TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
refluks kandungan lambung ke dalam esofagus, dengan berbagai gejala yang timbul akibat
keterlibatan esofagus, laring, dan saluran napas yang disebabkan kelemahan otot sfingter
esofagus bagian bawah atau lower esophageal sfingter (LES).3Definisi lain berdasarkan
Konsensus Asia Pasifik mengenaiGERD yaitu sebagai suatu gangguan di mana isi lambung
mengalami refluks secara berulang ke dalam esofagus, yang menyebabkan terjadinya gejala
oleh karena menandakan adanya gangguan terhadap kualitas hidup dan mengartikan pendapat
umum yang menyatakan bahwa apabila refluks esofageal ingin dinyatakan sebagai penyakit,
3.2Manifestasi Klinis
keadaan refluks yang terjadi sesaat setelah makan, ditandai rasa asam dan pahit di lidah.
Heartburn adalah suatu rasa terbakar di daerah epigastrium atau retrosternal bagian bawah
yang dapat disertai nyeri dan pedih, dalam bahasa awam heartburnsering dikenal dengan
istilah rasa panas di ulu hati yang terasa hingga ke daerah dada. Kedua gejala ini umumnya
dirasakan saat setelah makan atau saat berbaring. Gejala lain GERD adalah nyeri epigastrium,
mual, kembung, cepat kenyang, bersendawa, disfagia, dan odinofagia. Disfagia umumnya
akibat striktur atau keganasan Barrett’s esofagus. Sedangkan odinofagia atau rasa sakit saat
menelan umumnya akibat ulserasi berat atau pada kasus infeksi. Nyeri dada non-kardiak,
batuk kronik, asma, dan laringitis merupakan gejala ekstraesofageal penderita GERD. 6,10,12,13
Gejala GERD memang seringkali disertai dengan gejala-gejala yang mirip dengan
dispepsia, gejala yang dimaksud seperti rasa mual, muntah, rasa kenyang dini, kembung,
bersendawa, dan berdasarkan pada Konsensus Roma III menyatakan bahwa penderita
dengan gejala dispepsia fungsional yang mengalami refluks dan terdapat rasa panas di
belakang dada dapat dikelompokkan ke dalam penyakit GERD dan juga berdasarkan dari
hasil pemeriksaan endoskopi Saluran Cerna Bagian Atas (SCBA) dapat ditemukan mucosal
break pada mukosa esofagus pada tipe GERD yang erosifsedangkan pada dispepsia bisa
ditemukan ulkus peptikum atau gastritis erosif pada mukosa lambung yang khas pada
dispepsia organik.14,15
Terdapat dua kelompok pasien GERD, yaitu pasien dengan esofagitis erosif
yang ditandai dengan adanya kerusakan mukosa esofagus pada pemeriksaan endoskopi
(Erosive Esophagitis/ERD) dan kelompok lain adalah pasien dengan gejala refluks yang
mengganggu tanpa adanya kerusakan mukosa esofagus pada pemeriksaan endoskopi (Non-
dialami oleh pasien NERD juga disebabkan oleh asam, berdasarkan pemantauan pH, respons
koroner dengan melihat dari gejala klinisnya, pada GERD gejala klinisnya berupa rasa
terbakar di daerah epigastrium atau retrosternal bagian bawah yang dapat disertai nyeri dan
pedih atau disebut dengan heartburn sedangkan pada penyakit jantung koroner dapat
dirasakan keluhan seperti rasa tertindih benda berat di dada yang menjalar ke lengan kiri,
pundak, leher, rahang dan punggung, sesak napas yang terjadi juga lebih berat.16
beberapa di antaranya termasuk usia lanjut, jenis kelamin pria, riwayat keluarga, status
ekonomi tinggi, peningkatan indeks massa tubuh, dan merokok. Bukti terkuat untuk
keterkaitan faktor risiko tertentu dengan kejadian GERD pada populasi Asia-Pasifikyaitu
peningkatan indeks massa tubuh yang ditemukan lebih dari 25 studi klinis mendukung
