Anda di halaman 1dari 17

1

Sejarah Munculnya Berbagai Panduan Manajemen Hipertensi


Pada tahun 1970-an The American Heart Association membentuk suatu organisasi yang
disebut sebagai The Joint National Committee on the Detection, Evaluation and Treatment
of High Blood Pressure yang tugasnya adalah seperti pada namanya tersebut. Organisasi ini
selalu disebut sebagai JNC. Pengumuman pertama JNC ini dikeluarkan pada tahun 1977.
JNC tidak hanya memuat mengenai tata cara pengobatan hipertensi tetapi juga memuat tata
cara pengukuran tekanan darah, diagnosis, klassifikasi hipertensi serta berbagai golongan
dan jenis obat yang actual dan akhir akhir ini mengenai stratifikasi faktor risiko sehingga
menjadi panduan bukan hanya dalam menurunkan tekanan darah dan target penurunan
tekanan darah, akan tetapi juga memberi arahan pemberian terapi secara komprehensif,
termasuk perobahan gaya hidup (therapeutic life style changes).
JNC -2 dilaporkan pada 1980, JNC-3 pada 1984, JNC-4 1988, JNC-5 pada 1993, JNC-6
pada 1997 dan JNC-7 pada tahun 2003 19-21. WHO telah pula membentuk Expert
Committe dan mengadakan pertemuan, pertama adalah pada tahun 1958, disusul dengan
tahun 1961dan pada tahun 1978 mengeluarkan suatu buku dengan judul Hypertensin
Control. Pada tahun 1975 WHO bergabung dengan International Society of Hipertensin
(ISH) dalam memberi panduan manajemen hipertensi yang mengadakan pertemuan tahunan.
Pada tahun 1999 dan 2003 WHO-ISH mengeluarkan panduan 22-24.
Inggeris juga mengeluarkan panduan sendiri, yang mereka sebut sebagai British
Hypertension Society (BHS) guidelines, pada tahun 2003 dan diperbaharui pada tahun 2004
dan 2006 25,26. European Society of Hypertensin dan European Society of Cardiology
juga bergabung membuat panduan pada tahun 2003 dan diperbaharui pada tahun 2007
27,28.. Canada dan Australia juga mengeluarkan panduan masing masing yang secara
periodik selalu diperbaharui 29,30. Diantara panduan ini ada banyak kesamaan akan tetapi
disana sini ada perbedaan.
Indonesia membuat sendiri buku panduan hipertensi berdasarkan consensus para pakar
Indonesia disesuaikan dengan kondisi Indonesia. Seluruh Guidelines yang ada pada
umumnya memuat 3 hal:
1. Panduan mengenai tatacara mengukur/mendapat tekanan darah yang benar. Pada
umumnya menyaratkan pengukuran berulang kali dengan kehatihatian dalam pengukuran.
2. Memberi terapi tidak hanya didasarkan tingginya tekanan darah akan tetapi juga dengan
jenis dan jumlah factor risiko lain yang dipunyai pasien secara bersamaan.
3. Anjuran agar tidak ragu ragu memakai kombinasi (beberapa) obat obatan anti hipertensi
sampai target tekanan darah tercapai.
4. Menetapkan target tekanan darah yang perlu dicapai dalam berbagai keadaan agar secara
maksimal kerusakan organ sasaran dapat dicegah.

Definisi Krisis Hipertensi


Krisis hipertensi adalah suatu keadaan klinis yang ditandai oleh tekanan darah yang sangat
tinggi (tekanan darah sistolik 180 mmHg dan/ atau diastolik 120 mmHg) yang
membutuhkan penanganan segera.1,5

Klasifikasi Krisis Hipertensi


Menurut The Seventh Report of The Joint National Committe on Prevention, Detection,
Evaluaion, and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7) klasifikasi tekanan darah pada orang
dewasa terbagi menjadi kelompok normal, prahipertensi, hipertensi derajat 1 dan derajat 2.
(Tabel 2.1)2
Tabel 2.1 Klasifikasi tekanan darah menurut JNC 72
Klasifikasi
Sistolik (mmHg)
Diastolik (mmHg)
Normal
<120
dan <80
Prahipertensi
120-139
atau 80-89
Hipertensi Derajat I
140-159
atau 90-99
Hipertensi Derajat II
160
atau 100
Pada JNC 7 tidak menyertakan hipertensi krisis ke dalam tiga stadium klasifikasi
hipertensi, namun hipertensi krisis dikategorikan dalam pembahasan hipertensi sebagai keadaan
khusus yang memerlukan tatalaksana yang lebih agresif.
a

