Anda di halaman 1dari 32

REFRAT

GASTROESOPHAGEAL REFLUX DISEASE ( GERD)

PEMBIMBING :

dr. Satria Nugraha, Sp.THT-KL

Disusun oleh :

Ira Rahmawati (030.12.128)

Yoga Ramadhan (030.12.288)

Risalatul Nurhikmah (030.11.257)

Venny Alif Damara (030.12.275)

KEPANITERAAN KLINIK THT-KL

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BEKASI

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

Bekasi, November 2016

1
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................... 1


DAFTAR ISI............................................................................................................ 2
KATA PENGANTAR ............................................................................................. 3
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 5
BAB IV KESIMPULAN ........................................................................................30

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 31

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT atas kesehatan dan
kemudahan yang dilimpahkan karena berkatNya penulis dapat menyelesaikan tugas
refrat di RSUD Bekasi yang berjudul “Gastroesophageal reflux disease ( GERD)”

Tidak sedikit hambatan yang dihadapi penulis dalam penyusunan referat ini,
namun berkat bantuan berbagai pihak karya tulis ilmiah ini dapat diselesaikan. Pada
kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih sebesar-besarnya kepada dr.
Satria Nugraha, Sp.THT_KL selaku pembimbing atas dukungan dan pengarahannya
selama penulis belajar dalam kepaniteraan THT-KL.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat terutama bagi penulis sendiri dan para
pembaca. Penulis menyadari karya tulis ini masih perlu banyak perbaikan oleh karena
itu kritik dan saran diharapkan dari para pembaca.

Bekasi, November 2016

Tim penulis

3
BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit Gastroesophageal reflux (GERD) merupakan penyakit yang sangat umum.


studi populasi telah berulang kali menunjukkan gejala yang berhubungan dengan GERD
dalam proporsi yang signifikan dari orang dewasa. Montreal konferensi konsensus
didefinisikan GERD sebagai "suatu kondisi yang terjadi ketika refluks isi lambung
menyebabkan gejala mengganggu dan / atau komplikasi". Namun, definisi ini tidak
mencakup rincian patofisiologi penyakit dan implikasinya untuk pengobatan. Konferensi
konsensus Brasil dianggap GERD menjadi "gangguan kronis yang berhubungan dengan
aliran balik isi gastro-duodenum ke dalam esofagus dan / atau organ yang berdekatan,
sehingga spektrum gejala, dengan atau tanpa kerusakan jaringan". Definisi ini mengakui
karakter kronis penyakit, dan mengakui bahwa refluxate bisa lambung dan duodenum asal,
dengan implikasi penting untuk pengobatan penyakit ini.

Heart burn mungkin gejala menyajikan dari kelompok heterogen gangguan hanya
beberapa yang terkait dengan penyakit gastroesophageal reflux (GERD). Meskipun umumnya
dipanggil, penyakit refluks erosif (didefinisikan sebagai ulserasi mukosa esofagus atau erosi
pada endoskopi) sebenarnya hadir hanya sebagian kecil pasien dengan sakit maag (Gambar
1). penyakit refluks non-erosif (NERD) ditandai dengan gejala refluks dengan tidak adanya
istirahat mukosa esofagus, dengan bukti obyektif tingkat patologis gastroesophageal reflux
pada pH atau pemantauan pH-impedansi. Sebaliknya, pasien dengan hipersensitivitas
esofagus menunjukkan paparan asam esofagus normal tetapi korelasi positif antara kejadian
refluks dan gejala, seperti yang didokumentasikan oleh indeks gejala> 50%, dan / atau gejala
asosiasi probabilitas> 95%. Akhirnya pada mulas fungsional (FH), mulas terjadi pada
pengaturan temuan endoskopi yang normal dengan tidak ada korelasi gejala dengan
pengujian objektif. Kriteria Rome III mendefinisikan FH sebagai pembakaran
ketidaknyamanan retrosternal atau sakit tanpa bukti GERD untuk setidaknya 3 dari 6 bulan
terakhir . Selanjutnya membingungkan literatur adalah penggunaan konsisten dari persyaratan
di atas. Peneliti kadang-kadang menggambarkan "penyakit refluks endoskopi negatif"
(ENRD), istilah mencakup semuanya untuk setiap pasien dengan gejala refluks diselidiki
dengan endoskopi dan ditemukan tanpa stigmata endoskopi refluks. Selain itu, gejala yang
diperlukan untuk dimasukkan dalam salah satu sub kelompok endoskopi atas normal
bervariasi dari studi untuk belajar. Misalnya, beberapa peneliti membutuhkan kehadiran
mulas untuk dimasukkan dalam studi ENRD, sedangkan yang lain mungkin termasuk subyek
dengan hanya gejala regurgitasi dan gejala lainnya. Meskipun sifat agak membingungkan
sastra ini, definisi yang tepat dari pasien kategorisasi penyakit sangat penting untuk
memahami dan menerapkan temuan penelitian untuk perawatan pasien. Yang penting,
diferensiasi kondisi ini harus terjadi tanpa adanya terapi asam penekan kuat, mengingat
bahwa terapi PPI akan mengkonversi sebagian besar pasien dengan esofagitis erosif untuk
penampilan endoskopi yang normal dan menyebabkan kesalahan klasifikasi pasien ini.

4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi


2.1.2 anatomi dan fisiologi faring
Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong,
yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah serta terletak pada bagian
anterior kolum vertebra.

Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke esophagus


setinggi vertebra servikal ke-6. Ke atas, faring berhubungan dengan rongga hidung
melalui koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus
orofaring, sedangkan dengan laring di bawah berhubungan melalui aditus laring
dan ke bawah berhubungan dengan esophagus. Panjang dinding posterior faring
pada orang dewasa kurang lebih 14 cm; bagian ini merupakan bagian dinding
faring yang terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam keluar) selaput
lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal.

Faring terbagi atas nasofaring, orofaring dan laringofaring (hipofaring).


Unsur-unsur faring meliputi mukosa, palut lendir (mukosa blanket) dan otot.

Gambar. Anatomi Faring Atlas of Human Anatomy 4th Edition

5
Faring terdiri atas :
Nasofaring
Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, di bagian bawah
adalah palatum mole, ke depan adalah rongga hidung sedangkan ke belakang
adalah vertebra servikal. Nasofaring yang relatif kecil, mengandung serta
berhubungan erat dengan beberapa struktur penting, seperti adenoid, jaringan
limfoid pada dinding lateral faring dengan resesus faring yang disebut fosa
Rosenmuller, kantong Rathke, yang merupakan invaginasi struktur embrional
hipofisis serebri, torus tubarius, suatu refleksi mukosa faring di atas penonjolan
kartilago tuba Eustachius, koana, foramen jugulare, yang dilalui oleh n.
glosofaring, n. vagus dan n.asesoriusspinal saraf cranial dan v.jugularis interna,
bagian petrosus os temporalis dan foramen laserum dan muara tuba Eustachius.

Orofaring
Orofaring disebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah palatum
mole, batas bawah adalah tepi atas epiglottis, ke depan adalah rongga mulut,
sedangkan ke belakang adalah vertebra sevikal. Struktur yang terdapat di rongga
orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil palatine, fosa tonsil serta arkus
faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual dan foramen sekum.

Laringofaring (Hipofaring)
Batas laringofaring di sebelah superior adalah tepi atas epiglotis, batas
anterior ialah laring, batas inferior ialah esofagus, serta batas posterior ialah
vertebra servikal. Struktur pertama yang tampak di bawah lidah ialah valekula.
Bagian ini merupakan dua cengkungan yang dibentuk oleh ligamentum
glosoepiglotika medial dan ligamentum glosoepiglotika lateral pada tiap sisi.
Valekula disebut juga “kantong pil” (pill pockets) sebab pada beberapa orang,
kadang – kadang bila menelan pil akan tersangkut di situ. Di bawah valekula
terdapat epiglotis. Pada bayi epiglotis ini berbentuk omega dan pada
perkembangannya akan lebih melebar, meskipun kadang–kadang bentuk infantile
(bentuk omega) ini tetap sampai dewasa. Dalam perkembangannya, epiglotis ini
dapat menjadi demikian lebar dan tipisnya. Epiglotis berfungsi juga untuk
melindungi glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan, pada saat bolus
tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke esophagus.

