Anda di halaman 1dari 43

REFERAT

HIPERTENSI
Disusun untuk Memenuhi Sebagian Syarat dalam Mengikuti
Program Pendidikan Profesi Bagian SMF
Instalasi Gawat Darurat dan Rehabilitasi Medik

Disusun oleh:
Farin Limanda Mulia, S.Ked
FAB 118 091

Pembimbing:
dr. TAGOR SIBARANI

KEPANITERAAN KLINIK
SMF/BAGIAN IGD DAN RM
RSUD dr. DORIS SYLVANUS PALANGKA RAYA
FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS PALANGKA RAYA
2020
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT
HIPERTENSI

Disusun untuk memenuhi sebagian syarat mengikuti Ujian Akhir Kepaniteraan Klinik di SMF
Instalasi Gawat Darurat dan Rehabilitasi Medik
RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya

Disusun oleh :
Farin Limanda Mulia, S.Ked
FAA 118 091

Telah disetujui oleh:


Palangka Raya, Januari 2020
Pembimbing,

dr. TAGOR SIBARANI

ii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... ii
KATA PENGANTAR ...................................................................................... iii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ v
DAFTAR TABEL ............................................................................................. vi
DAFTAR GRAFIK ........................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................ 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi ........................................................................................ 2
2.2 Epidemiologi ............................................................................... 2
2.3 Klasifikasi Hipertensi .................................................................. 4
2.4 Patofisiologi ................................................................................ 5
2.5 Faktor Risiko ............................................................................... 12
2.6 Penegakkan Diagnosis ................................................................ 13
2.7 Penatalaksanaan .......................................................................... 15
2.8 Komplikasi .................................................................................. 24
2.9 Pencegahan .................................................................................. 24
2.10 Krisis Hipertensi.......................................................................... 26
BAB III PENUTUP .......................................................................................... 35
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 36

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Skematik patofisiologi hipertensi 6


Gambar 2. Skematik patofisiologi hipertensi 6
Gambar 3. Patofisiologi hipertensi 7
Gambar 4. Peran Sistem Renin-Angiotensin dalam Hipertensi 8
Gambar 5. Faktor yang mempengaruhi tekanan darah 11
Gambar 6. Faktor yang mempengaruhi hipertensi 20
Gambar 7.Alogaritma Penatalaksanaan Hipertensi Esensial, Terapi awal dan Kombinasi 41
Gambar 8. Skema terapi kombinasi obat antihipertensi 22
Gambar 9. Algoritma manajemen hipertensi berdasarkan JNC 8 23

v
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Klasifikasi tekanan darah menurut JNC VIII 9


Tabel 2. Klasifikasi tekanan darah menurut kelompok usia pada JNC VII 9
Tabel 3. Pemeriksaan penunjang sebagai evaluasi awal 14
Tabel 4. Perbandingan target dan pemilihan obat antihipertensi dari berbagai
guideline 16
Tabel 5. Dosis obat antihipertensi berdasarkan Evidence-Based 18
Tabel 6. Strategi penentuan dosis obat antihipertensi 21
Tabel 7. Obat antihipertensi yang direkomendasikan JNC VIII 22

vi
DAFTAR GRAFIK
Grafik 1. Prevalensi hipertensi berdasarkan pengukuran pada umur >18 tahun menurut provinsi
pada tahun 2007, dan 2013 3
Grafik 2. Prevalensi hipertensi berdasarkan wawancara, pada umur >18 tahun menurut provinsi
pada tahun 2007, dan 2013 3
Grafik 3. Prevalensi hipertensi berdasarkan usia 3

vii
BAB I

PENDAHULUAN

Hipertensi merupakan masalah kesehatan dunia, prevalensi hipertensi yang


meningkat, disertai dengan penyakit lain yang menyertainya akan meningkatkan risiko
kejadian kardiovaskuler dan penyakit ginjal.
Hipertensi biasanya tidak menimbulkan gejala yang spesifik, sehingga
menyebabkan banyak penderita hipertensi yang tidak diobati, dari pasien hipertensi yang
mendapat pengobatan, hanya sekitar 10-20% yang mencapai target kontrol tekanan darah.
Diperkirakan prevalensi hipertensi akan semakin meningkat sehingga memberikan
dampak pada kesehatan masyarakat.1,2
Intervensi hipertensi berupa modifikasi gaya hidup dapat menghambat progresivitas
hipertensi. Namun, sebagian besar pasien memerlukan obat anti hipertensi seumur hidup
dengan kombinasi lebih dari satu obat. Kondisi ini mendasari begitu banyak jenis obat anti
hipertensi yang beredar di pasaran. Di lain pihak hal ini menimbulkan kompleksitas bagi
klinisi dalam pemilihan obat anti hipertensi mana yang paling efektif dan tepat diberikan
berdasarkan kondisi spesifik pasien yang dihadapi. Klinisi dituntut memiliki kemampuan
dalam menentukan indikasi memulai terapi farmakologi, target kendali tekanan darah (TD),
dan jenis anti hipertensi yang harus dipilih. Pedoman penatalaksanaan hipertensi sangat
diperlukan oleh para dokter untuk mencegah terjadinya komplikasi kardio-
serebrovaskuler. Perubahan gaya hidup dan obat- obatan terbukti dapat menurunkan
tekanan darah dan komplikasi kardiovaskuler pada penderita hipertensi.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Hipertensi adalah meningkatnya tekanan darah sistolik lebih besar dari 140
mmHg dan atau diastolik lebih besar dari 90 mmHg pada dua kali pengukuran dengan
selang waktu 5 menit dalam keadaan cukup istirahat (tenang).7 Hipertensi didefinisikan
oleh Joint National Committee on Detection, Evaluation and Treatment of High Blood
Pressure sebagai tekanan yang lebih tinggi dari 140 / 90 mmHg.5
Hipertensi merupakan penyakit yang timbul akibat adanya interaksi berbagai
faktor resiko yang dimiliki seseorang. Faktor pemicu hipertensi dibedakan menjadi yang
tidak dapat dikontrol seperti riwayat keluarga, jenis kelamin, dan umur. Faktor yang dapat
dikontrol seperti obesitas, kurangnya aktivitas fisik, perilaku merokok, pola konsumsi
makanan yang mengandung natrium dan lemak jenuh.5
Hipertensi dapat mengakibatkan komplikasi seperti stroke, kelemahan jantung,
penyakit jantung koroner (PJK), gangguan ginjal dan lain-lain yang berakibat pada
kelemahan fungsi dari organ vital seperti otak, ginjal dan jantung yang dapat berakibat
kecacatan bahkan kematian. Hipertensi atau yang disebut the silent killer yang merupakan
salah satu faktor resiko paling berpengaruh penyebab penyakit jantung (cardiovascular).6

2.2 Epidemiologi
Hipertensi merupakan salah satu penyakit yang paling umum ditemukan dalam
grafik kedokteran primer menurut NHLBI (National Heart, Lung and Blood Institute), 1
dari 3 pasien menderita hipertensi. Hipertensi merupakan faktor risiko infark miokard,
stroke, gagal ginjal akut dan juga kematian. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013
menujukkan bahwa prevalensi hipertensi di Indonesia adalah sebesar 26,5%. Pada grafik 1,
terlihat prevalensi hipertensi berdasarkan pengukuran (mengunakkan kriteria hipertensi
JNC 7) cenderung turun dari 31,7% pada tahun 2007 menjadi 25,8% pada tahun 2013.
Dalam laporan RISKESDAS 2013, diasumsikan bahwa penurunan diperkirakan terjadi
karena perbedaan alat ukur yang digunakan tahun 2007 dan 2013, kesadaran masyrakat
akan kesehatan makin membaik pada tahun 2013.

