Anda di halaman 1dari 26

Gastroesophageal Refluks Disease

(GERD)

Disusun :
Melisa
112018129

Pembimbing :
dr. Mayorita Ponggawa, Sp.PD

Penguji :
dr. Indraka, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

RUMAH SAKIT PUSAT ANGKATAN UDARA ESNAWAN ANTARIKSA

Periode 29 Juni – 5 September 2020

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA JAKARTA

1
BAB I

Pendahuluan

Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) didefinisikan sebagai suatu


gangguan di mana isi lambung mengalami refluks secara berulang ke dalam esofagus,
yang menyebabkan terjadinya gejala dan/ atau komplikasi yang mengganggu.1

GERD juga dapat dipandang sebagai suatu kelainan yang menyebabkan cairan
lambung dengan berbagai kandungannya mengalami refluks ke dalam esofagus, dan
menimbulkan gejala khas seperti heartburn (rasa terbakar di dada yang kadang
disertai rasa pahit dan pedih) serta gejala-gejala lain seperti regurgitas (rasa asam dan
pahit di lidah), nyeri epigastrium, disfagia, dan odinofagia. 1 Ketika esofagus
beulangkali kontak dengan material refluks untuk waktu yang lama, dapat terjadi
inflamasi esofagus.

Penyakit ini frekuensinya cukup tinggi di negara maju. Di Indonesia sendiri


kasus GERD ini belum ada data epidemiologinya, namun kasus Penyakit ini
seringkali tidak terdiagnosis sebelum menimbulkan keluhan yang berat. 3,4

2
BAB II

Definisi
Penyakit refluks gastroesofageal (Gastroesofageal refluks disease / GERD )
adalah suatu keadaan patologis sebagai akibat refluks kandungan lambung ke dalam
esofagus, dengan berbagai gejala yang timbul akibat keterlibatan esofagus, faring,
laring dan saluran nafas.4,7

Refluks gastroesofageal adalah fenomena biasa yang dapat timbul pada setiap
orang sewaktu-waktu, pada orang normal refluks ini terjadi pada posisi tegak sewaktu
habis makan, karena sikap posisi tegak tadi dibantu oleh adanya kontraksi peristaltik
primer, isi lambung yang mengalir ke esofagus segera kembali ke lambung, refluks
sejenak ini tidak merusak mukosa esofagus dan tidak menimbulkan keluhan. Keadaan
ini dikatakan patologis bila refluks terjadi berulang-ulang dan dalam waktu yang
lama. 8

Epidemiologi
Prevalensi penyakit ini adalah 10-20% di dunia barat dan diperkirakan lebih
rendah di Asia. Di Indonesia sendiri dari sebuah survey di internet menggunakan
kuesioner GERD-Q didapatkan kejadian GERD sampai 57,6%. Secara gejala,
didapatkan keluhan rasa panas di dada (hearburn) adalah 6% dan 16% mengeluhkan
regurgitasi. Frekuensi keluhan pada penyakit refluks tidak berubah berdasarkan usia
namun intensitas gejala berkurang pada kelompok usia >50 tahun. Pertambahan usia
juga seiring dengan penambahan prevalensi esofagitis erosif serta esofagus Barrett.
Peluang pada pria dan wanita yaitu dengan rasio laki-laki dan wanita untuk terjadinya
GERD adalah 2:1 sampai 3:1.

Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSUPN Cipto


Mangunkusumo Jakarta didapatkan kasus esofagitis sebanyak 22,8% dari semua
pasien yang menjalani pemeriksaan endoskopi atas indikasi dyspepsia.

Patofisiologi

3
Penyakit GERD bersifat multifactorial.4,5 GERD dapat merupakan gangguan
fungsional (90%) dan gangguan struktural (10%).7 Gangguan fungsional lebih pada
disfungsi LES dan gangguan struktural pada kerusakan mukosa esophagus.7
Esofagitis dapat terjadi sebagai akibat dari GERD apabila terjadi kontak yang cukup
lama dengan bahan yang refluksat dengan mukosa esofagus. Selain itu juga akibat
dari resistensi yang menurun pada jaringan mukosa esofagus walaupun kontak dengan
refluksat tidak terlalu lama.5 Selain itu penurunan tekanan otot sfingter esofagus
bawah oleh karena coklat, obat-obatan, kehamilan dan alkohol juga ditengarai sebagai
penyebab terjadinya refluks.4

Esofagus dan gaster terpisah oleh suatu zona tekanan tinggi yang dihasilkan oleh
kontraksi Sfingter esofagus bawah. Pada orang normal, pemisah ini akan
dipertahankan, kecuali pada saat terjadinya aliran antergrard (menelan) atau retrogard
(muntah atau sendawa).5

Aliran balik gaster ke esofagus hanya terjadi bila terdapat hipotoni atau atoni
sfingter esofagus bawah.4,5 Beberapa keadaan seperti obesitas dan pengosongan
lambung yang terlambat dapat menyebabkan hipotoni pada sfingter esofagus bawah.4
Tonus LES dikatakan rendah bila berada pada < 3 mmHg. 4 Sedangkan pada orang
normal 25-35 mmHg.7

