Anda di halaman 1dari 51

BAB I PENDAHULUAN Saluran pencernaan adalah sekumpulan alat-alat tubuh yang berfungsi menerima

makanan, mencernanya menjadi nutrien, menyerap serta mengeluarkan sisa-sisa proses tersebut. Saluran pencernaan dimulai dari mulut sampai dubur yang panjangnya mencapai kurang lebih 10 meter. Saluran pencernaan mulai dari mulut, gigi, lidah, lambung, usus dampai ke dubur. Sistem pencernaan adalah organ yang seringkali mudah terkena gangguan sehingga timbul berbagai masalah penyakit pencernaan. Penyakit pencernaan adalah semua penyakit yang terjadi pada saluran pencernaan. Penyakit ini merupakan golongan besar dari penyakit pada organ esofagus, lambung, duodenum bagian pertama, kedua dan ketiga, jejunum, ileum, kolon, kolon sigmoid, dan rektum. Penyakit pencernaan yang mulanya ringan dapat berdampak fatal apabila kita tidak mengerti diagnosa penyakit dan cara penanganan yang tepat. Oleh karena itu sangat penting bagi kita untuk mengetahui berbagai seluk beluk hingga penanganan penyakit pencernaan. Makalah ini akan merangkum beberapa contoh kelainan pada sistem saluran perncernaan disertai penjelasan penyakit, patofisiologi, hingga terapi dan penanganan yang tepat untuk setiap penyakit pencernaan.

BAB II ISI
A. GERD ( GASTROESOPHAGEAL REFLUX DEASEASE ) Berdasarkan data epidemiologis, prevalensi GERD di Asia sekitar 2-5% dan esofagitis endoskopik sebesar 2-5%, lebih rendah dibandingkan prevalensi di negara-negara 1-3 Barat. Derajat keparahan GERD di Asia- Pasifik cenderung lebih ringan, dan secara endoskopik normal (non-erosive reflux disease, NERD); kalaupun didapatkan gambaran esofagitis, sebagian besar kasus (90%) merupakan esofagitis Los Angeles (LA) 3 grade A atau B. Esofagus Barrett, striktur esofagus, atau adenokarsinoma esofagus juga lebih jarang ditemukan pada pasien di Asia dibandingkan dengan pasien di negara Barat. Sebaliknya, prevalensi infeksi Helicobacter pylori di Asia (30-60%) lebih tinggi dibandingkan di negara Barat. GERD harus dibedakan dari penyakit saluran cerna atas yang terkait H. pylori, terutama ulkus peptikum dan kanker lambung. 1. Definisi Berdasarkan Genval Workshop, definisi pasien GERD adalah semua individu yang terpapar risiko komplikasi fisik akibat refluks gastroesofageal, atau mereka yang mengalami gangguan nyata terkait dengan kesehatan (kualitas hidup) akibat gejala-gejala yang terkait dengan refluks. Secara sederhana, definisi GERD adalah gangguan berupa regurgitasi isi lambung yang menyebabkan heartburn dan gejala lain. Terdapat dua kelompok GERD. Yang pertama adalah GERD erosif (esofagitis erosif ), didefinisikan sebagai GERD dengan gejala refluks dan kerusakan mukosa esofagus distal akibat refluks gastroesofageal. Pemeriksaan baku emas untuk diagnosis GERD erosif adalah endoskopi saluran cerna atas. Yang kedua adalah penyakit refluks nonerosif (non-erosive reflux disease, NERD), yang juga disebut endoscopicnegative GERD, didefinisikan sebagai GERD dengan gejala-gejala refluks tipikal tanpa kerusakan mukosa esofagus saat pemeriksaan endoskopi saluran cerna. Saat ini, telah diusulkan konsep yang membagi GERD menjadi tiga kelompok, yaitu penyakit refluks non-erosif, esofagitis erosif, dan esofagus Barrett. 2. Patogenesis Tidak ada korelasi antara infeksi H. pylori dan GERD. Hanya sedikit bukti yang menunjukkan bahwa infeksi H. pylori mempunyai peran patogenik langsung terhadap kejadian GERD. Tidak terdapat korelasi antara infeksi H. pylori dan esofagitis, tetapi infeksi galur (strain)
2

beruvirulen organisme tersebut, yang ditandai oleh CagA positif, berbanding terbalik dengan esofagitis, esofagus Barrett (dengan atau tanpa displasia) dan adenokarsinoma esofagus. Setiap pengaruh infeksi H. pylori pada GERD terkait dengan gastritis yang ditimbulkannya dan efeknya pada sekresi asam lambung. Efek eradikasi H. pylori pada gejala refluks dan GERD bergantung pada dua faktor: (i) distribusi anatomis gastritis; dan (ii) ada tidaknya GERD sebelumnya 3. Faktor Penyebab GERD 1) Kelainan LES Pada ujung bawah kerongkongan terdapat katup yang disebut sebagai lower esophageal sphincter. Katup ini akan membuka saat makanan hendak memasuki lambung namun kemudian menutup untuk mencegah makanan naik lagi kekerongkongan. Kelainan pada esophageal sphincter menyebabkan makanan yang telah berada di lambung mengalir kembali kekerongkongan sehingga menyebabkan apa yang disebut GERD. 2) Hiatal Hernia Dada dipisahkan dari perut dengan sebuah sekat otot yang disebut diafragma. Esophageal sphincter terletak pada level yang sama seperti diafragma. Namun dalam beberapa kasus, perut bagian atas, yang melekat pada ujung bawah kerongkongan, bergerak keatas diafragma. Dalam kasus normal, diafragma dan esophageal sphincter sama-sama mencegah aliran makanan kembali ke kerongkongan. Tetapi pada orang dengan hernia hiatus, daya penahan ini berkurang karena keduanya berada dalam level yang berbeda. Akibatnya, makanan yang sudah masuk lambung bisa mengalir kembali kekerongkongan 3) Merokok Merokok berpotensi berkontribusi pada risiko GERD. Merokok akan memicu kerusakan pada selaput lendir, meningkatkan sekresi asam, melemahkan esophageal sphincter bagian bawah, serta mengurangi produksi air liur yang memiliki efek menetralkan asam. Gastroparesis adalah kondisi di mana makanan tetap dalam lambung lebih lama dari waktu normal. Gastroparesis memperpanjang waktu makanan berada dilambung dan dengan demikian memperburuk gejala GERD. 4) Makanan Beberapa makanan dan kebiasaan makan dapat memicu gejala GERD. Berbaring setelah makan makanan berat dapat menyebabkan jantung terasa terbakar. Konsumsi berlebihan
3

cokelat, bawang putih dan bawang merah, kopi atau teh, alkohol, tomat, mint, minuman bersoda dan makanan pedas berpotensi memicu munculnya gejala GERD. Obesitas juga berkontribusi karena menyebabkan tekanan tambahan pada perut. Makan berlebihan, stres, dan diet tinggi garam dan lemak juga mengakibatkan munculnya gejala penyakit ini. 5) Kehamilan Sebagian wanita umum mengalami GERD selama kehamilan. Tekanan tambahan pada perut seiring kerongkongan. Penyebab lain, peningkatan kadar hormone selama kehamilan akan melemahkan fungsi esophageal sphincter. Dalam hamper semua kasus, keluhan ini akan hilang dengan sendirinya setelah melahirkan. 4. Gejala Pemeriksaan fisik

dengan pertumbuhan janin menyebabkan arus balik isi lambung ke

Heartburn adalah gejala khas yang paling umum dari GERD. Hal ini dirasakan sebagai sensasi retrosternal pembakaran atau ketidaknyamanan yang biasanya terjadi setelah makan atau ketika berbaring terlentang atau membungkuk.

Regurgitasi adalah kembali dengan mudah isi lambung atau esofagus ke faring. Regurgitasi dapat menimbulkan komplikasi pernapasan jika isi lambung tumpah ke dalam pohon trakeobronkial.

Disfagia terjadi pada sekitar sepertiga pasien. Pasien dengan disfagia mengalami sensasi makanan berbeda, terutama di daerah retrosternal. Disfagia dapat menjadi gejala dan dapat disebabkan oleh gangguan motilitas utama yang mendasarinya kerongkongan, gangguan motilitas sekunder untuk esophagitis, atau pembentukan striktur.

Gejala Atypical extraesophageal

Batuk atau mengi adalah gejala pernafasan akibat aspirasi isi lambung ke dalam pohon trakeobronkial atau dari busur refleks vagal memproduksi

bronkokonstriksi. Sekitar 50% pasien yang memiliki asma akibat GERD tidak mengalami mulas.

Pita Suara Suara serak hasil dari iritasi pada pita suara oleh refluxate lambung dan sering dialami oleh pasien di pagi hari.

Sakit Dada Non Cardiac Reflux adalah penyebab paling umum sakit dada noncardiac, terhitung sekitar 50% kasus. Pasien dapat hadir ke gawat darurat dengan nyeri yang menyerupai infark miokard. Refluks harus dikesampingkan (menggunakan manometry esofagus dan 24-jam pengujian pH jika perlu) sekali penyebab jantung untuk nyeri dada telah dikecualikan. Atau, percobaan terapi inhibitor dosis tinggi pompa proton (PPI) bisa dicoba. Pemantauan pH Ambulatory menunjukkan episode refluks berhubungan dengan maag yang dialami oleh pasien.

Gejala atipikal tambahan dari refluks yang abnormal termasuk kerusakan pada paru-paru (misalnya, pneumonia, asma, idiopathic pulmonary fibrosis), pita suara (misalnya, radang tenggorokan, kanker), telinga (misalnya otitis media), dan gigi (misalnya, enamel pembusukan).

5. Diagnosis Adanya gejala klasik GERD (heartburn dan regurgitasi), yang ditemukan melalui anamnesis yang cermat, merupakan patokan diagnosis. Pada beberapa pasien, GERD perlu dibedakan dari kondisi lain, misalnya penyakit traktus bilier dan penyakit arteri koroner. Pemeriksaan barium tidak dapat menegakkan diagnosis GERD. Sekitar 50% pasien GERD simtomatik memperlihatkan hasil pH-metri yang normal, sementara hanya 25% penderita esofagitis erosif dan 7% penderita esofagus Barrett yang menunjukkan hasil pH-metri normal. Pemeriksaan endoskopi pada esofagitis erosif menurut klasifikasi LA mempunyai korelasi positif yang bermakna dengan pH-metri esofagus 24-jam dan gejala-gejala klinisnya. Tes PPI

Beberapa uji klinis prospektif terkontrol meneliti penggunaan empiris PPI untuk GERD. Tes PPI adalah pengobatan PPI selama 2 minggu pada pasien yang mempunyai gejala GERD atau pasien yang mempunyai manifestasi GERD atipikal/ekstraesofageal. Dalam tes ini, PPI diberikan dua kali sehari; sensitivitas tes PPI sebesar 68- 80% untuk diagnosis GERD. Dari penelitian di Asia, terungkap bahwa 93% penderita yang mempunyai gejala GERD tipikal dan endoskopinya normal ternyata responsif terhadap terapi PPI selama 2 10 minggu tersebut. Tes PPI merupakan sebuah modalitas diagnostik yang bermanfaat, tetapi perlu diingat bahwa respons positif terhadap tes PPI tidak selalu sebanding dengan
5

diagnosis GERD, begitu juga respons negatif tidak serta merta dapat menyingkirkan diagnosis GERD. Gejala Peringatan (Alarm Symptoms)

Endoskopi saluran cerna atas pada pasien dengan gejala heartburn atau regurgitasi bukan keharusan bagi pasien GERD, mengingat lebih dari 90% pasien GERD di Asia tidak menunjukkan kelainan pada pemeriksaan endoskopi (endoscopic-negative). Selain itu, karena mahalnya biaya pemeriksaan dan tidak semua daerah memiliki fasilitas endoskopi saluran cerna atas, penggunaan endoskopi sebagai modalitas diagnostik masih terbatas di Indonesia. Setelah diagnosis klinis ditegakkan, PPI dosis standar dapat diberikan selama 1 atau 2 mingu (tes PPI) pada penderita dengan gejala yang tipikal. Tes PPI bersifatsensitif dan spesifik untuk mendiagnosis GERD yang mempunyai gejala tipikal; strategi ini dapat menghemat biaya secara nyata dan mengurangi penggunaan tes diagnostik yang invasif. Jika responsnya sesuai, pasien harus melanjutkan

pengobatansedikitnya selama 4 minggu. Setelah itu, direkomendasikan untuk memberikan terapi on-demand mengingat sebagian besar pasien di Asia tidak menunjukkan kelainan pada pemeriksaan endoskopi. Pasien harus dirujuk untuk menjalankan pemeriksaan endoskopi saluran cerna jika tidak responsif terhadap PPI, mengalami relaps berulang, gejala atipikal, gejala berat, atau gejala peringatan (alarm symptoms). Gejala peringatan untuk rujukan dini endoskopi saluran cerna atas meliputi penurunan berat badan, anemia, hematemesis atau melena, riwayat kanker lambung dan/ atau esofagus dalam keluarga, penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid, disfagia progresif, odinofagia, dan usia >40 tahun di daerah prevalensi tinggi kanker lambung. 6. Penatalaksanaan Modifikasi Gaya Hidup Modifikasi gaya hidup tidak direkomendasikan sebagai pengobatan primer GERD. Penelitian objektif belum memperlihatkan bahwa alkohol, diet, dan faktor psikologis berperan signifikan dalam GERD. Modifikasi gaya hidup dapat mengurangi episode refluks individual; pasien yang mengalami eksaserbasi gejala refluks yang berhubungan dengan makanan atau minuman tertentu dapat direkomendasikan untuk menghindari makanan atau minuman bersangkutan. Sebuah penelitian observasional menyatakan bahwa merokok merupakan factor risiko independen GERD simtomatik. Merokok terkait
6

dengan peningkatan pajanan asam pada esophagus (berdasarkan pemeriksaan pH-metri). Namun, tidak terdapat penelitian intervensional yang menunjang penghentian merokok sebagai terapi primer GERD Penelitian observasional lain memperlihatkan secara konsisten bahwa obesitas merupakan salah satu faktor risiko GERD. Namun, dari sebuah penelitian yang menggunakan kontrol, belum terbukti bahwa penurunan berat badan dapat memperingan gejala menyebabkan relaksasi sfingter esofagus bagian bawah ataupun mengurangi pajanan asam pada esofagus. Terapi Medikamentosa

