PENDAHULUAN
Penyakit pada lambung antara lain adalah sakit maag (gastritis), dispepsia dan
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD). Penyakit maag diakibatkan oleh asam
lambung yang berlebihan, sehingga dinding lambung lama-lama tidak kuat menahan
asam lambung tadi sehingga timbul luka.
Gastro-oesophageal reflux disease ( GERD ) adalah salah satu kelainan yang
sering dihadapi di lapangan dalam bidang gastrointestinal. Penyakit ini berdampak buruk
pada kualitas hidup penderita dan sering dihubungkan dengan morbiditas yang bermakna.
Berdasarkan Konsensus Montreal tahun 2006 (the Montreal definition and classification
of gastroesophageal reflux disease : a global evidence-based consensus), penyakit refluks
gastroesofageal (Gastroesophageal Reflux Disease /GERD) didefinisikan sebagai suatu
keadaan patologis sebagai akibat refluks kandungan lambung ke dalam esofagus yang
menimbulkan berbagai gejala yang mengganggu (troublesome) di esofagus maupun
ekstra-esofagus dan/atau komplikasi. Komplikasi yang berat yang dapat timbul adalah
Barret’s esophagus, striktur, adenokarsinoma di kardia dan esophagus.
Gastroesophageal reflux disease (GERD) merupakan suatu keadaan melemahnya
Lower Esophageal Sphincter (LES) yang mengakibatkan terjadinya refluks cairan asam
lambung ke dalam esofagus. Prevalensi GERD menurut Map of Digestive Disorders &
Diseases tahun 2008 di Amerika Serikat, United Kingdom, Australia, Cina, Jepang,
Malaysia, dan Singapura adalah 15%, 21%, 10,4%, 7,28%, 6,60%, 38,8%, dan 1,6%.
Pervalensi GERD di asiasekitar 2-5 % dengan sekitar 50 % pasien gerd bersifat
simptomatik. Belum ada data mengenai GERD di Indonesia, namun keluhan serupa
GERD cukup banyak ditemukan dalam praktik sehari-hari. Salah satu masalah bagi setiap
tenaga kesehatan di pusat pelayanan kesehatan primer adalah menegakkan diagnosis dan
menentukan terapi GERD dengan keterbatasan alat penunjang diagnostik.GERD dapat
dipengaruhi oleh adanya faktor stress, oleh karena itu studi ini akan menjelaskan
mengenai hal tersebut.
1
2. Bagaimana epidemiologi dari GERD?
3. Apa saja etiologi dari GERD ?
4. Bagaimana patofisiologi dari GERD?
5. Bagaimana prognosis dari GERD?
6. Apa saja tanda dan gejala dari GERD?
7. Bagaimana patofisiologi dari GERD?
8. Bagaimana tatalaksana terapi dan algoritma terapi dari GERD ?
9. Bagaimana penyelesaian kasus berdasarkan metode SOAP ?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari pebuatan makalah ini yaitu :
1. Mengetahui dan memahami definisi, epidimiologi, etiologi, patofisiologi, prognosis,
tanda dan gejala, terapi dari GERD.
2. Mengetahui dan mampu memberikan pengobatan GERD.
3. Mampu memberikan tatalaksana terapi dari GERD.
4. Mengetahui dan memahami cara penyelesaian kasus pasien GERD.
1.4 Manfaat
Adapun manfaat dari pembuatan makalah ini yaitu :
1. Menambah pengetahuan mahasiswa tentang definisi, epidimiologi, etiologi,
patofisiologi, prognosis, tanda dan gejala, terapi dari GERD.
2. Memberikan dan menambah informasi tentang penatalaksanaan terapi dan algoritma
terapi dari GERD.
3. Memudahkan mahasiswa daam menyelesaikan masalah GERD dengan metode
SOAP.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi
Terdapat dua kelompok GERD. Yang pertama adalah GERD erosif (esofagitis
erosif ), didefinisikan sebagai GERD dengan gejala refluks dan kerusakan mukosa
esophagus distal akibat refluks gastroesofageal. Pemeriksaan baku emas untuk diagnosis
GERD erosif adalah endoskopi saluran cerna atas. Yang kedua adalah penyakit refluks
nonerosif (non-erosive reflux disease, NERD), yang juga disebut endoscopic-negative
GERD, didefinisikan sebagai GERD dengan gejala-gejala refluks tipikal tanpa kerusakan
mukosa esofagus saat pemeriksaan endo-skopi saluran cerna.
