Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi

Gastroesophageal reflux disease(GERD) merupakan suatu keadaan patologis sebagai

refluks kandungan lambung ke dalam esofagus, dengan berbagai gejala yang timbul akibat

keterlibatan esofagus, laring, dan saluran napas yang disebabkan kelemahan otot sfingter

esofagus bagian bawah atau lower esophageal sfingter (LES).3Definisi lain berdasarkan

Konsensus Asia Pasifik mengenaiGERD yaitu sebagai suatu gangguan di mana isi lambung

mengalami refluks secara berulang ke dalam esofagus, yang menyebabkan terjadinya gejala

dan/atau komplikasi yang mengganggu. Penekanan diberikan kepada kata “mengganggu”,

oleh karena menandakan adanya gangguan terhadap kualitas hidup dan mengartikan pendapat

umum yang menyatakan bahwa apabila refluks esofageal ingin dinyatakan sebagai penyakit,

maka kelainan tersebut harus mempengaruhi kualitas hidup pasien.11

3.2Manifestasi Klinis

Tanda dan gejala khas GERD adalah regurgitasidan heartburn.Regurgitasi merupakan

keadaan refluks yang terjadi sesaat setelah makan, ditandai rasa asam dan pahit di lidah.

Heartburn adalah suatu rasa terbakar di daerah epigastrium atau retrosternal bagian bawah

yang dapat disertai nyeri dan pedih, dalam bahasa awam heartburnsering dikenal dengan

istilah rasa panas di ulu hati yang terasa hingga ke daerah dada. Kedua gejala ini umumnya

dirasakan saat setelah makan atau saat berbaring. Gejala lain GERD adalah nyeri epigastrium,

mual, kembung, cepat kenyang, bersendawa, disfagia, dan odinofagia. Disfagia umumnya

akibat striktur atau keganasan Barrett’s esofagus. Sedangkan odinofagia atau rasa sakit saat

menelan umumnya akibat ulserasi berat atau pada kasus infeksi. Nyeri dada non-kardiak,

batuk kronik, asma, dan laringitis merupakan gejala ekstraesofageal penderita GERD. 6,10,12,13
Gejala GERD memang seringkali disertai dengan gejala-gejala yang mirip dengan

dispepsia, gejala yang dimaksud seperti rasa mual, muntah, rasa kenyang dini, kembung,

bersendawa, dan berdasarkan pada Konsensus Roma III menyatakan bahwa penderita

dengan gejala dispepsia fungsional yang mengalami refluks dan terdapat rasa panas di

belakang dada dapat dikelompokkan ke dalam penyakit GERD dan juga berdasarkan dari

hasil pemeriksaan endoskopi Saluran Cerna Bagian Atas (SCBA) dapat ditemukan mucosal

break pada mukosa esofagus pada tipe GERD yang erosifsedangkan pada dispepsia bisa

ditemukan ulkus peptikum atau gastritis erosif pada mukosa lambung yang khas pada

dispepsia organik.14,15

Terdapat dua kelompok pasien GERD, yaitu pasien dengan esofagitis erosif

yang ditandai dengan adanya kerusakan mukosa esofagus pada pemeriksaan endoskopi

(Erosive Esophagitis/ERD) dan kelompok lain adalah pasien dengan gejala refluks yang

mengganggu tanpa adanya kerusakan mukosa esofagus pada pemeriksaan endoskopi (Non-

Erosive Reflux Disease/NERD).Data yang ada menunjukkan bahwa gejala-gejala yang

dialami oleh pasien NERD juga disebabkan oleh asam, berdasarkan pemantauan pH, respons

terhadap penekanan asam dan tes Bernstein yang positif.11

Gastroesophageal reflux disease juga harus dibedakan dengan penyakit jantung

koroner dengan melihat dari gejala klinisnya, pada GERD gejala klinisnya berupa rasa

terbakar di daerah epigastrium atau retrosternal bagian bawah yang dapat disertai nyeri dan

pedih atau disebut dengan heartburn sedangkan pada penyakit jantung koroner dapat

dirasakan keluhan seperti rasa tertindih benda berat di dada yang menjalar ke lengan kiri,

pundak, leher, rahang dan punggung, sesak napas yang terjadi juga lebih berat.16

3.3 Faktor Risiko


Faktor risiko untuk kejadian GERD telah dievaluasi pada populasi Asia-Pasifik,

beberapa di antaranya termasuk usia lanjut, jenis kelamin pria, riwayat keluarga, status

ekonomi tinggi, peningkatan indeks massa tubuh, dan merokok. Bukti terkuat untuk

keterkaitan faktor risiko tertentu dengan kejadian GERD pada populasi Asia-Pasifikyaitu

peningkatan indeks massa tubuh yang ditemukan lebih dari 25 studi klinis mendukung

korelasi tersebut.10

Indeks Massa Tubuh (IMT) yang melebihi normal dapat meningkatkan

kecenderungan menderita GERD simtomatis atau bahkan esofagitis. 17 Penderita obesitas yang

memiliki lingkar perut melebihi batas normal dapat meningkatkan risiko untuk terkena

