Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN

Penyakit Gastroesophageal Refluks(GERD)

NAMA : IPA BALDA ALMOHDAR

NIM : 1420118115

PRODI : KEPERAWATAN
1. DEFINISI
 Gastroesophageal reflux disease adalah gerakan terbalik pada makanan dan asam
lambung menuju kerongkongan dan kadangkala menuju mulut. Reflux terjadi ketika otot
berbentuk cincin yang secara normal mencegah isi perut mengalir kembali menuju
kerongkongan (esophageal sphincter bagian bawah) tidak berfungsi sebagaimana
mestinya.
 GERD adalah suatu kondisi di mana cairan lambung mengalami refluks ke esofagus
sehingga menimbulkan gejala khas berupa rasa terbakar, nyeri di dada, regurgitasi dan
komplikasi.
 Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) adalah suatu keadaan patologis yang
disebabkan oleh kegagalan dari mekanisme antireflux untuk melindungi mukosa
esophagus terhadap refluks asam lambung dengan kadar yang abnormal dan paparan
yang berulang.
2. EPIDEMIOLOGI
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) umum ditemukan pada populasi di negara-
negara barat, namun dilaporkan relatif rendah insidennya di negara-negara Asia-Afrika. Divisi
Gastroenterohepatologi Departemen IPD FKUI- RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta,
mendapatkan kasus esofagitis sebanyak 22,8% dari semua pasien yang menjalani pemeriksaan
endoskopi atas indikasi dyspepsia, gastroesofageal reflux didapatkan pada 45-89% penderita
asma, hal ini mungkin disebabkan oleh refluks esofageal, refluksesfagopulmoner dan bat
relaksan otot polos yaitu golongan betha adrenergik, aminofilin, inhibitr fosfodiesterase
menyebabkan inkompetensi LES esfagus. Pada Bayi  mengalami refluks ringan, sekitar 1 : 300
hingga 1:1000. Gastroesofagus refluks paling banyak terjadi pada bayi sehat berumur 4 bulan,
dengan > 1x episode regurgitas, Pada umur 6 – 7 bulan, gejala berkurang dari 61% menjadi 21%.
Hanya 5% bayi berumur 12 bulan yang masih mengalami GERD.
3. ETIOLOGI
Beberapa penyebab terjadinya GERD meliputi:
1. Menurunnya tonus LES (lower esophageal spinchter)
2.  Bersihan asam dari lumen esophagus menurun
3.  Ketahanan epitel esophagus menurun
4. Bahan refluksat mengenai dinding esophagus yaitu : PH<2, adanya pepsin, garam
empedu, HCl
5. Kelainan pada lambung (delayed gastric emptying)
6. Infeksi H. pylori dengan corpus predominan gastritis
7.  Non acid refluks (refluks gas) menyebabkan hipersensitivitas visceral
8. Alergi makanan atau tidak bisa menerima makanan juga membuat refluks, tetapi
hal ini adalah penyebab yang kurang sering terjadi.
9. Mengonsumsi makanan berasam, coklat, minuman berkafein dan berkarbonat,
alkohol, merokok tembakau, dan obat-obatan yang bertentangan dengan fungsi
esophageal sphincter bagian bawah termasuk apa yang memiliki efek
antikolinergik (seperti berbagai antihistamin dan beberapa antihistamin),
penghambat saluran kalsium, progesteron, dan nitrat.
10. Alergi makanan atau tidak bisa menerima makanan juga membuat refluks, tetapi
hal ini adalah penyebab yang kurang sering terjadi.
11. Kelainan anatomi, seperti penyempitan kerongkongan
4. PATOFISIOLOGI
GERD terjadi karena beberapa factor seperti Hiatus hernia, pendeknya LES, penggunaan
obat-obatan, faktor hormonal yang menyebabkan penurunan tonus LES dan terjadi relaksasi
abnormal LES sehingga timbul GERD. Hiatus hernia juga menyebabkan bagian dari lambung
atas yang terhubung dengan esophagus akan mendorong ke atas melalui diafragma sehingga
terjadi penurunan tekanan penghambat refluks dan timbul GERD. Selain itu, GERD juga terjadi
karena penurunan peristaltic esophagus dimana terjadi penurunan kemampuan untuk mendorong
asam refluks kembali ke lambung, kelemahan kontraksi LES dimana terjadi penurunan
kemampuan mencegah refluks, penurunan pengosongan lambung dimana terjadi memperlambat
distensi lambung, dan infeksi H. Pilory dan korpus pedominas gastritis. GERD dapat
menimbulkan perangsangan nervus pada esophagus oleh cairan refluks mengakibatkan nyeri
akut.