Berdasarkan lokalisasi gejalanya, GERD dibagi menjadi dua, yaitu sindrom
esophageal dan esktraesofageal. Sindrom esophageal merupakan refluks esofageal yang
disertai dengan atau tanpa adanya lesi struktural. Gejala klinis sindrom esofageal tanpa
lesi struktural berupa heartburn dan regurgitasi, serta nyeri dada non-kardiak. Sedangkan
pada sindrom esofageal disertai lesi struktural, berupa refluks esofagitis, striktur refluks,
3
Barret’s esophagus, adenokarsinoma esofagus. Sindrom ekstraesofageal biasanya terjadi
akibat refluks gastroesofageal jangka panjang.
2.2 Epidemiologi
Sudah sejak lama prevalensi GERD di Asia dilaporkan lebih rendah dibandingkan
dengan di negara-negara Barat. Namun, banyak penelitian pada populasi umum yang
baru-baru ini dipublikasikan menunjukkan kecenderungan peningkatan prevalensi GERD
di Asia. Prevalensi di Asia Timur 5,2 %-8,5 % (tahun 2005-2010), sementara sebelum
2005 2,5%-4,8%; Asia Tengah dan Asia Selatan 6,3%-18,3%, Asia Barat yang diwakili
Turki menempati posisi puncak di seluruh Asia dengan 20%. Asia Tenggara juga
mengalami fenomena yang sama; di Singapura prevalensinya adalah 10,5%, di Malaysia
insiden GERD meningkat dari 2,7% (1991-1992) menjadi 9% (2000-2001), sementara
belum ada data epidemiologi di Indonesia (Jung, 2009), (Goh dan Wong, 2006). Di Divisi
Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI-RSUPN Cipto
Mangunkusumo didapatkan kasus esofagitis sebanyak 22,8 % dari semua pasien yang
menjalani endoskopi atas dasar dyspepsia.
PrevalensiGERD menurut Map of Digestive Disorders &Diseases tahun 2008 di
Amerika Serikat, United Kingdom, Australia, Cina, Jepang, Malaysia dan Singapura
adalah 15%, 21%, 10,4%, 7,28%, 6,60%, 38,8% dan 1,6%.
Sampai saat ini, Indonesia belum lengkapdata epidemiologi pada kondisi ini. Data
yang tersedia adalah laporan dari sebuah penelitian yang dilakukan oleh Le losutan SAR
dkk di Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Cipto Mangun kusumo Rumah Sakit,
Jakarta (FKUI / RSCM-Jakarta) yang mana menunjukkan bahwa dari 127 subjek
penelitian yang menjalani endoskopi gastrointestinal bagian atas 22,8% (30 subyek di
4
antaranya) menderita esofagitis. Studi lain yang dilakukan oleh Syam AF dkk yang juga
dari RSCM / FKUI-Jakarta, menunjukkan bahwa dari 1718 pasien yang menjalani
endoskopi gastrointestinal atas indikasi dari dispepsia selama 5 tahun (1997-2002), ada
peningkatan prevalensi esofagitis, dari 5,7% pada tahun 1997 menjadi 25,18% pada tahun
2002 (nilai rata – rata13,13% per tahun).
Penyakit gastroesophageal reflux terjadi pada orang dewasa dan anak-anak. Meski
angka kematian dikaitkan dengan jarang terjadi (1 kematian per 100.000pasien), gejala
GERD memiliki dampak yang lebih besar terhadap kualitas hidup daripada ulkus
duodenum, hipertensi yang tidak diobati, kongestif ringan gagal jantung, angina, atau
menopause. Prevalensi dan kejadian GERD yang sebenarnya sulit dilakukan menilai
karena (a) banyak pasien tidak mencari pengobatan, (b) gejala tidak selalu berkorelasi
baik dengan tingkat keparahan penyakit, dan (c) tidak ada definisi standar atau standar
emas universal metode untuk mendiagnosis penyakit Sekitar 44% penduduk Amerika
menderita GERD gejala bulanan, dan lebih dari 20% menderita gejala setiap minggu.