Hipertensi darurat (Emergency hypertension)


Kenaikan tekanan darah mendadak (sistolik 180 mmHg dan atau diastolik 110
mmHg) dengan kerusakan organ target yang bersifat progresif, sehingga tekanan darah

harus diturunkan segera dalam hitungan menit sampai jam.5


Hipertensi mendesak (Urgency hypertension)
Kenaikan tekanan darah mendadak (sistolik 180 mmHg dan atau diastolik 120
mmHg) tanpa kerusakan organ target yang progresif atau minimal. Sehingga penurunan
tekanan darah bisa dilaksanakan lebih lambat dalam hitung jam sampai hari.5
(24- 48 jam)

Kedua jenis krisis hipertensi ini perlu dibedakan dengan cara anamnesis dan pemeriksaan
fisik karena baik faktor resiko dan penanggulanganya berbeda.
4

Epidemiologi
Hipertensi krisis merupakan salah satu kegawatan dibidang neurovaskular yang sering
dijumpai di instalasi gawat darurat. Hipertensi krisis ditandai dengan peningkatan tekanan darah
akut dan sering berhubungan dengan gejala sistemik yang merupakan konsekuensi dari
peningkatan darah tersebut. Ini merupakan komplikasi yang sering dari penderita dengan

hipertensi dan membutuhkan penanganan segera untuk mencegah komplikasi yang mengancam
jiwa. Dua puluh persen pasien hipertensi yang datang ke UGD adalah pasien hipertensi krisis.
Kejadian krisis hipertensi diperkirakan akan meningkat pada masyarakat sejalan dengan
meningkatnya data hipertensi, seperti dikemukakan oleh majalah the Lancet dan WHO, dari
26% (tahun 2000) mejadi 29% (tahun 2005) sehingga diperkirakan kejadian hipertensi krisis
akan meningkat dari 0,26% menjadi 0,29% penduduk dewasa di seluruh dunia pada masa yang
akan datang.
5

Faktor Faktor yang Mempengaruhi Hipertensi


Faktor penyebab hipertensi intinya terdapat perubahan vascular, berupa disfungsi endotel,
remodeling, dan arterial striffness. Namun faktor penyebab hipertensi emergensi dan hipertensi
urgensi masih belum dipahami. Diduga karena terjadinya pe-ningkatan tekanan darah secara
cepat disertai peningkatan resistensi vaskular. Peningkatan tekanan darah yang mendadak ini
akan menyebabkan jejas endotel dan nekrosis fibrinoid arteriol sehingga membuat kerusakan
vaskular, deposisi platelet, fibrin dan kerusakan fungsi autoregulasi.
Krisis hipertensi bisa terjadi pada keadaan-keadaan sebagai berikut :
a. Penderita hipertensi yang tidak meminum obat atau minum obat anti hipertensi tidak
teratur
b. Kehamilan
c. Penggunaan NAPZA
d. Penderita dengan rangsangan simpatis yang tinggi seperti lika bakar berat,
phaeochromocytoma, penyakit kolagen, penyakit vascular, trauma kepala.
e. Penderita hipertensi dengan penyakit parenkim ginjal.

6 Etiologi

7 Patofisiologi
Banyak faktor yang dapat menyebabkan hipertensi menjadi krisis hipertensi. Hipertensi
kronis jarang menyebabkan terjadinya krisis hipertensi karena adaptasi pebuluh darah sehingga
kerusakan organ target dapat dicegah. Krisis hipertensi terjadi karena peningkatan tahanan
vaskuler sistemik. Endotel memiliki peranan penting dalam mengatur homeostasis tekanan
darah dengan mensekresikan beberapa substansi seperti nitrit oxide (NO) dan prostasiklin.
Peningkatan vasoreaktif dapat dipresipitasi oleh pelepasan substansi vasokonstriksi seperti
angiotensin II, norepinefrin atau keadaan yang menyebabkan suatu kondisi hipovolemia.
Aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS) berperan penting pada proses hipertensi
berat. Angiotensin II menyebabkan cedera pada pembuluh darah sehingga terjadi aktivasi gen

