereka, dan
memberikan kedamaian bagi keluarga mereka.11 Menurut Pargament, koping
religius menunjukkan sejauh mana agama digunakan sebagai sarana untuk
mengatasi masalah-masalah kehidupan rohani dan jasmani individu. Dengan kata
lain individu memiliki kesehatan fisik dan spiritual yang baik bila mendekatkan
diri dengan Tuhan dalam menghadapi sebuah masalah.12 Penelitian ini terbatas
pada orang tua anak berkebutuhan khusus dengan anak-anak yang didiagnosis
mengalami tunagrahita. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi

11
Ayşe Burcu Gören, “Assessing the Needs and Sources of Support of Mothers with
down Syndrome Child,” İnsan ve Toplum Bilimleri Araştırmaları Dergisi 4(3) (2015): 651–73.
12
Kenneth I. Pargament, The Psychology of Religion and Coping: Theory, Research,
Practice (New York London: The Guildfor Press, 1997).
TANGKOLEH PUTAI VOL 19 NO.2 JULI - DESEMBER 2022 97
KOPING RELIGIUS PADA ORANG TUA ANAK 2022
BERKEBUTUHAN KHUSUS

semacam mekanisme dukungan berbasis spiritual yang diterapkan oleh orang tua
anak berkebutuhan khusus dalam proses penerimaan diri.

METODE PENELITIAN
Metode dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan
fenomenologis. Metode ini digunakan untuk menunjukkan strategi koping religius
yang digunakan oleh orang tua anak berkebutuhan khusus, bagaimana mereka
memberi makna pada strategi tersebut dan bagaimana koping spiritual mereka
dalam mempengaruhi proses penerimaan anak berkebutuhan khusus. Menurut
Creswell (dalam Sugiyono) Desain metode fenomenologis adalah desain
penelitian kualitatif yang membantu seseorang memahami peristiwa, pengalaman,
dan kasus yang tidak dapat dipahami sepenuhnya.13 Selanjutnya Creswell juga
menggambarkan penelitian fenomenologis sebagai "makna umum" pengalaman
segelintir orang tentang suatu fenomena. Tujuan utama dari penelitian
fenomenologis adalah untuk memberikan gambaran umum tentang pengalaman
pribadi dan makna dari suatu fenomena. Oleh karena itu, fenomenologis
digunakan dalam penelitian sebagai pendekatan yang dianggap baik untuk
memahami bagaimana orang tua mengalami fenomena memiliki anak
berkebutuhan khusus dan bagaimana mekanisme kopingnya.14

Sumber data dalam penelitian fenomenologi adalah individu atau kelompok


yang telah mengalami fenomena secara mendalam dan dapat mengekspresikan
diri ketika ditanya tentang hal itu. Metode pengambilan sampel berdasarkan
kriteria, sesuai penelitian fenomenologis. Kriteria dapat dihasilkan oleh peneliti
atau daftar kriteria yang telah disiapkan sebelumnya.15 Kriteria sumber data dalam
penelitian ini adalah orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus yang
datanya di ambil dari SLB Negeri Haruru Kabupaten Maluku Tengah. Orang tua

13
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif Dan R&D
(Bandung: Alfabeta, 2014).
14
John W. Creswell, Qualitative Inquiry and Research Design; Choosing among Five
Approacheas (New York: Sage Publications, 2013).
15
Michael Quinn Patton, Qualitative Research & Evaluation Methods Integrating Theory
and Practice, 4th ed. (New York: Sage Publications, 2014).
TANGKOLEH PUTAI VOL 19 NO.2 JULI - DESEMBER 2022 98
KOPING RELIGIUS PADA ORANG TUA ANAK 2022
BERKEBUTUHAN KHUSUS

yang dipakai sebagai sumber data sebanyak 5 orang tua, yang memiliki setidaknya
satu anak berkebutuhan khusus dengan didiagnosis tergolong anak tunagrahita.
Data demografi subjek dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1