Selain itu GRED menyebabkan kerusakan sel skuamosa epitel yang melapisi esophagus
sehingga terjadi nyeri akut, gangguan menelan, dan bersihan jalan nafas tidak efektif.  Gangguan
nervus yang mengatur pernafasan juga disebabkan oleh GERD sehingga timbul pola nafas tidak
efektif.
Disamping itu GERD menyebabkan refluks cairan masuk ke laring dan tenggorokan,
terjadi resiko aspirasi dan jika teraspirasi maka timbul masalah bersihan jalan nafas tidak efektif.
GERD dapat menyebabkan refluks asam lambung dari lambung ke esophagus sehingga timbul
odinofagia, merangsang pusat mual di hipotalamus, cairan terasa pada mulut, aliran balik dalam
jumlah banyak sehingga terjadi penurunan nafsu makan dan timbul ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan.Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi (high
pressure zone) yang dihasilkan oleh kontraksi lower esophageal sphincter (LES). Pada individu
normal, pemisah ini akan dipertahankan kecuali pada saat terjadinya aliran antegrad yang terjadi
pada saat menelan, atau aliran retrograd yang terjadi pada saat sendawa atau muntah. Aliran
balik dari gaster ke esophagus melalui LES hanya terjadi apabila tonus LES tidak ada atau sangat
rendah (< 3 mmHg). Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3 mekanisme:
a) Refluks spontan pada saat relaksasi LES yang tidak adekuat
b) Aliran retrograde yang mendahului kembalinya tonus LES setelah menelan
c)  Meningkatnya tekanan intraabdominal
Dengan demikian dapat diterangkan bahwa patogenesis terjadinya GERD menyangkut
keseimbangan antara faktor defensif dari esophagus dan faktor ofensif dari bahan refluksat. Yang
termasuk faktor defensif esophagus, adalah pemisah antirefluks (lini pertama), bersihan asam
dari lumen esophagus (lini kedua), dan ketahanan epithelial esophagus (lini ketiga). Sedangkan
yang termasuk faktor ofensif adalah sekresi gastrik dan daya pilorik.
a. Pemisah antirefluks
Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus LES. Menurunnya tonus LES dapat
menyebabkan timbulnya refluks retrograde pada saat terjadinya peningkatan tekanan
intraabdomen. Sebagian besar pasien GERD ternyata mempunyai tonus LES yang normal.
Faktor-faktor yang dapat menurunkan tonus LES adalah adanya hiatus hernia, panjang LES
(makin pendek LES, makin rendah tonusnya), obat-obatan (misal antikolinergik, beta adrenergik,
teofilin, opiate, dll), dan faktor hormonal. Selama kehamilan, peningkatan kadar progesteron
dapat menurunkan tonus LES.
Namun dengan perkembangan teknik pemeriksaan manometri, tampak bahwa pada kasus-
kasus GERD dengan tonus LES yang normal yang berperan dalam terjadinya proses refluks ini
adalah transient LES relaxation (TLESR), yaitu relaksasi LES yang bersifat spontan dan
berlangsung lebih kurang 5 detik tanpa didahului proses menelan. Belum diketahui bagaimana
terjadinya TLESR ini, tetapi pada beberapa individu diketahui ada hubungannya dengan
pengosongan lambung yang lambat (delayed gastric emptying) dan dilatasi lambung. Peranan
hiatus hernia pada patogenesis terjadinya GERD masih kontroversial. Banyak pasien GERD
yang pada pemeriksaan endoskopi ditemukan hiatus hernia, namun hanya sedikit yang
memperlihatkan gejala GERD yang signifikan. Hiatus hernia dapat memperpanjang waktu yang
dibutuhkan untuk bersihan asam dari esophagus serta menurunkan tonus LES.
b. Bersihan asam dari lumen esophagus
Faktor-faktor yang berperan dalam bersihan asam dari esophagus adalah gravitasi,
peristaltik, ekskresi air liur, dan bikarbonat.
