Anda di halaman 1dari 17

STUDI KASUS

FARMASI RUMAH SAKIT DAN KLINIK


(GERD / Gastroesophageal Reflux Disease)

Dosen Pengampu :
Dwi Ningsih, M. Farm., Apt

Di susun oleh :
Kelompok B/5

Suryani Sagala 1820364073


Tri Ulfa Noviarini 1820364074

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SETIA BUDI
SURAKARTA
2018
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Gastroesophageal reflux disease (GERD) adalah suatu gangguan dimana isi


lambung mengalami refluks secara berulang ke dalam esofagus, yang bersifat kronis dan
menyebabkan terjadinya gejala dan/atau komplikasi yang mengganggu (Simadibrata,
2009). Menurut Laporan Konsensus Montreal tahun 2006, GERD adalah sebuah kondisi
yang terjadi ketika refluks isi lambung menyebabkan gejala yang mengganggu dan atau
komplikasi (Vakil, 2006). Menurut Konsensus Nasional tahun 2013, GERD adalah suatu
kelainan yang menyebabkan cairan lambung dengan berbagai kandungannya mengalami
refluks ke dalam esofagus, dan menimbulkan gejala khas seperti heartburn (rasa terbakar
di dada yang kadang disertai rasa nyeri dan pedih) dan gejala-gejala lain seperti
regurgitasi (rasa asam dan pahit di lidah), nyeri epigatrium, disfagia, dan odinofagia
(PGI, 2013).

GERD adalah gangguan umum yang dapat memberikan dampak negatif terhadap
gejala, komplikasi GERD, kualitas hidup dan produktivitas kerja. GERD dipicu oleh
refluks dari gaster dan duodenum ke esofagus. Pasien- pasien GERD seringkali tidak
menyadari adanya GERD dan gagal menemukan terapi yang tepat sehingga
menyebabkan para dokter mendiagnosis dan terapi kurang tepat. Prevalensi GERD
negara-negara barat sebesar 10-20%, lebih banyak ditemukan pada laki-laki kulit putih
dan usia tua. Di Amerika Prevalensi GERD dan komplikasinya di Asia, termasuk
Indonesia, secara umum lebih rendah dibandingkan dengan negara barat, namun
demikian data terakhir menunjukkan bahwa prevalensinya semakin meningkat (Scholten,
2007; He, 2010; Tielemans, 2013).

Beberapa faktor risiko terjadinya GERD di Asia-Pasifik yaitu usia lanjut, jenis
kelamin laki-laki, ras, riwayat keluarga, status ekonomi tinggi, peningkatan indeks massa
tubuh, dan merokok. Masalah heatburn dan regurgitasi didapatkan pada 6% dan 16%
populasi. Rata-rata sekitar 30% pria dan 23% wanita mengalami keluhan GERD sekali
dalam seminggu (Katz, 2013; PGI, 2013; Alipour, 2014).
BAB II

PEMBAHASAN

A. DEFINISI

GERD (Gastroesophageal Reflux Disease) adalah, Penyakit yang timbul karena


adanya refluks (aliran membalik ) isi lambung ke esofagus atau, Naiknya asam lambung
ke esofagus yang menimbulkan rasa panas pada dada (heart burn) sampai bagian dalam
leher bahkan sampai tenggorokan.