proinflamatori seperti interleukin 6 dan NF-k. Selama terjadi peningkatan tekanan darah,
endotel mengkompensasi dengan melepaskan vasodilator seperti NO. Saat endotel tidak lagi
mampu mengkompensasi maka akan terjadi peningkatan tekanan darah dan kerusakan
endotel.1,2
Kegagalan mekanisme tubuh dalam mengkompensasi menyebabkan peningkatan resistensi
pembuluh darah dan kerusakan endotel. Mekanisme pasti kerusakan endotel belum diketahui
secarapasti. Hali ini mungkin berhubungan dengan respon imun sehingga terjadi pelepasan
sitokin, vasokonstriktor endotelin dan peningkatan ekspresi endothelial adhesion molecules.
Peningkatan ekspresi cell adhesion molecules seerti P-selectin, atau intracellular adhesion
molecule 1 oleh sel endotel menyebabkan terjadinya inflamasi yang menyebabkan
bertambahnya kerusakan fungsi sel endotel, peningkatan permeabilitas endotel, menghambat
aktivitas fibrinolitik endotel dan aktivasi kaskade koagulasi. Agregasi trombosit dan degranulasi
pada endotel yang mengalami kerusakan akan memicu terjadinya inflamasi lebih lanjut,
thrombosis dan vasokonstriksi.1,2

Gambar 2.1 Perubahan pada vaskular selama krisis hipertensi

Arteri normal pada individu normotensi akan mengalami dilatasi atau kontriksi dalam
merespon terhadap perubahan tekanan darah untuk mempertahankan aliran (mekanisme
autoregulasi) yang tetap terhadap vascular beeds sehingga kerusakan arteriol tidak terjadi. Pada
krisis hipertensi terjadi perubahan mekanisme autoregulasi pada vascular beeds (terutama
jantung, SSP, dan ginjal) yang mengakibatkan terjadinya perfusi. Akibat perubahan ini akan
terjad efek local dengan berpengaruhnya prostaglandin, radikal bebas dan lain-lain yang
mengakibatkan nekrosis fibrinoid arteriol, disfungsi endotel, deposit platelet, proliferasi
miointimal, dan efek siskemik akan mempengaruhi renin-angiotensin, katekolamin, vesopresin,
antinatriuretik kerusakan vaskular sehingga terjadi iskemia organ target. Jantung, SSP, ginjal
dan mata mempunyai mekanisme autoregulasi yang dapat melindungi organ tersebut dari

iskemia yang akut, bila tekanan darah mendadak turun atau naik. Misalkan individu normotensi,
mempunyai autoregulasi untuk mempertahankan perfusi ke SSP pada tekanan arteri rata-rata.
Mean Arterial Pressure (MAP) = Diastole + 1/3 (Sistole - Diastole)
Pada individu hipertensi kronis autoregulasi bergeser kekanan pada tekanan arteri ratarata (110-180mmHg).Mekanisme adaptasi ini tidak terjadi pada tekanan darah yang mendadak
naik (krisis hipertensi), akibatnya pada SSP akan terjadi endema dan ensefalopati, demikian
juga halnya dengan jantung, ginjal dan mata.3
8

Kerusakan Organ Target


Hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Kerusakan organ organ target yang umum ditemui pada pasien hipertensi adalah:2
1 Jantung
- Hipertrofi ventrikel kiri
- Angina atau infark miokardium
- Gagal jantung
2 Otak (stroke atau transient ischemic attack)
3 Penyakit ginjal kronis
4 Penyakit arteri perifer
5 Retinopati
Beberapa peneliti menemukan bahwa penyebab kerusakan organ organ tersebut dapat
diakibatkan langsung dari kenaikan tekanan darah, atau karena efek tidak langsung, antara lain
adanya autoantibodi terhadap reseptor AT1 angitensin II, stress oksidatif, down regulation dari
ekspresi nitric oxide synthase, dan lain lain. Penelitian lain juga membuktikan bahwa diet tinggi
garam dan sensitivitas terhadap garam berperan besar dalam timbulnya kerusakan organ target,
misalnya kerusakan pembuluh darah akibat meningkatnya ekspresi transforming growth factor (TGF-).2
Adanya kerusakan organ target terutaa pada jantung dan pembuluh darah akan
memperburuk prognosis pasien hipertensi. Tingginya morbiditas dan mortalitas pasien
hipertensi terutama disebabkan oleh timbulnya penyakit kardiovaskular. Faktor resiko penyakit
kardiovaskular pada pasien hipertensi antara lain adalah:2
- Merokok
- Obesitas
- Kurangnya aktivitas fisik
- Dislipidemia
- Diabetes melitus
- Mikroalbuminuria atau perhitungan LFG <60 ml/menit
- Umur (laki laki >55 tahun, perempuan >65 tahun)
- Riwayat keluarga dengan penyakit jantung kardiovaskular prematur (laki laki < 55
tahun, perempuan <65 tahun)