Setelah terjadi refluks, sebagian besar bahan refluksat akan kembali ke lambung dengan
dorongan peristaltic yang dirangsang oleh proses menelan. Sisanya akan dinetralisir oleh
bikarbonat yang disekresi oleh kelenjar saliva dan kelenjar esophagus.
Mekanisme bersihan ini sangat penting, karena makin lama kontak antara bahan refluksat dengan
esophagus (waktu transit esophagus) makin besar kemungkinan terjadinya esofagitis. Pada
sebagian besar pasien GERD ternyata memiliki waktu transit esophagus yang normal sehingga
kelainan yang timbul disebabkan karena peristaltic esophagus yang minimal.
Refluks malam hari (nocturnal reflux) lebih besar berpotensi menimbulkan kerusakan esophagus
karena selama tidur sebagian besar mekanisme bersihan esophagus tidak aktif.
c. Ketahanan epithelial esophagus
Berbeda dengan lambung dan duodenum, esophagus tidak memiliki lapisan mukus yang
melindungi mukosa esophagus. Mekanisme ketahanan epithelial esophagus terdiri dari :

 Membran sel
 Batas intraselular (intracellular junction) yang membatasi difusi H+ ke jaringan
esophagus
 Aliran darah esophagus yang mensuplai nutrien, oksigen, dan bikarbonat, serta
mengeluarkan ion H+ dan CO2
 Sel-sel esophagus memiliki kemampuan untuk mentransport ion H+ dan Cl- intraseluler
dengan Na+ dan bikarbonat ekstraseluler.
Nikotin dapat menghambat transport ion Na+ melalui epitel esophagus, sedangkan alcohol
dan aspirin meningkatkan permeabilitas epitel terhadap ion H. Yang dimaksud dengan faktor
ofensif adalah potensi daya rusak refluksat. Kandungan lambung yang menambah potensi daya
rusak refluksat terdiri dari HCl, pepsin, garam empedu, dan enzim pancreas.
Faktor ofensif dari bahan refluksat bergantung dari bahan yang dikandungnya. Derajat kerusakan
mukosa esophagus makin meningkat pada pH < 2, atau adanya pepsin atau garam empedu.
Namun dari kesemuanya itu yang memiliki potensi daya rusak paling tinggi adalah asam.
Faktor-faktor lain yang berperan dalam timbulnya gejala GERD adalah kelainan di lambung
yang meningkatkan terjadinya refluks fisiologis, antara lain dilatasi lambung, atau obstruksi
gastric outlet dan delayed gastric emptying.
Peranan infeksi helicobacter pylori dalam patogenesis GERD relatif kecil dan kurang didukung
oleh data yang ada. Namun demikian ada hubungan terbalik antara infeksi H. pylori dengan
strain yang virulens (Cag A positif) dengan kejadian esofagitis, Barrett’s esophagus dan
adenokarsinoma esophagus. Pengaruh dari infeksi H. pylori terhadap GERD merupakan
konsekuensi logis dari gastritis serta pengaruhnya terhadap sekresi asam lambung. Pengaruh
eradikasi infeksi H. pylori sangat tergantung kepada distribusi dan lokasi gastritis. Pada pasien-
pasien yang tidak mengeluh gejala refluks pra-infeksi H. pylori dengan predominant antral
gastritis, pengaruh eradikasi H. pylori dapat menekan munculnya gejala GERD. Sementara itu
pada pasien-pasien yang tidak mengeluh gejala refluks pra-infeksi H. pylori dengan corpus
predominant gastritis, pengaruh eradikasi H. pylori dapat meningkatkan sekresi asam lambung
serta memunculkan gejala GERD. Pada pasien-pasien dengan gejala GERD pra-infeksi H. pylori
dengan antral predominant gastritis, eradikasi H. pylori dapat memperbaiki keluhan GERD serta
menekan sekresi asam lambung. Sementara itu pada pasien-pasien dengan gejala GERD pra-
infeksi H. pylori dengan corpus predominant gastritis, eradikasi H. pylori dapat memperburuk
keluhan GERD serta meningkatkan sekresi asam lambung. Pengobatan PPI jangka panjang pada
pasien-pasien dengan infeksi H. pylori dapat mempercepat terjadinya gastritis atrofi. Oleh sebab
itu, pemeriksaan serta eradikasi H. pylori dianjurkan pada pasien GERD sebelum pengobatan
PPI jangka panjang.