Data Demografi

Anak ke
Jumlah Usia
Kode Orang tua Berapa yang
anak Pernikahan
tergolog ABK
S1 Ibu 5 2 10
S2 Ibu 3 3 6
S3 Ibu 2 1 3
S4 Ibu 4 3 12
S5 Ibu 5 5 7

Data penelitian diperoleh dengan menggunakan teknik wawancara. Tujuan


dari teknik wawancara adalah untuk memahami ide-ide melalui perspektif
individu dengan cara memasuki dunia batin mereka.16 Dalam penelitian ini,
metode wawancara semi terstruktur digunakan untuk dapat mengetahui
bagaimana orang tua menerima anak berkebutuhan khusus dan strategi koping
yang mereka gunakan dalam mengatasi kesulitan yang dihadapi ketika memiliki
anak berkebutuhan khusus. Bentuk wawancara terstruktur, yang dikembangkan
dalam konteks penelitian ini, terdiri dari dua bagian. Bagian pertama berisi
pertanyaan tentang informasi subjek (usia saat ini, sudah berapa lama mereka
menikah, jumlah anak, jumlah anak berkebutuhan khusus, anak mana yang
berkebutuhan khusus, dll). Bagian kedua berisi pertanyaan untuk membantu
menganalisis kesulitan yang dialami orang tua ketika mereka mengetahui bahwa
mereka memiliki anak berkebutuhan khusus, orang-orang memberikan dukungan
kepada orang tua anak berkebutuhan khusus ketika menghadapi kesulitan dan
bagaimana mereka mengatasi masalah itu.

16
Patton.
TANGKOLEH PUTAI VOL 19 NO.2 JULI - DESEMBER 2022 99
KOPING RELIGIUS PADA ORANG TUA ANAK 2022
BERKEBUTUHAN KHUSUS

PEMBAHASAN DAN ANALISA


KESULITAN DALAM PROSES PENERIMAAN

Hasil penelitian ini memberikan beberapa respon dari orang tua anak
berkebutuhan khusus. Awal mengetahui anak-anak mereka berkebutuhan khusus
banyak perasaan yang dimunculkan oleh orang tua. Subjek 3 (S3)
menggambarkan perasaan, “saya merasa tidak enak, sangat kecewa dan menangis
berhari-hari.” Subjek 1 (S1) menjelaskan: “ketika saya diberi tahu bahwa anak
saya mengalami keterlambatan perkembangan, saya tidak dapat menerimanya
secara baik.” Subjek 5 (S5) menyatakan, “Saya tidak dapat membayangkan bahwa
anak saya akan terlahir cacat. Sejujurnya, saya merasa putus asa karena saya
mendambakan seorang anak yang lahir secara normal. Artinya impian saya selama
ini tidak menjadi kenyataan” Dari waktu ke waktu, orang tua anak berkebutuhan
khusus "menyalahkan diri sendiri" atas kecacatan anak mereka. Misalnya Subjek
4 (S4) menyatakan, “Saya mencari seseorang untuk disalahkan; Saya
menyalahkan diri saya sendiri. Saya bertanya apa yang telah saya lakukan
sehingga pantas mendapatkan ini? Maksud saya, kenapa?.” Subjek 5 (S5)
mengungkapkan pengalamannya sebagai orang tua anak berkebutuhan khusus
“Saya tidak dapat meneceritakan apa yang saya alami kepada orang lain. Saya
sangat menderita; Saya tertekan dan merasa sendirian.” Subjek 1 (S1)
mengungkapkan “kurangnya dukungan suami” dengan mengatakan, “Hanya
suami saya yang ada di samping saya, tapi saya tidak tahu apakah dia mendukung
saya atau tidak. Saya merasa sendirian.” Subjek 2 (S2) menggambarkan
“pengaruh negatif dari lingkungan” dengan mengatakan, “Ada orang yang
mengolok-olok anak saya, dengan berkata 'Mengapa tidak berbicara?', saya
merasa kesal tetapi saya tidak bisa berkata apa-apa. Beberapa keluarga
menggambarkan kecemasan mereka dengan menaikan doa-doa, “Semoga mereka
tidak sendirian ketika saya pergi,” dan “Saya berdoa kepada Tuhan lebih baik saya
mati terlebih dahulu dari pada anak saya.”