Sasaran pengobatan GERD adalah menyembuhkan esofagitis, meringankan gejala, mempertahankan remisi, memperbaiki kualitas hidup, dan mencegah komplikasi. Terapi medikamentosa untuk memperingan gejala GERD mencakup pemberian antasida, prokinetik, H2-receptor antagnists (H2-RA), dan PPI. Untuk mengontrol gejala dan penyembuhan esofagitis pada GERD erosif, saat ini PPI merupakan pilihan yang paling efektif. Hanya satu penelitian yang memperlihatkan bukti efikasi antasida dalam pengobatan GERD. Uji klinik yang menilai efikasi famotidine, cimetidine, nizatidine, dan ranitidine memperlihatkan bahwa H2- RA lebih efektif dibanding plasebo dalam meringankan gejala GERD derajat ringan sampai sedang, dengan tingkat respons 18 20 60% - 70%. Uji klinik PPI jangka pendek memperlihatkan penyembuhan yang lebih cepat dan perbaikan heartburn dibandingkan H2-RA atau prokinetik pada penderita esofagitis erosif. Di antara berbagai PPI, pemberian omeprazole, lansoprazole, pantoprazole, dan rabeprazole dosis standar menghasilkan kecepatan penyembuhan dan remisi yang sebanding pada kasus esofagitis erosif. Proton pump inhibitor juga efektif pada penderita esofagitis refluks yang resisten terhadap H2-RA. Dari penelitian jangka panjang (sampai 11 tahun), penggunaan PPI relatif aman; insidens gastritis atrofik sebesar 4,7% pada pasien H. pylori-positif dan 0,7% pada pasien H. pylori-negatif, serta tidak ditemukan displasia ataupun neoplasma. Atas dasar efikasi dan kecepatan perbaikan gejala, PPI dosis standar dapat diberikan untuk pengobatan awal GERD erosif. Bedah Anti-refluks Pembedahan, yaitu dengan funduplikasi, merupakan salah satu alternatif terapi di samping terapi medikamentosa dalam upaya meringankan gejala dan menyembuhkan esofagitis. Namun, morbiditas dan mortalitas pasca-operasi bergantung

pada keterampilan dokter bedah. Karena itu, pilihan antara terapi medikamentosa dan tindakan bedah berpulang pada keputusan pasien maupun ketersediaan dokter bedah.

B. ULKUS PEPTIKUM 1. Definisi Ulkus Peptikum Ulkus Peptikum merupakan sebuah lubang pada mukosa, dapat mengenai semua bagian dari traktus gastrointestinalis karena terekspose oleh sekresi asam lambung dan enzim pepsin. Setidaknya 98% dari ulkus peptikum terletak pada bagian porsi pertama dari duodenum atau pada lambung. Ulkus duodenum dan ulkus lambung, walaupun keduanya timbul bersamaan dan mempunyai morfologi yang besar, tapi besar kemungkinan keduanya memiliki perbedaan asal atau origin. Menurut definisi, ulkus peptikum dapat terletak pada setiap bagian saluran cerna yang terkena getah asam lambung, yaitu esophagus, lambung, duodenum, dan gastrointerostomi, juga jejunum.

2. Gejala Gejala dari Ulkus peptikum adalah: Nyeri abdomen yang sering terasa seperti rasa terbakar, kembung, perasaan perut penuh Nyeri nokturnal atau rasa nyeri pada malam hari umumnya antara pukul 12 malam hingga 3 pagi Tingkat keparahan nyeri akibat ulkus bervariasi pada beberapa pasien. Adanya perubahan karakter nyeri dapat menunjukan adanya komplikasi Mulas, bersendawa, dan kembung yang sering disertai rasa nyeri

Mual, muntah dan anoreksia lebih sering terjadi pada pasien ulkus lambung dibanding ulkus duodenum 3. Asam dan Pepsin (Faktor Agresif) Pepsin adalah suatu enzim yang bekerja sama dengan asam klorida (HCl) yang dihasilkan oleh lapisan lambung untuk mencerna makanan, terutama protein. Asam hidroklorida disekresikan secara kontinyu, tetapi sekresi meningkat karena mekanisme neurogenik dan hormonal yang dimulai dari rangsangan lambung dan usus. Peranan faktor agresif untuk terjadinya ulkus peptikum secara jelas belum terungkap secara keseluruhan, walaupun pada penderita ulkus duodenum peranan asam memegang peranan penting, mungkin dengan kombinasi faktor lain seperti meningkatnya sekresi sel parietal, meningkatnya sekresi lambung seperti gastrin, asetilkolin atau histamin. Peningkatan asam akan merangsang saraf kolinergik dan saraf simpatik. Perangsangan terhadap kolinergik akan berakibat terjadinya peningkatan motilitas sehingga menimbulkan rasa nyeri, sedangkan rangsangan terhadap saraf simpatik dapat mengakibatkan reflek spasme esophageal sehingga timbul regurgitasi asam HCl yang menjadi pencetus timbulnya rasa nyeri berupa rasa panas seperti terbakar. Selain itu, rangsangan terhadap saraf sympatik juga dapat mengakibatkan terjadinya piloropasme yang berlanjut menjadi pilorustenosis yang berakibat lanjut makanan dari lambung tidak bisa masuk ke saluran berikutnya. Oleh karena itu pada penderita ulkus peptikum setelah makan mengalami mual, anoreksia, kembung dan kadang vomitus. Resiko terjadinya kekurangan nutrisi bisa terjadi sebagai manifestasi dari gejala-gejala tersebut. Pada penderita tukak lambung mengalami peningkatan pepsin yang berasal dari pepsinogen. Pepsin menyebabkan degradasi mukus yang merupakan salah satu faktor tukak lambung. Oleh karena itu terjadilah penurunan fungsi sawar sehingga mengakibatkan penghancuran kapiler dan vena kecil. Bila hal ini terus berlanjut akan dapat memunculkan komplikasi berupa pendarahan. Tukak lambung berbeda dengan tukak duodenum karena abnormalitas asam tidak begitu memegang peranan penting, barangkali mekanisme pertahanan mukosa lebih penting (faktor defensit); antara lain gangguan motilitas lambung yang menyebabkan refluks empedu dari duodenum ke lambung, perlambatan pengosongan lambung.

4. Mekanisme Pertahanan Mukosa (Faktor Defensif) Dibanding dengan faktor agresif, maka gangguan faktor pertahanan mukosa lebih penting untuk terjadinya ulkus peptikum. Adapun yang menurunkan mukosa lambung atau yang merusak mukosa lambung adalah ulserogenik, salisilat dan obat antiinflamasi non steroid lain, alkohol, dan obat anti inflamasi masuk dalam kategori ini. Epitel saluran pencernaan mempertahankan integritasnya melalui beberapa cara, antara lain sitoproteksi seperti pembentukan dan sekresi mukus, sekresi bikarbonat dan aliran darah. Di samping itu ada beberapa mekanisme protektif di dalam mukosa epitel sendiri antara lain pembatasan dan mekanisme difusi balik ion hidrogen melalui epitel, netralisasi asam oleh bikarbonat dan proses regenerasi epitel. Semua faktor tadi mempertahankan integritas jaringan mukosa saluran cerna; berkurangnya mukosa yang disebabkan oleh satu atau beberapa faktor mekanisme pertahanan mukosa akan menyebabkan timbulnya ulkus peptikum. Jadi terlihat bahwa untuk terjadinya ulkus peptikum selain adanya faktor agresif (asam dan pepsin) dan yang lebih penting adalah integritas faktor pertahanan mukosa (defensif) saluran cerna; jika ini terganggu maka timbullah ulkus peptikum. 1) Pembentukan dan Sekresi Mukus Mukus menutupi lumen saluran pencemaan yang berfungsi sebagai proteksi mukosa. Fungsi mukus sebagai proteksi mukosa :

Pelicin yang menghambat kerusakan mekanis (cairan dan benda keras). Barier terhadap asam. Barier terhadap enzim proteolitik (pepsin). Pertahanan terhadap organisme patogen.

Fungsi mukus selain sebagai pelicin, tetapi juga sebagai netralisasi difusi kembali ion hidrogen dari lumen saluran pencernaan. 2) Sekresi Bikarbonat Tempat terjadinya sistim bufer asam di lambung dan duodenum masih kontroversial, menurut pandangan sebelumnya netralisasi asam oleh bikarbonat terjadi di mukus dan bikarbonat berasal dari sel epitel yang disekresi secara transport aktif. Pandangan lain adalah bahwa efek sitoprotektif bikarbonat terjadi pada permukaan membran epitel.
10

3) Aliran Darah Mukosa Integritas mukosa lambung terjadi akibat penyediaan glukosa dan oksigen secara terus menerus dan aliran darah mukosa mempertahankan mukosa lambung melalui oksigenasi jaringan yang memadai dan sebagai sumber energi. Selain itu fungsi aliran darah mukosa adalah untuk membuang atau sebagai bufer difusi kembali dari asam. 4) Mekanisme Permeabilitas Ion Hidrogen Proteksi untuk mencapai mukosa dan jaringan yang lebih dalam diperoleh dari resistensi elektris dan permeabilitas ion yang selektif pada mukosa. Pada binatang percobaan terlihat esofagus dan fundus lambung kurang permeabilitasnya dibanding dengan antrum lambung dan duodenum. Pergerakan ion hidrogen antar epitel dipengaruhi elektrisitas negatif pada lumen; kation polivalen (Ca2+ ; Mg2+ dan Al2+) dapat menutupi tekanan elektris negatif dari ion hidrogen sehingga mempunyai efek pada pengobatan tukak peptik. 5) Regenerasi Epitel Mekanisme proteksi terakhir pada saluran cerna adalah proses regenerasi sel (penggantian sel epitel mukosa kurang dari 48 jam). Kerusakan sedikit pada mukosa (gastritis/duodenitis) dapat diperbaiki dengan mempercepat penggantian sel-sel yang rusak. Respons kerusakan mukosa (ulserasi) pada manusia belum jelas. Obat-obatan golongan NSAID (aspirin), alkohol, garam empedu, dan obat-obatan lain yang merusak mukosa lambung, mengubah permeabilitas sawar epitel,

memungkinkan difusi balik asam klorida dengan akibat kerusakan jaringan (mukosa) dan khususnya pembuluh darah. Hai ini mengakibatkan pengeluaran histamin. Histamin akan merangsang sekresi asam dan meningkatkan pepsin dari pepsinogen. Histamin ini akan mengakibatkan juga peningkatan vasodilatasi kapiler sehingga membran kapiler menjadi permeabel terhadap protein, akibatnya sejumlah protein hilang dan mukosa menjadi edema. Pendapat lain yang berbeda adalah penyebab lain dari ulserasi mukosa. Biasanya ulserasi mukosa dengan syok ini menimbulkan penurunan aliran darah mukosa lambung. Selain itu jumlah besar pepsin dilepaskan. Kombinasi iskemia, asam dan pepsin menciptakan suasana ideal untuk menghasilkan ulserasi. Ulkus stress harus dibedakan dari ulkus cushing dan ulkus curling, yaitu dua tipe lain dari ulkus lambung.
11

Ulkus stress adalah istilah yang diberikan pada ulserasi mukosa akut dari duodenal atau area lambung yang terjadi setelah kejadian penuh stress secara fisiologis. Kondisi stress seperti luka bakar, syok, sepsis berat, dan trauma dengan organ multiple dapat menimbulkan ulkus stress. Bila kondisi stress berlanjut ulkus meluas. Bila pasien sembuh, lesi sebaliknya. 6) Peranan Prostaglandin Prostaglandin mempunyai peranan penting untuk mempertahankan mukosa saluran cerna terhadap pengaruh sekitarnya. Banyak zat iritan yang didapatkan pada mukosa saluran cerna yang merusak epitel bila sekresi prostaglandin terganggu. Prostaglandin seri A dan E diketahui dapat menghambat sekresi asam lambung dan dapat mencegah tukak peptik, prostaglandin pada binatang dan manusia juga meningkatkan sekresi mukus. Prostaglandin telah diyakini mempertahankan integritas saluran cema dengan cara regulasi sekresi asam lambung, sekresi mukus, bikarbonat dan aliran darah mukosa. Mekanisme Anti Ulkus Peptikum Dari Prostaglandin
o

Sitoprotektif :

Sekresi mukus. Sekresi bikarbonat. Aliran darah lambung.

