Anda di halaman 1dari 16

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Masalah Obesitas

Dalam satu dekade terakhir, obesitas menjadi masalah global. Prevalensi

obesitas di dunia telah meningkat hampir dua kali lipat antara tahun 1980

dan 2008. Menurut data World Health Organization (WHO) tahun 2015, pada tahun

2014 terdapat lebih dari 1,9 milyar orang dewasa di atas 18 tahun mengalami

kelebihan berat badan dan lebih dari 600 juta orang mengalami obesitas. Prevalensi

kelebihan berat badan dan obesitas di negara-negara maju seperti Amerika, Eropa,

dan Mediterania Timur telah mencapai tingkatan yang sangat tinggi. Kejadian ini

tidak hanya terjadi di negara maju, kenaikan prevalensi kelebihan berat badan dan

obesitas juga terjadi di negara-negara berkembang di Asia Tenggara dan Afrika.

Kelebihan berat tubuh dan obesitas dapat menjadi faktor resiko penyakit karena

gangguan metabolik seperti, penyakit jantung koroner, stroke iskemia dan diabetes

mellitus tipe 2.7

Di Indonesia, prevalensi obesitas menunjukkan angka yang cukup

mengkhawatirkan. Berdasarkan data Riskesdas 2013, prevalensi obesitas pada anak

umur 6-12 tahun berkisar 9,2%, pada anak usia 13-15 berkisar 2,45%, usia 16-18

berkisar 1,4%, dan usia di atas 18 berkisar 21,6%. Penyebab utama obesitas karena

tidak seimbangnya energi antara kalori yang dikonsumsi dan kalori yang
5

digunakan. Penyebab ketidakseimbangan dapat disebabkan karena peningkatan

asupan makanan berenergi dengan kandungan lemak yang tinggi dan penurunan

aktivitas fisik karena meningkatnya pola hidup yang menetap dari berbagai bentuk

pekerjaan, perubahan mode transportasi, dan peningkatan urbanisasi. Organisasi

kesehatan dunia menyatakan bahwa indeks massa tubuh (IMT) merupakan salah satu

cara untuk mengukur status gizi atau nutrisi pada orang dewasa diatas usia 19

tahun.8,9 Nilai IMT didapat dengan pembagian nilai berat tubuh dalam kilogram

dengan nilai tinggi badan kuadrat dalam meter. Hasil pengukuran IMT didapatkan

pembagian status nutrisi menjadi underweight (kekurangan berat badan), normal,

overweight (kelebihan berat badan) dan obesitas.10

Organisasi Kesehatan Dunia, WHO, mendefinisikan overweight sebagai IMT ≥

25 kg/m2 dan obesitas pada IMT ≥ 30 kg/m2. Obesitas lebih lanjut diklasifikasikan

menjadi 3 kelas. Kelas 1 obesitas (IMT 30 - 34,9 kg/m2); kelas 2 obesitas (IMT 35

-39,9 kg/m2) dan kelas 3 obesitas (IMT ≥ 40 kg/m2). Peningkatan morbiditas

sebanding dengan peningkatan IMT. Organisasi ini memperkirakan bahwa tahun

2015, sekitar 2,3 miliar orang dewasa kelebihan berat badan dan akan lebih dari 700

juta akan obesitas. Kalsifikasi berat badan untuk orang dewasa tercantum pada Tabel

2.1.10

Tabel 2.1 Klasifikasi Berat Badan menurut WHO10


6

Klasifikasi IMT (kg/m2) Risiko Morbiditas


Kurus < 18.5 Rendah
Normal 18.5 – 24.9 Sedang
Kegemukan ≥ 25
Pra Obesitas 25 – 29.9 Meningkat
Obesitas grade I 30 – 34.9 Sedang
Obesitas grade II 35 – 39.9 Berat
Obesitas grade III ≥ 40 Sangat berat

Dampak dari obesitas :11


1. Peningkatan lemak viseral berkaitan dengan sindrom metabolik

(hipertrigilseridemia, penurunan HDL, peningkatan HDL, hipertensi dan

resistensi insulin), merupakan rantai yang kompleks yang dapat meningkatkan

resiko penyakit jantung iskemik dan diabetes melitus tipe 2.


