Anda di halaman 1dari 16

BAB IPENDAHULUAN1.

1 Latar BelakangSeiring dengan perkembangan zaman


dan perubahan pola hidup, maka tidakdapat dipungkiri lagi obesitas telah menjadi
masalah yang cukup sering ditemuidalam praktik kesehatan. Masalah obesitas
tidak hanya banyak ditemukan dinegara maju, namun juga di negara berkembang
seperti Indonesia. Pada tahun2014, World Health Organization (WHO) mencatat
bahwa terdapat lebih dari 1.9milyar penduduk dunia yang memiliki BMI
25kg/m2 (overweight), diantaranyaterdapat lebih dari 600 juta penduduk memiliki
BMI 30kg/m2 atau mengalamiobesitas. 39% penduduk dunia (38% pria dan 40%
wanita) pada tahun 2014mengalami berat badan berlebih (overweight) dan 13%
(11% pria dan 15%wanita) mengalami obesitas.1 Di Indonesia sendiri, prevalensi
berat badan lebih pada tahun 2013 adalahsebesar 13.5% dan obesitas sebesar
15.4%. Prevalensi penduduk laki-lakidewasa obesitas pada tahun 2013
sebanyak 19,7 persen, lebih tinggi dari tahun2007 (13,9%) dan tahun 2010 (7,8%).
prevalensi obesitas perempuan dewasa(>18 tahun) 32,9 persen, naik 18,1 persen
dari tahun 2007 (13,9%) dan 17,5persen dari tahun 2010 (15,5%). Selain itu,
Departemen Kesehatan Indonesiajuga melakukan pendataan status gizi
berdasarkan nilai lingkar perut dengankriteria WHO Asia Pasifik, dimana nilai LP
> 90cm pada laki-laki dan LP >80cm pada perempuan dinyatakan sebagai obesitas
sentral. Secara nasional,prevalensi obesitas sentral adalah 26.6 persen, lebih tinggi
dari prevalensi padatahun 2007 (18,8%). DKI Jakarta menduduki peringkat
tertinggi dengan angkasebesar 39.7%.2 Obesitas berkaitan erat dengan berbagai
macam penyakit seperti hipertensi,diabetes mellitus, hiperlipidemia, dan
obstructive sleep apnea (OSA).3 Kondisi-kondisi seperti ini tentu sangat
berperan besar dalam menentukan tindakanmedis yang akan diambil oleh para
klinisi, tidak terkecuali dalam manajemenanestesi. Seorang dokter harus mampu
membuat keputusan medis bagi pasien1
TINJAUAN PUSTAKA2.1 Definisi dan Klasifikasi ObesitasObesitas merupakan
suatu kelainan komplek pengaturan nafsu makan danmetabolisme energi yang
dikendalikan oleh beberapa faktor biologik spesifik.Faktor genetik diketahui sangat
berpengaruh bagi perkembangan penyakit ini.Secara fisiologis obesitas
didefinisikan sebagai akumulasi lemak yang tidaknormal atau berlebihan
dijaringan adiposa sehingga dapat mengganggukesehatan.Keadaan obesitas
ini, terutama obesitas sentral, meningkatkan risiko penyakitkardiovaskular karena
keterkaitannya dengan sindrom metabolik atau sindromresistensi insulin yang