Meskipun prevalensi GERD, banyak pasien memilih untuk tidak mencari bantuan
medis dari dokter dan mengobati diri sendiri dengan obat yang tidak diresepkan atau
berkonsultasi hanya dengan apoteker mereka. Hal ini mungkin karena kurangnya
pemahaman akan gejala GERD, termasuk sakit maag, atau mungkin karena beberapa
masalah finansial atau alasan pribadi. Mulas adalah gejala khas GERD dan umumnya
digambarkan sebagai sensasi substernal kehangatan atau pembakaran. Meningkat dari
perut yang bisa memancar ke leher. Itu mungkin waxing dan waning dalam karakter.
Menariknya, sebanyak 46% dari pasien dengan penyakit ringan akan sembuh secara
spontan dengan selfmedication,dan 31% lainnya akan menunjukkan peningkatan yang
signifikan,menunjukkan proses yang relatif jinak pada pasien dengan minimal gejala.
Sebaliknya, adanya gejala pada pasien yang sedang mencari saran medis tidak selalu
berkorelasi baik dengan kehadiran peradangan esofagus atau erosi. Dari 20% sampai 40%
pasien yang mengalami mulas, 30% sampai 79% dari pasien ini akan memiliki bukti
esophagitis. Di sisi lain, banyak pasien. Kerusakan esofagus mungkin tidak mengalami
gejala, atau mungkin saja hadir dengan gejala atipikal. Akhirnya, kurangnya standarisasi
definisi dan standar emas universal untuk mendiagnosis kendala lain GERD dalam
menilai data epidemiologi.
2.3 Etiologi
Beberapa faktor risiko GERD adalah:
5
1. Obat-obatan, seperti teofilin, antikolinergik, beta adrenergik, nitrat, calcium-channel
blocker.
2. Makanan, seperti cokelat, makanan berlemak, kopi, alkohol, dan rokok.
3. Hormon, umumnya terjadi pada wanita hamil dan menopause. Pada wanita hamil,
menurunnya tekanan LES terjadi akibat peningkatan kadar progesteron. Sedangkan
pada wanita menopause, menurunnya tekanan LES terjadi akibat terapi hormon
estrogen.
4. Struktural, umumnya berkaitan dengan hiatus hernia. Selain hiatus hernia, panjang
LES yang < 3 cm juga memiliki pengaruh terhadap terjadinya GERD.
5. Indeks Massa Tubuh (IMT); semakin tinggi nilai IMT, maka risiko terjadinya GERD
juga semakin tinggi.
6
FAKTOR RESIKO GERD
1. Obesitas
pada orang yang memiliki BMI>25 memiliki kecennderungan mengalami GERD
2. Faktor genetik
Faktor genetik yang berbaitan dengan GERD, biasanya di hubungkan dengan
permasalahan menyangkut otot polos, misalnya heatus hernia.
3. Kebiasaan merokok
Merokok dapat meningkatkan resiko GERD karena merokok dapat menurunkan
tekanan lower osefagus spinter.
4. Aktivitas fisik
Joging atau berlari akan meningkatkan resiko GERD, karena meningkatkan
relaksasi dari LES
2.4 Patofisiologi
Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3 mekanisme : 1).
Refleks spontan pada saat relaksasi LES tidak adekuat, 2). Aliran retrograd yang
mendahului kembalinya tonus LES setelah menelan, 3). Meningkatnya tekanan intra
abdomen. Dengan demikian dapat diterangkan bahwa patogenesis terjadinya GERD
menyangkut keseimbangan antara faktor defensif dari esofagus (pemisah anti refluks,
bersihan asam dari lumen esofagus, ketahanan epitel esofagus) dan faktor ofensif dari
bahan refluksat. Faktor-faktor lain yang turut berperan dalam timbulnya gejala GERD
adalah kelainan di lambung yang meningkatkan terjadinya refluks fisiologis, antara lain
dilatasi lambung atau obstruksi gastric outlet dan delayed gastric emptying (Makmun,
2009).
GERD terjadi akibat adanya ketidakseimbangan antara faktor ofensif dan defensif
dari system pertahanan esofagus dan bahan refluksat lambung.Yang termasuk faktor
defensif system pertahanan esofagus adalah LES, mekanisme bersihan esofagus, dan
epitel esofagus.LES merupakan strukur anatomi berbentuk sudut yang memisahkan
esofagus dengan lambung. Pada keadaan normal, tekanan LES akan menurun saat
menelan sehingga terjadi aliran antegrade dari esofagus ke lambung. Pada GERD, fungsi
LES terganggu dan menyebabkan terjadinya aliran retrograde dari lambung ke esofagus.