2
Grafik 1. Prevalensi hipertensi berdasarkan pengukuran pada umur >18 tahun
menurut provinsi pada tahun 2007, dan 2013

Grafik 2. Kecenderungan prevalensi hipertensi berdasarkan wawancara. pada umur >18


tahun menurut provinsi pada tahun 2007 dan 2013

Grafik 3. Prevalensi hipertensi berdasarkan usia3

3
2.3 Klasifikasi Hipertensi
Hipertensi dapat dibedakan menjadi tiga golongan yaitu hipertensi sistolik,
hipertensi diastolik, dan hipertensi campuran. Hipertensi sistolik (isolated systolic
hypertension) merupakan peningkatan tekanan sistolik tanpa diikuti peningkatan tekanan
diastolik dan umumnya ditemukan pada usia lanjut. Tekanan sistolik berkaitan dengan
tingginya tekanan pada arteri apabila jantung berkontraksi (denyut jantung). Tekanan
sistolik merupakan tekanan maksimum dalam arteri dan tercermin pada hasil pembacaan
tekanan darah sebagai tekanan atas yang nilainya lebih besar.
Hipertensi diastolik (diastolic hypertension) merupakan peningkatan tekanan
diastolik tanpa diikuti peningkatan tekanan sistolik, biasanya ditemukan pada anak- anak
dan dewasa muda. Hipertensi diastolik terjadi apabila pembuluh darah kecil menyempit
secara tidak normal, sehingga memperbesar tahanan terhadap aliran darah yang melaluinya
dan meningkatkan tekanan diastoliknya. Tekanan darah diastolik berkaitan dengan tekanan
arteri bila jantung berada dalam keadaan relaksasi di antara dua denyutan. Hipertensi
campuran merupakan peningkatan pada tekanan sistolik dan
diastolik.6
Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi dua golongan, yaitu:
1) Hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya,
disebut juga hipertensi idiopatik. Terdapat sekitar 95 % kasus. Banyak faktor yang
mempengaruhinya seperti genetik, lingkungan, hiperaktivitas susunan saraf simpatis,
sistem renin-angiotensin, defek dalam ekskresi Na, peningkatan Na.
2) Hipertensi sekunder atau hipertensi renal. Terdapat sekitar 5% kasus. Penyebab
spesifiknya diketahui, seperti penggunaan estrogen, penyakit ginjal, hipertensi
vaskular renal, hiperaldosteronisme primer, dan sindrom Cushing, feokromositoma,
koartasio aorta, hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan, dan lain-lain.6
Menurut The Seventh Report of The Joint National Committee on Prevention,
Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC VII), klasifikasi
hipertensi pada orang dewasa dapat dibagi menjadi kelompok normal, prehipertensi,
hipertensi derajat I dan derajat II. (Tabel 1)

4
Tabel 1. Klasifikasi tekanan darah menurut JNC VIII7

Tabel 2. Klasifikasi tekanan darah menurut kelompok usia pada JNC VIII

2.4 Patofisiologi
Tekanan yang dibutuhkan untuk mengalirkan darah melalui sistem sirkulasi
dilakukan oleh aksi memompa dari jantung (cardiac output/CO) dan resistensi vaskular
(peripheral vascular resistance). Fungsi kerja masing-masing penentu tekanan darah ini
dipengaruhi oleh interaksi dari berbagai faktor yang kompleks. Hipertensi sesungguhnya
merupakan abnormalitas dari faktor-faktor tersebut, yang ditandai dengan peningkatan
curah jantung dan / atau ketahanan periferal.11
Cardiac output berhubungan dengan hipertensi, peningkatan cardiac output
secara logis timbul dari dua jalur, yaitu baik melalui peningkatan cairan (preload) atau
peningkatan kontraktilitas dari efek stimulasi saraf simpatis. Tetapi tubuh dapat
mengkompensasi agar cardiac output tidak meningkat yaitu dengan cara meningkatkan
resistensi perifer. 11

5
Gambar 1. Skematik patofisiologi hipertensi

Gambar 2. Skematik patofisiologi hipertensi

6
Gambar 3. Patofisiologi hipertensi
1) Perubahan anatomi dan fisiologi pembuluh darah
Aterosklerosis adalah kelainan pada pembuluh darah yang ditandai dengan
penebalan dan hilangnya elastisitas arteri. Aterosklerosis merupakan proses multifaktorial.
Terjadi inflamasi pada dinding pembuluh darah dan terbentuk deposit substansi lemak,
kolesterol, produk sampah seluler, kalsium dan berbagai substansi lainnya dalam lapisan
pembuluh darah. Pertumbuhan ini disebut plak. Pertumbuhan plak di bawah lapisan tunika
intima akan memperkecil lumen pembuluh darah, obstruksi luminal, kelainan aliran darah,
pengurangan suplai oksigen pada organ atau bagian tubuh tertentu. Sel endotel pembuluh
darah juga memiliki peran penting dalam pengontrolan pembuluh darah jantung dengan cara
memproduksi sejumlah vasoaktif lokal yaitu molekul oksida nitrit dan peptida endotelium.
Disfungsi endotelium banyak terjadi pada kasus hipertensi primer. Berikut merupakan
gambaran pembentukan plak aterosklerosis (Gambar 1)

7
Gambar 4. Pembentukkan plak aterosklerosis

Peningkatan tekanan darah dalam jangka waktu lama akan mengakibatkan


perubahan struktural pembuluh darah. Perubahan struktur meliputi perubahan struktur
makro dan mikrovaskular. Perubahan makrovaskular berupa arteri menjadi kaku serta
perubahan amplifikasi tekanan sentral ke perifer. Perubahan mikrovaskular berupa
perubahan rasio dinding pembuluh darah dan lumen pada arteriol besar, abnormalitas tonus
vasomotor serta ‘structural rarefaction’ (hilangnya mikrovaskular akibat aliran darah tidak
mengalir di semua mikrovaskular demi mempertahankan perfusi ke kapiler tertentu).[10]
Perubahan struktur tersebut akan mengganggu perfusi jaringan. Oleh karena tu
dalam jangka waktu lama dapat timbul kerusakan organ target.[10] Walaupun autoregulasi
tubuh terhadap tekanan darah akan berusaha mempertahankan aliran darah untuk
memenuhi kebutuhan metabolik, kemampuan regulasi tersebut menurun pada pasien
hipertensi. Organ target yang dapat rusak meliputi jantung, ginjal, mata serta otak.
2) Sistem Renin-Angiotensin
Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II dari
angiotensin I oleh angiotensin I-converting enzyme (ACE). Angiotensin II inilah yang
memiliki peranan kunci dalam menaikkan tekanan darah melalui dua aksi utama :
a. Meningkatkan sekresi Anti-Diuretic Hormone (ADH) dan rasa haus. Dengan
meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh
(antidiuresis), sehingga menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk

8
mengencerkannya, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara
menarik cairan dari bagian intraseluler. Akibatnya, volume darah meningkat, yang
pada akhirnya akan meningkatkan tekanan darah.
b. Menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Untuk mengatur volume
cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam) dengan
cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan
diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang
pada gilirannya akan meningkatkan volume dan tekanan
darah.7

Gambar 4. Peran Sistem Renin-Angiotensin dalam Hipertensi

9
3) Sistem Saraf Simpatis
Perubahan sistem kardiovaskular, neurohormonal dan ginjal sangat berperan.
Peningkatan aktivitas saraf simpatis dapat memicu peningkatan kerja jantung yang
berakibat peningkatan curah jantung. Kelainan pada pembuluh darah berperan terhadap
total resistensi perifer. Vasokonstriksi dapat disebakan peningkatan akitivitas saraf
simpatis, gangguan regulasi faktor lokal (nitrit oxide, faktor natriuretik, dan endothelin)
yang berperan dalam pengaturan tonus vaskular. Kelainan pada ginjal berupa defek kanal
ion Na+/K+/ATPase, abnormalitas regulasi hormon renin-angiotensin-aldosteron serta
gangguan aliran darah ke ginjal. Gangguan pada tekanan natriuresis juga dapat
mengganggu pengaturan eksresi sodium hingga mengakibatkan retensi garam dan cairan.
Peningkatan kadar vasokonstriktor seperti angiotensin II atau endotelin berhubungan
dengan peningkatan total resistensi perifer dan tekanan darah.
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak di
pusat vasomotor, pada medula di otak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf
simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medula
spinalis ke ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor
dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui saraf simpatis ke
ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron pregangli on melepaskan asetilkolin, yang akan
merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan
dilepaskannya norepinefrin mengakibatkan konstriksi pembuluh darah.3
4) Pola diet dan obesitas
Pola diet tinggi garam terutama pada pasien dengan sensitivitas garam yang tinggi
berkontribusi dalam menimbulkan tekanan darah tinggi. Pola hidup yang tidak sehat seperti
inaktivitas fisik dan pola diet yang salah dapat menimbulkan obesitas. Obesitas juga
berperan dalam meningkatkan risiko hipertensi esensial sebagaimana suatu studi
menunjukkan penurunan berat badan diikuti penurunan tekanan darah.[8] Obesitas dapat
memicu hipertensi melalui beberapa mekanisme di antaranya kompresi ginjal oleh lemak
retroperitoneal dan visceral. Peningkatan lemak visceral terutama lemak retroperitoneal
dapat memberikan efek kompresi pada vena dan parenkim renal sehingga meningkatkan
tekanan intrarenal, mengganggu natriuresis tekanan hingga mengakibatkan hipertensi.

