22010120210027
PPP70
Menurut
American College of Gastroenterology, Gastroesophageal reflux is a physical
condition in which acid from the stomach flows backward up into the esophagus. Dapat
dikatakan bahwa, GERD adalah suatu keadaan patologis dimana cairan asam lambung
mengalami refluks sehingga masuk ke dalam esofagus dan menyebabkan gejala seperti
heartburn (rasa terbakar di dada yang kadang disertai rasa nyeri dan pedih) serta gejala-gejala
lain seperti regurgitasi (rasa asam dan pahit di lidah), nyeri epigastrium, disfagia, dan
odinofagia.
Usia lanjut dan jenis kelamin memiliki hubungan tidak konsisten dengan peningkatan
risiko terjadinya gejala GERD. Di Amerika Utara dan Eropa, tidak terdapat hubungan
antara jenis kelamin dengan gejala GERD, tetapi di Amerika Selatan dan di Timur
Tengah, sekitar 40% wanita dilaporkan lebih banyak terjadi gejala GERD daripada
5
pria.
GERD merupakan penyakit multifaktorial dimana esofagitis dapat terjadi sebagai akibat dari
refluks kandungan lambung ke dalam esofagus apabila:
1. Terjadi kontak dalam waktu yang cukup lama antara bahan refluksat dengan
mukosa esofagus
3. Terjadi gangguan sensitivitas terhadap rangsangan isi lambung, yang disebabkan oleh
adanya modulasi persepsi neural esofageal baik sentral
maupun perifer.
4. Kandungan isi lambung yang menambah potensi daya rusak bahan refluksat
di antaranya adalah: asam lambung, pepsin, garam empedu, dan enzim pankreas. Dari
semua itu yang memiliki potensi daya rusak paling tinggi adalah asam lambung.
Yang termasuk faktor defensif sistem pertahanan esofagus adalah Lower Esophageal
Sphincter (LES), mekanisme bersihan esofagus, dan epitel esofagus. Sedangkan yang
termasuk faktor ofensif adalah peningkatan asam lambung, dilatasi lambung atau obstruksi
outlet gaster, distensi lambung dan pengosongan lambung yang terlambat, tekanan
intragastrik dan intraabdomen yang meningkat. Beberapa keadaan yang mempengaruhi
tekanan intraabdomen antara lain kehamilan, obesitas, dan pakaian terlalu ketat.
Lower Esophageal Sphincter (LES) merupakan strukur anatomi berbentuk sudut yang
memisahkan esofagus dengan lambung. Pada keadaan normal, tekanan LES akan menurun
saat menelan sehingga terjadi aliran antegrade dari esofagus ke lambung.Panjang LES 2- 4
cm dari distal esofagus dan tersusun dari otot polos sirkuler yang berlokasi di hiatus
diafragma.
Diketahui beberapa makanan juga dapat mencetuskan heartburn serta terdapat factor - faktor
lain yang berkontribusi terjadinya refluks dengan peningkatan tekanan abdomen,serta
mengganggu mekanisme anti refluks seperti kehamilan atau obesitas.
Tekanan istirahat LES biasanya cukup untuk mencegah refluks isi lambung ke dalam
esofagus sehingga mencegah gejala heartburn, tetapi pada saat tekanan intraabdomen
meningkat (manuver Valsalva, mengangkat barang, posisi Trendelenburg, dan kehamilan)
mekanisme lain dapat membantu mencegah terjadinya refluks.
Otot crural diafragma merupakan mekanisme pertahanan kedua untuk melindungi esofagus
dari refluks. Otot-otot crural dan LES secara anatomis dihubungkan oleh ligamentum
phrenoesophageal sehingga esofagus memiliki dua mekanisme yang berbeda tetapi interaktif
untuk mencegah refluks isi lambung ke esofagus.
Beberapa derajat refluks gastroesofagus terjadi secara normal pada sebagian besar individu.
GERD dapat terjadi akibat kombinasi faktor- faktor yang dapat menyebabkan asam lambung
refluks ke esofagus pada tingkat yang patologis, sehingga patogenesis GERD mirip dengan
penyakit sekresi asam lainnya, seperti tukang lambung, dan ulkus duodenum.