GERD.18

Penumpukan lemak di abdomen dapat menurunkan fungsi motorik esofagus &Lower

Esophageal Sphincter (LES), meningkatkan tekanan intragastric& kapasitas lambung, dan

meningkatkan kecenderungan terbentuknya hiatal hernia sehingga refluksat lambung menjadi

lebih mudah naik ke esofagus dan menimbulkan peristiwa GERD. 19 Selain itu, jaringan lemak

viseral secara metabolik berkaitan dengan penurunan kadar sitokin anti-inflamasi dalam

serum seperti adiponektin dan peningkatan kadar sitokin pro-inflamasi seperti interleukin-6

dan tumor necrosis factor-a (TNF-a) yang dapat berperan dalam pembentukan erosive

esophagitis.18

Sebuah penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat menunjukkan bahwa pasien

yang menderita obesitas memiliki risiko 2,5 kali lebih besar daripada yang memiliki indeks

massa tubuh normal untuk terjadi gejala refluks atau erosive esophagitis. Pada penelitian ini

terdapat 453 pasien dan 118 pasien di antaranya memiliki gejala refluks serta 44 pasien yang

ditemukan erosive esophagitis. Pada populasi yang memiliki gejala refluks mingguan,

ditemukan sebesar 26,7% pasien memiliki berat badan berlebih (IMT 25-30 kg/m2) dan 50%

pasien menderita obesitas tingkat I (IMT >30 kg/m2). Sedangkan, pada populasi yang
ditemukan erosive esophagitis, didapatkan sebesar 29,8% pasien memiliki berat badan

berlebih (IMT 25-30 kg/m2) dan 26,9% pasien menderita obesitas tingkat I (IMT >30

kg/m2).19

Penelitian berbasis kuesioner yang dilakukan di Poliklinik penyakit dalam dan

Poliklinik khusus RSUP Dr. M. Djamil Padang pada tahun 2015 menemukan bahwa dari 35

pasien yang menderita GERD terdapat 23 pasien (65,71%) yang memiliki berat badan

berlebih. Banyaknya penderita GERD dengan obesitas di RSUP Dr. M. Djamil Padang

disebabkan oleh meningkatnya kasus GERD yang dipengaruhi oleh pola makan yang tidak

seimbang dan gaya hidup yang tidak sehat, seperti pola makan yang tinggi kalori dan rendah

gizi disertai dengan aktivitas fisik yang minim dan kebiasaan merokok sehingga akumulasi

lemak pada abdomen dapat meningkatkan tekanan intraabdominal. 3,20 Dapat disimpulkan

semakin tinggi nilai IMT, maka risiko terjadinya GERD juga semakin tinggi.

Obat-obatan seperti teofilin, antikolinergik, beta adrenergik, nitrat, calcium-channel

blocker dapat mempengaruhi tonus LES. Makanan, seperti coklat, makanan berlemak, kopi,

alkohol, dan rokok.Hormon umumnya terjadi pada wanita hamil dan menopause. Pada wanita

hamil, menurunnya tekanan LES terjadi akibat peningkatan kadar progesteron. Sedangkan

pada wanita menopause, menurunnya tekanan LES terjadi akibat terapi hormon

estrogen.3,11Penting untuk mengetahui hubungan faktor resiko dengan kejadian GERD agar

dapat memperbaiki status gizi pasien sejak dini sehingga dapat menurunkan angka kejadian

refluks, mengurangi derajat keparahan GERD, mencegah kerusakan mukosa esofagus lebih

lanjut, dan memperbaiki prognosis pasien.

3.4 Epidemiologi

Data epidemiologi dari Amerika Serikat menunjukkan bahwa satu dari lima orang

dewasa mengalami gejala refluks esofageal heartburn dan atau regurgitasi asam sekali dalam

seminggu, serta lebih dari 40% mengalami gejala tersebut sekurangnya sekali dalam
sebulan.21 Berdasarkan tinjauan sistematis yang dilakukan, prevalensi GERD adalah 18,1–

27,8% di Amerika Utara, 8,8–25,9% di Eropa, 2,5–7,8% di Asia Timur, 8,7–33,1% di Timur

Tengah, 11,6% di Australia, dan 23,0% di Amerika Selatan.Asia seperti di Iran yang berkisar

antara 6,3% - 18,3%, Palestina menunjukkan angka yang lebih tinggi yaitu 24%, Jepang dan

Taiwan sekitar 13% -15%.11,22 Di Indonesia, prevalensi kejadian GERD masih belum ada data

epidemiologi yang pasti. Namun, di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta pada tahun 2016

telah dilakukan penelitian dan didapatkan sebanyak 22,8% kasus esofagitis dari semua

pasien yang menjalani pemeriksaan endoskopi atas indikasi dispepsia.Ini menunjukkan

bahwa Indonesia lebih tinggi dari pada Asia Timur.