Inhibisi sekresi asam. Pada penelitian ternyata sekresi bikarbonat meningkat setelah pemberian PGE2

(prostalgadin E2). Prostaglandin E merupakan vasodilator yang poten. Selain mempunyai sifat sitoprotektif, PGE 1 dan PGE 2 mempunyai efek menghambat sekresi lambung. Dari penelitian klinis dengan berbagai macam sitoprotektif terlihat bahwa prostaglandin E sangat berfaedah mencegah efek toksik obat antiinflamasi non-steroid (menghambat sintesa prostaglandin) atau alkohol. Pada suatu penelitian didapatkan aktivitas sintesa prostaglandin pada mukosa bulbus duodenum selama puasa lebih tinggi pada penderita tukak duodenum dari kontrol. Hasil rasio total prostaglandin setelah makan dan sebelum makan lebih rendah pada penderita tukak duodenum dari pada penderita normal. Pada suatu penelitian penderita dengan tukak lambung dan orang normal kadar prostaglandin jaringan di daerah antrum
12

dan korpus lambung pada tukak lambung didapatkan lebih rendah dari orang normal. Sedangkan pada tukak lambung yang menyembuh didapatkan kadar prostaglandin jaringan lebih tinggi dari yang tidak sembuh. 5. Faktor Kontribusi atau Predisposisi Faktor kontribusi/predisposisi antara lain letak geografis, jenis kelamin, faktor psikosomatik, herediter, merokok, obat dan faktor lainnya. Letak geografis mempengaruhi adanya tukak peptik dan mengenai jenis kelamin didapatkan pria lebih banyak pada tukak peptik. Faktor herediter: tukak peptik lebih sering terjadi 23 kali dari keluarganya yang mendapat tukak peptik dibanding dari populasi normal. Pada golongan darah O didapatkan 30 40% lebih sering dari golongan darah lainnya dan tukak peptiknya lebih sering di duodenum. Pengaruh merokok terlihat pada penelitian epidemiologik; perokok lebih sering menderita tukak peptik (pria : wanita berbanding 2,6 : 1,6) dan juga memperpendek residif. Obat-obat yang mempengaruhi timbulnya tukak peptik antara lain aspirin yang diketahui menghambat sintesis prostaglandin. Selain itu obat anti inflamasi non-steroid juga dapat merusak mukosa dan menghambat sekresi prostaglandin. Ada peneliti yang mengatakan bahwa sekarang tidak terbukti bahwa terdapat hubungan antara infeksi Campylobacter (Helicobacter pylori) dengan gastritis dan ulkus peptikum. 6. Diagnostik Klinik Tahapan pada dianostik klinik: 1) Pemeriksaan terhadap catatan medis Dokter akan menanyakan secara mendetail mengenai riwayat dari gejala sakit yang menjadi keluhan dan mencari hubungannya dengan faktor risiko penyebab yang mungkin terlibat. 2) Pemeriksaan fisik pasien Biasanya dokter akan memeriksa perut (abdomen) bagian bawah untuk memeriksa ada tidaknya nyeri. 3) Pemeriksaan Laboratorium a. Urea Breath Test (UBT) Tes ini merupakan pilihan pertama untuk mendeteksi adanya Helicobacter pylori pada saluran pencernaan. Cara ini merupakan metoda diagnostik noninvasif yang paling akurat dan sederhana. Pasien akan diminta untuk meminum C13

Urea berlabel radioaktif (C-14/C-13). Kemudian setiap 10 menit sampel napas pasien akan diambil untuk diteliti. Urea berlabel radioaktif tersebut akan dihidrolisis oleh urease yang terdapat pada H. pylori menjadi amonia dan bikarbonat yang berlabel. Bikarbonat kemudian akan dikeluarkan melalui udara napas sebagai CO2 berlabel. Terdapat hubungan erat antara uji C-urea napas dengan jumlah bakteri yang juga dapat menggambarkan derajat gastritis. Walaupun cara ini akurat, C-14 tidak dianjurkan untuk ibu hamil, ibu menyusui, dan anak-anak. Karena C-14 memiliki waktu paruh yang cukup lama. Untuk anak-anak sekarang lebih banyak dipakai C-13, isotop yang non-radioaktif. C-13 Urea ini juga akan muncul pada napas jika terdapat bakteri H. pylori. Sampel napas juga diambil dengan interval waktu tertentu, misalnya setiap 10 menit atau setiap 20 menit. Sebelum dilakukan pemeriksaan, pasien harus melakukan puasa selama 6 jam sebelum dilakukan pemeriksaan. Pasien juga tidak boleh mengkonsumsi antibiotik apapun, karena dapat mengganggu hasil pemeriksaan. UBT memang memberikan hasil yang cukup spesifik, akan tetapi pemeriksaan ini memakan biaya yang besar. b. Endoskopi saluran pencernaan atas Endoskopi ini dilakukan jika pasien memang memiliki kemungkinan terinfeksi H. pylori, karena endoskopi dan pengambilan sampel biopsi merupakan diagnostik invasif. Sebelum pemeriksaan, pasien akan diberikan suntikan penenang pada pembuluh vena. Lalu pada bagian leher akan diberi semprotan bius lokal. Sebuah tabung fleksibel yang berukuran sebesar jari kelingking akan dimasukkan ke dalam tubuh melalui mulut, masuk ke esofagus, lambung, dan duodenum. Pada ujung tabung ini ada kamera yang digunakan dokter untuk melihat keadaan saluran pencernaan. Biasanya, akan sekaligus diambil beberapa sampel biopsi untuk dilakukan pemeriksaan. Pasien akan mengalami

ketidaknyamanan pada saat awal pemeriksaan, akan tetapi setelah tabung melewati kerongkongan biasanya akan terbiasa. Pada pemeriksaan endoskopi pasien juga harus melaksanakan diet terhadap makanan dan minuman 6 jam

14

sebelum pemeriksaan, dan tidak dianjurkan untuk mengkonsumsi antibiotik apapun. c. Sinar-X kontras Barium Bagian saluran pencernaan yang tidak terlihat dengan sinar-x biasa (datar) dapat dicitrakan dengan kontras Barium. Untuk pemeriksaan esofagus, lambung, dan duodenum diberikan barium sulfat, zat penahan sinar-x, dalam bentuk minuman (prosedur barium telan). d. Biopsi Sampel jaringan maupun sel yang diambil pada endoskopi dapat dilakukan uji urease. Uji urease yang dilakukan pada jaringan biopsi lambung akan memperlihatkan perubahan warna media yang digunakan akibat adanya peningkatan pH akibat digesti urea oleh urease. Uji ini memiliki nilai spesifitas yang tinggi, tetapi sangat tergantung pada ketepatan pengambilan sampel jaringan. Nilai sensitifitas dapat berkurang jika pasien mendapat terapi proton pump inhibitor (PPI), antibiotik, atau bismut. Hal ini dapat disebabkan oleh berkurangnya jumlah bakteri, berpindahnya bakteri dari antrum ke korpus, atau terganggunya aktivitas urease. Pada pasien yang mendapat obat-obat tersebut, tidak dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan biopsi. Pemeriksaan ini mempunyai nilai sensitivitas yang tinggi pada orang dewasa, namun hasil negatif palsu sering ditemukan pada anak. Hal ini mungkin disebabkan oleh koloni bakteri yang lebih sedikit pada anak. Uji ini merupakan pilihan pertama apabila dilakukan tindakan endoskopi.

C. ULKUS DUODENUM 1. Definisi Ulkus Peptikum adalah luka berbentuk bulat atau oval yang terjadi karena lapisan lambung atau usus dua belas jari (duodenum) telah termakan oleh asam lambung dan getah pencernaan. Ulkus yang dangkal disebut erosi Ulkus peptikum terjadi pada lapisan saluran pencernaan yang telah terpapar oleh asam dan enzim-enzim pencernaan, terutama pada lambung dan usus dua belas jari. Nama dari ulkus menunjukkan lokasi anatomis atau lingkungan dimana ulkus terbentuk.
15

Ulkus duodenalis, merupakan jenis ulkus peptikum yang paling banyak ditemukan, terjadi pada duodenum (usus dua belas jari), yaitu beberapa sentimeter pertama dari usus halus, tepat dibawah lambung. Faktor yang mempengaruhi terjadinya erosi dan tukak pada saluran pencernaan bagian atas adalah perimbangan antara faktor agresif (asam dan pepsin) dan faktor pertahanan (defensif) dari mukosa. Faktor pertahanan ini antara lain Pembentukan dan sekresimukus sekresibikarbonat alirandarahmukosa dan difusi kembali ion hidrogen pada epitel serta regenerasi epitel. Disamping kedua faktor tadi ada faktor yang merupakan faktor predisposisi (kontribusi) untuk terjadinya tukak peptik antara lain o jenis kelamin o faktor stress o Merokok o Obat-obatan o Infeksibakteria

Gambar 1 Faktor yang Mempengaruhi Ulkus Duodenum

16

2. Mekanisme Penyebab Ulkus lambung atau ulkus duodenum merupakan bagian dari ulkus peptikum, pemberian nama ini hanya di dasarkan pada letak perbedaan anatomis terbentuknya ulkus. Dimana ulkus gaster terbentuk di lambung sedangkan ulkus duodenum terbentuk di usus halus atau tepatnya pada bagian duodenum. Ulkus terjadi jika mekanisme pertahanan yang melindungi duodenum atau lambung menurun, misalnya jika terjadi perubahan dalam jumlah lendir yang dihasilkan. Faktor pertahanan antara lain adalah pembentukan dan sekresi mukus, sekresi

bikarbonat, aliran darah mukosa dan difusi kembali ion hidrogen pada epitel serta regenerasi epitel. Di samping faktor tadi ada faktor yang merupakan faktor kontribusi untuk terjadinya tukak peptik antara lain daerah geografis, jenis kelamin, faktor stress, herediter, merokok, obatobatan dan infeksi bakteria agresif. 1) Sekresi asam lambung Normal produksi asam lambung kira-kira 20 mEq/jam. Pada penderita tukak, produksi asam lambung dapat mencapai 40 mEq/jam. Yang khas pada penderita ulkus duodenum adalah peningkatan asam lambung pada keadaan basal dan meningkatnya asam lambung pada stimulasi atau lamanya peningkatan asam setelah makan. Selain itu terlihat peningkatan motilitas di samping efek pepsin dan asam empedu yang bersifat toksik pada mukosa duodenum. Penghasil asam yang tinggi memiliki kecendrungan yang lebih besar untuk menderita ulkus peptikum dibanding dengan penghasil asam yang rendah. Tetapi sebagian besar penghasil asam yang tinggi tidak mempunyai ulkus dan beberapa penghasil asam yang rendah memiliki ulkus. Karena itu, terdapat beberapa faktor lain yang mengakibatkan terjadinya ulkus selain tingginya asam yang dihasilkan. 2) Infeksi Helicobacter Pylori Sekitar 90% dari tukak duodenum dan 75 % dari tukak lambung berhubungan dengan infeksi Helicobacter pylori. Helicobacter Pylori adalah bakteri gram negatif, hidup dalam suasana asam pada lambung/duodenum, ukuran panjang sekitar 3m dan diameter 0,5m, punya 1 flagel pada salah satu ujungnya, terdapat hanya pada lapisan mukus permukaan epitel antrum lambung, karena pada epithelium lambung terdapat

17

reseptor adherens in vivo yang dikenali oleh Helicobacter pylori, dan dapat menembus sel epitel/antar epitel. 3) Helicobacter pylori Menyebabkan melemahnya lapisan lendir pelindung lambung dan duodenum sehingga asam lambung bisa menembus lapisan yang sensitif di bawahnya Para ahli sepakat bahwa penyebab utama dari ulkus peptikum pada orang dewasa adalah bakteri Helicobacter pylori, tetapi tidak semua ahli berpendapat bahwa penyebab utama dari ulkus pada masa kanak-kanak adalah bakteri tersebut. Beberapa ahli mengemukakan perbedaan antara ulkus duodenalis dan ulkus gastrikum; ulkus duodenalis biasanya disebabkan oleh infeksi Helicobacter pylori, sedangkan ulkus gastrikum memiliki penyebab yang lain. 4) Pertahanan Mukosal Lambung NSAIDs, alkohol, garam empedu, dan zat-zat lain dapat menimbulkan kerusakan pada mukosa lambung akibat difusi balik asam klorida menyebabkan kerusakan jaringan, khususnya pada pembuluh darah. Penggunaan NSAIDs, menghambat kerja dari enzim siklooksigenase (COX) pada asam arakidonat sehingga menekan produksi prostaglandin. Pada pengguna NSAIDs, contohnya, indomethacin, diclofenac, dan aspirin (terutama pada dosis tinggi), kerjanya yang menghambat enzim siklooksigenase menyebabkan sintesis prostaglandin dari asam arakidonat turut terhambat. Efek yang tidak diinginkan pada penggunaan NSAIDs adalah penghambatan sistesis prostaglandin secara sistemik terutama pada epitel lambung dan duodenum sehingga melemahkan proteksi mukosa. Tukak dapat terjadi setelah beberapa hari atau minggu penggunaan NSAIDs dan efek terhadap hambatan aggregasi trombosit menyebabkan bahaya perdarahan pada tukak. 3. Diagnostik Klinik Diagnosa klinik dapat ditegakkan berdasarkan : Gejala o Nyeri 1. Nyeri tumpul, seperti tertusuk atau sensasi terbakar di epigastrium tengah atau di punggung.
18