korelasi tersebut.10
kecenderungan menderita GERD simtomatis atau bahkan esofagitis. 17 Penderita obesitas yang
memiliki lingkar perut melebihi batas normal dapat meningkatkan risiko untuk terkena
GERD.18
lebih mudah naik ke esofagus dan menimbulkan peristiwa GERD. 19 Selain itu, jaringan lemak
viseral secara metabolik berkaitan dengan penurunan kadar sitokin anti-inflamasi dalam
serum seperti adiponektin dan peningkatan kadar sitokin pro-inflamasi seperti interleukin-6
dan tumor necrosis factor-a (TNF-a) yang dapat berperan dalam pembentukan erosive
esophagitis.18
yang menderita obesitas memiliki risiko 2,5 kali lebih besar daripada yang memiliki indeks
massa tubuh normal untuk terjadi gejala refluks atau erosive esophagitis. Pada penelitian ini
terdapat 453 pasien dan 118 pasien di antaranya memiliki gejala refluks serta 44 pasien yang
ditemukan erosive esophagitis. Pada populasi yang memiliki gejala refluks mingguan,
ditemukan sebesar 26,7% pasien memiliki berat badan berlebih (IMT 25-30 kg/m2) dan 50%
pasien menderita obesitas tingkat I (IMT >30 kg/m2). Sedangkan, pada populasi yang
ditemukan erosive esophagitis, didapatkan sebesar 29,8% pasien memiliki berat badan
berlebih (IMT 25-30 kg/m2) dan 26,9% pasien menderita obesitas tingkat I (IMT >30
kg/m2).19
Poliklinik khusus RSUP Dr. M. Djamil Padang pada tahun 2015 menemukan bahwa dari 35
pasien yang menderita GERD terdapat 23 pasien (65,71%) yang memiliki berat badan
berlebih. Banyaknya penderita GERD dengan obesitas di RSUP Dr. M. Djamil Padang
disebabkan oleh meningkatnya kasus GERD yang dipengaruhi oleh pola makan yang tidak
seimbang dan gaya hidup yang tidak sehat, seperti pola makan yang tinggi kalori dan rendah
gizi disertai dengan aktivitas fisik yang minim dan kebiasaan merokok sehingga akumulasi
lemak pada abdomen dapat meningkatkan tekanan intraabdominal. 3,20 Dapat disimpulkan
semakin tinggi nilai IMT, maka risiko terjadinya GERD juga semakin tinggi.
blocker dapat mempengaruhi tonus LES. Makanan, seperti coklat, makanan berlemak, kopi,
alkohol, dan rokok.Hormon umumnya terjadi pada wanita hamil dan menopause. Pada wanita
hamil, menurunnya tekanan LES terjadi akibat peningkatan kadar progesteron. Sedangkan
pada wanita menopause, menurunnya tekanan LES terjadi akibat terapi hormon
estrogen.3,11Penting untuk mengetahui hubungan faktor resiko dengan kejadian GERD agar
dapat memperbaiki status gizi pasien sejak dini sehingga dapat menurunkan angka kejadian
refluks, mengurangi derajat keparahan GERD, mencegah kerusakan mukosa esofagus lebih
3.4 Epidemiologi
Data epidemiologi dari Amerika Serikat menunjukkan bahwa satu dari lima orang
dewasa mengalami gejala refluks esofageal heartburn dan atau regurgitasi asam sekali dalam
seminggu, serta lebih dari 40% mengalami gejala tersebut sekurangnya sekali dalam
sebulan.21 Berdasarkan tinjauan sistematis yang dilakukan, prevalensi GERD adalah 18,1–
27,8% di Amerika Utara, 8,8–25,9% di Eropa, 2,5–7,8% di Asia Timur, 8,7–33,1% di Timur
Tengah, 11,6% di Australia, dan 23,0% di Amerika Selatan.Asia seperti di Iran yang berkisar
antara 6,3% - 18,3%, Palestina menunjukkan angka yang lebih tinggi yaitu 24%, Jepang dan
Taiwan sekitar 13% -15%.11,22 Di Indonesia, prevalensi kejadian GERD masih belum ada data
epidemiologi yang pasti. Namun, di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta pada tahun 2016
