Anda di halaman 1dari 15

JURNAL PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI II

PENYAKIT GASTROESOFAGUS REFLUX DISEASES (GERD)

ANGGOTA KELOMPOK III:

IKA ANDRI PIPINURI (162200041)


KADEK ERLIN PUSPITA YANTI (162200042)
NI NYOMAN MARAYANTI UTAMI (162200043)
NI PUTU YUNIASIH (162200044)
NI WAYAN IRMAWATI (162200045)

JURUSAN FARMASI
PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS
INSTITUT ILMU KESEHATAN MEDIKA PERSADA
2017
I. TUJUAN PRAKTIKUM
1. Mengetahui definisi GERD.
2. Mengatahui patofisiologi GERD.
3. Mengetahui tatalaksana GERD (Farmakologi & Non-Farmakologi).
4. Dapat menyelesaikan kasus terkait GERD secara mandiri dengan menggunakan
metodeSOAP.

II. DASAR TEORI


A. Definisi GERD
GERD adalah suatu gangguan berupa isi lambung mengalami refluks berulang ke dalam
esofagus, menyebabkan gejala dan/atau komplikasi yang mengganggu. Sedangkan menurut
American College of Gastroenterology, GERD is a physical condition in which acid from the
stomach flows backward up into the esofagus. Jadi, GERD adalah suatu keadaan patologis di
mana cairan asam lambung mengalami refluks sehingga masuk ke dalam esofagus dan
menyebabkan gejala (Saputra, Budianto 2017).
Apabila mukosa esofagus yang telah rusak terpapar asam lambung secara terus-menerus,
maka akan terjadi inflamasi esofagus (esofagitis) yang berkembang menjadi ulserasi (erosive
esophagitis). Gejala refluks parah yang disertai dengan endoskopi yang normal didefinisikan
sebagai GERD simtomatis, nonerosive reflux disease (NERD), atau endoscopy negative
reflux disease (ENRD). Dengan demikian, GERD merujuk pada esofagitis yang telah
ditentukan melalui endoskopi atau penyakit refluks dengan hasil endoskopi negatif (ENRD).
Pasien dengan gejala refluks yang belum dapat ditelusuri diperlakukan sebagai pasien dengan
uninvestigated dyspepsia ( Krisna Adi Jaya dan Oka Dwicandra, 2017 ).
B. Tandan dan Gejala
Tanda dan gejala khas GERD adalah regurgitasi dan hearburn. Regurgitasi merupakan suatu
keadaan refluks yang terjadi sesaat setelah makan, ditandai rasa asam dan pahit di lidah.
Heartburn adalah suatu rasa terbakar di daerah epigastrium yang dapat disertai nyeri dan
pedih. Dalam bahasa awam, heartburn sering dikenal dengan istilah rasa panas di ulu hati
yang terasa hingga ke daerah dada. Kedua gejala ini umumnya dirasakan saat setelah makan
atau saat berbaring. Gejala lain GERD adalah kembung, mual, cepat kenyang, bersendawa,
hipersalivasi, disfagia hingga odinofagia. Disfagia umumnya akibat striktur atau keganasan
Barrett’s esophagus. Sedangkan odinofagia atau rasa sakit saat menelan umumnya akibat
ulserasi berat atau pada kasus infeksi. Nyeri dada non-kardiak, batuk kronik, asma, dan
laringitis merupakan gejala ekstraesofageal penderita GERD (PGI, 2013).
C. Faktor Risiko
Penyebab GERD dikaitkan dengan faktor-faktor yang meningkatkan frekuensi atau durasi
GER yang menyebabkan meningkatnya kontak refluxate asam dengan mukosa esophageal.
Faktor risiko terkait dengan GERD meliputi faktor diet dan gaya hidup, obat-obatan, dan
kondisi medis dan bedah tertentu. Faktor-faktor ini dapat memicu gejala dengan menurunkan
tekanan LES (mis., Nitrat, progesteron, makanan tinggi lemak, mint, coklat) atau memiliki
efek iritasi langsung esofagus (misalnya, jeruk, tomat, bifosfonat)(Koda-Kimble, 2013).