Mekanisme yang diduga berkontribusi terjadinya GERD antara lain TLESRs atau penurunan
tonus istirahat LES, gangguan pembersihan asam esofagus, penundaan pengosongan
lambung, penurunan air liur, dan gangguan resistensi jaringan.
heartburn.
Berlangsung sekitar 10 detik hingga 35 detik, TLESR menurunkan tekanan LES. TLESRs
tidak selalu menghasilkan refluks gastroesofagus. Akan tetapi sangat terkait dengan refluks
fisiologis dan patologis.
Peristaltik dapat mengembalikan sekitar 90% bahan asam refluks ke lambung, dan asam yang
tersisa dinetralkan dengan menelan air liur berturut- turut. Di antara pasien dengan GERD,
TLESR dianggap sebagai penyebab utama refluks patologis. Pasien dengan GERD memiliki
frekuensi TLESR yang sama dibandingkan dengan orang normal, walaupun mereka memiliki
persentase TLESR yang lebih tinggi terkait dengan refluks. Sehingga, kontak asam lambung
dengan mukosa esofagus menjadi lebih lama dan meningkatkan risiko gejala serta cedera
esofagus.
membersihkan dirinya dari bahan refluksat lambung; termasuk faktor gravitasi, gaya
peristaltik esofagus, bersihan saliva, dan bikarbonat dalam saliva.
Pada GERD, mekanisme bersihan esofagus terganggu sehingga bahan refluksat lambung
akan kontak ke dalam esofagus; makin lama kontak dengan
bahan refluksat lambung, maka risiko esofagitis akan makin tinggi. Selain itu, refluks malam
hari pun akan meningkatkan risiko esofagitis menjadi lebih besar. Hal ini karena tidak adanya
gaya gravitasi saat berbaring.
Hernia hiatal adalah faktor lain yang mengganggu integritas sfingter gastroesofageal, yang
mengakibatkan peningkatan paparan asam terhadap esofagus. Hernia hiatal juga dianggap
berhubungan dengan kronisitas GERD melalui perubahan anatomis Gastroesophageal
Junction (GEJ) yang menyebabkan penurunan pembersihan asam dan peningkatan paparan
asam terhadap esofagus.
Hernia hiatal mengganggu mekanisme anatomi dan fisiologis normal dari LES dan TLESRs.
Ada pengurangan panjang dan tekanan LES serta perubahan peristaltik esofagus yang dapat
menyebabkan peningkatan paparan asam pada esofagus distal yang berkontribusi terhadap
cedera mukosa.
Terdapat 4 jenis hernia hiatal. Hernia hiatal tipe 1 disebut sliding hiatal hernia dengan migrasi
ke atas LES. Hernia hiatal tipe 2 disebut hernia hiatal paraesofageal berlokasi di
Gastroesophageal Junction (GEJ) yang normalnya berada di bawah hiatus diafragma dengan
migrasi fundus lambung melalui hiatus. Hernia hiatal tipe 3 mewakili kombinasi hernia tipe 1
dan 2 dengan GEJ dan fundus lambung yang bermigrasi melalui hiatus diafragma. Yang
terakhir dan paling langka adalah hernia hiatal tipe 4, yang melibatkan herniasi organ perut
lainnya seperti usus besar atau limpa. Jenis hernia hiatal yang paling umum adalah tipe 1,
yang terlihat pada 90% pasien dengan hernia hiatal.
Bergantung pada ukurannya, hernia hiatal dapat mengganggu fungsi diafragma crural,
sehingga meningkatkan insidensi terjadinya refluks apabila terjadi peningkatan tekanan
intraabdominal yang mendadak. Hernia hiatal besar juga mengganggu pengosongan esofagus
saat menelan, sehingga memperpanjang waktu pembersihan asam.
Gambar 5. a. Mekanisme anti refluks LES dan crural diafragma, b. Hernia hiatal memisahkan
LES dan crural diafragma
Penundaan Pengosongan Lambung
Komponen GERD ketiga dan sering diabaikan adalah kontribusi fungsi lambung.
Keterlambatan pengosongan lambung dapat menyebabkan retensi makanan pada lambung
yang lama, sehingga cenderung terjadi GERD. Dengan fenomena ini, terdapat adanya
peningkatan gradien tekanan gastroesofageal, volume lambung, dan volume refluks potensial.