Pasien dengan prehipertensi berisiko mengalami peningkatan tekanan darah menjadi


hipertensi; mereka yang tekanan darahnya berkisar antara 130-139/80-89 mmHg dalam
sepanjang hidupnya akan memiliki dua kali risiko menjadi hipertensi dan mengalami penyakit
kardiovaskular dari pada yang tekanan darahnya lebih rendah. Pada orang yang berumur lebih
dari 50 tahun, tekanan darah sistolik > 140 mmHg merupakan faktor risiko yang lebih penting
untuk terjadinya penyakit kardiovaskular dari pada tekanan darah diastolik:2
- Risiko penyakit kardiovaskular dimulai pada tekanan darah 115/75 mmHg,

meningkat dua kali dengan tiap kenaikan 20/10 mmHg.


Risiko penyakit kardiovaskular bersifat kontinyu, konsisten, dan independen dari

faktor risiko lainnya.


Individu berumur 55 tahun memiliki 90% risiko untuk mengalami hipertensi.

Gambaran Klinis Krisis Hipertensi


Sebagian besar penderita dengan hipertensi tidak mempunyai gejala spesifik yang
menunjukkan kenaikan tekanan darahnya dan hanya diidentifikasi dari pemeriksaan fisik,
sehingga peninggian tekanan darah tidak jarang merupakan satu satunya tanda pada hipertensi.
Gejala yang ditimbulkan berbeda beda tergantung tingginya tekanan darah. Kadang kadang
hipertensi esensial berjalan tanpa gejala dan baru timbul gejala setelah terjadi komplikasi pada
organ target seperti pada ginjal, mata, otak dan jantung. Gejala seperti sakit kepala, epistaksis
dan migren dapat ditemukan sebagai gejala klinis hipertensi esensial meskipun tidak jarang
yang tanpa gejala. Pada hasil observasi mengenai hipertensi di Paris, dari 1771 pasien hipertensi
yang tidak dapat diobati, gejala sakit kepala menduduki urutan pertama, diikuti oleh palpitasi,
nokturia, pusing dan tinnitus. Pada observasi tersebut tidak didapatkan korelasi antara tingginya
tekanan darah dan gejala yang timbul.7
Pada survey hipertensi di Indonesia tercatat sebagai keluhan yang dihubungkan dengan
hipertensi. Pada penelitian A. Gani,dkk. Gejala klinisi seperti pusing, cepat marah dan telinga
berdenging merupakan gejala yang sering dijumpai, selain gejala lain seperti mimisan, sukar
tidur dan sesak nafas. Penelitian ini tidak berbeda dengan Harmaji,dkk yang melaporkan
mendapatkan keluhan pusing, rasa berat di tengkuk dan sukar tidur adalah gejala yang paling
sering dijumpai pada pasien hipertensi, rasa mudah lelah dan cepat marah juga banyak dijumpai,
sedangkan mimisan jarang ditemukan.8

10 Diagnosis
Diagnosis krisis hipertensi harus ditegakkan sedini mungkin, karena hasil terapi tergantung
kepada tindakan yang cepat dan tepat. Pada pemeriksaan yang menyeluruh kita sudah dapat
mendiagnosis suatu krisis hipertensi.

Anamnesis meliputi:2
a Lamanya menderita hipertensi dan derajat tekanan darah
b Indikasi adanya hipertensi sekunder
- Keluarga dengan penyakit ginjal (ginjal polikistik).
- Adanya penyakit ginjal, infeksi saluran kemih, hematuri, pemakaian obat obat

e
f
2

analgesik dan obat/ bahan lain.