TANGKOLEH PUTAI VOL 19 NO.2 JULI - DESEMBER 2022 100


KOPING RELIGIUS PADA ORANG TUA ANAK 2022
BERKEBUTUHAN KHUSUS

STRATEGI KOPING

Seperti yang telah dipaparkan diatas bahwa keluarga menghadapi begitu


banyak kesulitan dalam proses memiliki anak berkebutuhan khusus dimulai dari
menerima fenomena tersebut, kesulitan merawat dan mencari cara untuk
mengatasi kesulitan-kesulitan ini. Salah satu metode koping yang dapat dipakai
yaitu dukungan dari keluarga dan lingkungan di sekitar. Sebagai contoh Subjek 1
(S1) menggambarkan dukungan yang diberikan oleh pasangannya dengan berkata,
“Faktor terbesar yang membuat saya menerima anak saya adalah ketika pasangan
saya mendukung saya. Kami adalah keluarga yang sangat mendukung satu dengan
yang lain, dan mungkin itu sebabnya kami dapat mengatasi masalah kami dengan
mudah.” Subjek 5 (S5) menunjukkan dukungan yang diberikan oleh ibunya,
berkata, “ibu saya selalu mendukung saya ketika saya meresa sedih.” Mengenai
hal ini, Subjek 3 (S3) mengatakan, “kemanapun saya pergi, Puji Tuhan, tidak ada
yang membedakan anak saya dengan anak-anak mereka. Mereka memperlakukan
anak saya selayaknya anak-anak mereka.” Subjek 4 (S4) menyatakan, “semua
tetangga dan kerabat saya juga mendukung saya. Mereka selalu memperlakukan
saya dan keluarga saya dengan baik. Semoga Tuhan memberkati mereka semua.”
Seperti yang tersirat dalam kutipan di atas, dukungan dari keluarga dan
lingkungan ditemukan memiliki fungsi penting dalam kehidupan orang tua anak
berkebutuhan khusus dalam hal ini dapat membantu mereka untuk tidak merasa
sendirian dan dapat mengatasi kesulitan dalam melalui proses sebagai orang tua
anak berkebutuhan khusus. Beberapa subjek dapat merasionalisasi hidup mereka
dengan menerima kenyataan memiliki anak berkebutuhan khusus. Mengenai hal
ini, subjek 1 (S1) berkata, “Saya pikir itu mungkin saja terjadi pada semua orang
tua. Inilah hidup, apa pun bisa terjadi pada siapa pun dan kapan pun. Kita hanya
perlu belajar bagaimana menghadapinya.” Terkait erat dengan kesejahteraan
psikologis, harapan adalah salah satu konsep yang paling banyak dibicarakan
dalam wawancara dengan subjek. Tentang konsep ini, subjek 6 (S6) berkata “Saya
masih percaya anak saya akan sembuh. Mungkin ada orang lain yang dapat

TANGKOLEH PUTAI VOL 19 NO.2 JULI - DESEMBER 2022 101


KOPING RELIGIUS PADA ORANG TUA ANAK 2022
BERKEBUTUHAN KHUSUS

membantu agar anak saya akan sembuh. Saya berharap Tuhan akan memberikan
sesuatu yang baik terjadi dalam hidup saya.

KOPING SPIRITUAL

Untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi saat memiliki anak berkebutuhan