Gerakan peristaltik normal di lambung penting untuk pembersihan dan pendorong makanan
menuju pilorus. Pasien dengan gastroparesis sering merasa kembung dan kenyang karena
pengosongan perut yang buruk, dan ini dapat menyebabkan gejala heartburn.
Obstruksi saluran keluar lambung dapat disebabkan oleh polip atau kanker, dapat
menyebabkan pengosongan lambung menjadi buruk yang mengakibatkan terjadinya distensi
lambung dan memicu terjadinya GERD.
juga digunakan untuk meningkatkan pengenceran dan netralisasi refluks asam karena adanya
bikarbonat. Beberapa penelitian melaporkan bahwa aliran air liur menurun pada GERD,
sehingga terjadi dengan timbulnya rasa panas dalam perut(heartburn)
penentu dalam perkembangan GERD. Usia dan status gizi tampaknya memengaruhi
kemampuan mukosa untuk menahan cedera.
Ketahanan jaringan esofagus terhadap asam terdiri dari membran sel dan kompleks junctional
interselular, yang melindungi terhadap cedera dengan membatasi laju difusi ion hidrogen ke
dalam epitel.
Esofagus juga menghasilkan bikarbonat dan lendir. Bikarbonat, buffer asam, dan lendir
membentuk penghalang pelindung pada permukaan epitel. Sensitivitas mukosa esofagus
terhadap kerusakan dari asam, pepsin, atau empedu cukup tinggi. Tingkat resistensi mukosa
esofagus terhadap kerusakan asam jauh lebih sedikit dibandingkan dengan lapisan lambung.
Kerusakan esofagus terjadi karena kadar asam dan pepsin yang ada melebihi tingkat
perlindungan mukosa. Pepsin dalam asam refluks dapat merusak mukosa esofagus dengan
mencerna protein epitel. Sensitivitas mukosa yang meningkat terhadap asam juga dapat
dilihat terkait dengan gejala heartburn kronis.
Klasifikasi
esofageal dan esktraesofageal. Sindrom esofageal merupakan refluks esofageal yang disertai
dengan atau tanpa adanya lesi struktural. Gejala klinis sindrom esofageal tanpa lesi struktural
berupa heartburn dan regurgitasi. Sedangkan pada sindrom esofageal disertai lesi struktural,
berupa refluks esofagitis, striktur refluks, Barret’s esophagus, adenokarsinoma esofagus.
4
Sindrom ekstraesofageal biasanya terjadi akibat refluks gastroesofageal jangka panjang.
Tanda dan gejala khas GERD adalah regurgitasi dan hearburn. Regurgitasi merupakan suatu
keadaan refluks yang terjadi sesaat setelah makan, ditandai rasa asam dan pahit di lidah.
Heartburn adalah suatu rasa terbakar di daerah epigastrium yang dapat disertai nyeri dan
pedih. Dalam bahasa awam, heartburn sering dikenal dengan istilah rasa panas di ulu hati
yang terasa hingga ke daerah dada. Kedua gejala ini umumnya dirasakan saat setelah makan
atau saat berbaring.
Gejala lain GERD adalah kembung, mual, cepat kenyang, bersendawa, hipersalivasi, disfagia
hingga odinofagia. Disfagia umumnya akibat striktur atau Barrett’s esophagus. Sedangkan
odinofagia atau rasa sakit saat menelan umumnya
akibat ulserasi berat atau pada kasus infeksi. Nyeri dada non-kardiak, batuk kronik, asma, dan
4
laringitis merupakan gejala ekstraesofageal penderita GERD. "Gejala alarm" menunjukkan
kompleksitas penyakit antara lain :
1. Disfagia
2. Odinofagia
3. Gejala bronkial rekuren, pneumonia aspirasi
4. Disfonia
5. Perdarahan saluran cerna
6. Mual dan / muntah berat
7. Nyeri yang persisten
8. Anemia defisiensi besi
9. Penurunan berat badan yang progresif
10. Limfadenopati
11. Massa epigastrial
12. Onset baru dengan gejala atipikal pada usia 45-55 tahun
13. Riwayat keluarga dengan adenokarsinoma esophagus atau gaster
Pasien dengan gejala ini lebih cenderung mengalami striktur peptik atau esofagitis. Barrett
esofagus, tiga sampai enam kali lebih mungkin pada pasien yang memiliki gejala GERD
selama lebih dari satu tahun. Namun, gejala-gejala ini tidak dapat diandalkan untuk
memprediksi komplikasi.