Prevalensi GERD dan komplikasinya di Asia, termasuk Indonesia,secara umum lebih

rendah dibandingkan dengan negara barat, namun demikian data terakhir menunjukkan

bahwa prevalensinya semakin meningkat. Hal ini disebabkan oleh karena adanya perubahan

gaya hidup yang meningkatkan seseorang terkena GERD, seperti merokok dan juga

obesitas.23

3.5Etiologi dan Patogenesis3,11,15

GERD merupakan penyakit yang multifaktorial. Refluks gastroesofageal terjadi

sebagai konsekuensi berbagai kelainan fisiologi dan anatomi yang berperan dalam

mekanisme antirefluks di lambung dan esofagus. Mekanisme patofisiologis meliputi relaksasi

transien dan tonus Lower Esophageal Sphincter (LES) yang menurun, gangguan clearance

esofagus, resistensi mukosa yang menurun dan jenis refluksat dari lambung dan duodenum,

baik asam lambung maupun bahan-bahan agresif lain seperti pepsin, tripsin, dan cairan

empedu serta faktor-faktor pengosongan lambung. Asam lambung merupakan salah satu

faktor utama etiologi penyakit refluks esofageal, kontak asam lambung yang lama dapat

mengakibatkan kematian sel, nekrosis, dan kerusakan mukosa pada pasien GERD. Ada 4

faktor yang mempengaruhi terjadinya GERD:


1. Rintangan Anti-refluks (Anti Refluks Barrier)

Kontraksi tonus Lower Esofageal Sphincter (LES) memegangperanan penting untuk

mencegah terjadinya GERD,menurunnya tonus LES dapat menyebabkan timbulnya

refluks retrograd pada saat terjadinya peningkatan tekanan intraabdomen. Sebagian

besar pasien GERD ternyata mempunyai tonus LES yang normal,ini dinamakan

inappropriate atau transient sphincter relaxation, yaitu pengendoran sfingter yang

terjadi di luar proses menelan. Akhir-akhir ini dikemukakan bahwa radang kardia oleh

infeksi kuman helicobacter pylori mempengaruhi faal LES dengan akibat

memperberat keadaan faktor hormonal, makanan berlemak, juga

menyebabkanturunnya tonus LES.

2. Mekanisme pembersihan esophagus (clearance esophagus)

Pada keadaan normal clearance esofagus terdiri dari 4 macammekanisme, yaitu gaya

gravitasi, peristaltik, salivasi dan pembentukan bikarbonat intrinsik oleh esofagus.

Proses membersihkan esofagus dari asam (esophageal acid clearance) ini

sesungguhnya berlangsung dalam 2 tahap. Mula-mula peristaltik esofagus primer

yang timbul pada waktu menelan dengan cepat mengosongkan isi esophagus,

kemudian air liur yang alkalis dan dibentuk sebanyak 0,5 ml/menit serta bikarbonat

yang dibentuk oleh mukosa esofagus sendiri menetralisasi asam yang masih tersisa.

Sebagian besar asam yang masuk esofagus akan turun kembali ke lambung oleh

karena gaya gravitasi dan peristaltik. Refluks yang terjadi pada malam hari waktu

tidur paling merugikan oleh karena dalam posisi tidur gaya gravitasi

tidak membantu, salivasi dan proses menelan terhenti dan oleh karena itu peristaltik

primer dan saliva tidak berfungsi untuk proses pembersihan asam di esofagus.

Selanjutya kehadiran hernia hiatal juga menggangu proses pombersihan torsebut.

3. Daya perusak bahan refluks


Asam pepsin dan mungkin juga empedu yang ada dalam cairan refluks mempunyai

daya perusak terhadap mukosa esofagus. Beberapa jenis makanan tertentu seperti air

jeruk nipis, tomat dan kopi menambah keluhan pada pasien GERD.

4. Isi lambung dan pengosongannya

Reluks gastroesofagus lebih sering terjadi sewaktu habis makan dari pada keadaan

puasa, oleh karena isi lambung merupakan faktorpenentu terjadinya refluks. Lebih

banyak isi lambung lebih sering terjadi refluks. Selanjutnya pengosongan lambung

yang lamban akan menambah kemungkinan refluks.