khusus, orang tua anak berkebutuhan khusus menggunakan strategi koping
spiritual. Konsep coping religious yang digunakan orang tua anak berkebutuhan
khusus adalah “menerima apa yang berasal dari Tuhan” dan “takdir”, yang
tertuang dalam konsep penerimaan orang tua anak berkebutuhan khusus. Tentang
menerima apa yang berasal dari Tuhan, subjek 1 (S1) berkata, “Kami adalah
orang-orang yang beriman, dan karena keyakinan kami, kami menerima apa yang
telah Tuhan berikan kepada kami. Saya adalah orang yang mampu atau kuat,
maka Tuhan menganggap saya pantas untuk merawat anak berkebutuhan khusus.”
Subjek 4 (S4) menyatakan, “Saya berkata pada diri sendiri, 'Ya Tuhan, jangan
ambil anak saya dari saya. Saya akan menjaga dan merawatnya walaupun dia
memiliki kekurangan.’ Saya berdoa seperti itu." Subjek 2 (S2) mengatakan, “Saya
tidak mempersalahkan siapapun atas kejadian yang dialami oleh saya. Saya
mengaku bahwa semuanya berasal dari Tuhan. Itu adalah takdir saya. Tuhan
memberikan anak saya ke dalam takdir saya.” Kata-kata ini menunjukkan bahwa
mereka melihat anak-anak berkebutuhan khusus sebagai sebuah takdir dari Tuhan
untuk mereka dan menerima apa yang telah Tuhan berikan kepada mereka. Orang
tua anak berkebutuhan khusus seringkali “memberikan makna spiritual” pada
fenomena yang terjadi dalam hidup mereka. Orang tua anak berkebutuhan khusus
sering melihat fenomena ini sebagai ujian atau berkat dari Tuhan kepada mereka.
Subjek yang melihat ini sebagai ujian, subjek 4 (S4) mengatakan, “Saya bertanya,
kenapa Tuhan memberikan anak ini kepada saya. Saya akan menerimanya. Tuhan
memberikan anak ini karena saya bisa memikul beban ini.” Subjek 1 (S1)
menyatakan, “memiliki anak berkebutuhan khusus adalah ujian bagi saya. Terima
kasih Tuhan telah memberikan anak ini untuk saya. Tuhan mengganggap saya
pantas untuk merawat dan membesarkannya.” Melihat anak berkebutuhan khusus
sebagai titipan dari Tuhan merupakan makna spiritual yang kedua bagi orang tua.
TANGKOLEH PUTAI VOL 19 NO.2 JULI - DESEMBER 2022 102
KOPING RELIGIUS PADA ORANG TUA ANAK 2022
BERKEBUTUHAN KHUSUS

Subjek 5 (S5) berkata “Saya merasa anak saya berasal dari Tuhan, anak saya
adalah sebuah titipan dari Tuhan. Saya akan menjaga anak saya dan memberikan
yang terbaik baginya.” Subjek 3 (S3) berkata, “Jadi Tuhan memberi saya anak ini,
dan saya bisa menunjukkannya kepada semua orang dengan bangga. Subjek 2
(S2) mengungkapkan kedamaian batinnya dengan mengatakan, “Selama Tuhan
memberi saya kekuatan saya akan menjaga berkat yang Tuhan titipkan kepada
saya.”

Wawancara mendalam dilakukan terhadap lima orang ibu yang memiliki


anak berkebutuhan khusus yang bertujuan untuk menganalisis kesulitan yang
dihadapi selama proses penerimaan memiliki anak berkebutuhan khusus dan
dukungan yang diperoleh. Data analisis yang diperoleh dalam penelitian
fenomenologis dibagi menjadi tiga kategori: kesulitan proses, strategi koping, dan
koping spiritual. Kesulitan proses penerimaan dan strategi koping dibahas untuk
mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang penanganan secara spiritual
dari orang tua anak berkebutuhan khusus. Kesulitan proses penerimaan meliputi
rasa syok, rasa takut kehilangan, kecewa, menyalahkan diri sendiri, kesepian, dan
keputusasaan. Strategi koping meliputi dukungan keluarga dan dukungan
lingkungan sekitar. Dalam penelitian ini ditemukan orang tua dari anak
berkebutuhan khusus yang menggunakan koping religius dapat mengatasi
kesulitan yang dihadapi selama proses pengasuhan anak-anak mereka. Agama
dinyatakan sebagai hal yang penting dalam mengatasi peristiwa kehidupan yang
penuh tekanan.17 Bererapa penelitian tentang koping religius telah memberikan
hasil untuk menurunkan depresi. Selain itu, menggunakan sumber-sumber agama