2. Hipertensi yang terjadi pada obesitas merupakan proses yang kompleks dan

mungkin berkaitan dengan terjadinya resistensi insulin, aktivasi sistem

saraf simpatis, aktivasi sistem renin angiotensin, resistensi leptin, kompresi fisik

pada ginjal dan perubaha perubahan pada struktur dan fungsi pembuluh darah.
3. Obesitas juga meningkatkan kejadian terjadinya osteoartritis yang berkaitan

dengan stress mekanik yang terjadi pada tulang dan sendi terutama padasendi

lutut dan panggul. Inflamasi yang terjadi berpotensi menyebabkan erosikartilago.


4. Terjadi perubahan pada fungsi pulmonal sebagai akibat peningkatan massa

jaringan adiposa pada dada yang menyebabkan peningkatan usaha bernapas

perubahan pertukaran gas, penurunan kapasitas vital, dan volume respirasi yang

menurunkan tekanan oksigen dan meningkatkan tekanan karbondioksida.

Hipoventilasi menyebabkan hiperkapnea dan gangguan pernafasan saat tidur.

Hipoksemia menyebabkan hipertensi pulmonal yang berkontribusi

untuk menyebabkan hipertrofi ventrikel kanan dan gagal jantung. Asma juga
7

berkaitan dengan obesitas, terutama pada wanita, akan tetapi mekanismenya

belum dipahami. Obesitas juga menyebabkan penyempitan saluran nafas, refluks

gastroesofageal, resistensi leptin, dan penurunan adiponektin. Perubahan pada

fungsi pernafasan inidapat menyebabkan terjadinya Obtructive sleep apnea

syndrome (OSAS).11

Gambar di atas menerangkan bahwa pada pasien dengan obesitas terjadi

resistensi leptin yang mengakibatkan adanya peningkatan jaringan lemak tubuh yang

merupakan suatu predisposisi dari SAHS (Sleep Apnea – Hipopnea Syndrome) dan

apabila terus menerus dapat membuat hipoksemia. Semua hal ini menyebabkan

adanya hiperkapnea pada pasien. Selain itu, hiperkapnea ini bisa juga disebabkan

karena adanya hipoventilasi misalnya pada pasien dengan Pickwickian syndrome.11

B. Definisi Obesity Hypoventilation Syndrome (OHS)


8

Obesity hypoventilation syndrome (OHS) juga dikenal dengan istilah Sindroma

Pickwickian, yakni suatu keadaan hiperkapnia dan hipoksemia ( PaCO2 > 45 mmHg

dan PaO2 < 70 mm Hg) saat siang hari pada pasien obesitas ( IMT ≥ 30 kg/m2 )

disertai sleep-disordered breathing tanpa ada penyebab hipoventilasi lainnya. Obesity

hypoventilation syndrome (OHS) merupakan diagnosis eksklusi dan harus dibedakan

dari kondisi lain yang umumnya terkait dengan hiperkapnia (Tabel 2.2). Pada 90%

pasien OHS, kelainan pernapasan saat tidur berupa Obstructive Sleep Apnea (OSA),

10% sisanya berupa sleep hipoventilation. (terjadi peningkatan PaCO2 > 10 mmHg di

atas kadar paCO2 dalam keadaan sadar penuh atau desaturasi oksigen yang

signifikan, yang bukan disebabkan oleh apnea abstruktif atau hipopnea). Pada pasien

OSA dengan IMT ≤ 30 kg/m2 sangat jarang terjadi hiperkapnia. Pasien OHS tidak

dapat dikategorikan dengan jelas, apakah OSA atau sleep hipoventilation tanpa

dipasang polysomnogram sepanjang malam saat tidur.12

Tabel 2.2 Definisi Obesity Hypoventilation Syndrome (OHS)12

Klinis yang Mendukung Deskripsi


Obesitas IMT ≥ 30 kg/m2
Hiperkapnia di siang hari dalam keadaan sadar
Hipoventilasi kronis
(PaCO2 ≥ 45 mmHg dan PaO2 < 70 mmHg)
9

Obstructive sleep apnea pada 90% kasus


Sleep-disordered breathing
(AHI ≥ 5 kali/jam, dengan atau tanpa hipoventilasi saat tidur)
Non-obstructive sleep hypoventilation pada 10 % kasus
(AHI < 5 kali/jam)

