Anda di halaman 1dari 11

BAB V

PEMBAHASAN

A. Interprestasi Hasil Penelitian

Penelitian tentang pengalaman keluarga dalam merawat anak di SLB

Yayasan Amal Mulia Indonesia berhasil mengidentifikasi 6 tema. Tema-tema

tersebut adalah, perasaan keluarga, pandangan keluarga terhadap anak

retardasi mental, harapan masa depan keluarga dalam merawat anak retardasi

mental, hambatan keluarga dalam merawat anak retardasi mental, dukungan

yang dirasakan keluarga dan terakhir upaya yang telah dilakukan keluarga

dalam merawat anak retardasi mental. Berikut pembahasan dari masing-

masing tema:

1. Perasaan Keluarga

Perasaan yang dirasakan oleh keluarga dalam merawat anak

retardasi mental sebagai emosi negatif yaitu, rasa sedih, penyesalan dan

penolakan. Untuk kategori rasa sedih, tiga dari lima partisipan

mengatakan merasa sedih saat pertama kali mengetahui kalau anak

mereka berbeda dari anak lainnya. Menurut Nanda (2005-2006) adapun

faktor-faktor yang berhubungan dengan sedih salah satunya adalah cacat

(retardasi mental).

Kategori kedua yaitu kategori penyesalan. Menurut Zeelanberg

dan Pieter (2007) penyesalan adalah emosi kognitif yang ingin dihindari,

dipendam, disangkal, dan diatur oleh individu jika dialami. Hal ini terjadi

75
76

disebabkan oleh individu merasa bahwa situasinya akan menjadi lebih

baik jika individu membuat keputusan yang berbeda. Sesuai dengan teori

tersebut, partisipan kedua merasa menyesal atau menyalahkan diri sendiri

atas apa yang terjadi terhadap anaknya.

Kategori ketiga adalah kategori penolakan. Penolakan ini sering

dikaitkan dengan perasaan terkejut. Penolakan merupakan suatu sarana

yang wajar untuk mempertahankan diri secara psikologis. Gejala

penolakan ini pada umumnya berlangsung dalam waktu yang relatif

singkat. Keadaan tersebut dialami oleh beberapa partisipan. Partisipan

dua dan tiga sempat menolak keberadaan anaknya yang dengan retardasi

mental.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Diah Merdekawati

(2017) dengan judul “Hubungan Pengetahuan Keluarga Dan Tingkat

Retardasi Mental Dengan Kemampuan Keluarga Merawat”, secara

psikologis, tidak jarang orang tua yang menolak kehadiran anak retardasi

mental dikarenakan rasa malu dan bingung sehingga menjadikan orang

tua enggan berhubungan dengan masyarakatnya. Selain itu, ada pula

orang tua yang kehilangan kepercayaan akan mempunyai anak yang

normal, muncul perasaan bersalah, berdo’a telah melahirkan anak

berkelainan sehingga lahir praduga yang berlebihan seperti merasa ada

tidak beres tentang urusan keturunan, perasaan ini mendorong timbulnya

suatu perasaan depresi (Safrudin, 2015).


77

Menurut Psikolog Amerika William James, salah satu dari teori

paling awal dalam emosi dengan ringkas: “Kita merasa sedih karena kita

menangis, marah karena kita menyerang, takut mereka gemetar”.

Menurut peneliti dalam penelitian ini bahwa, respon emosional

partisipan terhadap keberadaan anak dengan retardasi mental didasari

bahwa memang tidak mudah menerima kenyataan memiliki anak dengan

retardasi mental. Pada awalnya keluarga tidak percaya atas apa yang

terjadi pada anggota keluraga yang mengalami kelainan, bahkan bersikap

menolak.