telah dilakukan penelitian dan didapatkan sebanyak 22,8% kasus esofagitis dari semua
rendah dibandingkan dengan negara barat, namun demikian data terakhir menunjukkan
bahwa prevalensinya semakin meningkat. Hal ini disebabkan oleh karena adanya perubahan
gaya hidup yang meningkatkan seseorang terkena GERD, seperti merokok dan juga
obesitas.23
sebagai konsekuensi berbagai kelainan fisiologi dan anatomi yang berperan dalam
transien dan tonus Lower Esophageal Sphincter (LES) yang menurun, gangguan clearance
esofagus, resistensi mukosa yang menurun dan jenis refluksat dari lambung dan duodenum,
baik asam lambung maupun bahan-bahan agresif lain seperti pepsin, tripsin, dan cairan
empedu serta faktor-faktor pengosongan lambung. Asam lambung merupakan salah satu
faktor utama etiologi penyakit refluks esofageal, kontak asam lambung yang lama dapat
mengakibatkan kematian sel, nekrosis, dan kerusakan mukosa pada pasien GERD. Ada 4
besar pasien GERD ternyata mempunyai tonus LES yang normal,ini dinamakan
terjadi di luar proses menelan. Akhir-akhir ini dikemukakan bahwa radang kardia oleh
Pada keadaan normal clearance esofagus terdiri dari 4 macammekanisme, yaitu gaya
yang timbul pada waktu menelan dengan cepat mengosongkan isi esophagus,
kemudian air liur yang alkalis dan dibentuk sebanyak 0,5 ml/menit serta bikarbonat
yang dibentuk oleh mukosa esofagus sendiri menetralisasi asam yang masih tersisa.
Sebagian besar asam yang masuk esofagus akan turun kembali ke lambung oleh
karena gaya gravitasi dan peristaltik. Refluks yang terjadi pada malam hari waktu
tidur paling merugikan oleh karena dalam posisi tidur gaya gravitasi
tidak membantu, salivasi dan proses menelan terhenti dan oleh karena itu peristaltik
primer dan saliva tidak berfungsi untuk proses pembersihan asam di esofagus.
daya perusak terhadap mukosa esofagus. Beberapa jenis makanan tertentu seperti air
jeruk nipis, tomat dan kopi menambah keluhan pada pasien GERD.
Reluks gastroesofagus lebih sering terjadi sewaktu habis makan dari pada keadaan
puasa, oleh karena isi lambung merupakan faktorpenentu terjadinya refluks. Lebih
banyak isi lambung lebih sering terjadi refluks. Selanjutnya pengosongan lambung
Terjadi kontak dalam waktu yang cukup lama antara bahanrefluksat dengan
mukosa esofagus
Esofagus dan Gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi (high pressure zone) yang
dihasilkan ole kontraksi Lower esophageal sphincter(LES). Pada individu normal, pemisah
ini akan dipertahankan kecuali pada saat terjadinya aliran antegrad yang terjadi pada saat
menelan, atau aliran retrogard yang terjadi pada saat sendawa atau muntah. Aliran balik dari
gaster ke esophagus melalui LES hanya terjadi apabila tonus LES tidak ada atau sangat
1. Refluks spontan pada saat relaksasi LES (Lower esophageal sphincter) yang tidak
adekuat
Terjadinya aliran balik/ refluks pada penyakit GERD diakibatkan oleh gangguan motilitas /
pergerakan esofagus bagian ujung bawah. Padabagian ujung ini terdapat otot pengatur
( sfingter ) disebut LES , yang fungsinya mengatur arah aliran pergerakan isi saluran cera
dalam satu arah dari atas kebawah menuju usus besar. Pada GERD akan terjadi
relaksasispontan otot tersebut atau penurunan kekuatan otot tersebut, sehingga dapat terjadi
arus balik atau refluks cairan/ asam lambung, dari bawah keatas ataupun sebaliknya.