Severe obstructive airways disease


Severe interstitial lung disease
Eksklusi berupa penyebab Severe chest-wall disorders (eg. Kyphoscoliosis)
hiperkapnia lainnya Severe hypothyroidism
Neuromuscular disease
Congenital central hypoventilation syndrome

C. Etiologi Obesity Hypoventilation Syndrome (OHS)

Penyebab pasti dari Obesity Hypoventilation Syndrome tidak diketahui. Faktor

resiko terjadinya sindrom ini adalah obesitas dan seringnya sesorang mengalami

gangguan pernapasan pada saat tidur.13

D. Epidemologi Obesity Hypoventilation Syndrome (OHS)

Di Amerika Serikat, sepertiga dari populasi orang dewasa adalah obesitas , dan

prevalensi obesitas ekstrim ( IMT > 40 kg/m2 ) telah meningkat secara dramatis. Dari

1986 sampai 2005 prevalensi IMT > 40 kg/m2 telah meningkat sebesar 5 kali lipat.

Demikian pula, prevalensi IMT > 50 kg/m2 meningkat sebesar 10 kali lipat. Wabah

obesitas tidak hanya mempengaruhi orang dewasa di Amerika Serikat, tetapi juga

merupakan fenomena global yang terjadi pada anak-anak dan dewasa muda. Dengan

peningkatan epidemi global obesitas, prevalensi obesity hypoventilation syndrome

juga cenderung meningkat.5,12,14


10

Sejumlah penelitian telah melaporkan prevalensi OHS yaitu sekitar 10-20%

pada pasien obesitas dengan OSA. Prevalensi OHS lebih tinggi dalam subkelompok

pasien dengan OSA dengan obesitas ekstrim. Obesity Hypoventilation Syndrome

(OHS) cenderung lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan wanita tetapi dalam

3 penelitian didapatkan bahwa kejadian OHS lebih banyak terjadi pada wanita.12,14

E. Patofisiologi Obesity Hypoventilation Syndrome (OHS)

Interaksi antara terjadinya obesitas dan sistem pernapasan tidak langsung

mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Akumulasi lemak yang berlebihan pada

dada dan perut mempengaruhi paru-paru dengan gangguan fungsi mekanik sistem

pernapasan yang menyebabkan gangguan fisiologis dan gangguan fungsional.

Obesitas menyebabkan penurunan elastisitas dinding dada dan daya tahan otot

pernafasan. Selain itu, akan ada kehilangan volume cadangan ekspirasi dalam kasus

morbid obesitas dengan penurunan kapasitas paru total dan kapasitas residual

fungsional. Obesitas juga merupakan faktor yang menyebabkan terjadinya obstruktif

apnea pada saat tidur. Namun, tidak semua pasien obesitas mengalami OHS dan

prevalensi yang tepat dan patofisiologi tidak sepenuhnya diketahui.15

Dalam sebuah makalah baru-baru ini yang mempelajari prediktor untuk

berkembangnya OHS pada pasien dengan OSA, ditemukan bahwa 3 variabel

independen memprediksi OHS : tingkat serum bikarbonat (P < 0.001) , indeks apnea -

hypopnea (AHI) (P = 0,006), dan saturasi oksigen yang rendah pada saat tidur (P

<0.001). Tingkat keparahan AHI tidak diterima secara universal sebagai prediktor
11

yang baik dari OHS dan bahwa AHI bukan merupakan faktor yang menentukan untuk

terjadinya OHS.12,15

Patofisiologi OHS bersifat kompleks dan obesitas bukan satu-satunya yang

menjadi faktor risiko. Umumnya, diperkirakan bahwa obesitas berkembang menjadi

hipoventilasi pada siang hari , terjadi pengurangan sensitivitas dalam meningkatnya

kadar PaCO2 dan cenderung terjadi resistensi leptin dalam pengaturan kadar leptin yang

tinggi. (4) Interaksi antara faktor-faktor ini akhirnya menyebabkan terjadinya OHS

[3,4]. Pertama-tama, kelebihan berat badan dan obesitas menyebabkan sejumlah

komplikasi paru yang dapat mengakibatkan gagal pernafasan. Meskipun ini tidak bisa

dengan sederhana diambil sebagai satu-satunya faktor yang mendorong

pengembangan OHS, tidak semua pasien obesitas mengalami hipoventilasi pada

siang hari saat keadaan sadar. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, obesitas

menyebabkan beban mekanis tambahan pada sistem pernapasan yang menyebabkan

pembatasan dan kegagalan pernafasan, namun tampaknya lebih rumit dari itu. 12,15

Studi terbaru menunjukkan bahwa tingkat penanda inflamasi dan pro-inflamasi

seperti interleukin-6 (IL-6), tumor necrosis factor alpha (TNF-alpha), interleukin-1

