Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Retardasi mental yaitu salah satu dari gangguan yang dapat dijumpai diberbagai
situasi, dengan karakteristik penderitanya yang mempunyai tingkat kecerdasan dibawah
rata-rata (IQ setara 70 ataupun lebih rendah) dan mengalami kesulitan saat akan
beromunikasi, mengurus dirinya,atau mengambil keputusan sendiri, rekreasi, pekerjaan
dan kesehatan atapun keamanan ( Prabowo, 2010).
World Health Organization (WHO) (2011) mengungkapkan bahwa jumlah anak
retardasi mental di Indonesia sebanyak 6,6 juta jiwa (Suwarsi, 2015). Berdasarkan data
dari Dinas Sosial pada tahun 2012 di Jawa Tengah penyandang retardasi mental sekitar
18,516 orang anak dan di Semarang jumlah anak yang mengalami retardasi mental sekitar
363 orang pada tahun 2012 (TKPK Propinsi Jawa Tengah, 2012). Pada sebagian besar
kasus retardasi mental, penyebabnya tidak diketahui 25% kasus yang memiliki penyebab
yang spesifik, insiden tertinggi pada kasus retardasi mental adalah pada masa anak-anak
sekolah dengan puncak umur 10 sampai 14 tahun. Retradasi mental lebih banyak
mengenai 1,5 kali pada laki-laki dibandingkan perempuan (Muhith, 2015).
Berdasarkanpenelitian yang dilakukan oleh Ariesta (2016) bermacam-macam
respon yang muncul dari orang tua yang anaknya mengalami retardasi mental, seperti :
terdapat orang tua yang ikhlas dan tetap bahagia memiliki anak retardasi mental dengan
harapan bahwa anak tersebut mampu melakukan aktifitas tumbuh kembang layaknya
anak yang normal dan bisa membesarkannya tanpa membedakan dengan anak yang sehat.
Lain halnya dengan orang tua yang tidak bisa menerima kenyataan akan kelahiran anak
yang memiliki retardasi mental. Mereka menganggap bahwa kelahiran anak tersebut tidak
2
sesuai yang mereka harapkan.
Banyak diantara orang tua tersebut yang merasa kecewa, putus asa, bahkan merasa
malu memiliki anak yang mengalami retardasi mental (Smart, 2012).Oleh sebab itu,
mereka terkadang memperlakukan anak tersebut secara berbeda dengan anak normal
lainnya.Terkadang para orang tua merasa bahwa mereka sangat khawatir pada saat anak
tersebut melakukan aktifitas sendiri mereka menganggap bahwa anak retardasi mental
harus selalu ditemani dalam melakukan aktifitas karena mereka menganggap berbeda
dengan anak normal lainnya.
Dalam proses tumbuh kembang, seorang anak harus bisa melakukan tugasnya
seperti melakukan aktifitas sehari-hari secara mandiri. Kemandirian adalah kemampuan
untuk melakukan kegiatan atau tugas sehari-hari sesuai dengan tahapan
perkembangannya dan kapasitas nya. Menurut penelitian yang dilakukan Mbuinga (2015)
yang dilakukan di kabupaten pahuwato tingkat kemandirian anak tunaita dalam kategori
kurang yaitu 51,0% dan tingkat kemandirian Activity Daily Living (ADL) pada kategori
mandiri sejumlah 67.7%. dari data tersebut menyebutkan bahwa tingkat kemandirian
anak tunagrahita yang mandiri lebih banyak. Oleh karena itu orang tua berperan dalam
mengasuh, membimbing dan membantu mengarahkan anak untuk menjadi mandiri,
dengan cara memberikan latihan seperti memberikan tugas pada anak tanpa bantuan
(Tuegeh, 2011). Orang tua yang memiliki anak dengan retardasi mental mempunyai
tingkat kecemasan yang berbeda dengan orang tua anak yang terlahir normal. Menurut
Bistika dan Sharplay (2004) hampir 50% dari orang tua yang mengalami retardasi mental
mereka sangat cemas dan dua pertiga dari mereka mengalami depresi klinis, dari data
tersebut diperoleh bahwa orang tua yang memiliki anak yang mengalami retardasi mental
memiliki kecemasan yang berbeda. Kecemasan merupakan kekhawatiran yang tidak jelas
serta berkaitan dengan perasaan yang membuat ketidakpastian dan ketidakberdayaan
3
(Stuart, 2013).
Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang didapatkan melalui wawancara dan
observasi awal dilakukan terhadap 5 orang tua dari anak yang mengalami retardasi
mental. Mereka menyatakan cemas akan kemandirian anak tersebut dan mengatakan
wajar dengan adanya kecemasan itu karena mereka menyadari bahwa anaknya tidak
seperti anak normal lainnya. Tetapi dari ke lima orang tua tersebut, 4 diantaranya
membiarkan anaknya untuk melakukan aktifitas sendiri, seperti makan, bermain, berganti
pakaian ataupun pergi ketoilet. Mereka hanya membantu anaknya apabila anak tersebut
benar-benar mengalami kesulitan untuk melakukannya.Mereka berfikir hal seperti itu
dapat melatih kemandirian anak tersebut. Tetapi hanya 1 orang tua yang selalu
menemani anaknya ke manapun kecuali saat anak berada didalam kelas. Orang tua
tersebut terlihat tidak membiarkan anaknya untuk melakukan aktifitas sendiri, seperti
makan, bermain saat akan ke toilet anak tersebut juga ditemani ibunya , dan pada saat
akan diwawancarai selalu terlihat menghindar saat ditanya hanya menjawab seperlunya
dan wajahnya tidak menatap peneliti.
Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan
judul “Hubungan Tingkat Kecemasan Orang Tua Terhadap Tingkat Kemandirian Pada
Anak Sekolah Retardasi mental di SLB Negeri Semarang”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka dapat dirumuskan suatu masalah
dari penelitian ini yaitu “Apakah terdapat hubungan antara tingkat kecemasan orang tua
terhadap tingkat kemandirian anak yang mengalami retardasi mental di SLB Negeri
Semarang”.
C. Tujuan Penelitian
4
1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan antara tingkat kecemasan orang tua terhadap tingkat
kemandirian pada anak sekolah retardasi mental di SLB Negeri Semarang.
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi karakteristik responden yaituumur dan jenis kelamin
b. Mengidentifikasitingkatkecemasan orang tuaanakretardasi mental
c. Mengidentifikasi tingkat kemandirian anak dalam pemenuhan aktifitas sehari-
hari di SLB Negeri Semarang
d. Menganalisis hubungan tingkat kecemasan dengan kemandirian anak retardasi
mental.
D. Manfaat Penelitian
1. Profesi
Penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi serta tindakan yang dapat
dilakukan oleh profesi keperawatan dalam membantu masyarakat dalam pemberian
pendidikan kesehatan terutama dalam merawat anak retardasi mental .
2. Institusi
Dapat memberikan manfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan bidang
keperawatan, serta menambahkan data dan dapat digunakan sebagai penambahan
informasi pada institusi serta dapat dikembangkan untuk penelitian selanjutnya yang
berkaitan dengan tingkat kecemasan orang tua terhadap tingkat kemandirian anak
retardasi mental.
3. Masyarakat
Menambah pengetahuan serta informasi kepada orang tua dan masyarakat agar
saling membantu dalam menangani anak dengan gangguan retardasi mental.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Dasar Retardasi Mental
1. Pengertian Retardasi Mental
Dalam Buku Pendidikan Keperawatan Jiwa Teori dan aplikasi
menjelaskan bawah retardasi mental merupakan keterbelakangan
mental
sejak masa perkembangan (sejak lahir atau masih kecil).
Keterbelakangan
mental bukanlah penyakit meskipun dari hasil dari proses patologis
otak.
Keterbelakangan mental mungkin disertai atau tidak disertai
dengan penyakit
mental atau fisik lainnya (Akbar, 2014).
Anak retardasi mental merupakan klasifikasi dari anak
berkebutuhan
khusus (ABK) dengan hambatan dibidang mental. Hambatan
mental yang
dialami anak tunagrahita sering membuat mereka tidak dapat
mengolah
informasi yang diperoleh sehingga tidak dapat mengikuti perintah
dengan
baik. Anak retardasi mental memiliki kemampuan akademis di
bawah rata-
rata yang menyebabkan mereka tidak dapat berkembang sesuai
dengan
tahapan perkembangan pada usianya selayaknya anak-anak
normal. Hal
inilah yang menyebabkan anak retardasi mental memerlukan
perhatian yang
lebih dibandingkan dengan anak-anak normal lain (Lisinus, 2020).