Non-acid reflux turut berperan dalam patogenesis timbulnya gejala GERD. Non-acid reflux
adalah berupa bahan refluksat yang tidak bersifat asam atau refluks gas. Dalam keadaan ini,
timbulnya gejala GERD diduga karena hipersensitivitas visceral.
5. KLASIFIKASI
Kalsifikasi Los Angeles
Derajat Gambaran endoskopi
kerusaka
n
A Erosi kecil-kecil pada mukosa esophagus dengan diameter < 5
mm
B Erosi pada mukosa/lipatan mukosa dengan diameter > 5 mm
tanpa saling berhubungan
C Lesi yang konfluen tetapi tidak mengenai/mengelilingi seluruh
lumen
D Lesi mukosa esophagus yang bersifat sirkumferensial
(mengelilingi seluruh lumen esophagus)

6. MANIFESTASI KLINIS
1. Rasa panas/ tebakar pada esofagus (pirosis)
2. Muntah
3. Nyeri di belakang tulang payudara atau persis di bawahnya, bahkan menjalar ke
leher, tenggorokan, dan wajah, biasanya timbul setelah makan atau ketika
berbaring
4. Kesulitan menelan makanan (osinofagia) karena adanya penyempitan (stricture)
pada kerongkongan dari reflux.
5.  Tukak esofageal peptik yaitu luka terbuka pada lapisan kerongkongan, bisa
dihasilkan dari refluks berulang. Bisa menyebabkan nyeri yang biasanya berlokasi
di belakang tulang payudara atau persis di bawahnya, mirip dengan lokasi panas
dalam perut
6. Nafas yang pendek dan berbunyi mengik karena ada penyempitan pada saluran
udara
7. Suara parau
8. Ludah berlebihan (water brash)
9. Rasa bengkak pada tenggorokan (rasa globus)
10. Terjadi peradangan pada sinus (sinusitis)
11.  Gejala lain : pertumbuhan yang buruk, kejang, nyeri telinga (pada anak)
12. Peradangan pada kerongkongan (esophagitis) bisa menyebabkan pendarahan yang
biasanya ringan tetapi bisa jadi besar. Darah kemungkinan dimuntahkan atau
keluar melalui saluran pencernaan, menghasilkan kotoran berwarna gelap, kotoran
berwarna ter (melena) atau darah merah terang, jika pendarahan cukup berat.
13. Dengan iritasi lama pada bagian bawah kerongkongan dari refluks berulang,
lapisan sel pada kerongkongan bisa berubah (menghasilkan sebuah kondisi yang
disebut kerongkongan Barrett). Perubahan bisa terjadi bahkan pada gejala-gejala
yang tidak ada. Kelainan sel ini adalah sebelum kanker dan berkembang menjadi
kanker pada beberapa orang.
7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Endoskopi
Pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas merupakan standar baku untuk
diagnosis GERD dengan ditemukannya mucosal break di esophagus (esofagitis refluks). Jika
tidak ditemukan mucosal break pada pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas pada
pasien dengan gejala khas GERD, keadaan ini disebut non-erosive reflux disease (NERD).
2. Esofagografi dengan barium
Dibandingkan dengan endoskopi, pemeriksaan ini kurang peka dan seringkali tidak
menunjukkan kelainan, terutama pada kasus esofagitis ringan. Pada keadaan yang lebih berat,
gambar radiology dapat berupa penebalan dinding dan lipatan mukosa, ulkus, atau penyempitan
lumen. Walaupun pemeriksaan ini sangat tidak sensitive untuk diagnosis GERD, namun pada
keadaan tertentu pemeriksaan ini mempunyai nilai lebih dari endoskopi, yaitu pada stenosis
esophagus derajat ringan akibat esofagitis peptic dengan gejala disfagia, dan pada hiatus hernia.