Diagnosis
Anamnesis yang cermat merupakan cara utama untuk menegakkan diagnosis GERD. Gejala
spesifik untuk GERD adalah heartburn dan/ atau regurgitasi yang timbul setelah makan.
Meskipun demikian, harus ditekankan bahwa studi diagnostik untuk gejala heartburn dan
regurgitasi sebagian besar dilakukan pada populasi Kaukasia. Di Asia keluhan heartburn dan
regurgitasi bukan merupakan penanda pasti untuk GERD. Namun, terdapat kesepakatan dari
1
para ahli bahwa kedua keluhan tersebut merupakan karakteristik untuk GERD.
untuk menyingkirkan penyakit dengan gejala yang menyerupai GERD (laboratorium, EKG,
USG, foto thoraks, dan lainnya sesuai indikasi).
Para ahli Asia-Pasifik secara aklamasi menyatakan bahwa strategi diagnostik GERD regional,
harus mempertimbangkan adanya kemungkinan timbulnya GERD bersamaan dengan kondisi
lainnya seperti kanker lambung dan ulkus peptikum. Terkait pemeriksaan di daerah dengan
prevalensi tinggi untuk kanker lambung dan ulkus peptikum, para ahli masih bertentangan
pendapat. Namun demikian, pemeriksaan tetap direkomendasikan dengan
mempertimbangkan faktor-faktor risiko termasuk komorbid, usia, histologi lambung, riwayat
keluarga, dan pilihan pasien.
Suatu perangkat kuesioner yang dikembangkan untuk membantu diagnosis GERD dan
mengukur respons terhadap terapi. Kuesioner ini dikembangkan berdasarkan data-data klinis
dan informasi yang diperoleh dari studistudi klinis berkualitas dan juga dari wawancara
kualitatif terhadap pasien untuk mengevaluasi kemudahan pengisian kuesioner.
Analisis terhadap lebih dari 300 pasien di pelayanan primer menunjukkan bahwa GERD-Q
mampu memberikan sensitivitas dan spesifisitas sebesar 65% dan 71%, serupa dengan hasil
yang diperoleh oleh gastroenterologis. Selain itu, GERD-Q juga menunjukkan kemampuan
untuk menilai dampak relatif GERD terhadap kehidupan pasien dan membantu dalam
memilih terapi.
Tabel 3. GERD-Q
Sedangkan sampai saat ini belum ada standar baku untuk diagnosis NERD. Sebagai pedoman
untuk diagnosis NERD adalah dengan menggunakan kriteria sebagai berikut:
positif.
Endoskopi pada GERD tidak selalu harus dilakukan pada saat pertama
kali, oleh karena GERD dapat ditegakkan berdasarkan gejala dan/atau terapi empirik. Peran
endoskopi SCBA dalam penegakan diagnosis GERD adalah:
1. Memastikan ada tidaknya kerusakan di esofagus berupa erosi, ulserasi, striktur,
esofagus Barrett atau keganasan, di samping untuk menyingkirkan kelainan SCBA
lainnya.
2. Menilai berat ringannya mucosal break dengan menggunakan klasifikasi Los Angeles
modifikasi atau Savarry-Miller.
3. Pengambilan sampel biopsi dilakukan jika dicurigai adanya Barret’s esofagus atau
keganasan.
Grade A dan B termasuk kategori klinis esofagitis ringan. Grade C dan D termasuk kategori klinis
esofagitis berat.
