Anda di halaman 1dari 22

Muhammad Burhanuddin Yusuf Habibie

22010120210027

PPP70

Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) menurut Konsensus Nasional Penatalaksanaan


Penyakit Refluks Gastroesofageal di Indonesia tahun 2013 didefinisikan sebagai suatu
gangguan dimana isi lambung mengalami refluks secara berulang ke dalam esofagus, yang
menyebabkan terjadinya gejala dan/atau komplikasi yang dapat mempengaruhi kualitas hidup
pasien.

Menurut
American College of Gastroenterology, Gastroesophageal reflux is a physical
condition in which acid from the stomach flows backward up into the esophagus. Dapat
dikatakan bahwa, GERD adalah suatu keadaan patologis dimana cairan asam lambung
mengalami refluks sehingga masuk ke dalam esofagus dan menyebabkan gejala seperti
heartburn (rasa terbakar di dada yang kadang disertai rasa nyeri dan pedih) serta gejala-gejala
lain seperti regurgitasi (rasa asam dan pahit di lidah), nyeri epigastrium, disfagia, dan
odinofagia.

Faktor risiko terjadinya GERD, antara lain:

1. Usia dan Jenis Kelamin

Usia lanjut dan jenis kelamin memiliki hubungan tidak konsisten dengan peningkatan
risiko terjadinya gejala GERD. Di Amerika Utara dan Eropa, tidak terdapat hubungan
antara jenis kelamin dengan gejala GERD, tetapi di Amerika Selatan dan di Timur
Tengah, sekitar 40% wanita dilaporkan lebih banyak terjadi gejala GERD daripada
5
pria.

2. Indeks Massa Tubuh (IMT)


4
Semakin tinggi nilai IMT, maka risiko terjadinya GERD juga semakin tinggi. Subjek
dengan obesitas lebih cenderung berisiko terjadi GERD daripada yang memiliki
indeks massa tubuh normal. Beberapa penelitian melaporkan terdapat hubungan
antara massa tubuh dan GERD. Sebuah meta- analisis menemukan bahwa obesitas
dikaitkan dengan peningkatan yang signifikan secara statistik pada risiko gejala
5
GERD dan esophagitis erosif.
3. Struktural
Umumnya berkaitan dengan hernia hiatal. Adanya hernia hiatal berkaitan dengan
Lower Esophageal Sphingter (LES) yang tidak kompeten, kerusakan peristaltic,
kerusakan mukosa yang parah, dan peningkatan paparan asam. Hernia hiatal adalah
faktor terjadinya disintegrasi sfingter gastro-esofagus, dimana bagian proksimal
lambung mengalami dislokasi ke rongga dada. Terdapat korelasi linier antara ukuran
henia dan keparahan gejala refluks.
4. Makanan
Sebuah penelitian mengidentifikasi bahwa merokok dan alkohol dapat menjadi faktor
risiko terjadinya GERD. Selain itu, peningkatan konsumsi cola dan kopi dikaitkan
dengan peningkatan prevalensi terjadinya GERD. Sebuah penelitian terbaru
memperkirakan korelasi antara beberapa kategori obat dengan terjadinya GERD,
melaporkan bahwa obat antiinflamasi non- steroid, nitrat, obat antidepresan trisiklik,
hipnotik dan benzodiazepine, obat antikolinergik dan teofilin dapat meningkatkan
5
prevalensi terjadinya GERD.

Patogenesis dan Patofisiologi

GERD merupakan penyakit multifaktorial dimana esofagitis dapat terjadi sebagai akibat dari
refluks kandungan lambung ke dalam esofagus apabila:

1. Terjadi kontak dalam waktu yang cukup lama antara bahan refluksat dengan

mukosa esofagus

2. Terjadi penurunan resistensi jaringan mukosa esofagus, walaupun waktu

kontak antara bahan refluksat dengan esofagus tidak cukup lama.

3. Terjadi gangguan sensitivitas terhadap rangsangan isi lambung, yang disebabkan oleh
adanya modulasi persepsi neural esofageal baik sentral

maupun perifer.

4. Kandungan isi lambung yang menambah potensi daya rusak bahan refluksat

di antaranya adalah: asam lambung, pepsin, garam empedu, dan enzim pankreas. Dari
semua itu yang memiliki potensi daya rusak paling tinggi adalah asam lambung.

GERD terjadi akibat adanya ketidakseimbangan antara faktor ofensif dan

defensif dari sistem pertahanan esofagus dan bahan refluksat lambung.

Yang termasuk faktor defensif sistem pertahanan esofagus adalah Lower Esophageal
Sphincter (LES), mekanisme bersihan esofagus, dan epitel esofagus. Sedangkan yang
termasuk faktor ofensif adalah peningkatan asam lambung, dilatasi lambung atau obstruksi
outlet gaster, distensi lambung dan pengosongan lambung yang terlambat, tekanan
intragastrik dan intraabdomen yang meningkat. Beberapa keadaan yang mempengaruhi
tekanan intraabdomen antara lain kehamilan, obesitas, dan pakaian terlalu ketat.

Lower Esophageal Sphincter (LES) merupakan strukur anatomi berbentuk sudut yang
memisahkan esofagus dengan lambung. Pada keadaan normal, tekanan LES akan menurun
saat menelan sehingga terjadi aliran antegrade dari esofagus ke lambung.Panjang LES 2- 4
cm dari distal esofagus dan tersusun dari otot polos sirkuler yang berlokasi di hiatus
diafragma.