3.6 Diagnosis3,11
Diagnosis GERD ditegakkan berdasarkan gejala klasik dari hasil anamnesis, pengisian
kuesioner, serta berdasarkan hasil uji terapi proton pump inhibitor(PPI). Selain itu, juga dapat
Kuesioner ini terdiri dari 6 pertanyaan mengenai gejala klasik GERD, pengaruh GERD pada
kualitas hidup penderita serta efek penggunaan obat-obatan terhadap gejala dalam 7 hari
terakhir. Berdasarkan penilaian GERD-Q, jika skor >8 maka pasien tersebut memiliki
kecenderungan yang tinggi menderita GERD, sehingga perlu dievaluasi lebih lajut. Selain
untuk menegakkan diagnosis, GERD-Q juga dapat digunakan untuk memantau respons
terapi. Upaya diagnostik berdasarkan gejala klasik GERD ini juga didukung oleh Konsensus
GERD adalah penderita dengan gejala klasik GERD yaitu heartburn, regrugitasi atau
keduanya yang terjadi sesaat setelah makan (terutama makan makanan berlemak dan porsi
besar). Pemeriksaan tambahan untuk diagnosis GERD adalah uji terapi PPI. Uji terapi PPI
merupakan suatu terapi empirik dengan memberikan PPI dosis ganda selama 1-2 minggu
tanpa pemeriksaan endoskopi sebelumnya. Jika gejala menghilang dengan pemberian PPI dan
muncul kembali jika terapi PPI dihentikan, maka diagnosis GERD dapat ditegakkan. Tes
dikatakan positif, apabila terjadi perbaikan klinis dalam 1 minggu sebanyak lebih dari 50%
Indikasi uji terapi PPI adalah penderita dengan gejala klasik GERD tanpa tanda-tanda alarm.
Tanda-tanda alarm meliputi usia >55 tahun, disfagia, odinofagia, anemia defisiensi besi, berat
badan turun, dan adanya perdarahan (melena/hematemesis). 27 Apabila gejala membaik selama
Standar baku untuk diagnosis GERD adalah dengan menggunakan endoskopi tetapi
endoskopi pada GERD tidak selalu harus dilakukan pada saat pertama kali, oleh karena
Pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas merupakan standart baku untuk
ditemukan keadaan ini disebut sebagai non erosive refluks disease (NERD). Dengan
gejala GERD. Biopsi diperlukan untuk memastikan gejala heartburn atau regurgitasi
b. Pemeriksaan Radiologi
barium dari lambung kembali ke esofagus maka hal itudinyatakan sebagai GERD.
1. Stenosis esofagus derajat ringan akibat esofagitis peptik dengan gejala disfagia
2. Hiatus hernia
c. Pemantuan PH 24 jam
refluks gastroesofageal.
d. Tes Provokatif
1. Tes Bernstein
melakukan perfusi bagian distal esofagus dengan HCL 0,1 M dalam waktu
kurang dari 1 jam. Bila larutan ini menimbulkan nyeri dada seperti yang biasa
2. Tes Farmakologi/edrofonium
3. Manometri esofagus
Tes ini akan member manfaat yang berarti jika pada pasien-pasien dengan
4. Sintigrafi Gastroesofageal
Tes in menggunakan cairan atau campuran makanan cair dan padat yang di
3.7 Tatalaksana
3.7.1 Non-Farmakologi
Pada tatalaksana GERD sejumlah terapi non medikamentosa berupa modifikasi gaya hidup
juga tidak kalah pentingnya, yaitu meninggikan posisi kepala saat tidur lebih kurang 15-
20cm, menghindari makan menjelang tidur paling lambat 3 jam sebelum tidur, berhenti
merokok dan alkohol (mengurangi tonus LES), kurangi lemak dan jumlah makanan turunkan
berat badan, jangan berpakaian ketat (meningkatkan distensi lambung), hindari teh, coklat,
Terdapat 2 alur penatalaksanaan GERD, yaitu metode step-up dan step-down. Pada
pendekatan step up pengobatan dimulai dengan obat-obat yang tergolong kurang kuat dalam
menekan sekresi asam (antagonis reseptor H2) atau golongan prokinetik, bila gagal diberikan
obat golongan penekan sekresi asam yang lebih kuat dengan masa terapi lebih lama
(penghambat pompa proton/PPI). Sedangkan pada pendekatan step down pengobatan dimulai
dengan PPI dan setelah berhasil dapat dilanjutkan dengan terapi pemeliharaan dengan
menggunakan dosis yang lebih rendah atau antagonis reseptor H2 atau prokinetik atau bahkan
antasid.