(IL-1), interleukin-18 (IL-18), prostaglandin E2 (PGE2) dan protein C-reaktif (CRP),

meningkat pada orang gemuk. Selain itu, ada korelasi positif antara kadar IL-6 atau

TNF-alpha dalam plasma dengan IMT. Ada data kumulatif menunjukkan pada

obesitas terjadi aktivasi kronis dari jalur inflamasi di jaringan perifer yang mengarah

ke keadaan resistensi insulin dan hypofunctioning hipotalamus C releasing hormone

yang menyebabkan gangguan pernapasan saat tidur.12


12

Seiring dengan teori ini respon inflamasi sistemik, didapatkan penemuan leptin

sebagai faktor penting dalam mendorong terjadinya OHS . Leptin adalah protein yang

diproduksi oleh jaringan adiposa dan bertindak pada reseptor di hipotalamus untuk

menekan nafsu makan. Hal ini juga bekerja pada jalur pusat pernapasan untuk

meningkatkan ventilasi. Subyek obesitas memiliki kadar leptin serum secara

signifikan lebih tinggi dibandingkan subyek non-obes.12,15

Ada bukti yang berkembang untuk mendukung peran resistensi leptin dalam

mendorong terjadinya OHS . Dalam sebuah makalah oleh Campo et al. dilakukan

penelitian pada 245 subyek obesitas. Subyek menjalani tes rinci dan ditemukan

bahwa hyperleptinemia dikaitkan dengan penurunan dorongan pernapasan dan respon

hiperkapnia, terlepas dari jumlah lemak tubuh, yang menunjukkan perluasan

resistensi leptin ke pusat pernapasan.15

Banyak hal terlibat dalam patogenesis OHS, termasuk adanya OSA dan

sindrom resistensi saluran napas atas. Obstructive sleep apnea (OSA) adalah

penyumbang utama sebagaimana dibuktikan oleh fakta bahwa mayoritas pasien

dengan OHS memiliki OSA secara bersamaan ( 90 % ) dan mengobati OSA dengan

positive airway pressure atau trakeostomi memperbaiki hipoventilasi siang hari pada

sebagian besar pasien OSA. 12,15

Dalam sebagian besar subyek dengan OSA, Kawata et al. menemukan bahwa

13,7% memiliki hiperkapnia siang hari. Pasien-pasien ini memiliki IMT dan AHI

lebih tinggi secara signifikan, serta nilai PaO2 dan kapasitas vital lebih rendah rendah

dibandingkan dengan pasien normokapnik, sementara volume ekspirasi paksa dalam


13

satu detik tidak berbeda antara kedua kelompok. Hiperkapnia siang hari berespon

membaik dengan continuous positive airway pressure therapy (CPAP) selama 3

bulan.12,15

Akhirnya, salah satu teori penting dalam patogenesis kegagalan pernafasan

hiperkapnia pada orang gemuk bergantung pada pengamatan bahwa pasien dengan

OHS menunjukkan respon yang tumpul terhadap keadaan hiperkapnia dan

hipoksemia sehingga mereka gagal untuk meningkatkan ventilasi setiap menit secara

proporsional seiring dengan kenaikan kadar PaCO2.12,15

Gambar 2.1 Diagram Patofisiologi Obesity Hypoventilation Syndrome

F. Manifestasi Klinis Obesity Hypoventilation Syndrome (OHS)


14

Manifestasi klinis pada sindrom ini adalah obesitas pada pria/wanita setengah

baya (biasanya IMT ≥ 35kg/m2) dengan kantuk di siang hari yang berlebihan dan

penurunan fungsi neurokognitif, terdapat gangguang tidur, sakit kepala saat bangun

tidur, dan depresi. Karena terjadinya simultan dengan OSA pada sebagian besar

pasien, dilaporkan juga gejala seperti mendengkur, apnea, dan kualitas tidur yang