Terdapat dua kelompok GERD. Yang pertama adalah GERD erosif (esofagitis
erosif ), didefinisikan sebagai GERD dengan gejala refluks dan kerusakan mukosa
esofagus distal akibat refluks gastroesofageal. Pemeriksaan baku emas untuk diagnosis
GERD erosif adalah endoskopi saluran cerna atas. Yang kedua adalah penyakit refluks
nonerosif (non-erosive reflux disease, NERD), yang juga disebut endoscopic-negative
GERD, didefinisikan sebagai GERD dengan gejalagejala refluks tipikal tanpa kerusakan
mukosa esofagus saat pemeriksaan endoskopi saluran cerna.
B. PATOFISIOLOGI
Faktor kunci pada perkembangan GERD adalah aliran balik asam atau substansi
berbahaya lainnya dari perut ke esofagus. Pada beberapa kasus, refluks gastroesofageal
dikaitkan dengan cacat tekanan atau fungsi dari sfinkter esofageal bawah (lower
esophageal sphincter/LES). Sfinkter secara normal berada pada kondisi tonik
(berkontraksi) untuk mencegah refluks materi lambung dari perut, dan berelaksasi saat
menelan untuk membuka jalan makanan ke dalam perut. Penurunan tekanan LES dapat
disebabkan oleh (a) relaksasi sementara LES secara spontan, (b) peningkatan sementara
tekanan intraabdominal, atau (c) LES atonik.
Masalah dengan mekanisme pertahanan mukosa normal lainnya, seperti faktor
anatomik, klirens esofageal (waktu kontak asam dengan mukosa esofageal yang terlalu
lama), resistensi mukosa, pengosongan lambung, epidermal growth factor, dan
pendaparan saliva, juga dapat berkontribusi pada perkembangan GERD.
Faktor agresif yang dapat mendukung kerusakan esofageal saat refluks ke esofagus
termasuk asam lambung, pepsin, asam empedu, dan enzim pankreas. Dengan demikian
komposisi, pH dan volume refluksat serta durasi pemaparan adalah faktor yang paling
penting pada penentuan konsekuensi refluks gastroesofageal.
Patogenesis PRGE meliputi ketidakseimbangan antara faktor ofensif dan faktor
defensif dari bahan refluksat.

C. ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO


Umur dapat mempengaruhi terjadinya GERD, karena seiring dengan
pertambahan umur maka produksi saliva, yang dapat membantu penetralan pH pada
esofagus, berkurang sehingga tingkat keparahan GERD dapat meningkat. Jenis kelamin
dan genetik tidak berpengaruh signifikan terhadap GERD. Faktor resiko GERD adalah
kondisi fisiologis/penyakit tertentu, seperti tukak lambung, hiatal hernia, obesitas,
kanker, asma, alergi terhadap makanan tertentu, dan luka pada dada (chest trauma).
Sebagai contoh, pada pasien tukak lambung terjadi peningkatan jumlah asam lambung
maka semakin besar kemungkinan asam lambung untuk mengiritasi mukosa esofagus
dan LES.
D. TANDA DAN GEJALA
Gejala klinis GERD digolongkan menjadi 3 macam, yaitu gejala tipikal, gejala
atipikal, dan gejala alarm.
1. Gejala tipikal (typical symptom): Adalah gejala yang umum diderita oleh pasien
GERD, yaitu: heart burn, belching (sendawa), dan regurgitasi (muntah).
2. Gejala atipikal (atypical symptom): Adalah gejala yang terjadi di luar esophagus dan
cenderung mirip dengan gejala penyakit lain. Contohnya separuh dari kelompok
pasien yang sakit dada dengan elektrokardiogram normal ternyata mengidap GERD,
dan separuh dari penderita asma ternyata mengidap GERD. Kadang hanya gejala ini
yang muncul sehingga sulit untuk mendeteksi GERD dari gejala ini. Contoh gejala
atipikal: asma nonalergi, batuk kronis, faringitis, sakit dada, dan erosi gigi.
3. Gejala alarm (alarm symptom): Adalah gejala yang menunjukkan GERD yang
berkepanjangan dan kemungkinan sudah mengalami komplikasi. Pasien yang tidak
ditangani dengan baik dapat mengalami komplikasi. Hal ini disebabkan oleh refluks
berulang yang berkepanjangan. Contoh gejala alarm: sakit berkelanjutan, disfagia
(kehilangan nafsu makan), penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan,
tersedak.
Penting untuk diperhatikan bahwa keparahan gejala tidak selalu berkaitan dengan
keparahan esofagitis, tetapi berkaitan dengan durasi reflux. Pasien dengan penyakit yang
nonerosif dapat menunjukkan gejala yang sama dengan pasien yang secara endoskopi
menunjukkan adanya erosi esophagus.
E. DIAGNOSIS
Cara yang paling baik dalam diagnosa adalah dengan melihat sejarah klinis,
termasuk gejala yang sedang terjadi dan faktor resiko yang berhubungan. Endoskopi
tidak perlu dilakukan pada pasien yang mengalami gejala tipikal, terutama jika pasien
merespon baik terhadap pengobatan GERD. Endoskopi dilakukan pada pasien yang tidak
merespon terapi, pasien yang mengalami gejala alarm, atau pasien yang mengalami
gejala GERD terus menerus. Selain endoskopi, tes yang sering digunakan untuk diagnosa
adalah pengamatan refluksat ambulatori, dan manometri.
Endoskopi dilakukan untuk melihat lapisan mukosa pada esophagus, sehingga
dapat diketahui tingkat keparahan penyakit (erosif atau nonerosif) dan kemungkinan
komplikasi yang telah terjadi, karena memungkinkan visualisasi dan biopsi mukosa
esofagus.
Pengamatan refluksat ambulatori meliputi pengamatan pH refluksat. Pengamatan
ini berguna untuk mengetahui paparan asam yang berlebih pada mukosa esofagus dan
menentukan hubungan gejala yang dialami dengan paparan asam tersebut. Pasien
diminta untuk mencatat gejala-gejala yang dialami selama pengamatan pH sehingga
dapat diketahui hubungan gejala dengan pH dan efektivitas pengobatannya.
Manometri esophageal digunakan untuk penempatan probe yang tepat dalam
pengukuran pH dan untuk mengevaluasi peristaltik serta pergerakan esofagus sebelum
operasi antirefluks. Metode ini mengukur tekanan pada lambung, LES, esofagus, dan
faring.
F. TUJUAN TERAPI
1. Mengurangi atau menghilangkan gejala-gejala yang dialami pasien
2. Mengurangi frekuensi atau kekambuhan gastroesophageal reflux
3. Mempercepat penyembuhan mukosa
4. Mencegah perkembangan komplikasi
5. Mengurangi keasaman refluxate
6. Mengurangi volueme lambung tersedia untuk direflux
7. Meningkatkan tekanan LES
8. Meningkatkan pembersihan asam esophagus
9. Melindungi mukosa esophagus
G. STRATEGI TERAPI
Pendekatan Umum
Tatalaksana PRGE dikategorikan dalam beberapa fase :
1. Fase I (gejala ringan)
Mengubah gaya hidup dan dianjurkan terapi dengan menggunakan antasida
dan atau OTC antagonis reseptor H2 (AR H2) atau inhibitor pompa proton (IPP)
dosis rendah.

Pada terapi fase 1 berupa terapi non farmakologi yang bertujuan untuk :
1. Mengurangi refluks
2. Menetralisasi bahan refluks,
3. Memperbaiki barrier anti refluks dan
4. Mempercepat proses pembersihan esofagus

2. Fase II (gejala RGE)


Terapi intervensi farmakologi terutama dengan obat penekan asam dosis tinggi
dan menggunakan obat-obatan, seperti :
a. Obat prokinetik yang bersifat mempercepat peristaltik dan meninggikan tekanan
SEB.
 Metoklopramid 0,1 mg/kgBB 2x sehari sebelum makan dan sebelum tidur dan
 Betanekol 0,1 mg/kgBB 2x sehari sebelum makan dan sebelum tidur.
b. Obat anti-sekretorik untuk mengurangi keasaman lambung dan menurunkan
jumlah sekresi asam lambung, umumnya menggunakan antagonis reseptor H2.
 Ranitidin 2 mg/kgBB 2x/hari
 Famotidin 20 mg 2x/hari atau 40 mg sebelum tidur (dewasa)
dan jenis penghambat pompa ion hidrogen
 Omeprazole 20 mg 1-2x/hari untuk dewasa dan 0,7 mg/kgBB/hari untuk anak.
c. Obat pelindung mukosa
 Sukralfat: 0,5-1 g/dosis 2x sehari, diberikan sebagai campuran dalam 5-15 ml
air.
d. Antasida
 Dosis 0,5-1 mg/kgBB 1-2 jam setelah makan atau sebelum tidur, untuk
menurunkan refluks asam lambung ke esofagus.
3. Fase III (gejala berat)
Terapi intervensional merupakan pembedahan antirefluks atau terapi
endoluminal pada kasus-kasus tertentu dengan indikasi antara lain mal-nutrisi berat,
PRGE persisten, dll. Operasi yang tersering dilakukan yaitu fundo-plikasi Nissen,
Hill dan Belsey.
H. GUIDELINE TERAPI