Esofagitis dapat terjadi sebagai akibat dari refluks gastroesofagealapabila:

 Terjadi kontak dalam waktu yang cukup lama antara bahanrefluksat dengan

mukosa esofagus

 Terjadi penurunan resistensi jaringan mukosa esofagus, walaupun waktu

kontak antara bahan refluksat dengan esofagus tidak lama.


Gambar 1. Etiopatogenesis terjadinya GERD24,25

Esofagus dan Gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi (high pressure zone) yang

dihasilkan ole kontraksi Lower esophageal sphincter(LES). Pada individu normal, pemisah

ini akan dipertahankan kecuali pada saat terjadinya aliran antegrad yang terjadi pada saat

menelan, atau aliran retrogard yang terjadi pada saat sendawa atau muntah. Aliran balik dari

gaster ke esophagus melalui LES hanya terjadi apabila tonus LES tidak ada atau sangat

rendah (<3 mmHg)

Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3 mekanisme:

1. Refluks spontan pada saat relaksasi LES (Lower esophageal sphincter) yang tidak

adekuat

2. Aliran retrograde yang mendahului kembalinya tonus LES setelah menelan

3. Meningkatya tekanan intra abdomen

Terjadinya aliran balik/ refluks pada penyakit GERD diakibatkan oleh gangguan motilitas /

pergerakan esofagus bagian ujung bawah. Padabagian ujung ini terdapat otot pengatur

( sfingter ) disebut LES , yang fungsinya mengatur arah aliran pergerakan isi saluran cera

dalam satu arah dari atas kebawah menuju usus besar. Pada GERD akan terjadi

relaksasispontan otot tersebut atau penurunan kekuatan otot tersebut, sehingga dapat terjadi

arus balik atau refluks cairan/ asam lambung, dari bawah keatas ataupun sebaliknya.

3.6 Diagnosis3,11

Diagnosis GERD ditegakkan berdasarkan gejala klasik dari hasil anamnesis, pengisian

kuesioner, serta berdasarkan hasil uji terapi proton pump inhibitor(PPI). Selain itu, juga dapat

dinilai dengan gastroesophageal reflux disease-questionnaire (GERD-Q).

No Pertanyaan Frekuensi Skor untuk Gejala


.
0 hari 1 hari 2 hari 4-7 hari
Seberapa sering anda mengalami
1 perasaan terbakar di bagian belakang 0 1 2 3
tulang dada anda (heartburn)?
Seberapa sering anda mengalami
2 naiknya isi lambung kearah
0 1 2 3
tenggorokan/ mulut anda
(regurgitasi)?
3 Seberapa sering anda mengalami
3 2 1 0
nyeri ulu hati?
4 Seberapa sering anda mengalami
3 2 1 0
mual?
Seberapasering anda mengalami
5 kesulitan tidur malam oleh karena
0 1 2 3
rasa terbakar di dada (heartburn)
dan/ atau naiknya isi perut?
Seberapa sering anda meminum obat
tambahan untuk rasa terbakar di dada
6 (heartburn), selain yang diberikan 0 1 2 3
oleh dokter anda? (seperti obat maag
yang dijual bebas)
- Bila poin GERD-Q < 7,
kemungkinan anda tidak
menderita GERD
Hasil
- Bila poin GERD-Q anda
8-18, kemungkinan anda
menderita GERD.
Tabel 1. GERD-Q dikutip dari Konsensus Nasional Penatalaksanaan Penyakit GERD.26

Kuesioner ini terdiri dari 6 pertanyaan mengenai gejala klasik GERD, pengaruh GERD pada

kualitas hidup penderita serta efek penggunaan obat-obatan terhadap gejala dalam 7 hari

terakhir. Berdasarkan penilaian GERD-Q, jika skor >8 maka pasien tersebut memiliki

kecenderungan yang tinggi menderita GERD, sehingga perlu dievaluasi lebih lajut. Selain

untuk menegakkan diagnosis, GERD-Q juga dapat digunakan untuk memantau respons

terapi. Upaya diagnostik berdasarkan gejala klasik GERD ini juga didukung oleh Konsensus

Nasional Penatalaksanaan Penyakit Refluks Gastroesofageal di Indonesia (Perkumpulan


Gastroenterologi Indonesia, 2019). Dalam konsensus ini disebutkan bahwa penderita terduga