10
Selain itu peningkatan aktivitas saraf simpatis dapat dipicu oleh leptin. Studi
menunjukkan ikatan leptin pada reseptornya terutama pada neuron proopiomelanocortin
(POMC) di hipotalamus dan batang otak berperan dalam peningkatan tersebut.
Perangsangan saraf simpatis menyebabkan peningkatan kadar angiotensin II dan
aldosterone. Pada obesitas, peningkatan jaringan lemak dan laju metabolik meningkatkan
curah jantung sebagai usaha untuk memenuhi kebutuhan aliran darah. Tak hanya itu,
obesitas juga berkaitan dengan sindroma metabolik.
Peningkatan tekanan darah dalam jangka waktu lama akan mengakibatkan
perubahan struktural pembuluh darah. Perubahan struktur meliputi perubahan struktur
makro dan mikrovaskular. Perubahan makrovaskular berupa arteri menjadi kaku serta
perubahan amplifikasi tekanan sentral ke perifer. Perubahan mikrovaskular berupa
perubahan rasio dinding pembuluh darah dan lumen pada arteriol besar, abnormalitas tonus
vasomotor serta ‘structural rarefaction’ (hilangnya mikrovaskular akibat aliran darah tidak
mengalir di semua mikrovaskular demi mempertahankan perfusi ke kapiler tertentu).
Perubahan struktur tersebut akan mengganggu perfusi jaringan. Oleh karena tu
dalam jangka waktu lama dapat timbul kerusakan organ target.[10] Walaupun autoregulasi
tubuh terhadap tekanan darah akan berusaha mempertahankan aliran darah untuk
memenuhi kebutuhan metabolik, kemampuan regulasi tersebut menurun pada pasien
hipertensi. Organ target yang dapat rusak meliputi jantung, ginjal, mata serta otak.9

Gambar 5. Faktor-faktor yang mempengaruhi tekanan darah

11
Gambar 6. Faktor yang mempengaruhi hipertensi

2.5 Faktor Risiko


Faktor resiko terjadinya hipertensi antara lain:
1. Usia
Tekanan darah cenderung meningkat dengan bertambahnya usia. Pada laki-laki
meningkat pada usia lebih dari 45 tahun sedangkan pada wanita meningkat pada usia
lebih dari 55 tahun.
2. Ras/etnik
Hipertensi bisa mengenai siapa saja. Bagaimanapun, biasa sering muncul pada etnik
Afrika Amerika dewasa daripada Kaukasia atau Amerika Hispanik.
3. Jenis Kelamin
Pria lebih banyak mengalami kemungkinan menderita hipertensi daripada wanita.
4. Kebiasaan Gaya Hidup tidak Sehat
Gaya hidup tidak sehat yang dapat meningkatkan hipertensi, antara lain minum
minuman beralkohol, kurang berolahraga, dan merokok.10
a. Merokok
Merokok merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan hipertensi, sebab
rokok mengandung nikotin. Menghisap rokok menyebabkan nikotin terserap oleh
pembuluh darah kecil dalam paru-paru dan kemudian akan diedarkan hingga ke otak.
Di otak, nikotin akan memberikan sinyal pada kelenjar adrenal untuk melepas epinefrin
atau adrenalin yang akan menyempitkan pembuluh darah dan memaksa
jantung untuk bekerja lebih berat karena tekanan darah yang lebih tinggi.3,7

12
Tembakau memiliki efek cukup besar dalam peningkatan tekanan darah karena
dapat menyebabkan penyempitan pembuluh darah. Kandungan bahan kimia dalam
tembakau juga dapat merusak dinding pembuluh darah.8
Karbon monoksida dalam asap rokok akan menggantikan ikatan oksigen dalam
darah. Hal tersebut mengakibatkan tekanan darah meningkat karena jantung dipaksa
memompa untuk memasukkan oksigen yang cukup ke dalam organ dan jaringan tubuh
lainnya. Karbon monoksida dalam asap rokok akan menggantikan ikatan oksigen
dalam darah. Hal tersebut mengakibatkan tekanan darah meningkat karena jantung
dipaksa memompa untuk memasukkan oksigen yang cukup ke dalam organ dan
jaringan tubuh lainnya.
b. Kurangnya aktivitas fisik
Aktivitas fisik sangat mempengaruhi stabilitas tekanan darah. Pada orang yang tidak
aktif melakukan kegiatan fisik cenderung mempunyai frekuensi denyut jantung yang
lebih tinggi. Hal tersebut mengakibatkan otot jantung bekerja lebih keras pada setiap
kontraksi. Makin keras usaha otot jantung dalam memompa darah, makin besar pula
tekanan yang dibebankan pada dinding arteri sehingga meningkatkan tahanan perifer
yang menyebabkan kenaikkan tekanan darah. Kurangnya aktifitas fisik juga dapat
meningkatkan risiko kelebihan berat badan yang akan menyebabkan risiko hipertensi
meningkat. Studi epidemiologi membuktikan bahwa olahraga secara teratur memiliki
efek antihipertensi dengan menurunkan tekanan darah sekitar 6-15 mmHg pada
penderita hipertensi. Olahraga banyak dihubungkan dengan pengelolaan hipertensi,
karena olahraga isotonik dan teratur dapat menurunkan tahanan perifer yang akan
menurunkan tekanan darah.
Olahraga juga dikaitkan dengan peran obesitas pada hipertensi.12

2.6 Penegakkan Diagnosis


Diagnosis hipertensi dengan pemeriksaan fisik paling akurat menggunakan
sphygmomanometer air raksa. Sebaiknya dilakukan lebih dari satu kali pengukuran dalam
posisi duduk dengan siku lengan menekuk di atas meja dengan posisi telapak tangan
menghadap ke atas dan posisi lengan sebaiknya setinggi jantung. Pengukuran dilakukan
dalam keadaan tenang. Pasien yang terdiagnosa hipertensi dapat dilakukan tindakan lebih
lanjut yakni :