Di Indonesia, konsensus nasional penatalaksanaan PRGE (2004) menetapkan bahwa :


1. Endoskopi SCBA (Saluran Cerna Bagian Atas) sebagai standar baku untuk
menegakkan diagnosis PRGE.
Pada endoskopi SCBA akan didapatkan mucosal breaks diesophagus, dan pada
biopsinya ditemukan esofagitis.
2. Bila pada penderita dengan keluhan PRGE ternyata tidak didapatkan kelainan pada
endoskopi SCBAnya, maka diagnosisnya menjadi NERD (non erosive reflux disease).
3. Di sarana kesehatan yang belum mampu melakukan pemeriksaan endoskopi SCBA,
wawancara dengan kuesioner khusus digunakan untuk membantu menegakkan
diagnosis dan memantau keberhasilan terapi PRGE. Salah satu kuesioner yang banyak
digunakan di Indonesia adalah GERD-Q. Kuesioner lain yang banyak di gunakan di
Jepang adalah FSSG.
Konsensus nasional penatalaksanaan PRGE 2013 pada gambar 3a dan 3 b menyatakan
bahwa :
1. Menyepakati terapi proton pump inhibitor (PPI) test bila ditemui keluhan klinis PRGE
tanpa tanda alarm.
2. Sebaliknya bila ada tanda alarm langsung dirujuk untuk investigasi, termasuk
pemeriksaan endoskopi.
3. Bila PPI test positif, maka diagnossi PGRE dapat ditegakkan dan terapi dilanjutkan
selama 8 minggu.
4. Bila temuan endoskopi sesuai dengan PRGE maka diberikan terapi PPI dosis ganda
sebagai lini pertama, selama 4-8 minggu. Dosis yang disarankan ialah omeprazol 2 x
20 mg, atau lansoprazol 2 x 30 mg, atau pantoprazol 2 x 40 mg, atau esomeprazol 2 x
40 mg.
5. Kombinasi PPI dengan prokinetik memberikan hasil yang lebih baik, terutama pada
PRGE dengan skor FSSG yang tinggi.
I. TERAPI UNTUK GERD
1. Non Farmakologi
 Pola hidup sehat
 Terapi endoskopi
 Operasi

Terapi PRGE sejumlah terapi non farmakologi berupa modifikasi pola hidup
sehat, yaitu :