Gambar 1. Gambaran skema esofagus


Pada GERD, fungsi LES terganggu dan menyebabkan terjadinya aliran retrograde dari
4
lambung ke esofagus. Gastroesofageal refluks terjadi ketika relaksasi LES yang tidak
seharusnya sehingga menyebabkan asam lambung naik, masuk ke distal esofagus, kemudian
menstimulasi kemoreseptor dan menyebabkan terjadinya iritasi, sehingga terjadi manifestasi
gejala. Selain itu, beberapa obat dapat mempengaruhi tonus LES, serta mempengaruhi
pertahanan

alami dari esofagus, sehingga menginduksi terjadinya heartburn.

Diketahui beberapa makanan juga dapat mencetuskan heartburn serta terdapat factor - faktor
lain yang berkontribusi terjadinya refluks dengan peningkatan tekanan abdomen,serta
mengganggu mekanisme anti refluks seperti kehamilan atau obesitas.

Tabel 1. Efek obat terhadap Tonus Lower esophageal sphincter

Tabel 2. Makanan yang berhubungan dengan terjadinya heartburn

Tekanan istirahat LES biasanya cukup untuk mencegah refluks isi lambung ke dalam
esofagus sehingga mencegah gejala heartburn, tetapi pada saat tekanan intraabdomen
meningkat (manuver Valsalva, mengangkat barang, posisi Trendelenburg, dan kehamilan)
mekanisme lain dapat membantu mencegah terjadinya refluks.
Otot crural diafragma merupakan mekanisme pertahanan kedua untuk melindungi esofagus
dari refluks. Otot-otot crural dan LES secara anatomis dihubungkan oleh ligamentum
phrenoesophageal sehingga esofagus memiliki dua mekanisme yang berbeda tetapi interaktif
untuk mencegah refluks isi lambung ke esofagus.

Beberapa derajat refluks gastroesofagus terjadi secara normal pada sebagian besar individu.
GERD dapat terjadi akibat kombinasi faktor- faktor yang dapat menyebabkan asam lambung
refluks ke esofagus pada tingkat yang patologis, sehingga patogenesis GERD mirip dengan
penyakit sekresi asam lainnya, seperti tukang lambung, dan ulkus duodenum.

Mekanisme yang diduga berkontribusi terjadinya GERD antara lain TLESRs atau penurunan
tonus istirahat LES, gangguan pembersihan asam esofagus, penundaan pengosongan
lambung, penurunan air liur, dan gangguan resistensi jaringan.

Gambar 2. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian GERD

Transient Lower Esophageal Sphincter Relaxation (TLESRs)


TLESRs merupakan mekanisme ventilasi normal pada lambung, diaktifkan oleh rangsangan
seperti distensi lambung. Pada pasien GERD terdapat peningkatan persentase TLESR yang
merupakan predisposisi terjadinya gejala

heartburn.

Berlangsung sekitar 10 detik hingga 35 detik, TLESR menurunkan tekanan LES. TLESRs
tidak selalu menghasilkan refluks gastroesofagus. Akan tetapi sangat terkait dengan refluks
fisiologis dan patologis.

Peristaltik dapat mengembalikan sekitar 90% bahan asam refluks ke lambung, dan asam yang
tersisa dinetralkan dengan menelan air liur berturut- turut. Di antara pasien dengan GERD,
TLESR dianggap sebagai penyebab utama refluks patologis. Pasien dengan GERD memiliki
frekuensi TLESR yang sama dibandingkan dengan orang normal, walaupun mereka memiliki
persentase TLESR yang lebih tinggi terkait dengan refluks. Sehingga, kontak asam lambung
dengan mukosa esofagus menjadi lebih lama dan meningkatkan risiko gejala serta cedera
esofagus.

Gambar 3. Mekanisme refluks non patologis

Gangguan Pembersihan asam lambung


Mekanisme bersihan esofagus merupakan kemampuan esofagus

membersihkan dirinya dari bahan refluksat lambung; termasuk faktor gravitasi, gaya
peristaltik esofagus, bersihan saliva, dan bikarbonat dalam saliva.

Pada GERD, mekanisme bersihan esofagus terganggu sehingga bahan refluksat lambung
akan kontak ke dalam esofagus; makin lama kontak dengan
bahan refluksat lambung, maka risiko esofagitis akan makin tinggi. Selain itu, refluks malam
hari pun akan meningkatkan risiko esofagitis menjadi lebih besar. Hal ini karena tidak adanya
gaya gravitasi saat berbaring.

Hernia hiatal adalah faktor lain yang mengganggu integritas sfingter gastroesofageal, yang
mengakibatkan peningkatan paparan asam terhadap esofagus. Hernia hiatal juga dianggap
berhubungan dengan kronisitas GERD melalui perubahan anatomis Gastroesophageal
Junction (GEJ) yang menyebabkan penurunan pembersihan asam dan peningkatan paparan
asam terhadap esofagus.

Hernia hiatal mengganggu mekanisme anatomi dan fisiologis normal dari LES dan TLESRs.
Ada pengurangan panjang dan tekanan LES serta perubahan peristaltik esofagus yang dapat
menyebabkan peningkatan paparan asam pada esofagus distal yang berkontribusi terhadap
cedera mukosa.

Terdapat 4 jenis hernia hiatal. Hernia hiatal tipe 1 disebut sliding hiatal hernia dengan migrasi
ke atas LES. Hernia hiatal tipe 2 disebut hernia hiatal paraesofageal berlokasi di
Gastroesophageal Junction (GEJ) yang normalnya berada di bawah hiatus diafragma dengan
migrasi fundus lambung melalui hiatus. Hernia hiatal tipe 3 mewakili kombinasi hernia tipe 1
dan 2 dengan GEJ dan fundus lambung yang bermigrasi melalui hiatus diafragma. Yang
terakhir dan paling langka adalah hernia hiatal tipe 4, yang melibatkan herniasi organ perut
lainnya seperti usus besar atau limpa. Jenis hernia hiatal yang paling umum adalah tipe 1,
yang terlihat pada 90% pasien dengan hernia hiatal.