buruk sehingga terjadi sakit kepala pada pagi hari dan pengurangan kinerja

pernapasan. Gejala akibat adanya kadar karbondioksida yang tinggi atau oksigen

yang rendah dapat, misalnya pasien merasa cepat lelah meskipun hanya melakukan

aktifitas ringan. Dalam kasus hipertensi pulmonal dan gagal jantung kanan, pasien

mungkin melaporkan gejala seperti dyspnea exertional dan edema ekstremitas

bawah.12,15

Pemeriksaan klinis menegaskan IMT tinggi dan akan menampilkan tanda-tanda

kor pulmonal dan hipertensi pulmonal sekunder. Mengukur saturasi oksigen

noninvasif menggunakan pulse oxymetry mengungkapkan penurunan saturasi

oksigen. Ditemukan sianosis karena kadar oksigen yang rendah yang mengakibatkan

menurunnya pengikatan oksigen oleh Hb yang pada keadaan normal satu molekul Hb

seharusnya dapat mengikat 4 molekul oksigen. Kulit berwarna kemerahan karena

tingginya kadar karbondioksida dalam darah yang mengakibatkan tingginya kadar

COHb. Tanda – tanda adanya gagal jantung kanan misalnya didapatkan adanya

edema tungkai dan adanya peningkatan JVP (jugular venous pressure).12

Tabel 2.3 Manifestasi Klinis pada Pasien Obesity Hypoventilation Syndrome12


15

Rerata (rentang)
Usia (tahun) 52 (42 – 61)
Jenis kelamin (%) 60 (49 – 90)
Index massa tubuh (kg/m2) 44 (35 – 56)
Lingkar leher (cm) 46,5 (45 – 47)
pH 7,38 (7.34 – 7.40)
PaCO2 (mmHg) 53 (47 – 61)
PaO2 (mmHg) 56 (46 – 74)
Serum bicarbonate (mEq/L) 32 (31 – 33)
Hemoglobin (g/dL) 15 (ND)
Apnea-hypopnea index (kali/jam) 66 (20 – 100)
Nadir oksigen selama tidur (%) 65 (59 – 76)
Saturasi oksigen < 90% 50 (46 – 56)
FVC (% prediksi) 68 (57 – 102)
FEV1 (% prediksi) 64 (53 – 92)
FEV1/FVC 0,77 (0,74 – 0,88 )
Medical research council dyspnea class 3 or 4 69 (ND)
Epworth sleepiness scale score 14 (12 – 16)

G. Diagnosis Obesity Hypoventilation Syndrome (OHS)

Diagnosis ditegakkan berdasarkan ananesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang. Terdapat kriteria diagnosis untuk menegakkan diagnosis

Pickwickian sindrome, yaitu :12

1. Indeks massa tubuh ≥ 30 kg/m2;

2. Kadar PaCO2 > 45 mmHg saat terjaga siang hari (daytime PaCO2);

3. Sleep-related breathing disorder (sleep apnoea-hypopnoea syndrome atau

sleep hypoventilation atau keduanya);

4. Tidak ada atau tidak ditemukan penyebab hipoventilasi lainnya.


16

Selain anamnesis dan pemeriksaan fisik, diperlukan pemeriksaan penunjang

berupa analisa gas darah untuk mengkonfirmasi adanya hiperkapnea dan hipoksemia.

Hasil analisa gas darah arteri yang diambil saat bernapas dalam udara ruangan

menegaskan PaO2 rendah, PaCO2, dan kadar bikarbonat tinggi yang menandakan sifat

kronis. Pemeriksaan spirometri diperlukan untuk mengetahui fungsi paru.

Echocardiogram dan elektrokardiografi untuk mendeteksi adanya pembesaran

ventrikel kanan, pembesaran atrium kanan, dan peningkatan tekanan arteri

pulmonalis.

Dilakukan juga Polisomografi menentukan adanya hiperkapnea, hipoksia dan

hipoventilasi selama tidur. Orang dengan sindrom hipoventilasi tidur mungkin

memiliki desaturasi oksigen dan hiperkapnia selama tidur berhubungan dengan

periode yang berbeda dari apnea obstruktif dan hypopnea. Hipoventilasi akan lebih

parah selama REM dibandingkan dengan tidur NREM. Hipoventilasi didefinisikan

sebagai kelanjutan desaturasi oksigen yang tidak terkait dengan apnea obstruktif atau