a. Meninggikan posisi kepala saat tidur


b. Menghindari makan menjelang tidur ( 2 jam sebelum tidur)
c. Berhenti merokok dan alkohol (mengurangi tonus LES)
d. Kurangi lemak dan jumlah makanan (meningkatkan distensi lambung)
e. Turunkan berat badan, jangan berpakaian ketat (meningkatkan tekanan
intraabdomen)
f. Hindari teh, coklat, pepermint, kopi, minuman bersoda (meningkatkan sekresi
asam),
g. Hindari antikolinergik, teofilin, diazepam, opiat, antagonis kalsium (menurunkan
tonus LES)
2. Terapi farmakologi
 Obat Pompa Proton Inhibitor
Efektif menurunkan sekresi asam
Contoh : esomeprazol, lansoprazole, omeprazole, pantoprazole, rabeprazole
 Antasida
Menetralkan keasaman lambung
 Asam alginat
Melapisi mukosa, menaikkan pH dan menurunkan refluk
 Antagonis H2 reseptor
Mengurangi sekresi asam lambung
Contoh simetidin, ranitidin, famotidin, nizatidin
 Prokinetik
Mempercepat pengosongan lambung dan memperkuat LES
 Sucralfat
Obat tambahan untuk menyembuhkan dan mencegah kerusakan esofagus
3. Terapi Kombinasi
 Terapi kombinasi penekan asam dan stimulan motilitas atau pelindung mukosa
tampaknya logis, terapi dan pendukung terbatas. Pendekatan ini sebaliknya
diterapkan untuk pasien yang menderita esofagitis ditambah dengan tidak
berfungsinya gerakkan esofagus atau untuk orang yang gagal diterapi dengan
PPI dosis tinggi.
 Karena terapi kombinasi hanya dapat memberikan perbaikan yang berarti
dibandingkan dengan dosis ARH2 tunggal, pasien yang tidak merespon dosis
standar ARH2 sebaiknya dosis ARH2 dinaikkan atau terapi diubah ke PPI
daripada menambahkan obat stimulan motilitas.
4. Terapi Pemeliharaan
 Meskipun penyembuhan dan atau perbaikan gejala dapat dicapai lewat berbagai
macam pengobatan 70% - 90% pasien kambuh dalam jangka 1 tahun setelah
terapi diputus
 Terapi pemeliharaan jangka panjang harus dipertimbangkan untuk mencegah
komplikasi-komplikasi dan bertambah buruknya fungsi esofagus pada pasien
yang memiliki gejala kambuh setelah terapi terputus atau penurunan dosis obat,
termasuk pasien-pasien dengan komplikasi-komplikasi “ Barret’s esofagus “
penyempitan atau pendarahan,
 Kebanyakkan pasien memerlukan dosis standar untuk mencegah kekambuhan,
ARH2 efektif untuk pemeliharaan pasien dengan penyakit ringan. IPP adalah
obat pilihan untuk terapi pemeliharaan esofagitis yang sedang sampai berat.
Dosis lazim sehari sekali adalah Omeprazol 20 mg, Lansoprazol 30 mg,
Rabeprazol 20 mg atau Esomeprazol 20 mg. Dosis yang lebih rendah dari IPP
atau dosis selang sehari kemungkinan efektif untuk beberapa pasien dengan
penyakit yang tidak terlalu berat.
5. Pendekatan Intervensional
 Operasi antirefluks (operasi fundoplukasi Nissen, Belsey, Toupet, atau Hill)
seharusnya dipertimbangkan untuk pasien-pasien yang gagal merespon
pengobatan. Alasan pembedahan karena pertimbangan gaya hidup, memiliki
komplikasi (Barrett’s esofagus, penyempitan atau stadium 3 atau 4 esofagitis)
atau bagi yang memiliki gejala-gejala tidak khas dan terdokumentasi mengalami
refluks pada pemantauan PH.
 Terapi endoluminal (endoscopic gastroplastic plication, aplikasi endoluminal
radiofrequensy beat energy, dan injeksi biopolymer secara endoskopi) telah
disetujui FDA, tetapi kepastian peran pada penanganan RGE tetap harus
ditentukan.
BAB III

KASUS

Kasus 4. GERD
Ny. A , 30 tahun datang ke KDK FKUI kiara pada tanggal 11 juni 2013 dengan keluhan
sesak nafas disertai nyeri dada, perut perih, batuk, tenggorokan terasa asam dan pahit.
Hal ini dirasakan setiap saat sejak 2 minggu yang lalu. Pada tanggal 14 juni 2013 pada
saat kunjungan, pasien dalam keadaan dapat berjalan aktif, duduk aktif, tampak pucat.
Keluhan yang masih dirasakan adalah badan masih terasa lemas.