Terganggunya fungsi LES pada GERD disebabkan oleh turunnya tekanan LES akibat
penggunaan obat-obatan,makanan, faktor hormonal, atau kelainan struktural.
7
Mekanisme bersihan esofagus merupakan kemampuan esofagus membersihkan
dirinya dari bahan refluksat lambung; termasuk faktor gravitasi, gaya peristaltik esofagus,
bersihan saliva, dan bikarbonat dalam saliva. Pada GERD, mekanisme bersihan
esophagus terganggu sehingga bahan refluksat lambung akan kontak ke dalam esofagus;
makin lama kontak antara bahan refluksat lambung dan esofagus, maka risiko esofagitis
akan makin tinggi. Selain itu, refluks malam hari pun akan meningkatkan risiko esofagitis
lebih besar. Hal ini karena tidak adanya gaya gravitasi saat berbaring.
Mekanisme ketahanan epitel esophagus terdiri dari membran sel, intercellular
junction yang membatasi difusi ion H+ ke dalam jaringan esofagus, aliran darah
esophagus yang menyuplai nutrien-oksigen dan bikarbonat serta mengeluarkan ion H+
danCO2, sel esofagus mempunyai kemampuan mentransport ion H+ dan Cl- intraseluler
dengan Na+ dan bikarbonat ekstra seluler.
Sedangkan yang termasuk faktor ofensif adalah peningkatan asam lambung,
dilatasi lambung atau obstruksi gastric outlet, distensi lambung dan pengosongan
lambung yang terlambat, tekanan intragastrik dan intraabdomen yang meningkat.
Beberapa keadaan yang mempengaruhi tekanan intraabdomen antara lain hamil, obesitas,
dan pakaian terlalu ketat.
2.5 Prognosis
Prognosis untuk Orang dengan Penyakit Refluks Gastroesofagus. Dalam beberapa
kasus, pasien dengan GERD dapat sembuh sepenuhnya tanpa komplikasi atau komplikasi
lebih lanjut dengan rencana pengobatan yang efektif. Biasanya, pasien yang mencari
pengobatan secepat mungkin memiliki prognosis terbaik. Perlakuan sebelumnya dimulai,
8
semakin mudah mencegah GERD berkembang menjadi kondisi yang lebih serius. GERD
biasanya diobati dengan antasida dan obat lainnya.
10
Selain PPI, obat lain dalam pengobatan GERDadalah antagonis reseptor H2,
antasida, dan prokinetik (antagonis dopamin dan antagonis reseptor serotonin). Antagonis
reseptor H2 dan antasida digunakan untuk mengatasi gejala refluks yang ringan dan untuk
terapi maintenance dikombinasi dengan PPI.Yang termasuk ke dalam antagonis reseptor
H2 adalah simetidin (1 x 800 mg atau 2 x 400 mg).
11
si
en
Fa a. Merubah Perubahan gaya hidup
se gaya hidup sebaiknya dimulai dari
I PLUS awal dan dilanjutkan
G b. Antasid pada saat pengobatan
ej (Milanta) Jika setelah 2 minggu
al Dan Atau gejala tidak berhenti
a c.Dosis dengan merubah gaya
Ri rendah hidup dan obat
ng untuk antagonis H2 ,
an antagonis mulailah untuk terapi
reseptor H2 farmakologi (terapi
(Simetidin, fase II)
Famotidin,
Nizatidin, Untuk pertanda yang
Ranitidin) khas, pengobatan
empiris dengan terapi
fase II
a.
Modifikasi GERD dapat diobati
pola hidup secara efektif dengan
antagonis reseptor H2.
Fa PLUS
se b. Dosis Pasien dengan gejala
II standar dari yang sedang,
G antagonis seharusnya menerima
ej reseptor H2 IPP sebagai terapinya.
al untuk 6-12 Jika gejala berkurang
a minggu pengobatan dilakukan
G Simetidin seperlunya.
E 400 mg
R Famotidin Jika gejala sering
D 20 mg kambuh, terapinya
12
Nizatidin harus
150 mg mempertimbangkan
Ranitidin biaya dengan dosis
150 mg efektif terkecil.