3. Monitoring pH 24 jam
Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian distal esophagus.
Episode ini dapat dimonitor dan direkam dengan menempatkan mikroelektroda pH pada bagian
distal esophagus. Pengukuran pH pada esophagus bagian distal dapat memastikan ada tidaknya
refluks gastroesofageal. pH dibawah 4 pada jarak 5 cm di atas LES dianggap diagnostik untuk
refluks gastroesofageal.
4. Tes Perfusi Berstein
Tes ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selang transnasal dan
melakukan perfusi bagian distal esophagus dengan HCl 0,1 M dalam waktu kurang dari 1 jam.
Tes ini bersifat pelengkap terhadap monitoring pH 24 jam pada pasien-pasien dengan gejala
yang tidak khas. Bila larutan ini menimbulkan rasa nyeri dada seperti yang biasanya dialami
pasien, sedangkan larutan NaCl tidak menimbulkan rasa nyeri, maka test ini dianggap positif.
Test Bernstein yang negative tidak menyingkirkan adanya nyeri yang berasal dari esophagus.
5. Manometri esofagus :
mengukuran tekanan pada katup kerongkongan bawah menunjukan kekuatannya dan
dapat membedakan katup yang normal dari katup yang berfungsi buruk kekuatan sphincter
8. PEMERIKSAAN FISIK
Inspeksi :
a)      Klien tampak muntah
b)      Klien tampak lemah
c)     Klien tampak memegang daerah yang nyeri
Auskultasi :
a)      Suara terdengar serak
b)      Bising usus <12 detik per menit
c)      Suara jantung S1/S2 reguler
9. THERAPI/TINDAKAN PENANGANAN
Pada prinsipnya, penatalaksanaan GERD terdiri dari modifikasi gaya hidup, terapi
medikamentosa, terapi bedah serta akhir-akhir ini mulai dilakukan terapi endoskopik.Target
penatalaksanaan GERD adalah menyembuhkan lesi esophagus, menghilangkan gejala/keluhan,
mencegah kekambuhan, memperbaiki kualitas hidup, dan mencegah timbulnya komplikasi.
1. Modifikasi gaya hidup
Modifikasi gaya hidup merupakan salah satu bagian dari penatalaksanaan GERD, namun
bukan merupakan pengobatan primer. Walaupun belum ada studi yang dapat memperlihatkan
kemaknaannya, namun pada dasarnya usaha ini bertujuan untuk mengurangi frekuensi refluks
serta mencegah kekambuhan.
Hal-hal yang perlu dilakukan dalam modifikasi gaya hidup adalah meninggikan posisi kepala
pada saat tidur serta menghindari makan sebelum tidur dengan tujuan untuk meningkatkan
bersihan asam selama tidur serta mencegah refluks asam dari lambung ke esophagus, berhenti
merokok dan mengkonsumsi alkohol karena keduanya dapat menurunkan tonus LES sehingga
secara langsung mempengaruhi sel-sel epitel, mengurangi konsumsi lemak serta mengurangi
jumlah makanan yang dimakan karena keduanya dapat menimbulkan distensi lambung,
menurunkan berat badan pada pasien kegemukan serta menghindari pakaian ketat sehingga dapat
mengurangi tekanan intraabdomen, menghindari makanan/minuman seperti coklat, teh,
peppermint, kopi dan minuman bersoda karena dapat menstimulasi sekresi asam, jikan
memungkinkan menghindari obat-obat yang dapat menurunkan tonus LES seperti antikolinergik,
teofilin, diazepam, opiate, antagonis kalsium, agonis beta adrenergic, progesterone.