GERD adalah penderita dengan gejala klasik GERD yaitu heartburn, regrugitasi atau

keduanya yang terjadi sesaat setelah makan (terutama makan makanan berlemak dan porsi

besar). Pemeriksaan tambahan untuk diagnosis GERD adalah uji terapi PPI. Uji terapi PPI

merupakan suatu terapi empirik dengan memberikan PPI dosis ganda selama 1-2 minggu

tanpa pemeriksaan endoskopi sebelumnya. Jika gejala menghilang dengan pemberian PPI dan

muncul kembali jika terapi PPI dihentikan, maka diagnosis GERD dapat ditegakkan. Tes

dikatakan positif, apabila terjadi perbaikan klinis dalam 1 minggu sebanyak lebih dari 50%

Indikasi uji terapi PPI adalah penderita dengan gejala klasik GERD tanpa tanda-tanda alarm.

Tanda-tanda alarm meliputi usia >55 tahun, disfagia, odinofagia, anemia defisiensi besi, berat

badan turun, dan adanya perdarahan (melena/hematemesis). 27 Apabila gejala membaik selama

pengobatan dihentikan, maka diagnosis GERD dapat ditegakkan.

Standar baku untuk diagnosis GERD adalah dengan menggunakan endoskopi tetapi

endoskopi pada GERD tidak selalu harus dilakukan pada saat pertama kali, oleh karena

GERD dapat ditegakkan berdasarkan gejala dan/atau terapi empirik.

a. Endoskopi Saluran Cerna Bagian Atas

Pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas merupakan standart baku untuk

diagnosis GERD dengan ditemukannya mucosal break di esofagus, jika tidak

ditemukan keadaan ini disebut sebagai non erosive refluks disease (NERD). Dengan

melakukan pemeriksaan endoskopi dapatdinilai perubahan makroskopik dari mukosa

esofagus,serta dapat menyingkirkan keadaan patologis lain yang dapat menimbulkan

gejala GERD. Biopsi diperlukan untuk memastikan gejala heartburn atau regurgitasi

tersebut disebabkan oleh GERD.

Derajat Kerusakan Gambaran Endoskopi


A Erosi kecil-kecil pada mukosa
esofagus dengan diameter < 5 mm
Erosi pada mukosa/lipatan mukosa
B dengan diameter > 5 mm tanpa saling
berhubungan
Lesi yang konfluen tetapi tidak
C
mengenai/mengelilingi seluruh lumen
Lesi mukosa esofagus yang bersifat
D sirkumferensial (mengelilingi seluruh
lumen esofagus)
Tabel 2. Klasifikasi Los Angeles.3

b. Pemeriksaan Radiologi

Pada pemeriksaan ini diberikan kontras barium, diamati secara fluoroskopijalannya

barium dalam esofagus, peristaltik terutama bagian distal, biladitemukan refluks

barium dari lambung kembali ke esofagus maka hal itudinyatakan sebagai GERD.

Sering tidak menunjukkan kelainan pada kasus

esofagitis ringan. Namun pada keadaan tertentu pemeriksaan inimempunyai nilai

lebih dari endoskopi, yaitu pada :

1. Stenosis esofagus derajat ringan akibat esofagitis peptik dengan gejala disfagia

2. Hiatus hernia

c. Pemantuan PH 24 jam

Pengukuran PH pada esofagus bagian distal dapat memastikan adatidaknya refluks

gastroesofageal. PH dibawah 4 pada jarak 5 cm di atasLES dianggap diagnostik untuk

refluks gastroesofageal.

d. Tes Provokatif

1. Tes Bernstein

Tes in mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selangtransanal dan

melakukan perfusi bagian distal esofagus dengan HCL 0,1 M dalam waktu
kurang dari 1 jam. Bila larutan ini menimbulkan nyeri dada seperti yang biasa

dialami pasien, sedangkan larutan NaCl tidakmenimbulkan rasa nyeri, maka

test ini dianggap positif

2. Tes Farmakologi/edrofonium

Menggunakan obat edrophorium yang disuntikkan IV untuk menentukan

adanya komponen nyeri motorik yang dapat dilihat dari rekaman

gerakperistaltik esofagus secara manometri untuk memastikan nyeri

dadaberasal dari esofagus.

3. Manometri esofagus

Tes ini akan member manfaat yang berarti jika pada pasien-pasien dengan

gejala nyeri epigastrium dan regurgitasi yang nyata.

4. Sintigrafi Gastroesofageal

Tes in menggunakan cairan atau campuran makanan cair dan padat yang di

label dengan radio isitop yang tidak diabsorbsi, biasanya technetium.

Sensitivitas dan spesifitas tes ini mash diragukan.