Episode refluks bervariasi tergantung kandungan isinya, volume, lamanya, dan


hubungannya dengan makan. Pada proses terjadinya refluks, sfingter esofagus bawah
dalam keadaan relaksasi atau melemah oleh peningkatan tekanan intraabdominal atau
sebab lainnya sehingga terbentuk rongga diantara esofagus dan lambung. Isi lambung
mengalir atau terdorong kuat ke dalam esofagus. Jika isi lambung mencapai esofagus
bagian proksimal dan sfingter esofagus atas berkontraksi, maka isi lambung tersebut
tetap berada di esofagus dan peristaltik akan mengembalikannya ke dalam lambung.
Jika sfingter esofagus atas relaksasi sebagai respon terhadap distensi esofagus maka
isi lambung akan masuk ke faring, laring, mulut atau nasofaring.4

Refluks yang terjadi pada pasien penderita GERD melalui 3 mekanisme.5

1. Refluks spontan pada saat relaksasi LES yang tidak adekuat,


2. Aliran retrogard yang mendahului kembalinya tonus LES setelah menelan,
3. Meningkatnya tekanan intraabdomen.

4
Dengan begitu dapat diakatakan bahwa patogenesis terjadinya refluks menyangkut
keseimbangan antara faktor defensif dari esofagus dan faktor ofensif dari bahan
refluksat.5

Yang termasuk faktor defensif dari refluks adalah:

Pemisah antirefluks

Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus dari LES. Menurunnya tonus
LES dapat menyebabkan timbulnya refluks retrogard pada saat terjadi peningkatan
tekanan intraabdomen.4

Sebagian besar pasien GERD ternyata memiliki tonus LES yang normal.
Yang dapat menurunkan tonus LES antara lain :3,4

1. Adanya hiatus hernia


2. Panjang LES. Semakin pendek semakin rendah tonusnya.
3. Obat-obatan seperti antikolinergik, beta adrenergik, theofilin, opiat dan
lain-lain.
4. Kehamilan. Karena terjadi peningkatan progesteron yang dapat
menurunkan tonus LES
5. Makanan berlemak dan alkohol.
Dengan berkembangnya teknik pemeriksaan manometri, tampak bahwa
pada kasus GERD dengan tonus normal pada LES lebih banyak disebabkan oleh
terjadinya transient LES relaxation (TLESR), yaitu relaksasi LES yang bersifat
spontan dan berlangsung kurang lebih 5 detik tanpa didahului proses menelan.
Belum jelas diketahui bagaimana mekanisme terjadinya TLESR. Tetapi pada

5
beberapa individu diketahui adanya kaitan dengan keterlambatan pengosongan
lambung dan dilatasi lambung.3,4

Peranan Hiatus hernia pada patogenesis GERD masih kontroversi, karena


banyak pasien GERD yang pada endoskopik didapatkan hiatus hernia tidak
menampakan gejala GERD yang signifikan. Hiatus hernia dapat memperpanjang
waktu yang dibutuhkan untuk bersihan asam dari esofagus serta menurunkan
tonus LES.4

Bersihan asam dari lumen esofagus

Faktor yang berperan pada bersihan asam dari esofagus adalah gravitasi,
peristaltik, eksresi air liur dan bikarbonat. Setelah terjadi refluks, sebagian besar
bahan refluksat akan kembali ke lambung dengan dorongan peristaltik yang
dirangsang oleh proses menelan. Sisanya akan dinetralisir oleh bikarbonat yang
disekresi oleh kelenjar saliva dan kelenjar esofagus4

Mekanisme bersihan asam ini sangat penting sebab, semakin lama waktu
bersihan maka semakin lama kontak mukosa lambung dengan refluksat, dan
makin besar pula kemungkinan terjadinya esofagitis. Pada sebagian pasien GERD
memiliki waktu transit refluksat yang normal, sehingga penyebab terjadinya
refluks adalah peristaltik esofagus yang minimal4

Refluks pada malam hari lebih berpotensi meimbulkan kerusakan pada


esofagus, karena selama tidur sebagian besar mekanisme bersihan esofagus tidak
aktif4

Ketahanan Epitelial Esofagus

Berbeda dengan lambung dan duodenum, esofagus tidak memiliki lapisan


mukus untuk melindungi mukosa esofagus4
6
Mekanisme ketahanan epitelial esofagus terdiri dari4 :

1. Membran sel
2. Intraseluler junction yang membatasi difusi H+ ke jaringan esofagus.
3. Aliran darah esofagus yang menyuplai nutrisi, oksigen dan bikarbonat,
serta mengeluarkan ion H+ dan CO2
4. Sel-sel esofagus mempunyai kemampuan untuk mentransport ion H + dan
Cl- intrasel dengan Na+ dan bikarbonat ekstrasel.
Nikotin dari rokok menyebabkan transport ion Na+ melalui epitel esofagus.
Sedangkan alkohol dan aspirin meningkatkan permeabilitas epitel terhadap ion H.
Yang dimaksud dengan faktor ofensif adalah potensi daya rusak refluksat.
Kandungan lambung yang juga ikut berpengaruh dalam kerusakan mukosa gaster
(menambah daya rusak refluksat) antar lain HCl, pepsin, garam empedu, enzim
pancreas.4

Faktor ofensif dari bahan refluksat bergantung pada bahan yang


dikandungnya. Derajat kerusakan mukosa esofagus makin meningkat pada Ph < 2,
atau adanya pepsin dan garam empedu. Namun efek asam menjadi yang paling
memiliki daya rusak tinggi.4