2. Nyeri hilang dengan makan atau minum antasida, namun apabila lambug sudah kosong dan alkali hilang, nyeri akan kembali timbul. 3. Nyeri tekan tajam dengan memeberikan tekanan kuat pada epigastrium, atau sedikit ke kanan garis tengah tubuh. o Muntah 1. Jarang terjadi pada ulkus duodenum tak-terkomplikasi. 2. Mungkin didahului mual atau bisa saja tidak. o Konstipasi dan perdarahan, sebagai akibat dari diet dan obat. Pemeriksaan fisik yang dapat menunjukan adanya nyeri, nyeri tekan epigastrik atau distensi abdominal. Pemeriksaan dengan barium terhadap saluran GI atas dapat menunjukan adanya ulkus, namun endoskpoi adalah prosedur diagnostic pilihan. Endoskopi GI atas digunakan untuk mengidentifikasi perubahan inflamasi, ulkus, dan lesi. Melalui endoskopi mukosa dapat secara langsung dilihat dan biopsy didapatkan. Endoskopi telah diketahui dapat mendeteksi beberapa lesi yang tidak terlihat melalui pemeriksaan sinar X karena ukuran atau lokasinya. Pemeriksaan kuman Helicobacter pylori dengan menggunakan

1) Tes Serologi Tes yag dilakukan terhadap antibody pada antigen H pylori. Tes ini dapat dipakai untuk memebedakan infeksi yang aktif, infeksi ringan. 2) Ureas Breath Test (UBT) Tes dengan menggunakan urea
13

C atau 14C. Tes ini mempunyai sensitifitas 90-95%

dan spesifisitas 98-99%, dan dapat digunakan untuk memantau keberhasilan terapi. Apabila ada H. pylori dalam lambung enzim urease (+) maka urea 13C dan 14C setelah diminum akan diubah menjadi amonia dan CO2 dimana CO2 akan dikeluarkan melalui nafas yang dapat diukur denngan mass spectrometer untuk 14CO2. 3) PCR (Polyemerase Chain Reaction) Merupakan tes deteksi DNA yang memiliki spesifitas dan sensitifitas yang tinggi. Tes PCR dapat mendeteksi sedikitnya 100 sel H. pylori.
13

C O2 atau scintillation counter

19

D. SINDROM ZOLLINGER-ELLISON 1. Definisi Sindrom Zollinger-Ellison Sindrom Zollinger-Ellison adalah kondisi kompleks di mana terdapat satu atau lebih bentuk tumor di pankreas atau di bagian atas usus 12 jari (duodenum). Tumor-tumor ini menghasilkan hormon gastrin dalam jumlah besar di dalam darah yang menyebabkan produksi asam yang lerlebihan pada lambung. Asam yang berlebihan ini akan menuntun pada terjadinya bisul di perut. Sindrom Zollinger-Ellison termasuk kasus yang jarang. Di Amerika Serikat, kurang dari 1% borok di usus 12 jari (duodenum) dihasilkan dari sindrom Zollinger-Ellison. Penyakit ini bisa terjadi kapan saja, namun usia rata-rata diagnosis adalah 50 tahun. Terapi untuk sindrom Zollinger-Ellison sebagian besar terdiri dari obat-obatan untuk mengurangi asam dan menyembuhkan bisul. Operasi untuk mengangkat tumor mungkin menjadi opsi untuk pasien sindrom Zollinger-Ellison. Sindrom Zollinger-Ellison menyebabkan tanda-tanda dan gejala-gejala serupa dengan mereka yang menderita bisul di perut, antara lain: Terbakar, nyeri, rasa sakit atau tidak nyaman di perut bagian atas Diare Rasa panas terbakar (heartburn) Mual dan muntah Merasa lemah Pendarahan di sistem saluran cerna Penurunan berat badan Penyebab pasti sindrom Zollinger-Ellison masih tidak diketahui. Namun rangkaian kejadian pada sindrom Zollinger-Ellison jelas. Sindrom dimulai saat tumor (gastrinoma) atau bentuk tumor berada di pankreas atau usus 12 jari. Pankreas terletak di belakang dan bawah perut . Organ ini memproduksi enzim yang penting untuk mencerna makanan. Pankreas juga menghasilkan sejumlah hormon, seperti insulin dan glucagon, yang berfungsi mengatur kadar gula darah, demikian juga hormon perut gastrin, yang mengendalikan produksi asam lambung. Usus 12 jari, bagian lebih atas dari usus kecil, dimulai di bagian bawah akhir perut. Pada duodenum, produksi dari pankreas, hati dan empedu akan bercampur. Saat inilah pencernaan makanan mencapai puncaknya.
20

Tumor yang terjadi pada sindrom Zollinger-Ellison akan membuat sel mengeluarkan enzim gastrin dalam jumlah amat banyak, yang akan menyebabkan lambung memproduksi terlalu banyak asam. Asam yang berlebihan ini menuntun pada terjadinya bisul perut dan kadang-kadang diare. Selain menyebabkan produksi asam berlebih, tumor mungkin akan bersifat ganas (malignan). Tumor itu sendiri tumbuh lambat, namun kanker (ganas) dapat menyebar ke mana saja, umumnya di dekat kelenjar getah bening atau hati. Sindrom Zollinger-Ellison bisa dikaitkan dengan penyakit lain yang disebut multiple endocrine neoplasia, type 1 (MEN 1). Orang dengan MEN 1 memiliki tumor majemuk di sistem endokrin selain tumor pankreas. Pasien ini juga memiliki tumor di kelenjar paratiroid dan mungkin juga di kelenjar pituitari. Sekira 25% orang yang mengidap gastrinoma memiliki sejumlah tumor tersebut sebagai bagian MEN 1. 2. Mekanisme Penyebab Penyebab pasti sindrom Zollinger-Ellison masih tidak diketahui. Namun rangkaian kejadian pada sindrom Zollinger-Ellison jelas. Sindrom dimulai saat tumor (gastrinoma) atau bentuk tumor berada di pankreas atau usus 12 jari. Pankreas terletak di belakang dan bawah perut . Organ ini memproduksi enzim yang penting untuk mencerna makanan. Pankreas juga menghasilkan sejumlah hormon, seperti insulin dan glucagon, yang berfungsi mengatur kadar gula darah, demikian juga hormon perut gastrin, yang mengendalikan produksi asam lambung. Usus 12 jari, bagian lebih atas dari usus kecil, dimulai di bagian bawah akhir perut. Pada duodenum, produksi dari pankreas, hati dan empedu akan bercampur. Saat inilah pencernaan makanan mencapai puncaknya. Tumor yang terjadi pada sindrom Zollinger-Ellison akan membuat sel mengeluarkan enzim gastrin dalam jumlah amat banyak, yang akan menyebabkan lambung memproduksi terlalu banyak asam. Asam yang berlebihan ini menuntun pada terjadinya bisul perut dan kadang-kadang diare. Selain menyebabkan produksi asam berlebih, tumor mungkin akan bersifat ganas (malignan). Tumor itu sendiri tumbuh lambat, namun kanker (ganas) dapat menyebar ke mana saja,umumnya di dekat kelenjar getah bening atau hati. Dalam lambung makanan akan mengalami beberapa hal yang penting antara lain terjadi pemecahan protein menjadi asam amino, kemudian makanan diteruskan oleh gelombang
21

peristaltik sedikit demi sedikit masuk ke dalam usus halus, bila porsi kecil makanan telah memasuki usus halus akan timbul refleks untuk menghentikan sementara penyaluran makanan dari lambung ke dalam usus halus dan refleks yang lain akan memacu kelenjar utama dari saluran cerna ( hati, kandung empedu, pancreas) untuk membantu penyerapan dari zat-zat makanan. Setelah menelan makanan, suatu gelombang peristaltik mambawa bolus makan menuju esofagus dengan cepat. gelombang ini akan membuka sfingter esophagus bagian bawah. Pada beberapa penyakit gelombang ini tidak dapat membuka sfingter esophagus bagian bawah dengan sempurna. Sfingter esophagus akan selalu tertutup untuk mencegah isi lambung mengalir kembali ke esofagus, Rasa nyeri retrosternal (heart burn) dan Peradangan mukosa esophagus (esofagitis refluks : mukosa sangat merah dan mudah berdarah) disebabkan karena adanya refluks asam lambung kedalam esophagus yang merupakan akibat kelumpuhan pada refleks sfingter esophagus bagian bawah di sebabkan karena kebiasaan merokok dan minum kopi. Lambung berfungsi menyimpan makanan dan minuman yang kita makan kemudian meneruskan kedalam duodenum sedikit demi sedikit.sfingter distal lambung (pilorus) akan menutup secara refleks apabila isi lambung telah memasuki duodenum dan akan terbuka kembali setelah asam lambung yang ada telah di netralisiroleh getah pankreas yang bersifat basa. Korpus lambung akan mengeluarkan larutan HCl yang encer yang mengoptimumkan pH isi lambung untuk memulai pemecahan protein oleh pepsin. Asam lambung merupakan factor yang paling penting untuk memperlambat penyaluran makan kedalam usus halus sekaligus berfungsi membunuh kuman yang masuk bersama makanan kedalam lambung. Asam lambung di buat di oleh sel parietal dari korpus yang terletak dalam lambung, jika terjadi gangguan asam dalam lambung maka lambung akan menyalurkan makanan kedalam usus halus dengan cepat, yang kadang-kadang menyebabkan diare. Mukosa lambung akan mengeluarkan histamine yang merupakan senyawa perangsang yang kuat untuk sekresi asam lambung ( HCl), jika bahanbahan yang terdapat dalam makanan bersentuhan dengan mukosa lambung misalnya protein yang terdapat dalam kaldu. Suatu reflex kimia yang berasal dari antrum juga dapat merangsang sel parietal untuk mengeluarkan HCl (asam lambung) yang disebut gastrin. Gastrin adalah senyawa polipeptida yang merangsang produksi HCl (asam lambung) didalam sel parietal bersifat sememntara, segera setalah lambung menjadi asam maka sakresi gastrin akan terhenti. Tumor kecil didalam pulau pulau langerhans dari pancreas yang memproduksi sangat banyak

22

gastrin sehingga produksi asam lambung (HCl) secara berlebihan yang menyebabkan tukak lambung dan duodenum dalam rekurens, penyakit ini di sebut sindrom zollinger Ellison. Zollinger-Ellison syndrome dapat disebabkan oleh kondisi warisan yang disebut neoplasia endokrin multipel, tipe I (MEN I). Orang dengan MEN I memiliki beberapa tumor dalam sistem endokrin selain tumor pankreas. Mereka juga memiliki tumor pada kelenjar paratiroid dan mungkin memiliki tumor pada kelenjar hipofisis. Sekitar 25 % dari orang yang memiliki gastrinomas mempunyai mereka sebagai bagian dari MEN I. Sindroma Neoplasia Endokrin Multipel adalah suatu penyakit keturunan yang jarang terjadi, dimana tumor jika maupun tumor ganas tumbuh di beberapa kelenjar endokrin. Tumor pada penyakit ini bisa timbul pada masa bayi maupun pada usia 70 tahun. Kelainan akibat neoplasia endokrin multipel terutama terjadi karena pembentukan hormon yang berlebihan oleh tumor. Terdapat 3 macam pola penyakit neoplasia endokrin multipel, yaitu tipe I, IIA dan IIB. Namun yang berhubungan dengan zollinger-ellison syndrome adalah yang tipe I. Pada penyakit tipe I tumor tumbuh pada: Kelenjar paratiroid (kelenjar kecil yang terletak di dekat kelenjar tiroid) Pankreas Kelenjar hipofisa Atau pada ketiga kelenjar tersebut. Hampir semua penderita memiliki tumor pada kelenjar paratiroid; tumor ini menyebabkan pembentukan hormon paratiroid yang berlebihan (hiperparatiroidisme). Tingginya kadar hormon paratiroid biasanya akan meningkatkan kadar kalsium dalam darah, kadang menyebabkan pembentukan batu ginjal. Sebagian besar penderita penyakit tipe I juga memiliki tumor pada sel-sel pulau pankreas. Sekitar 40% dari tumor ini menghasilkan sejumlah besar insulin dan akibatnya kadar gula darah menjadi rendah (hipoglikemia), terutama jika penderita belum makan. Lebih dari separuh sel pulau pankreas menghasilkan gastrin dalam jumlah besar, yang mengirimkan sinyal ke lambung untuk menghasilkan sejumlah besar asam. Penderita biasanya mengalami ulkus peptikum yang seringkali mengalami perdarahan, terjadi perforasidan isi lambung dimuntahkan ke dalam perut atau menyumbat lambung. Sering terjadi diarea dan tinja berlemak yang berbau busuk (stetore).