Gambar 1. Faktor Risiko Terkait dengan Penyakit Gastroesophageal Reflux


Beberapa faktor risiko GERD adalah:
1. Obat-obatan, seperti teofilin, antikolinergik, beta adrenergik, nitrat, calcium-channel
blocker.
2. Makanan, seperti cokelat, makanan berlemak, kopi, alkohol, dan rokok.
3. Hormon, umumnya terjadi pada wanita hamil dan menopause. Pada wanita hamil,
menurunnya tekanan LES terjadi akibat peningkatan kadar progesteron. Sedangkan
pada wanita menopause, menurunnya tekanan LES terjadi akibat terapi hormon
estrogen.
4. Struktural, umumnya berkaitan dengan hiatus hernia. Selain hiatus hernia, panjang
LES yang < 3 cm juga memiliki pengaruh terhadap terjadinya GERD.
5. Indeks Massa Tubuh (IMT); semakin tinggi nilai IMT, maka risiko terjadinya GERD
juga semakin tinggi (Saputra, Budianto 2017).

D. Epidemiologi

GERD dan sindroma dispepsia mempunyai prevalensi yang sama tinggi, dan seringkali
muncul dengan simptom yang tumpang tindih sehingga menyulitkan diagnosis. Dispepsia
non ulkus, di masa lalu diklasifikasikan menjadi 4 subgrup yaitu dispepsia tipe ulkus,
dispepsia tipe dismotilitas, dispepsia tipe refluks dan dispepsia non spesifik. Namun
kemudian ternyata dispepsia tipe refluks dapat berlanjut menjadi penyakit organik yang
berbahaya seperti karsinoma esofagus. Karena itulah para ahli sepakat memisahkan
dispepsia tipe refluks dari dispepsia dan menjadikan penyakit tersendiri bernama penyakit
refluks gastroesofageal.Prevalensi GERD di Asia, termasuk Indonesia, relatif rendah
dibanding negara maju. Di Amerika, hampir 7% populasi mempunyai keluhan heartburn,
dan 20%-40% diantaranya diperkirakan menderita GERD. Prevalensi esofagitis di negara
barat berkisar antara 10%-20%, sedangkan di Asia hanya 3%-5%, terkecuali Jepang dan
Taiwan (13-15%). Tidak ada predileksi gender pada GERD, laki-laki dan perempuan
mempunyai risiko yang sama, namun insidens esofagitis pada laki-laki lebih tinggi (2:1-
3:1), begitu pula Barrett's esophagitis lebih banyak dijumpai pada laki-laki (10:1). GERD
dapat terjadi di segala usia, namun prevalensinya meningkat pada usia diatas 40 tahun
(Ndraha, 2014).

E. Patofisiologi GERD
Refluks esofagus merupakan proses yang dapat terjadi secara normal pada sebagian besar
individu. Pada saat. LES berelaksasi, sejumlah asam dan makanan dari lambung terdorong
menuju esofagus. Adanya gerakan peristaltik mengembalikan refluks asam tersebut
kembali ke lambung. Selanjutnya, saliva akan mengalir dari mulut menuju esofagus untuk
menetralisasi asam lambung yang masih tertinggal dalam esofagus.
Gambar 2. Proses refluks nonpatologi

Patofisiologi GERD berkaitan dengan gangguan dari relaksasi LES sementara,


kemampuan buffering dan klirens asam esofagus, anatomi, pengosongan lambung, resistensi
mukosa dan paparan mukosa esofagus dengan faktor-faktor agresif (asam lambung, pepsin
dan asam empedu) yang menyebabkan kerusakan esofagus.

a. Relaksasi LES sementara


LES merupakan daerah pada bagian distal esofagus dengan tekanan istirahat basal
yangmeningkat. Secara normal, sfingter ini dalam keadaan berkontraksi sehingga dapat
mencegah
refluks isi lambung. Dalam keadaan istirahat, LES tetap mempertahankan keadaan pada
tekanan tinggi yaitu antara 10 mmHg hingga 30 mmHg, dimana tekanan paling rendah
terjadi pada siang hari dan saat makan, sedangkan tekanan paling tinggi terjadi pada malam
hari. Pada saat menelan, LES mengalami relaksasi untuk memberikan kesempatan pada
makanan agar bisa memasuki lambung1. Relaksasi LES sementara merupakan periode
relaksasi sfingter yang singkat yang berbeda dengan mekanisme saat menelan atau
peristaltik. Hal ini terjadi karena stimulasi vagus yang merupakan respon dari distensi
lambung, gas, stress, muntah dan batuk yang terjadi lebih dari 10 detik. Relaksasi LES ini
dapat terjadi secara tidak terlihat pada orang sehat, namun sekitar 50% hingga 80% dari
peristiwa ini juga terjadi pada pasien dengan GERD.