Faktor lain yang ikut berperan dalam timbulnya gejala GERD adalah
kelainan lambung yang meningkatkan terjadinya refluks fisiologis, antara lain :
dialatasi lambung atau obstruksi gastric outlet dan lambatnya pengosongan
lambung. Sedangkan peranan Helicobacter pylori dalam patogenesis GERD
relatif kecil dan tidak banyak didukung oleh data yang. 4

Lambatnya pengosongan lambung ditengarai juga menjadi penyebab


GERD. Pada kondisi pengosongan lambung yang lambat, maka isi dari
lambungpun juga banyak. Hal ini berakibat meningkatnya tekanan intragaster.
Tekanan intragaster yang meningkat ini akan berlawanan dengan kerja dari SEB.
Pada keadaan ini, biasanya SEB akan kalah oleh tekanan intragaster dan terjadilah
refluks.9

7
Peran Sfingter Atas Esofagus

LES merupakan pertahanan akhir untuk mencegah refluksat masuk ke


larinofaring. Studi menyatakan bahwa tonus LES yang meninggi sebagai reaksi
terhadap refluksat menimbulkan distensi pada esofagus. Relaksasi pada LES
menyebabkan terjadinya pajanan asam ke faring atau laring.10

Patofisiologi Refluks Ekstraesofagus(7)

Dua mekanisme dianggap sebagai penyebab Refluks ekstraesofagus.


Mekanisme tersebut antara lain.

1. Kontak langsung refluksat (asam lambung dan pepsin) ke esofagus


proximal dan LES yang berlanjut dengan kerusakan mukosa faring, laring
dan paru.
2. Pajanan esofagus distal akan merangsang vagal refleks yang
menyebabakan spasme bonkus, batuk, sering meludah dan menyebabkan
inflamasi pada faring dan laring.

Faktor Resiko

Faktor Risiko Beberapa faktor risiko GERD adalah:2

1. Obat-obatan, seperti teofilin, antikolinergik, beta adrenergik, nitrat, calcium-


channel blocker.
2. Gaya hidup dan makanan, seperti cokelat, makanan berlemak, kopi, alkohol,
dan rokok.
3. Hormon, umumnya terjadi pada wanita hamil dan menopause. Pada wanita
hamil, menurunnya tekanan LES terjadi akibat peningkatan kadar progesteron.
Sedangkan pada wanita menopause, menurunnya tekanan LES terjadi akibat
terapi hormon estrogen.

8
4. Struktural, umumnya berkaitan dengan hiatus hernia. Selain hiatus hernia,
panjang LES yang < 3 cm juga memiliki pengaruh terhadap terjadinya GERD.
5. Indeks Massa Tubuh (IMT), semakin tinggi nilai IMT, maka risiko terjadinya
GERD juga semakin tinggi.
6. Peranan infeksi Helicobacter pylori (H. pylori), dalam patogenesis GERD
relatif kecil dan kurang didukung oleh data yang ada. Namun demikian, ada
hubungan terbalik antara infeksi H. pylori dengan strain virulen (Cag A
positif) dengan kejadian esofagitis, esofagus Barrett dan adenokarsinoma
esofagus. H. pylori tidak menyebabkan atau mencegah penyakit refluks dan
eradikasi dari H. pylori tidak meningkatkan risiko terjadinya GERD.1

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik yang harus dilakukan pada pasien-pasien dengan GERD meliputi:
Kepala dan leher
- Suara serak
- Otitis media
- Karies gigi atau kerusakan enamel
- Disfagia
- Odinofagia
Toraks
- Jantung dalam batasan normal
- Paru dapat ditemukan adanya mengi
Abdomen
- Nyeri tekan epigastrik dapat ditemukan ataupun tidak
- Bising usus dapat normal ataupun tidak, terutama bila terdapat komplikasi
Pemeriksaan fisik pada pasien GERD sering kali ditemukan normal, kecuali jika
terjadi komplikasi. Namun demikian, pemeriksaan fisik tetap harus dilakukan untuk
eksklusi diagnosis banding dan kemungkinan adanya kelainan lain.10

9
Pemeriksaan Penunjang

1. Endoskopi saluran cerna bagian atas

Pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas merupakan standar baku


untuk diagnosis GERD dengan ditemukannya mucosal break di esofagus
(esofagitis refluks).

Dengan melakukan pemeriksaan endoskopi dapat dinilai perubahan


makroskopi dari mukosa esofagus, serta dapat menyingkirkan keadaan
patologis lain yang dapat menimbulkan gejala GERD/ jika ditemukan mucosal
break pada pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas pada pasien
dengan gejala khas GERD, keadaan ini disebut sebagai non-erosive reflux
disease (NERD).3

Ada beberapa klasifikasi kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi pasien


GERD, antara lain klasifikasi Los Angeles dan Savary-Miller.

a. Klasifikasi Los Angeles5


Derajat kerusakan Endoskopi
A Erosi kecil pada mukosa esofagus dengan diameter <5
mm
B Erosi pada mukosa/lipatan mukosa dengan diameter
>5mm tanpa saling berhubungan
C Lesi yang konfluen tetapi tidak mengenai atau
mengelilingi seuruh lumen
D Lesi mukosa esofagus yang bersifat sirkumferensial/
mengelilingi seluruh lumen esofagus.

b. Klasifikasi Savary-Miller12

GRADE Deskripsi endoskopi


I Erosi sebagian dari satu lipatan mukosa esofagus
II Erosi sebagian dari beberapa lipatan mukosa esofagus.
Erosi dapat bergabung

10
III Erosi meluas pada sirkumferesnsia esofageal
IV Ulkus, striktura dan pemendekan esofagus
V Barrett’s ephitelium

Ditemukannya kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi yang


dipastikan dengan pemeriksaan histopatologi (biopsi), dapat
mengkonfirmasikan bahwa gejala heartburn atau regurgitas tersebut
disebabkan oleh GERD.