- Episode berkeringat, sakit kepala, kecemasan, palpitasi (feokromositoma).
- Episode lemah otot dan tetani (aldosteronisme).
Faktor faktor risiko
- Riwayat hipertensi atau kardiovaskular pada pasien atau keluarga.
- Riwayat hiperlipidemia pada pasien atau keluarga.
- Riwayat diabetes melitus pada pasien atau keluarga.
- Kebiasaan merokok.
- Pola makan.
- Kegemukan, intesnitas olah raga
- Kepribadian.
Gejala kerusakan organ
- Otak dan mata: sakit kepala, vertigo, gangguan penglihatan, transient ischemic
attacks, defisit sensoris atau motoris.
- Jantung: palpitasi, nyeri dada, sesak napas, bengkak di kaki.
- Ginjal: haus, poliuri, nokturia, dan hematuria.
- Arteri perifer: ekstremitas dingin, klaudikasio intermiten.
Pengobatan antihipertensi sebelumnya
Faktor faktor pribadi, keluarga dan lingkungan
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pengukuran tekanan darah dikedua lengan, mencari
kerusakan organ sasaran (retinopati, gangguan neurologi, payah jantung kongestif,
diseksi aorta). Palpasi denyut nadi di keempat ekstremitas. Auskultasi untuk mendengar
ada atau tidaknya bruit pembuluh darah besar, bising jantung dan ronki paru. Selain itu
harus juga dicari berbagai komplikasi krisis hipertensi lainnya dengan kegawatan
neurologi ataupun payah jantung kongestif dan udema paru. Perlu dicari penyakit
penyerta lain seperti penyakit jantung koroner.1,9

Pengukuran tekanan darah:2


Pengukuran rutin di kamar periksa
Pengukuran di kamar periksa dilakukan pada posisi duduk di kursi setelah pasien
istirahat selama 5 menit, kaki di lantai dan lengan pada posisi setinggi jantung. Ukuran
dan peletakan manset (panjang 12-13 cm, lebar 35 cm untuk standar orang dewasa) dan
stetoskop harus benar (gunakan suara Korotkoff fase I dan V untuk penentuan sistolik
dan diastolik). Pengukuran dilakukan dua kali, dengan sela antara 1 sampai 5 menit,
pengukuran tambahan dilakukan jika hasil kedua pengukuran sebelumnya sangat

berbeda. Konfirmasi pengukuran pada lengan kontralateral dilakukan pada kunjungan


pertama dan jika didapatkan kenaikan tekanan darah. Pengukuran denyut jantung dengan
menghitung nadi (30 detik) dilakukan saat duduk segera sesudah pengukuran tekanan
darah. Untuk orang usia lanjut, diabetes dan kondisi lain dimana diperkirakan ada
b

hipotensi ortostatik, perlu dilakukan juga pengukuran tekanan darah pada posisi berdiri.2
Pengukuran 24 jam (Ambulatory Blood Pressure Monitoring-ABPM)2
Beberapa indikasi penggunaan ABPM antara lain:
- Hipertensi yang borderline atau yang bersifat episodik
- Adanya disfungsi saraf otonom
- Hipertensi sekunder
- Sebagai pedoman dalam pemilihan obat antihipertensi
- Tekanan darah yang resisten terhadap pengobatan antihipertensi
- Gejala hipotensi yang berhubungan dengan pengobatan antihipertensi.
Pengukuran sendiri oleh pasien
Pengukuran sendiri di rumah memiliki kelebihan dan kekurangan. Kekurangannya
adalah masalah ketepatan pengukuran, sedang kelebihannya antara lain dapat
memberikan banyak hasil pengukuran. Beberapa peneliti bahwa pengukuran di rumah
lebih mewakili kondisi tekanan darah sehari hari. Pengukuran tekanan darah di rumah
juga diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan pasien dan menigkatkan keberhasilan
pengendalian tekanan darah serta menurunkan biaya.2

3.

Pemeriksaan Penunjang 1,9


- Pemeriksaan laboratorium awal : Urinalisis, darah lengkap dan elektrolit
- Pemeriksaan penunjang : Elektrokardiografi dan foto thoraks
- Pemeriksaan penunjang lainnya bila memungkinkan : CT Scan Kepala,
Echocardiogram.