Gambar 4. Tipe hernia hiatal


Perkembangan hernia hiatal kurang dipahami tetapi lebih umum pada pasien obesitas, dan
hernia hiatal yang lebih besar dari 2 cm dikaitkan dengan insiden esofagitis erosif yang lebih
besar dan Barrett esophagus. Pemendekan esofagus yang berulang-ulang sebagai akibat dari
menelan atau muntah serta kehilangan elastisitas ligamentum phrenoesophageal dianggap
sebagai kontributor utama pembentukan hernia hiatal.

Bergantung pada ukurannya, hernia hiatal dapat mengganggu fungsi diafragma crural,
sehingga meningkatkan insidensi terjadinya refluks apabila terjadi peningkatan tekanan
intraabdominal yang mendadak. Hernia hiatal besar juga mengganggu pengosongan esofagus
saat menelan, sehingga memperpanjang waktu pembersihan asam.

Gambar 5. a. Mekanisme anti refluks LES dan crural diafragma, b. Hernia hiatal memisahkan
LES dan crural diafragma
Penundaan Pengosongan Lambung

Komponen GERD ketiga dan sering diabaikan adalah kontribusi fungsi lambung.
Keterlambatan pengosongan lambung dapat menyebabkan retensi makanan pada lambung
yang lama, sehingga cenderung terjadi GERD. Dengan fenomena ini, terdapat adanya
peningkatan gradien tekanan gastroesofageal, volume lambung, dan volume refluks potensial.

Gerakan peristaltik normal di lambung penting untuk pembersihan dan pendorong makanan
menuju pilorus. Pasien dengan gastroparesis sering merasa kembung dan kenyang karena
pengosongan perut yang buruk, dan ini dapat menyebabkan gejala heartburn.
Obstruksi saluran keluar lambung dapat disebabkan oleh polip atau kanker, dapat
menyebabkan pengosongan lambung menjadi buruk yang mengakibatkan terjadinya distensi
lambung dan memicu terjadinya GERD.

Peran air liur


Penelanan air liur bermanfaat tidak hanya untuk peristaltik primer tetapi

juga digunakan untuk meningkatkan pengenceran dan netralisasi refluks asam karena adanya
bikarbonat. Beberapa penelitian melaporkan bahwa aliran air liur menurun pada GERD,
sehingga terjadi dengan timbulnya rasa panas dalam perut(heartburn)

Gangguan resistensi mukosa.


Kemampuan mukosa esofagus untuk menahan cedera merupakan faktor

penentu dalam perkembangan GERD. Usia dan status gizi tampaknya memengaruhi
kemampuan mukosa untuk menahan cedera.

Ketahanan jaringan esofagus terhadap asam terdiri dari membran sel dan kompleks junctional
interselular, yang melindungi terhadap cedera dengan membatasi laju difusi ion hidrogen ke
dalam epitel.

Esofagus juga menghasilkan bikarbonat dan lendir. Bikarbonat, buffer asam, dan lendir
membentuk penghalang pelindung pada permukaan epitel. Sensitivitas mukosa esofagus
terhadap kerusakan dari asam, pepsin, atau empedu cukup tinggi. Tingkat resistensi mukosa
esofagus terhadap kerusakan asam jauh lebih sedikit dibandingkan dengan lapisan lambung.

Kerusakan esofagus terjadi karena kadar asam dan pepsin yang ada melebihi tingkat
perlindungan mukosa. Pepsin dalam asam refluks dapat merusak mukosa esofagus dengan
mencerna protein epitel. Sensitivitas mukosa yang meningkat terhadap asam juga dapat
dilihat terkait dengan gejala heartburn kronis.

Klasifikasi

Bagan 1. Klasifikasi GERD


Berdasarkan lokalisasi gejalanya, GERD dibagi menjadi dua, yaitu sindrom

esofageal dan esktraesofageal. Sindrom esofageal merupakan refluks esofageal yang disertai
dengan atau tanpa adanya lesi struktural. Gejala klinis sindrom esofageal tanpa lesi struktural
berupa heartburn dan regurgitasi. Sedangkan pada sindrom esofageal disertai lesi struktural,
berupa refluks esofagitis, striktur refluks, Barret’s esophagus, adenokarsinoma esofagus.
4
Sindrom ekstraesofageal biasanya terjadi akibat refluks gastroesofageal jangka panjang.

Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala khas GERD adalah regurgitasi dan hearburn. Regurgitasi merupakan suatu
keadaan refluks yang terjadi sesaat setelah makan, ditandai rasa asam dan pahit di lidah.
Heartburn adalah suatu rasa terbakar di daerah epigastrium yang dapat disertai nyeri dan
pedih. Dalam bahasa awam, heartburn sering dikenal dengan istilah rasa panas di ulu hati
yang terasa hingga ke daerah dada. Kedua gejala ini umumnya dirasakan saat setelah makan
atau saat berbaring.

Gejala lain GERD adalah kembung, mual, cepat kenyang, bersendawa, hipersalivasi, disfagia
hingga odinofagia. Disfagia umumnya akibat striktur atau Barrett’s esophagus. Sedangkan
odinofagia atau rasa sakit saat menelan umumnya

akibat ulserasi berat atau pada kasus infeksi. Nyeri dada non-kardiak, batuk kronik, asma, dan
4
laringitis merupakan gejala ekstraesofageal penderita GERD. "Gejala alarm" menunjukkan
kompleksitas penyakit antara lain :

1. Disfagia
2. Odinofagia
3. Gejala bronkial rekuren, pneumonia aspirasi
4. Disfonia
5. Perdarahan saluran cerna
6. Mual dan / muntah berat
7. Nyeri yang persisten
8. Anemia defisiensi besi
9. Penurunan berat badan yang progresif
10. Limfadenopati
11. Massa epigastrial
12. Onset baru dengan gejala atipikal pada usia 45-55 tahun
13. Riwayat keluarga dengan adenokarsinoma esophagus atau gaster

Pasien dengan gejala ini lebih cenderung mengalami striktur peptik atau esofagitis. Barrett
esofagus, tiga sampai enam kali lebih mungkin pada pasien yang memiliki gejala GERD
selama lebih dari satu tahun. Namun, gejala-gejala ini tidak dapat diandalkan untuk
memprediksi komplikasi.