Pemeriksaan histopatologi juga dapat memastikan adanya Barret’s esophagus,


displasie atau keganasan.

2. Esofagografi dengan barium

Dibandingkan dengan endoskopi, pemeriksaan ini kurang peka dan seringkali


tidak menujukan kelainan, terutama pada kasus esofagitis ringan. Pada
keadaan yang lebih berat, gambar radiologi dapat berupa penebalan dinding
dan lipatan mukosa, ulkus atau penyempitan lumen. Walaupun pemeriksaan
ini sangat tidak sensitive untuk diagnosis GERD, namun pada keadaan tertentu
pemeriksaan ini mempunyai nilai lebih dari endoskopi, yaitu pada stenosis
esofagus derajat ringan akibat esofagitis peptic dengan gejala disfagia, dan
hiatus hernia.3

3. Pemantauan pH 24 jam

Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian distal


esofagus. Episode ini dapat dimonitor dan direkam dengan menempatkan
mikroelektroda pH pada bagian distal esofagus. Pengukuran pH pada esofagus
nagian distal dapat memastikan ada tidaknya refluks gastroesofageal. pH di
bawah 4 pada jarak 5 cm di atas LES dianggap diagnostic untuk refluks
gastroesofageal.

4. Tes Bernstein

11
Tes ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selang transnasal dan
melakukan perfusi bagian distal esofagus dengan HCl 0,1 M dalam waktu
kurang dari satu jam. Test ini bersifat pelengkap terhadap monitoring pH 24
jam pada pasien-pasien dengan gejala yang tidak khas. Bila larutan ini
menimbulkan rasa nyeri dada seperti yang biasanya dialami pasien, sedangkan
larutan NaCl tidak menimbulkan rasa nyeri, maka test ini dianggap positif.
Test Bernstein yang negative tidak menyingkirkan adanya nyeri yang berasal
dari esofagus.3

5. Manometri esofagus

Test manometri akan memberi manfaat yang berarti jika pada pasien-pasien
dengan gejala nyeri epigastrium dan regurgitasi yang nyata didapatkan
esofagografi barium dan endoskopi yang normal.

6. Sintigrafi gastroesofageal

Pemeriksaan ini menggunakan cairan atau campuran makanan cair dan padat
yang dilabel dengan radioisotope yang tidak diabsorpsi, biasanya techneticum.
Selanjutnya sebuah penghitung gamma (gamma counter) eksternal akan
memonitor transit dari cairan/makanan yang dilabel tersebut. Sensitivitas dan
spesifisitas test ini masih diragukan.3

7. Tes penghambat pompa proton (proton pum inhibitor/ppi test/(tes


supresi asam)acid suppression test.

Pada dasarnya test ini merupakan terapi empiric untuk menilai gejala dari
GERD dengan memberikan PPI dosis tinggi selama 1-2 minggu sambil
melihat respons yang terjadi. Test ini terutama dilakukan jika tidak tersedia
modalitas diagnostic seperti endoskopi, pH metri dan lain-lain. Test ini
dianggap positif jika terdapat perbaikan dari 50%-75% gejala yang terjadi.
Dewasa ini terapi empiric/PPI test merupakan salah satu langkah yang
dianjurkan dalam algoritme tatalaksana GERD pada pelayanan kesehatan lini
pertama untuk pasien-pasien yang tidak disertai dengan gejala alarm (yang
dimaksud dengan gejala alarm adalah: berat badan turun, anemia,

12
hematemesis/melena, disfagia, odinofagia, riwayat keluarga dengan kanker
esofagus/lambung) dan umur > 40 tahun.3

Manifestasi Klinik
Heart burn merupakan gejala khas dari GERD yang paling sering dikeluhkan oleh
penderita 5,11 Heart burn adalah sensasi nyeri esofagus yang sifatnya panas membakar
atau mengiris dan umumnya timbul dibelakang bawah ujung sternum. Penjalarannya
umunya keatas hingga kerahang bawah dan ke epigastrium, punggung belakang
bahkan kelengan kiri yang menyerupai pada angina pektoris. Timbulnya keluhan ini
akibat ransangan kemoreseptor pada mukosa. Rasa terbakar tersebut disertai dengan
sendawa, mulut terasa masam dan pahit dan merasa cepat kenyang. Keluhan heart
burn dapat diperburuk oleh posisi membungkuk kedepan berbaring terlentang dan
berbaring setelah makan. Keadaan ini dapat ditanggulangi terutama dengan pemberian
antasida.7

Gejala klinis GERD digolongkan menjadi 3 macam, yaitu gejala tipikal, gejala
atipikal, dan gejala alarm.