terdiri dari resistensi insulin / hiperinsulinemia,hiperuresemia, gangguan


fibrinolisis, hiperfibrinogenemia dan hipertensi.Sangat sulit untuk mengukur lemak
tubuh secara langsung sehingga sebagaipenggantinya dipakai body mass index
(BMI) atau indeks massa tubuh (IMT)untuk menentukan berat badan lebih
dan obesitas pada orang dewasa.Pengukuran ini merupakan langkah awal
dalam menetukan derajat adipositas,dan dikatakan berkorelasi kuat dengan
jumlah massa lemak tubuh. Untukpenelitian epidemiologi digunakan IMT
atau indeks Quetelet yaitu berat badandalam kg dibagi tinggi badan dalam
meter kuadrat (m2). Karena IMTmenggunakan tinggi badan, maka
pengukurannya harus dilakukan dengan teliti.Disamping IMT, menurut
rekomendasi WHO lingkar pinggang (LP) juga harusdihitung untuk menilai
adanya obesitas sentral dan komorbid obesitas terutamapada IMT 25- 34,9 kg/m2.
5Klasifikasi IMT yang direkomendasikan untuk digunakan adalah klasifikasiyang
diadopsi dari the National Institute of Health (NIH) dan World
HealthOrganization (WHO), yang tertera pada tabel 2.1 di bawah ini.
Kategori IMT (kg/m2)
Berat badan kurang < 18.5
Kisaran normal 18.5 24.9
Berat badan lebih > 25
Pra-obes 25.0 29.9
Obes tingkat I 30.0 34.9
Obes tingkat II 35.0 39.9
Obes tingkat III > 40.0
Tabel 2.1 Klasifikasi berat badan lebih dan obesitas berdasarkan IMT
Karena definisi berat badan lebih dan obesitas sangat tergantung pada ras,
maka wilayah Asia Pasifik pada saat ini telah menggunakan klasifikasi dan
kriteria obesitas sendiri seperti yang terdapat didalam tabel 2.2. Hingga saat ini
masih terdapat perdebatan menentukan cut-off yang digunakan sebagai
patokan batas obesitas pada populasi Asia. Beberapa negara seperti Jepang dan
Cina sudah menggunakan batasan yang lebih rendah sebagai kriteria obesitas.

Klasifikasi
IMT (kg/m
2
)
Risiko Komorbiditas
Lingkar Pinggang
< 90 cm (pria) 90 cm (pria)
< 80 cm (wanita) 80 cm (wanita)
Berat badan kurang
< 18.5 Rendah Sedang
Kisaran normal
18.5 22.9 Sedang Meningkat
Berat badan lebih
23.0
Berisiko
23.0 24.9 Meningkat Moderat
Obes I
25.0 29.9 Moderat Berat
Obes II
30.0 Berat Sangat berat
Tabel 2.2 Kategori berat badan berdasarkan klasifikasi Asia-Pasifik
2.2 Perubahan Fisiologi yang Terjadi Pada Pasien Obesitas
2.2.1 Sistem Kardiovaskular
Obesitas berhubungan dengan bertambahnya volume darah dan cardiac
output sebesar 20 - 30 ml untuk setiap kilogram lemak yang berlebih
Peningkatan cardiac output ini disebabkan oleh dilatasi ventrikel dan

bertambahnya volume sekuncup. Dilatasi ventrikel mengakibatkan


bertambahnya stress pada dinding ventrikel kiri yang menyebabkan
hipertrofi ventrikel. Hipertrofi dari ventrikel kiri ini akan menurunkan
compliance dan fungsi diastolik ventrikel kiri. Pada keadaan ini akan
terjadi gangguan pengisian ventrikel, elevasi dari LVEDP (left ventricular
end diastolic pressure) dan edem paru. Kapasitas dilatasi untuk ventrikel
juga memiliki batasan, sehingga jika penebalan dinding ventrikel kiri tidak
dapat mengiringi dilatasi maka fungsi sistolik akan terganggu dan
terjadilah kardiomiopati obesitas.
6
Pasien obesitas cenderung memiliki berbagai macam penyakit sistem
kardiovaskular seperti iskemia, hipertensi, hingga gagal jantung.
Hipertensi ringan sampai sedang terjadi pada 50-60% pasien obesitas dan
hipertensi berat pada 5-10% pasien. Diduga hipertensi pada pasien obesitas
terjadi karena pengaruh faktor genetik, hormonal, renal, dan hemodinamik.
Terdapat peningkatan tekanan sistolik sebesar 3-4 mmHg dan diastolik 2
mmHg untuk setiap kenaikan berat badan 10 kg. Adanya cairan pada
ekstraseluler akan berakibat terjadinya hipervolemia dan peningkatan
cardiac output. Hiperinsulinemia sebagai karakteristik pada obesitas juga
memberikan kontribusi dengan mengaktifkan sistem saraf simpatik yang
menyebabkan retensi sodium. Selain itu, resistensi insulin juga
bertanggung jawab terhadap aktivitas norepinefrin dan angiotensin II.
Selain hipertensi, obesitas (terutama obesitas sentral) juga merupakan
faktor risiko terjadinya iskemia jantung. Faktor lain seperti diabetes
mellitus, hiperkolesterolemia dan rendahnya HDL (High Density
Lipoprotein) menambah beratnya risiko penyakit ini.
Pasien obestias juga cenderung mengalami aritmia jantung. Terdapat