2. Pandangan keluarga terhadap anak retardasi mental

Penelitian ini mengidentifikasi pandangan keluarga selama

merawat anak dengan retardasi mental sebagai beban pikiran. Beberapa

partisipan mengatakan bahwa beban yang mereka alami adalah

kekhawatiran akan masa depan anaknya yang mengalami retardasi

mental dan rasa khawatir bagaimana kalau anak tersebut tidak bisa

menjadi mandiri serta membutuhkan kesabaran ekstra dalam merawat.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Hadi Kosasih dan Stefani

Virlia (2016) dalam penelitian yang berjudul “Gambaran Penerimaan

Orang Tua Dengan Anak Retardasi Mental Di Sekolah Luar Biasa (Slb)

C “Dg” Dan Slb C “Sj”, menunjukkan bahwa orang tua cenderung

melihat anak retardasi mental adalah anak yang penuh dengan

keterbatasan, seperti kurang mampu berkomunikasi, memiliki perilaku


78

yang tidak menyenangkan (seperti, buang air di celana, emosi yang

meledak-ledak). Dalam open-ended, juga disebutkan bahwa orang tua

masih melihat adanya reaksi negatif dari masyarakat terhadap anak

dengan retardasi mental di mana hal ini dapat mempengaruhi penerimaan

orang tua terhadap keterbatasan anak mereka.

Menurut WHO (2008), ada dua jenis pengelompokan beban

keluarga yaitu beban subyektif dan beban objektif. Beban subyektif

adalah beban yang berhubungan dengan reaksi psikologis antara keluarga

meliputi perasaan kehilangan, kesedihan, cemas dan malu dalam situasi

sosial, koping stress terhadap gangguan perilaku dan frustasi yang

disebabkan karena perubahan hubungan. Sedangkan beban obyektif

adalah beban yang berhubungan dengan masalah dan pengalaman

anggota keluarga meliputi gangguan hubungan antara anggota keluarga,

terbatasnya hubungan sosial dan aktifitas kerja, kesulitan finansial dan

dampak negatif terhadap kesehatan fisik anggota keluarga.

Menurut peneliti dalam penelitian ini, beban keluarga yang

dimaksud adalah beban pikiran. Beban pikiran yang dirasakan oleh

keluarga dalam penelitian ini dimaknai oleh partisipan sebagai suatu

kondisi atau akibat dari rasa sedih dan stress. Semakin banyak dan

semakin sering stress yang terjadi dalam hidup bisa membuat diri jadi

sangat tertekan, semakin banyak stress sudah pasti banyak beban pikiran

yang ada. Seorang anak dengan retardasi mental sangat besar

pengaruhnya dalam kehidupan keluarga. Keterbatasan kemampuannya


79

dapat menimbulkan permasalahan-permasalahan di dalam keluarga,

bahkan dapat menimbulkan perselisihan dalam keluarga, dan saling

menyalahkan. Dalam hatinya orang tua akan bertanya mengapa keadaan

ini harus terjadi pada saya dan anak saya, kesalahan apa yang saya

lakukan. Ini semua disebabkan karena keadaan anak ternyata tidak

seperti yang diharapkan oleh keluarga yaitu sehat, pandai dan cekatan.

3. Harapan masa depan keluarga dalam merawat anak retardasi

mental

Hasil penelitian ini menjabarkan beberapa harapan yang

dikemukakan oleh partisipan, diantaranya adalah harapan kepada anak,

dalam bahasa sehari-hari anak mandiri sering dikonotasikan dengan anak

yang mampu makan sendiri atau mandi sendiri. Sebaliknya, anak yang

tidak mandiri berarti anak yang segala aktivitasnya semua harus dilayani

oleh lingkungannya.

Harapan lain dari partisipan yaitu harapan kepada pemerintah

supaya diberikan bantuan berupa fasilitas kesehatan dan lapangan

pekerjaan. Partisipan satu dan tiga berharap bisa mendapatkan bantuan

berobat gratis dan mendapatkan penyuluhan tentang bagaimana

menghadapi anak retardasi mental sehingga memudahkan orang tua

dalam merawat anak retaldasi mental. Beberapa partisipan juga berharap

kepada pemerintah supaya kelak pemerintah bisa menyediakan lapangan

pekerjaan bagi anak-anak dengan retardasi mental.


80

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Miftakhul Jannah (2012)

dengan judul “Pengalaman Orang Tua Yang Mempunyai Anak Retardasi

Mental Di Kota Pekalongan”, partisipan berharapan terhadap

perkembangan anaknya adalah agar anaknya dapat mengontrol emosi,

mengetahui tentang pendidikan umum dan pendidikan agama juga

diungkapkan partisipan dalam penelitian. Dan keberhasilan anak

berkelainan dalam meniti tugas perkembangannya tidak lepas dari

bimbingan dan perhatian yang diberikan oleh keluarga, khususnya kedua

orang tua, Wong dalam Supartini (2014).