1. Gejala tipikal (typical symptom)

Adalah gejala yang umum diderita oleh pasien GERD, yaitu: heart burn, belching
(sendawa),. Heartburn, yaitu rasa terbakar di dada disertai nyeri kadang-kadang
bercampur dengan gejala disfagia (kesulitan menelan makanan), dan regurgitasi (rasa
asam pahit dari lambung terasa di lidah)

2. Gejala atipikal (atypical symptom)

Adalah gejala yang terjadi di luar esophagus dan cenderung mirip dengan gejala
penyakit lain. Contohnya separuh dari kelompok pasien yang sakit dada dengan
elektrokardiogram normal ternyata mengidap GERD, dan separuh dari penderita asma
ternyata mengidap GERD. Kadang hanya gejala ini yang muncul sehingga sulit untuk
mendeteksi GERD dari gejala ini. Contoh gejala atipikal: asma nonalergi, batuk
kronis, faringitis, sakit dada, dan erosi gigi.

13
3. Gejala alarm (alarm symptom)

Adalah gejala yang menunjukkan GERD yang berkepanjangan dan kemungkinan


sudah mengalami komplikasi. Pasien yang tidak ditangani dengan baik dapat
mengalami komplikasi. Hal ini disebabkan oleh refluks berulang yang
berkepanjangan. Contoh gejala alarm: sakit berkelanjutan, disfagia (kehilangan
nafsu makan), penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan,tersedak.

Diagnosis

Berdasarkan Guidelines for the Diagnosis and Management of Gastroesophageal


Reflux Disease yang dikeluarkan oleh American College of Gastroenterology tahun
1995 dan revisi tahun 2013, diagnosis GERD dapat ditegakkan berdasarkan:1

1. Empirical Therapy

2. Use of Endoscopy

3. Ambulatory Reflux Monitoring

14
4. Esophageal Manometry (lebih direkomendasikan untuk evaluasi preoperasi untuk
eksklusi kelainan motilitas yang jarang seperti achalasia atau aperistaltik yang
berhubungan dengan suatu kelainan, misalnya scleroderma).

Terapi empirik merupakan upaya diagnostik yang dapat diterapkan di pusat pelayanan
kesehatan primer karena upaya diagnostiknya sederhana dan tidak membutuhkan alat
penunjang diagnostik.

Diagnosis GERD ditegakkan berdasarkan gejala klasik dari hasil anamnesis


dan pengisian kuesioner, serta berdasarkan hasil uji terapi PPI (Proton Pump
Inhibitor). Selain itu, gejala klasik GERD juga dapat dinilai dengan Gastroesophageal
Reflux Disease – Questionnairre (GERD-Q).1 GERD-Q merupakan sebuah kuesioner
yang terdiri dari 6 pertanyaan mengenai gejala klasik GERD, pengaruh GERD pada
kualitas hidup penderita serta efek penggunaan obat-obatan terhadap gejala dalam 7
hari terakhir. Berdasarkan penilaian GERD-Q, jika skor >8 maka pasien tersebut
memiliki kecenderungan yang tinggi menderita GERD, sehingga perlu dievaluasi
lebih lanjut (Tabel 1). Selain untuk menegakkan diagnosis, GERD-Q juga dapat
digunakan untuk memantau respons terapi.1 Upaya diagnostik berdasarkan gejala
klasik GERD ini juga didukung oleh Konsensus Nasional Penatalaksanaan Penyakit
Refluks Gastroesofageal di Indonesia (Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia,
2013). Dalam konsensus ini disebutkan bahwa penderita terduga GERD adalah
penderita dengan gejala klasik GERD yaitu heartburn, regurgitasi, atau keduanya
yang terjadi sesaat setelah makan (terutama makan makanan berlemak dan porsi
besar).1,9

Pemeriksaan tambahan untuk diagnosis GERD adalah uji terapi PPI. Uji
terapi PPI merupakan suatu terapi empirik dengan memberikan PPI dosis ganda
selama 1-2 minggu tanpa pemeriksaan endoskopi sebelumnya. Indikasi uji terapi PPI
adalah penderita dengan gejala klasik GERD tanpa tanda-tanda alarm. Tanda-tanda
alarm meliputi usia >55 tahun, disfagia, odinofasia, anemia defisiensi besi, BB turun,
dan adanya perdarahan (melena/ hematemesis). Apabila gejala membaik selama
penggunaan dan memburuk kembali setelah pengobatan dihentikan, maka diagnosis
GERD dapat ditegakkan.1,9

15
BAB II

Tatalaksana
Pada prinsipnya terapi GERD ini dibagi beberapa tahap, yaitu terapi modifikasi
gaya hidup, terapi medikamentosa dan terapi pembedahan serta akhir-akhir ini mulai
dipekenalkan terapi endoskopik.3,4,5

Target penatalaksanaan GERD ini antara lain, menyembuhkan lesi esofagus,


menghilangkan gejala, mencegah kekambuhan, memperbaiki kualitas hidup, dan
mencegah timbulnya komplikasi.5,6

Terapi Non-Medikamentosa

Modifikasi gaya hidup

Modifikasi gaya hidup merupakan salah satu penatalaksanaan GERD,namun


demikian bukan merupakan pengobatan primer (3). Usaha ini bertujuan untuk
mengurangi refluks serta mencegah kekambuhan.4,5

Hal yang perlu dilakukann dalam modifikasi gaya hidup antara lain3,4,5:

1) Meninggikan posisi kepala pada saat tidur serta menghindari makan sebelum
tidur dengan tujuan untuk meningkatkan bersihan asam selama tidur serta
mencegah refluks asam dari lambung ke esofagus.
2) Berhenti merokok dan mengkonsumsi alcohol karena keduanya dapat
menurunkan tonus LES sehingga secara langsung mempengaruhi sel-sel
epitel.
3) Mengurangi konsumsi lemak serta mengurangi jumlah makanan yang dimakan
karena keduanya dapat menimbulkan distensi lambung.
4) Menurunkan berat badan pada pasien kegemukan serta menghindari pakaian
ketat sehingga dapat mengurangi tekanan intra abdomen.

