Disusun Oleh:
Elisa Novianti
030.11.085
PEMBIMBING
dr. SYAIFUN NIAM, Sp. PD
LEMBAR PENGESAHAN
Telah diterima dan disahkan, referat ILMU KESEHATAN PENYAKIT DALAM yang
berjudul
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN........................................................................................ii
DAFTAR ISI...............................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN............................................................................................2
2.1.
2.2.
2.3.
2.4.
2.5.
2.6.
2.7.
2.8.
2.9.
Definisi.........................................................................................................2
Epidemiologi................................................................................................2
Etiologi.........................................................................................................2
Anatomi dan Fisiologi .........................................................3
Patosiologi....................................................................................................7
Tipe-tipe ............................................................................................9
Manifestasi Klinis.......................................................................................11
Diagnosis.....................................................................................................12
Diagnosis Banding......................................................................................16
2.10. Tatalaksana.................................................................................................17
2.11. Prognosis....................................................................................................22
BAB III KESIMPULAN..........................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................
BAB I
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) atau penyakit refluks esophagus
(PGRE) merupakan suatu keadaan dimana terjadinya refluks isi lambung ke dalam
esofagus dengan akibat menimbulkan gejala klinik, Refluks dapat terjadi dalam
keadaan normal yang biasanya berhubungan dengan kondisi tertentu, seperti posisi
berbaring setelah makan, pada saat muntah. Bila terjadi refluks, esofagus akan segera
berkontraksi untuk membersihkan lumen dari refluksat tersebut sehingga tidak terjadi
suatu kontak yang lama antara refluksat dan mukosa esofagus.1,2
Penyakit ini frekuensinya cukup tinggi di negara maju. Di Indonesia sendiri
kasus GERD ini belum ada data epidemiologinya, namun kasus Penyakit ini
seringkali tidak terdiagnosis sebelum menimbulkan keluhan yang berat. 3,4
Penyebab GERD pada populasi ras kulit putih lebih tinggi dibanding dengan
ras yang lainnya dan dari segi geografis dijumpai bervariasi antar negara dan benua,
di benua Afrika dan Asia prevalensinya sangat rendah sedangkan di Amerika utara
dan Eropa rasionya tinggi. Peluang pada pria dan wanita yaitu dengan rasio laki-laki
dan wanita untuk terjadinya GERD adalah 2:1 sampai 3:15,6
Di Amerika serikat, dijumpai simptom heart burn pada individu dewasa muda
terjadi 14% setiap minggunya, sedangkan di Jepang dan Philipina adalah 7,2% dan
7,1%. Di negara barat sekitar 20-40% setiap individu pernah mengalami simptom
heart burn yang berkembang menjadi: esofagitis 25-25%, 12% jadi Barrets esofagus
dan 46% adenokarsinoma. Sedangkan laporan kekerapan di Indonesia sampai saat ini
masih rendah, hal ini diduga karena kurangnya perhatian kita terhadap penyakit ini
pada tahap awal proses diagnosis.5,6
BAB II
2.1.
Definisi
Penyakit refluks gastroesofageal (Gastroesofageal refluks disease / GERD )
adalah suatu keadaan patologis sebagai akibat refluks kandungan lambung ke
dalam esofagus, dengan berbagai gejala yang timbul akibat keterlibatan esofagus,
faring, laring dan saluran nafas.4,7
Refluks gastroesofageal adalah fenomena biasa yang dapat timbul pada
setiap orang sewaktu-waktu, pada orang normal refluks ini terjadi pada posisi
tegak sewaktu habis makan, karena sikap posisi tegak tadi dibantu oleh adanya
kontraksi peristaltik primer, isi lambung yang mengalir ke esofagus segera
kembali ke lambung, refluks sejenak ini tidak merusak mukosa esofagus dan tidak
menimbulkan keluhan. Keadaan ini dikatakan patologis bila refluks terjadi
berulang-ulang dan dalam waktu yang lama. 8
2.2.
Epidemiologi
Penyakit ini umumnya ditemukan pada populasi negaranegara barat,
namun dilaporkan relatif rendah insidennya di negara Asia - Afrika. Di amerika di
laporkan satu dari lima orang dewasa mengalami gejala heartburn atau
regurgutasi sekali dalam seminggu serta lebih dari 40 % mengalaminya sekali
dalam sebulan. Prevalensi esofagitis di amerika sekitar 7%, sementara negara
non-western prevalensinya lebih rendah (1,5% di China dan 2,7% di Korea).
Sementara di Indonesia belum ada data epidemiologinya mengenai penyakit ini,
namun di Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUIRSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta didapatkan kasus esofagitis sebanyak
22,8% dari semua pasien yang menjalani pemeriksaan endoskopi atas indikasi
dyspepsia.4
GERD dapat diderita oleh laki-laki dan perempuan. Rasio laki-laki dan
wanita untuk terjadinya GERD adalah 2:1 sampai 3:1 (4). GERD pada negara
berkembang sangat dipengaruhi oleh usia, usia dewasa antara 60-70 tahun
merupakan usia yang seringkali mengalami GERD. 4,9
2.3.
b. Esophagus
Esofagus atau kerongkongan adalah tabung (tube) berotot pada
vertebrata yang dilalui sewaktu makanan mengalir dari bagian mulut ke dalam
lambung. Makanan berjalan melalui esofagus dengan menggunakan proses
peristaltik.
Esofagus bertemu dengan faring yang menghubungkan esofagus
dengan rongga mulut pada ruas ke-6 tulang belakang. Menurut histologi,
esofagus dibagi menjadi tiga bagian: bagian superior (sebagian besar adalah
otot rangka), bagian tengah (campuran otot rangka dan otot halus), serta
bagian inferior (terutama terdiri dari otot halus).
Esofagus merupakan suatu organ berongga dengan panajang sekitar 25
cm dan diameter 2 cm. Terbentang dari hipofaring atao laringofaring hingga
bagian kardia dari lambung. Esofagus terletak posterior dari trakea dan
jantung,
anterior
terhadap
vertebrae.
Esofagus
terutama
befungsi
c. Menelan
Terdapat tiga fase dalam menelan yaitu fase oral, fase faringeal, dan
fase esofageal. Pada fase oral, bolus makanan dari mulut menuju ke faring.
Gerakan disini disengaja atau volunter. Fase faringeal yaitu pada waktu
transport bolus makanan melalui faring. Gerakan disini tidak disengaja, yaitu
pada waktu bolus makanan bergerak secara peristaltik di esofagus menuju
lambung atau fase esofageal.
Fase Oral
Fase oral terjadi secara sadar. Makanan yang telah dikunyah dan
bercampur dengan yang telah dikunyah membentuk bolus makanan. Bolus ini
bergerak dari rongga mulut melalui dorsum lidah, terletak di tengah lidah
akibat kontraksi otot intrinsik lidah.7
Kontraksi dari m.levator veli palatini mengakibatkan rongga pada
lekukan dorsum lidah diperluas, palatum mole terangkat dan bagian atas
dinding posterior faring ternagkat pula. Bolus terdorong ke posterior karena
lidah terangkat keatas. Berasamaan dengan ini terjadi penutupannasofaring
sebagai akibat dari kontraksi m.levator veli palatini. Selanjutnya terjadi
kontraksi m.palatofaring, sehingga bolus makanan tidak akan berbalik ke
rongga mulut.
Fase Faringeal
Fase ini terjadi secara refleks pada akhir fase oral, yaitu perpidahan
Fase Esofageal
Dalam keadaan istirahat introitus esofagus tertutup, namun dengan
adanya rangsangan bolus makanan pada akhir fase faringeal, maka terjadi
relaksasi m.krikofaring, sehingga introitus esofagus terbuka dan bolus
makanan bisa masuk.7
Setelah bolus lewat, maka SEA akan berkontraksi lebih kuat melebihi
tonus introitus esofagus saat istirtahat, sehingga makanan tidak akan kembali
ke faring. Dengan demikian refluks dapat dihindari.7
2.4.
Etiologi
Refluks gastroesofageal terjadi sebagai konsekuensi berbagai kelainan
fisiologi dan anatomi yang berperan dalam mekanisme antirefluks di lambung dan
esofagus. Mekanisme patofisiologis meliputi relaksasi transien dan tonus Lower
Esophageal Sphincter (LES) yang menurun, gangguan clearance esofagus,
resistensi mukosa yang menurun dan jenis reluksat dari lambung dan duodenum,
baik asam lambung maupun bahan-bahan agresif lain seperti pepsin, tripsin, dan
cairan empedu serta faktor-faktor pengosongan lambung. Asam lambung
merupakan salah satu faktor utama etiologi penyakit refluks esofageal, kontak
asam lambung yang lama dapat mengakibatkan kematian sel, nekrosis, dan
kerusakan mukosa pada pasien GERD.
Ada 4 faktor penting yang memegang peran untuk terjadinya GERD 5:
1. Rintangan Anti-refluks (Anti Refluks Barrier)
Kontraksi tonus Lower Esofageal Sphincter (LES) memegang peranan
penting untuk mencegah terjadinya GERD, tekanan LES < 6 mmHg hampir
selalu disertai GERD yang cukup berarti, namun refluks bisa saja terjadi pada
tekanan LES yang normal, ini dinamakan inappropriate atau transient
sphincter relaxation, yaitu pengendoran sfingter yang terjadi di luar proses
menelan. Akhir-akhir ini dikemukakan bahwa radang kardia oleh infeksi
kuman Helicobacter pylori mempengaruhi faal LES denagn akibat
memperberat
keadaan.Faktor
hormonal,
makanan
berlemak,
juga
pengosongan
lambung
yang
lamban
akan
menambah
Patofisiologi
Penyakit GERD bersifat multifactorial.3,4 GERD dapat merupakan gangguan
fungsional (90%) dan gangguan struktural (10%).7 Gangguan fungsional lebih
pada disfungsi SEB dan gangguan struktural pada kerusakan mukosa esophagus. 7
Esofagitis dapat terjadi sebagai akibat dari GERD apabila terjadi kontak yang
cukup lama dengan bahan yang refluksat dengan mukosa esofagus. Selain itu juga
akibat dari resistensi yang menurun pada jaringan mukosa esofagus walaupun
kontak dengan refluksat tidak terlalu lama.4 Selain itu penurunan tekanan otot
sfingter esofagus bawah oleh karena coklat, obat-obatan, kehamilan dan alkohol
juga ditengarai sebagai penyebab terjadinya refluks.3
Esofagus dan gaster terpisah oleh suatu zona tekanan tinggi yang dihasilkan
oleh kontraksi Sfingter esofagus bawah. Pada orang normal, pemisah ini akan
dipertahankan, kecuali pada saat terjadinya aliran antergrard (menelan) atau
retrogard (muntah atau sendawa).4
Aliran balik gaster ke esofagus hanya terjadi bila terdapat hipotoni atau atoni
sfingter esofagus bawah.3,4 Beberapa keadaan seperti obesitas dan pengosongan
lambung yang terlambat dapat menyebabkan hipotoni pada sfingter esofagus
bawah.3 Tonus SEB dikatakan rendah bila berada pada < 3 mmHg. 4 Sedangkan
pada orang normal 25-35 mmHg.7
Episode refluks bervariasi tergantung kandungan isinya, volume, lamanya, dan
hubungannya dengan makan. Pada proses terjadinya refluks, sfingter esofagus
bawah dalam keadaan relaksasi atau melemah oleh peningkatan tekanan
intraabdominal atau sebab lainnya sehingga terbentuk rongga diantara esofagus
dan lambung. Isi lambung mengalir atau terdorong kuat ke dalam esofagus. Jika
isi lambung mencapai esofagus bagian proksimal dan sfingter esofagus atas
berkontraksi, maka isi lambung tersebut tetap berada di esofagus dan peristaltik
akan mengembalikannya ke dalam lambung. Jika sfingter esofagus atas relaksasi
sebagai respon terhadap distensi esofagus maka isi lambung akan masuk ke faring,
laring, mulut atau nasofaring.3
Refluks yang terjadi pada pasien penderita GERD melalui 3 mekanisme.4
1. Refluks spontan pada saat relaksasi SEB yang tidak adekuat,
Pemisah antirefluks.
Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus dari SEB. Meurunnya
tonus SEB dapat menyebabkan timbulnya refluks retrogard pada saat terjadi
peningkatan tekanan intraabdomen.4
Sebagian besar pasien GERD ternyata memiliki tonus SEB yang normal.
Yang dapat menurunkan tonus SEB antara lain :3,4
1. Adanya hiatus hernia
2. Panjang SEB. Semakin pendek semakin rendah tonusnya.
3. Obat-obatan seperti antikolinergik, beta adrenergik, theofilin, opiat dan
lain-lain.
4. Kehamilan.
Karena
terjadi
peningkatan
progesteron
yang
dapat
distal
akan
merangsang
vagal
refleks
yang
Manifestasi Klinik
Heart burn merupakan gejala khas dari GERD yang paling sering
dikeluhkan oleh penderita
5,11
sifatnya panas membakar atau mengiris dan umumnya timbul dibelakang bawah
ujung sternum. Penjalarannya umunya keatas hingga kerahang bawah dan ke
epigastrium, punggung belakang bahkan kelengan kiri yang menyerupai pada
angina pektoris. Timbulnya keluhan ini akibat ransangan kemoreseptor pada
mukosa. Rasa terbakar tersebut disertai dengan sendawa, mulut terasa masam dan
pahit dan merasa cepat kenyang. Keluhan heart burn dapat diperburuk oleh posisi
membungkuk kedepan berbaring terlentang dan berbaring setelah makan.
Keadaan ini dapat ditanggulangi terutama dengan pemberian antasida.7
Refluks yang sangat kuat dapat memunculkan regurgitasi yang berupa bahan yang
terkandung dari esofagus dan lambung yang sampai kerongga mulut. Bahan
regurgitasi yang terasa asam atau sengit dimulut merupakan gambaran sudah
terjadinya GERD yang berat dan dihubungkan dengan inkompetensi sfingter
bagian atas dan LES. Regurgitasi dapat mengakibatkan aspirasi laringeal, batuk
yang terus-menerus, keadaan tercekik waktu bangun dari tidur dan aspirasi
pneumoni. Peningkatan tekanan intraabdomal yang timbul karena posisi
membungkuk, cekukan dan bergerak cepat dapat memprovokasi terjadinya
regurgitasi.7
Regurgitasi yang berat dapat dihubungkan dengan gejala-gejala berupa serangan
tercekik, batuk kering, mengi, suara serak,mulut rasa bauk pada pagi hari, sesak
nafas, karies gigi dan aspirasi hidung. Beberapa pasien mengeluh sering terbangun
dari tidur karena rasa tercekik, batuk yang kuat tapi jarang menghasilkan sputum.6
Disfagia (kesulitan dalam menelan) yaitu suatu gangguan transport aktip
bahan yang dimakan, merupakan keluhan utama yang dijumpai pada penyakit
faring dan esofagus. Disfagia dapat terjadi pada gangguan non esofagus yang
merupakan akibat dari penyakit otot dan neurologis. Disfagia esofagus mungkin
dapat bersifat obstruktif atau motorik. Obstruksi disebabkan oleh striktur
esofagus, tumor intrinsik atau ekstrinsik esofagus yang mengakibatkan
penyempitan lumen. Penyebab gangguan motorik pada disfagia berupa gangguan
motilitas dari esofagus atau akibat disfungsi sfingter bagian atas dan bawah.
Gangguan motorik yang sering menimbulkan disfagia adalah akalasia,
skleroderma dan spasme esofagus yang difus.5,6
GERD juga dapat berakibat manifestasi klinis non esofagus yang atipik
seperti laringitis, suara serak, batuk karena aspirasi sampai timbul asma 3.
Manifestasi non esofagus pada GERD dapat disimpulkan antara lain gangguan
pada Paru (Astma, pneumonia aspirasi), Suara (Laringitis), Telinga (Otitis media),
Gigi (Enamel decay).6 Di lain pihak, penyakit paru juga dapat memicu timbulnya
GERD oleh karena penatalaksanaan berupa obat yang dapat menurunkan tonus
SEB. Misalnya theofilin.
2.7.
Diagnosis
Disamping anamnesis dan pemeriksaan fisik yang seksama, beberapa
pemeriksaan penunjang lainnya dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis
GERD, yaitu :
Endoskopi saluran cerna bagian atas
Pemeriksaan ini merupakan standar baku untuk diagnosis GERD dengan
ditemukannya mucosal break di esofagus (esofagitis refluks).
Dengan endoskopik dapat dinilai perubahan makroskopik dari mukosa
esofagus, serta dapat menyingkirkan keadaan patologis lain yang dapat
menimbulkan gejala GERD. Jika tidak ditemukan muscosal break pada pasien
GERD dengan gejala yang khas, keadaan ini disebut non erosive reflux disease
(NERD).7
Ditemukannya kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi yang
dipastikan dengan pemeriksaan histopatologi, dapat mengonfirmasi bahwa gejala
heartburn atau regurgutasi memang karena GERD.
Pemeriksaan histopatologi juga dapat memastikan adanya Barretts
esophagus, displasia atau keganasan. Tidak ada bukti yang mendukung perlunya
pemeriksaan histopatologi/biopsi pada NERD.4
Endoskopi
Erosi kecil pada mukosa esofagus dengan diameter <5
mm
Erosi pada mukosa/lipatan mukosa dengan diameter
b. Klasifikasi Savary-Miller12
GRADE
I
II
III
IV
V
Deskripsi endoskopi
Erosi sebagian dari satu lipatan mukosa esofagus
Erosi sebagian dari beberapa lipatan mukosa esofagus.
Erosi dapat bergabung
Erosi meluas pada sirkumferesnsia esofageal
Ulkus, striktura dan pemendekan esofagus
Barretts ephitelium
Tes Bernstein
Tes ini ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selang transnasal
dan melakukan perfusi bagian distal esofagus dengan HCl 0,1 M dalam waktu
kurang dari satu jam. Tes ini bersifat pelengkap dari pemantauan ph 24 jam pada
pasien dengan gejala yang tidka khas. Tes ini dianggap positif bila larutan ini
menimbulkan rasa nyeri dada pada pasien, sedangkan larutan NaCl tidak
menimbulkan nyeri. Hasil negatif tidak menutup kemungkinan adanya gangguan
pada esofagus4.
Pemeriksaan manometri
Tes ini akan memberi manfaat yang berarti jika pada pasien dengan gejala
nyeri epigastrium dan regurgitasi yang nyata didapatkan esofagografi barium dan
endoskopi yang normal.3,4
Scintigrafi Gastroesofageal
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai pengosongan esofagus dengan
menggunakan cairan atau makanan yang dilabel dengan radioisotop (biasanya
technetium) dan bersifat non invasif. Selanjutnya sebuah penghitung gamma
eksternal akan memonitor transit dari cairan atau makanan yang dilabel tersebut.
Sensitivitas dan spesifisitas tes ini masih diragukan.3,4
Tes supresi asam
Pada dasarnya tes ini merupakan terapi empiris untuk menilai gejala dari
GERD. Dengan memberikan PPI dosis tinggi selama 1-2 minggu sambil melihat
respon yang terjadi. Tes ini terutama dilakukan jika modalitas lainya seperti
endoskopi dan ph metri tidak tersedia. Tes ini dianggap positif jika terdapat
perbaikan dari 50&-75% gejala yang terjadi. Dewasa ini tes ini merupakan salah
satu langkah yang dianjurkan dalam algoritme tatalaksana GERD Pada pelayanan
kesehatan lini pertama pada pasien yang tidak memiliki alarm symptom (BB
turun, anemia, hematemesis, melena, disfagia, odinofagia, riwayat keluarga
dengan keganasan esofagus atau lambung dan umur diatas 40 tahun.4
Komplikasi
Dengan penanganan yang tidak adekuat, beberapa komplikasi dapat terjadi
pada GERD. Komplikasi yang kerap terjadi pada GERD antara lain Esofagitis,
Striktura esofagus dan esofagus Barret7,9.
Esofagitis
Merupakan peradangan pada mukosa esofagus, ini terdapat pada lebih dari
50% pasien GERD. Dapat menyebabkan ulkus pada daerah perbatasan antara
lambung dan esophagus.9
Striktura Esofagus
Suatu penyempitan lumen oleh karena inflamasi yang timbul akibat
refluks.9 Hal ini ditimbulkan karena terbentuk jaringan parut pada
gastroesophageal junction. Striktur timbul pada 10-15% pasien esofagitis yang
bermanifestasi sulit menelan atau disfagia pada makanan padat. Seringkali
keluhan heartburn berkurang oleh karena striktura berperan sebagai barier
refluks. Biasanya striktur terjadi dengan diameter kurang dari 13 mm.
Komplikasi ini dapat diatasi dengan dilakukan dilatasi bougie, bila gagal dapat
dilakukan operasi.7
Barretts Esophagus
Pada keadaan ini terjadi perubahan dimana epitel skuamosa berganti
menjadi epitel kolumnar metaplastik.9 Keadaan ini merupakan prekursor
Adenokarsinoma esophagus.11 Esofagus Barrett ini terjadi pada 10% pasien
GERD dan adenokarsinoma timbul pada 10% pasien dengan esofagus Barrett.
Gejala dari kelainan ini adalah gejala dari GERD yaitu heartburn dan
regurgutasi. Pada 1/3 kasus, gejala GERD tidak tampak atau minimal, hal ini
diduga karena sensitivitas epitel Barrett terhadap asam yang menurun.
Pada endoskopi kelainan ini dapat dikenaldengan mudah dengan
tampaknya segmen yang panjang dari epitel kolumnar yang berwarna
2.9.
Tatalaksana
Pada prinsipnya terapi GERD ini dibagi beberapa tahap, yaitu terapi
modifikasi gaya hidup, terapi medikamentosa dan terapi pembedahan serta akhirakhir ini mulai dipekenalkan terapi endoskopik.3,4,5
Target penatalaksanaan GERD ini antara lain, menyembuhkan lesi esofagus,
menghilangkan gejala, mencegah kekambuhan, memperbaiki kualitas hidup, dan
mencegah timbulnya komplikasi.4,5.
Modifikasi gaya hidup
Modifikasi gaya hidup merupakan salah satu penatalaksanaan GERD,namun
demikian bukan merupakan pengobatan primer(3). Usaha ini bertujuan untuk
mengurangi refluks serta mencegah kekambuhan.4,5
Hal yang perlu dilakukann dalam modifikasi gaya hidup antara lain3,4,5:
1. Meninggikan posisi kepala pada saat tidur dan menghindari makan
sebelum tidur, dengan tujuan meningkatkan bersihan asam lambung
selama tidur serta mencegah refluks asam lambung ke esofagus.
2. Berhenti merokok dan mengonsumsi alkohol karena berpengaruh pada
tonus SEB.
3. Mengurangi konsumsi lemak dan mengurangi jumlah makanan yang di
makan karena dapat menimbulkan distensi lambung.
4. Menurunkan berat badan dan menghindari memakai pakaian ketat untuk
mengurangi tekanan intrabdomen.
5. Menghindari makanan dan minuman seperti coklat, tehm kopi dan
minuman soda karena dapat merangsang aam lambung.
6. Jika memugkinkan, hindari pemakaian obat yang dapat meningkatkan
menurunkan tonus SEB, antara lain antikolinergik, tefilin, diazepam,
antagonis kalsium, progesteron.
Modifikasi gaya hidup merupakan penatalaksanaan lini pertama bagi wanita
hamil dengan GERD.5
Terapi Medikamentosa
Terdapat dua alur penatalaksanaan GERD, yaitu step up dan step down.
Pada pendekatan step up pengobatan dimulai dengan obat yang kurang kuat dalam
menekan sekresi asam (antagonis reseptor H 2) atau golongan prokinetik. Bila
gagal baru diberikan yang lebih kuat menekan sekresi asam dengan masa terapi
lebih lama yaitu penghambat pompa proton. Sedangkan untuk pendekatan step
down diberikan tatalaksana berupa PPI terlebih dahulu, setelah terjadi
perbaikan,baru diberi obat dengan kerja yang kurang kuat dalam menekan sekresi
asam lambung, yaitu antagonis H2 atau prokinetik atau bahkan antasid.
Dari beberapa studi, dilaporkan bahwa pendekatan step down lebih
ekonomis dibandingkan dengan step up. Menurut Genval statement ((1999) dan
konsensus asia pasifik tahun 2003 tentang tatalaksana GERD, disepakati bahwa
terapi dengan PPI sebagai terapi lini pertama dan digunakan pendekatan step
down. 3,4,5
Antasid
Pengobatan ini digunakan untuk gejala ringan GERD sejak tahun 1971,
dan masih dinilai efektif hingga sekarang dan tidak menimbulkan esofagitis 3,4,5.
Selain sebagai penekan asam lambung, obat ini dapat memperkuat tekanan SEB.4,5
Kelemahan obat golongan ini adalah. Rasanya kurang enak. Dapat
menimbulkan diare terutama yang mengandung magnesium serta konstipasi
terutama antasid yang mengandung aluminium, Selain itu penggunaannya sangat
terbatas untuk pasien dengan ganghuan fungsi ginjal. Dosis sehari 4x1 sendok
makan.
Antagonis Reseptor H2
Obat ini dilaporkan berhasil pada 50% kasus GERD. Yang termasuk obat
golongan ini adalah ranitidin, simetidin, famotidin dan nizatidin. Sebagai penekan
sekresi asam, golongan obat ini efektif dalam pengobatan penyakit refluks
gastroesofageal jika diberikan dosis 2 kali lebih tinggi dan dosis untuk terapi
ulkus(2,3). Pengguanaan obat ini dinilai efektif bagi keadaan yang berat, misalnya
dengan barretts esophagus.5
Golongan obat ini hanya efektif pada pengobatan esofagitis derajat ringan
sampai sedang serta tanpa komplikasi. Dosis rantidin 4x150 mg.4
Obat prokinetik
Secara teoritis, obat ini dianggap paling sesuai untuk pengobatan GERD
karena penyakit ini dianggap lebih condong kearah gangguan motilitas. Namun
praktiknya, pengobatan GERD sangat bergantung pada penekanan sekresi asam. 4
Obat ini berfungsi untuk memperkuat tonus SEB dan mempercepat pengosongan
gaster.
1. Metoklopramid4
a. Efektifitasnya rendah dalam mengurangi gejala, serta tidak
berperan
dalam
penyembuhan
lesi
di
esofagus
kecuali
Omeprazole : 2x20 mg
Lansoprazole: 2x30 mg
Pantoprazole: 2x40 mg
Rabeprazole : 2x10 mg
Esomeprazole: 2x40 mg
Gejala menetap/berulang
Tidak diselidiki
Respon baik
Diselidik
Terapi minimal 4minggu
Endoskopi
Keluhan menetap
Esofagitis ringan
NERD
On demand therapy
Terapi Maintenance
Terapi Bedah
Beberapa keadaan dapat menyebabkan terjadinya kegagalan terapi
medikamentosa pada pasien GERD, antara lain : Diagnosa yang tidak benar,
pasien GERD sering disertai gejala lain seperti rasa kembung, cepet kenyang dan
mual-mual yang lebih lama menyembuhkan esofagitisnya. Pada kasus Barretts
esofagus kadang tidak memberikan respon terhadap terapi PPI, begitu pula dengan
adenokarsinoma dan bila terjadi striktura. Pada disfungsi SEB juga memiliki hasil
yang tidak memuaskan dengan PPI.4
Terapi bedah merupakan terapi alternatif yang penting jika terapi
modifikasi gaya hidup dan medikmentosa tidak berhasil. Umumnya pembedahan
yang dilakukan adalah fundoplikasi,3,4,5
Fundoplikasi Nissen
Fundoplikasi Nissen adalah suatu tindakan bedah untuk tatalaksana penyakit
GERD bila tatalaksana Modifikasi gaya hidup dan medikamentosa tidak berhasil.
Pada Hiatus hernia, Fundoplikasi Nissen justru menjadi terapi lini pertama. Teknik
operasi ini dilakukan dengan laparoskopi. Tujuan dari teknik ini adalah
Indikasi Fundoplikasi
1. Kasus resisten dan kasus refluks esofagitis dengan komplikasi yang tidak
sepenuhnya responsif terhadap terapi medis atau pada pasien dengan terapi
medis jangka panjang yang tidak menguntungkan.
2. Pasien dengan gejala yang tidak sepenuhnya tekontrol oleh terapi PPI,
Pada pasien ini dipertimbangkan untuk dilakukan pembedahan. Pada
pasien dengan penyakit yang tekontrol dengan baik juga dapat dilakukan
pertimbangan pembedahan.
3. Terjadinya esofagus barrret adalah indikasi untuk pembedahan. Asam
lambung meningkatkan terjadinya barrett esofagus berkembang kearah
keganasan, tetapi kebanyakan ahli menyarankan tindakan mensupresi asam
lambung secara lengkap untuk pencegahan pada pasien yang terbukti
secara histologis menderita esofagus barret.
Terapi Endoskopi
Prognosis
Sebagian besar pasien dengan GERD akan mebaik dengan pengobatan,
walaupun relaps mungkin akan muncul setelah terapi dan memerlukan terapi
medis yang lebih lama.
Apabila kasus GERD ini disertai komplikasi (seperti striktur, aspirasi,
penyakit saluran nafas, Barrett esophagus), biasanya memerlukan terapi
pembedahan. Prognosis untuk pembedahan biasanya baik. Meskipun begitu,
mortaliti dan morbiditi adalah tinggi pada pasien pembedahan dengan masalah
medis yang kompleks.
BAB IV
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
disease:
From
June
2011
[cited
March
2016].
Available:
http://emedicine.medscape.com/article/176595-treatment#aw2aab6b6b4aa
10. Iskandar N, Soepadrdi E, Bashiruddin J, Restuti R. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Telinga Hidung Tenggorokan Kepala Leher. Edisi keenam. Jakarta: Balai
penerbit FKUI. 2007
11. Syam AF, Aulia C,
Renaldi
K,
Simadibrata
M,
Abdullah
M,