Anda di halaman 1dari 41

CARPAL TUNNEL SYNDROME DAN TARSAL

TUNNEL SYNDROME

Pembimbing :
dr. Dian Maria Pia, Sp.S

Disusun oleh :
MOH.OLDY F.

(2016.04.2.0120)

M. KAEFAN

(2016.04.2.0121)

MONICA ELIZABETH S.

(2016.04.2.0122)

MUHAMMAD IRFAN

(2016.04.2.0123)

NATALIA FAJAR

(2016.04.2.0124)

NIDYA JULINDA

(2016.04.2.0125)

NIEKE TUSSINA

(2016.04.2.0126)

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA
2016

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

2.1. ANATOMI

2.1.1 CARPAL TUNNEL

2.1.2 N. MEDIANUS

2.2 DEFINISI CARPAL TUNNEL SYNDROME

2.3 EPIDEMIOLOGI

10

2.4 ETIOLOGI

11

2.5 GEJALA KLINIS

12

2.6 PATOGENESIS

13

2.7 DIAGNOSA

14

2.8 DIAGNOSA BANDING

17

2.9 TERAPI

17

2.10 PENCEGAHAN

18

2.11 PROGNOSIS

20

2.12 KOMPLIKASI

20

DAFTAR PUSTAKA

22

BAB I
PENDAHULUAN

Salah satu penyakit yang paling sering mengenai Nervus medianus


adalah

neuropati

tekanan/

jebakan

(entrapment

neuropathy).

Di

pergelangan tangan, nervus medianus melewati terowongan kapal (carpal


tunnel) dan menginnervasi kulit telapak tangan dan punggung tangan di
daerah ibu jari, telunjuk, jari tengah, dan setengah sisi radial jari manis.
Nervus tersebut sering mengalami tekanan hingga menyebabkan
terjadinya neuropati tekanan yang disebut Sindroma Terowongan Karpal
(Carpal Tunnel Syndrome).
Carpal Tunnel Syndrome merupakan salah satu penyakit yang
dilaporkan oleh badan-badan statistik perburuhan di negara maju sebagai
penyakit yang sering dijumpai di kalangan pekerja-pekerja industri (Jagga
et al, 2011). Tingginya angka prevalensi yang diikuti tingginya biaya yang
harus dikeluarkan membuat permasalahan ini menjadi lebih besar dalam
dunia okupasi. Beberapa faktor diketahui menjadi risiko terhadap
terjadinya Carpal Tunnel Syndrome pada pekerja, seprti gerakan berulang
dengan kekuatan, tekanan pada otot, getaran, suhu, postur kerja yang
tidak egonomik dan lain-lain (Kurniawan, 2008).
Angka kejadian Carpal Tunnel Syndrome di Amerika Serikat telah
diperkirakan sekitar 1-3 kasus per 1.000 orang setiap tahunnya dengan
relevansi sekitar 50 kasus dari 1.000 orang pada populasi umum. National
Health Interview Study (NIHS) memperkirakan bahwa prevalensi Carpal
Tunnel Syndrome yang dilaporkan sendiri diantara populasi dewasa
adalah sebesar 1,55% (2,6 juta). Carpal Tunnel Syndrome lebih sering
mengenai wanita daripada pria dengan usia 25-64 tahun, prevalensi
tertinggi pada wanita usia > 55tahun, biasanya antara 40-60 tahun.
Prevalensi Carpal Tunnel Syndrome dalam populasi umum telah
diperkirakan 5% untuk wanita dan 0,6% untuk laki-laki. Sindrom tersebut

unilateral pada 42% kasus (29% kanan, 13% kiri) dan 58% bilateral
(Gorsche, 2001).
Di Indonesia, urutan prevalensi Carpal Tunnel Syndrome dalam
masalah kerja belum diketahui karena sampai tahun 2001 masih sangat
sedikit diagnosa penyakit akibat kerja yang dilaporkan karena berbagai
hal, sebabnya antara lain sulitnya diagnosa. Penelitian pada pekerjaan
dengan resiko tinggi pada pergelangan tangan dan tangan prevalensi
Carpal Tunnel Syndrome antara 5,6% sampai dengan 15%. Penelitian
Harsono, pada pekerja pada suatu perusahaan ban di Indonesia
melaporkan prevalensi Carpal Tunnel Syndrome pada pekerja sebesar
12,7%. Silverstein dan peneliti lain melaporkan adanya hubungan positif
antara keluhan dan gejala Carpal Tunnel Syndrome dengan faktor
kecepatan menggunakan alat dan faktor kekuatan melakukan gerakan
pada tangan (Tana, 2004).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi
2.1.1. Carpal Tunnel
Carpal tunnel adalah suatu terowongan fibro-osseous yang
dibentuk oleh tulang-tulang karpal dan flexor retinaculum. (Durrant dkk,
2002; Yugueros 2002). Komponen tulang pada carpal tunnel membentuk
suatu lengkungan,yang dibentuk oleh empat tonjolan tulangdi proksimal
oleh tulang pisiformis dan tubercle of scaphoid dan di distal oleh hook of
hamate dan tubercle of trapezium. Tendon palmaris longus di superfisial
berjalan anterior menuju ke flexor retinaculum untuk menyatu dengan
fasia palmaris. Di bawah fasia palmaris, suatu ligamen membentuk batas
superfisial dari carpal tunnel, yang disebut ligamen karpal transversal.
Ligamen flexor retinaculum dan karpal transversal dianggap merupakan
istilah yang sama (sinonim) oleh berbagai penulis. (gambar 1) (Pecina
dkk, 2001; Yugueros 2002).

Gambar 1. Bagian anterior dari carpal tunnel


Dikutip dari : Yugueros.P., Berger,R.A. 2002. Anatomy of the carpal tunnel. In:
Luchetti,R., Amadio,P. Carpal tunnel syndrome. Springer.Berlin.

Ukuran dari terowongan ini bervariasi, dengan ukuran yang paling


umum dijumpai adalah panjang 2-5 cm dan lebar 2-3 cm. Carpal tunnel
cenderung menyempit semakin ke arah distal. Sembilan tendon ke jari-jari
dan nervus medianus berjalan di dalam flexor retinaculum dalam carpal
tunnel. Terdapat satu pembungkus synovial yang sama untuk seluruh
tendon, kecuali tendon flexor pollicis longus. (gambar 2). (Durrant dkk,
2002).

Gambar 2. Anatomi carpal tunnel


Dikutip dari : Durrant,D.H.,True,J.M. 2002. Myelopathy,radiculopathy,and
peripheral entrapment syndromes.CRC Press LLC. New York.
2.1.2. Nervus Medianus
Nervus medianus berasal dari korda lateral dan medial dari pleksus
brakialis sebagai gabungan saraf yang berasal dari radiks C6 dan T1.
(gambar 3). (Kimura 2001;Preston dkk, 2002). Korda lateral, terdiri dari
serabut C6,C7, mensuplai serabut sensorik ke thenar eminence dan ibu
jari (C6), jari telunjuk (C6-C7), dan jari tengah (C7), begitu juga serabut
motorik ke otot-otot lengan bawah. Korda medial, terdiri dari C8-T1,
mensuplai serabut motorik ke otot-otot median distal pada lengan bawah
dan tangan, begitu pula serabut sensorik ke bagian lateral dari jari manis.
(Freimer dkk, 2001; Preston dkk, 2002; Kimura 2001)

Gambar 3. Anatomi Pleksus Brakialis


Dikutip dari : Kimura,J. 2001. Electrodiagnosis in Disease of Nerve and Muscle:
Princpiles and practice. Oxford University Press. New York.

Pada lengan atas, nervus medianus berjalan turun tanpa


memberikan cabang (Preston dkk, 2002). Nervus medianus tidak
mensarafi otot apapun pada lengan atas. Nervus ini memasuki lengan
bawah antara dua kaput pronator teres, dimana ia mensarafi fleksor karpi
radialis, palmaris longus dan flexor digitorum superficialis. Satu cabang
motorik murni, yang disebut saraf interoseus anterior, menginervasi flexor
pollicis longus, pronator quadratus dan flexor digitorum profundus I dan II.
Nervus medianus kemudian berjalan di lengan bawah, dan setelah
memberikan percabangan sensorik palmar, yang menginervasi kulit pada
thenar eminence, nervus ini berjalan melalui carpal tunnel antara

pergelangan tangan dan telapak tangan. (gambar 4) (Freimer dkk, 2001;


Preston dkk, 2002; Kimura 2001).

Gambar 4. Distribusi Nervus Medianus


Dikutip dari : Kimura,J. 2001. Electrodiagnosis in Disease of Nerve and
Muscle: Princpiles and practice. Oxford University Press. New York.

Pada telapak tangan, nervus medianus terbagi menjadi divisi


motorik dan sensorik. Divisi motorik berjalan ke distal telapak tangan dan
mensarafi lumbrikal I dan II. Selain itu, terdapat cabang motorik ke thenar
eminence yang menginervasi otot APB, bagian lateral dari flexor pollicis
brevis dan opponens pollicis. (Kimura 2001;Durrant dkk, 2002; Preston
dkk, 2002). Serabut sensorik dari nervus medianus yang berjalan melalui
carpal tunnel mensarafi ibu jari bagian medial, jari telunjuk, jari tengah dan
aspek lateral jari manis. (gambar 5) (Preston dkk, 2002; Kimura 2001).

Gambar 5. Distribusi nervus medianus di tangan


Dikutip dari : Durrant,D.H.,True,J.M. 2002. Myelopathy,radiculopathy,and
peripheral entrapment syndromes.CRC Press LLC. New York.

Nervus medianus merupakan struktur yang pertama terganggu dan


menimbulkan gejala jika terdapat stenosis atau peningkatan tekanan
dalam terowongan. Kondisi apapun yang menyebabkan penurunan ruang
dalam terowongan karpal atau peningkatan tekanan dalam terowongan
akan meningkatkan friksi atau gesekan antara tendon fleksor, nervus
medianus dan ligamen karpal transversalis. Gerakan fleksi dan ekstensi
pergelangan tangan yang berulang dapat menyebabkan stenosis dan
peningkatan tekanan dalam terowongan (Durrant dkk,2002).
2.2. Definisi Carpal Tunnel Syndrome
Carpal tunnel syndrome adalah kumpulan gejala akibat penekanan
pada nervus medianus oleh ligamentum karpal transversal, di dalam
terowongan karpal pada pergelangan tangan. (Kelompok Studi Nyeri
Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia,2011).
Menurut American Academy of Orthopaedic Surgeons Clinical
Guideline, Carpal Tunnel Syndrome adalah gejala neuropati kompresi dari
N. medianus di tingkat pergelangan tangan, ditandai dengan bukti
9

peningkatan tekanan dalam terowongan karpal dan penurunan fungsi


saraf di tingkat itu. Carpal Tunnel Syndrome dapat disebabkan oleh
berbagai penyakit, kondisi dan peristiwa. Hal ini ditandai dengan keluhan
mati rasa, kesemutan, nyeri tangan dan lengan dan disfungsi otot.
Kelainan ini tidak dibatasi oleh usia, jenis kelamin, etnis, atau pekerjaan
dan disebabkan karena penyakit sistemik, faktor mekanis dan penyakit
lokal.
2.3 Epidemiologi
Carpal tunnel syndrome merupakan cedera akibat pekerjaan yang
kedua terbanyak setelah nyeri punggung bawah. Sindroma ini paling
sering mengenai populasi usia 30-60 tahun, dengan perbandingan wanita
dan pria 3-5 : 1 dan lebih dari 50% kasus terjadi secara bilateral. (Durrant
dkk, 2002). Insidensi tahunan diperkirakan 120 per 100.000 wanita dan 60
per 100.000 pria. Insidensi tampaknya meningkat dengan pertambahan
usia pada laki-laki namun insidensi puncak pada wanita adalah pada usia
45-54 tahun. (Hui dkk, 2005).
Carpal tunnel syndrome merupakan salah satu neuropati kompresi
esktremitas atas yang paling sering dijumpai. Diperkirakan sekitar satu
juta penduduk di Amerika Serikat setiap tahunnya menderita CTS.
Insidensi dan prevalensinya bervariasi sekitar 0.125-1% dan 5-16%.
Kondisi ini lebih sering dijumpai pada perempuan dibanding laki-laki. Usia
rerata saat diagnosis dilaporkan 50 tahun pada laki-laki dan 51 tahun
pada wanita. Suatu studi di Inggris melaporkan insidensi sebesar 139.4
kasus per 100.000 penduduk wanita dan 67.2 kasus per 100.000
penduduk laki-laki, dengan perbandingan perempuan dan laki-laki sebesar
2.07. (Aroori dkk, 2008).
Tana et al menyimpulkan bahwa dapat jumlah tenaga kerja dengan
CTS di beberapa perusahaan garmen di Jakarta sebanyak 20,3%
responden dengan besar gerakan biomekanik berulang sesaat yang tinggi
pada tangan pergelangan tangan kanan 74,1%, dan pada tangan kiri
65,5%. Pekerja perempuan dengan CTS lebih tinggi secara bermakna

10

dibandingkan dengan pekerja laki-laki. Tidak terdapat perbedaan antara


peningkatan umur, pendidikan, masa kerja, jam kerja serta tekanan
biomekanik berulang sesaat terhadap peningkatan terjadinya CTS
(Kurniawan, 2008).
2.4. Etiologi
Penyebab utama CTS adalah kompresi nervus medianus di dalam
terowongan karpal. Kompresi ini berhubungan dengan peningkatan
tekanan di dalam kanalis karpal. Setiap kanal memiliki kapasitas yang
tetap; oleh sebab itu, tiap kondisi yang memprovokasi suatu perluasan di
dalam kanal akan secara langsung meningkatkan tekanan internal dan
akibatnya menekan nervus medianus. Adanya anomali kandungan (isi)
dalam kanal dan posisi dari struktur internalnya akan menurunkan rongga
kanalis yang tersedia. Kandungan yang anomali ini mencakup edema,
inflamasi, perdarahan, deposit substan patologis, dan/atau kondisi seperti
amyloidosis,dsb. Terdapat peningkatan tekanan intrakanalis dalam kanalis
yang lebih kecil akibat kondisi kongenital atau berbagai perkembangan
abnormal. Kondisi pre-existing, seperti polineuropati atau kompresi nervus
yang sama yang lebih proksimal, akan meningkatkan kemungkinan
kerusakan nervus medianus akibat kompresi. Penyebab sistemik CTS
yang paling sering dijumpai adalah DM, rheumatoid arthritis dan
hipotiroidisme (Luchetti, 2007).

11

Tabel 1. Faktor penyebab CTS


Dikutip dari : Viera,A.J. 2003. Management of carpal tunnel syndrome. American
family physician. 68(2): 265-27

Menurut American Academy of Orthopaedic Surgeons, terdapat


beberapa kunci co-morbiditas atau human factor yang berpotensi
meningkatkan risiko CTS. Pertimbangan utama meliputi usia lanjut, jenis
kelamin perempuan, dan adanya diabetes dan obesitas. Faktor risiko lain
termasuk kehamilan, pekerjaan yang spesifik, cedera karena gerakan
berulang dan kumulatif, sejarah keluarga yang kuat, gangguan medis
tertentu seperti hipotiroidisme, penyakit autoimun, penyakit rematologi,
arthritis, penyakit ginjal, trauma, predisposisi anatomi di pergelangan
tangan dan tangan, penyakit menular, dan penyalahgunaan zat. Orang
yang terlibat dalam kerja manual di beberapa pekerjaan memiliki insiden
dan tingkat keparahan yang lebih besar.
2.5. Gejala Klinis
Carpal tunnel syndrom menimbulkan beragam gejala khas dari
gejala sakit sedang hingga gejala sakit yang berat. Gejala gejala ini
akan semakin bertambah berat dan penderita yang telah didiagnosis
dengan carpal tunnel syndrome akan mengeluhkan sensasi mati rasa
12

(numbness), kesemutan, dan sensasi terbakar pada jari jempol, jari


telunjuk dan jari tengah dimana ketiga jari tersebut diinervasi oleh N.
Medianus. Pada beberapa penderita juga sering mengeluhkan rasa sakit
pada

tangan

atau

pergelangan

tangan

dan

hilangnya

kekuatan

menggenggam. Rasa nyeri juga timbul pada lengan dan pundak serta
benjolan pada tangan; rasa nyeri ini akan terasa teramat sakit terutama di
malam hari saat tidur.
Mati rasa (numbness) dan kesemutan (paresthesia) pada area
yang dipersarafi oleh N. Medianus merupakan gejala neuropathy akibat
sindrom jebakan canalis carpi (carpal tunnel entrapment). Kelemahan dan
atrofi otot otot thenar akan timbul selanjutnya jika kondisi ini semakin tak
terobati. (Rambe, 2004)
2.6. Patogenesis
Terdapat beberapa hipotesis mengenai patogenesis CTS. Pada
umumnya adalah faktor mekanik dan faktor vaskular sangat berperan
dalam timbulnya CTS. Sebagian besar CTS terjadi secara perlahan-lahan
(kronis) akibat gerakan pada pergelangan tangan yang terus menerus
sehingga terjadi penebalan atau tenosinovitits pada fleksor retinakulum.
Hal ini merupakan penyebab tersering. Pada keadaan kronis terdapat
penebalan fleksor retinakulum yang menekan saraf medianus. Tekanan
yang berulang-ulang dan lama pada saraf medianus akan menyebabkan
tekanan intrafasikuler meninggi. Keadaan ini menyebabkan perlambatan
aliran vena intrafasikuler. Bendungan/kongesti ini lama-kelamaan akan
mengganggu nutrisi intrafasikuler, selanjutnya terjadi anoksia yang akan
merusak endotel dan menimbulkan kebocoran protein sehingga terjadi
edema epineural. Hipotesis ini dapat menerangkan keluhan yang sering
terjadi pada CTS yaitu berupa rasa nyeri dan bengkak terutama pada
malam/pagi hati yang akan menghilang atau berkurang setelah tangan
yang bersangkutan digerak-gerakkan atau diurut, mungkin karena terjadi
perbaikan dari gangguan vaskuler ini. Bila keadaan ini berlanjut, akan

13

terjadi fibrosis epineural dan merusak serabut saraf. Lama kelamaan saraf
menjadi atrofi dan diganti jaringan ikat sehingga fungsi saraf medianus
terganggu.
Pada CTS yang akut, biasanya terjadi penekanan/kompresi yang
melebihi tekanan perfusi kapiler sehingga terjadi gangguan mikrosirkulasi
saraf dan saraf menjadi iskemik, selain itu juga terjadi peninggin tekanan
fasikuler yang akan memperberat keadaan iskemik ini. Selanjutnya terjadi
pelebaran pembuluh darah yang akan menyebabkan edema dan
menimbulkan gangguan aliran darah pada saraf dan merusak saraf
tersebut (sama dengan

yang

kronis). Pengaruh

mekanik/tekanan

langsung pada saraf tepi dapat pula menimbulkan invaginasi nodus


Ranvier dan demielinisasi setempat sehingga konduksi saraf terganggu.
Selain dari faktor mekanik dan vaskuler ini mungkin ada keadaan lain
yang membuat saraf medianus menderita dalam terowongan karpal.
(Moeliono, 1993)
2.7. Diagnosa
Diagnosa STK ditegakkan selain berdasarkan gejala-gejala di atas
juga didukung oleh beberapa pemeriksaan yaitu :
1. Pemeriksaan fisik
Harus dilakukan pemeriksaan menyeluruh pada penderita dengan
perhatian khusus pada fungsi, motorik, sensorik dan otonom
tangan. Beberapa pemeriksaan dan tes provokasi yang dapat
membantu menegakkan diagnosa CTS adalah 4 :
a. Flick's sign. Penderita diminta mengibas-ibaskan tangan
atau

menggerak-gerakkan

jari-jarinya.

Bila

keluhan

berkurang atau menghilang akan menyokong diagnosa CTS.


Harus diingat bahwa tanda ini juga dapat dijumpai pada
penyakit Raynaud.
b. Thenar

wasting.

Pada

inspeksi

dan

palpasi

dapat

ditemukan adanya atrofi otot-otot thenar.

14

c. Menilai kekuatan dan ketrampilan serta kekuatan otot


secara manual maupun dengan alat dinamometer.
Penderita diminta untuk melakukan abduksi maksimal
palmar lalu ujung jari dipertemukan dengan ujung jari
lainnya. Di nilai juga kekuatan jepitan pada ujung jari-jari
tersebut. Ketrampilan/ketepatan dinilai dengan meminta
penderita melakukan gerakan yang rumit seperti menulis
atau menyulam.
d. Wrist extension test. Penderita melakukan ekstensi tangan
secara maksimal, sebaiknya dilakukan serentak pada kedua
tangan sehingga dapat dibandingkan. Bila dalam 60 detik
timbul gejala-gejala seperti CTS, maka tes ini menyokong
diagnosa CTS.
e. Phalen's test. Penderita melakukan fleksi tangan secara
maksimal. Bila dalam waktu 60 detik timbul gejala seperti
CTS, tes ini menyokong diagnosa. Beberapa penulis
berpendapat

bahwa

tes

ini

sangat

sensitif

untuk

menegakkan diagnosa CTS.


f. Torniquet test. Dilakukan pemasangan torniquet dengan
menggunakan tensimeter di atas siku dengan tekanan
sedikit di atas tekanan sistolik. Bila dalam 1 menit timbul
gejala seperti CTS, tes ini menyokong diagnosa.
g. Tinel's sign. Tes ini mendukung diagnosa hila timbul
parestesia

atau

nyeri

pada

daerah

distribusi

nervus

medianus kalau dilakukan perkusi pada terowongan karpal


dengan posisi tangan sedikit dorsofleksi.
h. Luthy's

sign

(bottle's

sign).

Penderita

diminta

melingkarkan ibu jari dan jari telunjuknya pada botol atau


gelas. Bila kulit tangan penderita tidak dapat menyentuh
dindingnya dengan rapat, tes dinyatakan positif dan
mendukung diagnosa.

15

Pemeriksaan

sensibilitas.

Bila

penderita

tidak

dapat

membedakan dua titik (two-point discrimination) pada jarak lebih


dari 6 mm di daerah nervus medianus, tes dianggap positif dan
menyokong diagnosa.
2. Pemeriksaan neurofisiologi (elektrodiagnostik)
a. Pemeriksaan EMG dapat menunjukkan adanya fibrilasi,
polifasik, gelombang positif dan berkurangnya jumlah motor
unit pada otot-otot thenar. Pada beberapa kasus tidak
dijumpai kelainan pada otot-otot lumbrikal. EMG bisa normal
pada 31 % kasus CTS.
b. Kecepatan Hantar Saraf (KHS). Pada 15-25% kasus, KHS
bisa normal. Pada yang lainnya KHS akan menurun dan
masa laten distal (distal latency) memanjang, menunjukkan
adanya gangguan pada konduksi safar di pergelangan
tangan. Masa laten sensorik lebih sensitif dari masa laten
motorik. (Dewanto, 2004)
3. Pemeriksaan radiologis.
Pemeriksaan sinar X terhadap pergelangan tangan dapat
membantu melihat apakah ada penyebab lain seperti fraktur atau
artritis. Foto palos leher berguna untuk menyingkirkan adanya penyakit
lain pada vertebra. USG, CT scan dan MRI dilakukan pada kasus yang
selektif terutama yang akan dioperasi.
4. Pemeriksaan laboratorium.
Bila etiologi CTS belum jelas, misalnya pada penderita usia
muda tanpa adanya gerakan tangan yang repetitif, dapat dilakukan
beberapa pemeriksaan seperti kadar hormon tiroid atau pun darah
lengkap.
(Rambe AS.,2004; Franklin GM,2009;Fisher B,2004; Ross SK,1997;
Sjamsuhidajat R,2010; Somaiah A,2008)

16

2.8. Diagnosa Banding


1. Cervical radiculopathy
Biasanya keluhannya berkurang bila leher diistirahatkan dan bertambah
bila leher bergerak. Distribusi gangguan sensorik sesuai dermatomnya.
2. lnoracic outlet syndrome
Dijumpai atrofi otot-otot tangan lainnya selain otot-otot thenar. Gangguan
sensorik dijumpai pada sisi ulnaris dari tangan dan lengan bawah.
3. Pronator teres syndrome
Keluhannya lebih menonjol pada rasa nyeri di telapak tangan daripada
STK karena cabang nervus medianus ke kulit telapak tangan tidak melalui
terowongan karpal.
4. de Quervain's syndrome
Tenosinovitis dari tendon muskulus abduktor pollicis longus dan ekstensor
pollicis brevis, biasanya akibat gerakan tangan yang repetitif. Gejalanya
adalah rasa nyeri dan nyeri tekan pada pergelangan tangan di dekat ibu
jari. KHS normal. Finkelstein's test : palpasi otot abduktor ibu jari pada
saat abduksi pasif ibu jari, positif bila nyeri bertambah.
(Barnardo,2004; Rambe AS.,2004).
2.9. Terapi
Selain ditujukan langsung terhadap CTS, terapi juga harus diberikan
terhadap keadaan atau penyakit lain yang mendasari terjadinya CTS .
a. Terapi konservatif :
1) Istirahatkan pergelangan tangan
2) Obat anti inflamasi non steroid.
3) Pemasangan bidai pada posisi netral pergelangan tangan. Bidai dapat
dipasang terus-menerus atau hanya pada malam hari selama 2-3 minggu.
4) lnjeksi steroid. Deksametason 1-4 mg 1 atau hidrokortison 10-25 mg 8
atau metilprednisolon 20 mg 14 atau 40 mg 12 diinjeksikan ke dalam
terowongan karpal dengan menggunakan jarum no.23 atau 25 pada lokasi
1 cm ke arah proksimal lipat pergelangan tangan di sebelah medial tendon
17

musculus palmaris longus. Bila belum berhasil, suntikan dapat diulangi


setelah 2 minggu atau lebih. Tindakan operasi dapat dipertimbangkan bila
hasil terapi belum memuaskan setelah diberi 3 kali suntikan.
5) Kontrol cairan, misalnya dengan pemberian diuretika.
6) Vitamin B6 (piridoksin).
7) Fisioterapi. Ditujukan pada perbaikan vaskularisasi pergelangan
tangan.
(Rambe AS.,2004; Franklin GM,2009)
b. Terapi operatif
Tindakan operasi pada CTS disebut neurolisis nervus medianus pada
pergelangan tangan. Operasi hanya dilakukan pacta kasus yang tidak
mengalami perbaikan dengan terapi konservatif atau hila terjadi gangguan
sensorik yang berat atau adanya atrofi otot-otot thenar. Pada CTS bilateral
biasanya operasi pertama dilakukan pada tangan yang paling nyeri
walaupun dapat sekaligus dilakukan operasi bilateral. Tindakan operasi
mutlak dilakukan bila terapi konservatif gagal atau bila ada atrofi otot-otot
thenar, sedangkan indikasi relatif tindakan operasi adalah hilangnya
sensibilitas yang persisten. Biasanya tindakan operasi CTS dilakukan
secara

terbuka

dengan

anestesi

lokal,

tetapi

sekarang

telah

dikembangkan teknik. operasi secara endoskopik. Operasi endoskopik


memungkinkan mobilisasi penderita secara dini dengan jaringan parut
yang minimal, tetapi karena terbatasnya lapangan operasi tindakan ini
lebih sering menimbulkan komplikasi operasi seperti cedera pada safar.
Beberapa penyebab CTS seperti adanya massa atau anomali maupun
tenosinovitis pada terowongan karpal lebih baik dioperasi secara terbuka.
(Rambe AS.,2004; Franklin GM,2009;Fisher B,2004)
2.10. Pencegahan
Penyesuaian peralatan kerja dapat meminimalkan masalah yang
terjadi. Untuk mengurangi efek beban tenaga pada pergelangan maka alat
dan tugas seharusnya dirancang sedemikian rupa sehingga dapat

18

mengurangi

gerakan

menggenggam

atau

menjepit

dengan

kuat.

Perancangan alat kerja contohnya tinggi meja kerja yang dipakai sesuai
dengan ukuran antropometri pekerja, penggunaan alat pemotong atau
gunting yang tajam sehingga mengurangi beban pada pergelangan
tangan dan tangan. Pekerjaan dengan memegang suatu alat seperti
pensil, stir mobil, atau alat lain untuk waktu yang lama, maka pekerja
harus menggenggam alat tersebut senyaman mungkin. Pegangan alatalat seperti pemutar sekrup, peraut atau peruncing dan penahannya dapat
dirancang sedemikian rupa sehingga kekuatan genggaman dapat
disalurkan melalui otot di antara dasar ibu jari dan jari kelingking, tidak
hanya pada bagian tengah telapak tangan. Alat dan mesin seharusnya
dirancang untuk meminimalkan getaran. Pelindung alat seperti pemakaian
shock absorbers, dapat mengurangi getaran yang ditimbulkan. Postur
kerja yang baik sangat penting untuk mencegah CTS, contohnya pada
pengetik dan pengguna komputer. Operator keyboard seharusnya duduk
dengan tulang belakang bersandar pada kursi dengan bahu rileks, siku
ada di samping tubuh dan pergelangan lurus.
Kaki menginjak lantai pada footrest. Materi yang diketik berada pada
ketinggian mata sehingga leher tidak perlu menunduk saat bekerja.
Usahakan leher lentur dan kepala tegak untuk mempertahankan sirkulasi
dan fungsi saraf pada lengan dan tubuh. Buruknya desain perabot kantor
adalah penyumbang utama terhadap postur buruk. Kursi harus dapat
diatur tingginya dan mempunyai sandaran. Latihan berguna bagi pekerja
yang bekerja dengan gerak berulang. Latihan pada tangan dan
pergelangan tangan yang sederhana selama 4-5 menit setiap jam dapat
membantu mengurangi risiko berkembangnya atau mencegah CTS.
Peregangan dan latihan isometrik dapat memperkuat otot pergelangan
tangan dan tangan, leher serta bahu, sehingga memperbaiki aliran darah
pada daerah tersebut. Latihan harus dimulai dengan periode pemanasan
yang pendek disertai periode istirahat dan bila mungkin menghindari
peregangan berlebihan pada otot tangan dan jari-jari. Memberlakukan
periode istirahat saat bekerja dan memodifikasi pekerjaan dapat

19

membantu memecahkan permasalahan CTS. Pemakaian alat pelindung


diri berupa sarung tangan khusus yang terbuat dari karet elastis, agar
dapat menyangga dan membatasi pergerakan pergelangan tangan.
(Tana,2004; Franklin GM,2009;Fisher B,2004).
2.11. Prognosis
Pada kasus CTS ringan, dengan terapi konservatif pada umumnya
prognosis baik. Secara umum prognosis operasi juga baik, tetapi karena
operasi hanya melakukan pada penderita yang sudah lama menderita
CTS penyembuhan post operatifnya bertahap. Perbaikan yang paling
cepat dirasakan adalah hilangnya rasa nyeri yang kemudian diikuti
perbaikan sensorik. Biasanya perbaikan motorik dan otot- otot yang
mengalami atrofi baru diperoleh kemudian. Keseluruhan proses perbaikan
CTS setelah operasi ada yang sampai memakan waktu 18 bulan. Bila
setelah dilakukan tindakan operasi, tidak juga diperoleh perbaikan maka
dipertimbangkan kembali kemungkinan berikut ini:
1). Kesalahan menegakkan diagnosa, mungkin jebakan/tekanan terhadap
nervus medianus terletak di tempat yang lebih proksimal
2) Telah terjadi kerusakan total pada nervus medianus
3) Terjadi CTS yang baru sebagai akibat komplikasi operasi seperti akibat
edema, perlengketan, infeksi, hematoma atau jaringan parut hipertrofik.
(Rambe AS.,2004).
2.12. Komplikasi
Komplikasi yang dapat dijumpai adalah kelemahan dan hilangnya
sensibilitas yang persisten di daerah distribusi nervus medianus.
Komplikasi yang paling berat adalah reflek sympathetic dystrophy yang
ditandai dengan nyeri hebat, hiperalgesia, disestesia dan gangguan trofik.
Sekalipun prognosis CTS dengan terapi konservatif maupun operatif
cukup baik, tetapi risiko untuk kambuh kembali masih tetap ada. Bila
terjadi kekambuhan, prosedur terapi baik konservatif atau operatif dapat
diulangi kembali (Rambe AS.,2004).

20

DAFTAR PUSTAKA
American Academy of Orthopaedic Surgeons. Clinical Practice Guideline
on the Treatment of Carpal Tunnel Syndrome. 2008.
21

Barnardo, Jonatan.2004. Carpal Tunnel Syndrome in hands of practical


advise onmanagement of rheumatic disease June No 3:1-3.
Durrant,D.H.,True,J.M. 2002. Myelopathy,radiculopathy,and peripheral
entrapment syndromes.CRC Press LLC. New York.
Fisher B, Gorsche R, Leake P. Diagnosis, Causation and Treatment of
Carpal Tunnel Syndrome: An Evidence-Based Assessment; 2004.
Available
at:
http://www.wcb.ab.ca/pdfs/providers/CTS_Bkg_Paper.pdf. Diakses
pada tanggal 7 Mei 2013.
Franklin GM, Javaher SP, Kearney RN. Medical Treatment Guidelines
Work-Related Carpal Tunnel Syndrome Diagnosis and Treatment
Guideline. Washington: Washington State Department of Labor and
Industries. 2009.
Gorsch, R. Carpal Tunnel Syndrome, The Canadian Journal of CME.
2001,101-117.
Jagga, V. Lehri, A et al. Occupation and its association with Carpal Tunnel
syndrome- A Review. Journal of Exercise Science and
Physiotherapy. 2011. Vol. 7, No. 2: 68-78.
Kimura,J. 2001. Electrodiagnosis in Disease of Nerve and Muscle:
Princpiles and practice. Oxford University Press. New York.
Kurniawan, Bina. et al. Faktor Risiko Kejadian Carpal Tunnel Syndrome
(CTS) pada Wanita Pemetik Melati di Desa Karangcengis,
Purbalingga. Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia. 2008. Vol. 3,
No. 1.
Moeliono F. 1993. Etiologi, diagnosa, dan Terapi Sindroma Terowongan
Karpal (STK) atau Carpal Tunnel Syndrome (CTS). Neurona.
Pecina, Marko M. Markiewitz, Andrew D. Tunnel Syndromes: Peripheral
Nerve Compression Syndromes Third Edition. New York: CRC
PRESS. 2001.
Rambe AS. Sindrom Terowongan Karpal (Carpal Tunnel Syndrome);
2004.
Available
at
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3459/1 penysarafaidil2.pdf. Diakses pada tanggal 24 september 2016.

22

Ross SK. Carpal Tunnel Syndrome: Diagnosis and Treatment Guideline.


USA: State of Oregon Department of Consumer & Business
Services Workers Compensation Division. 1997.
Somaiah A, Spence RAJ. Carpal tunnel syndrome; 2008. Ulster Med J;
77(1) 6-17
Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC; 2010.
Tana, Lusianawaty et al. Carpal tunnel syndrome Pada Pekerja Garmen di
Jakarta. Buletin Peneliti Kesehatan. 2004. vol. 32, no. 2: 73-82.
Viera,A.J. 2003. Management of carpal tunnel syndrome. American family
physician. 68(2): 265-27
Yugueros.P., Berger,R.A. 2002. Anatomy of the carpal tunnel. In:
Luchetti,R., Amadio,P. Carpal tunnel syndrome. Springer.Berlin

BAB I
PENDAHULUAN

23

Tarsal

tunnel

syndrome

merupakan sebuah

keadaan

yang

disebabkan karena adanya kompresi pada nervus tibialis atau yang


berhubungan dengan percabangannya yang melewati bagian bawah dari
flexor retinaculum pada pergelangan kaki atau di bagian distalnya. Tarsal
tunnel syndrome dapat disamakan dengan carpal tunnel syndrome yaitu
yang terjadi pada pergelangan tangan. Pada tahun 1962, Keck dan Lam
pertama kali mendiskripsikan syndrome ini dan terapinya. Tarsal tunnel
syndrome disebabkan oleh beraneka segi kompresi yang menimbulkan
neuropathy dengan bermanifestasi sebagai rasa nyeri dan paresthesi
yang meluas dari bagian distal dalam pergelangan kaki dan terkadang
sampai dengan bagian proximal. Dalam menegakkan tanda-tanda dan
gejala dari tarsal tunnel syndrome, maka hal ini didasarkan dari berbagai
macam penyebab, yang dikelompok-kelompokkan berdasarkan ekstrinsik
dan intrinsik atau faktor-faktor ketegangan. Sebab-sebab ekstrinsik dapat
menyebabkan terjadinya tarsal tunnel syndrome. Sebagai contoh trauma
eksternal yang dapat disebabkan karena crush injury, stretch injury,
fraktur, dislokasi dari ankle dan hindfoot, dan severe ankle sprains.
Penyebab lokal misalnya penyebab intrinsik seperti neuropathy. Contoh
termasuk space-occupying masses, tumor-tumor lokal, bony prominences,
dan pleksus dari vena pada tarsal canal. Nerve tension disebabkan dari
vagus

foot

yang

identik

dengan

gejala

terkompresinya

saraf

circumferential. (Persich)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

24

1.1.

Definisi

Tarsal tunnel adalah ruang sempit yang terletak di bagian dalam


pergelangan kaki sebelah tulang pergelangan kaki. Terowongan ditutupi
dengan

ligamen

tebal

(flexor

retinakulum

yang

melindungi

dan

memelihara struktur yang terkandung dalam terowongan arteri, vena,


tendon dan saraf. Salah satu struktur ini adalah saraf tibialis posterior,
yang merupakan focus dari sindrom terowongan tarsal. (Ahmad, 2001)
Tarsal tunnel syndrome adalah kompresi pada saraf tibialis posterior yang
menghasilkan gejala dimana saja sepanjang jalur saraf. Tarsal tunnel
syndrome mirip dengan carpal tunnel syndrome, yang terjadi di
pergelangan tangan. Kedua gangguan timbul dari kompresi saraf dalam
ruang tertutup.
1.2.

Anatomi

Nervus Tibialis
Nervus tibialis berasal dari bagian anterior dari plexus sacralis. Yang
keluar melalui region posterior dari paha dan kaki, dan cabang-cabangnya
masuk ke dalam bagian medial dan lateral dari nevus plantaris. Inervasi
dari nervus tibialis ke otot terdapat paling banyak ke daerah posterior dari
paha dan otot-otot kaki dan beberapa pada otot-otot intinsik dari kaki.
(Graaf, 2001)
Tarsal Tunnel
Struktur dari tarsal tunnel pada kaki terdapat di antara tulang-tulang kaki
dan jaringan fibrosa. Flexor retinaculum (ligament laciniate) merupakan
atap dari tarsal tunnel dan terdiri dari fascia yang dalam dan deep
transversa dari angkle. Bagian batas proximal dan inferior dari tunnel
berbatasan dengan bagian inferior dan superior flexor retinaculum. Batas
bawah dari tunnel berhubungan dengan bagian superior dari tulang

25

calcaneus, bagian medial dari talus dan distal-medial dari tibia. Sisanya
dari fibroosseus kanal membentuk dari tibiocalcaneal tunnel Tendon dan
flexor hallucis longus muscle, flexor digitorum longus muscle, tibialis
posterior muscle, posterior tibial nerve, dan posterior tibial artery melewati
dari tarsal tunnel. (Graaf, 2001; Feldman, 2005)
Bagian posterior dari saraf tibia diantara otot tibialis posterior dan otot
flexor digitorum longus pada region proximal dari kaki dan melewati antara
otot flexor digitorum longus dan flexor hallucis longus pada bagian distal
dari region dari kaki. Saraf tibia melewati bagian belakang dari medial
melleolus dan melewati tarsal tunnel dan kemudian membagi menjadi
bercabang-cabang ke dalam cutaneus articular dan cabang-cabang
vascular. Persarafan utama dari saraf tibialis posterior mempersarafi
calcaneal, medial plantar, dan cabang-cabang saraf dari lateral plantar.
Saraf medial plantar superior mempersarafi otot abductor hallucis longus
dan bagian lateralnya terbagi menjadi 3 bagian yaitu saraf medial dari
kaki, dan saraf medial plantar cutaneous dari hallux. Saraf lateral plantar
berjalan langsung melalui bagian tengah dari otot abductor hallucis, di
mana kemudian membagi ke dalam percabangan-percabangan. (Graaf,
2001; Feldman, 2005)
Innervasi dan percabangan dari saraf tibialis posterior

Percabangan calcaneal- aspek melalui medial dan posterior dari

tumit
Percabangan media plantar percabangan cutaneous dari aspek
plantar medial dari kaki, percabangan motorik dari otot abductor
hallucis dan flexor digitorum brevis, dan percabangan talonavicular

dan calcaneonavicular joints.


Percabangan lateral plantar percabangan motorik dari otot
abductor digiti quinti dan quadrates plantae, saraf cutaneous ke jari
ke V, percabangan-percabangan tersebut berhubungan ke saraf
bagian jari IV, percabangan motorik ke lumbricalis: kedua, ketiga,
dan keempat dari percabangan interosei ke bagian atas dari

26

transversa

dari

adductor

hallucis

dan

otot

pertama

dari

interosseous space. (Graaf, 2001: Feldman, 2005)

27

Gambar Netter

28

1.3.Etiologi
Beberapa
neuropathy.

faktor berhubungan
Soft-tissue

masses

dengan
dapat

terjadinya

menimbulkan

tarsal

tunnel

compression

neuropathy dari bagian saraf tibialis posterior. Contoh termasuk lipoma,


tendon sheath ganglia, neoplasma pada tarsal canal, nerve sheath, nerve
tumor dan vena varicose. Tulang yang menonjol dan exostoses dapat pula
menimbulkan gangguan. Sebuah penelitian dari Daniel dan temantemannya menunjukkan adanya deformitas dari valgus pada rearfoot yang
menghasilkan neuropathy dengan meningkatnya tensile load pada saraf
tibial (Graaf, 2001; Feldman, 2005)
1.4.Gejala Klinis
Gejala klinis dari tarsal tunnel syndrome bervariasi dari masing-masing
individu, tetapi dari klinis umumnya gangguan sensorik yang bervariasi
dari mulai sharp pain sampai hilangnya sensasi, gangguan motoric
denganresultant atrophydariintrinsic musculature, dan gait abnormality
(Contoh Overpronation dan pincang karena nyeri dengan weight bearing).
Deformitas dari hindfoot valgus berpotensi kedalam gejala dari tarsal
tunnel syndrome karena deformitas tersebut dapat meningkatkan tension
menjadi peningkatan dari eversion dan dorsiflexion. Tidak ada penelitian
lainnya yang dapat menunjukkan hubungan secara statistik dari tarsal
tunnel syndrome dalam kondisi bekerja atau beraktivitas sehari-hari.
Prevalensi dan insiden dari tarsal tunnel syndrome belum pernah
dilaporkan (Persich).
1.5.Patofisiologi
Sindrom tarsal tunnel adalah kompresi neuropathy dari nervus tibial
pada

tarsal

canal.

Tarsal

canal

terdiri

dari

flexor

retinaculum,

dimanaberada posterior dan distal darimaleolus medial. Gejala dari


kompresi dan tension neuropathy adalah mirip; akan tetapi, perbedaan
dari kondisi ini tidaklah semudah dengan mengidentifikasi gejalanya saja.
Padaakhir-akhir ini, kompresi dan tension neuropathy merupakangejala
yang

terdapat

bersama-sama.

Fenomena

double-crush

yang

29

dipubikasikan oleh Upton dan McComas pada tahun 1973. Dengan


hipotesanya adalah: kerusakan local pada saraf pada satu sisi sepanjang
saraf tersebut dapat cukup merusak dari seluruh fungsi dari sel saraf
(axonal flow), dimana sel saraf menjadi lebih mudah terkena trauma
kompresi pada bagian distal. Jaringan saraf mempunyai tanggungjawab
dalam menyalurkan sinyal afferent dan efferent sepanjang saraf tersebut
dan mereka juga mempunyai tanggungjawab dalam penyaluran nutrisi,
dimana secara esensial untuk optimalnya fungsi. Pergerakan dari nutrisi
intraseluler melewati beberapa tipe dari sitoplasma pada sel saraf yang
dinamakan axoplasma (sitoplasma dan akson). Axoplasma bergerak
bebas sepanjang dari keseluruhan panjangnya saraf. Jika aliran dari
axoplasma (axoplasmic flow) terhalangi, maka jaringan saraf di bagian
distal mengalami penurunan dari nutrisi dan mudah mengalami injury
sebagai akibat dari penekanan tersebut (Leis, 2000).
Upton dan McComas menemukan (75%) dari pasien-pasien yang
mengalami lesi saraf perifer, kenyataannya didapatkan adanya lesi
sekunder.Penulis menyetujui bahwa dengan adanya lesi tersebut dapat
menimbulkan gejala-gejala pada pasien. Lesi-lesi tersebut telah dipelajari
pada beberapa kasus yang sama sebagai kerusakan dari flexus brachialis
dengan meningkatnya insiden dari carpal tunnel neuropathy. Contoh yang
dapat disamakan sebagai double crush phenomenon yang terjadi pada
kaki sebagai akibat kompresi dari cabang nervus S1, yang dihubungkan
dengan compression neuropathy pada kanal tarsal (Graaf, 2001;
Feldman, 2005).
1.6.Pemeriksaan Fisik
Pasien-pasien umunya dengan gejala yang tidak jelas dan nyeri kaki,
dimana terkadang dihubungkan dengan plantar fasitis. Adanya nyeri,
parestesia dan rasa tebal merupakan gejala yang tidak jelas. Pada
beberapa kasus, adanya atropi pada otot intrinstik kaki dapat ditemukan,
meskipun secara klinik sulit untuk dapat dipastikan. Eversion dan dorso

30

fleksi dapat menimbulkan gejala yang bertambah berat (Persich; Leis,


2000).
Tanda Tinel (nyeri yang menyebar dan parestesi sepanjang perjalanan
dari saraf) dapat timbul pada bagian posterior dari maleolus medial.
Gejala-gejala tersebut umumnya akan berkurang saat

beristirahat,

meskipun tidak semua gejala tersebut hilang seluruhnya. (Perkusi dari


saraf bagian distal dengan manifestasi berupa parastesia dikenal sebagai
tandaTinel. Hal ini jangan sampai dibingungkan dengan tanda dari Phalen,
yaitu kompresi saraf selama 30 detik, dengan timbulnya kembali gejalagejala tersebut (Persich; Leis, 2000).
Pemeriksaan fisik menunjukkan adanya penurunan sensitivitas akan
tekanan ringan, tusukan dengan peniti dan suhu pada pasien-pasien
dengan distal symmetric sensorimotor neuropathy. Pemeriksaan dengan
radiografi pada pasien-pasien dengan gangguan pada anggota geraknya
menunjukkan adanya pengurangan dari densitas tulang, penipisan pada
phalang, atau adanya buktiakan neuropathy (contoh: Charcot disease)
pada long-standing neuropathies. Sebagai tambahan adanya perubahanperubahan pada anggota tubuh seperti pescavus, rambut rontok dan
ulkus. Penemuan-penemuan tersebut sangat berhubungan dengan
diabetes, amyloid neuropathy, leprosy atau hereditary motor sensory
neuropathy (HMSN) disertai dengan gangguan sensorik. Menipisnya
jaringan perineural ditemukan juga pada kasus-kasus leprosy dan amyloid
neuropathy (Persich; Leis, 2000; William, 2007).
Indikasi
Riwayat

penyakit

terdahulu

yang

positif

disertai

dengan

pemeriksaan suportif yang ditemukan (pemeriksaan fisik) dan hasil dari


elektrodiagnostik positif, menghasilkan diagnosis tarsal tunel neurophaty.
Pasien-pasien

dengan

kompresi

pada

jaringan

saraf

umumnya

mempunyai hasil yang baik setelah diambil tindakan operasi dekompresi


pada saraf tibial. Sangat penting untuk diketahui bahwa walaupun hasil
dari elektrodiagnostik memberikan hasil berkurangnya fungsi dari saraf,

31

tidak menutup kemungkinan akan tindakan dari dekompresi akan


menghilangkan gejala- gejala dari tarsal tunnel syndrome (Persich; Leis,
2000; William, 2007).
1.7.Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan electromyography (EMG) dan nerve conduction


velocity (NCV) dapatlah berguna untuk mengevaluasi penyebab
dari tarsal tunnel syndrome dan untuk memastikan adanya
neurophaty. Sebagai tambahan, dapat membedakan dari tipe- tipe
dari jaringan saraf (sensorik, motorik, atau keduanya) dan
patofisiologi (aksonal vs demelinating dan simetrik vs asimetrik)
dari pemeriksaan EMG dan atau NCV. Psikiater dan neurolog yang
telah cukup berpengalaman dalam pemeriksaan ekstremitas
dengan menggunakan pemeriksaan EMG dan NCV akan lebih
mendapatkan

hasil

yang

baik

pada

pemeriksaan

tersebut.

Pemeriksaan EMG menunjukan fungsi dari saraf tibialis posterior


bagian distial sampai ke otot dari abduktor hallucis atau abductor
digiti quinti. Pemeriksaan ini juga dapat disertai dengan adanya
penurunan amplitude dari fungsi motorik atau hilangnya respon dari
otot- otot yang diperiksa. Awalnya pada pemeriksaan sensibilitas
bagian medial dan atau lateral plantar dimana aksi potensial akan
terpengaruhi dengan pemanjang dari masa laten, lambatnya
velocity, dan penurunan amplitude.
Aksi potensial dari sensorik dapat tidak terdeteksi pada beberapa
kasus yang lebih berat seperti tarsal tunnel syndrome, pemeriksaan
dengan jarum (needle) pada otot abductor hallucis dan atau
abductor digit quinti dapat meunjukan adanya denervetion dan
perubahan- perubahan aktif dan atau kronis. Untuk memastikan
hasil penemuan- penemuan tersebut bukanlah suatu lesi pada
cabang dari S1, otot dari tibialis posterior kebawah dari tarsal
tunnel (posterior tibialis) atau otot- otot lainnya dari bagaian otot

32

dari tibialis posterior (ekstensor digitorum brevis) harus dilakukan


pemeriksaan

pembandingnya.

Otot-

otot

dari

lumbosacrak

paraspinal haruslah sensitiv terhadap pemeriksaan EMG dan NCV.


Pemanjangan dari masa laten dari bagian distal motorik :
Terminal latency dari otot abductor digiti quinti (saraf lateral
plantar) yang lebih dari 7 ms adalah abnormal.
Terminal latency dari otot abductor hallucis (saraf mrdial
plantar) lebih dari 6,2 ms adalah abnormal.
Adanya fibrilasi dari otot abductor hallucis juga daoat
ditemukan.
Pemeriksaan ulang dari EMG seharusnya dilakukan dalam waktu 6
bulan setelah tindakan operasi yang biasanya memberikan hasil
yang baik setelah penderita menjalani tindakan dekompresi.
Penurunan fungsi dapat ditemukan pada distal latency, hasil dari
pemeriksaan NCV dapatlah normal pada pasien- pasien dengan
small fiber neurophaties. Sebagai tambahan, respon dari lower
extremity sensory dapat tidak didapatkan pada pasien- pasien
berusia tua. Terlebih lagi pemeriksaan elektrodiagnostik haruslah
tidak boleh digantikan untuk suatu pemeriksaan secara klinis yang
baik.

Pada pemeriksaan diabetes mellitus pada bagian distal, sensorik


simetris

dan

motor

polyneurophaty.

Ini

merupakan

axonal

neurophaty yang mengalami degenerasi pada axon bagian distal.


Pada penderita diabetes juga didapatkan neurophaty juga sama
halnya dengan microangiophaty, dimana memberikan hasil pada
bagian proximal, asimetric mononeurophaty (primaryly motor
nerve). Evaluasi permulaannya harus termasuk pemeriksaan
urinalisis dan pemeriksaan dari tingkatserum glucosa, hemoglobin
A1C (HbA1C/HgA1C), blood urea nitrogen (BUN), creatinin,
complete blood cell count (CBC), erythtocyte cedimentation rate

(ESR), dan kadar dari vitamin B12.


Athritis dihubungkan dengan Reiter syndrome yang khususnya
mempunyai efek ke lutut, angkle, dan kaki, menimbulakan rasa
33

nyeri dan engkak pada pergelangan, jari- jari dan persendian


lainnya yang terkena. Pasien- pasien dengan Reiter syndrome
umumnya mengalami proses inflamasi dimana tendon akan
menyerang

kedalam

enthesophaty.

tulang,

Entheophaty

kondisi

ini

yang

dinamakan

menghasilkan

rasa

nyeri

dan

pemendekan dan penapisan dari jari- jari kaki. Beberapa pasien


yang menderita Reiter syndrome juga didapatkan heel spurs yang
dihubungkan dengan crhonic or long lasting food pain. Laki- laki
yang berusia 20- 40 tahun merupakan yang tersering yang terkena
Reiter syndrome. Merupakan arthritis yang sering terdapat pada
laki- laki muda, pada laki- laki dibawah 50 tahun, sekitar 3,5 dari
100.000 menderitar Reiter syndrome setiap tahunnya. Tepatnya 3%
dari semua laki- laki dengan sexual transmited disease akan
menderita Reiter syndrome. wanita juga terdapat gejala ini,
walaupun hanya sedikit dibandingkan dengan laki- laki, dengan
gejala yang lebih ringan dan lebih tidak terdeteksi. Sekitar 80%
akan mengenai pasien- pasien dengan human leucocyte antigen
(HLA) B27 yang positif. Hanya 6% orang- orang yang tidak
terkena dari Reiter syndrome dengan gen HLA B27 yang
mendasari kondisi dari sistemik atrhitis, ESR, rheumatoid factor
(RF), dan antinuclear antibody (ANA) yang didapatkan. Khususnya
pasien- pasien dengan rheumatic disease, termasuk Reiter
syndrome didapatkan peningkatan dari ESR. Meskipun HLA- B27
dapatlah berguna dalam membedakan apakah suatu seronegative

arthopahty dari arthritis yang lainnya.


Generalized
amyloidosis
dapat

menimbulakan

peripheral

neuropathy bersama dengan artophy dari jaringan saraf. Central


nervous system tidak terpengaruh kecuali pada area dengan
kurangnya blood- brain barrier, seperti choroid plexus dan kelenjar
pineal. Pada beberapa kasus, biopsi dapat membantu untuk
mendiagnosis suatu leprosy, amyloid neuropati, sarcoidosis, dan
leukodystrophies.

34

Pemeriksaan Imaging

Magnetic resonance imaging (MRI) dan ultrasonography dapat


cukup membantu yang berhubungan dengan kasus soft-tissue
masses dan space-occupying lesion lainnya pada tarsal tunnel.
Sebagai tambahan, MRI berguna dalam menilai suatu flexor

tenosynovitis dan unossified subtalar joint coalitions.


Plai radiography juga berguna untuk mengevaluasi pasien- pasien
dengan dasar kelainan struktur dari kai, fraktur, bony masses,
osteophytes, dan subtalar joint coalition (Persich; Leis, 2000;
William, 2007).

Pemeriksaan Histologi
Dihubungkan dengan neuroma pada kebanyakan kasus di
masyarakat, jaringan saraf merupakan yang paling intak dan
perineural sheath. Hasi ini merupakan hasil dari chronic nerve
compression

dan

pembengkakan

pada

irritation,
saraf

yang
proliferasi

dapat
dari

menyebabkan
jaringan

fibrous

menimbulkan kompresi pada saraf, walaupun dapat menimbulkan


dekompresi dan jaringan fibrous tersebut harus dihilangkan. Kista
ganglion dapat menyebabkan peripheral neuropathies seperti
biasanya, tetapi ketika dikombinasikan hal itu bukanlah suatu
etiologi yang sering. Sumber dan penyebab dari kista ganglion
tetap tidak dapat dijelaskan, suatu teori mengatakan bahwa fibrillar
degeneration dari kolagen dengan akumulasi dari intraselular dan
extraselular mucin. Jika dilakukan tindakan operasi maka lesi ini
harus dihilangkan secara in toto karena dapat menimbulkan nerve
decompression (Persich; Leis, 2000; William, 2007).

1.8.Diagnosa Banding
- Lumbar radiculopathy
- Peripheral Nerve injury

35

-Polyneuropathy
- Deep flexor compartment syndrome
-Mortons Metatarsalgia
- Plantar fasciitis

1.9.Terapi
Terapi Medik
Terapi medik dari tarsal tunnel syndrome dapat dengan
memberikan suntikan lokal steroid ke dalam tarsal canal. Tindakan
konsevatif yang dapat diterima pada awal terapi dari tarsal tunnel
neurpathy termasuk penggunaan loakl anestesi dan steroid, dimana
dapat mengurangi nyeri. Tetapi ini dapat menghilangkan gejala,
tetapi

harus

diberikan

secara

bijaksana,

karena

dapat

menyebabkan kerusakan pada saraf sebagai akibat dari jarum


suntikan

tersebut.

Physical

therapy

juga

berguna

dalam

mengurangi local soft- tissue edema, karena dapat menimbulkan


tekanan pada kompartmen tersebut.
Juga pada pasien dengan gejala kontraktur pada otot
gastrocnemius dari triceps surae, stretching exercises berguna
untuk meningkatkan fleksibilitas dari gastrocnemius pada beberapa
kasus tertentu dimana pasien dengan tipe aki pes planovagus,
diperlukan

suatu

desain

kaki

orthosis

untuk

mengurangi

ketegangan dari nervus tibialis dengan mengurangi beban pada


medial column. Hal ini terbukti dengan memberikan medial
longitudinal posting dengan orthosis pada kedua hindfoot dan
forefoot penggunaan night splints pada kaki dengan plantar valgus
foot. Penggunaan dalam jangka panjang akan meningkatkan
efektivitas, dimana hal ini terbukti pada penelitian- penelitian saat
ini, tetapi hal ini sering kali hanya digunakan pada clinical practice.

36

Terapi Operasi
Ketika

konservatif

terapi

dinyatakan

gagal

dalam

mengurangi gejala- gejala pada pasien. Maka intervensi operasi


dapatlah diperhitungkan. Space- occupaying masses harusnya
dihilangkan. Beberapa didapatkan adanya neurilemoma pada saraf
tibial, dimana hal ini juga harus dihilangkan. Pengetahuan yang
cukup akann anatomi haruslah dibutuhkan sebelum dilakukan
tindakan pembebasan tersebut yang nantinya akan mempunyai
efek terhadap saraf tersebut.
External neurolysis pada saraf dapatlah dibutuhkan jika tindakan
operasi eksplorasi didapatkan adanya pelekatan atau adanya
jaringan parut yang dapat menyebabkan mengenai jaringan saraf
terlebih lagi apabila jaringan parut atau entrapment encapsulates
mengenai jaringan saraf. Maka tindakan external neurolysis dengan
membebaskan dari epineurium dapatlah dipertimbangkan.
Tindakan Operasi
Pasien dalam keadaan terlentang atau posisi terlentang
miring

untuk

memfasilitasi

bagian

medial

lapang

operasi.

Penggunaan pneumatic toniquet sangatlah dibutuhkan.


A.Tindakan Intraoperasi
Inisiasi berbentuk kurva haruslah 1cm posterior dari tibial
distal dan menuju kearah plantar, sejajar dengan terowongan dan
malleolus dan masuk kedalam sustentaculum tali. Retinaculum
haruslah dapat diidentifikasi dan secara berhati- hati dilepaskan
seluruhnya. Saraf tibialis posterior harus dapat diketahui, dilihat,
dan jangan diganggu sepanjang tindakan operasi sampai mencapai
bifurcation dari porta pedis. Dalam tindakan operasi tersebut harus
dilakukan secara teliti untuk menghindari terpotongnya dari small
calcaneal branches ini sering sekali dikelilingi oleh jaringan lemak
dan sangat sulit terlihat. Cabang dari medial plantar dari saraf
tibialis posterior harus dapa diidentifikasikan sepanjang batas dari
sarung flexor hallucis longus. Cabang lateral harus pula diikuti

37

sepanjang abductor hallucis. Beberapa ikatan jaringan ikat juga


dikatakan dapat menimbulkan penarikan dari saraf dan harus
secara hati- hati dibebaskan.
Setelah proses pembebasan tersebut semua cabangcabang dari saraf tibial haruslah terbebas dari semua permukaan
yang

menutupinya.

Torniquet

harus

digunakan

untuk

mengobservasi dan mengontrol perdarahan. Lapisan penutup


harus

digunakan,

perdarahan.

untuk

Lapisan

mengobesrvasi

penutup

harus

dan

digunakan,

mengontrol
termasuk

permukaan subdermal tetapi bukan flexor retinaculum. Pada proses


pelepasan dari tarsal tunnel, permukan penutup dari luka operasi
haruslah dilakukan dengan hati- hati dari extensor retinaculum,
karena merupakan penyebab terbanyak yang menimbulakan
entrapment neuropathy.
Tindakan Post-operatif
Suatu kompresi ringan dan immobolisasi awal haruslah
dilakukan pada area yang dioperasi dengan menggunakan splint
selama 3minggu tanpa pemberat. Setelah splint dibuka pasien
dapat menggerakan sendinya dan kembali keaktivitasnya semula.
Kontraindikasi
Tindakan operasi dikontraindikasikan pada pasien dengan
riwayat kesehatan yang belum stabil untuk dilakukan tindakan
operasi. Sebelumnya pasien- pasien harus dilakukan pemeriksaan
kesehatan sebelumnya apabila mereka akan dilakukan tindakan
operasi. Pada beberapa kondisi dengan gejala yang mirip atau
bersamaan dengan tarsal tunnel neuropathy. Tindakan operasi
harus dilakukan secara akurat pada kondisi yang mirip seperti
tarsal tunnel syndrome tetapi dikatakan tidak terbukti memberikan
hasil yang baik setelah dilakukan tindakan surgical decompression.
Differensial diagnose dari tarsal tunnel syndrome dapat termasuk
adalah fasitis plantaris, stress fracture dari hindfoot, yang paling

38

sering

adalah

calcaneus,

hemited

spinal

disk,

peripheral

neurpahties seperti yang disebabkan karena diabetes atau alcohol,


dan inflammatory arthrities seperti Reiter syndrome atau rhematoid
arthiritis.
Follow-up
Pasien haruslah tidak menggunakan beban selama 3
minggu, yang berguna untuk penyembuhan yang baik. Mobilisasi
awal harus dimulai untuk mengurangi formasi dari jaringan parut,
dimana hal tersebut akan nantinya menimbulkan compression
neuropathy. Penggunaan sepatu operasi berguna untuk mengurang
tekanan pada tempat operasi. Fissioterapi juga cukup membantu
pasien dalam meningkatkan kekuatan otot dan gerakan dan untuk
mengurangi timbulnya kembali rasa nyeri. Setelah jahitan dibuka
pasien diperbolehkan menggunakan sepatu yang ringan, tindakan
penggunaan sepatu yang berat dapat menyebabkan tekanan atau
iritasi pada bekas operasi. Pada pasien- pasien dengan planus foot
type,

penggunaan

orthosis

harus

dipertimbangkan

untuk

menstabilkan medial column.


Komplikasi
Karena dari segi anatomi mempunyai efek pada area
tersebut, maka beberapa komplikasi dari tindakan dekompresi
setelah dilakukan tindakan operasi akan muncul kemudian
kebanyakan dari semua komplikasi tersebut dapat diminimalkan
dengan diseksi yang teliti dan hati- hati dengan memperhatikan
anatominya. Laserasi dari saraf atau arteri posterior dapat secara
signifikan mempunyai efek langsung yang mengganggu fungsi kaki.
Kegagalan dari pelepasan retinaculum sepanjang saraf dapat
menimbulkan hasil post operasi yang buruk. Hal ini merupakan
penyebab tersering dari gagalnya tindakan operasi. Akhirnya
nantinya

dihubungkan

dengan

fasitis

plantaris

yang

dapat

39

menimbulkan nyeri presisten dari regional medial heel setelah


dilakukan tindakan dekompresi. Pada sebuah kasus penelitian oleh
Kim dan Dellon memperlihatkan bahwa neuroma dari bagian distal
saraf saphenous dapat difikirkan sebagai penyebab dari nyeri yang
terjadi terus- menerus setelah tindakan operasi.

1.10.Prognosis
Pada akhirnya tindakan dekompresi dapat memberikan hasil yang
memuaskan. Tandanya adalah dengan menurunnya rasa nyeri dan
parestesi yang tampak, diikuti dengan berkurangnya gejala. Resolusi
komplet dari gejala-gejala tersebut sangatlah jarang terjadi, hal ini
disebabkan karena banyaknya etiologi yang mendasari penyakit ini dan
juga karena area dari saraf yang rusak tidak dapt kembali normal.
Meningkatnya rasa nyeri setelah tindakan dekompresi sangatlah jarang
terjadi. Penelitian dari Mann memperlihatkan sekitar 75% pasien-pasien
yang telah dilakukan tindakan operasi dekompresi didapatkan nyeri yang
cukup dirasakan, dan 25% didapatkan nyeri yang sedikit atau tidak ada
sama sekali. Mann juga menyatakan bahwa tindakan operasi explorasi
dari tarsal canal release sangatlah jarang menyebabkan nyeri yang hebat
pada pasien.

Daftar Pustaka

Ahmad M, et al. 2011. Tarsal tunnel syndrome. A literature review. Foot


Ankle Surgery.

40

Feldman et al. 2005. Tarsal Tunnel Syndrome. In : Atlas of neuromuscular


diseases; A practical guidline. New York: SpringerWien.

Graaff, V. D. 2001. Tibial nerves. In : Human anatomy. 6th ed. New York:
McGraw-Hill.

Leis, A., Vicente, C. Tarsal Tunnel Syndrome, In: Atlas


electromyography in extraspinalsciatica, Arch. Neurol, 2000.63:1-8

of

Persich, G. Tarsal Tunnel Syndrome. Available from : URL http://Bedah


%20Saraf/Tarsal%20Tunnel%20Syndrome%20eMedicine%20Orthopedic
%20Surgery.htm.

William, S.P. Entrapment. 4th ed. New York: Lipincoott Williams & Wilkins.
2007.

41

Anda mungkin juga menyukai