Aspek personal dari pasien berupa keluhan sesak nafas sejak ± 2 minggu. Harapan pasien
keluhan sesak dapat sembuh. Pasien khawatir sesak dapat berakibat lebih buruk. Persepsi
tentang sesak berasal dari nyeri perut. Faktor internal yaitu wanita, dewasa muda (30 th),
kebiasaan pola makan yang tidak teratur, kebiasaan terlalu memikirkan masalah sampai
stress.

Pada pemeriksaan fisik tampak sakit ringan, tekanan darah : 110/70 mmHg, Nadi : 80
x/menit, Frekuensi napas 16 x/menit, suhu 36,6 oC. Berat badan 73 kg, tinggi badan 157
cm, IMT 29,6. Konjungtiva sedikit anemis. Telinga, hidung, tenggorok, paru, dan jantung
dalam batas normal. Abdomen cembung simetris, nyeri tekan sekitar ulu hati, perkusi
timpani dan auskultasi bising usus normal.

Riwayat pengobatan : salbutamol, teofilin, dan antasida doen.

Tetapi gejala sesak nafas juga belum membaik.

Diagnose dokter pasien menderita GERD

Tugas:

1. Buatlah latar belakang singkat, tentang patofisologi penyakit dan farmakoterapinya


2. Masukkan data base pasien ke dalam format database (termasuk data subyektif dan
obyektif)
3. Buatlah assessment
4. Identifikasi dan usulkan pengatasan problem medik
5. Lakukan Pemantauan Terapi Obat
6. Apa yang bisa direkomendasikan bila target terapi belum tercapai?
BAB IV

PENGISIAN DATA BASE PASIEN

FORM DATA BASE PASIEN


UNTUK ANALISIS PENGGUNAAN OBAT

IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. A No Rek Medik :-


Tempat tanggal lahir : - Dokter yang merawat : -
Umur : 30 Tahun
Alamat :-
Ras :-
Pekerjaan :-
Sosial :-
Riwayat masuk RS : Ny. A , 30 tahun datang ke KDK FKUI kiara pada tanggal 11 juni
2013 dengan keluhan sesak nafas disertai nyeri dada, perut perih, batuk, tenggorokan
terasa asam dan pahit. Hal ini dirasakan setiap saat sejak 2 minggu yang lalu. Pada
tanggal 14 juni 2013 pada saat kunjungan, pasien dalam keadaan dapat berjalan aktif,
duduk aktif, tampak pucat. Keluhan yang masih dirasakan adalah badan masih terasa
lemas. Aspek personal dari pasien berupa keluhan sesak nafas sejak ± 2 minggu. Harapan
pasien keluhan sesak dapat sembuh. Pasien khawatir sesak dapat berakibat lebih buruk.
Persepsi tentang sesak berasal dari nyeri perut. Faktor internal yaitu wanita, dewasa muda
(30 th), kebiasaan pola makan yang tidak teratur, kebiasaan terlalu memikirkan masalah
sampai stress.

Riwayat penyakit terdahulu : -

Riwayat sosial :

Kegiatan
Pola makan/diet
- Vegetarian Ya / tidak
Merokok Ya / tidak.................. batang/hari
Meminum alkohol Ya / tidak
Meminum obat herbal Ya / tidak

Riwayat Alergi :-
Keluhan / Tanda Umum
Tanggal Subjektif Objektif
11/06/2013 Sesak nafas, nyeri dada, perut -
perih, batuk, tenggorokan
terasa asam dan pahit
14/06/2013 Keluhan yang masih Tanda vital:
dirasakan adalah badan - TD: 110/70 mmHg
masih terasa lemas. Aspek - Denyut nadi: 80x /menit
personal dari pasien berupa - RR: 16x/ menit
keluhan sesak nafas sejak ± - Suhu 36,60C
2 minggu. Pemeriksaan Fisik
- Berat badan 73 kg
- tinggi badan 157 cm
- IMT 29,6
- Konjungtiva sedikit anemis.
- Telinga, hidung, tenggorok, paru, dan
jantung dalam batas normal.
- Abdomen cembung simetris, nyeri
tekan sekitar ulu hati, perkusi timpani
dan auskultasi bising usus normal.