Pemeriksaan histopatologi
Pemeriksaan pH-metri konvensional 24 jam atau kapsul 48 jam (jika tersedia) dalam
diagnosis NERD adalah:
Pilihan pemeriksaan lain yang dapat dilakukan selain pemeriksaan endoskopi dan pH metri
1
yaitu:
a. Esofagografi barium: Walaupun pemeriksaan ini tidak sensitif untuk diagnosis GERD
namun pada keadaan tertentu pemeriksaan ini mempunyai nilai lebih dibandingkan
endoskopi, yaitu pada kondisi stenosis esofagus dan hernia hiatal. Tanda esofagitis di
antaranya: penebalan lipatan esofagus, erosi, ulserasi, dan striktur.
b. Manometri esofagus: Tes ini bermanfaat terutama untuk evaluasi pengobatan pasienpasien
NERD dan untuk tujuan penelitian.
c. Tes impedans: Metode baru ini dapat mendeteksi adanya refluks gastroesofageal melalui
perubahan resistensi terhadap aliran listrik di antara dua elektroda, pada saat cairan dan/atau
gas bergerak di antaranya. Pemeriksaan ini terutama berguna untuk evaluasi pada pasien
NERD yang tidak membaik dengan terapi PPI, di mana dokumentasi adanya refluks non-
asam akan merubah tatalaksana.
d. Tes Bilitec: Tes ini dapat mendeteksi adanya refluks gastroesofageal dengan menggunakan
sifat-sifat optikal bilirubin. Pemeriksaan ini terutama untuk evaluasi pasien dengan gejala
refluks persisten, meskipun dengan paparan asam terhadap distal esofagus dari hasil pH-metri
adalah normal.
e. Tes Bernstein: Tes ini untuk mengukur sensitivitas mukosa esofagus dengan memasang
selang trans-nasal dan melakukan perfusi bagian distal esofagus dengan HCl 0,1 N dalam
waktu kurang dari 1 jam. Tes ini bersifat pelengkap terhadap pemantauan pH esofagus 24
jam pada pasien dengan gejala tidak khas dan untuk keperluan penelitian.
PPI test
PPI test dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis pada pasien dengan gejala tipikal dan
tanpa adanya tanda bahaya atau risiko Barrett esofagus. Tes ini dilakukan dengan
memberikan PPI dosis ganda selama 1-2 minggu tanpa didahului dengan pemeriksaan
endoskopi.
Jika gejala menghilang dengan pemberian PPI dan muncul kembali jika terapi PPI
dihentikan, maka diagnosis GERD dapat ditegakkan. Tes dikatakan positif, apabila terjadi
perbaikan klinis dalam 1 minggu sebanyak lebih dari 50%.
Dalam sebuah studi metaanalisis, PPI test dinyatakan memiliki sensitivitas sebesar 80% dan
spesifitas sebesar 74% untuk penegakan diagnosis pada pasien GERD dengan nyeri dada non
kardiak. Hal ini menggambarkan PPI test dapat dipertimbangkan sebagai strategi yang
berguna dan memiliki kemungkinan nilai ekonomis dalam manajemen pasien nyeri dada non
kardiak tanpa tanda bahaya yang dicurigai memiliki kelainan esofagus.
Bagan 2. Alur Diagnosis GERD
Diagnosis Banding
dengan
6 Esofagitis Gambaran GERD dan Endoskopi dapat
eosinofilik esofagitis eosinofilik menunjukkan cincin
tumpang tindih. esofagus, alur linear, plak
Namun, pasien dengan putih, eksudat, tidak
esofagitis eosinofilik adanya hiatal hernia, dan
mungkin lebih muda atau kaliber esofagus sempit.
memiliki gejala disfagia, Jumlah eosinofil
dipengaruhi oleh makanan, perifer mungkin lebih
atau alergi makanan. tinggi dari GERD.
Jumlah eosinofil
mungkin ≥15 per lapangan
pandang dalam sampel
jaringan esofagus.
Mungkin ada
degranulasi eosinofil pada
spesimen biopsi.
Penatalaksanaan
Yang dimaksud dengan penatalaksanaan adalah tindakan yang dilakukan
oleh dokter yang menangani kasus GERD, meliputi tindakan terapi non- farmakologik,
farmakologik, endoskopik, dan bedah.
Pada dasarnya terdapat 5 target yang ingin dicapai dan harus selalu menjadi perhatian saat
merencanakan, merubah, serta menghentikan terapi pada pasien GERD. Antara lain :
1. Menghilangkan gejala/keluhan,
2. Menyembuhkan lesi esofagus
3. Mencegah kekambuhan
4. Memperbaiki kualitas hidup
5. Mencegah timbulnya komplikasi.
gejala klinis dan kuesioner GERD berdasarkan gejala. Penatalaksanaan diberikan berdasarkan
diagnosis klinis.