13
1) Menentukan sejauh mana penyakit hipertansi yang diderita
Tujuan pertama program diagnosis adalah menentukan dengan tepat sejauh mana
penyakit ini telah berkembang, apakah hipertensinya ganas atau tidak, apakah arteri dan
organ-organ internal terpengaruh, dan lain- lain.
2) Mengetahui penyebabnya
Tujuan kedua dari program diagnosis adalah mengisolasi penyebab spesifiknya.
3) Pencarian faktor risiko tambahan
Aspek lain yang penting dalam pemeriksaan, yaitu pencarian faktor-faktor risiko
tambahan yang tidak boleh diabaikan.
4) Pemeriksaan dasar
Setelah terdiagnosis hipertensi maka akan dilakukan pemeriksaan dasar, seperti
kardiologis, radiologis, tes laboratorium, EKG (electrocardiography) dan rontgen.
5) Tes khusus
Tes yang dilakukan antara lain adalah :
a. X- ray khusus (angiografi) yang mencakup penyuntikan suatu zat warna yang
digunakan untuk memvisualisasi jaringan arteri aorta, renal dan adrenal.
b. Memeriksa saraf sensoris dan perifer dengan suatu alat electroencefalografi
(EEG), alat ini menyerupai electrocardiography (ECG atau EKG).43
6) Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang sebagai evaluasi inisial pada penderita hipertensi meliputi
pengurukan funsi ginjal, elektrolit serum, glukosa puasa, dan lemak dapat diulang kembali
setelah pemberian agen antihipertensi dan selanjutnya sesuai dengan indikasi klinis.
Pemeriksaan laboratorium ekstensif diperlukan pada pasien dengan hipertensi yang resisten
terhadap obat dan ketiga evaluasi klinis mengarah pada bentuk kedua dari hipertensi. 6,14
Sistem Pemeriksaan
Ginjal Urinanalisis mikroskopik, eksresi albumin, serum BUN dan/atau
Kreatinin
Endokrin Serum natrium, kalium, kalsium, dan TSH
Metabolik Glukosa puasa atau HbA1c, profil lipid (kolesterol total, HDL dan
LDL, trigliserida)
Lainnya Darah lengkap, rontgen dan elektrokardiogram
Tabel 3. Pemeriksaan Penunjang sebagai evaluasi awal6,14

14
2.7 Penatalaksanaan
Inisiasi Terapi Hipertensi
Begitu banyak definisi mengenai hipertensi, dari perspektif klinis definisi
yang dianggap paling pas: hipertensi adalah “level tekanan darah (TD) dimana pengobatan
untuk menurunkan TD menjadi lebih rendah dibandingkan level tersebut akan memberikan
manfaat klinis yang sangat signifikan”. Level TD yang dimaksud disini akan sangat bervariasi antar
satu individu dengan individu yang lainnya tergantung faktor risiko kardiovaskular absolut yang
dimiliki. Merujuk pada kondisi ini maka ditetapkan ambang batas TD secara absolut kapan
memulai terapi farmakologi dan target kendali TD yang optimal.3
Sebagaian besar guideline hipertensi merekomendasikan tatalaksana farmakologi pada

pasien dengan TD□140/90 mmHg yang belum mencapai target TD yang diinginkan dengan

modifikasi gaya hidup. Beberapa bukti menunjukkan bahwa pengobatan tekanan darah
>160/100 mmHg dapat menurunkan kejadian stroke, infrak jantung, gagal jantung dan
kematian.4-8 Terbukti bahwa terapi tekanan darah >140/90 mmHg khususnya pada pasien yang
berisiko tinggi sangat bermanfaat. Hal yang berbeda didapat pada JNC-8 yang menyatakan bahwa
batas inisiasi terapi adalah 140/90 mmHg untuk dewasa umur <60 tahun tetapi merekomendasikan
batasan yang lebih rendah yaitu pada usia >60 tahun.9

Target Terapi Hipertensi


Target ideal dari terapi tekanan darah tergantung dari populasi pasien, tetapi guideline harus
merekomendasikan terhadap populasi secara umum. Sampai saat ini target tekanan darah adalah <
140/90 mmHg untuk hipertensi uncomplicated dan target yang lebih rendah <130/80 mmHg untuk
mereka yang berisiko tinggi yaitu pasien dengan diabetes, penyakit kardiovaskuler atau
serebrovaskuler dan penyakit ginjal kronik. Khusus untuk guideline JNC VIII, usia <60tahun

target kendali TD adalah sama yaitu <140/90 mmHg dan usia >60 tahun adalah <150/90 mmHg.4,9

Tabel berikut ini menunjukkan perbandingan dari berbagai guideline mengenai target tekanan darah
dan pemilihan awal obat hipertensi. Tabel 3. Perbandingan target dan pemilihan obat antihipertensi
dari berbagai guideline.4

15
Tabel 4. Perbandingan target dan pemilihan obat antihipertensi dari berbagai guideline.4

Prinsip Penatalaksanaan Hipertensi

Berdasarkan analisis dari berbagai penelitian didapatkan beberapa hal yang penting dalam
penatalaksanaan hipertensi.
1. Penurunan tekanan darah sangat penting dalam menurunkan risiko mayor kejadian
kardiovaskuler pada pasien hipertensi, jadi prioritas utama dalam terapi hipertensi adalah
mengontrol tekanan darah
2. Penelitian pendahuluan memfokuskan pada pengobatan tekanan darah diastolik tetapi tekanan
darah sistolik lebih sulit dikontrol dan lebih berpengaruh pada outcome kardiovaskuler.
3. Monoterapi jarang bisa mengontrol tekanan darah, dan banyak pasien memerlukan lebih dari
1 obat anti hipertensi
4. Respon terhadap berbagai klas anti hipertensi adalah heterogen, beberapa pasien mungkin
akan berespon lebih baik dari pasien yang lain.

16
5. Beberapa penelitian mengindikasikan bahwa penyakit komorbiditas seperti diabetes, dan
kerusakan target organ seperti LVH dan CKD mengindikasikan pemilihan kelas obat yang spesifik
dalam terapi hipertensi tetapi hal ini jangan sampai menyampingkan pentingnya kontrol tekanan
darah.
6. Penurunan tekanan darah 20/10 mmHg pada pasien hipertensi akan menurunkan 50% risiko
kejadian kardiovaskuler.
Strategi Terapi Hipertensi
Obat anti hipertensi terdiri dari beberapa jenis, sehingga memerlukan strategi terapi untuk memilih
obat sebagai terapi awal, termasuk mengkombinasikan beberapa obat anti hipertensi. Asessmen
awal meliputi identifikasi faktor risiko, komorbid, dan adanya kerusakan organ target memegang
peranan yang sangat penting dalam menentukan pemilihan obat anti hipertensi. Sebelum
membahas lebih mendetail mengenai terapi farmakologi pada hipertensi, peran tatalaksana
modifikasi gaya hidup tetap memegang peranan penting. Modifikasi gaya hidup selama periode
observasi (TD belum mencapai ambang batas hipertensi) harus tetap dilanjutkan meskipun pasien
sudah diberikan obat anti hipertensi. Perubahan gaya hidup dapat mempotensiasi kerja obat anti
hipertensi khususnya penurunan berat badan dan asupan garam. Perubahan gaya hidup juga penting
untuk memperbaiki profil risiko kardiovaskuler disamping penurunan TD.
Pilihan Terapi Inisial
Terapi farmakologi hipertensi diawali dengan pemakaian obat tunggal.
Tergantung level TD awal, rata-rata monoterapi menurunkan TD sistole sekitar 7-13 mm
Hg dan diastole sekitar 4-8 mmHg Terdapat beberapa variasi dalam pemilihan terapi awal
pada hipertensi primer. Sebelumnya guideline JNC VII merekomendasikan thiazide dosis
rendah. JNC VIII saat ini merekomendasikan ACE-inhibitor, ARB, diuretic thiazide dosis
rendah, atau CCB untuk pasien yang bukan ras kulit hitam. Terapi awal untuk ras kulit
hitam yang direkomendasikan adalah diuretic thiazide dosis rendah atau CCB. Di lain
pihak guideline Eropa terbaru merekomendasikan 5 golongan obat sebagai terapi awal
yaitu ACE-inhibitor, ARB, diuretic thiazide dosis rendah, CCB atau □-blocker berdasarkan
indikasi khusus (Gambar 1).
Guideline UK NICE memakai pendekatan berbeda, menekankan etnik dan
ras merupakan faktor determinan penting dalam menentukan pilihan obat awal pada
hipertensi. Hal ini selanjutnya diadaptasi oleh guideline JNC VIII.