b. Kemampuan Buffering dan Klirens Asam Esofagus


Gerakan peristaltik merupakan mekanisme utama untuk menghilangkan refluks asam dari
esofagus. Mekanisme lainnya meliputi proses menelan, distensi esofagus, dan gravitasi
yang
terjadi jika pasien berada pada posisi berdiri. Saliva berperan penting terhadap netralisasi
asam lambung pada esofagus. Kandungan bikarbonat pada saliva berperan sebagai buffer
terhadap residu asam yang masih tertinggal di esofagus. Tapi kekuatan buffer dari saliva
ini hanya efektif jika jumlah asam lambung sedikit, sedangkan pasien dengan volume
refluksat asam yang lebih besar mungkin tidak seluruhnya dapat dinetralisasi oleh saliva.
Proses menelan dapat meningkatkan produksi saliva dan klirens asam yang tertinggal pada
esofagus. Namun, pada saat tidur, proses menelan dapat menurun sehingga menyebabkan
GERD nokturnal. Penurunan produksi saliva juga terjadi pada pasien geriatri, pasien yang
mengkonsumsi obat-obat dengan efek antikolinergik, dan beberapa kondisi akibat
pengobatan seperti xerostomia atau Sjogren's syndrome.

c. Abnormalitas Anatomi
Hiatal hernia (penonjolan bagian atas perut ke dalam rongga dada oleh karena
melemahnya otot diafragma) merupakan penyebab GERD yang mekanismenya belum
diketahui secara pasti. Tidak semua pasien dengan hiatal hernia menunjukkan gejala atau
adanya komplikasi. Hiatal hernia diduga dapat menyebabkan GERD kronik melalui
perubahan anatomi gastroesofagus yang dapat menyebabkan menghambat klirens asam
esofagus dan meningkatan paparan asam dengan esofagus2. Ukuran hiatal hernia yang
besar dapat merubah posisi LES sehingga menurunkan kemampuan LES untuk menahan
refluks ketika terjadi peningkatan tekanan intraabdomen secara tiba-tiba. Hiatal hernia
yang besar juga dapat mengganggu pengosongan esofagus selama proses menelan
sehingga memperpanjang waktu klirens asam.
Gambar 3. Hiatal Hernia pada Pasien GERD

d. Pengosongan Lambung
Penundaan waktu pengosongan lambung meningkatkan volume cairan lambung sehingga
dapat menyebabkan refluks dan distensi lambung. Hubungan antara pengosongan lambung
dan terjadinya refluks tidak dapat diketahui dengan jelas.

e. Resistensi Mukosa
Kemampuan mukosa esofagus untuk menahan kerusakan akibat refluksat lambung (asam
dan pepsin) merupakan penentu terjadinya GERD. Mukosa esofagus memiliki resistensi
terhadap asam lambung yang lebih kecil jika dibandingkan dengan lambung dan usus halus.
Namun resistensi mukosa ini terdiri atas beberapa faktor yang bekerja untuk mencegah
terjadinya kerusakan esofagus. Meningkatnya ketebalan sel mukosa dan kompleks intrasel
mencegah difusi ion hydrogen untuk terpenetrasi ke dalam epitel esofagus dan
menyebabkan kematian sel. Esofagus juga mensekresi lapisan mukus dan bikarbonat yang
juga berperan dalam melindungi esofagus dari kerusakan. Meningkatnya aliran darah (yang
merupakan respon terhadap lingkungan asam pada esofagus) memperbaiki oksigenasi
jaringan, menyediakan nutrisi dan membantu mempertahankan keseimbangan asam basa.
Kerusakan esofagus terjadi ketika konsentrasi asam dan pepsin melebihi perlindungan yang
diberikan oleh mekanisme resistensi mukosa.
Patogenesis GERD meliputi ketidakseimbangan antara faktor ofensif dan faktor defensif dari
bahan refluksat