Dari berbagai studi dilaporkan bahwa pendekatan terapi step down ternyata lebih
ekonomis (dalam segi biaya yang dikeluarkan pasien) dibandingkan dengan pendekatan
terapi step up.Obat – obat yang dapat digunakan dalam pengobatan GERD, yaitu:
Golongan obat ini cukup efektif dan aman dalam menghilangkan gejala GERD tetapi
tidak menyembuhkan lesi esofagitis. Selain sebagai buffer terhadap HCI, obat ini dapat
memperkuat tekanan sfingter esofagus bagian bawah. Kelemahan golongan obat ini
adalah :
2. Antagonis reseptor H2
Termasuk dalam golongan obat ini adalah simetidin, raniditin, famotidin dan nizatidin.
Sebagai penekan sekresi asam, golongan obat ini efektif dalam pengobatan penyakit
refluks gastroesofageal jika diberikan dosis 2 kali lebih tinggi dan dosis untuk terapi
ulkus. Golongan obat ini hanya efektif pada pengobatan esofagitis derajat ringan sampai
Dosis pemberian:
Ranitidin :4 x 150 mg
Famotidin :2 x 20 mg
Nizatidin:2 x 150 mg
3. Obat-obatan prokinetik
Secara teoritis, obat ini paling sesuai untuk pengobatan GERD karena penyakit ini
mengurangi gejala serta tidak berperan dalam penyembuhan lesi di esofagus kecuali
dalam kombinasi dengan antagonis reseptor H2 atau penghambat pompa proton. Karena
melalui sawar darah otak, maka dapat tumbuh efek terhadap susunan saraf pusat berupa
Domperidone:
Golongan obat ini adalah antagonis reseptor dopamine dengan efek samping yang lebih
jarang dibanding metoklopramid karena tidak melalui sawar darah otak. Walaupun
efektivitasnya dalam mengurangi keluhan dan penyembuhan lesi esofageal belum banyak
dilaporkan, golongan obat ini diketahui dapat meningkatkan tonus LES serta
Cisapride:
Sebagai suatu antagonis reseptor 5 HT4, obat ini dapat mempercepat pengosongan
Dosis 3 x 10 mg sehari
Dosis: 3 x 10 mg
Berbeda dengan antasid dan penekan sekresi asam, obat ini tidak memiliki efek langsung
terhadap asam lambung. Obat ini bekerja dengan cara meningkatkan pertahanan mukosa
esofagus, sebagai buffer terhadap HCI di esofagus serta dapat mengikat pepsin dan
garam empedu. Golongan obat ini cukup aman diberikan karena bekerja secara topikal
(sitoproteksi)
Dosis: 4 x 1 gram
Penghambat Pompa Proton (Proton pump inhibitor/ PPI) Golongan ini merupakan drug
of choice dalam pengobatan GERD, Golongan obat-obatan ini bekerja langsung pada
pompa proton sel parietal dengan mempengaruhi enzim H, K ATP-ase yang dianggap
sebagai tahap akhir proses pembentukan asam lambung.Obat-obatan ini sangat efektif
erosiva derajat berat serta yang refrakter dengan golongan antagonist reseptor H2. Dosis
Omeprazole : 2 x 20 mg
Lansoprazole : 2 x 30 mg
Pantoprazole: 2 x 40 mg
Rabeprazole : 2 x 10 mg
Esomeprazole : 2 x 40 mg
Umumnya pengobatan diberikan selama 6-8 minggu (terapi inisial) yang dapat
demand therapy, tergantung dari derajat esofagitisnya. Efektivitas golongan Obat ini
Omeprazol: 1 x 20 mg
Lansoprazol : 1 x 30 mg
Pantoprazol: 1 x 40 mg
Rabeprazol: 1 x 10 mg
Esomeprazol: 1 x 40 mg
Dari semua obat-obatan tersebut di atas, PPI paling efektif dalam menghilangkan gejala
serta menyembuhkan lesi esofagitis pada GERD. 11 PPI terbukti lebih cepat
antagonis reseptor H2 dan prokinetik. Apabila PPI tidak tersedia, dapat diberikan H2RA.