2.9 Penatalaksanaan Krisis Hipertensi


Tujuan penatalaksanaan krisis hipertensi adalah menurunkan tekanan darah sesegera
mungkin. Setelah itu dapat dilakukan pengobatan terdiri dari terapi non farmakologis dan
farmakologis. Terapi non farmakologis harus dilaksanakan oleh semua pasien hipertensi dengan
tujuan menurunkan tekanan darah dan mengendalikan faktor faktor resiko serta penyakit
penyerta lainnya.1,9,10
a

Non farmakologi
Terapi non farmakologis terdiri dari: 1,9,10

- Menurunkan berat badan (5-20 mmHg/10 kg)


- Menghentikan rokok
- Menurunkan berat badan berlebih
- Menurunkan konsumsi alkohol yang berlebihan (2-4 mmHg)
- Latihan fisik; 30 menit/hari (4-9 mmHg)
- Menurunan asupan garam ; 2,4 gram-6 gram (2-8 mmHg)
- Meningkatkan konsumsi buah dan sayur serta menurunkan asupan lemak.
Farmakologi1,9,10
Penatalaksanaan hipertensi emergensi:
1Harus dilakukan di RS dengan fasilitas pemantauan yang memadai.
2Pengobatan parenteral diberikan secara bolus atau infus sesegera mungkin.
3Tekanan darah harus diturunkan dalam hitungan menit sampai jam dengan langkah
sebagai berikut:
- 5 - 120 menit pertama tekanan darah rata rata (mean arterial blood) diturunkan
-

20-25%.
2- 6 jam kemudian diturunkan sampai 160/100 mmHg.
6-24 jam berikutnya diturunkan sampai <140/90 mmHg bila tidak ada gejala
iskemia organ.

Obat obatan yang digunakan:1,9,10


1Clonidin (catapres) IV 150 mcg/ampul
- Clonidin 900 mcg dimasukkan dalam cairan glukosa 5% 500cc dan diberikan
dalam mikrodrip 12 tetes per menit, setiap 15 menit dapat dinaikkan 4 tetes
-

sampai tekanan darah yang diharapkan tercapai.


Bila tekanan darah target tercapai pasien diobservasi selama 4 jam kemudian

diganti dengan tablet clonidin oral sesuai kebutuhan.


Clonidin tidak boleh dihentikan mendadak tetapi diturunkan perlahan lahan oleh
karena bahay rebound phenomen, dimana tekanan darah naik secara cepat bila

obat dihentikan.
2Diltiazem (Herbesser) IV 10 mg dan 50 mg/ ampul

Diltiazem 10 mg IV diberikan selama 1-3 menit kemudian diteruskan dengan

infus 50 mg/jam selama 20 menit.


Bila tekanan darah telah turun >20% dari awal, dosis diberikan 30 mg/jam

sampai target tercapai.


Diteruskan dengan dosis maintanance 5-10 mg/jam dengan observasi 4 jam

kemudiandiganti dengan tablet oral.


3Nicardipin (Perdipin) IV 12 mg dan 10 mg/ampul
- Nicardipin diberikan 10-30 mcg/kgBB bolus
- Bila tekanan darah stabil diteruskan dengan 0,5-6 mcg/kgBB/menit sampai target
4

tercapai.
Labetalol (Normodyne) IV
Diberikan 20-80 mg IV bolus setiap 10 meit atau dapat diberikan dalam cairan

infus dengan dosis 2 mg/menit.


Nitropruside (Nitropress, Nipride) IV
Diberikan dalam cairan infus dengan dosis 0,25-10 mcg/kg/menit.

Tabel 2.2 Obat parenteral yang dipakai di Indonesia10,11


Obat
Klonidin IV
150 ug

Dosis
6 amp per 250 cc
Glukosa 5%
mikrodrip

Efek
30-60 min

Onset
24 jam

Perhatian khusus
Ensepalopati
dengan gangguan
koroner

Nitrogliserin
IV
Nicardipine
IV

10-50ug
100ug/cc per 500 cc
0,5-6 ug/kg/menit

2-5 min

5-10 min

Diltiazem
IV

5-15 ug/kg/menit

1-5 min

15-30
min

Nitroprussid
e IV *

0,25-10 mcg / kg /
menit

Langsung

2-3 menit

Sakit kepala,
takikardia, muntah,
Takikardi, mual,
muntah, sakit
kepala, peningkatan
tekanan
intrakranial;
Takikardi, mual,
muntah, sakit
kepala, peningkatan
tekanan
intrakranial;
Mual, muntah,
penggunaan jangka
panjang dapat
menyebabkan
keracunan tiosianat,