23

]Sel pulau pankreas lainnya bisa menghasilkan hormon lainnya, seperti polipeptida intestinal vasoaktif, yang bisa menyebabkan diare berat dan dehidrasi. Pada sekitar sepertiga kasus, tumor sel pankreas bersifat ganas dan kadang menyebar ke bagian tubuh lainnya. Tetapi kanker ini tumbuh lebih lambat diabandingkan kanker pankreas lainnya. Sekitar duapertiga penderita memiliki tumor kelenjar hipofisa. Dua puluh lima persen dari tumor ini menghasilkan hormon prolaktin, yang menyebabkan kelainan menstruasi pada wanita dan impotensi pada pria, 25% lainnya menghasilkan hormon pertumbuhan dan

menyebabkan akromegali. Sejumlah kecil tumor hipofisa menghasilkan kortikotropin, yang menyebabkan tingginya kadar hormon kortikosteroid dan menyebabkan sindroma Cushing. Hampir 25% tumor yang tampaknya sama sekali tidak menghasilkan hormon. Beberapa tumor hipofisa menyebabkan sakit kepala, gangguan penglihatan dan penurunan fungsi kelenjar hipofisa. Beberapa penderita penyakit I memiliki tumor kelenjar tiroid dan kelenjar adrenal. Sejumlah kecil penderta memiliki tumor karsinoid. Penderita lainnya juga memiliki pertumbuhan berlemak yang bersifat jinak di bawah kulitnya (lipoma). 3. Diagnostik Klinik Kriteria standard dalam diagnosis Zollinger-Ellison syndrome diantaranya : 1. Output asam lambung yang mencapai lebih dari 15 mEq/jamwalaupun nilai MAO sama denan keadaan normal 2. 3. Kadar serum gastrin mencapai lebih dari 1000 pg/ml Perbandingan BAO/MAO yang mencapai 72 %

Bila dibuat tabel perbandingan antara kondisi normal dengan kondisi seseorang yang terkena sindrom Zollinger-Ellison adalah sebagai berikut :

Parametee

Zollinger-Ellison Syndrome

Kondisi Normal

Kadar Serum

Gartrin

> 1000 pg/ml

Tidak Berpuasa : 50-200 pg/ml Berpuasa : <100 pg/ml

Nilai BAO Nilai MAO

> 15 mEq/jam 25,0 mEq/jam

2,5 mEq/jam 25,0 mEq/jam

24

BAO/MAO

72 %

10 %

BAO (Basal Acid Output) pengeluaran asam basaladalah jumlah asam lambung yang dikeluarkan dalam kurun waktu tertentu, yang dalam keadaan normal mencapai 2,5 5 mEq/jam namun dalam keadaan terkena sindrom zollinger-ellison dapat mencapai lebih dari 15 mEq/jam. E. MALABSORPSI 1. Gambaran Umum Sindrom malabsorpsi merupakan salah satu penyakit yang sering terjadi pada anak dan bayi di Indonesia. Diperkirakan angka kesakitan antara 150-430 per seribu penduduk setiap tahunnya, dan dengan angka kematian yang cukup tinggi terutama pada anak usia 1-4 tahun. Malabsorpsi adalah suatu kondisi yang disebabkan oleh penurunan kemampuan untuk mencerna dan/atau menyerap nutrisi dari makanan. Umumnya yang dimaksud dengan sindrom malabsorpsi adalah penyakit yang berhubungan dengan gangguan pencernaan (maldigesti) dan gangguan penyerapan (malabsorpsi) dari makanan itu sendiri. Secara umum, malabsorpsi dibedakan menjadi tiga, yaitu: 1) Malabsorpsi Karbohidrat Malabsopsi karbohidrat yang paling sering terjadi adalah intoleransi laktosa. Patogenesis malabsorpsi laktosa sebagai berikut: Laktosa yang telah sampai ke lumen usus mengalami malabsorpsi (tidak diserap atau sedikit terserap oleh vili usus) sehingga akan difermentasikan oleh bakteri yang ada di usus. Fermentasi ini akan menghasilkan banyak asam organik da gasnya, sehingga akan meningkatkan tekanan osmotik di dalam lumen usus halus. Peningkatan tekanan ini akan menyebabkan cairan diserap ke dalam lumen usus dan terjadi diare osmotik. 2) Malabsorpsi Lemak Gangguan absorpsi lemak umumnya dapat terjadi dalam keadaan lipase tidak ada atau kurang, conjugated bile salts tidak ada atau kurang, mukosa usus halus (villi) atrofi atau rusak, serta gangguan sistem limfe usus. Keadaan ini menyebabkan diare dengan feses berlemak (steatore). 3) Malabsorpsi Protein Malabsorpsi protein adalah tidak atau kurang terserapnya protein dari makanan yang kita makan. Malabsorpsi protein dapat menyebabkan penurunan tingkat protein dalam darah.

25

Secara umum, gejala-gejala yang ditimbulkan oleh sindrom malabsorpsi, antara lain sebagai berikut: Diare kronis Feses berlemak dan berbau busuk (steatorrhea) Proses pertumbuhan terganggu. Pada anak-anak mungkin terjadi gagal tumbuh. Sakit perut, kram perut, dan perut kembung Penurunan berat badan Cepat lelah dan lesu Pengecilan otot 2. Penyebab Malabsorbsi Klasifikasi penyebab malabsorbsi : Biokimia atau defisiensi enzim, Kekurangan garam empedu Proliferasi bakteri, Gangguan mukosa usus kecil, Gangguan limfatik dan sirkulasi vaskuler, Kehilangan area permukaan. Kekurangan garam empedu dapat menyebabkan malabsorpsi lemak dan vitamin yang larut dalam lemak. Kekurangan garam empedu dapat menyebabkan penurunan sintesis empedu dalam hati, obstruksi empedu, atau perubahan penyerapan garam empedu di usus kecil. Enzim biasanya ditemukan dalam usus split disaccha-rides (kompleks gula) untuk monosakarida (gula sederhana). Contoh dari enzim ini adalah laktase, sucrase, maltase, dan isomaltase. Kekurangan laktase yang paling umum adalah kekurangan enzim disakarida. Tanpa jumlah yang cukup enzim ini, tubuh tidak dapat memecah laktosa. Kekurangan laktase dapat disebabkan oleh transmisi genetik, cedera pada usus mukosa dari virus hepatitis, ploriferasi bakteri dalam usus, atau sariawan. Kekurangan-kekurangan yang lain enzim disakarida jarang. Enzim pankreas juga diperlukan untuk penyerapan vitamin B12. Dengan kehancuran atau sumbatan pankreas atau pankreas tidak mencukupi stimulasi, nutrisi ini malabsorbsi. Pankreatitis kronis, karsinoma pankreas, reseksi dari pankreas, dan cystic fibrosis dapat menyebabkan masalah malabsorpsi ini. Loop dari usus dapat mengakumulasi isi usus, hasilnya pertumbuhan bakteri yang berlebih, bila ada penurunan gerak peristaltik. Bakteri pada tempat-tempat tersebut memecah
26

garam empedu, dan lebih sedikit garam yang tersedia untuk penyerapan lemak. Bakteri ini juga bisa menelan vitamin B12, yang memberikan kontribusi untuk defisiensi vitamin B12. Fenomena ini dapat terjadi setelah gastrektomi atau dengan peningkatan progressive sistemik dan diabetes enteropati. Gangguan dari lapisan mukosa usus bertanggung jawab atas malabsorpsi yang terjadi dengan celiac (nontropical) sariawan, sariawan tropis, penyakit Crohn, dan ul-cerative kolitis. Pada celiac (nontropical) sariawan, absorpsi area permukaan dalam usus kecil hilang :malabsorpsi nutrisi Celiac sariawan karena respon hipersensitiv imun genetic pada gluten atau kerusakan produk atau hasil dari akumulasi gluten pada diet dengan kekurangan peptide Tropis sariawan disebabkan oleh agen infeksi yang belum diidentifikasi tetapi dianggap bakteri. Perubahan mukosa terjadi dalam cara yang lebih luas daripada di celiac sariawan. Namun, perubahan tidak begitu parah seperti di celiac sariawan.sariawan tropis merupakan hasil malabsorsi lemak, asam folat, dan vitamin B12 dalam tahap akhir penyakit. Peradangan pada penyakit Crohn mengganggu permukaan sel-sel menyerap garam empedu dan karena itu menyebabkan malabsorpsi lemak. Dalam ulseratif kolitis, kehilangan protein dapat terjadi. Obstruksi aliran limfatik dalam usus dapat menyebabkan hilangnya protein plasma bersama dengan hilangnya mineral (seperti besi, tembaga, dan kalsium), vitamin B12, asam folat, dan lipid. Obstruksi limfatik dapat disebabkan oleh banyak kondisi. Kanker tertentu, seperti limfoma, peradangan , radiasi enteritis, penyakit Crohn, penyakit Whipple, gagal jantung, dan constrictive perikarditis, adalah penyebab obstruksi limfatik. Gangguan aliran darah ke mukosa usus, yang terjadi di celiac dan penyakit arteri mesenterika superior, mengakibatkan malabsorpsi. Dengan operasi usus, terdapat hilangnya daerah permukaan yang diperlukan untuk memfasilitasi penyerapan. Reseksi ileum hasil dari vitamin B12, garam empedu, dan kekurangan nutrisi. 3. Diagnostik Klinik Untuk melakukan diagnosis klinis terhadap malabsorbsi, maka diperlukan beberapa tes yang disesuaikan dengan jenis malabsorbsi dan penyebab malabsorbsi. Terdapat beberapa tes yang dilakukan berkaitan dengan malabsorbsi: Tes malabsorbsi karbohidrat Tes malabsorbsi lemak
27

Namun, tes yang paling diutamakan dalam mendiagnosis pasien penderita malabsorbsi adalah melalui biopsi, contohnya biopsi pada celiac sprue. Tes Malabsorbsi Karbohidrat Malabsorbsi karbohidrat yang paling lazim adalah akibat defisiensi laktase. Berikut ini adalah serangkaian tes malabsorbsi karbohidrat: 1) Pengukuran pH tinja (pH < 6, normal pH tinja 7- 8) 2) Penentuan kadar gula dalam tinja dengan tablet "Clinitest". Normal tidak terdapat gula dalam tinja. (+ = 0,5%, + + = 0,75%, +++ = 1%, ++++ = 2%). 3) Lactose loading (tolerance) test. Setelah penderita dipuasakan selama semalam diberi minum laktosa 2 g/kgbb. Dilakukan pengukuran kadar gula darah sebelum diberikan laktosa dan setiap 1/2jam kemudian hingga 2 jam lamanya. Pemeriksaan ini dianggap positif (intoleransi laktosa) bila didapatkan grafik yang mendatar selama 2 jam atau kenaikan kadar gula darah kurang dari 25 mg% (Jones, 1968). 4) Barium meal lactose. Setelah penderita dipuasakan semalam, kemudian diberi minum larutan barium laktosa. Kemudian dilihat kecepatan pasase larutan tersebut. Hasil dianggap positif bila larutan barium laktosa terlalu cepat dikeluarkan (1 jam) dan berarti pula hanya sedikit yang diabsorbsi. 5) Biopsi mukosa usus halus dan ditentukan kadar enzim laktase dalam mukosa tersebut. Untuk diagnosis klinis biopsi usus penting sekali, karena banyak hal dapat diketahui dari pemeriksaan ini, misalnya gambaran vilus di bawah dissecting microscope. Gambaran histologis mukosa (mikroskop biasa dan elektron), aktifitas enzimatik (kualitatif dan kuantitatif). Biopsi usus ternyata tidak berbahaya dan sangat bermanfaat dalam menyelidiki berbagai keadaan klinis yang disertai malabsorbsi usus. 6) Sugar chromatography dari tinja dan urin. Tes Malabsorbsi Lemak

Penyebab malabsorbsi lemak antara lain: 1) Lipase tidak ada atau kurang. 2) Conjugated bile salts tidak ada atau kurang 3) Mukosa usus halus (vili) atrofi atau rusak.
28

4) Gangguan sistem limfe usus. Berikut ini adalah beberapa pengujian yang dapat dilaukan untuk tes malabsorbsi lemak: 1) Steatorea atau bertambahnya lemak dalam tinja merupakan suatu petunjuk untuk diagnosis malabsorbsi lemak. Prosedur yang paling sederhana ialah pemeriksaan tinja makroskopis dan mikroskopis. Tanda-tanda makroskopis tinja yang karakteristik tinja berlemak ialah lembek, tidak berbentuk (nonformed stool), berwarna coklat muda sampai kuning, kelihatan berminyak. 2) Perhitungan kuantitatif metode Van de Kamer atau tinja yang dikumpulkan 3 hari berturut-turut merupakan pemeriksaan yang paling baik. Bila ekskresi dalam feses lebih dari 15gram selama 3 hari (5 g/hari) maka hal ini menunjukkan adanya malabsorbsi. Tes Fungsi Pankreas Tes fungsi pankreas sering dilakukan karena kelainan fungsi pankreas sering merupakan penyebab yang sering ditemukan pada malabsorbsi. Pada satu tes penderita menjalani diet tertentu dan pada tes yang lainnya penderita mendapatkan suntikan hormon sekretin. Pada kedua tes tersebut, cairan usus yang mengandung sekresi pankreas kemudian dikumpulkan melalui sebuah tabung dan diperiksa. Celiac Sprue Disebabkan oleh beberapa reaksi imunologis terhadap gluten, terutama glikoprotein gliadin yang larut dalam alkohol yang terdapat pada gluten. Pada penyakit ini, kerusakan dari epitel permukaan menyebabkan deskuamasi sel yang lebih cepat, serta mengakibatkan pemendekan villi secara progesif dan pemanjangan kripta. Kerusakan mukosa yang disebabkan gliadin terjadi secara immunologis. Peningkatan kadar antigliadin IgA dan IgG dapat ditunujukkan pada mukosa yang mengalami peradangan dan dalam serum. Biopsi Berikut ini adalah hasil biopsi untuk celiac sprue:

29

Diagnosis Klinis Celiac Sprue ELISA (Enzim Linked Immuno-sorben Assay) ELISA merupakan uji yang digunakan untuk mendeteksi antibodi anti-gliadin. Objek yang digunakan dalam pengujian ini adalah serum darah pasien. Pada saat pengambilan serum untuk uji ini pasien harus dalam kondisi telah mengkonsumsi gluten untuk memberikan hasil pengujian yang akurat. Pengujian ini mencakup untuk kedua antibodi antigliadin IgA dan IgG karena sebagian besar pasien celiac (sekitar 2-5%) adalah kekurangan IgA. IgA ini dikombinasikan dengan antibodi anti gliadin IgG sehingga memiliki sensitivitas secara keseluruhan sebesar 95% dengan spesifisitas 90%. IgA anti-gliadin antibodi kurang sensitif tetapi lebih spesifik. Dalam uji klinis, antibodi IgA memiliki spesifisitas 97%, namun sensitivitas hanya 71%. Itu berarti bahwa, jika pasien IgA positif, ada kemungkinan 97% bahwa mereka memiliki penyakit celiac. Sebaliknya, jika pasien IgA negatif, hanya ada kemungkinan 71% bahwa pasien benar-benar negatif untuk penyakit celiac. Oleh karena itu, hasil positif merupakan indikasi yang kuat bahwa pasien memiliki penyakit tetapi hasil negatif tidak berarti bahwa mereka tidak memilikinya. o Penatalaksanaan
30

o Diet rendah laktosa(pada malabsorbsi karbohidrat), atau menghindari diet laktosa. o Diberikan susu MCT(Medium Chain Tryglycerides), pada penderita malabsorbsi lemak. o Menghindari diet gliadin yang terkandung dalam gandum,tepung terigu dan gandum hitam, pada celiac spure F. PANKREATITIS AKUT 1. Definisi Pankreatitis Pankreas adalah kelenjar besar yang terletak didalam perut dan didekat duodenum atau usus duabelas-jari. Pankreas mengeluarkan cairan pencernaan, atau enzim, ke dalam duodenum melalui tabung yang disebut saluran pankreas. Enzim pankreas bergabung dengan empedu untuk mencerna makanan. Pankreas juga melepaskan hormon insulin dan glukagon ke dalam aliran darah. Hormon-hormon ini membantu tubuh dalam mengatur kadar glukosa yang diambil dari makanan untuk energi. Pankreatitis adalah peradangan pada pankreas. Penyakit pankreatitis, terdiri atas dua jenis yaitu pankreatitis akut dan pankreatitis kronis. 2. Klasifikasi Pankreatitis Pankreatitis akut adalah peradangan pankreas yang terjadi tiba-tiba dan biasanya sembuh dalam beberapa hari dengan pengobatan. Pankreatitis akut merupakan keadaan inflamasi pankreas yang bersifat reversibel. Pankreatitis akut dapat menjadi penyakit yang mengancam jiwa dengan komplikasi yang parah. Penyebab paling umum dari pankreatitis akut adalah adanya batu empedu yang menyebabkan peradangan pada pankreas. Pankreatitis akut dapat terjadi dalam hitungan jam atau beberapa hari. Gejala pankreatitis dapat timbul setelah mengkonsumsi alkohol, obat tertentu atau akibat dari penyebab lainnya, seperti; trauma perut, infeksi, tumor, dan kelainan genetik pankreas. Pankreatitis kronis adalah peradangan pankreas yang tidak sembuh-sembuh, yang semakin parah dari waktu ke waktu dan mengakibatkan kerusakan pankreas yang permanen. Pankreatitis kronik diartikan sebagai destruksi parenkim eksokrin pankreas yang ireversibel. Penyebab paling umum adalah menkonsumsi alkohol yang berlebihan selama bertahun-tahun, tetapi kondisi seperti gangguan herediter (keturunan), gangguan autoimun (Imunitas tubuh) juga berperan banyak. Pankreatitis kronis memiliki kesamaan gejala dengan Pankreatitis akut, dan gejala tambahan berupa diare, kotoran berminyak dan penurunan berat badan.
31

Pankreatis akut memiliki keparahan yang berkisar dari kelainan yang relatif ringan dan sembuh dengan sendirinya hingga penyakit yang dengan cepat menjadi fatal serta tidak responsif terhadap berbagai terapi. Berdasarkan pada beratnya proses peradangan dan luasnya nekrosis parenkim dapat dibedakan: a. Pankreatitis akut tipe intersitial Secara makroskopik, pankreas membengkak secara difus dan tampak pucat. Tidak didapatkan nekrosis atau perdarahan, atau bila ada, minimal sekali. Secara mikroskopik, daerah intersitial melebar karena adanya edema ekstraselular, disertai sebaran sel-sel leukosit polimorfonuklear (PMN). Saluran pankreas dapat terisi dengan bahan-bahan purulen. Tidak didapatkan destruksi asinus. Meskipun bentuk ini dianggap sebagai bentuk pankreatitis yang lebih ringan, namun pasien berada dalam keadaan sakit yang akut dan berisiko mengalami syok, gangguan keseimbangan cairan serta elektrolit dan sepsis. b. Pankreatitis akut tipe nekrosis hemoragik Secara mikroskopik tampak nekrosis jaringan pankreas disertai dengan perdarahan dan inflamasi. Tanda utama adalah adanya nekrosis lemak pada jaringan-jaringan di tepi pankreas, nekrosis parenkim dan pembuluh-pembuluh darah sehingga mengakibatkan perdarahan dan dapat mengisi ruangan retroperitoneal. Bila penyakit berlanjut, dapat timbul abses atau daerah-daerah nekrosis yang berdinding, yang subur untuk timbulnya bakteri sehingga dapat menimbulkan abses yang purulen. Gambaran mikroskopis adalah adanya nekrosis lemak dan jaringan pankreas, kantong-kantong infiltrat yang meradang dan berdarah ditemukan tersebar pada jaringan yang rusak dan mati. Pembuluh-pembuluh darah di dalam dan di sekitar daerah yang nekrotik menunjukkan kerusakan mulai dari inflamasi peri vaskular, vaskulitis yang nyata sampai nekrosis dan trombosis pembuluh-pembuluh darah. 3. Gejala Pankreatitis Akut Pankreatitis akut dengan gejala utama nyeri perut bagian atas yang terasa terus-menerus selama beberapa hari, bahkan bisa disertai dengan demam, pembengkakan, mual, muntah, peningkatan irama jantung (takikardia). Dalam kasus yang parah dapat berakibat dehidrasi, tekanan darah rendah, syok, kegagalan organ, dan kematian.

32

Pankreatitis akut biasanya dimulai dengan rasa sakit yang bertahap atau tiba-tiba di perut bagian atas yang kadang-kadang meluas sampai ke bagian belakang perut. Rasa sakit tersebut, mungkin ringan pada awalnya dan terasa lebih buruk setelah makan. Rasa sakit yang parah dan menetap berlangsung selama beberapa hari. Seseorang penderita pankreatitis akut biasanya terlihat sangat menderita dan memerlukan bantuan medis yang segera. Gejala lain yang biasa ditemukan berupa: pembengkakan dan nyeri perut, yang disertai mual, muntah, dan demam. Pankreatitis akut yang berat dapat menyebabkan dehidrasi dan tekanan darah rendah, dengan komplikasi berupa; gagal jantung, paru-paru, atau ginjal. Jika terjadi pendarahan di pankreas, mengakibatkan shock bahkan kematian penderita. Pankreatitis akut didiagnosis berdasarkan riwayat pasien, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium dengan ditemukan peningkatan enzim amilase dan lipase, serta trigliserida yang sangat tinggi di dalam darah. Demikian pula dapat diperkuat dengan pemeriksaan USG perut, CT Scan, USG endoskopi. Pemeriksaan penunjang tersebut dilakukan untuk mendeteksi batu empedu atau untuk mengidentifikasi tingkat kerusakan pankreas.

Gambar 1: Kondisi pankreas pada penderita pankreatitis yang terlihat dengan menggunakan endoscopy

Pankreatitis kronis adalah peradangan pankreas yang tidak sembuh-sembuh, yang semakin parah dari waktu ke waktu dan mengakibatkan kerusakan pankreas yang permanen. Penyebab paling umum adalah menkonsumsi alkohol yang berlebihan selama bertahun-tahun, tetapi kondisi seperti gangguan herediter (keturunan), gangguan autoimun (Imunitas tubuh). Pankreatitis kronis memiliki kesamaan gejala dengan Pankreatitis akut, dan gejala tambahan berupa diare, kotoran berminyak dan penurunan berat badan. Hampir setiap penderita mengalami nyeri yang hebat di perut atas bagian tengah, dibawah tulang dada (sternum). Nyeri sering menjalar ke punggung. Kadang nyeri pertama bisa dirasakan di perut bagian bawah. Nyeri ini biasanya timbul secara tiba-tiba dan mencapai intensitas maksimumnya dalam beberapa menit. Nyeri biasanya berat dan menetap selama

33

berhari-hari. Bahkan dosis besar dari suntikan narkotikpun sering tidak dapat mengurangi rasa nyeri ini. Batuk, gerakan yang kasar dan pernafasan yang dalam, bisa membuat nyeri semakin memburuk. Duduk tegak dan bersandar ke depan bisa membantu meringankan rasa nyeri. Sebagian besar penderita merasakan mual dan ingin muntah. Penderita pankreatitis akut karena alkoholisme, bisa tidak menunjukkan gejala lainnya, selain nyeri yang tidak terlalu hebat. Sedangkan penderita lainnya akan terlihat sangat sakit, berkeringat, denyut nadinya cepat (100-140 denyut per menit) dan pernafasannya cepat dan dangkal. Pada awalnya, suhu tubuh bisa normal, namun meningkat dalam beberapa jam sampai 37,8-38,8o Celsius. Tekanan darah bisa tinggi atau rendah, namun cenderung turun jika orang tersebut berdiri dan bisa menyebabkan pingsan. Kadang-kadang bagian putih mata (sklera) tampak kekuningan. 20% penderita pankreatitis akut mengalami beberapa pembengkakan pada perut bagian atas. Pembengkakan ini bisa terjadi karena terhentinya pergerakan isi lambung dan usus (keadaan yang disebut ileus gastrointestina l) atau karena pankreas yang meradang tersebut membesar dan mendorong lambung ke depan. Bisa juga terjadi pengumpulan cairan dalam rongga perut (asites). Pada pankreatitis akut yang berat (pankreatitis nekrotisasi), tekanan darah bisa turun, mungkin menyebabkan syok. Pankreatitis akut yang berat bisa berakibat fatal. 4. Etiologi Pankreatitis akut terjadi akibat proses tercernanya organ ini oleh enzim-enzimnya sendiri, khususnya oleh tripsin. Delapan puluh persen penderita pankreatitis akut mengalami penyakit pada duktus billiaris; meskipun demikian, hanya 5% penderita batu empedu yang kemudian mengalami nekrosis. Batu empedu memasuki duktus koledokus dan terperangkap dalam saluran ini pada daerah ampula Vateri, menyumbat aliran getah pankreas atau menyebabkan aliran balik (refluks) getah empedu dari duktus koledokus ke dalam duktus pankreastikus dan dengan demikian akan mengaktifkan enzim-enzim yang kuat dalam pankreas. Spasme dan edema pada ampula Vateri yang terjadi akibat duodenitis kemungkinan dapat menimbulkan pankreatitis. 5. Penyebab Pankreatitis Akut

34

6. Patofisiologi Pankreatitis akut merupakan penyakit seistemik yang terdiri dari dua fase. 1) Pertama, fase awal yang disebabkan efek sistemik pelepasan mediator inflamasi, disebut sindrom respons inflamasi sistemik atau systemic inflamatory response syndrome (SIRS) yang berlangsung sekitar 72 jam. Gambaran klinisnya menyerupai sepsis, tetapi tidak ada bukti-bukti infeksi. 2) Kedua, fase lanjut merupakan kegagalan sistem pertahanan tubuh alami yang menyebabkan keterlibatan sampai kegagalan multiorgan, yang biasanya dimulai pada awal minggu kedua.Kegagalan fungsi salah satu organ merupakan penanda beratnya penyakit dan buruknya faktor prognosis. 7. Mekanisme Terjadinya Komplikasi Pankreatitis Akut Berat

35

8. Manifestasi Klinik 1) Nyeri abdomen hebat yang dapat disertai dengan nyeri punggung. Penyebab: Iritasi dan edema pada pankreas. Peningkatan tegangan pada kapsul pankreas dan obstruksi duktus pankreatikus. Rasa sakit dan nyeri tersebut dapat berlangsung selama 24 hingga 48 jam setelah makan atau setelah mengkonsumsi minuman keras. 2) Perut menjadi kaku atau mirip papan. Namun demikian, abdomen dapat tetap lunak jika tidak terjadi peritonitis. 3) Terdapat ekimosis (memar) di daerah pinggang dan di sekitar umbilikus. 4) Mual dan muntah. Muntahan biasanya berasal dari isi lambung tetapi juga dapat mengandung getah empedu. Gejala panas, ikterus, konfusi, agitasi juga dapat terjadi. 5) Dapat terjadi hipotensi dan hipovolemia serta syok. Penyebab: Kehilangan sejumlah besar cairan yang kaya protein karena cairan ini mengalir ke dalam jaringan dan rongga peritonium. 6) Dapat mengalami takikardia, sianosis, dan kulit yang dingin serta basah.
36

7) Dapat pula mengalami gangguan pernapasan dan hipoksia. Evaluasi Diagnostik:

a.

Kadar puncak amilase serum akan tercapai dalam waktu 24 jam disertai penurunan cepat ke nilai normal dalam waktu 48 hingga 72 jam.

b.

Kadar lipase serum meningkat sesudah 48 jam namun akan tetap tinggi selama 5 hingga 7 hari.

c.

Jumlah sel darah putih biasanya meninggi. Jumlahnya bisa lebih dari 25.000 sel/mm3.

d. e.