17
Rasionalisasi dari konsep ini adalah RAAS bersifat lebih aktif pada usia muda
jika dibandingkan pada usia tua dan ras kulit hitam. Jadi guidelina UK. NICE
merekomendasikan ACE-inhibitor atau ARB pada usia <55 tahun, bukan ras kulit hitam
sedangkan CCB untuk untuk usia >55 tahun (bukan ras kulit hitam) dan ras kulit hitam
dengan semua rentang usia. Batasan untuk rekomendasi ini adalah: (1) diuretics thiazide
lebih dipilih dibandingkan CCB untuk kondisi gagal jantung atau pasien dengan risiko
tinggi untuk mengalami gagal jantung; (2) ACE inhibitor atau ARB tidak digunakan
pada wanita hamil, dalam kondisi ini □-blocker lebih dipilih.
Guideline UK. NICE dan JNC VIII membatasi pemakaian Beta blocker sebagai
terapi awal dengan pengecualian adanya indikasi spesifik seperti pasien gagal jantung
kronik, angina simtomatik, atau pasca infark miokard. Alasan dibatasinya pemakaian
Beta blocker sebagai terapi awal adalah: (1) Kurang efektif dalam menurunkan risiko
stroke dan penyakit jantung iskemik jika dibandingkan dengan golongan obat lain; (2)
meningkatkan risiko diabetes terutama jika dibandingkan dengan terapi diuretik; (3)
lebih mahal dari segi pembiayaan jika dipakai sebagai terapi awal. Pengobatan
antihipertensi dengan terapi farmakologis dimulai saat seseorang dengan hipertensi
tingkat 1 tanpa faktor risiko, belum mencapai target TD yang diinginkan dengan
pendekatan nonfarmakologi.

Tabel 5. Indikasi Spesifik Pemilihan Obat Awal Pada Hipertensi1.

18
Penelitian besar membuktikan bahwa obat-obat antihipertensi utama berasal
dari golongan : diuretik, ACE inhibitor, antagonis kalsium, angiotensin receptor blocker
(ARB) dan beta blocker (BB). Semua golongan obat antihipertensi di atas
direkomendasikan sebagai pengobatan awal hipertensi dan terbukti secara signifikan
menurunkan TD. Tabel di bawah ini menunjukkan jenis-jenis obat antihipertensi dan
dosis yang disarankan.

Tabel 5. Dosis Obat Antihipertensi Berdasarkan Evidence-Based4

Kombinasi Obat Antihipertensi

Tujuan utama pengobatan hipertensi adalah untuk mencapai dan mempertahankan


target TD. Jika target TD tidak tercapai dalam waktu satu bulan pengobatan, maka
dapat dilakukan peningkatan dosis obat awal atau dengan menambahkan obat kedua
dari salah satu kelas (diuretik thiazide, CCB , ACEI , atau ARB ).4

19
Gambar 7. Algoritma Penatalaksanaan Hipertensi Esensial, Terapi Awal dan Kombinasi
(Guideline UK. NICE)2

Kombinasi dua obat dosis rendah direkomendasikan untuk kondisi TD


>20/10 mmHg di atas target dan tidak terkontrol dengan monoterapi. Secara
fisiologis konsep kombinasi 2 obat (dual therapy) cukup logis, karena respon
terhadap obat tunggal sering dibatasi oleh mekanisme counter aktivasi. Sebagai
contoh kehilangan air dan sodium oleh thiazide akan dikompensasi oleh RAAS
sehingga akan membatasi efektivitas thiazide dalam menurunkan tensi. Kombinasi
2 golongan obat dosis rendah yang direkomendasikan adalah penghambat
RAAS+diuretic dan penghambat RAAS+CCB. Penting harus diingat jangan
menggunakan kombinasi ACEI dan ARB pada 1 pasien yang sama. Jika target TD
tidak bisa dicapai menggunakan 2 macam obat antihipertensi dalam rekomendasi di
atas atau karena kontra indikasi atau dibutuhkan lebih dari 3 obat untuk mencapai
target TD, obat antihipertensi dari kelas lain dapat digunakan.
Rujukan ke spesialis hipertensi dapat diindikasikan untuk pasien yang
target TD tidak dapat dicapai dengan menggunakan strategi di atas atau untuk
pengelolaan pasien yang kompleks yang memerlukan tambahan konsultasi.
Guideline JNC VIII merekomendasikan ACE-inhibitor atau ARB dengan CCB atau
thiazid. Konsep ini sama dengan guideline UK yang pertama merekomendasikan

20
kombinasi ACE-inhibitor atau ARB dengan CCB (A+C). Guideline JNC VIII
merekomendasikan kombinasi ACE-inhibitor atau ARB dengan CCB dan atau
thiazid. Konsep ini sama dengan guideline UK. yang pertama merekomendasikan
kombinasi ACE-inhibitor atau ARB dengan CCB (A+C).

21
Mengkombinasikan Penghambat Renin-Angiotensin-Aldosterone System (RAAS)

Kombinasi beberapa jenis obat dari golongan penghambat RAAS dewasa ini sudah
tidak direkomendasikan. Data dari trial ONTARGET(3) (ACE inhibitor+ARB) dan
ALTITUDE (ARB+Direct Renin Inhibitor)(4) mendapatkan jika kombinasi ini tidak lebih
efektif jika dibandingkan ACE inhibitor tunggal dalam menurunkan risiko penyakit
kardiovaskuler pada populasi berisiko tinggi termasuk dengan diabetes. Di lain pihak
kombinasi tersebut meningkatkan efek samping seperti gangguan fungsi ginjal. Tabel di
bawah ini menunjukkan strategi penentuan titrasi dosis atau kombinasi obat anti
hipertensi.

Tabel 6. Strategi penentuan dosis obat antihipertensi

Bagan di bawah ini menunjukkan pilihan kombinasi obat anti hipertensi, dimana 4 dasar
dari proses fisiologi dalam pengaturan tekanan darah dan penempatan dari klas utama obat
antihipertensi dihubungkan dengan proses yang bertanggungjawab terhadap efek primer dari
antihipertensinya. Obat kombinasi dalam mengontrol tekanan darah biasanya lebih efektif dari sisi
yang berbeda (misalnya : diuretik + ARB) dan sebaliknya pada sisi yang sama dari diagram
(Misalnya Beta blocker + alfa-2 agonis).

22
Gambar 2. Skema terapi kombinasi obat antihipertensi5
(ACE-I. Angiotensin converting enzyme inhibitor; ARB, angiotensin receptor blocker;
CCB, calcium channel blocker; MRS, mineralcorticoid antagonist).
Obat – obat Anti Hipertensi
Ada berbagai kelas obat antihipertensi dengan mekanisme kerja dan efek samping
yang berbeda-beda. Tabel di bawah ini menunjukkan kelas obat antihipertensi, mekanisme
kerja dan efek samping yang bisa terjadi.

Tabel 7. Obat Antihipertensi yang direkomendasikan dalam JNC8 5

23
Penatalaksanaan hipertensi secara menyeluruh berdasarkan JNC VIII dapat dilihat pada
gambar di bawah ini :

Gambar 9. Algoritme Manajemen Hipertensi Berdasarkan JNC 84

24
2.8 Komplikasi

I. Jantung
Penyakit jantung merupakan penyebab yang tersering menyebabkan kematian
pada pasien hipertensi. Penyakit jantung hipertensi merupakan hasil dari
perubahan struktur dan fungsi yang menyebabkan pembesaran jantung kiri
disfungsi diastolik, dan gagal jantung.6
II. Otak
Hipertensi merupakan faktor risiko yang penting terhadap infark dan
hemoragik otak. Sekitar 85 % dari stroke karena infark dan sisanya karena
hemoragik. Insiden dari stroke meningkat secara progresif seiring dengan
peningkatan tekanan darah, khususnya pada usia > 65 tahun. Pengobatan pada
hipertensi menurunkan insiden baik stroke iskemik ataupun stroke hemorgik.6
III. Ginjal
Hipertensi kronik menyebabkan nefrosklerosis, penyebab yang sering terjadi
pada renal insufficiency. Pasien dengan hipertensif nefropati, tekanan darah
harus 130/80 mmHg atau lebih rendah, khususnya ketika ada proteinuria.6

2.9 Pencegahan
Pencegahan dan kontrol dari hipertensi membutuhkan dukungan politik sebagai
peran dari pemerintah dan para pembuat kebijakan. Petugas kesehatan, komunitas
peneliti akademis, lembaga masyarakat, sektor privat, serta keluarga dan penderita
hipertensi sendiri semuanya ikut berperan.