1-5 min

15-30
min

obat ini belum beredar resmi di Indonesia

Penatalaksanaan hipertensi urgensi


Penatalaksanaa hipertensi urgensi cukup dengan obat oral yang bekerja cepat sehingga
menurunkan tekanan darah dalam beberapa jam.
Tabel 2.3 Obat hipertensi oral yang dipakai di Indonesia10,11

Obat
Dosis
Efek
Captopril
ulangi per 30 15-30 min
12,5 - 25 mg
min
Clonidine 75
ulangi per
30-60 min
- 150 ug,
jam
Propanolol 10 ulangi setiap
15-30 min
- 40 mg PO
30 min
Nifedipine 5 - ulangi setiap
5 -15 min
10 mg
15 menit
Tujuan pengobatan pasien hipertensi adalah:4
-

Lama Kerja
6-8 jam

Perhatian khusus
Stenosis a.renalis

8-16 jam

mengantuk, mulut
kering
Bronkokonstriksi,
blok jantung,
Gangguan koroner

3-6 jam
4-6 jam

Target tekanan darah < 140/90 mmHg, untuk individu beresiko tinggi (diabetes, gagal
ginjal, proteinuria < 130/80 mmHg).

Penurunan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular.

Menghambat laju penyakit ginjal proteinuria.


Selain pengobatan hipertensi, pengobatan terhadap faktor resiko atau kondisi penyerta

lainnya seperti diabetes melitus atau dislipidemia juga harus dilaksanakan hingga mencapai
target terapi masing-masing kondisi.4
Jenis-jenis obat antihipertensi untuk terapi farmakologis hipertensi yang dianjurkan oleh
JNC 7: 4
-

Diuretika, terutama jenis Thiazide (Thiaz) atau Aldosterone antagonist (Aldo Ant)

Beta Blocker (BB)

Calcium Channel Blocker atau Calcium antagonist (CCB)

Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)

Angiotensin II Receptor Blocker atau AT1 receptor antagonist/blocker (ARB).


Diuretika golongan tiazid

bekerja meningkatkan ekskresi natrium, air dan klorida

sehingga menurunkan volume darah dan cairan ekstraseluler akibatnya terjadi penurunan curah
jantung dan tekanan darah. Yang termasuk golongan tiazid antara lain:12
-

Hidroklorotiazid (HCT), dosis: 12,5-25 mg, 1 x sehari.


Klortalidon, dosis: 12,5-25 mg, 1 x sehari.
Indapamid, dosis: 1,25-2,5 mg, 1 x sehari.
Bendroflumetiazid, dosis: 2,5-5 mg, 1 x sehari.
Metolazon, dosis: 2,5-5, 1 x sehari.
Xipamid, dosis: 10-20 mg, 1 x sehari.
Yang termasuk golongan beta bloker, antara lain:12
Kardioselektif: asebutolol, atenolol, bisoprolol, metoprolol.
Non selektif: alprenolol, karteolol, nadolol, oksprenolol, pindolol, propranolol, timolol,
karvedilol, labetalol.
Beberapa obat yang termasuk dalam golongan antagonis kalsium: Nifedipin, verapamil,
diltiazem, amilodipin, nikardipin, isradipin, felodipin.12

Beberapa obat yang tergolong ACEI: Kaptopril, benazepril, enalapril, fosinopril,


lisinopril, perindopril, quinapril, trandolapril, dan imidapril.12
Beberapa obat yang tergolong ARB: Losartan, valsartan, irbesartan, telmisartan,dan
candesartan.

BAB IV
PEMBAHASAN
Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik berupa pengukuran tekanan darah pada awal
datang dengan tekanan darah 210/160 mmHg. Hal ini dapat disimpulkan, pasien ini mengalami
suatu krisis hipertensi dengan tekanan darah sistolik 180 mmHg dan/ atau diastolik 120
mmHg. Krisis hipertensi harus diklasifikasikan apakah krisis hipertensi ini merupakan krisis
hipertensi urgensi atau krisis hipertensi emergensi. Sehingga diperlukan data tambahan lainnya,
pada pasien ditemukan sakit kepala, kepala pusing. tengkuk terasa berat, tidak ada keluhan nyeri