17
Bei-hung Chang, Anne E Noonan, and Sharon L Tennstedt, “The Role of Religion /
Spirituality in Coping With Caregiving for Disabled Elders” 38, no. 4 (1998): 463–70.
TANGKOLEH PUTAI VOL 19 NO.2 JULI - DESEMBER 2022 103
KOPING RELIGIUS PADA ORANG TUA ANAK 2022
BERKEBUTUHAN KHUSUS

merupakan hal penting yang dapat dilakukan untuk meningkatkan spiritual


keluarga anak berkebutuhan khusus.18

Koping spiritual yang menjadi pusat penelitian ini, telah dianalisis dalam
tiga bagian besar. Pertama, penerimaan diri yang menjelaskan tentang takdir dan
menerima pemberian Tuhan. Kedua, makna spiritual menjelaskan tentang ujian
dan berkat dari Tuhan. Ketiga, kepercayaan pada Tuhan menjelaskan tentang
berpasrah kepada Tuhan, bersyukur, dan berdoa. Semua orang tua yang
diwawancarai menyatakan bahwa mereka telah menerima kondisi anak-anak
mereka. Keyakinan mereka bahwa semua ini diberikan oleh Tuhan dan mesti
diterima. Mereka memahami semua kesulitan yang mereka hadapi merupakan
sebuah bagian dari nasib mereka yang mesti mereka terima. Sejalan dengan
penelitian, Herken dkk.,19 dan Kara20 menyatakan bahwa memiliki anak-anak
yang terlahir cacat adalah sebuah takdir bagi mereka. Kara juga mendefinisikan
bahwa orang tua dari anak-anak cacat tidak menganggap Tuhan tidak adil
terhadap mereka tetapi Tuhan mencintai mereka.21 Penelitian ini juga menemukan
bahwa proses penerimaan diri orang tua dapat terjadi dengan menganggap anak
berkebutuhan khusus sebagai titipan dari Tuhan agar dapat mengatasi kesulitan
pengasuhan yang mereka hadapi. Orang tua juga menafsirkan proses merawat
dann melindungi anak berkebutuhan khusus merupakan sebuah amanat dari Tuhan
untuk menghadapi kesulitan dalam penerimaan atas kondisi anak dan
menunjukkan motivasi yang tinggi dalam proses pengasuhan dan mendidik anak.
Demikian pula, penelitian Gören menemukan bahwa orang tua dari anak-anak
cacat menganggap bahwa anak-anak mereka adalah titipan dari Tuhan.22 Dalam
penelitian ini juga melihat salah konsep penting koping religious yaitu takut akan

18
Bret A. Glass & Richard E. Oliver Brick Johnstone, “Religion and Disability: Clinical,
Research and Training Considerations for Rehabilitation Professionals,” Disability and
Rehabilitation 29:15, 115 (2007).
19
Herken, H., Turan, M., Şenol, Ş., & Karaca, “Coping Strategies and Depression Levels
of Mothers and Fathers of down’s Syndrome Children.”
20
Elif Kara, “The Parents Having Mentally Retarded Children and Their Assesment of
Their Children’s Situation in Terms of Religion.”
21
Elif Kara.
22
Gören, “Assessing the Needs and Sources of Support of Mothers with down Syndrome
Child.”
TANGKOLEH PUTAI VOL 19 NO.2 JULI - DESEMBER 2022 104
KOPING RELIGIUS PADA ORANG TUA ANAK 2022
BERKEBUTUHAN KHUSUS

Tuhan. Takut Tuhan merupakan salah satu unsur penting yang mesti melekat pada
dir orang tua anak berkebutuhan khusus agar dapat menerima dan memberikan
perawatan secara baik kepada anak cacat. Setiap individu cenderung
menggunakan koping religious untuk mencari perlindungan pada Tuhan atau
otoritas yang kuat dalam kondisi tak berdaya dan putus asa. Individu yang takut
akan Tuhan tidak akan goyah sekalipun mengalami kondisi yang paling sulit
karena mereka berpikir peristiwa yang mereka alami semua datang dari Tuhan dan
hanya itu adalah sebuah ujian.23