peredaan gejala yang cepat. Selain itu, di Asia penggunaan prokinetik (antagonis
Pengobatan GERD dapat dimulai dengan PPI setelah diagnosis GERD ditegakkan Dosis
inisial PPI adalah dosis tunggal per pagi hari sebelum makan selama 2 sampai 4 minggu.
Apabila masih ditemukan gejala sesuai GERD (PPI failure), sebaiknya PPI diberikan
secara berkelanjutan dengan dosis ganda sampai gejala menghilang. Umumnya terapi
saluran cerna atas. Pengobatan selanjutnya dapat diberikan sesuai dengan ringan-
beratnya kerusakan mukosa.33 Untuk esofagitis ringan dapat dilanjutkan dengan terapi on
6. Terapi Bedah
Nissen, perbaikan hiatus hernia, dll) dan pembedahan untuk mengatasi komplikasi.
yang intoleran terhadap terapi pemeliharaan, atau dengan gejala mengganggu yang
menetap (GERD refrakter). Studi-studi yang ada menunjukkan bahwa, apabila dilakukan
dengan baik, efektivitas pembedahan antirefluks ini setara dengan terapi medikamentosa,
namun memiliki efek samping disfagia, kembung, kesulitan bersendawa dan gangguan
usus pascapembedahan.1,20,36
7. Terapi Endoskopi
Walaupun laporannya masih terbatas serta masih dalam konteks penelitian, akhir-akhir
ini mulai dikembangkan pilihan terapi endoskopi pada pasien GERD, yaitu:penggunaan
energi radiofrekuensi plikasi gastrik endoluminal. Implantasi endoskopis, yaitu dengan
menyuntikkan zat implandi bawah mukosa esofagus bagian distal, sehingga lumen
3.8 Komplikasi
1. Esofageal
a. Esofagitis erosif
Esofagitis erosif terjadi ketika refluks asam dan pepsin yang berlebihan
erosi dan bisul.Pasien dengan esofagitis erosif dapat asimtomatik atau hadir
b. Esofagus Barrett
awalnya terlihat gejala GERD terkait, seperti mulas, regurgitasi, dan disfagia.
GERD yang terkait dengan esofagus Barrett segmen panjang sering dipersulit
c. Striktur esophagus
2. Ekstraesofageal
Nyeri dada nonkardiak atipikal telah dikaitkan dengan GERD hingga 60%
kasus. Dalam 50% kasus, gejala terkait langsung dengan cedera refluks dan
dalam 10% gejala terkait dengan dismotilitas esofagus. Nyeri dada non-kardiak
atipikal akibat GERD seringkali tidak dapat dibedakan dari angina pektoris.
Oleh karena itu, evaluasi jantung diindikasikan pada pasien lanjut usia ini
b. Penyakit paru
Komplikasi paru GERD sering terjadi pada orang tua. Kondisi termasuk asma,
batuk kronis, bronkitis kronis, fibrosis paru, pneumonia aspirasi, dan sleep
apnea semuanya terlihat lebih sering pada orang tua. Hingga 21% pasien
dengan batuk kronis, GERD adalah penyebabnya. Hebatnya, batuk kronis bisa
umum. Pada hingga 10% pasien dengan suara serak, cedera asam lambung
sensasi globus, otitis media, sinusitis, faringitis, suara serak, erosi gigi,
granuloma pita suara, stenosis subglottal, dan kanker laring. Terapi antirefluks