25
2.10 Krisis Hipertensi
2.10.1 Definisi
Hipertensi emergensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah
sistolik >180 mmHg atau diastoik > 120 mmHg secara mendadak disertai kerusakan
organ target. Manifestasi klinis umum dari kerusakan organ pada hipertensi
emergensi termasuk Sindrom Koroner Akut (ACS),
dekompensasi akut gagal jantung, ensefalopati, perdarahan intraserebral dan gagal
ginjal akut. Hipertensi emergensi harus ditanggulangi sesegera mungkin dalam satu
jam dengan memberikan obat-obatan anti hipertensi intravena.2
Hipertensi urgensi adalah tingginya peningkatan tekanan darah yang akut (>
180/120 mmHg) tanpa bukti kerusakan organ. Pada keadaan ini tekanan darah
harus segera diturunkan dalam 24 jam dengan memberikan obat-obatan anti
2
hipertensi oral. Istilah "krisis hipertensi" sering digunakan untuk mencakup
keadaan hipertensi emergensi dan hipertensi urgensi. 3
Dikenal beberapa istilah yang berkaitan dengan krisis hipertensi antara lain. 2,3
a. Hipertensi refrakter
Respon pengobatan yang tidak memuaskan dan tekanan darah > 200/110
mmHg, walaupun telah diberikan pengobatan yang efektif (triple drug) pada
penderita dan kepatuhan pasien.
b. Hipertensi akselerasi
Peningkatan tekanan darah diastolik > 120 mmHg disertai dengan kelainan
funduskopi. Bila tidak diobati dapat berlanjut ke fase maligna.
c. Hipertensi maligna
Penderita hipertensi akselerasi dengan tekanan darah diastolik >
120130 mmHg dan kelainan funduskopi disertai papil edema, peninggian
tekanan intrakranial, kerusakan yang cepat dari vaskular, gagal ginjal akut,
ataupun kematian bila penderita tidak mendapatkan pengobatan. Hipertensi
maligna biasanya pada penderita dengan riwayat hipertensi esensial ataupun
sekunder dan jarang pada penderita yang sebelumnya mempunyai tekanan
darah normal.

26
d. Hipertensi ensefalopati
Kenaikan tekanan darah dengan tiba-tiba disertai dengan keluhan sakit
kepala yang hebat, penurunan kesadaran dan keadaan ini dapat menjadi
reversibel bila tekanan darah tersebut diturunkan.

2.10.2 Mekanisme Autoregulasi 7


Autoregulasi merupakan penyesuaian fisiologis organ tubuh terhadap
kebutuhan dan pasokan darah dengan mengadakan perubahan pada resistensi
terhadap aliran darah dengan berbagai tingkatan perubahan kontraksi/ dilatasi
pembuluh darah. Bila tekanan darah turun maka akan terjadi vasodilatasi dan
jika tekanan darah naik akan terjadi vasokonstriksi. Pada individu normotensi,
aliran darah otak masih tetap pada fluktuasi Mean Atrial Pressure (MAP) 60-
70 mmHg. Bila MAP turun di bawah batas autoregulasi, maka otak akan
mengeluarkan oksigen lebih banyak dari darah untuk kompensasi dari aliran
darah yang menurun. Bila mekanisme ini gagal, maka akan terjadi iskemia otak
dengan manifestasi klinik seperti mual, menguap, pingsan dan sinkop.
Pada penderita hipertensi kronis, penyakit serebrovaskular dan usia tua,
batas ambang autoregulasi ini akan berubah dan bergeser ke kanan pada kurva,
sehingga pengurangan aliran darah dapat terjadi pada tekanan darah yang lebih
tinggi (lihat gambar 2)
Autoregulasi merupakan penyesuaian fisiologis organ tubuh terhadap
kebutuhan dan pasokan darah dengan mengadakan perubahan pada resistensi
terhadap aliran darah dengan berbagai tingkatan
Perubahan kontraksi/dilatasi pembuluh darah. Bila tekanan darah turun
maka akan terjadi vasodilatasi dan jika tekanan darah naik akan terjadi
vasokonstriksi. Pada individu normotensi, aliran darah otak masih tetap pada
fluktuasi Mean Atrial Pressure (MAP) 60-70 mmHg. Bila MAP turun di bawah
batas autoregulasi, maka otak akan mengeluarkan oksigen lebih banyak dari
darah untuk kompensasi dari aliran darah yang menurun. Bila mekanisme ini
gagal, maka akan terjadi iskemia otak dengan manifestasi klinik seperti mual,
menguap, pingsan dan sinkop.

27
Pada penderita hipertensi kronis, penyakit serebrovaskuar dan usia tua,
batas ambang autoregulasi ini akan berubah dan bergeser ke kanan pada
kurva,sehingga pengurangan aliran darah dapat terjadi pada tekanan darah yang
lebih tinggi (lihat gambar 2).

Dari penelitian didapatkan bahwa baik orang yang normotensi maupun


hipertensi, diperkirakan bahwa batas terendah dari autoregulasi otak adalah
kira-kira 25% di bawah resting MAP. Oleh karena itu dalam pengobatan krisis
hipertensi, penurunan MAP sebanyak 20%-25% dalam beberapa menit atau
jam,tergantung dari apakah emergensi atau urgensi. Penurunan tekanan darah
pada penderita diseksi aorta akut ataupun edema paru akibat payah jantung kiri
dilakukan dalam tempo 15-30 menit dan bisa lebih cepat lagi dibandingkan
hipertensi emergensi lainya. Penderita hipertensi ensefalopati, penurunan
tekanan darah 25% dalam 2-3 jam. Untuk pasien dengan infark serebri akut
ataupun perdarahan intrakranial, penurunan tekanan darah dilakukan lebih
lambat (6-12 jam) dan harus dijaga agar tekanan darah tidak lebih rendah dari
170-180/100 mmHg.

Gambar 10. Kurva Autoregulasi pada tekanan darah 3

28
2.10.3 Manifestasi Klinis 1,2
Manifestasi klinis krisis hipertensi berhubungan dengan kerusakan
organ target yang ada. Tanda dan gejala krisis hipertensi berbeda-beda setiap
pasien. Pada pasien dengan krisis hipertensi dengan perdarahan intrakranial
akan dijumpai keluhan sakit kepala, penurunan tingkat kesadaran dan tanda
neurologi fokal berupa hemiparesis atau paresis nervus cranialis. Pada
hipertensi ensefalopati didapatkan penurunan kesadaran dan atau defisit
neurologi fokal.
Pada pemeriksaan fisik pasien bisa saja ditemukan retinopati dengan
perubahan arteriola, perdarahan dan eksudasi maupun papiledema.
Pada sebagian pasien yang lain manifestasi kardiovaskular bisa saja
muncul lebih dominan seperti; angina, akut miokardial infark atau gagal
jantung kiri akut. Dan beberapa pasien yang lain gagal ginjal akut dengan
oligouria dan atau hematuria bisa saja terjadi.
Tabel 8. Kerusakan target organ pada Hipertensi Emergensi

Manifestasi klinis pada hipertensi urgensi yaitu hipertensi berat dengan


tekanan darah > 180/120 mmHg, tetapi dengan minimal atau tanpa kerusakan
organ sasaran dan tidak dijumpai keadaan pada tabel 8 :