Penelitian ini telah menemukan bahwa orang tua yang telah mengalami
berbagai kesulitan sejak pertama kali menghadapi situasi memiliki anak
berlebutuhan khusus mencari perlindungan kepada Tuhan melalui berdoa dan
menaikan pujian (yakni berpasrah kepada Tuhan) sehingga proses penerimaan diri
dapat diterima. Orang tua siapa menunjukkan ketergantungan ditemukan
mengalami kedamaian batin dan berkurangnya kecemasan masa depan karena
mereka melakukan yang terbaik. Pujian digunakan dalam arti menunjukkan rasa
terima kasih dan merasa puas dengan kebaikan dan berkat dari Tuhan. Pujian
berkaitan erat dengan kesadaran akan kondisi yang dialami, dengan pujian
memungkinkan individu untuk menjaga perasaanna supaya tetap senang dalam
kondisi sulit sekalipun. penelitian ini telah menemukan bahwa meskipun memiliki
anak berkebutuhan khusus, orang tua tidak berhenti menaikan pujian kepada
Tuhan.24 Doa merupakan salah satu strategi koping yang aktif.25 Individu mencari
perlindungan dalam kondisi hidup yang sulit atau dalam situasi tidak berdaya.
Dengan bantuan doa, orang tua mencari perlindungan kepada Tuhan untuk
meyampaikan keputusasaan, kekecewaan, dan kecemasan atas kondisi yang
dialami. Dalam penelitian Kara26, 96% orang tua penyandang disabilitas
menyatakan bahwa berdoa berdampak positif pada keadaan psikologis mereka;

23
Süleyman Altintas, “Depresyon İle Dinsel Başa Çikmak Mümkün Mü ?,” The Journal
of Academic Social Science Studies, 2015, 403–28.
24
Altintas.
25
Kenneth I.Pargament Curtis R.Brant, Religion and Coping, In H. G. K (San Diego:
Academic Press., 1998).
26
Elif Kara, “The Parents Having Mentally Retarded Children and Their Assesment of
Their Children’s Situation in Terms of Religion.”
TANGKOLEH PUTAI VOL 19 NO.2 JULI - DESEMBER 2022 105
KOPING RELIGIUS PADA ORANG TUA ANAK 2022
BERKEBUTUHAN KHUSUS

94,7% menyatakan bahwa mereka mencari bantuan dari Tuhan dengan berdoa
pada saat mengalami kesulitan. Konsep berdoa sering disebutkan secara berulang
selama melakukan wawancara dengan orang tua. Orang tua yang berbicara dengan
Tuhan melalui doa dapat mengurangi kecemasan, menumbuhkan harapan mereka,
dan mengembalikan kepercayaan mereka kepada Tuhan.

KESIMPULAN DAN SARAN


Subjek penelitian ini terdiri dari orang tua anak berkebutuhan khusus.
Namun, penelitian ini juga memungkinkan untuk menjadi bahan refleksi bagi
orang tua lainnya. Penelitian ini menggunakan pendekatan coping religious untuk
mengatasi kesulitan dalam proses perawatan anak berkebutuhan khusus. Beberapa
Coping religious yang digunakan orang tua adalah dengan mengubah cara
pandang mereka dari yang negative ke psotif dengan memaknai pemberian Tuhan
serta diaktualisasikan dengan perilaku yakni berdoa dan memuji Tuhan.
Berdasarkan kesimpulan diatas maka saran yang dapat diberikan untuk penelitian
selanjutnya yaitu untuk menggali fenomena orang tua anak berkebutuhan khusus
dapat menggunakan pendekatan konseling spiritual. Konseling spiritual
merupakan sebuah bidang terapi yang dapat membantu orang tua anak
berkebutuhan dalam menagatasi kesulitan yang dihadapi karena temuan dipangan
banyak peneliti yang mengunakan pendekatan psikologi agama untuk menggali
fenomena orang tua anka berkebutuhan khusus.