Tanda Vital
Parameter Nilai Normal Tanggal 11/06 Tanggal 14/06 Keterangan
Tekanan Darah 120/80 mmHg - 110/70 mmHg Menurun
Denyut Nadi 60-100 x / menit - 80 x / menit Normal
RR 16-20 x / menit - 16 x / menit Normal
Suhu 36,6oC - 37,5 oC - 36,60C Normal

ASSESMENT
Berdasarkan keluhan pasien mengalami refluk gastroesofagus (RGE), hal ini dapat
dibuktikan dengan ditandai dengan sesak nafas disertai nyeri dada, perut perih, batuk,
tenggorokan terasa asam dan pahit. Hal ini dirasakan setiap saat sejak 2 minggu yang lalu.
Pasien juga makan tidak teratur, memiliki berat badan berlebih serta kebiasaan memikirkan
masalah sampai stress. RGE pasien juga diperparah dengan pemberian teofilin sehingga
mendukung terjadinya RGE yang dapat menurunkan tekanan LES (Lower Esophageal
Sphincter) dan mengiritasi mukosa esofagus.
Riwayat Pengobatan
No Nama Obat Indikasi Dosis Rute Interaksi ESO Outcome terapi
Pemberian
1 Salbutamol melebarkan saluran udara pada Oral Moxapine, Detak jantung yang cepat atau Pernafasan menjadi lebih
paru-paru melemaskan otot- - Atomoxetine, tak teratur, Gemetaran, Sakit baik
otot di sekitar saluran Clomipramine. perut, Nyeri dada, Diare, Sakit
pernapasan yang menyempit Desipramine. kepala, Mual.
sehingga udara dapat mengalir Dibenzepin,
lebih lancar ke dalam paru- Levalbuterol,
paru. Lofepraminen

2 Theofillin Melegakan saluran pernafasan - Oral Cimetidine, Sakit perut, diare, sakit kepala Pernafasan menjadi lebih
Ciprofloxacin Berkeringat, insomnia, Merasa baik
Cobicistat, gelisah, gugup, gemeteran.
Deferasirox,
Desogestrel
3 Antasida Penetral asam lambung - Oral Digoxin, Diare, Teerdapat darah dalam Meringankan gejala gerd
doen sehingga dapat digunakan fenitoin, kotoran mereka, Perut
untuk meringankan gejala chlorpromazine kembung, Sembelit
seperti di ulu hati, rasa panas pseudoefedrin
pada perut kiri atas, mulas, dan levodopa
mual-mual dan kembung
BAB V

PENYELESAIAN KASUS

Problem Medik Subyektif Obyektif Terapi Analisis/Asessment DRP Plan

GERD Tgl 11/04/2013 Tgl 11/04/2013 : - Salbutamol,  Teofillin sebaiknya tidak Pilihan obat kurang Teofillin
Sesak nafas disertai teofilin, diberikan pada pasien tepat dihentikan
nyeri dada, perut perih, antasida doen. GERD karena teofillin
batuk, tenggorokan
dapat menyebabkan
terasa asam dan pahit.
relaksasi Lower
Esophageal
Sphincter(LES) sehingga
terjadi refluks dari isi
lambung ke esophagus.

Tgl 14/06/2013 Tgl 14/06/2013


Badan masih terasa Tanda Vital :
lemas. Keluhan sesak - TD: 110/70 mmHg  Pengobatan sebelumnya Obat kurang
Salbutamol, Modifikasi Pola
nafas sejak ± 2 minggu. (Menurun) teofilin, belum adekuat, dan pasien adekuat
hidup
- Denyut nadi: 80x /menit antasida doen juga mendapat obat +
(Normal) teofilin yang Penghambat
- RR: 16x/ menit memperparah kondisi pompa proton
(Normal) pasien. inhibitor selama
- Suhu 36,60C (Normal)  Pasien memiliki IMT 29,6 4-8 minggu
(Lansoprazol 15-
Pemeriksaan Fisik dan termasuk pre obesitas.
30 mg/ hr)
- Berat badan 73 kg Berat badan yang berlebih Sebelum makan
- tinggi badan 157 cm merupakan salah satu
- IMT 29,6 (Pre-obesitas) faktor terjadinya GERD
CARE PLAN
A. TERAPI FARMAKOLOGI
1. Modifikasi Pola hidup + Penghambat pompa proton inhibitor (Lansoprazol 15-30
mg 2 kali sehari. pagi hari sebelum makan dan malam hari sebelum tidur selama 4-8
minggu
2. Salbutamol 4 mg 3 x sehari
3. Pelindung mukosa yaitu Sukralfat.
B. JIKA TARGET TERAPI BELUM TERCAPAI
Jika target terapi belum tercapai maka dosis PPI dapat ditingkatkan / terapi
kombinasi. Apabila dosis sudah ditingkatkan tetapi gejala tidak juga membaik maka
dapat dilakukan terapi iriterventional (operasi antirefluks atau terapi endoluminal).

C. TERAPI NON FARMAKOLOGI


1. Meninggikan posisi kepala saat tidur
2. Menghindari makan menjelang tidur ( 2 jam sebelum tidur)
3. Menghindari makanan yang dapat menurunkan tekanan LES (lemak, coklat, kopi,
kola, teh bawang putih, bawang merah, cabe
4. Menghindari makanan yang secara langsung mengiritasi mukosa esofagus (makanan
pedas, jus jeruk, jus tomat dan kopi)
5. Makan makanan yang tinggi protein (meningkatkan tekanan LES)
6. Turunkan berat badan, jangan berpakaian ketat (meningkatkan tekanan
intraabdomen)
7. Hindari antikolinergik, teofilin, diazepam, opiat, antagonis kalsium (menurunkan
tonus LES)
D. MONITORING DAN EVALUASI
1. Monitoring kepatuhan pasien terkait terapi yang diberikan
2. Pasien juga harus di monitor untuk menjaga gejala – gejala yang tidak spesifik
seperti batuk, non alergi asma atau sakit pada dada.

E. KOMUNIKASI, INFORMASI, DAN EDUKASI (KIE)


1. Memberikan informasi kepada pasien tentang obat dsan aturan pakai obat yang
harus diminum
2. Memberikan informasi kepada pasien mengenai efek samping merugikan yang
mungkin bisa muncul
3. Menyarankan kepada pasien untuk mematuhi terapi non farmakologi guna
menunjang keberhasilan terapi
4. Melaksanakan pola hidup sehat yang khususnya makan secara teratur,
mengkonsumsi kopi, dan tidak segera berbabaring setelah makan dan menghibdari
stres.
5. Memberitahukan kepada pasien cara pencegahan dan penatalaksanaan refluks
gastroesofagus secara tepat agar tidak terulang kembali.

DAFTAR PUSTAKA

Asroel, Harry A (2002), PENYAKIT REFLUKS GASTROESOFAGUS, [jurnal], Fakultas


Kedokteran, Bagian Tenggorokan Hidung danTelinga, Universitas Sumatera Utara.,
Digitized by USU digital library
Hamida, Hayati Faisal., Diagnosis dan Tatalaksana Manifestasi Refluks Esofagus dan
Komorbiditasnya, [jurnal], Universitas Indonesia
Ndraha, Suzanna., Penyakit Refluks Gastroesofageal Vol. 27, No. 1 April 2014, Konsultan
Gastroenterohepatologi, Departemen Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran,
Universitas Krida Wacana Jakarta
Siregar, Junita IM (2010), Hubungan Antara Asma Bronkial dengan Refluks Gastroesofageal
di RSUD Dr. Moewardi di Surakarta, [skripsi], Fakultas Kedokteran, Universitas
Sebelas Maret

Anda mungkin juga menyukai