Untuk pasien dengan riwayat khas GERD tanpa komplikasi, pendapat ahli adalah untuk
membahas dan menawarkan berbagai modifikasi gaya hidup selama terapi GERD.
Dengan data yang tersedia relatif sedikit, perlu dilakukan untuk mengedukasi pasien tentang
faktor-faktor yang dapat memicu refluks.
Perhatian utama ditujukan kepada memodifikasi berat badan berlebih dan meninggikan
kepala lebih kurang 15-20 cm pada saat tidur serta , makan tidak boleh terlalu kenyang dan
makan malam paling lambat 3 jam sebelum tidur, diketahui dapat mengurangi paparan asam
esofagus distal di bagian distal. Akan tetapi, data keberhasilan modifikasi gaya hidup ini
dilaporkan kurang berhasil pada pasien. Sebuah studi sistematik yang baru-baru ini dilakukan
menunjukkan bahwa dari semua intervensi gaya hidup yang dilakukan, hanya penurunan
berat badan dan meninggikan kepala saat tidur yang mempengaruhi gejala GERD secara
bermakna.
Selain itu, disarankan bahwa pasien harus menghindari tidur di bantal tambahan, karena ini
dapat meningkatkan tekanan perut dan menyebabkan peningkatan refluks.
minuman berkarbonasi, kopi dan kafein, cokelat, makanan pedas, lemak makanan, atau
makan malam hari. Namun, tidak ada uji coba terkontrol secara acak yang tersedia yang
merekomendasikan untuk menghindari atau meminimalkan makanan ini.
terutama jika kenaikan berat badan terjadi sebelum timbulnya gejala GERD. d. Penghentian
merokok dan alkohol.
Penghentian merokok dan alkohol dianjurkan karena berbagai alasan kesehatan. Baik nikotin
dan alkohol telah terbukti mengurangi tekanan sfingter esofagus menjadi lebih rendah dan
menyebabkan iritasi esofagus lebih lanjut.
e. Hindari obat-obatan yang menurunkan tekanan esofagus menjadi lebih rendah atau
mengiritasi kerongkongan.
Obat-obatan yang menurunkan tekanan sfingter esofagus yang lebih rendah
harus dihindari pada pasien dengan gejala GERD. Obat-obat ini termasuk Calcium channel
blocker, agonis beta, agonis alphaadrenergik, teofilin, nitrat,
oleh ketegangan.
Penatalaksanaan farmakologik
Obat-obatan yang telah diketahui dapat mengatasi gejala GERD meliputi antasida, prokinetik,
antagonis reseptor H2, Proton Pump Inhibitor (PPI) dan Baclofen.
Dari semua obat-obatan tersebut di atas, PPI paling efektif dalam menghilangkan gejala serta
menyembuhkan lesi esofagitis pada GERD. PPI terbukti lebih cepat menyembuhkan lesi
esofagitis serta menghilangkan gejala GERD dibanding golongan antagonis reseptor H2 dan
prokinetik. Apabila PPI tidak tersedia, dapat diberikan H2RA.
Pada individu-individu dengan gejala dada terbakar atau regurgitasi episodik, penggunaan
H2RA (H2-Receptor Antagonist) dan/atau antasida dapat berguna untuk memberikan
peredaan gejala yang cepat. Selain itu, di Asia penggunaan prokinetik (antagonis dopamin
dan antagonis reseptor serotonin) dapat berguna sebagai terapi tambahan.
Pengobatan GERD dapat dimulai dengan PPI setelah diagnosis GERD ditegakkan. Dosis
inisial PPI adalah dosis tunggal per pagi hari sebelum makan selama 2 sampai 4 minggu.
Apabila masih ditemukan gejala sesuai GERD (PPI failure), sebaiknya PPI diberikan secara
berkelanjutan dengan dosis ganda sampai gejala menghilang. Umumnya terapi dosis ganda
dapat diberikan sampai 4-8 minggu.
Apabila kondisi klinis masih belum menunjukkan perbaikan harus dilakukan pemeriksaan
endoskopi untuk mendapatkan kepastian adanya kelainan pada mukosa saluran cerna atas.
Pengobatan selanjutnya dapat diberikan sesuai dengan ringan-beratnya kerusakan mukosa.