1. Funduskopi KW I atau KW II
2. Hipertensi post operasi
3. Hipertensi tak terkontrol/tanpa diobati pada perioperative

29
2.10.4 Pendekatan Diagnosis 6
Kemampuan dalam mendiagnosis hipertensi emergensi dan urgensi harus
dapat dilakukan dengan cepat dan tepat sehingga dapat mengurangi angka
morbiditas dan mortalitas pasien. Anamnesis tentang riwayat penyakit
hipertensinya, obat-obatan anti hipertensi yang rutin diminum, kepatuhan
minum obat, riwayat konsumsi kokain, amphetamine dan phencyclidine.
Riwayat penyakit yang menyertai dan penyakit kardiovaskular atau ginjal
penting dievaluasi. Tanda-tanda defisit neurologik harus diperiksa seperti sakit
kepala,penurunan kesadaran, hemiparesis dan kejang.
Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan seperti hitung jenis, elektrolit,
kreatinin dan urinalisa. Foto thorax, EKG dan CT- scan kepala sangat penting
diperiksa untuk pasien-pasien dengan sesak nafas, nyeri dada atau perubahan
status neurologis. Pada keadaan gagal jantung kiri dan hipertrofi ventrikel kiri
pemeriksaan ekokardiografi perlu dilakukan. Berikut adalah bagan alur
pendekatan diagnostik pada pasien hipertensi:
2.10.5 Penatalaksanaan 1,2,3,4
 Hipertensi Urgensi
a. Penatalaksanaan Umum
Manajenem penurunan tekanan darah pada pasien dengan hipertensi
urgensi tidak membutuhkan obat-obatan parenteral. Pemberian obat-obatan
oral aksi cepat akan memberi manfaat untuk menurunkan tekanan darah dalam
24 jam awal Mean Arterial Pressure (MAP) dapat diturunkan tidak lebih dari
25%. Pada fase awal standard goal penurunan tekanan darah dapat diturunkan
sampai 160/110 mmHg. Penggunaan obat-obatan anti-hipertensi parenteral
maupun oral bukan tanpa risiko dalam menurunkan tekanan darah. Pemberian
loading dose obat oral anti-hipertensi dapat menimbulkan efek akumulasi dan
pasien akan mengalami hipotensi saat pulang ke rumah. Optimalisasi
penggunaan kombinasi obat oral merupakan pilihan terapi untuk pasien dengan
hipertensi urgensi.

30
b. Obat-obatan spesifik untuk hipertensi urgensi
Captopril adalah golongan angiotensin-converting enzyme (ACE)
inhibitor dengan onset mulai 15-30 menit. Captopril dapat diberikan 25 mg
sebagai dosis awal kemudian tingkatkan dosisnya 50-100 mg setelah 90-120
menit kemudian. Efek yang sering terjadi yaitu batuk, hipotensi,
hiperkalemia, angioedema, dan gagal ginjal (khusus pada pasien dengan
stenosis pada arteri renal bilateral).
Nicardipine adalah golongan calcium channel blocker yang sering
digunakan pada pasien dengan hipertensi urgensi. Pada penelitian yang
dilakukan pada 53 pasien dengan hipertensi urgensi secara random terhadap
penggunaan nicardipine atau placebo. Nicardipine memiliki efektifitas
yang mencapai 65% dibandingkan placebo yang mencapai 22% (p=0,002).
Penggunaan dosis oral biasanya 30 mg dan dapat diulang setiap 8 jam
hingga tercapai tekanan darah yang diinginkan. Efek samping yang sering
terjadi seperti palpitasi, berkeringat dan sakit kepala.
Labetalol adalah gabungan antara α1 dan β-adrenergic blocking dan
memiliki waktu kerja mulai antara 1-2 jam. Dalam penelitian labetalol
memiliki dose range yang sangat lebar sehingga menyulitkan dalam
penentuan dosis. Penelitian secara random pada 36 pasien, setiap grup
dibagi menjadi 3 kelompok; diberikan dosis 100 mg, 200 mg dan 300 mg
secara oral dan menghasilkan penurunan tekanan darah sistolik dan diastolik
secara signifikan. Secara umum labetalol dapat diberikan mulai dari dosis
200 mg secara oral dan dapat diulangi setiap 3-4 jam kemudian. Efek
samping yang sering muncul adalah mual dan sakit kepala.
Clonidine adalah obat-obatan golongan simpatolitik sentral (α2-
adrenergicreceptor agonist) yang memiliki mula kerja antara 15-30 menit
dan puncaknya antara 2-4 jam. Dosis awal bisa diberikan 0,1-0,2 mg
kemudian berikan 0,05-0,1 mg setiap jam sampai tercapainya tekanan darah
yang diinginkan, dosis maksimal adalah 0,7 mg. Efek samping yang sering
terjadi adalah sedasi, mulut kering dan hipotensi ortostatik.
Nifedipine adalah golongan calcium channel blocker yang memiliki
pucak kerja antara 10-20 menit. Nifedipine kerja cepat tidak dianjurkan oleh
FDA untuk terapi hipertensi urgensi karena dapat menurunkan tekanan darah
yang mendadak dan tidak dapat diprediksikan sehingga berhubungan dengan

31
kejadian stroke.

 Hipertensi Emergensi
a. Penatalaksanaan Umum
Terapi hipertensi emergensi harus disesuaikan setiap individu
tergantung pada kerusakan organ target. Manajemen tekanan darah dilakukan
dengan obat-obatan parenteral secara tepat dan cepat. Pasien harus berada di
dalam ruangan ICU agar monitoring tekanan darah bisa dikontrol dan dengan
pemantauan yang tepat. Tingkat ideal penurunan tekanan darah masih belum
jelas, tetapi penurunan Mean Arterial Pressure (MAP) 10% selama 1 jam
awal dan 15% pada 2-3 jam berikutnya. Penurunan tekanan darah secara cepat
dan berlebihan akan mengakibatkan jantung dan pembuluh darah orak
mengalami hipoperfusi.
b. Penatalaksanaan khusus untuk hipertensi emergensi
Neurologic emergency. Kegawatdaruratan neurologi sering terjadi pada
hipertensi emergensi seperti hypertensive encephalopathy, perdarahan
intrakranial dan stroke iskemik akut. American Heart Association
merekomendasikan penurunan tekanan darah > 180/105 mmHg pada
hipertensi dengan perdarahan intrakranial dan MAP harus dipertahankan di
bawah 130 mmHg. Pada pasien dengan stroke iskemik tekanan darah harus
dipantau secara hati-hati 1-2 jam awal untuk menentukan apakah tekanan
darah akan menurun secara sepontan. Secara terus-menerus MAP
dipertahankan > 130 mmHg.
Cardiac emergency. Kegawatdaruratan yang utama pada jantung seperti
iskemik akut pada otot jantung, edema paru dan diseksi aorta. Pasien dengan
hipertensi emergensi yang melibatkan iskemik pada otot jantung dapat
diberikan terapi dengan nitroglycerin. Pada studi yang telah dilakukan,
bahwa nitroglycerin terbukti dapat meningkatkan aliran darah pada arteri
koroner. Pada keadaan diseksi aorta akut pemberian obat-obatan β-blocker
(labetalol dan esmolol) secara IV dapat diberikan pada terapi awal,
kemudian dapat dilanjutkan dengan obat-obatan vasodilatasi seperti
nitroprusside. Obat-obatan tersebut dapat menurunkan tekanan darah
sampai target tekanan darah yang diinginkan (TD sistolik > 120mmHg)
dalam waktu 20 menit.