hypopneas atau pernapasan periodik. Jika alat untuk memonitor PaCO2 tersedia,

mungkin mengungkapkan peningkatan kadar PaCO2 saat tidur lebih dari 10 mmHg,

dibandingkan dengan selama terjaga. Bahammam et al. telah menyoroti validitas

menggunakan polisomnografi (PSG) pada pasien dengan pernapasan tidur tertata

yang dirawat di unit perawatan intensif dengan kegagalan pernafasan akut

hiperkapnia dan telah jelas menunjukkan bahwa penggunaan PSG dalam pengaturan

ini memungkinkan untuk diagnosis yang akurat pada OHS. Dianjurkan mengukur

kadar bikarbonat pada pasien dengan OSA berat.12,15


17

Pemeriksaan darah termasuk hitung darah lengkap untuk menyingkirkan

eritrositosis sekunder dan uji fungsi tiroid untuk menyingkirkan hipotiroidisme. Foto

thorax dan jika perlu, CT-scan dada harus dilakukam untuk mencari penyebab

potensial lain dari kegagalan pernapasan hiperkapnia. Pengujian fungsi paru pada

subyek obesitas biasanya menunjukkan defek restriktif ringan sampai sedang,

pengurangan volume cadangan ekspirasi dan pengurangan tekanan

inspirasi/ekspirasi.12,15

H. Penatalaksanaan Obesity Hypoventilation Syndrome (OHS)

Langkah pertama dalam manajemen yang sukses dimulai dengan membuat

diagnosis OHS dan merujuk pasien untuk polisomnografi dengan studi titrasi.

Pengelolaan yang optimal pasien dengan OHS membutuhkan pendekatan

multidisiplin menggabungkan beberapa subspesialis. Pasien memerlukan masukan

dari internis dan ahli endokrin mengenai terapi diabetes mellitus, hipertensi,

hiperlipidemia, gagal jantung dan hipotiroidisme; ahli gizi untuk perencanaan

pengurangan berat badan, respirologist untuk manajemen gagal napas, dan seorang

ahli bedah operasi bariatrik bila diperlukan.16

Sejauh ini, tidak ada pedoman standar yang ada untuk penatalaksanaan OHS

dalam praktek klinis, sebagian besar pasien dikelola oleh respirologists. Jelas, garis

besar manajemen awal akan dipandu oleh keparahan kondisi dan ketajaman

presentasi. Namun, opsi pengelolaan jangka panjang meliputi hal-hal berikut: (1)

penurunan berat badan; (2) terapi oksigen; (3) ventilasi tekanan positif; (4)
18

farmakoterapi; (5) trakeostomi; (6) pengelolaan komplikasi dan penyakit penyerta di

OHS.16

I. Heart Failure

Heart failure atau gagal jantung adalah kumpulan gejala yang kompleks dimana

seorang pasien harus memiliki tampilan berupa: gejala gagal jantung (nafas pendek

yang tipikal saat istrahat atau saat melakukan aktifitas disertai / tidak kelelahan);

tanda retensi cairan (kongesti paru atau edema pergelangan kaki); adanya bukti

objektif dari gangguan struktur atau fungsi jantung saat istrahat.17

Diagnosa gagal jantung dapat ditegakkan berdasarkan Kriteria Frammingham.

Kriteria tersebut tercantum dalam Tabel 2.4.18

Tabel 2.4. Kriteria Frammingham


Kriteria Mayor Kriteria Minor
Edema pulmo Edema pergelangan kaki
Kardiomegali Dispnea saat aktivitas
Refleks hepatojugular Hepatomegali
Distensi vena leher Batuk saat malam hari
Paroxysmal nocturnal dyspnea atau orthopnea Efusi pleura

Rhonki Takikardi
(frekuensi nadi > 120 kali/menit)

S3 gallop

J. Hipertensi
19

Tekanan darah sistolik (TDS) merupakan pengukuran utama yang menjadi

dasar penentuan diagnosa penyakit hipertensi. Adapun pembagian derajat keparahan

hipertensi pada seseorang merupakan salah satu dasar penentuan tata laksana

hipertensi menurut A Statement by the American Society of Hypertension and the

International Society of Hypertension 2013 menurut gambar 2.1 dibawah ini.19,20

Tabel 2.4 Klasifikasiatau Derajat Hipertensi20

Modifikasi dari American Society of Hypertension and the International Society of Hypertension 2013

Anda mungkin juga menyukai