beberapa faktor presipitasi yang menyebabkan hal ini diantaranya


hipoksia, hiperkapnia, ketidakseimbangan elektrolit akibat terapi dengan
diuretik, penyakit jantung koroner, bertambahnya konsentrasi katekolamin
dalam sirkulasi, obstructive sleep apnea, hipertrofi miokard, dan
penumpukan lemak dalam sistem konduksi.
7
5
2.2.2 Sistem Respirasi
Kenaikan berat badan sebanding dengan meningkatnya kesulitan
bernapas. Pada kasus berat, penurunan kemampuan bernapas dapat
mencapai tiga puluh persen. Kombinasi dari tekanan intraabdomen,
reduksi dari compliance, dan meningkatnya kebutuhan metabolik dengan
gerakan otot dada, menghasilkan gerak inefisien dari otot dada tersebut,
sehingga pada orang tersebut terjadi usaha bernapas lebih berat. Walaupun
terdapat akumulasi jaringan lemak di dalam dan sekitar dinding dada yang
berakibat tertahannya gerak dinding dada (restriksi), namun beberapa
penelitian mengemukakan bahwa hal ini disebabkan oleh peningkatan
volume darah paru. Tertahannya gerak dinding dada juga berhubungan
dengan penurunan FRC, terhimpitnya saluran napas, dan kegagalan
pertukaran gas. Perubahan compliance dan resistensi thorax terlihat
dengan adanya napas cepat dan dangkal, frekuensi yang meningkat dan
berkurangnya kapasitas paru. Selain hal-hal di atas, ambilan oksigen dan
pelepasan karbondioksida pada penderita obesitas juga meningkat sebagai
hasil dari aktivitas metabolik karena jumlah lemak yang berlebih dan
bertambahnya simpanan pada jaringan. Aktivitas metabolik basal (Basal
Metabolic Activity atau BMA) berhubungan dengan luasnya permukaan
tubuh.

Penurunan kapasitas residu fungsional (Functional Residual Capacity


atau FRC), volume ekspirasi cadangan (Expiratory Reserve Volume atau
ERV) dan kapasitas total dari paru-paru merupakan masalah yang dihadapi
penderita obesitas seiring dengan peningkatan berat badan. Kapasitas
residu fungsional menurun akibat penyempitan saluran napas,
ketidakseimbangan perfusi dan ventilasi, shunt dari kanan ke kiri, dan
hipoksemia arteri. Pemberian anestesi dikatakan menurunkan FRC sebesar
50% pada penderita obesitas, sedangkan pada orang normal terjadi
penurunan FRC sebesar 20%. Karena kurangnya FRC, pada penderita
obesitas terjadi kegagalan toleransi ketika terjadi apnea, disamping itu juga
terjadi desaturasi oksigen segera setelah induksi anestesi.
Gangguan pernapasan yang paling sering ditemui pada pasien obesitas
adalah Obstructive Sleep Apnea (OSA) yang ditandai oleh ciri-ciri sebagai
berikut:
7,8
a) Episode apnea atau hipopnea yang sering terjadi saat tidur dan
membangunkan pasien secara mendadak. Episode ini digambarkan
sebagai obstruktif apnea selama 10 detik atau lebih yang menyebabkan
penutupan total dari saluran napas dan adanya usaha keras untuk tetap
bernapas. Hipopnea diartikan sebagai reduksi dari 50% aliran udara
yang adekuat yang berujung pada penurunan 4% saturasi oksigen
arterial. Frekuensi episode apnea atau hipopnea tercatat lebih dari lima
kali per jam atau lebih dari 30 kali tiap malam. Hal yang penting
diperhatikan adalah sekuele dari keadaan ini yaitu hipoksia,
hiperkapnia, hipertensi sistemik atau pulmonal, dan aritmia.
b) Mengorok. Semakin hebat obstruksi, makan suara yang terdengar akan