dada, tidak ada sesak napas, tidak ada pandangan kabur, tidak ada kelemahan anggota gerak. Ini
dapat dipikirkan tidak ada kerusakan organ target, jadi mengarah ke hipertensi urgensi, Akan
tetapi, pada pasien tidak dilakukan funduskopi sehingga tidak dapat diketahui apakah terjadi
kerusakan pada mata atau tidak. Dari pemeriksaan fisik paru, jantung, abdomen dalam batas
normal. Kemungkinan tidak adanya kerusakan organ target.
Berdasarkan klasifikasi JNC 7 pasien dengan tekanan darah 210/160 mmHg termasuk
dalam keadaan hipertensi grade II. Hal ini ditandai juga dari adanya keluhan sakit kepala, terasa
berat di tengkuk, kepala pusing. Selain itu diketahui, pasien memiliki riwayat hipertensi sejak 2
tahun yang lalu. Pasien ini memiliki riwayat hipertensi yang tidak terkontrol, obat obat
antihipertensi hanya dikonsumsi pada saat keluhan saja.
Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien ini adalah adalah IVFD RL 20 tts/ menit,
captopril 2 x 25 gr, amlodipin 1x 5 mg, hidroklorotiazid 1 x 25mg. Pada hipertensi urgensi
dengan gejala nyeri kepala yang hebat tanpa ada gejala kerusakan organ target penyerta
dilakukan terapi dengan observasi 1-3 hari.
Pada pasien ini pemberian obat antihipertensi sudah mencapai target terapi yaitu tekanan
darah menjadi 120/80 mmHg.

DAFTAR PUSTAKA
1

Kaplan NK. Hypertensive crisis. In: Kaplans clinical hypertension 8th edition. Lipincott

William & Wilkins. 2002.


Yogiantoro M. Hipertensi esensial dalam Sudoyo Aw dkk, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid I. Edisi IV. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2006.

Rahajeng E, Tuminah S. Prevalensi hipertensi dan determinannya di Indonesia. Jakarta:


Pusat Penelitian Biomedis dan Farmasi Badan Penelitian Kesehatan Departemen Kesehatan

RI. 2009.
Majid Abdul. Krisis hipertensi aspek klinis dan pengobatan. Bagian Fisiologi Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2004: 1-7.


Roesma J. Krisis hiprtensi dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi IV. Jakarta:

FK UI. 2006: 616-617.


Isselbacher dkk. Harrison prinsip prinsip ilmu penyakit dalam. Volume 3. Edisi 13. Jakarta:

Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2000.


Sudoyo AW dkk, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid I. Edisi IV. Jakarta:

Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.


Price SA, Wilson GH. Hypertensive vascular disease dalam Harrisons principle of internal

medicine. 16th edition. USA: Mc Graw HillCompanies Inc. 2005.


Riaz,
Kamran.
Hypertensive
heart
disease.

Available

from

http://www.emedicine.com/MED/topic3432.httm.
10 Vidt D. Hypertensive crises: emergencies and urgencies. Clev Clinic Med. 2003.
11 Baim, Donald S. Hypertensive vascular disease in : Harrisons Principles of Internal
Medicine. 7th Ed. USA. The Mc Graw Hill Companies, Inc. 2008. p 241.
12 Vaughan CJ, Norman D. Hypertensive emergincies. The Lancet. 2000: 356.

Tatalaksana oxford
Cover & no iv 4
Nefrology
450
518 - 525
Cardiology

754 - 761

JNC
International Society of Hipertensin (ISH) 2003 WHO-ISH
British Hypertension Society (BHS) guidelines
European Society of Hypertensin dan European Society of Cardiology
Canada dan Australia
Indonesia membuat sendiri buku panduan hipertensi berdasarkan consensus para pakar
Indonesia disesuaikan dengan kondisi Indonesia. Seluruh Guidelines
Tim konsensus
Perhimpunan Hipertensi Indonesia
(InaSH)

Konsensus ilmiah :

Kesepakatan nalar diantara para pakar peserta tentang suatu topik ilmiah
berdasarkan pengetahuan dan pengalaman mereka tentang topik tersebut yang
dilandasi oleh literatur ilmiah serta pengalaman praktek yang lazim.

Konsensus ini didukung oleh organisasi pilar utama Perhimpunan Hipertensi


Indonesia (InaSH) jaitu :

PERKI

PERDOSSI

PAPDI / PERNEFRI

Kerusakan organ target


Video
Print

Anda mungkin juga menyukai