DAFTAR PUSTAKA

Altıntaş, S. (2015). it possible religious coping with depression?. The Journal of


Academic Social Science Studies, 36, 403–428

Ayten, A., Göcen, G., Sevinç, K., & Öztürk, E. E. (2012). The relations of
religious coping, gratitude and life satisfaction: A case study on patients,
patient relatives and hospital staff. Dinbilimleri Akademik Araştırma
Dergisi, 12(2), 45–79.

TANGKOLEH PUTAI VOL 19 NO.2 JULI - DESEMBER 2022 106


KOPING RELIGIUS PADA ORANG TUA ANAK 2022
BERKEBUTUHAN KHUSUS

Chang, B., Noonan, A. E., & Tennstedt, S. L. (1998). The Role of


religion/spirituality in coping with caregiving for disabled elders. The
Gerontologist, 38(4), 463–470.

Endler, N. S., & Parker, J. D. A. (1992). Interactionism revisited: Relections on


the continuing crisis in the personality area. European Journal of
Personality, 6, 177–198.

Folkman, S., & Lazarus, R. S. (1980). An Analysis of coping in a middle-aged


community sample, Journal of Health and Social Behavior, 21(3), 219–
239

Gören, A. B. (2015). Assessing the needs and sources of support of mothers with
down syndrome child]. İnsan ve Toplum Bilimleri Araştırmaları Dergisi,
4(3), 651–673.

Herken, H., Turan, M., Şenol, Ş., & Karaca, S. (2000). Coping strategies and
depression levels of mothers and fathers of down’s syndrome children.
Çocuk ve Gençlik Ruh Sağlığı Dergisi, 7, 143–152.

Johnstone, B., Glass, B. A., & Oliver, R. E. (2007). Religion and disability:
Clinical, research and training considerations for rehabilitation
professionals. Disability and Rehabilitation, 29(15), 1153–1163

Kara, E. (2008). The Parents having mentally retarded children and their
assesment of their children’s situation in terms of religion. Ondokuz Mayıs
Üniversitesi İlahiyat Fakültesi Dergisi, 26(26-27), 317–331.

Muller, L., & Spitz, E. (2002). Multidimensional assessment of coping: Validation


of the Brief COPE among French population. L’encéphale, 29(6), 507–
518.

O’Connell, T., O’Halloran, M., & Doody, O. (2013). Raising a child with
disability and dealing with life events: A mother’s journey. Journal of
Intellectual Disabilities, 17(4), 376–386.

Pargament, K. I. (2001). The psychology of religion and coping: Theory, research,


practice. New York, NY: Guilford Press.

Patton, M. Q. (2001). Qualitative research and evaluation methods (2nd ed.).


Thousand Oaks, CA: Sage

Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Kombinasi (Mixed


Method). Bandung: Alfabeta.

TANGKOLEH PUTAI VOL 19 NO.2 JULI - DESEMBER 2022 107


KOPING RELIGIUS PADA ORANG TUA ANAK 2022
BERKEBUTUHAN KHUSUS

Uğuz, Ş., Toros, F., İnanç, B. Y., & Çolakkadıoğlu, O. (2004). Assessment of
anxiety, depression and stress levels of mothers of handicapped children.
Klinik Psikiyatri, 7(1), 42–47.

Utami, Muhana Sofiati. 2012. Religiusitas, Koping Religius, dan Kesejahteraan


Subjektif. Jurnal Psikologi, 39(1): 46-66.

Vikawati, N. E., Destiana. A. L., Wahyuningsih, H. (2018). Tingkat depresi


keluarga dengan anak berkebutuhan khusus (ABK) di sekolah luar biasa
(SLB) Kabupaten Kendal. Jurnal Kedokteran Yarsi, 26(3), 152-162.

Wijayanti, Dian. (2015). Subjective well being dan penerimaan diri ibu yang
memiliki anak down syndrome. Journal Psikologi, 4(1), 120-130.

TANGKOLEH PUTAI VOL 19 NO.2 JULI - DESEMBER 2022 108

Anda mungkin juga menyukai