Menurut peneliti harapan-harapan yang diungkapkan para

partisipan merupakan wujud keinginan mereka. Para partisipan

menyadari tentang keadaan anaknya masing-masing, bagaimana mereka

harus menyesuaikan diri dan beradaptasi dengan lingkungannya,

sehingga tidak ada lagi yang memandang rendah dan bisa menerima

keberadaan mereka.

4. Hambatan-hambatan keluarga dalam merawat anak retardasi

mental

Hambatan keluarga dalam merawat anak retardasi mental

disebabkan oleh dua faktor yaitu, internal dan eksternal. Faktor Internal

seperti yang diungkapkan oleh partisipan satu, tiga dan empat yaitu

adanya masalah keuangan untuk biaya pengobatan dan perawatan yang

dirasakan oleh keluarga, baik karena kurangnya kesiapan dana keluarga


81

bahkan sama sekali tidak memiliki dana untuk mendatangi tenaga

kesehatan profesional.

Hambatan lainnya yaitu faktor eksternal, empat dari lima partisipan

mengatakan bahwa, mereka terkadang mendapatkan penilaian negatif

dari orang-orang baik itu sudara sendiri maupun masyarakat yang ada

disekitar tempat tinggal terhadap keberadaan anak retardasi mental.

Respon yang diberikan oleh masyarakat dalam penelitian ini sesuai

dengan pendapat Jones (1984 dalam Fitryasari, 2009) yang mengatakan

bahwa stigma adalah sebuah penilaian masyarakat terhadap perilaku atau

karakter yang tidak sewajarnya.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Octavia Deva Putri Belia

(2014) yang berjudul “Pengalaman Keluarga Dalam Merawat Anak

Retardasi Mental Di Sekolah Luar Biasa (Slb) C Negeri Denpasar”

bahwa, keluarga juga menemui beberapa hambatan antara lain dari faktor

psikologis, factor anak, factor keuangan, factor keluarga, stigma, dan

factor sarana.

Menurut peneliti penyebab hambatan yang dirasakan oleh

partisipan salah satunya karena masyarakat sering keliru memahami anak

dengan retardasi mental. Retardasi mental bukan gangguan jiwa. Perilaku

yang ditampilkan kadang-kadang aneh dan tidak lazim itu disebabkan

karena anak dengan retardasi mental mengalami kesulitan dalam menilai

situasi akibat hambatan dalam perkembangan kognitifnya dan memiliki

hambatan dalam perilaku adaptif. Selain itu pemberian label retardasi


82

mental yang permanen merupakan vonis yang harus disandang seumur

hidup dan membentuk persepsi masyarakat bahwa anak dengan retardasi

mental sebagai manusia yang tidak normal.

5. Dukungan yang dirasakan keluarga

Pada tema ini didapatkan empat kategori dukungan yang

didapatkan keluarga dalam merawat anak dengan retardasi mental yaitu,

dukungan intrumental. Seperti yang diungkapkan oleh partisipan dua,

dukungan instrumental yang dirasakan berasal dari keluarga sendiri.

Dukungan keluarga dapat berupa dukungan sosial keluarga internal,

seperti dukungan dari suami/istri atau dukungan dari saudara kandung

atau dukungan social keluarga eksternal Friedman (1998) dalam

Akhmadi (2009). Dukungan lainnya yaitu, dukungan penilaian,

dukungan emosional dan dukungan informasional.

Secara teoritis, dukungan informasional merupakan bantuan

informasi yang disediakan agar dapat digunakan oleh seseorang dalam

menanggulangi persoalan-persoalan yang dihadapi meliputi, pemberian

nasehat, pengarahan, ide-ide atau informasi lainnya yang mungkin

menghadapi persoalan yang sama atau hampir sama (House dalam

Setiadi, 2008). Kategori keempat yaitu dukungan masyarakat, partisipan

tiga dan lima mengatakan dukungan yang didapatkan keluarga dalam

merawat anak retardasi mental adalah dukungan dari masyarakat.