Cat: untuk gejala-
ATAU gejala tidak normal,
c. memperoleh
Penghambat endoskopi (jika
pompa mungkin) untuk
proton untuk evaluasi mukosa.
4–8 Berikan IPP atau
minggu antagonis H2. IPP
Esomepraz merupakan terapi
ol 20 mg/hr utama pada pasien
20 mg/hr penyakit.
Pantopraz
ol 40 mg/hr
Rabeprazo
l 20 mg/hr
Fa
se
III
a.
Modifikasi
pola hidup
PLUS
b.
Penghambat
pompa
13
proton untuk
8 – 16
minggu
Esomepraz
ol 20-40 mg/hr
Lansopraz
ol 30 mg/hr
Omeprazol
20 mg/hr
Pantopraz
ol 40 mg/hr
Rabeprazo
l 20 mg/hr
ATAU
c. Dosis
standar dari Pasien yang tidak
mg dengan menjaga PH
untuk meyakinkan
Famotidin
diagnosis dari GERD
40 mg
(bila mungkin). Jika
Nizatidin
GERD terbukti,
150 mg
pertimbangkan terapi
Ranitidin
tahap III.
150 mg
Manometry harus
dilakukan kepada
siapa saja yang akan
14
melaksanakan operasi.
Terapi
Intervension
al ( bedah
antirefluks
atau terapi
endoskop
Terapi Farmakologi
1. Antasida dan Produk Antasida-Asam Alginat
15
2. Penekanan Asam dengan Antagonis Reseptor H2
4. Agen prokinetik
Cisapride memiliki khasiat yang sebanding dengan antagonis reseptor H2
dalam mengobati pasien esofagitis ringan, tetapi cisaprid tidak lagi tersedia untuk
penggunaan rutin karena efek aritmia yang mengancam jiwa bila dikombinasikan
dengan obat-obatan tertentu dan penyakit lainnya.
Metoklopramid, antagonis dopamin, meningkatkan tekanan LES, dan
mempercepat pengosongan lambung pada pasien GERD. Metoklopramid dapat
meredakan gejala GERD tetapi belum ada data substantial yang menyatakan bahwa
obat ini dapat memperbaiki kerusakan esofagus.
16
5. Penekan Mukosa
Sucralfat, garam aluminium dari sukrosa oktasulfat yang tidak terserap,
mempunyai manfaat terbatas pada terapi GERD. Berdasarkan data yang ada, sukralfat
tidak direkomendasikan untuk terapi.
BAB III
KASUS
Riwayat pengobatan :
- Promag, Mylanta jika keluhan muncul
- Rutin mengkonsumsi piroksikam 20 mg/hari dan asam
mefenamat 500 mg jika terasa nyeri
- Rutin mengkonsumsi Teosal tablet (Theophylline 150
mg + Salbutamol 1 mg) dengan dosis 3x1 tab sejak 6
bulan yang lalu.
Objektif
Jeni Norma Hasil Ketera
s l ngan
pem
erik
saan
18
Teka < 150/95 Hiperte
nan 140/90 mmHg nsi
dara mmHg stage 1
h
Hem 14 - 18 10 Rendah
oglo g/Dl (g/dL)
bin
(Hb)
Leuk 4000 – 9500/m Normal
osit 10.000/ m3
mm3
Hem 40% - 31 % Rendah
atokr 48 %
it
Tro 170 – 320.00 Normal
mbo 380. 0 (/ul)
sit 103/m
m3
SGO 3 - 45 23 U/L Normal
T U/L
SGP 0-35 13 U/L Normal
T U/L
Ureu 15 – 40 30 Normal
m (mg/dl) (mg/dl)
Crea 0,5 – 1 Normal
tinin 1,5 (mg/dl)
mg/dL
Assesment
- Dari keluhan mual, muntah, dada terasa panas sejak 5 jam yang lalu akibat makan
“Sate Padeh” dekat rumahnya sebanyak 2 porsi dan pasien mengkonsumsi obat-
obatan yang di jual bebas di warung seperti Promag, Mylanta jika keluhan muncul
dan perokok aktif. Dan pemeriksaan Endoscopy : kesan Esofagitis Reflux maka
pasien menderita GERD.