Diagnosis

Anamnesis yang cermat merupakan cara utama untuk menegakkan diagnosis GERD. Gejala
spesifik untuk GERD adalah heartburn dan/ atau regurgitasi yang timbul setelah makan.
Meskipun demikian, harus ditekankan bahwa studi diagnostik untuk gejala heartburn dan
regurgitasi sebagian besar dilakukan pada populasi Kaukasia. Di Asia keluhan heartburn dan
regurgitasi bukan merupakan penanda pasti untuk GERD. Namun, terdapat kesepakatan dari
1
para ahli bahwa kedua keluhan tersebut merupakan karakteristik untuk GERD.

Pada RS rujukan, sebelum dilakukan pemeriksaan endoskopi untuk menegakkan diagnosis


GERD, sebaiknya dilakukan pemeriksaan penunjang lain

untuk menyingkirkan penyakit dengan gejala yang menyerupai GERD (laboratorium, EKG,
USG, foto thoraks, dan lainnya sesuai indikasi).

Para ahli Asia-Pasifik secara aklamasi menyatakan bahwa strategi diagnostik GERD regional,
harus mempertimbangkan adanya kemungkinan timbulnya GERD bersamaan dengan kondisi
lainnya seperti kanker lambung dan ulkus peptikum. Terkait pemeriksaan di daerah dengan
prevalensi tinggi untuk kanker lambung dan ulkus peptikum, para ahli masih bertentangan
pendapat. Namun demikian, pemeriksaan tetap direkomendasikan dengan
mempertimbangkan faktor-faktor risiko termasuk komorbid, usia, histologi lambung, riwayat
keluarga, dan pilihan pasien.

Kuesioner GERD (GERD-Q)

Suatu perangkat kuesioner yang dikembangkan untuk membantu diagnosis GERD dan
mengukur respons terhadap terapi. Kuesioner ini dikembangkan berdasarkan data-data klinis
dan informasi yang diperoleh dari studistudi klinis berkualitas dan juga dari wawancara
kualitatif terhadap pasien untuk mengevaluasi kemudahan pengisian kuesioner.

Kuesioner GERD merupakan kombinasi kuesioner tervalidasi yang digunakan pada


penelitian DIAMOND. Tingkat akurasi diagnosis dengan mengkombinasi beberapa kuesioner
tervalidasi akan meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas diagnosis.

Analisis terhadap lebih dari 300 pasien di pelayanan primer menunjukkan bahwa GERD-Q
mampu memberikan sensitivitas dan spesifisitas sebesar 65% dan 71%, serupa dengan hasil
yang diperoleh oleh gastroenterologis. Selain itu, GERD-Q juga menunjukkan kemampuan
untuk menilai dampak relatif GERD terhadap kehidupan pasien dan membantu dalam
memilih terapi.

Tabel 3. GERD-Q

Endoskopi saluran cerna bagian atas (SCBA)


Standar baku untuk diagnosis GERD dengan esofagitis erosif adalah dengan menggunakan
endoskopi SCBA dan ditemukan adanya mucosal break pada esofagus. Endoskopi pada
pasien GERD terutama ditujukan pada individu dengan gejala alarm (disfagia progresif,
odinofagia, penurunan berat badan yang tidak diketahui sebabnya, anemia awitan baru,
hematemesis dan/atau melena, riwayat keluarga dengan keganasan lambung dan/atau
esofagus, penggunaan OAINS kronik, dan usia lebih dari 40 tahun di daerah prevalensi
kanker lambung tinggi) dan yang tidak berespons terhadap terapi empirik dengan PPI dua
kali sehari.

Sedangkan sampai saat ini belum ada standar baku untuk diagnosis NERD. Sebagai pedoman
untuk diagnosis NERD adalah dengan menggunakan kriteria sebagai berikut:

1. Tidak ditemukannya mucosal break pada pemeriksaan endoskopi SCBA,


2. Pemeriksaan pH esofagus dengan hasil positif,
3. Terapi empiris dengan PPI sebanyak dua kali sehari memberikan hasil yang

positif.
Endoskopi pada GERD tidak selalu harus dilakukan pada saat pertama

kali, oleh karena GERD dapat ditegakkan berdasarkan gejala dan/atau terapi empirik. Peran
endoskopi SCBA dalam penegakan diagnosis GERD adalah:
1. Memastikan ada tidaknya kerusakan di esofagus berupa erosi, ulserasi, striktur,
esofagus Barrett atau keganasan, di samping untuk menyingkirkan kelainan SCBA
lainnya.
2. Menilai berat ringannya mucosal break dengan menggunakan klasifikasi Los Angeles
modifikasi atau Savarry-Miller.
3. Pengambilan sampel biopsi dilakukan jika dicurigai adanya Barret’s esofagus atau
keganasan.

Tabel 4. Klasifikasi GERD berdasarkan endoskopi

Grade A dan B termasuk kategori klinis esofagitis ringan. Grade C dan D termasuk kategori klinis
esofagitis berat.

Pemeriksaan histopatologi

Pemeriksaan histopatologi dalam diagnosis GERD adalah untuk menentukan adanya


metaplasia, displasia, atau keganasan. Tidak ada bukti yang menunjang diperlukannya
pengambilan sampel biopsi pada kasus NERD. Di masa yang akan datang, diperlukan studi
lebih lanjut mengenai peranan pemeriksaan endoskopi resolusi tinggi (magnifying scope)
pada NERD.