semakin jelas. Mengorok pada pasien OSA juga diikuti periode sunyi
(silence) saat tidak ada aliran udara yang masuk dan setelahnya akan
terjadi gasping atau choking yang membangunkan pasien dari tidurnya,
bernapas beberapa kali, dan kemudian tidur kembali (siklus ini berulang
sepanjang waktu tidur).
c) Gejala pada siang hari seperti sering mengantuk, konsentrasi dan
memori terganggu. Terkadang penderita mengeluhkan sakit kepala pada
pagi hari akibat retensi karbondioksida (CO
2
) pada malam harinya dan
vasodilatasi serebral.
d) Perubahan fisiologi. Apnea berulang dapat menyebabkan hipoksemia,
hiperkapnia, vasokonstriksi pulmonal dan sistemik. Hipoksemia
berulang dapat berujung pada polisitemia yang meningkatkan risiko
penyakit jantung iskemia dan penyakit serebrovaskular. Sedangkan
vasokonstriksi pulmonal menyebabkan kegagalan ventrikel kanan
(right ventricle failure)
2.2.3 Sistem Gastrointestinal
Risiko terjadinya aspirasi asam lambung diikuti oleh pneumonia
aspirasi lebih tinggi pada pasien obesitas. Hal ini disebabkan oleh
beberapa faktor antara lain tekanan intraabdomen yang tinggi, tingginya
volume dan rendahnya pH dalam lambung, dan tingginya risiko gastroesofageal. Walaupun pasien obesitas memilki volume lambung yang lebih
besar daripada orang normal, namun pengosongan lambung justru lebih
cepat berlangsung pada penderita obesitas, terutama pada intake energi
tinggi seperti emulsi lemak. Oleh karena adanya risiko aspirasi asam, maka
pasien obesitas dapat diberikan H2-reseptor antagonis, antasid, dan

prokinetik, juga dilakukan induksi secara cepat dengan tekanan pada


krikoid dan ekstubasi trakea ketika pasien sadar penuh.
7
2.3 Manajemen Anestesi Pada Pasien Obesitas
2.3.1 Pra-operasi
Obat-obatan premedikasi yang diberikan pada pasien obesitas harus
dipertimbangkan dengan baik. Opioid dan obat sedatif dapat menyebabkan
depresi napas pada pasien obesitas, maka obat-obatan jenis ini sebaiknya
dihindari. Obat-obatan yang dimasukan dengan cara injeksi intra-muskular
dan sub-kutan juga sebaiknya tidak digunakan karena absorbsinya yang
tidak dapat diprediksi. Jika akan dilakukan intubasi sadar dengan serat
optik, maka pasien harus diberikan antisialogogue.
Karena pasien obesitas memiliki risiko aspirasi asam lambung yang
tinggi, maka seluruh pasien obesitas sebaiknya diberikan profilaksis
berupa kombinasi H
2
blocker (ranitidin 150mg per oral) dan prokinetik
(metoklopramid 10mg per oral) 12 jam dan 2 jam sebelum pembedahan.
Jika pasien menderita diabetes, maka perlu diberikan regimen insulindekstrosa. Pasien obesitas juga lebih memilki risiko untuk mengalami
infeksi pada luka paska-operasi, maka pemberian antibiotik sebagai
profilaksis dapat dipertimbangkan.
8
Sebagian besar pasien obesitas tidak dapat bergerak setelah operasi dan
akan memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami thrombosis vena
dalam, oleh karena itu, heparin dosis rendah dapat diberikan sebagai
profilaksis dan diteruskan setelah operasi sampai pasien dapat bergerak.