Untuk esofagitis ringan dapat dilanjutkan dengan terapi on demand. Sedangkan untuk
esofagitis berat dilanjutkan dengan terapi pemeliharaan kontinu, yang dapat diberikan sampai
6 bulan.
Untuk NERD, pengobatan awal dapat diberikan PPI dosis tunggal selama 4-8 minggu.
Setelah gejala-gejala klinis menghilang, terapi dapat dilanjutkan dengan PPI on demand.
Penggunaan on demand ini disarankan untuk memaksimalkan supresi asam lambung,
diberikan 30-60 menit sebelum makan pagi.
GERD yang refrakter terhadap terapi PPI (tidak berespons terhadap terapi PPI dua kali sehari
selama 8 minggu) harus dikonfirmasi untuk reevaluasi diagnosis GERD dengan pemeriksaan
endoskopi dalam rangka memastikan adanya esofagitis.
Apabila tidak ditemukan esofagitis, dilanjutkan dengan pemeriksaan pH- metri. Dari hasil
pemeriksaan pH-metri akan dapat ditentukan keterlibatan dominan refluks asam lambung
oleh faktor hiperasiditas atau oleh faktor patologi anatomik misal hernia hiatal. Apabila
kesimpulan pHmetri menunjukkan adanya dominan faktor patologi anatomik dengan tetap
ditemukan gejala klinis, maka dapat dipertimbangkan tindakan diagnostik esophageal
impedance dan pH untuk memastikan langkah terapeutik berikutnya.
Komplikasi GERD seperti Barret’s esophagus, striktur, stenosis ataupun perdarahan, dapat
dilakukan terapi endoskopik berupa Argon plasma coagulation, ligasi, Endoscopic Mucosal
Resection, bouginasi, hemostasis atau dilatasi.
Terapi endoskopi untuk GERD masih terus berkembang dan sampai saat ini masih dalam
konteks penelitian. Terapi endoskopi yang telah dikembangkan adalah:
Namun demikian sampai saat ini masih belum ada laporan mengenai terapi
Penatalaksanaan bedah
Studi-studi yang ada menunjukkan bahwa, apabila dilakukan dengan baik, efektivitas
pembedahan antirefluks ini setara dengan terapi medikamentosa, namun memiliki efek
samping disfagia, kembung, kesulitan bersendawa dan gangguan usus pasca pembedahan.
Komplikasi
Jika tidak diobati, GERD dapat menyebabkan beberapa komplikasi serius, termasuk
esofagitis dan Barrett esofagus. Esofagitis sangat bervariasi dalam tingkat keparahannya,
mengakibatkan erosi yang luas, ulserasi dan penyempitan esofagus. Esofagitis juga dapat
menyebabkan perdarahan gastrointestinal (GI).
Perdarahan saluran cerna bagian atas bermanifestasi menjadi anemia, hematemesis, muntah
Coffe ground, melena, dan hematochezia. Peradangan kronis esofagus akibat paparan asam
yang berkelanjutan dapat menyebabkan jaringan parut dan munculnya striktur peptikum,
biasanya timbul dengan keluhan utama disfagia.
Pasien dengan refluks asam persisten mungkin beresiko terhadap Barrett's esophagus, yang
didefinisikan sebagai metaplasia esofagus. Dalam Barrett's esophagus, epitel sel skuamosa
normal dari esophagus digantikan oleh epitel kolumnar dengan sel piala, sebagai respon
terhadap paparan asam. Perubahan Barret’s esofagus memiliki potensi berkembang ke arah
adenokarsinoma esofagus, membuat deteksi dini sangat penting dalam pencegahan dan
pengelolaan keganasan.
Prognosis
DAFTAR PUSTAKA
14. Lechien JR, Akst LM, Hamdan AL, Schindler A, Karkos PD, Barillari MR, et al.
Evaluation and Management of Laryngopharyngeal Reflux Disease: State of the Art
Review. Otolaryngol - Head Neck Surg (United States). 2019;160(5):762–82.
15. Joel J Heidelbaugh MFM, R Van Harrison P, Mark A McQuillan, MD General
Medicine Timothy T Nostrant MG. Gastroesophageal Reflux Disease ( GERD ).
University of Michigan; 2013.