Terjadi hipokalsemia, hiperglikemia, dan glukosuria. Terjadi pula peningkatan fibrinogen, C-reactive protein, dan peptida pengaktif tripsinogen.

f.

Feses penderita pankreatitis sering tampak sangat banyak, berwarna pucat, dan berbau busuk.

G. PANKREATITIS KRONIK 1. Definisi Pankreatitis kronik merupakan proses inflamasi pankreas yang progresif dan menyebabkan kerusakan parenkim pankreas yang irreversibel berupa fibrosis serta

mengakibatkan disfungsi eksokrin dan endokrin. Penyakit ini dapat terjadi setelah pankreatitis akut atau timbul secara perlahan. Penderita penyakit ini umumnya lebih banyak laki-laki, kulit hitam lebih rentan terkena, dan umumnya kejadian terjadi di atas usia 30 tahun.

37

Pankreatitis kronik digolongkan menjadi 3 yaitu kalsifikasi kronik yang disebabkan oleh alkohol dan malnutrisi, obstruksi kronik yang disebabkan oleh obstruksi duktus pankreatikus mayor dengan fibrosis sekunder pada bagian proksimal dari obstruksi, dan inflamasi kronik yaitu penderita yang tidak memiliki ciri yang jelas. Kalsifikasi merupakan istilah kedokteran yang sering digunakan untuk merujuk pada lintasan metabolisme yang merekatkan senyawa kalsium pada dinding pembuluh darah, jaringan maupun organ. Alkohol dapat meningkatkan kadar PTH (hormon paratiroid) yang merupakan suatu regulator penting dari kalsium tubuh dan tingkat phosophoros. Peminum alkohol dalam jumlah banyak, tingkat PTH mereka dapat tetap tinggi sehingga tubuh akan selalu kekurangan kalsium. Alkohol mengganggu enzim hati yang diperlukan untuk mengubah bentuk tidak aktif dari vitamin D menjadi bentuk aktif. Tanpa cukup vitamin D aktif, tubuh tidak dapat menyerap kalsium dari saluran pencernaan. 2. Etiologi 1). Sistem klasifikasi TIGAR-O Toxic metabolic Alkohol Tembakau ,Hiperkalsemia,Gagal ginjal kronik,Racun Idiopatik Onset awalOnset lanjut , Tropis Genetik Pankreatitis herediter , Defisiensi Alfa-1 antitripsin Autoimun Recurrent and severe AP Pankreatitis akut, rekuren Iskemik/ vaskuler Obstruktif Pankreas divisumTumor 2). Sistem klasifikasi M-ANNHEIM Dasar dari sistem ini adalah bahwa kemungkinan pankreatitis kronis merupakan hasil interaksi banyak faktor resiko (M), konsumsi alkohol (A), konsumsi Nikotin (N), faktor herediter (H), faktor duktus pankreatik eferen(E), faktor imunologi ( I ), dan faktor metabolik (M) 3. Patofisiologi 1). Teori Stres Oksidatif (Braganza dkk.) overaktivitas enzim detoksifikasi di hati yang menghasilkan radikal bebas oksidan.

Meskipun enzim-enzim ini membantu proses detoksifikasi substansi dalam darah, hasil sampingannya termasuk molekul reaktif yang menyebabkan kerusakan oksidatif.

38

Pankreas terekspos oleh stress oksidatif melalui sirkulasi sistemik atau refluks empedu ke dalam duktus pankreatikus menyebabkan inflamasi dan kerusakan jaringan. 2). Teori Toksik Metabolik (Bordalo dkk.) alkohol secara langsung menjadi toksik bagi sel-sel asinar melalui perubahan pada metabolisme seluler. Alkohol memproduksi lipid sitoplasmik yang berakumulasi dalam sel-sel asinar, yang menyebabkan degenerasi lemak, nekrosis seluler, dan kemudian fibrosis yang meluas 3). Teori Obstruksi batu dan duktus (Henri Sarles) Pankreatitis akut disebabkan oleh aktivasi tripsin dan autodigesti parenkimal yang tidak teratur. Pankreatitis kronik dimulai dalam lumen duktus pankreatikus. Alkohol memodulasi fungsi endokrin untuk meningkatkan litogenisitas cairan pankreas, menyebabkan bentuk plak protein dan batu. Kontak kronik batu dengan sel-sel epithelial duktus menyebabkan ulserasi dan perlukaan, menyebabkan obstruksi, stasis, dan pembentukan batu lebih lanjut. Pada akhirnya, atrofi dan fibrosis berkembang sebagai dampak dari proses obstruksi. 4). Teori Nekrosis Fibrosis (kebalikan dari teori batu) perkembangan fibrosis dari pankreatitis akut yang rekuren. Inflamasi dan nekrosis dari beberapa episode pankreatitis akut menyebabkan perlukaan pada daerah periduktal yang menyebabkan obstruksi duktus dan berkembang menjadi stasis dalam duktus dengan pembentukan batu sekunder. Obstruksi berat menyebabkan atrofi dan nekrosis. Menurut penelitian terjadinya mekanisme pancreatitis yaitu : Seseorang dengan hiperlipidemia,dimana trigliserida meningkat hingga 1.000 mg/dl, kilomikron selalu terbentuk tinggi, maka akan merangsang enzim pankreas ( lipase) untuk hidrolisis trigliserid manjadi asam lemak terus- menerus, sehingga kerja pankreas menjadi berat. Asam lemak bebas / free fatty acid bisa menginduksi tripsinogen yang dapat menginisiasi terjadinya pankreatitis akut dan disamping itu asam lemak bebas bersifat toksik terhadap sel pankreas . Pankreas tidak dapat mengasilkan insulin sehingga dapat menyebabkan sindrom insulin resisten sehingga menyebabkan diabetes tipe 2.
39

4. Diagnosis Pankreatitis Kronik Diagnosis Klinik dari pancreatitis Kronik meliputi gambaran klinik, Pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. 1) Gambaran Klinik Gambaran klinik dari pancreatitis kronik terdiri dari tiga kelompok klinis, yaitu : nyeri abdomen, gagal pancreas (eksokrin dan endokrin), dan komplikasi. Pada penderita pancreatitis kronik nyeri perut merupakan gejala predominan dan salah satu manifestasi yang paling mempengaruhi kualitas hidup penderita. nyeri pankreas dirasakan pada epigastrium atau abdomen bagian atas, dengan penetrasi ke punggung atau menjalar ke regio interkostal kiri. Nyeri menghilang saat membungkuk atau tidur melengkung dengan paha menekan abdomen atau lutut dilipat.Intensitas nyeri dapat bervariasi dari ringan hingga berat. 2) Pemeriksaan Fisik Sangat sedikit pemeriksaan fisik untuk mendiagnosis penyakit pankreatitis kronik. Pasien umumnya tampak bergizi cukup dan nyeri abdomen ringan hingga sedang. Pada pasien alkoholik kronik dengan stadium lanjut, penurunan berat badan dan malnutrisi dapat ditemukan, atau ditemukan tanda-tanda stigmata penyakit hati alkoholik primer. Ikterus dapat ditemukan pada penyakit hati alkoholik atau kompresi duktus biliaris pada caput pankreas. Pembesaran limpa jarang ditemukan, limpa membesar pada pasien dengan trombosis vena splenikus. Eritema pada epigastrium dan punggung dapat

ditemukan akibat penggunaan obat topikal untuk mengurangi rasa sakit. 3) Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu : pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan radiologi. Pemeriksaan Laboratorium a. Pemeriksaan darah Serum amylase dan lipase dapat sedikit meningkat atau tidak melebihi 3x batas normal pada pankratitis kronik, nilai yang tinggi ditemukan hanya pada serangan akut pankreatits. Pada stadium lanjut pankreatitis kronik, atrofi parenkim pankreas menyebabkan enzim serum dalam batas normal karena fibrosis pada pankreas yang berdampak pada konsentrasi enzim-enzim ini dalam pankreas.
40

Konsentrasi rendah serum tripsin relatif spesifik pada pankreatitis kronik stadium lanjut, tidak cukup sensitif pada pasien derajat ringan hingga edang.

Serta pemeriksaan

laboratorium kalsium

serum dan trigliserida

untuk

mengindentifikasi faktor penyebab penyakit ini. b. Pengujian feses Pengukuran elastase tinja telah diketahui cukup membantu dalam mengevaluasi disfungsi eksokrin pankreas (Malabsorpsi), pada beberapa studi menunjukkan bahwa nilai elastase tinja kurang dari 200 mg / g menunjukkan insufisiensi pankreas. Nilai elastase feses yang rendah, sebagaimana juga terlihat pada 25% sampai 30% dari pasien dengan kondisi yang melibatkan usus halus, termasuk penyakit celiac, penyakit Crohn, enteropati protein susu sapi, pertumbuhan bakteri yang berlebihan, enteritis dan pada pasien dengan diabetes melitus, merupakan suatu komplikasi pankreatitis kronik yang umum. c. Tes Fungsi Pankreas .

Tes fungsi pankreas (PFTs) dapat membantu dalam mendiagnosis pasien yang mengalami sakit perut berulang tetapi memiliki hasil laboratorium yang normal. Tes fungsi pankreas bisa dilakukan indirek (yakni, sederhana dan non-invasif) atau direk (yaitu, invasif). Indirek tes mengukur konsekuensi dari insufisiensi pankreas. Tes ini lebih banyak dilakukan dibandingkan PFTs direk. Pada PFTs direk, pankreas dirangsang melalui pemberian makanan atau hormon. Tak lama kemudian, cairan duodenum dikumpulkan dan dianalisis untuk mengukur isi sekretori pankreas normal Masalah utama dengan beberapa tes direk adalah sensitivitas rendah, terutama pada penyakit ringan . Uji direk minimal invasif fungsi eksokrin pankreas yang lain adalah uji pancreolauryl (PLT), dengan menelan senyawa fluorescein dilaurate, sebuah substrat untuk enzim pankreas kolesterol esterase, waktu sarapan pagi. Fluorescein kemudian diserap dari usus dan dikeluarkan dalam urin.Pemecahan Enzimatik dari hasil substrat menghasilkan pelepasan fluorescein sebanding dengan aktifitas kolesterol esterase. Pengukuran fluorescein dari serum atau dari koleksi urin 24 jam memungkinkan untuk estimasi secara kuantitatif fungsi eksokrin pankreas.Studi telah mencatat bahwa sensitivitas PLT berkisar dari 85% untuk insufisiensi pankreas berat sampai dengan 50% untuk insufisiensi yang ringan . Dua hormon digunakan untuk
41

merangsang sekresi pankreas, cholecystokinin (CCK) dan secretin. Tes CCK mengukur kemampuan sel asinar pankreas untuk mengeluarkan enzim pencernaan, sedangkan secretin Tes untuk mengukur kemampuan sel duktus pankreas

menghasilkan bikarbonat. Meskipun insufisiensi pankreas tingkat lanjut melibatkan kelainan asinar maupun sekresi duktus, tidak diketahui hormon mana lebih sensitif pada penurunan fungsi pankreas awal. o Pemeriksaan Radiologi Foto polos abdomen Foto rontgen memperlihatkan kalsifikasi pankreas pada 25 59 % pasien yang merupakan patognomonik pada pankreatitis kronik.Kalsifikasi primer muncul pada kalkuli intraduktal baik pada duktus pankreatikus mayor maupun minor.Kalsifikasi ini paling sering ditemukan pada pankreatitis alkohol tetapi juga terlihat pada bentuk herediter dan tropis. Ultrasonografi Digunakan sebagai modalitas awal pada pasien dengan gambaran nyeri perut atas, dapat menentukan penyebab pankreatitis kronik ( penyakit hati alkoholik, penyakit kalkuli) dan menilai komplikasi penyakit (mis. pseudokista, ascites, obstruksi vena portal/splenika) Magnetic resonance imaging (MRI) MRI khususnya MR cholangiopancreatography (MRCP), adalah suatu teknik noninvasif. MRCP memberikan karakteristik gambaran kelainan pada duktus pankreatikus dan obstruksi yang disebabkan pankreatitis kronik seperti kolelitiasis, serta mengevaluasi kelainan parenkim.Kelainan duktus

pankreatikus pada pankreatitis kronik dengan MRCP berdasarkan pada kriteria Cambridge CT Scan CT bermanfaat membedakan pankreatitis kronik dengan karsinoma pankreas. Perubahan yang dapat ditampilkan pada CT Scan berupa dilatasi duktus pankreatikus mayor, kalsifikasi, perubahan ukuran, bentuk, dan kontur, pseudokista, dan perubahan pada duktus bilier.CT Scan lebih sensitif dibandingkan foto polos dan ultrasonografi dalam pencitraan
42

kalsifikasi.Tetapi kelemahannya, tidak bisa mendeteksi perubahan awal pankreatitis kronis dan menentukan tingkat kelainan duktus. Pemeriksaan Sensitivitas (%) Foto polos N/A Spesifisitas (%) N/A Tidak rutin direkomendasikan. Dapat ditemukan kalsifikasi Ultrasonografi 60-70 80-90 Dapat menentukan penyebab Keterangan

pancreatitis kronik Contras enhanced CT scan 75-90 85 Pemeriksaan radiologi awal

untuk evaluasi susp pankreatitis kronik; kalsifikasi, thrombosis, dapat melihat pseudokista, pseudoaneurisma,

nekrosis dan atrofi MRCP 85 100 Nonivasif radiasi kurang atau dan nonionisasi kontras,

media

sensitive

disbanding

ERCP untuk evaluasi cabang duktus; dapat dikombinasi

dengan tes sekretin.