Pemeriksaan pH-metri 24 jam

Pemeriksaan pH-metri konvensional 24 jam atau kapsul 48 jam (jika tersedia) dalam
diagnosis NERD adalah:

1. Mengevaluasi pasien-pasien GERD yang tidak berespons dengan terapi PPI.


2. Mengevaluasi apakah pasien-pasien dengan gejala ekstra esofageal sebelum

terapi PPI atau setelah dinyatakan gagal dengan terapi PPI

3. Memastikan diagnosis GERD sebelum operasi anti-refluks atau untuk

evaluasi gejala NERD berulang setelah operasi anti-refluks.

Pilihan pemeriksaan lain yang dapat dilakukan

Pilihan pemeriksaan lain yang dapat dilakukan selain pemeriksaan endoskopi dan pH metri
1
yaitu:
a. Esofagografi barium: Walaupun pemeriksaan ini tidak sensitif untuk diagnosis GERD
namun pada keadaan tertentu pemeriksaan ini mempunyai nilai lebih dibandingkan
endoskopi, yaitu pada kondisi stenosis esofagus dan hernia hiatal. Tanda esofagitis di
antaranya: penebalan lipatan esofagus, erosi, ulserasi, dan striktur.

b. Manometri esofagus: Tes ini bermanfaat terutama untuk evaluasi pengobatan pasienpasien
NERD dan untuk tujuan penelitian.

c. Tes impedans: Metode baru ini dapat mendeteksi adanya refluks gastroesofageal melalui
perubahan resistensi terhadap aliran listrik di antara dua elektroda, pada saat cairan dan/atau
gas bergerak di antaranya. Pemeriksaan ini terutama berguna untuk evaluasi pada pasien
NERD yang tidak membaik dengan terapi PPI, di mana dokumentasi adanya refluks non-
asam akan merubah tatalaksana.

d. Tes Bilitec: Tes ini dapat mendeteksi adanya refluks gastroesofageal dengan menggunakan
sifat-sifat optikal bilirubin. Pemeriksaan ini terutama untuk evaluasi pasien dengan gejala
refluks persisten, meskipun dengan paparan asam terhadap distal esofagus dari hasil pH-metri
adalah normal.

e. Tes Bernstein: Tes ini untuk mengukur sensitivitas mukosa esofagus dengan memasang
selang trans-nasal dan melakukan perfusi bagian distal esofagus dengan HCl 0,1 N dalam
waktu kurang dari 1 jam. Tes ini bersifat pelengkap terhadap pemantauan pH esofagus 24
jam pada pasien dengan gejala tidak khas dan untuk keperluan penelitian.

PPI test

PPI test dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis pada pasien dengan gejala tipikal dan
tanpa adanya tanda bahaya atau risiko Barrett esofagus. Tes ini dilakukan dengan
memberikan PPI dosis ganda selama 1-2 minggu tanpa didahului dengan pemeriksaan
endoskopi.

Jika gejala menghilang dengan pemberian PPI dan muncul kembali jika terapi PPI
dihentikan, maka diagnosis GERD dapat ditegakkan. Tes dikatakan positif, apabila terjadi
perbaikan klinis dalam 1 minggu sebanyak lebih dari 50%.

Dalam sebuah studi metaanalisis, PPI test dinyatakan memiliki sensitivitas sebesar 80% dan
spesifitas sebesar 74% untuk penegakan diagnosis pada pasien GERD dengan nyeri dada non
kardiak. Hal ini menggambarkan PPI test dapat dipertimbangkan sebagai strategi yang
berguna dan memiliki kemungkinan nilai ekonomis dalam manajemen pasien nyeri dada non
kardiak tanpa tanda bahaya yang dicurigai memiliki kelainan esofagus.
Bagan 2. Alur Diagnosis GERD

Diagnosis Banding

N Perbedaan tanda/Gejala dengan


Penyakit/Kondisi Perbedaan dalam pemeriksaan
o GERD
   Etiologi jantung harus
disingkirkan sebelum
mempertimbangkan
diagnosis GERD pada orang    EKG dapat
dengan nyeri dada. menunjukkan perubahan
   Nyeri dada yang khas ST atau gelombang Q.
Acute Coronary
1 adalah tekanan berat pada    Biomarker jantung
Syndrome
dada yang menjalar ke (mis., Troponin) dapat
rahang, lengan, atau leher. meningkat.
   Diaphoresis, dispnea,
dan sinkop juga dapat
terjadi.

2 Angina Stabil    Etiologi jantung harus    EKG dapat


disingkirkan sebelum menunjukkan perubahan
mempertimbangkan ST atau gelombang Q.
diagnosis GERD pada orang    Pemeriksaan Exercise
dengan nyeri dada. stress dapat menunjukkan
   Angina stabil peningkatan dan depresi
menyebabkan nyeri dada
segmen ST.
yang
 Cardiac tomographic
substernal,
dengan
computed angiography dapat 50%
membaik dengan istirahat.
(CCTA) menunjukkan>
biasanya di dicetuskan aktivitas,
penyempitan luminal
dan