- Dari data pemeriksaan fisik dengan tekanan darah tinggi : pasien hipertensi.
19
- Pasien mengkonsumsi obat teosal untuk mengobati bronkitis konik yang
kontraindikasi dengan penyakit GERD.
Plan
1. Menghindari penyebab GERD
2. Terapi farmakologi
a. Omeprazole20 mg, 1 x sehari selama 8 minggu untuk pengobatan GERD.
b. Hidroklortiazid (HCT) 25 mg, 1 x sehari pada pagi hari untuk mengurangi tekanan
darah pada pasien.
c. Kolkisin 0,5 mg, 3x sehari sesudah makan
d. Obat piroxicam 20 mg dan asam mefenamat 500 mg diganti dengan kokisin 1mg
karena dapat menaikkan asam lambung yang dapat menadi factor resiko GERD.
(Depkes RI.2006)
3. Terapi non-farmakologi
Modifikasi gaya hidup
a. M engangkat kepala saat tidur (meningkatkan bersihan esofageal).
Gunakan penyangga 6-10 inchi di bawah kepala. tidur pada kasur busa.
b. Menghindari makanan yang dapat menurunkan tekanan LES (lemak,Coklat, kopi,
kola, teh bawang putih, bawang merah, cabe, alcohol, karminativ (peppermint
dan spearmint)).
c. Menghindari makanan yang secara langsung mengiritasi mukosa esofagus
(makanan pedas, jus jeruk, jus tomat dan kopi).
d. Makan makanan yang tinggi protein (meningkatkan tekanan LES).
Makan sedikit dan menghindari tidur segera setelah makan (jika mungkin
3 jam) (menurunkan volume lambung). Penurunan berat badan
(mengurangi gejala).
e. B erhenti merokok (menurunkan relaksasi spontan sfingter esofagus).
f. Menghindari minum alkohol (meningkatkan amplitudo sfinter esophagus,
gelombang peristaltik dan frekuensi kontraksi).
3.6 KIE
1. Menjelaskan kepada pasien aturan pakai obat dan efek samping obat.
2. Memberitahukan kepada pasien untuk menghindari factor pencetus GERD.
3. Memberitahukan kepada pasien untuk mengecek tekanan darah.
4. Memberitahukan kepada pasien untuk menjaga pola hidup sehat, makan makanan
yang bergizi, olahraga teratur, istirahat yang cukup dan berhenti merokok.
BAB IV
KESIMPULAN
3.8 Kesimpulan
Dari kasus GERD diatas ada beberapa hal yang dapat disimpulkan yaitu :
Dari keluhan mual, muntah, dada terasa panas sejak 5 jam yang lalu akibat makan
“Sate Padeh” dekat rumahnya sebanyak 2 porsidan pasien mengkonsumsi obat-obatan
yang di jual bebas di warung seperti Promag, Mylanta jika keluhan muncul dan perokok
aktif. Dan dari pemeriksaan Endoscopy : kesan Esofagitis Reflux. Dari data pemeriksaan
fisik dengan tekanan darah tinggi : pasien hipertensi. Pada kasus ini diberikan Omeprazole
24
20 mg, 1 x sehari selama 8 minggu untuk pengobatan GERD, Hidroklortiazid (HCT) 25
mg, 1 x sehari pada pagi hari untuk mengurangi tekanan darah pada pasien, di berikan obat
kolkisin 0,5 mg, 3x sehari sesudah makan untuk mengatasi gout, salbron tab 2mg, 3 x
sehari sesudah makan untuk mengobati bronchitis pada pasien. (Depkes RI.2006).
Monitoring dan Follow Up dengan pemantauan efek terapi obat, pemantauan efek
samping obat, pemantauan pengguanaan obat dan kepatuhan pasien, pemantauan tekanan
darah.
DAFTAR PUSTAKA
Dipiro, J.T., Wells, B.G., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Posey, L.M., 2005,
Pharmacotherapy, 6th Edition, Appleton ang Lange, New York. 1-13
25
Klinis.PPDS Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM Vol. 22, No.3, Edition September -
November 2009.
Makmun, D. 2009. Penyakit refluks gastroesofageal. Dalam: Sudoyo AW. Buku ajar ilmu
penyakit dalam.Edisi ke-5. Jakarta: Internal Publishing.
26