Gambar 4. Farktor Defensif pada Pasien GERD

Yang termasuk faktor defensif antara lain ‘disfungsi’ SEB atau sfingter esophagus bawah
(lower esophagial sphincter/LES), bersihan asam dari lumen esofagus, dan ketahanan epitel
esophagus. Bentuk anatomik SEB yang melipat berbentuk sudut, dan kekuatan menutup dari
sfingter, menjadikan SEB berperan penting dalam mekanisme antirefluks. Peningkatan
tekanan intraabdomen (misalnya saat batuk), proses gravitasi saat berbaring, dan kelainan
anatomis seperti sliding hernia hiatal mempermudah terjadinya refluks.Bersihan asam dari
lumen esofagus adalah kemampuan esophagus untuk membersihkan dirinya dari bahan
refluksat. Kemampuan esophagus ini berasal dari peristaltik esofagus primer, peristaltik
esofagus sekunder (saat menelan), dan produksi saliva yang optimal. Ketahanan epitel
esofagus berasal dari lapisan mukus di permukaan mukosa, produksi mukus, dan
mikrosirkulasi aliran darah di post epitel.Sementara yang menjadi faktor ofensif adalah
peningkatan asam lambung, dilatasi lambung, beberapa kondisi patologis yang
mengakibatkan berkurangnya kemampuan pengosongan lambung seperti obstruksi gastric
outlet dan delayed gastric emptying. Simptom khas GERD adalah heartburn,yaitu rasa
terbakar di dada disertai nyeri (gambar 2) dan regurgitasi (rasa asam pahit dari lambung
terasa di lidah).Salah satu dari keduanya cukup untuk mendiagnosis GERD secara
klinis.Selain kedua gejala tersebut, GERD dapat menimbulkan keluhan nyeri atau rasa tidak
enak di epigastrium atau retrosternal bawah, disfagia (kesulitan menelan makanan),
odinofagia (rasa sakit waktu menelan), mual dan rasa pahit di lidah. Keluhan ekstraesofageal
yang juga dapat ditimbulkan oleh GERD adalah nyeri dada non kardiak, suara serak,
laringitis, erosi gigi, batuk kronis, bronkiektasis, dan asma

F. Diagnosis GERD
Cara yang paling baik dalam diagnosa adalah dengan melihat sejarah klinis, termasuk gejala
yang sedang terjadi dan faktor resiko yang berhubungan. Endoskopi tidak perlu dilakukan
pada pasien yang mengalami gejala tipikal, terutama jika pasien merespon baik terhadap
pengobatan GERD. Endoskopi dilakukan pada pasien yang tidak merespon terapi, pasien
yang mengalami gejala alarm, atau pasien yang mengalami gejala GERD terus menerus.
Selain endoskopi, tes yang sering digunakan untuk diagnosa adalah pengamatan refluksat
ambulatori, dan manometri.
1. Endoskopi dilakukan untuk melihat lapisan mukosa pada esophagus, sehingga dapat
diketahui tingkat keparahan penyakit (erosif atau nonerosif) dan kemungkinan
komplikasi yang telah terjadi, karena memungkinkan visualisasi dan biopsi mukosa
esofagus.
2. Pengamatan refluksat ambulatori meliputi pengamatan pH refluksat. Pengamatan ini
berguna untuk mengetahui paparan asam yang berlebih pada mukosa esofagus dan
menentukan hubungan gejala yang dialami dengan paparan asam tersebut. Pasien
diminta untuk mencatat gejala-gejala yang dialami selama pengamatan pH sehingga
dapat diketahui hubungan gejala dengan pH dan efektivitas pengobatannya.
3. Manometri esophageal digunakan untuk penempatan probe yang tepat dalam
pengukuran pH dan untuk mengevaluasi peristaltik serta pergerakan esofagus sebelum
operasi antirefluks. Metode ini mengukur tekanan pada lambung, LES, esofagus, dan
faring (Sukandar dkk, 2008).
G. Tata Laksana Terapi GERD
Tujuan dari pengobatan gastroesophageal reflux disease (GERD) adalah untuk
meringankan/mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan durasi refluks esofagus,
meningkatkan penyembuhan mukosa yang terluka dan mencegah kekambuhan serta
menghindari berkembangnya komplikasi (Sukandar dkk, 2008).