3.7 Tatalaksana

3.7.1 Non-Farmakologi
Pada tatalaksana GERD sejumlah terapi non medikamentosa berupa modifikasi gaya hidup

juga tidak kalah pentingnya, yaitu meninggikan posisi kepala saat tidur lebih kurang 15-

20cm, menghindari makan menjelang tidur paling lambat 3 jam sebelum tidur, berhenti

merokok dan alkohol (mengurangi tonus LES), kurangi lemak dan jumlah makanan turunkan

berat badan, jangan berpakaian ketat (meningkatkan distensi lambung), hindari teh, coklat,

pepermint, kopi, minuman bersoda (meningkatkan sekresi asam), hindari: antikolinergik,

teofilin, diazepam, opiat, antagonis kalsium (menurunkan tonus LES).3,11,15


3.7.2Farmakologi2,11,15,28

Gambar 2. Strategi Pengobatan GERD3

Terdapat 2 alur penatalaksanaan GERD, yaitu metode step-up dan step-down. Pada

pendekatan step up pengobatan dimulai dengan obat-obat yang tergolong kurang kuat dalam

menekan sekresi asam (antagonis reseptor H2) atau golongan prokinetik, bila gagal diberikan

obat golongan penekan sekresi asam yang lebih kuat dengan masa terapi lebih lama

(penghambat pompa proton/PPI). Sedangkan pada pendekatan step down pengobatan dimulai

dengan PPI dan setelah berhasil dapat dilanjutkan dengan terapi pemeliharaan dengan

menggunakan dosis yang lebih rendah atau antagonis reseptor H2 atau prokinetik atau bahkan

antasid.

Dari berbagai studi dilaporkan bahwa pendekatan terapi step down ternyata lebih

ekonomis (dalam segi biaya yang dikeluarkan pasien) dibandingkan dengan pendekatan

terapi step up.Obat – obat yang dapat digunakan dalam pengobatan GERD, yaitu:

Tabel 3. Efektivitas Terapi Obat untuk GERD29


1. Antasid

Golongan obat ini cukup efektif dan aman dalam menghilangkan gejala GERD tetapi

tidak menyembuhkan lesi esofagitis. Selain sebagai buffer terhadap HCI, obat ini dapat

memperkuat tekanan sfingter esofagus bagian bawah. Kelemahan golongan obat ini

adalah :

a. Rasanya kurang menyenangkan,

b. Dapat menimbulkan diare terutama yang mengandung magnesium serta konstipasi

terutama antasid yang mengandung alumunium,

c. Penggunaannya sangat terbatas pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal.

Dosis: sehari 4 x 10ml

2. Antagonis reseptor H2

Termasuk dalam golongan obat ini adalah simetidin, raniditin, famotidin dan nizatidin.

Sebagai penekan sekresi asam, golongan obat ini efektif dalam pengobatan penyakit

refluks gastroesofageal jika diberikan dosis 2 kali lebih tinggi dan dosis untuk terapi

ulkus. Golongan obat ini hanya efektif pada pengobatan esofagitis derajat ringan sampai

sedang tanpa komplikasi.

Dosis pemberian:

Simetidin :2 x 800 mg atau 4 x 400 mg

Ranitidin :4 x 150 mg

Famotidin :2 x 20 mg

Nizatidin:2 x 150 mg

3. Obat-obatan prokinetik

Secara teoritis, obat ini paling sesuai untuk pengobatan GERD karena penyakit ini

dianggap lebih condong ke arah gangguan motilitas. Namun pada prakteknya,

pengobatan GERD sangat bergantung kepada penekanan sekresi asam.


Metoklopramid:

Obat in bekerja sebagai antagonis reseptor dopamin. Efektivitasnya rendah dalam

mengurangi gejala serta tidak berperan dalam penyembuhan lesi di esofagus kecuali

dalam kombinasi dengan antagonis reseptor H2 atau penghambat pompa proton. Karena

melalui sawar darah otak, maka dapat tumbuh efek terhadap susunan saraf pusat berupa

mengantuk, pusing, agitasi, tremor dan diskinesia.

Domperidone:

Golongan obat ini adalah antagonis reseptor dopamine dengan efek samping yang lebih

jarang dibanding metoklopramid karena tidak melalui sawar darah otak. Walaupun

efektivitasnya dalam mengurangi keluhan dan penyembuhan lesi esofageal belum banyak

dilaporkan, golongan obat ini diketahui dapat meningkatkan tonus LES serta

mempercepat pengosongan lambung.