6
Ruang Faringal

Ada dua ruang yang berhubungan dengan faring yang secara klinis
mempunyai arti penting, yaitu ruang retrofaring dan ruang parafaring. Ruang
retrofaring( Retropharyngeal space), dinding anterior ruang ini adalah dinding
belakang faring yang terdiri dari mukosa faring, fasia faringobasilaris dan otot –
otot faring. Ruang ini berisi jaringan ikat jarang dan fasia prevertebralis. Ruang
ini mulai dari dasar tengkorak di bagian atas sampai batas paling bawah dari fasia
servikalis. Serat – serat jaringan ikat di garis tengah mengikatnya pada vertebra.Di
sebelah lateral ruang ini berbatasan dengan fosa faringomaksila.

Ruang parafaring (Pharyngomaxillary Fossa), ruang ini berbentuk kerucut


dengan dasarnya yang terletak pada dasar tengkorak dekat foramen jugularis dan
puncaknya pada kornu mayus os hioid. Ruang ini dibatasi di bagian dalam oleh m.
konstriktor faring superior, batas luarnya adalah ramus asenden mandibula yang
melekat dengan m. pterigoid interna dan bagian posterior kelenjar parotis. Fosa ini
dibagi menjadi dua bagian yang tidak sama besarnya oleh os stiloid dengan otot
yang melekat padanya. Bagian anterior (presteloid) adalah bagian yang lebih luas
dan dapat mengalami proses supuratif sebagai akibat tonsil yang meradang,
beberapa bentuk mastoiditis atau petrositis, atau dari karies dentis. Bagian yang
lebih sempit di bagian posterior (post stiloid) berisi a.karotis interna, v. jugularis
interna, n. vagus yang dibungkus dalam suatu sarung yang disebut selubung
karotis (carotid sheath). Bagian ini dipisahkan dari ruang retrofaring oleh sesuatu
lapisan fasia yang tipis1.

7
Gambar Anatomi Faring Bagian Posterior
Atlas of Human Anatomy 4TH Edition

8
2.1.2 Anatomi dan fisiologi esofagus
Esophagus (kerongkongan) merupakan salah satu organ pencernaan (Gastro Intestinal
Tract) yang membentang dari pharyngoesophageal junction (batas faring dan oesophagus)
sampai orificium cardiaca gaster. Oesophagus merupakan saluran yang menghubungkan
antara pharynx (Laringopharynx/ Hipopharynx) dg gaster (stomaxh/ pylorus/ ventriculus).
Makanan di oesophagus hanya lewat, bergerak nya makanan di dalam oesophagus menuju
gaster ini dipengaruhi oleh adanya gerakan peristaltic dr oesophagus itu sendiri.. Makanan
berjalan melalui kerongkongan dengan menggunakan proses peristaltik. Di sebelah depan
kerongkongan terdapat saluran pernapasan yang disebut trakea. Trakea menghubungkan
rongga hidung dengan paru-paru. Pada saat kita menelan makanan, ada tulang rawan yang
menutup lubang ke tenggorokan. Bagian tersebut dinamakan epiglotis. Epiglotis mencegah
makanan masuk ke paru-paru.

Esofagus bertemu dengan faring pada ruas ke-6 tulang belakang. Menurut histologi.
Esofagus dibagi menjadi tiga bagian:
· bagian superior (sebagian besar adalah otot rangka)
· bagian tengah (campuran otot rangka dan otot halus)
· bagian inferior (terutama terdiri dari otot halus).

Esofagus dijaga di kedua ujungnya oleh sfingter. Sfingter adalah struktur berotot berbentuk seperti cincin
yang jika tertutup, mencegah lewatnya benda melalui salran yang dijaganya. Sfingter esofagus adalah sfingter
faringoesofagus dan sfingter bawah adalah sfingter gastroesofagus.

Selama menelan, sfingter tersebut berkontraksi, sehingga sfingter terbuka dan bolus dapat lewat kedalam
esofagus. Setelah bolus berada dalam esofagus, sfingter faringoesofagus menutup, saluran pernapasan terbuka
dan bernapas dapat kembali dilakukan. Tahap orofaring selesai dan tahap ini memakan waktu kira-kira satu
detik setelah proses menelan.

Sekresi esofagus seluruhnya berkarakter mukus dan terutama memberi fungsi pelumasan untuk menelan.
Bagian utama dari esofagus dikelilingi oleh beberapa kelenjar mukus sederhana. Pada bagian ujung lambung,
dan dalam jumlah kecil pada bagian awal esofagus, terdapat juga beberapa kelenjar mukus campuran. Mukus
yang disekresi oleh kelenjar campuran pada esofagus bagian atas akan mencegah ekskoriasi mukosa akibat
makanan yang baru saja masuk, sedangkan kelenjar campuran yang berada didekat sambungan esofagogastric

9
akan melindungi dinding esofagus dari pencernaan oleh asam getah lambung yang sering mengalami refluks
dari lambung kembali lagi kebagian bawah esofagus. 1,2

Pembagian Oesophagus
Oesophagus terletak setinggi Vertebrae Cervical VI sampai discus intervertebralis antara Vertebrae Thoracalis
X dan Vertebrae Thoracalis XI.

Oesophagus terbagi atas 3 pars, yaitu oesophagus pars cervical, oesophagus pars thoracica dan oesophagus pars
abdominalis.
- Oesophagus pars cervical membentang dari pharyngoesophageal junction hingga tepi bawah Vertebra Cervical
VII.
- Sedangkan oesophagus pars thoracica membentang dari Vertebrae Thoracica I sampai pd hiatus oesophagus pd
diaphragma yang terletak setinggi Vertebrae Thoracica X.
- Sedangkan oesophagus pars abdominalis membentang dari hiatus oesophagus sampai pd orificium cardiaca
gaster. Dengan kata lain, oesophagus pars abdominalis memiliki skeletopi setinggi Vertebrae Thoracica X
hingga Discus Intervertebralis antara Vertebrae thoracica X dan Vertebrae thoracica XI.

10
Margo Oesophagus
Oesophagus memiliki 2 margo, yaitu margo dextra dan margo sinistra. Margo dextra oesophagus melanjut sbg
curvature minor gaster. Sedangkan margo sinistra oesohagus dipisahkan dengan fundus gaster oleh incisura
cardiac gaster.

Syntopi Oesophagus
- Dextra : ekstremitas superior omentum minus
- Sinistra : lig. Gastrophrenica
- Ventral : truncus vagalis sinistra, lobus hepatis sinistra, arcus aorta, trachea,
- Dorsal : R.oesophageales vasa. Gastrica sinistra, truncus vagalis dextra, vasa phrenica inferior sinistra, crus
diaphragm sinistra dan n. sphlancnici.

Penyempitan Oesophagus
Oesophagus memiliki 3 tempat penyempitan, antara lain pd Sphincter oesophageal (pharyngoesophageal

11
junction), di belakang dr arcus aorta, dan pd hiatus oesophagus saat menembus diaphragm. lambung
memproduksi asam lambung, campuran asam kuat yang terdiri dari asam klorida (HCl) dan kalium dan natrium
garam untuk mengaktifkan pencernaan makanan. Penyempitan sfingter esofagus atas dan bawah membantu
mencegah refluks (aliran balik) dari isi lambung dan asam ke kerongkongan, melindungi mukosa esofagus.
Selain itu, sudut akut Nya dan krura bawah diafragma membantu tindakan sfingter ini

Vaskularisasi Oesophagus
- Oesophagus bagian 1/3 proximal (oral) divaskularisasi oleh a. thyroidea inferior,
- Oesophagus bagian 1/3 medial divaskularisasi oleh cabang dr aorta descendens,
- Oesophagus bagian 1/3 distal (anal) divaskularisasi oleh Rr. Oesophageales a. gastric sinistra.1

Histologi esofagus
Gastro-esofageal juction (juga dikenal sebagai esofagogastric junction) adalah
penghubung antara esofagus dan lambung, di ujung bawah esofagus. Warna pink dari mukosa
esofagus kontras dengan merah lebih dalam pada mukosa lambung, dan transisi mukosa
dapat dilihat sebagai garis zig-zag yang tidak teratur, yang sering disebut z-line. Pemeriksaan
histologi mengungkapkan transisi tiba-tiba antara epitel skuamosa berlapis dari esofagus dan
epitel kolumnar sederhana lambung. Biasanya, kardia lambung segera distal ke z-line dan z-
line bertepatan dengan batas atas lipatan lambung dari kardia; Namun, ketika anatomi
mukosa terdistorsi di Barrets esofagus gastro-eshophageal juction yang benar ,dapat
diidentifikasi dengan batas atas lipatan lambung daripada transisi mukosa. Lokasi fungsional
dari sfingter esofagus bagian bawah umumnya terletak sekitar 3 cm (1,2 in) di bawah z-line.

Kerongkongan (esofagus) manusia memiliki selaput lendir yang terdiri dari epitel
skuamosa berlapis tangguh tanpa keratin, sebuah lamina propria halus, dan mukosa
muskularis. Epitel esofagus memiliki omset yang relatif cepat, dan memiliki fungsi pelindung
terhadap efek abrasif makanan. Dalam banyak hewan epitel mengandung lapisan keratin,
yang mewakili diet kasar. Ada dua jenis kelenjar, dengan lendir-mensekresi kelenjar
esofagus yang ditemukan di submukosa, dan kelenjar jantung esofagus, mirip dengan
kelenjar jantung lambung, yang terletak di lamina propria dan paling sering di bagian
terminal dari organ. Lendir dari kelenjar memberikan perlindungan yang baik untuk lapisan.
submukosa juga mengandung pleksus submukosa, jaringan sel saraf yang merupakan bagian
dari sistem saraf enterik.

Lapisan otot kerongkongan memiliki dua jenis otot. Ketiga atas esofagus mengandung
otot lurik, sepertiga bagian bawah mengandung otot polos, dan sepertiga tengah mengandung
campuran keduanya. Otot diatur dalam dua lapisan: satu di mana serat otot menjalankan
longitudinal untuk kerongkongan, dan yang lainnya di mana serat mengelilingi esofagus. Ini
dipisahkan oleh pleksus myenteric, jaringan kusut serabut saraf yang terlibat dalam sekresi
lendir dan di peristaltik otot polos kerongkongan. esofagus juga memiliki adventitia, tapi
tidak serosa a. Hal ini membuat berbeda dari banyak struktur lain di saluran pencernaan.3

12
H&E stain of a biopsy of the normal esophageal wall, showing the stratified squamous
cell epitheliumof the esophageal wall.

Histological section of the gastro-esophageal junction, with a black arrow indicating the
junction.

13
2.2 Gastro-oesophageal reflux disease ( GERD)
2.2.1 Definisi
Gastro-oesophageal reflux disease ( GERD ) adalah salah satu kelainan yang sering
dihadapi di lapangan dalam bidang gastrointestinal. Penyakit ini berdampak buruk pada
kualitas hidup penderita dan sering dihubungkan dengan morbiditas yang bermakna. Penyakit
refluks gastroesofageal didefinisikan sebagai suatu keadaan patologis sebagai akibat refluks
kandungan lambung ke dalam esofagus yang menimbulkan berbagai gejala yang
mengganggu di esofagus maupun ekstra-esofagus. Komplikasi yang berat yang dapat timbul
adalah Barret’s esophagus, striktur, adenokarsinoma di kardia dan esofagus.4

Refluks Laringofaring adalah keadaan dimana asam lambung bergerak retrograd


kearah esofagus bagian atas, faring dan laring. Keadaan ini harus dibedakan dengan refluks
gastroesofagus (Gastroesophageal Reflux Disease/ GERD). Pasien yang menderita Refluks
laringofaring seringkali menyangkal gejala klasik GERD yaitu rasa panas di dada atau
regurgitasi.

2.2.2 Epidemiologi
Sudah sejak lama prevalensi GERD di Asia dilaporkan lebih rendah dibandingkan
dengan di negara-negara Barat. Namun, banyak penelitian pada populasi umum yang baru-
baru ini dipublikasikan menunjukkan kecenderungan peningkatan prevalensi GERD di Asia.
Prevalensi di Asia Timur 5,2 %-8,5 % (tahun 2005-2010), sementara sebelum 2005 2,5%-
4,8%; Asia Tengah dan Asia Selatan 6,3%-18,3%, Asia Barat yang diwakili Turki menempati
posisi puncak di seluruh Asia dengan 20%.5

Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI-RSUPN Cipto


Mangunkusumo didapatkan kasus esofagitis sebanyak 22,8 % dari semua pasien yang
menjalani endoskopi atas dasar dispepsia6

2.2.3 Klasifikasi
GERD dapat berupa gangguan fungsional (90 % kasus) atau gangguan struktural
(10%). GERD menimbulkan gejala refluks yang disebabkan oleh disfungsi sfingter esofagus
bawah (SEB), sedangkan GERD struktural gejala refluks menimbulkan kerusakan mukosa
esofagus.
GERD pada bayi dan anak-anak di golongkan dalam 4 kategori : 7

1. GERD Fisiologik : Episode refluks terjadi pada periode sesudah makan dengan
durasi pendek,biasanya secara klinis tidak jelas,walaupun ada episode regurgitasi.
2. GERD fungsional : terjadi pada 50 % kasus ,biasanya disertai muntah atau
regurgitasi sering terjadi pada bayi sehat sampai usia 3 bulan dan keluhan hilang
dalam usia 6 ulan sampai 2 tahun. Episode refluks bervariasi dari 1 sampai 10 kali
perhari.
3. GERD patologik : terjadi refluks esofagitis,penyakit paru kronik,apne ,tumbuh
terganggu .Gejala refluks esofagitis pada antara lain menangis ,iritabilitas,gangguan
tidur,gangguan menelan. Pada anak-anak yang lebih besar mengeluh nyeri dada

14
epigaster,abdominal atau susternal,sukar menelan seperti orang dewasa dan
odinofagia . Disfagia merupakan gejala akibat refluks esofagitis yang bertahan lama
atau striktur peptik .Penyakit paru kronik akibat refluks antara lain batuk,spasme
bronkus,spasme laring,suara serak. Manisfestasi neurologik akibat refluks dikenal
dengan sindrom sandifer yaitu memeringkan kepala ,leher teleng dan postur
opistotonik.
4. GERD sekunder : dihubungkan dengan faktor predisposisi GERD,seperti :
a. Gangguan neurologi dengan mekanisme yang berbeda dari PRGE fungsional,
sering dikaitkan dengan spastisitas otot dan gangguan saraf sentral.
b. Atresia trakeoesofagus
c. Hernia hiatus yang besar

2.2.4 Etiologi dan Patogenesis

Faktor yang menyebabkan terjadinya GERD. Esofagitis dapat terjadi sebagai akibat refluks
esofageal apabila :

1). Terjadi kontak dalam waktu yang cukup lama antara bahan refluksat dengan mukosa
esofagus,

2). Terjadi penurunan resistensi jaringan mukosa esofagus 8

Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi (high pressure zone)
yang dihasilkan oleh kontraksi lower esophageal sphincter (LES). Pada individu normal,
pemisah ini akan dipertahankan kecuali pada saat sendawa atau muntah. Aliran balik dari
gaster ke esofagus melalui LES hanya terjadi apabila tonus LES tidak ada atau sangat rendah
(<3 mmHg).

Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3 mekanisme :

1). Refleks spontan pada saat relaksasi LES tidak adekuat,

2). Aliran retrograd yang mendahului kembalinya tonus LES setelah menelan,

3). Meningkatnya tekanan intra abdomen.

Dengan demikian dapat diterangkan bahwa patogenesis terjadinya GERD menyangkut


keseimbangan antara faktor defensif dari esofagus (pemisah anti refluks, bersihan asam dari
lumen esofagus, ketahanan epitel esofagus) dan faktor ofensif dari bahan refluksat. Faktor-
faktor lain yang turut berperan dalam timbulnya gejala GERD adalah kelainan di lambung
yang meningkatkan terjadinya refluks fisiologis, antara lain dilatasi lambung atau obstruksi
gastric outlet dan delayed gastric emptying.

Peranan infeksi Helicobacter pylori dalam patogenesis GERD relatif kecil dan kurang
didukung oleh data yang ada. Pengaruh dari infeksi H. pylori terhadap GERD merupakan

15
konsekuensi logis dari gastritis serta pengaruhnya terhadap sekresi asam lambung, Tingginya
angka infeksi H. pylori di Asia dengan rendahnya sekresi asam sebagai konsekuensinya telah
dipostulasikan sebagai salah satu alasan mengapa prevalensi GERD di Asia lebih rendah
dibandingkan dengan negara-negara Barat. Hal tersebut sesuai dengan yang ditunjukkan pada
satu studi di Jepang yang dilakukan oleh Shirota dkk. Studi yang lain juga membuktikan
adanya hubungan terbalik antara derajat keparahan esofagitis refluks dengan infeksi H.
pylori. Hamada dkk menunjukkan insiden esofagitis refluks yang tinggi setelah eradikasi
H.pylori, khususnya pada pasien gastritis korpus dan mempunyai predisposisi terhadap
refluks hiatus hernia.9

2.2.5 Manifestasi Klinik

Gejala klinik yang khas dari GERD adalah nyeri/rasa tidak enak di epigastrium atau
retrosternal bagian bawah. Rasa nyeri dideskripsikan sebagai rasa terbakar (heartburn),
kadang-kadang bercampur dengan gejala disfagia (kesulitan menelan makanan), mual atau
regurgitasi dan rasa pahit di lidah. Walau demikian derajat berat ringannya keluhan heartburn
ternyata tidak selalu berkorelasi dengan temuan endoskopik. Kadang-kadang timbul rasa
tidak enak retrosternal yang mirip dengan angina pektoris. Disfagia yang timbul saat makan
makanan yang padat mungkin terjadi karena striktur atau keganasan yang berkembang dari
Barret’s esophagus. Odinofagia bisa muncul jika sudah terjadi ulserasi esofagus yang berat.

Walaupun gejala khas/tipikal dari GERD adalah heartburn atau regurgitasi, gejala tidak
khas ataupun gejala ekstra esofagus juga bisa timbul yang meliputi nyeri dada non kardiak
(non cardiac chest pain/NCCP), suara serak, laringitis, batuk, asma, bronkiektasis, gangguan
tidur, dan lain-lain.

Pada pasien GERD yang datang ke dokter THT, seringkali tidak mengeluhkan gejala
tipikal, melainkan gejala atipikal seperti, suara serak pagi hari, mulut berbau, lendir kental,
mulut kering, sering meludah. Bila hal ini terjadi maka beri tatalaksana PPI selama 8
minggu,bila gejala hilang maka merupakan kasus GERD sekunder dengan manifestasi THT.

Di lain pihak, beberapa penyakit paru dapat menjadi faktor predisposisi untuk
timbulnya GERD karena terjadi perubahan anatomis di daerah gastroesophageal high
pressure zone akibat penggunaan obat-obatan yang menurunkan tonus LES (Makmun,2009).
Asma dan GERD adalah dua keadaan yang sering dijumpai secara bersaman. Selain itu,
terdapat beberapa studi yang menunjukkan hubungan antara gangguan tidur dan GERD
(Jung, 2009).

Walaupun telah disampaikan bahwa heartburn merupakan gejala klasik dan utama dari
GERD, namun situasinya sedikit berbeda di Asia. Di dunia Barat, kata ”heartburn” mudah
dimengerti oleh pasien, sementara tidak ada padanan kata yang sesuai untuk heartburn dalam
mayoritas bahasa-bahasa di Asia, termasuk bahasa Cina, Jepang, Melayu. Dokter lebih baik
menjelaskan dalam susunan kata-kata tentang apa yang mereka maksud dengan heartburn dan
regurgitasi daripada mengasumsikan bahwa pasien memahami arti kata tersebut. Sebagai

16
contoh, di Malaysia, banyak pasien etnis Cina dan Melayu mengeluhkan ”angin” yang
merujuk pada dispepsia dan gejala refluks. Sebagai akibatnya, seperti yang terjadi di Cina,
banyak pasien GERD yang salah didiagnosis sebagai penderita non cardiac chest pain atau
dispepsia (Goh dan Wong, 2006). Walaupun belum ada survei yang dilakukan, berdasarkan
pengalaman klinis sehari-hari, kejadian yang sama juga sering ditemui di Indonesia.

GERD memberikan dampak negatif pada kualitas hidup pasien, karena gejala-gejalanya
sebagaimana dijelaskan di atas menyebabkan gangguan tidur, penurunan produktivitas di
tempat kerja dan di rumah, gangguan aktivitas sosial. Short-Form-36-Item (SF-36) Health
Survey, menunjukkan bahwa dibandingkan dengan populasi umum, pasien GERD memiliki
kualitas hidup yang menurun, serta dampak pada aktivitas sehari-hari yang sebanding dengan
pasien penyakit kronik lainnya seperti penyakit jantung kongestif dan artritis kronik (Hongo
dkk, 2007). 10

2.2.6 Diagnosis banding dan diagnosis


Diagnosis banding GERD
1. Akalasia
2. Gastritis akut
3. Gastritis kronis
4. Aterosklerosis
5. Kanker esofagus
6. Esophageal Motility Disorders
7. Esophageal spasm
8. Esophagitis
9. Ulkus peptikum

Gejala tipikal esofagus


Heartburn adalah gejala khas yang paling umum dari GERD. Hal ini dirasakan sebagai
sensasi retrosternal terbakar atau ketidaknyamanan yang biasanya terjadi setelah makan atau
ketika berbaring terlentang atau membungkuk.

Regurgitasi adalah pengembalian usaha dari lambung dan / atau isi esofagus ke faring.
Regurgitasi dapat menginduksi komplikasi pernapasan jika isi lambung tumpah ke pohon
tracheobronchial.

Disfagia terjadi pada sekitar sepertiga dari pasien. Pasien dengan disfagia mengalami
sensasi bahwa makanan terjebak, terutama di daerah retrosternal. Disfagia dapat menjadi
gejala dan dapat disebabkan oleh mendasari gangguan esofagus motilitas primer, gangguan
motilitas sekunder untuk esofagitis, atau pembentukan striktur.

17
Gejala extraesophageal atipikal
Batuk dan / atau mengi adalah gejala-gejala pernapasan yang dihasilkan dari aspirasi isi
lambung ke dalam pohon tracheobronchial atau dari vagal refleks busur memproduksi
bronkokonstriksi. Sekitar 50% dari pasien yang memiliki GERD-induced asthma tidak
mengalami heartburn.

Hasil suara serak dari iritasi pita suara oleh reflux dan lambung sering dialami oleh pasien
di pagi hari. Refluks adalah penyebab paling umum nyeri dada noncardiac, terhitung sekitar
50% dari kasus. Pasien dapat hadir ke gawat darurat dengan nyeri yang menyerupai infark
miokard. Refluks harus disingkirkan (menggunakan manometri esofagus dan pengujian pH
24 jam jika perlu) sekali penyebab jantung untuk nyeri dada telah dikeluarkan. Atau,
percobaan terapi dari dosis tinggi proton pump inhibitor (PPI) dapat dicoba.

Gejala atipikal tambahan dari refluks yang abnormal meliputi kerusakan pada paru-paru
(misalnya, pneumonia, asma, fibrosis paru idiopatik), pita suara (misalnya, radang
tenggorokan, kanker), telinga (misalnya otitis media), dan gigi (misalnya, kerusakan
enamel).11
Gejala-gejala pada pasien GERD yang seringkali tidak menunjukkan gejala khas
(heartburn, regurgitasi) sehingga menyulitkan untuk diagnosis akurat, banyak pasien GERD
tidak memiliki kelainan gambaran endoskopi, sehingga evaluasi tingkat keparahan gejala,
kualitas hidup serta respon terapi menjadi sangat penting. Kuesioner berisi gejala-gejala yang
dinilai oleh pasien sendiri saat ini merupakan instrumen kunci pada berbagai penelitian klinis
(Stanghellini dkk, 2004). Di antara banyak kuesioner diagnostik yang banyak digunakan
adalah Questionnaire for the Diagnosis of Reflux Esophagitis (QUEST), Frequency Scale for
the Symptoms of GERD (FSSG), Reflux Questionnaire (ReQuest), Reflux Disease
Questionnaire (RDQ), dan yang baru dikembangkan tahun 2009 yaitu GerdQ
Questionnaire.12
Sistem skala FSSG dikembangkan di Jepang dan banyak digunakan di berbagai negara di
luar Jepang. FSSG terdiri dari 12 pertanyaan yang berhubungan dengan gejala-gejala yang
tersering dialami oleh pasien, tidak hanya heartburn dan acid taste, tetapi juga gejala-gejala
dispepsia seperti ’perut penuh’ dan ’merasa cepat kenyang’. Diagnosis GERD dinyatakan
dengan kuesioner ini pada nilai cut-off 8 poin.13

18
Tabel. Frequency Scale for the Symptoms of GERD

Tabel . GerdQ

19
Pemeriksaan penunjang

American College of Gastroenterology (ACG) di tahun 2005 telah mempublikasikan


Updated Guidelines for the Diagnosis and Treatment of Gastroesophageal Reflux Disease, di
mana empat di antara tujuh poin yang ada, merupakan poin untuk diagnosis, yaitu :
a. Jika gejala pasien khas untuk GERD tanpa komplikasi, maka terapi empiris (termasuk
modifikasi gaya hidup) adalah hal yang tepat. Endoskopi saat pasien masuk dilakukan jika
pasien menunjukkan gejala-gejala komplikasi, atau berisiko untuk Barret’s esophagus, atau
pasien dan dokter merasa endoskopi dini diperlukan. (Level of Evidence : IV)
b. Endoskopi adalah teknik pilihan yang digunakan untuk mengidentifikasi dugaan Barret’s
esophagus dan untuk mendiagnosis komplikasi GERD. Biopsi harus dilakukan untuk
mengkonfirmasi adanya epitel Barret dan untuk mengevaluasi displasia. (Level of Evidence :
III)
c. Pemantauan ambulatoar (ambulatory monitoring) esofagus membantu untuk konfirmasi
reluks gastroesofageal pada pasien dengan gejala menetap ( baik khas maupun tidak khas)
tanpa adanya kerusakan mukosa; juga dapat digunakan untuk memantau pengendalian refluks
pada pasien tersebut di atas yang sedang menjalani terapi. (Level of Evidence : III)

d. Manometri esofagus dapat digunakan untuk memastikan lokasi penempatan probe


ambulatory monitoring dan dapat membantu sebelum dilakukannya pembedahan anti refluks.
(Level of Evidence : III)14
Sementara itu, pada tahun 2008, American Gastroenterological Association (AGA)
menerbitkan American Gastroenterological Association Medical Position Statement on the
Management of Gastroesophageal Reflux Disease yang berisi 12 pernyataan, di mana pada
poin ke-4 dijelaskan tentang peran dan urutan prioritas uji diagnostik GERD pada dalam
mengevaluasi pasien dengan sangkaan GERD sebagai berikut :15
a. Endoskopi dengan biopsi dilakukan untuk pasien yang mengalami gejala esofagus dari
GERD dengan disfagia yang mengganggu. Biopsi harus mencakup area yang diduga
mengalami metaplasia, displasia, atau dalam hal tidak dijumpainya kelainan secara visual,
mukosa yang normal (minimal 5 sampel untuk esofagitis eosinofilik.)
b. Endoskopi dilakukan untuk mengevaluasi pasien yang mengalami gejala esofagus dari
GERD yang tidak berespon terhadap terapi empiris berupa PPI 2 kali sehari. Biopsi harus
mencakup area yang diduga mengalami metaplasia, displasia, atau malignansi.
c. Manometri dilakukan untuk mengevaluasi pasien dengan dugaan gejala GERD yang tidak
berespon terhadap terapi empiris berupa PPI 2 kali sehari dan gambaran endoskopinya
normal.

20
d. Pemantauan dengan ambulatory impedance-Ph, catheter-Ph, atau wireless-Ph dilakukan
(terapi PPI dihentikan selama 7 hari) untuk mengevaluasi pasien dengan dugaan gejala
GERD yang tidak berespon terhadap terapi empiris berupa PPI 2 kali sehari, gambaran
endoskopinya normal dan tidak memiliki kelainan pada manometri.

Endoskopi saluran cerna atas


Sebuah endoskopi saluran cerna atas umumnya digunakan untuk mengevaluasi
kerongkongan. Tabung fleksibel dilewatkan ke dalam kerongkongan, lambung, dan usus
kecil. Tabung memiliki sumber cahaya dan kamera yang menampilkan gambar diperbesar.
Kerusakan struktur lapisan ini dapat dievaluasi dan sampel kecil jaringan (biopsi) dapat
diambil untuk menentukan tingkat kerusakan jaringan.1Identifikasi esofagitis pada saat ini
dengan endoskopi sangat spesifik (90-95%) untuk GERD, namun memiliki sensitivitas hanya
sekitar 50%. Beberapa sistem klasifikasi untuk esofagitis telah diusulkan, beberapa
membingungkan, dan tidak ada yang memiliki penerimaan dari seluruh dunia. Klasifikasi
esofagitis Yang paling dievaluasi secara menyeluruh adalah sistem Los Angeles, yang
mendapatkan penerimaan di Amerika Serikat dan Eropa. Di pusat-pusat rujukan, sekitar 50%
pasien akan memiliki esofagitis, tapi di layanan primer dan populasi umum, tingkat esofagitis
lebih dalam kisaran 10-30%. Kebanyakan pasien dengan esofagitis memiliki kelas penyakit
A-B ringan dan hanya 10% yang lebih parah kelas C-D esofagitis. Endoskopi juga dapat
mengevaluasi komplikasi GERD, seperti striktur peptikum dan Barrett’s esophagus, dan
dianjurkan jika pasien memiliki 'alarm gejala', seperti disfagia progresif, berat badan
kehilangan atau kekurangan zat besi anemia. Dalam praktek klinis rutin, endoskopi
dicadangkan untuk mengevaluasi pasien dengan gejala alarm, suspek komplikasi GERD dan
pengawasan untuk esofagus Barrett pada pasien dengan keluhan refluks kronis.

Selama bertahun-tahun, biopsi esofagus memiliki peran yang berbeda-beda dalam evaluasi
GERD. Kehadiran eosinofil (<15 per HPF) dan penanda peningkatan pergantian epitel
(hiperplasia sel basal dan perpanjangan rete peg) memiliki sensitifitas yang wajar tapi
spesifisitasnya kurang, sedangkan neutrofil pada mukosa esofagus spesifik tetapi tidak sangat
sensitive. Seperti disebutkan sebelumnya, mikroskop elektron dari biopsi esofagus
menunjukkan bahwa dilatasi ruang interseluler bisa menjadi penanda awal cedera mukosa,
walaupun endoskopi masih normal. Dalam praktek klinis, biopsi biasanya tidak diambil pada
pasien dengan refluks esofagitis klasik kecuali jika diperlukan untuk neoplasma, infeksi,

21
cedera pil, penyakit kulit bulosa atau esofagitis eosinofilik (> 20 eosinofil per HPF). Indikasi
utama saat ini untuk biopsi esofagus adalah untuk menentukan keberadaan Barrett’s
epithelium. Ketika dicurigai diagnosis ini, biopsi adalah wajib dan terbaik untuk dilakukan
ketika esofagitis sembuh.

Pemantauan pH esofagus
Hal ini biasanya disediakan untuk orang-orang yang diagnosis tidak jelas setelah
endoskopi atau percobaan pengobatan.1 Rawat monitoring intraoesophageal pH adalah
standar untuk menegakkan patologis reflux. Secara tradisional, membuktikan pH melalui
nasal, diposisikan 5 cm di atas manometri memastikan Lower Esophagel Sphingter (LES) ,
dan terhubung ke data logger bertenaga baterai mampu mengumpulkan nilai pH setiap 4-6
detik selama 24 jam. Rekaman pasien makanan, tidur dan ketika gejala dialami. Episode
refluks asam didefinisikan sebagai pH <4. Total % waktu pH <4 adalah ukuran yang paling
direproduksi dari GERD, dengan batas atas yang dilaporkan normal berkisar antara 4%
sampai 5,5%.

Sensitivitas pemantauan pH 24 jam pada pasien dengan esofagitis mendekati 90% dengan
spesifisitas 85-100%. Pada pasien dengan endoskopi yang normal di mana pengujian pH
mungkin yang paling dibutuhkan, sensitivitas hanya 60% dan spesifisitas dari 85% menjadi
90%. Indikasi klinis untuk pemantauan pH rawat jalan adalah sebagai berikut: (1) sebelum
fundoplication untuk memastikan keberadaan refluks patologis pada pasien dengan
endoskopi yang normal, (2) setelah operasi antireflux jika gejala hearthburn bertahan, (3)
pasien dengan gejala refluks dan endoskopi normal, tidak respon pengobatan PPI, dan (4)
pasien yang diduga gejala GERD extraoesophageal.

Dua kemajuan baru meningkatkan peran pengujian pH pada evaluasi GERD. Yang
pertama adalah perangkat nirkabel (Bravo pH probe, Medtronics, Minneapolis, MN, USA)
ukuran pill vitamin tercantum, biasanya dengan endoskopi, 6 cm di atas Z-line. ini
mengurangi ketidaknyamanan pasien, memungkinkan untuk pemantauan lebih lama (48 jam
atau lebih), dan dapat meningkatkan sensitivitas uji dengan membuat pasien lebih nyaman
untuk beraktivitas. Kapsul lepas dan melewati spontan dalam waktu dua minggu. Dua
komplikasi yang terjadi pada pemasangan perangkat ini - satu laporan perdarahan esofagus
yang membutuhkan transfusi dan perforasi esofagus.

22
Kemajuan teknologi kedua menggabungkan pemantauan impedansi intraluminal
multichannel dengan sensor pH untuk mendeteksi asam, asam lemah dan non-asam refluks
menggunakan transnasal kateter lebih dari 24 h. Jumlah episode refluks, bukan dari
persentase waktu paparan, adalah pengukuran kritis dengan nilai normal didirikan dari AS
dan Eropa studies. Hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemantauan impedansi-pH
berguna dalam evaluasi pasien dengan resisten PPI khas gejala refluks, terutama keluhan
regurgitasi, dan batuk kronis yang tidak dapat dijelaskan.

Barium oesophagram
Barium oesophagram relatif murah dan kurang invasif dibandingkan endoskopi. Ini paling
berguna dalam menunjukkan striktur, hernia hiatus dan kelainan utama pada peristaltik.
Kemampuan barium oesophagram untuk mendeteksi esofagitis bervariasi dengan sensitivitas
dari 79-100% untuk esofagitis sedang hingga berat, sedangkan esofagitis ringan, biasanya
tidak bisa. Hal ini juga tidak dapat diandalkan untuk mendeteksi Barrett’s esofagus.

Manometri esofagus
Manometri esofagus memungkinkan penilaian tekanan LES dan relaksasi, serta aktivitas
peristaltik termasuk kontraksi amplitudo, durasi dan kecepatan. Namun, umumnya tidak
ditunjukkan dalam evaluasi pasien GERD tanpa komplikasi karena sebagian besar memiliki
tekanan LES saat istirahat yang normal. Manometri esofagus memadai untuk
mendokumentasikan peristaltik esofagus secara tradisional dianjurkan sebelum operasi
antireflux. Jika Studi mengidentifikasi peristaltik tidak efektif (amplitudo rendah atau sering
gagal peristaltik), maka fundoplication lengkap dapat kontraindikasi. Namun, asumsi ini
baru-baru ini ditantang oleh beberapa penelitian menemukan bahwa kontrol refluks lebih baik
dan disfagia tidak lebih umum pada pasien dengan peristaltik yang lemah setelah lengkap,
sebagai lawan parsial, fundoplication. Sebuah peningkatan manometri tradisional,
menggabungkan dengan pengujian impedansi, membantu untuk memperjelas kontroversi ini.
Menggunakan ini teknologi, penelitian terbaru menemukan bahwa kurang dari 50% dari
pasien dengan peristaltik yang tidak efektif memiliki penundaan yang signifikan dalam transit
bolus esofagus diukur dengan impedansi.

23
Tes PPI
Sebuah percobaan empiris supresi asam adalah metode paling sederhana untuk
mendiagnosis GERD dan menilai hubungannya dengan gejala. Dengan munculnya PPI, tes
ini telah menjadi 'diagnostik' pertama penelitian digunakan pada pasien dengan gejala klasik
atau reflux atipikal tanpa keluhan mengkhawatirkan. Gejala biasanya berespon terhadap tes
PPI dalam satu sampai dua minggu. Jika gejala hilang dengan terapi, dan kemudian kembali
ketika obat dihentikan, didiagnosis GERD. Sebuah review sistematis mengidentifikasi 15
studi yang dinilai akurasi normal atau dosis tinggi PPI selama satu sampai empat minggu
didiagnosis GERD. sensitivitas dikumpulkan baik di 78% (95% CI: 66-86%), tetapi
spesifisitas adalah miskin di 54% (95% CI: 44-65%) ketika 24 h ambulatory pH adalah
digunakan sebagai standar emas.

2.2.7 Komplikasi
Striktur esofagus peptikum
striktur esofagus memiliki prevalensi sekitar 0,1% dan berkaitan dengan ras kulit putih, jenis
kelamin laki-laki dan meningkatkan age. Pasien biasanya hadir dengan disfagia untuk
manakan padat, tapi tidak seperti striktur yang ganas, penurunan berat badan jarang terjadi
karena nafsu makan mereka baik. Ketika disfagia berlangsung, mulas sering menurun
merefleksikan striktur sebagai penghalang untuk refluks lebih lanjut. Striktur peptikum yang
berdinding halus, meruncing, penyempitan melingkar di esofagus bagian bawah, yang
biasanya kurang dari panjang 1 cm. Setengah hingga atas striktur esofagus harus

24
meningkatkan kekhawatiran tentang Barret esophagus atau keganasan. Meskipun masih
kontroversial, Schatzki’s ring dianggap sebagai forme fruste awal peptikum striktur. Semua
pasien striktur harus menjalani endoskopi, paling tidak pada awalnya, untuk mengkonfirmasi
sifat jinak penyakit dan, jika perlu, mengambil biopsi untuk menyingkirkan kanker dan
esophagus Barret.
Esophagus Barrett
Esofagus Barrett adalah konsekuensi dari GERD yang parah, di mana epitel skuamosa
esofagus distal digantikan oleh mukosa columnar khusus yang mengandung sel goblet
(metaplasia intestinal). Penyakit ini lebih sering terjadi pada orang kulit putih, jarang sebelum
usia 50, dan hadir dalam 1-2% dari pasien yang dirujuk untuk endoskopi atas usia. Refluks
empedu dan obesitas telah dikaitkan dengan peningkatan risiko dari Barrett oesophagus.
Diagnosis dapat diduga di endoskopi dan yang melingkar. Histologi diperlukan untuk
mengkonfirmasi diagnosis dan menentukan yang metaplasia intestinal berpotensi
premalignant. Deteksi Barret esophagus adalah tertinggi setelah pasien telah di PPI selama
delapan sampai 12 minggu. Dalam era PPI, esophagus Barrett mudah untuk diobati dan
hanya kepentingan utama karena peningkatan risiko perkembangan adenokarsinoma esofagus
diperkirakan di antara 0,5% dan 1% setiap tahun. Peningkatan durasi, frekuensi dan tingkat
keparahan gejala refluks telah terbukti menjadi faktor risiko untuk kanker ini.
Kanker esofagus
Ada dua jenis utama kanker esofagus: adenokarsinoma dan karsinoma sel skuamosa.
Faktor risiko utama untuk adenokarsinoma adalah Barrett esofagus, dibahas di atas.
Karsinoma sel skuamosa tidak muncul terkait dengan GERD. Namun, hanya sebagian kecil
orang dengan GERD akan berkembang menejadi Barrett esofagus dan persentase yang lebih
kecil untuk adenokarsinoma.1

Manifestasi Extraoesophageal
Gastrooesophageal refluks mungkin menjadi penyebab spektrum yang luas dari kondisi
termasuk nyeri dada non-jantung, asma, radang tenggorokan posterior, batuk kronis,
pneumonitis berulang dan bahkan erosi gigi. Terkait nyeri dada GERD mungkin meniru
angina pectoris, bahkan ke titik yang diinduksi oleh latihan. Mayoritas pasien ini juga
memiliki gejala mulas. Mekanisme nyeri kurang dipahami, mungkin karena volume dan
durasi refluks asam, spasme esofagus sekunder atau kontraksi otot yang berkepanjangan.
Hubungan penyebab antara GERD dan keluhan paru dan telinga, hidung dan tenggorokan
harus lebih berhati-hati.11,16

25
2.2.8 Prognosis
Kebanyakan pasien dengan GERD melakukannya dengan baik dengan obat-obatan,
meskipun relaps setelah penghentian terapi medis umum dan menunjukkan kebutuhan untuk
terapi pemeliharaan jangka panjang.
Mengidentifikasi subkelompok pasien yang mungkin berkembang menjadi komplikasi
yang serius dan diperlakukan secara agresif, penting. Bedah pada tahap awal kemungkinan
besar diindikasikan pada pasien ini. Setelah Nissen fundoplication laparoskopi, gejala
membaik pada 92% pasien.
The LOTUS trial-5 tahun, eksplorasi acak, terbuka, kelompok paralel trial-menunjukkan
bahwa dengan terapi antireflux untuk GERD, baik menggunakan penekanan asam yang
diinduksi obat dengan esomeprazole atau operasi antireflux laparoskopi, kebanyakan pasien
mencapai remisi dan tetap dalam remisi di 5 tahun.
Beberapa pasien memerlukan langkah untuk mengurangi obat asam, dan hanya minoritas
yang sangat kecil memerlukan operasi. Karena gejala gastroesophageal reflux setelah usia 18
bulan cenderung merupakan kondisi kronis, risiko jangka panjang yang meningkat. Untuk
pasien yang gastroesophageal reflux berlanjut ke masa kanak-kanak kemudian, terapi jangka
panjang dengan agen antisekresi sering diperlukan.
Dalam kasus refrakter atau ketika komplikasi yang berhubungan dengan refluks penyakit
diidentifikasi (misalnya, striktur, aspirasi, penyakit saluran napas, Barrett esophagus),
perawatan bedah (fundoplication) biasanya diperlukan. Prognosis dengan operasi dianggap
sangat baik. Morbiditas bedah dan mortalitas lebih tinggi pada pasien yang memiliki masalah
medis yang kompleks di samping gastroesophageal reflux.17

2.2.9 Tatalaksana
1. Modifikasi gaya hidup. Hal ini dilakukan dengan menghilangkan faktor risiko seperti
berhenti merokok, menurunkan berat badan, menghindari makanan yang berpotensial
menyebabkan reflux seperti coklat dan makanan yang mengandung mint, meninggikan
kepala dan tempat tidur, dan menghindari makan sebelum tidur.
2. Farmakologi.
1. Antasida : aman dalam menghilangkan gejala tetapi tidak menyembuhkan lesi
esofagitis. Berfungsi sebagai buffer HCl dan memperkuat sphinter esofageal inferior.
Kelemahannya: 1. Rasa tidak enak, 2. Menimbulkan diare (mengandung magnesium),
dan konstipasi (yang mengandung aluminium), 3. Penggunaannya terbatas pada pasien
dengan gangguan fungsi ginjal. Dosis : 4 x 1 sendok makan sehari.
2. Antagonis reseptor H2 : sebagai penekan sekresi asam, efektif untuk pengobatan GERD
bila dosisnya 2 kali dosis terapi ulkus peptikum/ulkus gaster. Hanya efektif untuk
esofagitis ringan dan tanpa komplikasi. Contohnya : simetidin (2×800 mg atau 4×400
mg), ranitidin (4×150 mg), famotidin (2×20 mg), nizatidin (2 x 150 mg).
3. Prokinetik dan antiemetik : yang termasuk golongan ini adalah metoklopramid,
domperidon dan cisapride.

Metoklopramid : sebagai entagonis dari reseptor dopamin. Efektifitasnya rendah dalam


mengurangi gejala serta tidak berperan dalam penyembuhan lesi di esofagus kecuali

26
dalam kombinasi dengan antagonis reseptor H2 atau PPI. Dapat melalui Blood brain
barrier sehingga membuat mengantuk, pusing, agitasi, tremor dan diskinesia. Dosis :
3×10 mg.

Domperidon : sebagai antagonis reseptor dopamin dengan edek samping minimal


karena tidak melalui Blood brain barrier. Dapat meningkatkan tonus Sphinter esofageal
inferior sehingga mempercepat pengosongan lambung. Dosis : 3 x 10-20 mg per hari.

Cisapride : sebagai antagonis reseptor 5HT4, obat ini dapat mempercepat pengosongan
lambung serta meningkatkan tonus sphincter esofageal inferior. Efektifitas
menyembuhkan lesi dan menghilangkan gejala lebih baik dibanding dengan dimperidon.
Dosis : 3 x 10 mg sehari.

4. Sukralfat (Aluminium Hidroksida + sukrkosa oktasulfat) : dapat meningkatkan


pertahanan mukosa esofagus, sebagai buffer HCl di esofagus dan dapat mengikat pepsin
dan garam empedu. Golongan ini cukup aman karena diberikan secara topikal
(sitoproteksi). Dosis : 4×1 gram.
5. Proton Pump Inhibitor (PPI) : ini merupakan drug of choice (pilihan utama) terapi
GERD. Bekerja dengan mempengaruhi enzim H, K ATP-ase di pompa proton sel parietal
pada tahap akhir pembentukan asam lambung. Sangat efektif menghilangkan gejala,
menghilangkan lesi esofagitis. Diberikan 6-8 minggu sebagai terapi awal dan dilanjutkan
4 bulan sebagai terapi maintenance. Sangat baik bila dikombinasikan dengan
prokinetik/antiemetik

4. Terapi Bedah

Obat-obat yang digambarkan diatas biasanya efektif dalam merawat gejala-gejala dan
komplikasi-komplikasi dari PRGE/GERD. Meskipun demikian, adakalanya tidak efektif.
Contohnya, meskipun dengan penekanan asam yang cukup dan pembebasan dari heartburn,
muntah, dengan potensi-potensinya untuk komplilkasi-komplikasi dalam paru-paru, mungkin
masih terjadi. Lebih dari itu, jumlah-jumlah dan/atau angka-angka dari obat-obat yang
diperlukan untuk perawatan yang memuaskan adakalanya begitu besar sehingga perawatan
obat adalah tidak layak. Pada situasi-situasi semaca ini, operasi dapat secara efektif
menghentikan refluks.

Prosedur operasi yang dilakukan untuk mencegah refluks secara teknik dikenal
sebagai fundoplication dan disebut operasi refluks atau operasi anti-refluks. Perlakuan bedah
standar adalah fundoplication Nissen . Dalam prosedur ini bagian atas perut melilit lower
esophageal sphincter (LES) untuk memperkuat sfingter dan mencegah refluks asam dan

27
untuk memperbaiki hernia hiatus. Prosedur ini sering dilakukan secara laparoskopi . Sewaktu
fundoplication, segala kantong hiatal hernial ditarik kebawah diafragma dan dijahit disana.
Sebagai tambahan, bukaan (opening) pada diafragma yang melaluinya esofagus lewat
diperketat sekitar esofagus. Akhirnya, bagian atas dari lambung yang berdekatan pada bukaan
dari esofagus kedalam lambung dibungkus sekitar esofagus bagian bawah untuk membuat
sfingter esofagus bagian bawah tiruan. Semua dari operasi ini dapat dilakukan melalui
sayatan pada perut (laparotomy) atau menggunakan teknik yang disebut laparoscopy.
Sewaktu laparoscopy, alat penglihat kecil dan alat-alat operasi dimasukan melalui beberapa
tempat-tempat tusukan yang kecil pada perut. Prosedur ini menghindari keperluan untuk
sayatan perut yang besar.
Operasi adalah sangat efektif dalam menghilangkan gejala-gejala dan merawat
komplikasi-komplikasi dari PRGE/GERD. Kira-kira 80% dari pasien-pasien akan
mempunyai pembebasan yang baik dari gejala-gejala mereka untuk paling sedikit 5 sampai
10 tahun. Meskipun demikian, banyak pasien-pasien yang telah mempunyai operasi —
mungkin sebanyak setengah — akan terus menerus meminum obat untuk refluks. Adalah
tidak jelas apakah mereka meminum obat-obat karena mereka terus menerus mempunyai
refluks dan gejala-gejala refluks atau mereka meminumnya untuk gejala-gejala yang sedang
disebabkan oleh persoalan-persoalan yang lain daripada PRGE/GERD.