1. Terapi Non Farmakologi


Perubahan gaya hidup sangat penting dalam perawatan GERD di semua pasien.
 Tinggikan kepala tempat tidur sekitar 30 derajat atau tidur di bantal untuk
meningkatkan clearens esophageal.
 Hindari makan berlebih dan makanan berat sebelum tidur.
 Hindari makanan yang memperparah gejala : makanan berlemak, coklat (menurunkan
Tekanan Sphincter Esofagus) dan makanan pedas (mengiritasi mukosa lambung).
 Hindari merokok dan alkohol (menurunkan Tekanan Sphincter Esofagus ).
 Olahraga sedang untuk menurunkan berat badan pada orang dengan kelebihan berat
badan.
 Hindari obat-obat yang dapat memicu refluks (seperti: Calcium Channel Blocker, β-
Blockers, Nitrates, Theophylline).
 Menghindari obat-obat yang secara langsung dapat mengiritasi
mukosagastroesophagus (seperti: Bisphosphonates, Tetracyclines, Quinidine,
Potassium
Chloride, Iron Salts, Aspirin, Nonsteroidal Antiinflammatory Drugs)
 Hindari memakai pakaian ketat(Menkes Ghana, 2010).

2. Terapi Farmakologi
Berikut adalah flowchart Managemen Terapi Gastroesophageal Reflux
Disease:
Respon

Respon Respon

Low dose PPI

Review* Return to self


care

III. ALAT DAN BAHAN


a. Alat
1. Form SOAP.
2. Form Medication Record.
3. CatatanMinumObat.
4. Kalkulator Scientific.
5. Laptop dankoneksi internet.
b. Bahan
1. Text
2. Book
3. Data nilai normal laboratorium.
4. Evidence terkait (Journal, Systematic Review, Meta Analysis).

IV. KASUS
Tn M MRS 30 Agustus 2017 sore hari, kemudian tanggal 1 September 2017 pagi direview
oleh apoteker. Usia pasien 36 tahun, jenis kelamin laki-laki. Tidak ada riwayat alergi obat.
Saat MRS (30 Agustus 2017). Pasien mengeluh nyeri perut sebelah kanan sudah kurang lebih
selama 1 bulan, badan terasa panas sejak 26 Agustus 2017, kepala pusing,
setiap kali makan perut terasa sakit.
Tanda-tanda vital pasien ditmapilkan pada tabel berikut:

Hasil pemeriksaan endoskopi menunjukkan GERD grade A dengan menggunakan LA


classification, adanya duodenal polip dan gastritis erosive. Berikut adalah hasil pemeriksaan
laboratorium pada tanggal 31 Agustus 2017.
Diagnosis : GERD LA Classification grade A, gastritis Erosiva. Pasien rencana KRS 1
September 2017. Berikut adalah catatan pengobatan pasien pada tanggal 30 dan 31 Agustus
2017
DAFTAR PUSTAKA
Adi Jaya Krisna, DwiCandra Oka, 2017. ModulPraktikumFarmakoterapi II
(PenyakitSistemPencernaan, SaluranNafasdanInfeksi), Institut Ilmu Kesehatan Medika
Persada Bali, Denpasar.

Koda-Kimble MA, Young LD, Alldredge B.K., Corelli R.L., Ernst M.E., Gugliemo B.J.,
Jacobson P.A., Kradjan WA, Williams BR. 2010. Applied Therapeutics: The Clinical
Use of Drugs. 10th ed. Philadelphia: Lippincott Williams &Wilkins.

Ministry of Health Ghana. 2010. Standard Treatment Guidelines. Sixth edition, 2010.

Ndraha, Suzanna. 2014. Penyakit Reflux Gastroesofageal. Jakarta: Departemen Penyakit


Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana. Vol. 27, No. 1: hal 5.

Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia. 2013. Revisi konsensus nasional penatalaksanaan


penyakit refluks gastroesofageal (gastroesophageal reflux disease/ GERD) di
Indonesia. Jakarta: Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia.

Saputra Monica Djaja, Budianto Widi. 2017. Diagnosis dan Tatalaksana Gastroesophageal
Refux Disease(GERD) di Pusat Pelayanan Kesehatan Primer. Semarang : Fakultas
Kedokteran Universitas Tarumanagara.Vol. 44 no. 5: 252.

Sukandar Elin Yulinah, Andrajati R., Sigit Joseph, Adnyana I K., Setiadi Adji S, Kusnandar.
2008. ISO Farmakoterapi. Jakarta: PT. ISFI Penerbitan-Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai