LIMFEDEMA
Oleh:
Faisal
0000000000
Pembimbing:
I
HALAMAN PENGESAHAN
Referat
LIMFEDEMA
Oleh:
Faisal
Telah dilaksanakan pada bulan Oktober 2019 sebagai salah satu persyaratan guna mengikuti
Pembimbing,
II
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
berkah dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Referat dengan
judul “Limfedema” untuk memenuhi tugas laporan Referat yang merupakan
bagian dari sistem pembelajaran kepaniteraan klinik, khususnya dalam
Departemen Ilmu Penyakit Dalam.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr.Yuniza, SpPD selaku
pembimbing referat ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan Referat
ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran
dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Demikianlah
penulisan laporan ini, semoga bermanfaat.
Penulis
III
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.................................................................................................................i
KATA PENGANTAR................................................................................................................ii
DAFTAR ISI...............................................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................1
BAB II...........................................................................................................................................2
2.2 Limfedema.................................................................................................................5
2.2.1. Definisi...............................................................................................................5
2.2.2. Epidemiologi....................................................................................................5
2.2.5. Diagnosis...........................................................................................................8
BAB III.........................................................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................21
IV
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Gambar. 1 Sistem Limfatik. Hampir seluruh jaringan tubuh mepunyai saluran limfe khusus
mengalirkan kelebihan cairan dari ruang interstisial. (Guyton AC, Hall JE. 2006.hal 199)
2
Sistem limfatik terdiri atas jaringan limfatik dan pembuluh limfatik. Jaringan
limfatik merupakan jenis jaringan ikat yang mengandung banyak sel limfosit.
Jaringan limfatik didapatkan pada organ-organ berikut ini: thymus, nodus limfatikus,
lien dan nodulus limfatikus. Jaringan limfatik penting untuk pertahanan imunologik
tubuh terhadap bakteri dan virus.3
Gambar2. Pembuluh limfatik Struktur dari kapiler limfatik dan sebuah saluran
limfe , memperlihatkan katup saluran limfe. (Guyton AC, Hall JE. 2006.hal 199)
Limfe adalah nama yang diberikan untuk cairan jaringan yang masuk ke
dalam pembuluh limfe. Kapiler limfe adalah anyaman pembuluh-pembuluh halus
yang mengalirkan limfe dari jaringan. Kapiler limfe selanjutnya mengalirkan limfe ke
pembuluh limfe kecil yang akan bergabung membentuk pembuluh limfe besar.
Pembuluh limfe berbentuk tasbih karena banyaknya katup yang terdapat disepanjang
perjalanannya.3
3
Sebelum limfe masuk ke aliran darah, cairan ini melalui paling sedikit satu
kelenjar limfe, bahkan seringkali lebih dari satu. Pembuluh limfe yang membawa
limfe ke kelenjar limfe dinamakan pembuluh aferen, pembuluh yang membawa limfe
keluar dari kelenjar limfe disebut pembuluh eferen. Limfe memasuki aliran darah
pada pangkal leher melalui pembuluh limfe yang dinamakan duktus lymphaticus
dextra dan duktus thorasikus.3
Pada dasarnya seluruh pembuluh limfe dari bagian bawah tubuh pada akhirnya
akan bermuara ke duktus torasikus, yang selanjutnya bermuara ke dalam sistem darah
vena pada pertemuan antara vena jugularis interna kiri dan vena subklavia kiri. Cairan
limfe dari sisi kiri kepala, lengan kiri, dan sebagian daerah toraks juga memasuki
duktus torasikus sebelum bermuara ke dalam vena. Cairan limfe dari sisi kanan leher
dan kepala, lengan kanan, dan bagian kanan toraks memasuki duktus limfatikus
kanan, yang akan bermuara ke dalam sistem darah vena pada pertemuan antara vena
subklavia kanan dan vena jugularis interna.
4
Peningkatan tekanan cairan intertisial akan sangat meningkatkan kecepatan
aliran limfe kemudian membawa keluar kelebihan volume cairan interstisial dan
kelebihan protein yang telah terakumulasi dalam ruang intertisial. Begitu konsentrasi
protein cairan intertisial mencapai nilai tertentu dan menyebabkan peningkatan yang
sebanding dalam volume cairan intertisial dan tekanan cairan intertisial, pengembalian
protein dan cairan melalui sistem limfatik menjadi cukup besar untuk mengimbangi
secara tepat kecepatan bocornya protein dan cairan ke dalam intertisium dari kapiler
darah. Oleh karena itu, nilai kuantitatif dari semua faktor ini akan mencapai keadaan
yang mantap. Faktor-faktor tersebut akan tetap seimbang pada nilai ini sampai terjadi
perubahan pada bocornya protein dan cairan kapiler darah.4
2.2 Limfedema
2.2.1 Definisi
Limfedema adalah keadaan patologis pada sistem limfatik yang progresif yang
mana terjadi penumpukan cairan protein pada ruang interstisial dan peradangan yang
kemudian diikuti terjadinya hipertofi jaringan lemak juga fibrosis. Limfedema dibagi
menjadi dua yaitu limfedema primer yang terjadi akibat jumlah pembuluh limfe yang
terbentuk lebih sedikit dari normal dan limfedema sekunder yang disebabkan oleh
adanya obstruksi aliran getah bening karena infeksi, radiasi, metastasis tumor dan
pembedahan.1,2,4
2.2.2 Epidemiologi
Epidemiologi dari limfedema diketahui sangat jarang terjadi. Pada kasus
limfedema primer ditemukan sekitar 1,15 di antara 100.000 orang yang berusia < 20
tahun, dan lebih sering terjadi pada wanita. Berdasarkan Penelitian kasus limfedema
sekunder adalah kasus yang paling sering terjadi di dunia dengan penyebab yang paling
sering ditemukan adalah filariasis yang disebabkan oleh infeksi dari Wuscheria
bancrofti.. 1,4,5
Pada penelitian di Amerika Serikat, limfedema sekunder paling sering
disebabkan oleh keganasan kanker dan paska terapi radiasi. Di belahan dunia bagian
barat ditemukan penyebab tersering limfedema sekunder adalah pembedahan dan terapi
radiasi untuk kanker, seperti karsinoma mamae dan pelvis, melanoma, kanker
kepala/leher, sarkoma kaposi).
5
Penderita kanker payudara pasca mastektomi merupakan penyebab tersering dari
limfedema pada ekstremitas atas. Penyebab limfedema pasca operasi tertinggi adalah
mastektomi.1,4,5. Menurut Data sub Direktorat Filariasis Departemen Kesehatan di
Indonesia, tahun 2009 limfedema filariasis hampir tersebar luas di seluruh propinsi.
Prevalensi filariasis di Indonesia bervariasi antara 0,5% hingga 19,64% dengan rata-rata
3,1%. Berdasarkan laporan dari hasil survey sebanyak 1553 desa tersebar di 231
kabupaten di 26 propinsi tercatat sebagai lokasi yang endemis, dengan jumlah kasus
kronis 6233 orang. Hasil survey laboratorium, melalui pemeriksaan darah jari, rata-rata
Microfilaria rate (Mf rate) 3,1%, berarti sekitar 6 juta orang sudah terinfeksi cacing
filaria.
Limfadema praecox atau disebut juga Meige’s disease, sering timbul pada masa
pubertas dan menjadi penanda turunan dari autosomal dominan. Hal ini dihubungkan
dengan beberapa variasi anomali, seperti cacat tulang belakang, malforfamasi
cerebrovaskular, gangguan pendengaran, dan distichiasis. Analisis genetik molekuler
telah menunjukkan lebih dari 30 mutasi faktor transkripsi FOXC2 gen 6 yang terlibat
dalam penumpukkan metabolisme adiposa.4 Limfedema tarda biasa dikenal limfedema
kongenital dengan gejala klinis yang muncul pada usia diatas 35 tahun. Kemudian
biasanya disertai dengan displasia nodus dan obstruksi limfatik akibat etiologi
idiopatik.4
6
2.2.3.1 Limfedema sekunder
Limfedema sekunder adalah limfedema yang terjadi pasca trauma, operasi,
radiasi, invasi tumor, atau infeksi. Penyebab limfedema sekunder adalah limfangitis,
filariasis, tuberkulosis, neoplasma, pembedahan, dan terapi radiasi. Berdasarkan
epidemiologi penyebab tersering adalah filariasis karena infeksi dari Wuscheria
bancrofti. Larva filariasis masuk melalui gigitan nyamuk dan berkembang menjadi
cacing dewasa hidup di dalam kelenjar dan saluran limfe.1,2,4
7
Manifestasi pada limfedema sekunder akibat filariasis, terbagi menjadi dua
yaitu akut dan kronik. Pada manisfestasi akut ditandai dengan demam tinggi,
menggigil dan lesu, limfangitis dan limfadenitis, dalam setahun dapat terjadi beberapa
kali. Pada demam filarial biasa tidak menunjukkan mikrofilaremia. Limfangitis akan
meluas ke daerah distal dari kelenjar yang ditinggali oleh cacing. Limfangitis dan
limfadenitis lebih sering berkembang di daerah sekitar ekstremitas bawah dari pada
atas. Limfadenitis biasanya berlangsung 2-5 hari dan dapat sembuh tanpa pengobatan.
peradangan pada kelenjar limfe jarang menjalar ke bawah mengenai saluran limfe dan
menimbulkan limfangitis retrograd yang dapat terlihat seperti garis merah yang
menjalar ke arah bawah dan peradangan ini dapat menjalar ke jaringan sekitarnya.
Selain pada tungkai dapat mengenai alat kelamin dan payudara.7
2.2.5 Diagnosis
2.2.5.1 Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Dalam menegakkan diagnosis limfedema diperlukan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Kebanyakan pasien datang dengan
keluhan utama bengkak pada ekstremitas bawah. Pembengkakan pada kasus
limfedema biasanya diawali dari bagian distal dan berlanjut ke arah proksimal
dalam kurun waktu bulan sampai tahun. Pada stadium awal akan sulit untuk
membedakan pembengkakan yang diakibatkan oleh hal lain seperti gagal jantung,
gagal ginjal kronik, kehilangan protein, dan lokal etiologi seperti, lipedema,
trombosis vena dalam, vena kronis insufisiensi, myxedema, dan edema siklus atau
idiopatik.
8
Penting ditanyakan riwayat untuk mengetahui faktor resiko seperti
pembedahan diseksi nodul, riwayat terapi radiasi, riwayat trauma, riwayat infeksi,
travel ke daerah endemik filariasis, riwayat keganasan tumor, dan riwayat keluraga
yang memiliki limfedema. Pasien terkadang mengeluh ekstremitasnya lelah atau
adanya tekanan pada ekstremitas, tetapi nyeri jarang dirasakan. Riwayat keluarga
tidak terlalu berperan pada limfedema, tetapi ciri-ciri limfedema, suatu lipodistrofi
yang menyebabkan pembesaran simetris pada ekstremitas bawah, sering terjadi pada
wanita. Pembengkakan yang terjadi pada limfedema umumnya mulai dari distal dan
berlanjut ke arah proksimal dalam hitungan bulan sampai tahun.4
9
B. Diagnosis
Ketidakkonsistenan dalam kriteria yang mendefinisikan lymphedema
dan penggunaan langkah-langkah yang berbeda telah menghadirkan kesulitan
dalam mendiagnosis lymphedema. Limfedema terkait kanker payudara juga
dapat terjadi di bahu, payudara, dan daerah toraks, sayangnya, tidak ada studi
epidemiologis yang mengeksplorasi kejadian limfedema baik di bahu,
payudara, dan daerah toraks karena kurangnya instrumen untuk mengukur
pembengkakan di daerah yang sulit ini. Kuantifikasi dari limfedema dengan
mengukur ukuran atau lingkar ekstremitas atau volume ekstremitas telah
menjadi ukuran objektif utama dalam penelitian dan praktik klinis untuk
mendiagnosis limfedema menggunakan pengukuran ekstremitas lingkar secara
berurutan, pemindahan air, dan Perometri infra merah. Impedansi bioelektrik
muncul sebagai alternatif yang memungkinkan. Alat penilaian yang muncul
seperti sonagraph membutuhkan lebih banyak penelitian untuk menentukan
keandalan, sensitivitas, dan spesifisitasnya.
C. Pemeriksaan Penunjang
1.Pengukuran lengan melingkar berurutan
Mengukur ukuran ekstremitas atau ketebalan atau volume ekstremitas
telah menjadi metode diagnostik yang paling banyak digunakan dalam
penelitian. Pita pengukur fleksibel non-stretch biasanya digunakan untuk
memastikan ketegangan pada jaringan lunak, otot, dan tonjolan tulang.
Pengukuran dilakukan pada anggota tubuh yang terpengaruh ataupun yang
tidak di bagian proksimal tangan ke metacarpals, pergelangan tangan, dan
kemudian setiap 4 atau 10 sentimeter dari pergelangan tangan ke aksila.
Kriteria yang paling umum untuk diagnosis adalah temuan ≥ 2 sentimeter atau
≥ 200 mL perbedaan volume ekstremitas dibandingkan dengan ekstremitas
yang tidak terpengaruh atau 5% atau 10% perbedaan volume pada ekstremitas
yang terkena.
10
2. Pemindahan Air
Pemindahan air jarang digunakan dalam pengaturan klinis dikarenakan
masalah efek limpahan dan higienis. Pasien merendam lengan yang terkena
dalam wadah berisi air dan limpahan air ditangkap dalam wadah lain dan
ditimbang atau diukur. Metode ini tidak menyediakan data tentang lokalisasi
edema atau bentuk ekstremitas. Metode ini dikontraindikasikan pada pasien
dengan lesi kulit terbuka. Pasien mungkin merasa sulit untuk mempertahankan
posisi selama waktu yang dibutuhkan untuk tangki mengeringkan.
3. Perometri inframerah
Perometer inframerah adalah perangkat optoelektronik yang bekerja
mirip dengan tomografi berbantuan komputer, tetapi menggunakan cahaya
bukan sinar-X. Volume dan bentuk anggota tubuh dapat diukur dan perubahan
volume dapat dihitung. Perometry dan lingkar adalah pengukuran yang dapat
dihandalakan untuk menghitung perubahan volume ekstremitas dari waktu ke
waktu pada individu yang menjalani perawatan kanker payudara
11
2.2.5.3 Limfedema dan Filariasis15,16
A. Etiologi dan Patogenesis
Filariasis limfatik, yang ditularkan oleh nyamuk adalah penyebab paling
umum dari Lymphedema di negara endemik. Di antara 120.000.000 orang yang
terinfeksi di 83 negara, hingga 16.000.000 memiliki Lymphedema. Microfilariae
dicerna oleh nyamuk tumbuh menjadi infektif larva. Larva ini memasuki manusia
setelah gigitan nyamuk terinfeksi dan tumbuh di daerah limfatik dan mengakibatkan
kerusakan daerah limfatik dan menyebabkan dilatasi pembuluh getah bening
12
B. Anamnesis
Kebanyakan pasien yang diagnosis klinis filaria Lymphedema dicari
riwayat perjalanan penyakit serta perkembangan penyakit dari dahulu dan
sekarang kemudian dilakukan pemeriksaan klinis dari tungkai yang terkena.
Hasil yang biasa ditemukan adalah pembengkakan satu sisi atau kadang
bilateral tapi asimetris dari anggota badan, yang berdurasi panjang dan terkait
dengan penebalan kulit, bersama dengan riwayat episode berulang dari demam
dan nyeri pada bagian yang terkena.
C. Pemeriksaan Fisik
Lymphedema di ekstremitas adalah manifestasi kronis umum dari LF
(lymphatic filarial), yang pada hasil akhirnya adalah Elephantiasis. Biasanya
tungkai yang lebih rendah terkena, baik satu sisi atau terkadang bilateral dan
pembengkakan cenderung asimetris. Tungkai atas, alat kelamin pria dan yang
paling langka di bagian payudara wanita juga dapat terkena, Lymphedema dari
anggota badan biasanya dinilai sebagai berikut
Grade I :Pitting edema , elevasi reversibel pada tungkai yang terkena.
Grade II : Pitting atau non-pitting edema, yang tidak ada elevasi reverse
pada tungkai yang terkena dan tidak ada perubahan kulit.
Grade III : edema non-pitting yang tidak reversibel, dengan penebalan
kulit.
Grade IV : edema non-pitting yang tidak reversibel, dengan penebalan
kulit bersama dengan nodular atau berkutil ,tahap
Elephantiasis.
13
D.Pemeriksaan Penunjang
Tes rutin seperti pemeriksaan darah di malam hari untuk mendeteksi
MF, imuno-cromatografic-card test (ICT) tes untuk antigenemia filaria dan
ultrasonografi untuk menemukan cacing dewasa walau biasanya negatif saat
Lymphedema telah muncul. Jarang sekali ultrasonografi dapat digunakan
untuk menilai penebalan jaringan di tungkai bengkak. Lymphoscintigraphy
membantu untuk menilai perubahan struktural dan fungsional dalam limfatik.
Dilatasi limfatik, aliran balik dermal atau obstruksi di aliran getah bening pada
tungkai yang edema dapat dibuktikan dengan metode ini.
Untuk menilai ukuran Lymphedema dan untuk mengamati perbaikan
serta intervensi, pengukuran yang diambil pada titik tetap pada tungkai yang
terkena menggunakan pita pengukur yang fleksibel atau penentuan perubahan
volume tungkai dengan perpindahan air akan sangat membantu, terutama
ketika diulang pada interval tertentu
14
Gambar 3. Uji Stemmer. Uji stemmer positif (kiri) dengan cara mencubit lipatan
basal digiti II pedis dan digiti III manus. Uji stemmer negatif (kanan) terhadap pasien CVI
Chronic Venous Insufficiency (Robyn Bjork, 2010)
15
b) Limfoskintigrafi
Limfoskintigrafi atau limfografi isotopik adalah teknik pencitraan noninvasif
yang menggunakan injeksi technetium-labeled colloid ke dalam jaringan subkutan.
Radioisotop masuk ke dalam sistem limfatik dan diperiksa menggunakan kamera
gamma khusus. Teknik ini menguntungkan tetapi memiliki kekurangan berupa
gambar yang dihasilkan memiliki resolusi lebih kecil jika dibandingkan dengan
limfangiografi. Limfoskintiografi merupakan gold standar untuk pemeriksaan
limfedema karena terbukti akurat dalam menilai abnormalitas kerusakan sistem limfe
dengan menunjukkan aliran lambat limfe dan area refluks limfe dan dapat
memprediksi respon untuk tatalaksana.2,5
c) MRI
MRI dapat menunjukkan edema di kompartemen epifasial dan pembesaran
saluran limfatik, menunjukkan gambaran khas limfedema seperti penebalan kulit,
“honeycombing” pada jaringan subkutan yang diakibatkan oleh terbentuknya fibrosis
dan cairan mengelilingi akumulasi adiposa, dan tidak adanya edema pada
kompartemen muskular.5
d) CT Scan
Kegunaan CT-scan sama dengan pemeriksaan USG, yaitu untuk mendeteksi
lesi obstruksi seperti neoplasma, khususnya jika limfedema yang terjadi mendadak
pada pasien dewasa karena itu adalah tanda adanya suatu kompresi sistem limfatik
akibat keganasan. Sensitivitasnya sebesar 97% dan spesifisitasnya sebesar 100%.5
e) Diagnosis parasitologi
Pemeriksaan antigen filaria dapat ditemukan adanya antigen filarial di dalam
darah perifer, dengan atau tanpa mikrofilaria. Diagnosis parasitologi sekarang menjadi
pertimbangan sebagai alat diagnosis yang terbaik untuk mendeteksi infeksi filarial dan
dipakai untuk memonitor efektivitas pengobatan. Apabila curiga akan filariasis
limfatik, urin harus diperiksa secara mikroskopik untuk menemukan ada tidaknya
chyluria. Pada pemeriksaan imunoglobulin serum, kadar Ig E serum yang meningkat
ditemukan pada pasien dengan penyakit filaria aktif.
16
2.2.6 Tatalaksana
Penanganan limfedema yaitu dengan mengunakan terapi decongestive lengkap
yang sering disebut terapi gabungan, kompleks atau Comprehensive Decongestive
Therapy. Semua mengarah pada metode yang sama dikenal sebagai CDT. CDT adalah
pengobatan utama untuk limfedema. Para ahli yang merawat limfedema
mempertimbangkan CDT sebagai terapi "gold standard" . CDT telah terbukti aman
dan efektif.2 Terapi ini dibagi dalam dua fase (fase I) reduksi awal yang diikuti
dengan (fase II) fase pemeliharaan. Tujuan utama fase I adalah mengurangi ukuran
edema dan memperbaiki kulit. Setelah fase I, pasien melanjutkan terapi ke fase II
terus menerus untuk memastikan bahwa hasil dari fase I akan bertahan lama.2
Fase I, CDT yang terdiri dari Drainase limfe manual (MLD) dan perban
kompresi short-stretch dilakukan setiap hari (5 hari/minggu) sampai terjadi
pengurangan volume cairan, yang dapat terjadi dalam 3-8 minggu. Beberapa pasien
mungkin memiliki hasil yang baik dari CDT dengan modifikasi pada frekuensi dan
durasi pengobatan. Frekuensi dan durasi CDT tergantung individual masing-masing
untuk menghasilkan pengurangan edema yg optimal dan perbaikan kondisi kulit
dalam periode waktu tersingkat.2
Pada akhir tahap I CDT, fase II pasien limfedema masuk pada program
manajemen diri yaitu latihan limfatik di rumah, rejimen perawatan kulit, dan pakaian
atau perban kompresi yang harus dipelajari oleh pasien. Pakaian kompresi harus
diganti setiap 4-6 bulan agar efektif. Fase II CDT dan pemantauan medis periodik
sangat penting untuk keberhasilan pengobatan limfedema jangka panjang.2,9,10
Drainase limfe manual (MLD) adalah bagian utama dari CDT. Bagian ini
adalah teknik manual (hands-on) atau biasa disebut juga light massage technique
dengan dua mekanisme. Teknik ini merangsang pembuluh limfatik superfisial untuk
mengeluarkan cairan interstisial berlebih dan mengalirkannya melalui saluran cairan
subepidermal (di bawah kulit) yang terbentuk ketika limfatik rusak. Beberapa orang
mengenal teknik ini sebagai teknik pijat, tetapi berbeda dari jenis pijat otot biasa atau
pijat miofasial yang biasa dalam kalangan masyarakat. 2,9,10
17
Kedua, Perban kompresi terapi digunakan untuk memobilisasi cairan edema
setelah setiap MLD sesi selama 23 jam/hari termasuk akhir pekan. Perban dengan
lapisan khusus digunakan dengan cara yang tepat untuk anggota badan yang terkena
dengan menggunakan tekanan bertingkat. Bahan perban digunakan untuk menentukan
kedalaman dari efek kompresi. Perban menyebabkan tekanan tinggi selama aktivitas
dan tekanan yang relatif rendah di tungkai ketika tubuh beristirahat.9,10
Terakhir perawatan kulit dan kuku, kebersihan harus dijaga. Agar menjaga
kulit dari kekeringan dan retak pelembab dengan pH rendah harus diberikan . Daerah
kulit yang retak dan kering dapat menjadi tempat infeksi. Infeksi kulit yang dikenal
adalah selulitis (atau erisipelas) maka dari itu pengobatan antibiotik diperlukan pada
orang dengan limfedema.9,10
18
Pada penelitian, Comprehensive Decongestive Therapy sangat efektif dalam
mereduksi volume cairan penurunan yang signifikan dan akan terlihat pada 1 tahun
setelah awal pengobatan pasien limfedema mengalami penurunan volume cairan
berkisar 47%. Tetapi menurut penelitian lainnya kualitas hidup pasien limfedema
kurang berpengaruh terhadap berkurangnya volume cairan. Pasien limfedema masih
sering merasa nyeri, tidak bebas memilih pakaian, dan adanya gangguan dalam
pekerjaan juga psikososial.9,10
Adapun Penelitian yang menggunakan terapi laser bahwa lower-level laser
therapy (LLLT) menunjukkan bahwa meningkatkan parameter fisik sama halnya
dengan nilai subjektif nyeri. LLLT meningkatkan drainase limfatik dengan cara
merangsang pembentukan sel limfatik yang baru dengan meningkatkan motricity
limfatik dan mencegah pembentukan jaringan fibrotik. Biasa nya LLLT
dikombinasikan dengan CDT tetapi banyak studi tidak melaporkan kejadian yang
merugikan pasien walau ada satu yang melaporkan kejadian perkembangan kejadian
selulitis pada pasien yang menggunakan LLLT.11,12,13
BAB III
KESIMPULAN
Limfedema adalah keadaan patologis pada sistem limfatik yang progresif yang
mana terjadi penumpukan cairan protein pada ruang interstisial dan peradangan yang
19
kemudian diikuti terjadinya hipertofi jaringan lemak juga fibrosis. Limfedema dibagi
dalam dua jenis yaitu limfedema primer yang diakibatkan oleh jumlah pembuluh
limfe yang terbentuk lebih sedikit dari normal dan limfedema sekunder yang
disebabkan oleh adanya obstruksi aliran getah bening karena infeksi, radiasi,
metastasis tumor dan pembedahan.
Secara epidemiologi kasus yang paling sering terjadi di dunia adalah
limfedema sekunder dengan penyebab yang paling banyak adalah filariasis karena
infeksi dari wuscheria bancrofti. Limfedema sangat jarang terjadi pada limfedema
primer diperkirakan sekitar 1,15 di antara 100.000 orang yang berusia < 20 tahun, dan
lebih sering terjadi pada wanita.
Untuk mendiagnosis limfedema diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis dapat ditanyakan riwayat faktor resiko
seperti pembedahan diseksi nodul, riwayat terapi radiasi, riwayat trauma, riwayat
infeksi, travel ke daerah endemik filariasis, riwayat keganasan tumor, dan riwayat
keluraga yang memiliki limfedema.
Pada pemeriksaan fisik terdapat pitting edema, tetapi perlahan menjadi non-
pitting edema karena terbentuknya fibrosis dan jaringan menjadi keras. Perubahan
kulit dapat terjadi yaitu ditemukan peau d’orange, tetapi jarang terjadi ulkus. Tanda
Stemmer ditemukan positif Limfoskintiografi merupakan gold standar untuk
limfedema karena akurat dalam menilai abnormalitas kerusakan sistem limfe.
Penanganan limfedema yaitu dengan Comprehensive decongestive therapy yang
terbukti aman dan efektif.
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Loscalzo J. Hauser S. Harrison's
Principles Of Internal Medicine, 18th ed. New York: McGrawHill; 2011: 1901
2. NLN Medical Advisory Comittee. 2011. The Diagnosis and Treatment of Lymphedema.
NLN Paper; 2011: 1-19
3. Snell,Richard S, .Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edsis 6. EGC :
Jakarta.2006.hal 21-23
4. Guyton AC, Hall JE. Buku AjarFisiologi Kedokteran. Edisi 11. Penerjemah: Irawati,
Ramadani D, Indriyani F. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2006.hal 199-203
5. Warren AG, Brorson HK, Borud LJ, and Slavin S.2007. Lymphedema Comprehensive
Review;2007; 59: 464-472
6. Baki A, et al. Idiophatic Congenital Lymphedema-a case report. Bangladesh J Child
Health 2013; Vol 37 (1) : 49-51
7. Antigani PL. Diagnosis and treatment of primary lymphedema-UOP Consensus.
International Angiology: a Journal of The International Union of Angiology, December
2013
8. Supali T, Sri S, Margono, Alisah SN, Abidin. Nematoda jaringan. In: Sutanto I, Ismid IS,
Sjarifuddin PK, Sungkar S; editors. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. 4th ed. Jakarta
FKUI; 2008. hal. 32-42.
9. JM Weiss, BJ Spray. The Effect of Complete Decongestive Therapy on The Quality of
Life of Patients With Peripheral Lymphedema. Missoury, USA.2002; 46-58
10. Rashmi Koul, Tarek Dufan. Efficacy of Complete Decongestive Therapy and Manual
Lymphatic Drainage on Treatment-Related Lymphedema In Breast Cancer.Elsevier,
Canada. 2007; vol 67; 841-84
11. Smoot B, Chiavola-Larson L, Lee J, Manibusan H, Allen DD. Effect of low-level laser
therapy on pain and swelling in women with breast cancer-related lymphedema: a
systematic review and meta-analysis. J Cancer Surviv. 2015;9:287–304
12. Robijns J, Censabella S, Bulens P, Maes A, Mebis J. The use of low-level light therapy in
supportive care for patients with breast cancer: review of the literature. Lasers Med Sci.
2017;32:229–242
13. Dirican A, Andacoglu O, Johnson R, McGuire K, Mager L, Soran A. The short-term
effects of low-level laser therapy in the management of breast-cancer-related
lymphedema. Support Care Cancer. 2011;19:685–690
14. World J Clin Oncol.Breast cancer-related lymphedema: Symptoms, diagnosis, risk
reduction, and management 2014 Aug 10; 5(3): 241–247
15. Pfarr K M,Debrah A Y, Filariasis and lymphoedema 2009 Nov; 31(11): 664–672
16. Shenoy.R.K, Clinical and Phatological aspects of Filarial Lymphedema and its
management, 2008 Sep; 46(3): 119–125
21
22