Komplikasi yang paling umum dari fundoplication adalah menelan makanan yang
menempel pada sfingter tiruan. Untungnya, penempelan biasanya adalah sementara. Jika itu
bukan sementara, perawatan endoskopi untuk meregangkan (melebarkan) sfingter tiruan
biasanya akan menghilangkan persoalan. Hanya adakalanya perlu untuk operasi kembali
untuk merevisi operasi sebelumnya.

Endoskopi

Sangat baru-baru ini, teknik-teknik endoskopip untuk perawatan PRGE/GERD telah


dikembangkan dan diuji. Satu tipe dari perawatan endoskopik melibatkan penjahitan area dari
sfingter esofagus bagian bawah, yang pada dasarnya memperketat sfingter.

Tipe kedua melibatkan aplikasi dari gelombang-gelombang frekwensi radio pada bagian
bawah dari esofagus tepat diatas sfingter. Gelombang-gelombang menyebabkan kerusakan
pada jaringan dibawah lapisan esofagus dan bekas luka atau parut (fibrosis) terbentuk. Bekas
luka menyusut dan menarik jaringan sekitarnya, dengan demikian memperketat sfingter dan
area diatasnya.

28
Tipe ketiga dari perawatan endoskopik melibatkan suntikan dari material-material
kedalam dinding esofagus pada area dari LES. Material yang disuntikan dimaksudkan untuk
meningkatkan tekanan pada LES dan dengan demikian mencegah refluks. Pada satu
perawatan material yang disuntikan adalah polymer. Sayangnya, penyuntikan dari polymer
menjurus pada komplikasi-komplikasi yang serius, dan material untuk suntikan tidak lagi
tersedia. Perawatan yang lain melibatkan suntikan dari pellet-pellet yang dapat mengembang
juga telah dihentikan. Informasi yang terbatas tersedia tentang tipe ketiga dari suntikan yang
menggunakan gelatinous polymethylmethacrylate microspheres.

Perawatan endoskopik mempunyai keuntungan-keuntungan dari tidak memerlukan


operasi. Ia dapat dilakukan tanpa opnama dirumah sakit. Pengalaman dengan teknik-teknik
endoskopik terbatas. Adalah tidak jelas seberapa efektif mereka, terutama jangka panjang.
Karena keefektifan dan tingkat sepenuhnya dari potensi komplikasi-komplikasi dari teknik-
teknik endoskopik tidak jelas, dirasakan umumnya bahwa perawatan endoskopik harus hanya
dilakukan sebagai bagian dari percobaan-percobaan eksperimental.18

29
BAB IV
KESIMPULAN

Penyakit Gastroesophageal reflux (GERD) merupakan manifestasi klinis dari refluks


berlebihan isi lambung asam ke kerongkongan menyebabkan berbagai tingkat iritasi gejala
atau cedera pada mukosa esofagus. Gejala khas GERD termasuk heartburn, regurgitasi dan
disfagia. gejala atipikal atau supraesophageal termasuk gejala paru (asma, batuk kronis),
berbagai gejala laryngo-faring (tenggorokan sakit kronis, faringitis, laringitis, sensasi globus)
dan nyeri dada non-jantung.
Gejala GERD adalah kronis dan secara signifikan dapat mengganggu kualitas hidup.
Pengobatan dengan penghambat pompa proton adalah pengobatan yang efektif, tetapi
membutuhkan terapi seumur hidup mahal biasanya diperlukan. Operasi adalah alternatif yang
baik untuk terapi medis yang berkepanjangan. Pasien dengan GERD parah dan rumit harus
disarankan untuk menjalani operasi, yang tampaknya memberikan hasil yang lebih baik
dibandingkan dengan terapi medis. Operasi mengoreksi penyebab GERD; itu perbaikan
hiatus hernia, menambah sfingter esofagus rendah dan meningkatkan pengosongan lambung
dan motilitas tubuh esofagus. Ini menciptakan penghalang mencegah tidak hanya dari refluks
asam, tetapi juga dari refluks isi empedu dan regurgitasi makanan. Oleh karena itu, operasi
tampaknya lebih efektif dalam mengontrol kedua gejala dan perkembangan penyakit ke
bentuk yang lebih serius nya metaplasia Barrett dan mungkin adenokarsinoma.
fundoplication laparoskopi adalah standar emas untuk pengobatan bedah GERD parah dan
hasil dalam kepuasan sekitar 95% pasien.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. P. Evelyn , C. Anatomi dan fisiologi untuk paramedik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Umum; 2006.
2. Sherwood, Lauralee. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem, Ed. 2. Jakarta:Penerbit Buku
Kedokteran EGC;2001.
3. Eroschenko V. P. Atlas Histologi di Fiore dengan Korelasi Fungsional Edisi 9. Jakarta :
EGC; . 2003.
4. Vakil N, van Zanten SV, Kahrilas P, Dent J, Jones R; Global Consensus Group. The
Montreal definition and classification of gastroesophageal reflux disease: a global
evidence-based consensus. Am J Gastroenterol 2006;101:1900-1920.
5. Goh KL, Wong CH. Gastrooesophageal reflux disease: An Emerging Disease in Asia. J
Gastroenterol Hepatol 2006; 2:118-23.
6. Makmun D. Penyakit refluks gastroesofageal. Dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-5. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2009.hal 481-95.
7. Hafil FA,Cahyono ,Armiyanto,Hadiwikarta A,Roezin A,Hermani B dkk.Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan leher.Edisi ke -6.cetakan ke-6.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.Jakarta.2011.Hal : 305.
8. Makmun D. Penyakit refluks gastroesofageal. Dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-5. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2009.hal.481-95.
9. Goh KL, Wong CH. Gastrooesophageal reflux disease: An Emerging Disease in Asia. J
Gastroenterol Hepatol 2006; 2:118-23.
10. Iskandar N, Soepadrdi E, Bashiruddin J, Restuti R. Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga
Hidung Tenggorokan Kepala Leher. Edisi keenam. Jakarta: Balai penerbit FKUI.2007.
11. Kahrilas PJ, Talley NJ. Gastrooesophageal reflux disease. Center Gastroenterology
Specialists in Digestive Health 2016.
12. Hiltz SW, Black E, Modlin EM, Johnson SP, Schoenfeld PS, Allen J, et al. American
Gastroenterological Association medical position statement on the management of
gastroesophageal reflux disease, Gastroenterology 2008;135:1383-91
13. Stanghellini V, Amstrong D, Monnikes H, Bardhans KD. Systematic Review: do we
need a new gastro-esophageal reflux disease questionnaire? Aliment Pharmacol Ther
2004; 19: 463-79.
14. Makmun D. Penyakit refluks gastroesofageal, Dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-5. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2009.hal.481-95
15. Hongo M, Kinoshita Y, Shimozuma K, Kumagai Y, Sawada M, Nii M. Psychometric
validation of the Japanese translation of the quality of life in reflux and dyspepsia
questionnaire in patients with heartburn. J gastroenterol 2007; 42: 802-15.
16. Richter JE. Gastrooesophageal Reflux Disease. Best Practice & Research Clinical
Gastroenterology 2007; 21(4):609-31.
17. Patti,MG,Et.Al. Gastrooesophageal Reflux Disease. Accessed At 27 November 2016.
Cited Http://Emedicine.Medscape.Com/Article/176595-Overview#A7.
18. Sudoyo, Aru W.Buku Ajar ILMU PENYAKIT DALAM. Jakarta : Interna Publishing;
2009

31
32

Anda mungkin juga menyukai