16
5) Menghindari makanan/minuman seperti coklat, the, peppermint, kopi dan
minuman bersoda karena dpat menstimulasi sekresi asam.
6) Jika memungkinkan menghindari obat-obat yang dapat menurunkan tonus
LES seperti anti kolinergik, teofilin, diazepam, opiate, antagonis kalsium,
agonist beta adrenergic, progesterone.

Modifikasi gaya hidup merupakan penatalaksanaan lini pertama bagi wanita hamil
dengan GERD.6

Terapi Medikamentosa

Terdapat dua alur penatalaksanaan GERD, yaitu step up dan step down. Pada
pendekatan step up pengobatan dimulai dengan obat yang kurang kuat dalam
menekan sekresi asam (antagonis reseptor H2) atau golongan prokinetik. Bila gagal
baru diberikan yang lebih kuat menekan sekresi asam dengan masa terapi lebih lama
yaitu penghambat pompa proton. Sedangkan untuk pendekatan step down diberikan
tatalaksana berupa PPI terlebih dahulu, setelah terjadi perbaikan,baru diberi obat
dengan kerja yang kurang kuat dalam menekan sekresi asam lambung, yaitu antagonis
H2 atau prokinetik atau bahkan antasid.

Dari beberapa studi, dilaporkan bahwa pendekatan step down lebih ekonomis
dibandingkan dengan step up. Menurut Genval statement ((1999) dan konsensus asia
pasifik tahun 2003 tentang tatalaksana GERD, disepakati bahwa terapi dengan PPI
sebagai terapi lini pertama dan digunakan pendekatan step down. 3,4,5

Antasid

Pengobatan ini digunakan untuk gejala ringan GERD sejak tahun 1971, dan masih
dinilai efektif hingga sekarang dan tidak menimbulkan esofagitis 3,4,5. Selain sebagai
penekan asam lambung, obat ini dapat memperkuat tekanan LES.,5,6

Kelemahan obat golongan ini adalah. Rasanya kurang enak. Dapat menimbulkan
diare terutama yang mengandung magnesium serta konstipasi terutama antasid yang
mengandung aluminium, Selain itu penggunaannya sangat terbatas untuk pasien
dengan gangguan fungsi ginjal. Dosis sehari 4x1 sendok makan.

Antagonis Reseptor H2

17
Obat ini dilaporkan berhasil pada 50% kasus GERD. Yang termasuk obat
golongan ini adalah ranitidin, simetidin, famotidin dan nizatidin. Sebagai penekan
sekresi asam, golongan obat ini efektif dalam pengobatan penyakit refluks
gastroesofageal jika diberikan dosis 2 kali lebih tinggi dan dosis untuk terapi ulkus (2,3).
Pengguanaan obat ini dinilai efektif bagi keadaan yang berat, misalnya dengan
barrett’s esophagus.5

Golongan obat ini hanya efektif pada pengobatan esofagitis derajat ringan sampai
sedang serta tanpa komplikasi. Dosis rantidin 4x150 mg.4

Obat prokinetik

Secara teoritis, obat ini dianggap paling sesuai untuk pengobatan GERD
karena penyakit ini dianggap lebih condong kearah gangguan motilitas. Namun
praktiknya, pengobatan GERD sangat bergantung pada penekanan sekresi asam.4 Obat
ini berfungsi untuk memperkuat tonus LES dan mempercepat pengosongan gaster.

1. Metoklopramid4
a. Efektifitasnya rendah dalam mengurangi gejala, serta tidak
berperan dalam penyembuhan lesi di esofagus kecuali
dikombinasikan dengan antagonis reseptor H2 atau PPI.
b. Karena melalui sawar darah otak, maka dapat tumbuh efek
terhadap saraf pusat berupa mengantuk, pusing, agitasi, tremor, dan
diskinesia
c. Dosis 3x 10 mg sebelum makan dan sebelum tidur.3
2. Domperidon4
a. Obat ini antagonis reseptor dopamin (sama dengan metoklopramid)
hanya saja obat ini tidak melewati sawar darah otak, sehingga efek
sampingnya lebih jarang.
b. Walaupun efektifitasnya belum banyak dilaporkan, namun obat ini
diketahui dapat menigkatkan tonus LES dan percepat pengosongan
lambung.
c. Dosis 3x10-20 mg sehari
3. Cisapride4
a. Obat ini merupakan suatu antagonis reseptor 5HT4, obat ini dapat
memperkuat tonus LES dan mempercepat pengosongan lambung.

18
b. Efektivitasnya dalam menghilangkan gejala serta penyembuhan
lesi lebih bagus dari domperidon.
c. Dosis 3x10 mg
Sukralfat (Aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat)

Obat ini tidak memiliki efek langsung terhadapa asam lambung, melainkan
berefek pada meningkatkan pertahanan mukosa esofagus, sebagai buffer terhadap HCl
di esofagus serta dapat mengikat pepsin dan garam empedu. Golongan obat ini cukup
aman karena bersifat topikal. Dosis 4x1 gram.4,5

Penghambat Pompa Proton (Proton pump inhibitor/PPI)

Merupakan obat terkuat dalam penatalaksanaan GERD, sehingga dijadikan drug


of choice(3,4,5). Golongan ini bekerja langsung pada pompa proton sel parietal dengan
memperngaruhi enzim H, K ATP –ase yang dianggap sebagai tahap akhir proses
pembentukan asam lambung. Pengobatan ini sangat efektif dalam menghilangkan
keluhan serta penyembuhan lesi esofagus, bahkan pada esofagitis erosiva derajat berat
yang refrakter dengan antagonis reseptor H2.

Dosis untuk GERD adalah dosis penuh, yaitu :

Umumnya pengobatan diberikan selama 6-8 minggu (terapi inisial) berikutnya


dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan selama 4 bulan , tergantung esofagitisnya.
Efektivitas obat ini semakin bertambah jika dikombinasi golongan prokinetik.

Algoritma talalaksana GERD pada pelayanan kesehatan lini pertama.

19
Algoritma tatalaksana GERD pada pusat pelayanan yang memiliki fasilitas diagnostik
memadai.

Terapi Endoskopik

Komplikasi GERD seperti Barret’s esophagus, striktur, stenosis ataupun perdarahan,


dapat dilakukan terapi endoskopik berupa Argon plasma coagulation, ligasi,
Endoscopic Mucosal Resection, bouginasi, hemostasis atau dilatasi.

Terapi endoskopi untuk GERD masih terus berkembang dan sampai saat ini masih
dalam konteks penelitian. Terapi endoskopi yang telah dikembangkan adalah:

20
 Radiofrequency energy delivery
 Endoscopic suturing

Namun demikian sampai saat ini masih belum ada laporan mengenai terapi endoskopi
untuk GERD di Indonesia.

Terapi Bedah

Penatalaksanaan bedah mencakup tindakan pembedahan antirefluks


(fundoplikasi Nissen, perbaikan hiatus hernia, dll) dan pembedahan untuk mengatasi
komplikasi. Pembedahan antirefluks (fundoplikasi Nissen) dapat disarankan untuk
pasien-pasien yang intoleran terhadap terapi pemeliharaan, atau dengan gejala
mengganggu yang menetap (GERD refrakter). Studi-studi yang ada menunjukkan
bahwa, apabila dilakukan dengan baik, efektivitas pembedahan antirefluks ini setara
dengan terapi medikamentosa, namun memiliki efek samping disfagia, kembung,
kesulitan bersendawa dan gangguan usus pasca pembedahan.1

Fundoplikasi Nissen

Fundoplikasi Nissen adalah suatu tindakan bedah untuk tatalaksana penyakit GERD
bila tatalaksana Modifikasi gaya hidup dan medikamentosa tidak berhasil. Pada
Hiatus hernia, Fundoplikasi Nissen justru menjadi terapi lini pertama. Teknik operasi
ini dilakukan dengan laparoskopi. Tujuan dari teknik ini adalah memperkuat esofagus
bagian bawah untuk mencegah terjadinya refluks dengan cara membungkus bagian
bawah esofagus dengan bagian lambung atas.12

Indikasi Fundoplikasi

1. Kasus resisten dan kasus refluks esofagitis dengan komplikasi yang tidak
sepenuhnya responsif terhadap terapi medis atau pada pasien dengan terapi
medis jangka panjang yang tidak menguntungkan.
2. Pasien dengan gejala yang tidak sepenuhnya tekontrol oleh terapi PPI, Pada
pasien ini dipertimbangkan untuk dilakukan pembedahan. Pada pasien dengan
penyakit yang tekontrol dengan baik juga dapat dilakukan pertimbangan
pembedahan.
3. Terjadinya esofagus barrret adalah indikasi untuk pembedahan. Asam
lambung meningkatkan terjadinya barrett esofagus berkembang kearah
keganasan, tetapi kebanyakan ahli menyarankan tindakan mensupresi asam

21
lambung secara lengkap untuk pencegahan pada pasien yang terbukti secara
histologis menderita esofagus barret.

BAB III

Komplikasi

Dengan penanganan yang tidak adekuat, beberapa komplikasi dapat terjadi


pada GERD. Komplikasi ya ng kerap terjadi pada GERD antara lain Esofagitis,
Striktura esofagus dan esofagus Barret7,9.

1. Esofagitis
Merupakan peradangan pada mukosa esofagus, ini terdapat pada lebih dari 50%
pasien GERD. Dapat menyebabkan ulkus pada daerah perbatasan antara lambung dan
esophagus.9

2. Striktura Esofagus
Suatu penyempitan lumen oleh karena inflamasi yang timbul akibat refluks. 9 Hal ini
ditimbulkan karena terbentuk jaringan parut pada gastroesophageal junction. Striktur
timbul pada 10-15% pasien esofagitis yang bermanifestasi sulit menelan atau disfagia
pada makanan padat. Seringkali keluhan heartburn berkurang oleh karena striktura
berperan sebagai barier refluks. Biasanya striktur terjadi dengan diameter kurang dari
13 mm. Komplikasi ini dapat diatasi dengan dilakukan dilatasi bougie, bila gagal
dapat dilakukan operasi.7

3. Barrett’s Esophagus
Pada keadaan ini terjadi perubahan dimana epitel skuamosa berganti menjadi epitel
kolumnar metaplastik.9 Keadaan ini merupakan prekursor Adenokarsinoma

22
esophagus.11 Esofagus Barrett ini terjadi pada 10% pasien GERD dan adenokarsinoma
timbul pada 10% pasien dengan esofagus Barrett.