 Manometri esofagus dan / atau


3 Achalasia  Disfagia biasanya menonjol. esofagram abnormal dan
konsisten dengan akalasia.

 Gejala dispepsia termasuk nyeri  Tidak ada tes yang


perut bagian atas, rasa kenyang membedakan secara definitif.
dini, sendawa, kembung, dan mual Gejala mungkin tumpang tindih.
Dispepsia
4 Fungsional (non
 Gejala telah diselidiki dengan  Esofagitis dan penyakit tukak
ulserasi)
endoskopi dan tes terkait lainnya, lambung tidak ada pada endoskopi
yang telah mengesampingkan untuk GERD nonerosive dan
penyebab organik untuk gejala dispepsia fungsional.
   Nyeri terbakar di
epigastrium, yang terjadi
beberapa jam setelah makan
   Endoskopi
atau dicetuskan dengan rasa
menunjukkan tukak
lapar.
lambung.
   Rasa sakit sering
   Pengujian untuk
5 Ulkus Peptikum membangunkan pasien di
infeksi Helicobacter pylori
malam hari dan
seringkali positif,
meskipun tidak diagnostik.
dihilangkan
makanan dan antasida.

dengan
6 Esofagitis    Gambaran GERD dan    Endoskopi dapat
eosinofilik esofagitis eosinofilik menunjukkan cincin
tumpang tindih. esofagus, alur linear, plak
   Namun, pasien dengan putih, eksudat, tidak
esofagitis eosinofilik adanya hiatal hernia, dan
mungkin lebih muda atau kaliber esofagus sempit.
memiliki gejala disfagia,    Jumlah eosinofil
dipengaruhi oleh makanan, perifer mungkin lebih
atau alergi makanan. tinggi dari GERD.
   Jumlah eosinofil
mungkin ≥15 per lapangan
pandang dalam sampel
jaringan esofagus.
   Mungkin ada
degranulasi eosinofil pada
spesimen biopsi.

 Tes laboratorium dapat


menunjukkan anemia atau LFT
abnormal.
 Diduga pada orang dewasa yang
 Keganasan esofagus atau
lebih tua dengan gejala alarm:
lambung dapat dilihat pada
anemia, disfagia akut atau progresif,
7 Keganasan endoskopi.
hematemesis, melena, muntah
persisten, atau penurunan berat
 CT scan perut dapat mendeteksi
badan tidak disengaja.
karsinoma pankreas dan
hepatobiliar.

 Diagnosis biopsi jaringan PA


   Diagnosis terutama
 Kondisi peradangan jaringan
klinis, tidak ada tes
saluran aerodigestif bagian atas
tunggal yang
mengkonfirmasinya.
terkait
Refluks    Laringoskopi
8 langsung
Laringoesofageal bermanfaat untuk
langsung
menunjukkan berbagai
konten gastroduodenal.
tingkat edema laring dan
eritema.
dengan efek dan tidak dari refluks

   Pemeriksaan pH sensor ganda


 Gejala laring termasuk disfonia, batuk, sensasi
dianggap sebagai standar emas
globus, pembersihan tenggorokan persisten, dan /
untuk mendiagnosis refluks
atau disfagia. Jarang, pasien terdapat polip atau
laringofaringeal.
granuloma pita suara, laringospasme, atau stenosis
   Respon klinis terhadap terapi
subglottis.
empiris dengan inhibitor pompa
proton dapat digunakan sebagai
 Kurang dari 50% pasien mengalami mulas;
alat diagnostik.
esofagitis ditemukan pada 25% pasien.

Penatalaksanaan
Yang dimaksud dengan penatalaksanaan adalah tindakan yang dilakukan

oleh dokter yang menangani kasus GERD, meliputi tindakan terapi non- farmakologik,
farmakologik, endoskopik, dan bedah.

Pada dasarnya terdapat 5 target yang ingin dicapai dan harus selalu menjadi perhatian saat
merencanakan, merubah, serta menghentikan terapi pada pasien GERD. Antara lain :

1. Menghilangkan gejala/keluhan,
2. Menyembuhkan lesi esofagus
3. Mencegah kekambuhan
4. Memperbaiki kualitas hidup
5. Mencegah timbulnya komplikasi.

Pada lini pertama, diagnosis GERD lebih banyak ditegakkan berdasarkan

gejala klinis dan kuesioner GERD berdasarkan gejala. Penatalaksanaan diberikan berdasarkan
diagnosis klinis.

Penatalaksanaan non-farmakologik a. Modifikasi gaya hidup.

Untuk pasien dengan riwayat khas GERD tanpa komplikasi, pendapat ahli adalah untuk
membahas dan menawarkan berbagai modifikasi gaya hidup selama terapi GERD.

Dengan data yang tersedia relatif sedikit, perlu dilakukan untuk mengedukasi pasien tentang
faktor-faktor yang dapat memicu refluks.

Perhatian utama ditujukan kepada memodifikasi berat badan berlebih dan meninggikan
kepala lebih kurang 15-20 cm pada saat tidur serta , makan tidak boleh terlalu kenyang dan
makan malam paling lambat 3 jam sebelum tidur, diketahui dapat mengurangi paparan asam
esofagus distal di bagian distal. Akan tetapi, data keberhasilan modifikasi gaya hidup ini
dilaporkan kurang berhasil pada pasien. Sebuah studi sistematik yang baru-baru ini dilakukan
menunjukkan bahwa dari semua intervensi gaya hidup yang dilakukan, hanya penurunan
berat badan dan meninggikan kepala saat tidur yang mempengaruhi gejala GERD secara
bermakna.

Selain itu, disarankan bahwa pasien harus menghindari tidur di bantal tambahan, karena ini
dapat meningkatkan tekanan perut dan menyebabkan peningkatan refluks.

b. Hindari makanan tertentu.


Beberapa makanan dinilai dapat mengiritasi mukosa esofagus. Jus jeruk,

minuman berkarbonasi, kopi dan kafein, cokelat, makanan pedas, lemak makanan, atau
makan malam hari. Namun, tidak ada uji coba terkontrol secara acak yang tersedia yang
merekomendasikan untuk menghindari atau meminimalkan makanan ini.

c. Penurunan berat badan


Penurunan berat badan telah terbukti menurunkan risiko terjadinya GERD,

terutama jika kenaikan berat badan terjadi sebelum timbulnya gejala GERD. d. Penghentian
merokok dan alkohol.