2. Terapi medikamentosa
Terdapat berbagai tahap perkembangan terapi medikamentosa pada penatalaksanaan GERD
ini. Dimulai dengan dasar pola pikir bahwa sampai saat ini GERD merupakan atau termasuk
dalam kategori gangguan motilitas saluran cerna bagian atas. Namun dalam perkembangannya
sampai saat ini terbukti bahwa terapi supresi asam lebih efektif daripada pemberian obat-obat
prokinetik untuk memperbaiki gangguan motilitas.
Terdapat dua alur pendekatan terapi medikamentosa, yaitu step up dan step down. Pada
pendekatan step up pengobatan dimulai dengan obat-obat yang tergolong kurang kuat dalam
menekan sekresi asam (antagonis reseptor H2) atau golongan prokinetik, bila gagal diberikan
obat golongan penekan sekresi asam yang lebih kuat dengan masa terapi lebih lama (penghambat
pompa proton/PPI). Sedangkan pada pendekatan step down pengobatan dimulai dengan PPI dan
setelah berhasil dapat dilanjutkan dengan terapi pemeliharaan dengan menggunakan dosis yang
lebih rendah atau antagonis reseptor H2 atau prokinetik atau bahkan antacid.
Dari berbagai studi, dilaporkan bahwa pendekatan terapi step down ternyata lebih ekonomis
(dalam segi biaya yang dikeluarkan oleh pasien) dibandingkan dengan pendekatan terapi step up.
Menurut Genval Statement (1999) serta Konsensus Asia Pasifik tentang penatalaksanaan GERD
(2003) telah disepakati bahwa terapi lini pertama untuk GERD adalah golongan PPI dan
digunakan pendekatan terapi step down.Pada berbagai penelitian terbukti bahwa respons
perbaikan gejala menandakan adanya respons perbaikan lesi organiknya (perbaikan
esofagitisnya). Hal ini tampaknya lebih praktis bagi pasien dan cukup efektif dalam mengatasi
gejala pada tatalaksana GERD.

Berikut adalah obat-obatan yang dapat digunakan dalam terapi medikamentosa GERD :
 Antasid
Golongan obat ini cukup efektif dan aman dalam menghilangkan gejala GERD tetapi
tidak menyembuhkan lesi esofagitis. Selain sebagai buffer terhadap HCl, obat ini dapat
memperkuat tekanan sfingter esophagus bagian bawah. Kelemahan obat golongan ini
adalah rasanya kurang menyenangkan, dapat menimbulkan diare terutama yang
mengandung magnesium serta konstipasi terutama antasid yang mengandung aluminium,
penggunaannya sangat terbatas pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal.
 Antagonis reseptor H2
Yang termasuk dalam golongan obat ini adalah simetidin, ranitidine, famotidin, dan
nizatidin. Sebagai penekan sekresi asam, golongan obat ini efektif dalam pengobatan
penyakit refluks gastroesofageal jika diberikan dosis 2 kali lebih tinggi dan dosis untuk
terapi ulkus. Golongan obat ini hanya efektif pada pengobatan esofagitis derajat ringan
sampai sedang serta tanpa komplikasi.
 Obat-obatan prokinetik
Secara teoritis, obat ini paling sesuai untuk pengobatan GERD karena penyakit ini lebih
condong kearah gangguan motilitas. Namun, pada prakteknya, pengobatan GERD sangat
bergantung pada penekanan sekresi asam.
 Metoklopramid
Obat ini bekerja sebagai antagonis reseptor dopamine. Efektivitasnya rendah dalam
mengurangi gejala serta tidak berperan dalam penyembuhan lesi di esophagus kecuali
dalam kombinasi dengan antagonis reseptor H2 atau penghambat pompa proton. Karena
melalui sawar darah otak, maka dapat timbul efek terhadap susunan saraf pusat berupa
mengantuk, pusing, agitasi, tremor, dan diskinesia.
 Domperidon
Golongan obat ini adalah antagonis reseptor dopamine dengan efek samping yang lebih
jarang disbanding metoklopramid karena tidak melalui sawar darah otak.

Walaupun efektivitasnya dalam mengurangi keluhan dan penyembuhan lesi esophageal


belum banyak dilaporkan, golongan obat ini diketahui dapat meningkatkan tonus LES serta
mempercepat pengosongan lambung.
·        
 Cisapride
Sebagai suatu antagonis reseptor 5 HT4, obat ini dapat mempercepat pengosongan
lambung serta meningkatkan tekanan tonus LES. Efektivitasnya dalam menghilangkan
gejala serta penyembuhan lesi esophagus lebih baik dibandingkan dengan domperidon.
 Sukralfat (Aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat)
Berbeda dengan antasid dan penekan sekresi asam, obat ini tidak memiliki efek langsung
terhadap asam lambung. Obat ini bekerja dengan cara meningkatkan pertahanan mukosa
esophagus, sebagai buffer terhadap HCl di eesofagus serta dapat mengikat pepsin dan
garam empedu. Golongan obat ini cukup aman diberikan karena bekerja secara topikal
(sitoproteksi).
 Penghambat pompa proton (Proton Pump Inhhibitor/PPI)
Golongan obat ini merupakan drug of choice dalam pengobatan GERD. Golongan obat-
obatan ini bekerja langsung pada pompa proton sel parietal dengan mempengaruhi enzim
H, K ATP-ase yang dianggap sebagai tahap akhir proses pembentukan asam lambung.
Obat-obatan ini sangat efektif dalam menghilangkan keluhan serta penyembuhan lesi
esophagus, bahkan pada esofagitis erosive derajat berat serta yang refrakter dengan golongan
antagonis reseptor H2.
Umumnya pengobatan diberikan selama 6-8 minggu (terapi inisial) yang dapat
dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan (maintenance therapy) selama 4 bulan atau on-demand
therapy, tergantung dari derajat esofagitisnya.
10. KOMPLIKASI
1)      Erosif  esofagus
2)      Esofagus barrett’s
3)      Striktur esofagus
4)      Gagal tumbuh (failur to thrive)
5)      Perdarahan saluran cerna akibat iritasi
6)      Aspirasi
11.PROGNOSIS
Gejala GERD biasanya berjalan perlahan-lahan, sangat jarang terjadi episode akut atau
keadaan yang bersifat mengancam nyawa (jarang menyebabkan kematian). Prognosis dari
penyakit ini baik jika derajat kerusakan esofagus masih rendah dan pengobatan yang diberikan
benar pilihan dan pemakaiannya. Pada kasus-kasus dengan esofagitis grade D dapat masuk tahap
displasia sel sehingga menjadi Barret’s Esofagus dan pada akhirnya Ca Esofagu
12. DIAGNOSA
1.Nyeri Akut berhubungan dengan agen cidera ditandai dengan klien melaporkan nyeri secara
verbal, klien tampak meringis kesakitan, tampak gelisah,  klien tampak nyeri,klien memegangi
bagian yang nyeri.
2. Risiko aspirasi  berhubungan dengan gangguan menelan, penurunan refleks laring dan glotis
terhadap cairan refluks.
3.Gangguan Menelan berhubungan dengan reflux disease ditandai dengan terlihat bukti
kesulitan dalam menelan.
4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan menelan makanan ditandai dengan klien menghindari makan, kurang minat
terhadap makanan, mengeluh gangguan sensasi rasa, pasien mual muntah
DAFTAR PUSTAKA

 Smeltzer Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Alih
bahasa Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester, dkk. Ed. 8. Jakarta : EGC; 2001.
 Gastroesophageal Reflux in Infants. http://www.rch.org.au/clinicalguide/cpg.cfm?
doc_id=9746 Diakses tanggal 10 Juli 2007
 Gastroesophageal Reflux in
Infants. http://digestive.niddk.nih.gov/ddiseases/pubs/gerdinfant/index.htm Diakses
tanggal 10 Juli 2007
 Gastroesophageal Reflux in Children and
Adolescents http://digestive.niddk.nih.gov/ddiseases/pubs/gerinchildren/index.htm Diaks
es tanggal 10 Juli 2007
 Nanda international (2010). Nursing diagnosis; definition and classification 2009 –
2011. EGC, Jakarta
 Nursing interventions classification (NIC) edisi 4. Mosby. United states of America
 Nursing Outcomes classification (NOC) edisi 4. Mosby. United states of America

Anda mungkin juga menyukai