Dosis: 3 x 10-20 mg sehari

Cisapride:

Sebagai suatu antagonis reseptor 5 HT4, obat ini dapat mempercepat pengosongan

lambung serta meningkatkan tekanan tonus LES. Efektivitasnya dalam menghilangkan

gejala serta penyembuhan lesi esofagus lebih baik disbanding domperidon,

Dosis 3 x 10 mg sehari

Dosis: 3 x 10 mg

4. Sukralfat (Aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat).

Berbeda dengan antasid dan penekan sekresi asam, obat ini tidak memiliki efek langsung

terhadap asam lambung. Obat ini bekerja dengan cara meningkatkan pertahanan mukosa

esofagus, sebagai buffer terhadap HCI di esofagus serta dapat mengikat pepsin dan

garam empedu. Golongan obat ini cukup aman diberikan karena bekerja secara topikal

(sitoproteksi)
Dosis: 4 x 1 gram

5. Penghambat Pompa Proton (Proton pump inhibitor/ PPI)

Penghambat Pompa Proton (Proton pump inhibitor/ PPI) Golongan ini merupakan drug

of choice dalam pengobatan GERD, Golongan obat-obatan ini bekerja langsung pada

pompa proton sel parietal dengan mempengaruhi enzim H, K ATP-ase yang dianggap

sebagai tahap akhir proses pembentukan asam lambung.Obat-obatan ini sangat efektif

dalam menghilangkan keluhan serta penyembuhan lesi esofagus, bahkanpada esofagitis

erosiva derajat berat serta yang refrakter dengan golongan antagonist reseptor H2. Dosis

yang diberikan untuk GERD adalah dosis penuh, yaitu:

Omeprazole : 2 x 20 mg

Lansoprazole : 2 x 30 mg

Pantoprazole: 2 x 40 mg

Rabeprazole : 2 x 10 mg

Esomeprazole : 2 x 40 mg

Umumnya pengobatan diberikan selama 6-8 minggu (terapi inisial) yang dapat

dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan (maintenance therapy) selama 4 bulan atau on

demand therapy, tergantung dari derajat esofagitisnya. Efektivitas golongan Obat ini

semakin bertambah jika dikombinasi dengan golongan prokinetik. Untuk pengobatan

NERD diberikan dosis standar, yaitu:

Omeprazol: 1 x 20 mg

Lansoprazol : 1 x 30 mg

Pantoprazol: 1 x 40 mg

Rabeprazol: 1 x 10 mg

Esomeprazol: 1 x 40 mg

Dari semua obat-obatan tersebut di atas, PPI paling efektif dalam menghilangkan gejala
serta menyembuhkan lesi esofagitis pada GERD. 11 PPI terbukti lebih cepat

menyembuhkan lesi esofagitis serta menghilangkan gejala GERD dibanding golongan

antagonis reseptor H2 dan prokinetik. Apabila PPI tidak tersedia, dapat diberikan H2RA.

Pada individu-individu dengan gejala dada terbakar atau regurgitasiepisodik, penggunaan

H2RA (H2-Receptor Antagonist) dan/atauantasida dapat berguna untuk memberikan

peredaan gejala yang cepat. Selain itu, di Asia penggunaan prokinetik (antagonis

dopaminedan antagonis reseptor serotonin) dapat berguna sebagai terapitambahan.

Pengobatan GERD dapat dimulai dengan PPI setelah diagnosis GERD ditegakkan Dosis

inisial PPI adalah dosis tunggal per pagi hari sebelum makan selama 2 sampai 4 minggu.

Apabila masih ditemukan gejala sesuai GERD (PPI failure), sebaiknya PPI diberikan

secara berkelanjutan dengan dosis ganda sampai gejala menghilang. Umumnya terapi

dosis ganda dapat diberikan sampai 4-8 minggu.

Apabila kondisi klinis masih belum menunjukkan perbaikan harus dilakukan

pemeriksaan endoskopi untuk mendapatkan kepastian adanya kelainan pada mukosa

saluran cerna atas. Pengobatan selanjutnya dapat diberikan sesuai dengan ringan-

beratnya kerusakan mukosa.33 Untuk esofagitis ringan dapat dilanjutkan dengan terapi on

demand. Sedangkan untuk esofagitis berat dilanjutkan dengan terapi pemeliharaan

kontinu, yang dapat diberikan sampai 6 bulan.


Gambar 3. Alur Pengobatan Berdasarkan Proses Diagnostik Pada
Pelayanan Sekunder dan Tersier2

6. Terapi Bedah

Penatalaksanaan bedah mencakup tindakan pembedahan antirefluks (fundoplikasi

Nissen, perbaikan hiatus hernia, dll) dan pembedahan untuk mengatasi komplikasi.