H. CIRRHOSIS HATI 1. Definisi Sirosis hepatis adalah penyakit hati menahun yang ditandai dengan adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai dengan adanya proses peradangan nekrosis sel hati yang luas, pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi nodul. Distorsi arsitektur hati akan menimbulkan perubahan sirkulasi mikro dan makro menjadi tidak teratur akibat penambahan jaringan ikat dan nodul.
43

2. Etiologi Ada 3 tipe sirosis hepatis :

Sirosis portal laennec (alkoholik nutrisional), dimana jaringan parut secara khas mengelilingi daerah portal. Sering disebabkan oleh alkoholis kronis.

Sirosis pasca nekrotik, dimana terdapat pita jaringan parut yang lebar sebagai akibat lanjut dari hepatitis virus akut yang terjadi sebelumnya.

Sirosis bilier, dimana pembentukan jaringan parut terjadi dalam hati di sekitar saluran empedu. Terjadi akibat obstruksi bilier yang kronis dan infeksi (kolangitis).

3. Patofisiologi Minuman yang mengandung alkohol dianggap sebagai factor utama terjadinya sirosis hepatis. Selain pada peminum alkohol, penurunan asupan protein juga dapat menimbulkan kerusakan pada hati, Namun demikian, sirosis juga pernah terjadi pada individu yang tidak memiliki kebiasan minum dan pada individu yang dietnya normal tapi dengan konsumsi alkohol yang tinggi Faktor lain diantaranya termasuk pajanan dengan zat kimia tertentu (karbon tetraklorida, naftalen, terklorinasi, arsen atau fosfor) atau infeksi skistosomiastis dua kali lebih banyak daripada wanita dan mayoritas pasien sirosis berusia 40 60 tahun.

Sirosis laennec merupakan penyakit yang ditandai oleh nekrosis yang melibatkan sel-sel hati dan kadang-kadang berulang selama perjalanan penyakit sel-sel hati yang dihancurkan itu secara berangsur-angsur digantikan oleh jaringan parut yang melampaui jumlah jaringan hati yang masih berfungsi. Pulau-pulau jaringan normal yang masih tersisa dan jaringan hati hasil regenerasi dapat menonjal dari bagian-bagian yang berkonstriksi sehingga hati yang sirotik memperlihatkan gambaran mirip paku sol sepatu berkepala besar (hobnail appearance) yang khas. 4. Tanda dan Gejala Penyakit sirosis hepatis mempunyai gejala seperti ikterus dan febris yang intermiten. Adanya pembesaran pada hati. Pada awal perjalanan sirosis hepatis ini, hati cenderung membesar dan sel-selnya dipenuhi oleh lemak. Hati tersebut menjadi keras dan memiliki tepi tajam yang dapat diketahui melalui palpasi. Nyeri abdomen dapat terjadi sebagai akibat dari pembesaran hati yang cepat dan baru saja terjadi sehingga mengakibatkan regangan pada selubung
44

fibrosa hati (kapsula Glissoni). Pada perjalanan penyakit yang lebih lanjut, ukuran hati akan berkurang setelah jaringan parut menyebabkan pengerutan jaringan hati. Apabila dapat dipalpasi, permukaan hati akan teraba benjol-benjol (noduler). Obstruksi Portal dan Asites. Semua darah dari organ-organ digestif praktis akan berkumpul dalam vena portal dan dibawa ke hati. Karena hati yang sirotik tidak memungkinkan pelintasan darah yang bebas, maka aliran darah tersebut akan kembali ke dalam limpa dan traktus gastrointestinal dengan konsekuensi bahwa organ-organ ini menjadi tempat kongesti pasif yang kronis; dengan kata lain, kedua organ tersebut akan dipenuhi oleh darah dan dengan demikian tidak dapat bekerja dengan baik. Pasien dengan keadaan semacam ini cenderung menderita dispepsia kronis atau diare. Berat badan pasien secara berangsurangsur mengalami penurunan. Cairan yang kaya protein dan menumpuk di rongga peritoneal akan menyebabkan asites. Hal ini ditunjukkan melalui perfusi akan adanya shifting dullness atau gelombang cairan. Splenomegali juga terjadi. Jaring-jaring telangiektasis, atau dilatasi arteri superfisial menyebabkan jaring berwarna biru kemerahan, yang sering dapat dilihat melalui inspeksi terhadap wajah dan keseluruhan tubuh. Varises Gastrointestinal. Obstruksi aliran darah lewat hati yang terjadi akibat perubahan fibrofik juga mengakibatkan pembentukan pembuluh darah kolateral sistem gastrointestinal dan pemintasan (shunting) darah dari pernbuluh portal ke dalam pernbuluh darah dengan tekanan yang lebih rendah. Sebagai akibatnya, penderita sirosis sering memperlihatkan distensi pembuluh darah abdomen yang mencolok serta terlihat pada inspeksi abdomen (kaput medusae), dan distensi pembuluh darah di seluruh traktus gastrointestinal. Esofagus, lambung dan rektum bagian bawah merupakan daerah yang sering mengalami pembentukan pembuluh darah kolateral. Karena fungsinya bukan untuk menanggung volume darah dan tekanan yang tinggi akibat sirosis, maka pembuluh darah ini dapat mengalami ruptur dan menimbulkan perdarahan. Karena itu, pengkajian harus mencakup observasi untuk mengetahui perdarahan yang nyata dan tersembunyi dari traktus gastrointestinal.
45

Edema. Gejala lanjut lainnya pada sirosis hepatis ditimbulkan oleh gagal hati yang kronis. Konsentrasi albumin plasma menurun sehingga menjadi predisposisi untuk terjadinya edema. Produksi aldosteron yang berlebihan akan menyebabkan retensi natrium serta air dan ekskresi kalium.

5. Diagnosis Sirosis Hepatis Sirosis Hepatis yang dapat terkompensasi sempurna, kadang-kadang sangat sulit menegakkan diagnosisny. Sehingga perlu dilakukan berbagai pemeriksaan penunjang lainnya juga. Pada stadium dekompensasi kadang tidak sulit menegakkan diagnosis sirosis hepatis. Lima dari tujuh tanda berikut sudah dapat menegakkan diagnosis dari sirosis hepatis, yaitu : 1) Asites 2) Splenomegali 3) Perdarahan varises (hematemesis) 4) Nilai Albumin yang menurun 5) Spider Nevi (nampak vena-vena di daerah abdomen) 6) Eritema palmaris 7) Vena kolateral. 6. Pemeriksaan Penunjang Sirosis Hepatis Ada berbagai pemeriksaan penunjang untuk sirosis hepatis meliputi : Pemeriksaan Lab, Pemeriksaan Fisik, dan Pemeriksaan lainnya seperti Radiologi, dll. Yang akan dibahas disini adalah Pemeriksaan Laboratorium. Perlu diingat bahwa tidak ada pemeriksaan uji biokimia hati yang dapat menjadi pegangan dalam menegakkan diagnosis sirosis hepatis. 1) Darah. Pada sirosis hepatis bisa dijumpai Hb rendah, anemia normokrom normositer, hipokrom mikrositer atau hipokrom makrositer. Anemia bisa akibat hipersplenisme (lien membesar) dengan leukopenia dan trombositopenia (jumlah leukosit dan trombosit kurang dari nilai normal). Kolesterol darah yang selalu rendah mempunyai prognosis yang kurang baik.

46

2) Kenaikan kadar Enzim transaminase/ SGOT, SGPT tidak merupakan petunjuk tentang berat dan luasnya kerusakan jaringan parenkim hepar. Kenaikan kadarnya dalam serum timbul akibat kebocoran dari sel yg mengalami kerusakan. Peninggian kadar gamma GT sama dg transaminase, ini lebih sensitif tetapi kurang spesifik. Pemeriksaan Lab.bilirubin, transaminase, dan gamma GT tidak meningkat pada sirosis inaktif. 3) Albumin. Kadar albumin yang menurun merupakan gambaran kemampuan sel hati yang berkurang. Penurunan kadar albumin dan peningkatan kadar globulin merupakan tanda, kurangnya daya tahan hati dalam menghadapi stress seperti tindakan operasi. 4) Pemeriksaan CHE (kolinesterase) penting dalam menilai kemampuan sel hati. Bila terjadi kerusakan sel hati, kadar CHE akan turun. Pada perbaikan sel hepar, terjadi kenaikan CHE menuju nilai normal. Nilai CHE yang bertahan dibawah nilai normal, mempunyai prognosis yang buruk. 5) Pemeriksaan kadar elektrolit penting dalam penggunaan diuretik dan pembatasan garam dlm diet. Pada ensefalopati , kadar Natrium (Na) kurang dari 4 meq/l menunjukkan kemungkinan telah terjadi syndrome hepatorenal. 6) Peninggian kadar gula darah pada sirosis hepatis stadium lanjut disebabkan kurangnya kemampuan sel hati membentuk glikogen. Kadar gula darah yang tetap meninggi menunjukkan prognosis kurang baik. 7) Pemeriksaan Marker HBV serologi, DNA, penanda HCV virus RNA, seperti adalah HBsAg/HBsAb, penting dalam

HBeAg/HBeAb,

menentukanetiologi sirosis hepatis. Pemeriksaan AFP (Alfa Feto Protein) penting dalam menentukan apakah telah terjadi transformasi ke arah keganasan. Nilai AFP yg terus meningkat mempunyai nilai diagnostik, kearah hepatoma/ kanker hepar primer. Nilai AFP > 500-1000 mempunyai nilai diagnostik suatu kanker hati primer. 7. Komplikasi 1) Perdarahan gastrointestinal 2) Hipertensi portal menimbulkan varises oesopagus, dimana suatu saat akan pecah sehingga timbul perdarahan. 3) Koma Hepatikum.
47

4) Ulkus Peptikum 5) Karsinoma hepatosellural Kemungkinan timbul karena adanya hiperflasia noduler yang akan berubah menjadi adenomata multiple dan akhirnya menjadi karsinoma yang multiple. 6) Infeksi. Misalnya : peritonisis, pnemonia, bronchopneumonia, tbc paru,

glomerulonephritis kronis, pielonephritis, sistitis, peritonitis, endokarditis, srisipelas, septikema

48

BAB III KESIMPULAN


Penyakit pencernaan adalah semua penyakit yang terjadi pada saluran pencernaan. Penyakit ini merupakan golongan besar dari penyakit pada organ esofagus, lambung, duodenum bagian pertama, kedua dan ketiga, jejunum, ileum, kolon, kolon sigmoid, dan rektum. Penyakit pencernaan bervariasi dari penyakit ringan hingga berat yang dapat menyebabkan kematian. Namun, walaupun terkadang terasa ringan penyakit pada sistem pencernaan ini dapat mengakibatkan dampak yang berat bahkan fatal apabila dibiarkan tanpa penanganan yang dapat dan intensif. Sebagian penyakit dari sistem pencernaan dapat dijadikan ciri atau dampak dari penyakit lain sebagai penyakit permulaan atau sampingan. Tentu saja hal ini tidak dapat diremehkan bagitu saja. Untuk itu, semoga makalah Kelainan pada Sistem Pencernaan ini dapat membantu pembaca untuk lebih mengenali dan mengetahui macam-macam penyakit pencernaan mulai dari penyebab hingga penanganan dan terapi yang tepat.

49

DAFTAR PUSTAKA American Association for Clinical Chemistry. 2012. Malabsorption. Lab Tests Online, (Online), (http://labtestsonline.org/understanding/conditions/malabsorption/start/1, diakses tanggal 17 Oktober 2012). Jordan, Jo. ____. Puristat, (Online), (http://www.puristat.com/malabsorption/default.aspx, diakses tanggal 17 Oktober 2012). Kang JY, Ho KY. Different prevalences of reflux oesophagitis and hiatus hernia among dyspeptic patients in England and Singapore. Eur J Gastroenterol Hepatol. 1999;11(8):845-50. Kee, Joyce LeFever. 1997. Buku Saku Pemeriksaan Laboratorium dan Diagnostik dengan Implikasi Keperawatan. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. National Center for Biotechnology Information. 2012. PubMed Health, (Online), (http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0001344/, diakses tanggal 17 Oktober 2012). Sacher, Ronald A. 2004. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium edisi 11. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Smeltzer, Suzzane c., Brenda G. Bare. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Suzanne.C Smeltzer. 1996. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Brunner & Suddarth. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC Tama, Yhang Lidi. 2012. Malabsorbsi dan Infeksi Sebagai Penyebab Tersering Diare Kronis Pada Bayi dan Anak. Scribd, (Online), (http://www.scribd.com/doc/91548764/malabsorbsi, diakses tanggal 17 Oktober 2012). Wilson, Lorraine M. Price, Sylvia A. 2006. PATOFISIOLOGI Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: Penerbit Buku EGC http://id.scribd.com/doc/44386107/MAKALAH-ULKUS-PEPTIKUS-1 http://id.scribd.com/doc/52184138/ULKUS-PEPTIKUM http://prodia.co.id/penyakit-dan-diagnosa/sakit-maag http://search.proquest.com http://www.docstoc.com/docs/40112575/Ulkus-Peptikum
50

http://www.docstoc.com/docs/40112575/Ulkus-Peptikum http://www.go4healthylife.com/articles/438/1/Zollinger-Ellison-Syndrome/Page1.html http://www.helico.com/?q=Diagnosis%20of%20Helicobacter%20Pylori

51

Anda mungkin juga menyukai