Penghentian merokok dan alkohol dianjurkan karena berbagai alasan kesehatan. Baik nikotin
dan alkohol telah terbukti mengurangi tekanan sfingter esofagus menjadi lebih rendah dan
menyebabkan iritasi esofagus lebih lanjut.

e. Hindari obat-obatan yang menurunkan tekanan esofagus menjadi lebih rendah atau
mengiritasi kerongkongan.
Obat-obatan yang menurunkan tekanan sfingter esofagus yang lebih rendah
harus dihindari pada pasien dengan gejala GERD. Obat-obat ini termasuk Calcium channel
blocker, agonis beta, agonis alphaadrenergik, teofilin, nitrat,

penghambat PDE-5 (mis. Avanafil, sildenafil, tildafil, vardenafil), antikolinergik, narkotika,


dan beberapa obat penenang (benzodiazepin).Hindari penggunaan obat- obatan yang
mengiritasi kerongkongan termasuk OAINS, ferrous sulfate, dan bifosfonat.

f. Hindari pakaian ketat di sekitar pinggang.


Saran lainnya adalah bahwa pasien disarankan untuk tidak mengenakan

pakaian ketat di sekitar pinggang untuk meminimalkan refluks yang diinduksi

oleh ketegangan.

Penatalaksanaan farmakologik

Obat-obatan yang telah diketahui dapat mengatasi gejala GERD meliputi antasida, prokinetik,
antagonis reseptor H2, Proton Pump Inhibitor (PPI) dan Baclofen.

Tabel 5. Efektivitas Terapi Obat untuk GERD

Dari semua obat-obatan tersebut di atas, PPI paling efektif dalam menghilangkan gejala serta
menyembuhkan lesi esofagitis pada GERD. PPI terbukti lebih cepat menyembuhkan lesi
esofagitis serta menghilangkan gejala GERD dibanding golongan antagonis reseptor H2 dan
prokinetik. Apabila PPI tidak tersedia, dapat diberikan H2RA.

Pada individu-individu dengan gejala dada terbakar atau regurgitasi episodik, penggunaan
H2RA (H2-Receptor Antagonist) dan/atau antasida dapat berguna untuk memberikan
peredaan gejala yang cepat. Selain itu, di Asia penggunaan prokinetik (antagonis dopamin
dan antagonis reseptor serotonin) dapat berguna sebagai terapi tambahan.
Pengobatan GERD dapat dimulai dengan PPI setelah diagnosis GERD ditegakkan. Dosis
inisial PPI adalah dosis tunggal per pagi hari sebelum makan selama 2 sampai 4 minggu.
Apabila masih ditemukan gejala sesuai GERD (PPI failure), sebaiknya PPI diberikan secara
berkelanjutan dengan dosis ganda sampai gejala menghilang. Umumnya terapi dosis ganda
dapat diberikan sampai 4-8 minggu.

Tabel 6. Penggunaan PPI pada GERD

Apabila kondisi klinis masih belum menunjukkan perbaikan harus dilakukan pemeriksaan
endoskopi untuk mendapatkan kepastian adanya kelainan pada mukosa saluran cerna atas.
Pengobatan selanjutnya dapat diberikan sesuai dengan ringan-beratnya kerusakan mukosa.
Untuk esofagitis ringan dapat dilanjutkan dengan terapi on demand. Sedangkan untuk
esofagitis berat dilanjutkan dengan terapi pemeliharaan kontinu, yang dapat diberikan sampai
6 bulan.

Bagan 3. Alur tatalaksana GERD berdasarkan proses Diagnosis

Untuk NERD, pengobatan awal dapat diberikan PPI dosis tunggal selama 4-8 minggu.
Setelah gejala-gejala klinis menghilang, terapi dapat dilanjutkan dengan PPI on demand.
Penggunaan on demand ini disarankan untuk memaksimalkan supresi asam lambung,
diberikan 30-60 menit sebelum makan pagi.
GERD yang refrakter terhadap terapi PPI (tidak berespons terhadap terapi PPI dua kali sehari
selama 8 minggu) harus dikonfirmasi untuk reevaluasi diagnosis GERD dengan pemeriksaan
endoskopi dalam rangka memastikan adanya esofagitis.

Apabila tidak ditemukan esofagitis, dilanjutkan dengan pemeriksaan pH- metri. Dari hasil
pemeriksaan pH-metri akan dapat ditentukan keterlibatan dominan refluks asam lambung
oleh faktor hiperasiditas atau oleh faktor patologi anatomik misal hernia hiatal. Apabila
kesimpulan pHmetri menunjukkan adanya dominan faktor patologi anatomik dengan tetap
ditemukan gejala klinis, maka dapat dipertimbangkan tindakan diagnostik esophageal
impedance dan pH untuk memastikan langkah terapeutik berikutnya.

2.9.3 Penatalaksanaan endoskopik

Komplikasi GERD seperti Barret’s esophagus, striktur, stenosis ataupun perdarahan, dapat
dilakukan terapi endoskopik berupa Argon plasma coagulation, ligasi, Endoscopic Mucosal
Resection, bouginasi, hemostasis atau dilatasi.

Terapi endoskopi untuk GERD masih terus berkembang dan sampai saat ini masih dalam
konteks penelitian. Terapi endoskopi yang telah dikembangkan adalah:

1. Radiofrequency energy delivery


2. Endoscopic suturing

Namun demikian sampai saat ini masih belum ada laporan mengenai terapi

endoskopi untuk GERD di Indonesia.