Pembedahan antirefluks (fundoplikasi Nissen) dapat disarankan untuk pasien-pasien

yang intoleran terhadap terapi pemeliharaan, atau dengan gejala mengganggu yang

menetap (GERD refrakter). Studi-studi yang ada menunjukkan bahwa, apabila dilakukan

dengan baik, efektivitas pembedahan antirefluks ini setara dengan terapi medikamentosa,

namun memiliki efek samping disfagia, kembung, kesulitan bersendawa dan gangguan

usus pascapembedahan.1,20,36

7. Terapi Endoskopi

Walaupun laporannya masih terbatas serta masih dalam konteks penelitian, akhir-akhir

ini mulai dikembangkan pilihan terapi endoskopi pada pasien GERD, yaitu:penggunaan
energi radiofrekuensi plikasi gastrik endoluminal. Implantasi endoskopis, yaitu dengan

menyuntikkan zat implandi bawah mukosa esofagus bagian distal, sehingga lumen

esophagus bagian distal menjadi lebih kecil

3.8 Komplikasi

1. Esofageal

a. Esofagitis erosif

Esofagitis erosif terjadi ketika refluks asam dan pepsin yang berlebihan

menyebabkan nekrosis lapisan permukaan mukosa esofagus, menyebabkan

erosi dan bisul.Pasien dengan esofagitis erosif dapat asimtomatik atau hadir

dengan nyeri ulu hati, regurgitasi, disfagia, dan odinofagia.28,30

b. Esofagus Barrett

Kerusakan akibat refluksat dapat menyebabkan perubahan pada jaringan yang

melapisi esophagus bagian distal. Esofagus Barrett adalah suatu kondisi di

mana epitel skuamosa bertingkat yang biasanya melapisi esophagus distal

menjadi epitel kolumnar metaplastic. Epitel metaplastik diperoleh sebagai

konsekuensi dari penyakit refluks gastroesofagus kronis (GERD) dan

merupakan predisposisi perkembangan kanker esofagus. Pada kasus ini

kebanyakan pasien tidak merasakan gejala khusus. Sebagian besar pasien

awalnya terlihat gejala GERD terkait, seperti mulas, regurgitasi, dan disfagia.

GERD yang terkait dengan esofagus Barrett segmen panjang sering dipersulit

oleh ulserasi esofagus, striktur, dan perdarahan.28,30

c. Striktur esophagus

Striktur esofagus adalah penyempitan saluran esofagus atau kerongkongan


yang menghubungkan tenggorokan dan perut. Jika lapisan organ

kerongkongan (esofagus) sering mengalami peradangan, jaringan parut (plak)

dapat terjadi sehingga menyebabkan penyempitan tabung organ. Akibatnya,

makanan akan kesulitan melewati saluran tersebut hingga tersangkut atau

terbentur yang menyebabkan nyeri dada dan perut.28,30

2. Ekstraesofageal

a. Nyeri dada non-kardiak

Nyeri dada nonkardiak atipikal telah dikaitkan dengan GERD hingga 60%

kasus. Dalam 50% kasus, gejala terkait langsung dengan cedera refluks dan

dalam 10% gejala terkait dengan dismotilitas esofagus. Nyeri dada non-kardiak

atipikal akibat GERD seringkali tidak dapat dibedakan dari angina pektoris.

Oleh karena itu, evaluasi jantung diindikasikan pada pasien lanjut usia ini

sebelum menganggap gejalaGERD saja.30,31

b. Penyakit paru

Komplikasi paru GERD sering terjadi pada orang tua. Kondisi termasuk asma,

batuk kronis, bronkitis kronis, fibrosis paru, pneumonia aspirasi, dan sleep

apnea semuanya terlihat lebih sering pada orang tua. Hingga 21% pasien

dengan batuk kronis, GERD adalah penyebabnya. Hebatnya, batuk kronis bisa

menjadi satu-satunya gejala GERD pada beberapa pasien. Mekanisme

terjadinya komplikasi pulmonal tidak hanya aspirasi pulmoner dari bahan

refluks tetapi juga melibatkan refleks bronkokonstriksi yang dimediasi saraf

akibat iritasi esofagus olehasam30,31

c. Komplikasi Telinga, Hidung, Dan Tenggorokan (THT)


GERD sering terjadi pada orang tua dengan radang tenggorokan yang paling

umum. Pada hingga 10% pasien dengan suara serak, cedera asam lambung

akibat refluks adalah penyebabnya. Cedera asam juga dapat menyebabkan

sensasi globus, otitis media, sinusitis, faringitis, suara serak, erosi gigi,

granuloma pita suara, stenosis subglottal, dan kanker laring. Terapi antirefluks

yang berkepanjangan mungkin diperlukan dan seringkali efektif pada pasien

ini. Namun, kekambuhan cepat terjadi ketika terapi dihentikan30,31

Anda mungkin juga menyukai