83

Dari penelitian yang dilakukan oleh Amy Gralfitrisia (2012) dalam

penelitian yang berjudul “Dukungan Keluarga dalam Merawat Anak

Retardasi Mental di SLB Padangsidimpuan” diperoleh hasil dukungan

keluarga baik yaitu sebanyak (74%), yang terdiri dari dukungan

informasi (72%),dukungan penilaian (81%), dukungan instrumental

(67%), dan dukungan emosional (74%). Dukungan keluarga sangat

penting dalam merawat anak retardasi, dan untuk meningkatkan rasa

pecaya diri anak retardasi mental.

Menurut Effendi & Mukhfudli (2009) dukungan sosial adalah

bentuk dukungan yang diberikan seseorang dalam hubungan sosialnya

dengan orang lainseperti keluarga, teman, tetangga, dan lain-lain.

Menurut peneliti dalam penelitian ini, sumber dukungan yang

diharapkan oleh partisipan adalah adanya dukungan dari berbagai pihak.

Dalam melaksanakan perannya sebagai caregiver, partisipan dibantu oleh

pihak keluarga dan pihak non keluarga misalnya tetangga dan

masyarakat. Partisipan sangat memerlukan bantuan dari pihak keluarga

dan ihak lain karena selain merawat anggota eluarga yang menderita

retardasi mental, partisipan juga mempunyai tanggung jawab merawat

anggota keluarga lainnya.

6. Upaya yang dilakukan keluarga dalam merawat anak retardasi

mental

Dalam penelitian ini upaya yang telah dilakukan oleh partisipan

dalam merawat anak dengan retardasi mental ada dua kategori yaitu,
84

mendatangi tenaga profesional dan pengobatan alternatif. Empat dari

lima partisipan berupaya mencari dan mengunjungi tenaga kesehatan

profesional untuk dilakukan pemeriksaan dan mendapatkan penanganan

lebih lanjut, meskipun hanya beberapa bulan lalu berhenti karena tidak

ada biaya sedangkan partisipan tiga langsung membawa anaknya ke

lembaga pendidikan formal SLB-C (sekolah luar biasa).

Upaya lain yang telah dilakukan oleh partisipan dalam merawat

anak dengan retardasi mental adalah mencari bantuan lain. Dalam

penelitian ini upaya mencari bantuan lain yang telah dilakukan oleh

partisipan dua, tiga dan empat adalah pengobatan alternatif. Partisipan

dua mengatakan bahwa upaya pengobatan alternatif yang telah dilakukan

adalah membawa anaknya ke orang pintar dan diurut. Partisipan empat

mengatakan membawa adiknya untuk diruqiyah.

Menurut penelian yang dilakukan oleh Ayu Supatri (2014) dengan

judul “Pengasuhan Orang Tua yang Memiliki Anak Retardasi Mental”,

didapatkan hasil bahwa partisipan berusaha mencari bantuan medis dan

pengobatan alternatif.

Secara umum menurut Judarwanto (2009) upaya dalam merawat

anak retardasi mental yaitu dilakukan dengan pendidikan kesehatan pada

masyarakat, perbaikan keadaan sosio-ekonomi, konseling genetik dan

tindakan kedokteran, pendidikan penderita atau latihan khusus sebaiknya

di sekolah berkebutuhan khusus.


85

Menurut peneliti memang tidak mudah menerima keberadaan anak

dengan retardasi mental, dan upaya yang telah dilakukan oleh partispian

itu membuktikan bahwa keberadaan mereka sudah mulai bisa diterima.

B. Keterbatasan Peneliti

Dalam penelitian ini, peneliti melakukan pendekatan secara terbuka dan

melakukan komunikasi dengan baik. Namun terdapat beberapa hal yang

membatasi penelitian ini di antaranya:

1. Dalam melakukan proses wawancara terkadang terganggu oleh keadaan

sekitar.

2. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan kemungkinan dapat

menghasilkan kesimpulan yang berbeda dengan penelitian yang

menggunakan metode kuantitatif.

3. Analisis data belum menggunakan N-VIVO untuk grouping dan

klasifikasi kata dan kalimat, karena peneliti belum memahami metode

tersebut.

Anda mungkin juga menyukai