Gejala dari kelainan ini adalah gejala dari GERD yaitu heartburn dan regurgutasi.
Pada 1/3 kasus, gejala GERD tidak tampak atau minimal, hal ini diduga karena
sensitivitas epitel Barrett terhadap asam yang menurun.

Pada endoskopi kelainan ini dapat dikenaldengan mudah dengan tampaknya segmen
yang panjang dari epitel kolumnar yang berwarna kemerahan meluas ke proksimal
melampaui “gastroesophageal junction” dan tampak kontras sekali dengan epitel
skuamosa yang pucat dan mengkilat dari esofagus. Penyakit ini dapat ditatalaksana
dengan medikamentosa.7

Prognosis

Sebagian besar pasien dengan GERD akan membaik dengan pengobatan,


walaupun relaps mungkin akan muncul setelah terapi dan memerlukan terapi medis
yang lebih lama.

Apabila kasus GERD ini disertai komplikasi (seperti striktur, aspirasi,


penyakit saluran nafas, Barrett esophagus), biasanya memerlukan terapi pembedahan.
Prognosis untuk pembedahan biasanya baik. Meskipun begitu, mortaliti dan morbiditi
adalah tinggi pada pasien pembedahan dengan masalah medis yang kompleks.

BAB IV

Pencegahan

Memperbaiki gaya hidup sangat berperan dalam mencegah terjadinya GERD dan
bahkan dapat memperbaiki kondisi lambung secara tidak langsung.

 Hindari makanan yang tinggi lemak


 Hindari berbaring setelah makan
 Usahakan memberikan interval antara tidur dan jam makan
 Tinggikan kepala 30-45 derajat saat berbaring
 Makan dalam porsi kecil tapi sering
 Asupan tinggi serat

23
 Hindari pakaian yang ketat karena dpata meningkatkan tekanan intraabdomen
 Menurunkan berat badan

24
BAB V

Penutup

Kesimpulan

Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) merupakan suatu keadaan dimana


terjadi gerakan retrogard atau naiknya isi lambung sampai pada esofagus secara
patologis. Keadaan berakibat kandungan lambung yang asam dapat mengiritasi
mukosa esofagus. Manifestasi klinis dari GERD adalah rasa nyeri dada retrosternal
atau rasa panas (heartburn) di dada, regurgutasi, disfagia, mual bahkan sampai suara
serak karena mengiritasi laring, menyebabkan laringitis. Penatalaksanaan pada kasus
GERD ini terdapat beberapa jenis yang dilakukan bertahap yaitu modifikasi gaya
hidup, medikamentosa dan terapi bedah. Pada sebagian besar kasus GERD pasien
sembuh dengan terapi medikamentosa.

25
Daftar Pustaka

1. Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia. Revisi konsensus nasional penatalaksanaan


penyakit refluks gastroesofageal (gastroesophageal reflux disease/ GERD) di Indonesia.
Jakarta: Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia; 2013.
2. Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. EGC. : Jakarta
3. Makmun D. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid 1. 5th ed. Jakarta: Interna Publishing;
2009;482-484.
4. Susanto A, Sawitri N, Wiyono W, Yunus F, Prasetyo S. Gambaran klinis dan endoskopi
penyakit refluks gastroesofagus (PRGE) pada pasien asma persisten sedang di RS
Persahabatan, Jakarta. Jurnal Respirologi. 2005
5. Asroel H. Penyakit Refluks Gastroesofagus. Cited March 8 2016. Available :
http://library.usu.ac.id/download/fk/tht-hary.pdf
6. Patti, Marco G. 2010. Gastroesophageal reflux disease: From pathophysiology to
treatment. World J Gastroenterol 2010 August 14; 16(30): 3745-3749.
7. Ndraha, Suzanna. 2014. Penyakit Refluks Gastroesofageal. Vol. 27, No. 1 April 2014
8. Sudoyo AW, Setiyohadi Bambang, Alwi Idrus, Simadibrata M, Setiati S, editor, Buku
ajar ilmu penyakit dalam, Jilid I, ed. IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Universitas Indonesia. h. 1803;2007
9. Lelosutan HSAR, editor, Kapita Selekta Gastroentero-Hepatologi Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta : JC Institute h.1-7, 2009
10. PGI. Konsensus Nasional Penatalaksanaan Penyakit Refluks Gastroesofageal
(Gastroesofageal Reflux Disease/GERD) Indonesia. 2016.
11. Iskandar N, Soepadrdi E, Bashiruddin J, Restuti R. Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga
Hidung Tenggorokan Kepala Leher. Edisi keenam. Jakarta: Balai penerbit FKUI. 2007
12. Syam AF, Aulia C, Renaldi K, Simadibrata M, Abdullah M, Tedjasaputra.2013. Revisi
konsensus nasional penatalaksanaan penyakit refluks gastroesofageal (Gastro-esophageal
Reflux Disease/ GERD) di Indonesia 2013. Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia.
13. Gastroesophageal reflux disease : Savary – Miller classification. Cited March 7 2016.
Available : http://www.gastrolab.net/pa-113.htm

26

Anda mungkin juga menyukai