32
Kidney Failure. Acute kidney injury bisa disebabkan oleh atau merupakan
konsekuensi dari hipertensi emergensi. Acute kidney injury ditandai dengan
proteinuria, hematuria, oligouria dan atau anuria. Terapi yang diberikan
masih kontroversi, namun nitroprusside IV telah digunakan secara luas
namun nitroprusside sendiri dapat menyebabkan keracunan sianida atau
tiosianat. Pemberian fenoldopam secara parenteral dapat menghindari
potensi keracunan sianida akibat dari pemberian nitroprussidedalam terapi
gagal ginjal.
Hyperadrenergic states. Hipertensi emergensi dapat disebabkan karena
pengaruh obat-obatan seperti katekolamin, klonidin dan penghambat
monoamin oksidase. Pasien dengan kelebihan zat-zat katekolamin seperti
pheochromocytoma, kokain atau amphetamine dapat menyebabkan over
dosis. Penghambat monoamin oksidase dapat mencetuskan timbulnya
hipertensi atau klonidin yang dapat menimbukan sindrom withdrawal. Pada
orang-orang dengan kelebihan zat seperti pheochromocytoma, tekanan
darah dapat dikontrol dengan pemberian sodium nitroprusside (vasodilator
arteri) atau phentolamine IV (ganglion-blocking agent). Golongan β-
blockers dapat diberikan sebagai tambahan sampai tekanan darah yang
diinginkan tercapai. Hipertensi yang dicetuskan oleh klonidinterapi yang
terbaik adalah dengan memberikan kembali klonidin sebagaidosis inisial
dan dengan penambahan obat-obatan anti hipertensi yang telah dijelaskan
di ata

Tabel 9. Obat-obatan parenteral yang digunakan untuk terapi hipertensi emergensi

Obat Mekanisme Dosis On Durasi Keadaan klinis Tindakan


kerja set pencegahan
Sodium Langsung 0,25- 1-2 3-4 Digunakan Meningkatkan
nitopusside pada arteri 10 mnt mnt dalam semua tekanan
dan mcg/k setelah situasi klinis intrakranial
vasodilator g/ mnt infus hipertensi serebrovaskuler
vena dihenti emergensi. dan insufisiensi
kan Hati2 pada cardiovaskuler,
keadaan kerusakan ginjal,
emergensi kerusakan hepar
neurologis,
karena dapat
menyebabkan
penurunan
tekanan darah

33
cerebral dan
pada ACS dapat
menyebabkan
koroner menjadi
kaku
Nitroglycer Vasodilator 5-200 2-5 5-10 Umumnya Baik digunakan
in vena mcg/k mnt mnt digunakan untuk untuk inhibitor
g/ mnt ACS dan ADHF phosphodiesterase
-5, meningkatkan
tekanan
intrakranial,
infark miokard
dengan ST elevasi
daerah inferior.
Labetalol Kombinasi Iv 2-5 2-4 Diseksi aorta, Bradikardi berat,
alpha dan bolus: mnt jam dan neurologis asma bronkial,
beta bloker 20 mg sete setelah emergensi baru
adrenergik selama -lah infus menggunakan
2 mnt bol dihenti kokain,
Infus: -us -kan pheochromo-
1- cytoma.
2mg/ Dekompensasi
mnt gagal jantung akut
Fenoldopa Reseptor 0,1-1,6 10 1 jam Sangat berguna Alergi sulfite,
m agonis mcg/k mnt setelah pada hipertensi hypokalemia
dopamin-1 g/mnt dihenti emergensi
perifer kan dengan
komplikasi
gagal ginjal
Nicardipine dihydorpyri 5-15 10 2-6 Post operasi Stenosis aorta
dine mg/ hr mnt jam hipertensi dan yang parah
calcium neurologis Kerusakan renal
channel emergensi Dekompensasi
blcker, gagal jantung akut
vasodilator
Clevidipine Ultra short 2-16 1-5 5 Berpotensi Alergi produk
acting mcg/k mnt menit digunakan pada kedele dan telur
dihydorpyri g/mnt setelah kebanyakan Stenosis aorta
dine dihenti hipertensi yang parah
calcium kan emergensi; studi Dekompensasi
channel ekstensif pada gagal jantung akut
blcker post operasi
pasien bedah
jantung
Hydralazin Vasodilator Iv 10- 1-4 Pre eklampsia Diseksi aneurisma
e langsung bolus: 20 jam dan eklamsia aorta
pada arteri 10-20 mnt
mcg
IV

34
BAB III
PENUTUP

Hipertensi merupakan penyakit yang sangat umum ditemui dan dikenal sebagai
penyakit kardiovaskular dimana penderita memiliki tekanan darah diatas normal.
Faktor risiko untuk terjadinya hipertensi dapat dibagi menjadi 2 yaitu faktor yang
dapat dimodifikasi dan faktor yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor yang tidak
dapat dimodifikasi antara lain usia, jenis kelamin, riwayat keluarga, dan faktor
genetik. Sedangkan faktor yang dapat dimodifikasi tergantung dari gaya hidup
pasien.
Sasaran pengobatan hipertensi untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas
kardiovaskuler dan ginjal. Berdasarkan JNC VIII target tekanan darah adalah
kurang dari 140/90 mmHg untuk kelompok usia >40 tahun dan kurang dari 150/90
mmHg untuk kelompok usia >60 tahun. Terapi untuk hipertensi dapat dibagi
menjadi 2 yaitu terapi farmakologis dan terapi non farmakologis. Terapi non
farmakologis antara lain mengurangi asupan garam, olah raga, menghentikan rokok
dan mengurangi berat badan, dapat dimulai sebelum atau bersama-sama dengan
obat farmakologi. Untuk terapi farmakologi beberapa golongan obat yang dapat
dipakai antara lain ACE inhibitor, angiotensin receptor blocker, beta blocker,
penghambat kanal kalsium, dan diuretik tipe thiazide. Penggunaan obat
antihipertensi dapat dikombinasikan ataupun dengan menaikkan dosis obat secara
bertahap sampai mencapai target tekanan darah.
Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko utama penyebab gagal jantung,
gagal ginjal serta penyakit serebrovaskular.

35
DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization (WHO). A Global Brief on Hypertension: Silent


Killer, Global Public Health Crisis [Internet]. 2013 [diakses pada 15 November
2015]. Tersedia dari: http://chronicconditions.thehealthwell.info/search-
results/global-brief-hypertension-silent-killer-global-public-health-
crisis?source=relatedblock
2. Krishnan A, Garg R, Kahandaliyanage A. Hypertension in the South-East Asia
Region: an overview. Regional Health Forum. 2013; 17(1): 7-14.
3. James PA, Oparil S, Carter BL et al. 2014 Evidence-Based Guideline for the
Management of High Blood Pressure in Adults Report From the Panel
Members Appointed to the Eighth Joint National Committee (JNC 8). JAMA:
2013.
4. Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, Cushman WC, Green LA, Izzo JL, et
al. Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection,
Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. Hypertension. 2003; 42:
1206–52.
5. Cowley AW Jr. The genetic dissection of essential hypertension. Nat Rev
Genet. 2006 Nov; 7(11):829–40. [PMID: 17033627].
6. Kasper, Braunwald, Fauci, et al. Harrison’s principles of internal medicine
17th edition. New York: McGrawHill: 2008.
7. Setiawan, Zamhir. Karakteristik sosiodemografi sebagai faktor resiko
hipertensi studi ekologi di pulau Jawa tahun 2004 [Tesis].Jakarta: Program
Studi Epidemiologi Program Pasca Sarjana FKM-UI; 2006.
8. Hasurungan, JA.Faktor-faktor yang berhubungan dengan hipertensi pada
lansia di Kota Depok tahun 2002 [Tesis]. Jakarta:Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia; 2002.
9. Thomas M. Habermann, , Amit K. Ghosh. Mayo Clinic Internal Medicine
Concise Textbook. 1st edition. Canada: Mayo Foundation for Medical
Education and Research: 2008.

36
10. Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular Departemen Kesehatan RI.
Pedoman Teknis Penemuan dan Tatalaksana Penyakit Hipertensi. 2006.
11. Norman M. Kaplan. Kaplan's Clinical Hypertension 9th edition. Philadelphia,
USA: Lippincott Williams & Wilkins: 2006.
12. Horacio J, Nicolaos E. Sodium and Potassium in the Pathogenesis of
Hypertension. N Engl J Med 2007; 356: 1966-78.
13. Rahajeng E, Tuminah S. Prevalensi Hipertensi dan Determinannya di
Indonesia. Majalah Kedokteran Indonesia: 2009; 59 (12): 580-7.
14. Kenning I, Kerandi H, Luehr D, Margolis K, O’Connor P, Pereira C, Schlichte
A, Woolley T. Institute for Clinical Systems Improvement. Hypertension
Diagnosis and Treatment. Updated November 2014.
15. Basuki B, Setianto B. Age, body posture, daily working load – past
antihypertensive drugs and risk of hypertension: a rural Indonesia study. Med
J Indon. 2001; 10(1): 29-33.
16. Kaplan NM. Clinical hypertension. 8th ed. Lippincott: Williams & Wilkins;
2002.

37

Anda mungkin juga menyukai