Penatalaksanaan bedah

Penatalaksanaan bedah mencakup tindakan pembedahan antirefluks (fundoplikasi Nissen,


perbaikan hernia hiatal, dll) dan pembedahan untuk mengatasi komplikasi.

Pembedahan antirefluks (fundoplikasi Nissen) dapat disarankan untuk pasien-pasien yang


intoleran terhadap terapi pemeliharaan, atau dengan gejala mengganggu yang menetap
(GERD refrakter).

Studi-studi yang ada menunjukkan bahwa, apabila dilakukan dengan baik, efektivitas
pembedahan antirefluks ini setara dengan terapi medikamentosa, namun memiliki efek
samping disfagia, kembung, kesulitan bersendawa dan gangguan usus pasca pembedahan.

Komplikasi

Jika tidak diobati, GERD dapat menyebabkan beberapa komplikasi serius, termasuk
esofagitis dan Barrett esofagus. Esofagitis sangat bervariasi dalam tingkat keparahannya,
mengakibatkan erosi yang luas, ulserasi dan penyempitan esofagus. Esofagitis juga dapat
menyebabkan perdarahan gastrointestinal (GI).

Perdarahan saluran cerna bagian atas bermanifestasi menjadi anemia, hematemesis, muntah
Coffe ground, melena, dan hematochezia. Peradangan kronis esofagus akibat paparan asam
yang berkelanjutan dapat menyebabkan jaringan parut dan munculnya striktur peptikum,
biasanya timbul dengan keluhan utama disfagia.

Pasien dengan refluks asam persisten mungkin beresiko terhadap Barrett's esophagus, yang
didefinisikan sebagai metaplasia esofagus. Dalam Barrett's esophagus, epitel sel skuamosa
normal dari esophagus digantikan oleh epitel kolumnar dengan sel piala, sebagai respon
terhadap paparan asam. Perubahan Barret’s esofagus memiliki potensi berkembang ke arah
adenokarsinoma esofagus, membuat deteksi dini sangat penting dalam pencegahan dan
pengelolaan keganasan.

Prognosis

Prognosis penyakit refluks gastroesofageal (gastroesophageal reflux disease / GERD) cukup


baik asalkan pasien mau memodifikasi gaya hidup dan menjalani pengobatan dengan patuh.
GERD yang tidak terkontrol dapat menyebabkan komplikasi, di antaranya berupa Barrett
esofagus dan kanker esofagus.

DAFTAR PUSTAKA

1. Syam AF, Aulia C, Renaldi K, Simadibrata M, Abdullah M, Tedjasaputra TR. Revisi


Konsensus Nasional Penatalaksanaan Penyakit Re uks Gastroesofageal
( Gastroesophageal Re ux Disease / GERD ) di Indonesia. 2013.
2. Clarrett DM. Gastroesophageal Refl ux Disease ( GERD ). 2018;(June):214–8.
3. American College of Gastroenterology. Is it just a little heartburn or something more
serious? [Internet]. American College of Gastroenterology. 2017. Available from:
from: http://s3.gi.org/patients/pdfs/UnderstandGERD.pdf

4. Saputera MD, Budianto W. Diagnosis dan Tatalaksana Gastroesophageal Reflux


Disease ( GERD ) di Pusat Pelayanan Kesehatan Primer. 2017;44(5):329–32.
5. Aldughaither F, Alsalem AS, Alkhalaf SS, Alqahtani ZN, Mohammad H. EC
MICROBIOLOGY Review Article Prevalence, Causes, Risk Factors and Updates of
Management of GERD. 2020;2:1–8.
6. Kahrilas PJ. GERD pathogenesis, pathophysiology, and clinical manifestations.
Clevel Clin J Med. 2003;70.
7. MikamiDJ.PhysiologyandPathogenesisofGastroesophagealRe f l u x D i s e a s e. Surg
Clin NA [Internet]. 2015; Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.suc.2015.02.006
8. Usai-satta P. Overview of pathophysiological features of GERD. 2018;(October).
9. Vakil N, Zanten SV Van, Kahrilas P, Dent J. The Montreal Definition and
Classification of Gastroesophageal Reflux Disease : A Global Evidence- Based
Consensus. 2006;1900–20.
10. DeVault KR, Castell DO. Updated guidelines for the diagnosis and treatment of
gastroesophageal reflux disease. Am J Gastroenterol. 2005;100(1):190–200.
11. Savarino E, Bredenoord AJ, Fox M, Pandolfino JE, Roman S, Prakash Gyawali C.
Expert consensus document: Advances in the physiological assessment and diagnosis
of GERD. Nat Rev Gastroenterol Hepatol. 2017;14(11):665–76.
12. Dellon ES, Gonsalves N, Hirano I, Furuta GT, Liacouras CA, Katzka DA. ACG
clinical guideline: Evidenced based approach to the diagnosis and management of
esophageal eosinophilia and eosinophilic esophagitis (EoE). Am J Gastroenterol
[Internet]. 2013;108(5):679–92. Available from:
http://dx.doi.org/10.1038/ajg.2013.71
13. Katz PO, Gerson LB, Vela MF. Guidelines for the diagnosis and management of
gastroesophageal reflux disease. Am J Gastroenterol [Internet]. 2013;108(3):308–28.
Available from: http://dx.doi.org/10.1038/ajg.2012.444

14. Lechien JR, Akst LM, Hamdan AL, Schindler A, Karkos PD, Barillari MR, et al.
Evaluation and Management of Laryngopharyngeal Reflux Disease: State of the Art
Review. Otolaryngol - Head Neck Surg (United States). 2019;160(5):762–82.
15. Joel J Heidelbaugh MFM, R Van Harrison P, Mark A McQuillan, MD General
Medicine Timothy T Nostrant MG. Gastroesophageal Reflux Disease ( GERD ).
University of Michigan; 2013.

Anda mungkin juga menyukai