Menurut Diagnostic and Statistic Manual Of Mental Disorder,
kecacatan intelektual (gangguan perkembangan intelektual) adalah
gangguan
yang timbul selama periode perkembangan yang mencakup defisit
fungsi
intelektual dan adaptif dalam ranah konseptual, sosial, dan praktis
(Kuffer,
2013)
Retardasi mental adalah kondisi mengalami gangguan fungsi
intelektual dibawah normal (IQ dibawah 70) dan mengalami
gangguan
perilaku adaptif sosial sehingga membuat penderita memerlukan
pengawasan,
perawatan, dan kontrol dari orang lain (Ayu, 2019).
2. Klasifikasi Retardasi Mental
Menurut AAMD dalam Lisinus (2020), klasifikasi Retardasi Mental
sebagai berikut
a. Retardasi Mental Ringan
Tingkat kecerdasannya IQ mereka berkisar 50 - 70 mempunyai
kemampuan untuk berkembang dalam bidang pelajaran akademik,
penyesuaian sosial dan kemampuan bekerja, mampu melakukan
pekerjaan semi trampil dan pekerjaan sederhana.
b. Retardasi Mental Sedang
Tingkat kecerdasan IQ berkisar 30 - 50 dapat belajar keterampilan
sekolah untuk mampu melakukan keterampilan mengurus dirinya
sendiri
(self-help), mampu mengadakan adaptasi sosial dilingkungan
terdekat,
mampu mengerjakan pekerjaan rutin yang perlu pengawasan .
c. Retardasi Mental Berat dan Sangat Berat
Tingkat kecerdasan IQ mereka kurang dari 30 hampir tidak memiliki
kemampuan untuk melatih mengurus diri sendiri dan berkomunikasi
dan
menyesuaikan diri dengan lingkungan sangat terbatas.
3. Etiologi Retardasi Mental
Terjadinya retardasi mental dapat disebabkan oleh beberapa faktor
sebagai
berikut dalam (Muhith, 2015).
a) Karena infeksi dan atau keracunan. Kelompok ini termasuk
retardasi
mental akibat kerusakan jaringan otak akibat infeksi intrakranial,
serum,
dan obat-obatan beracun lainnya.
b) Karena tidak disengaja dan / atau alasan fisik lainnya. Gangguan
sebelum
lahir dan trauma lain seperti sinar-X, kontrasepsi, dan upaya aborsi
dapat
menyebabkan keterbelakangan mental.
c) Akibat gangguan metabolisme, pertumbuhan atau nutrisi. Semua
retardasi mental yang secara langsung disebabkan oleh gangguan
metabolisme (misalnya metabolisme lemak, karbohidrat, dan
protein),
pertumbuhan atau nutrisi termasuk dalam kelompok ini.
d) Karena penyakit otak (pascapartum). Dalam kelompok ini,
termasuk
keterbelakangan mental karena tumor (tidak termasuk
pertumbuhan
sekunder karena tidak disengaja atau peradangan) dan beberapa
reaksi sel
otak yang jelas, tetapi penyebabnya tidak jelas (dicurigai turun-
temurun).
e) Akibat kelainan kromosom. Kelainan kromosom mungkin
terdapat dalam
jumlah atau dalam bentuknya.
Menurut Sudiharto (2014), menyebutkan bahwa penyebab dari
retardasi mental dapat dibagi dalam fase pranatal, perinatal dan
postnatal.
Penyebab fase pranatal meliputi kelainan kromosom, Kelainan
genetik
/herediter dan gangguan metabolic, fase perinatal meliputi
prematuritas,
asfiksia, hipoglikemia dan pada fase postnatal meliputi Infeksi
(meningitis, ensefalitis), trauma dan kejang lama.
4. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang mencakup pada retardasi mental dalam Sari
Pediatri meliputi Keterlambatan bahasa, gangguan motorik halus
dan
gangguan penyesuaian (gangguan obsesif-kompulsif, kemampuan
bermain),
keterlambatan perkembangan motorik secara keseluruhan,
gangguan perilaku
termasuk agresi, menyakiti diri sendiri, penyimpangan perilaku,
kurang
perhatian, hiperaktif, kecemasan, depresi, dan gangguan tidur
(Sularyo and
Kadim, 2016).
Anak keterbelakangan mental menunjukkan adanya keterbatasan
fungsi
intelektual yang dibawah rata-rata yang berkaitan dengan
keterbatasan pada
dua atau lebih ketrampilan adaptif seperti keterampilan kognitif,
bahasa,
motorik dan sosial. Anak retardasi mental memerlukan bimbingan
dari orang
tua dalam pembelajaran yang menyesuaikan pola pikir dan batas
kemampuan
yang dimiliki oleh anak retardasi mental (Susy, Yunianti 2016).
5. Ciri – ciri Retardasi Mental
a. Psikis
Status mental anak retardasi mental seringkali ditemukannya susah
konsentrasi, cepat lupa, sulit berinovasi, rentang perhatian pendek,
mudah
bosan, cepat mengantuk, kurang tertarik pada pembelajaran jangka
panjang, jika gagal mudah tersinggung, tidak kooperatif, menarik
diri,
merasa malu dan tidak berani berkomunikasi dengan orang lain.
b. Sosial
Perilaku sosial adalah aktivitas dalam suatu hubungan termasuk
proses berfikir, emosi dan pengambilan keputusan. Anak retardasi
mental
sulit memahami norma lingkungan sekitarnya, anak tunagrahita
biasanya
dianggap asing oleh masyarakat karena perilakunya tidak sesuai
dengan
tingkat usianya (Muhith, 2015).
6. Penanganan Retardasi Mental
a. Membantu anak agar dapat melewati setiap masa transisi
perkembangan dengan baik.
b. Membantu anak dalam mengatasi hambatan belajar dan
hambatan
perkembangan atau permasalahan-permasalahan yang
dihadapinya
melalui pemenuhan kebutuhan khususnya.
c. Membantu menyiapkan perkembangan mental anak-anak untuk
masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
d. Membantu anak dalam mencapai taraf kemandirian dan
kebahagiaan
hidup (Lisinus, 2020).
Peanatalaksanaan medis
1) Psikostimulan untuk anak yang menunjukkan gangguan
konsentrasi atau
hiperaktif.
2) Obat psikotropika (untuk anak dengan perilaku yang
membahayakan
diri)
3) Anti depresan
2. Pencegahan
1) Pencegahan primer
Dapat dilakukan dengan pendidikan kesehatan pada masyarakat,
perbaikan
keadaan sosioekonomi, konseling genetic dan tindakan kedokteran
(umpamanya perawatan prenatal yang baik, pertolongan persalinan
yang
baik, kehamilan pada wanita adolesen dan diatas 40 tahun
dikurangi dan
pencegahan keradangan otak pada anak-anak. Tiap usaha
mempunyai cara
sendiri untuk berbagai aspeknya).
2) Pencegahan sekunder
17
Meliputi diagnose dan pengobatan dini keradangan otak,
peradangan
subdural, kraniostenosis sutura tengkorak menutup terlalu cepat,
dapat di
buka dengan kraniotomi, pada mikrosefali yang congenital, operasi
tidak
menolong.
3) Pencegahan tersier
Merupakan pendidikan penderita atau latihan khusus, sebaiknya
disekolah
luar biasa (SLB) dapat diberi neroleptika kepada yang gelisah
hiperaktif
atau destruktif. Amfetamine dan kadang-kadang juga anti histamine
berguna juga pada hiperkinesa berbiturat kadang-kadang dapat
menimbulkan efek paradokal dengan menambah kegelisahan dan
ketegangan dapat dicoba juga dengan obat-obatan yang
memperbaiki
mikrosirkulasi diotak (membuat masuknya zat asam dn makanan
dari
darah ke sel otak lebih mudah) atau yang langsung memperbaiki
metabolism sel-sel otak, akan tetap hasilnya, kalau ada tidak
segera dapat
dilihat.

Anda mungkin juga menyukai