Evaluasi pasien obesitas yang akan menjalani operasi mayor harus


dilakukan untuk mengukur cadangan kardiopulmoner. Pemeriksaan yang
dapat dilakukan antara lain adalah roentgen dada, EKG, dan analisis gas
darah arteri. Tekanan darah harus diukur dengan ukuran manset yang
sesuai. Lokasi potensial untuk akses intravena dan intraarteri harus dicari
dan ditentukan sebagai antisipasi saat keadaan gawat. Tebalnya lapisan
lemak di jaringan dan sulitnya memposisikan pasien mungkin akan
membuat regional anestesi dengan peralatan dan teknik biasa sulit
dilakukan. Untuk menilai sistem respirasi, kemampuan pasien untuk
bernapas dalam dan patensi dari jalan napas harus diperiksa. Pemeriksaan
penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap, foto
thoraks, gas darah, fungsi paru dan oksimetri. Pasien yang dicurigai
menderita OSA disarankan melakukan tes polysomnografi. Pasien juga
harus diingatkan risiko spesifik dari anestesi, kemungkinan dilakukannya
intubasi dalam kesadaran penuh, pemberian ventilasi pascaoperasi, dan
bahkan trakeostomi mengingat pasien obesitas mungkin sulit untuk
diintubasi karena pergerakan sendi temporomandibular dan
antlantooksipital yang terbatas, jalan napas yang sempit, dan jarak
mandibular dan bantalan lemak sternum yang pendek. Perlu diingat pula,
setiap penderita obesitas yang akan menjalani operasi harus diperiksa gula
darahnya, baik gula darah sewaktu atau dapat juga dilakukan tes toleransi
glukosa. Respon katabolik selama operasi mungkin mengindikasikan
pemberian insulin pascaoperasi untuk mengontrol konsentrasi glukosa
dalam darah. Kegagalan dalam menjaga konsentrasi ini akan berakibat
tingginya risiko infeksi pada luka operasi dan infark miokard pada periode
iskemia miokard

Selain teknik anestesi, perhitungan dosis obat pada pasien obesitas juga
harus diperhatikan. Berat badan total (total body weight) seseorang terdiri
dari berat badan tanpa lemak (lean body weight) dan berat lemak pada
tubuh orang tersebut. Secara teoritis, cadangan lemak yang banyak akan
meningkatkan volume distribusi dari obat yang larut dalam lemak
(benzodiazepin, opioid). Dosis obat-obatan seperti ini dihitung
berdasarkan berat badan total, sedangkan dosis obat-obatan yang tidak
larut dalam lemak dihitung berdasarkan berat badan tanpa lemak. Oleh
karena itu, perlu diketahui jenis obat-obatan yang larut dalam lemak dan
yang larut dalam air untuk menentukan apakah dosis obat tersebut dihitung
berdasarkan berat badan total, berat badan tanpa lemak, atau bahkan berat
badan ideal. Tabel 2.3 dan Tabel 2.4 memperlihatkan cara penghitungan
berat badan dan cara menentukan dosis pada beberapa obat-obatan yang
sering dipakai saat intra-operasi.
11,12,13
Jenis Berat Badan Cara Penghitungan (berat badan dalam kg)
Berat Badan Ideal

(IBW)
45.4 + 0.89 x (tinggi dalam cm - 152.4) untuk wanita
49.9 + 0.89 x (tinggi dalam cm - 152.4) untuk pria
Berat Badan
Tanpa Lemak
(LBW)
(1.07 x TBW) - (0.0148 x BMI x TBW) untuk wanita
(1.10 x TBW) - (0.0128 x BMI x TBW) untuk pria
ATAU
(9,720 x TBW)/(8,780 + (244 x BMI)) untuk wanita
(9,270 x TBW)/(6,680 + (216 x BMI)) untuk pria
Tabel 2.3 Rumus perhitungan berat badan
11

Obat Dosis Berat Badan


Thiopental Sodium LBW
Propofol LBW (bolus induksi)
TBW (pemeliharaan)
Etomidate LBW
Succinylcholine TBW
Pancuronium IBW

Rocuronium IBW
Vecuronium IBW
Cisatracurium IBW
Fentanyl LBW
Alfentanil LBW
Remifentanil LBW
Midazolam TBW (dosis bolus)
IBW (infus)
Paracetamol LBW
Neostigmine TBW
Sugammadex TBW atau IBW + 40%
Enoxaparin (profilaksis trombosis
vena dalam)
TBW 0.5mg/kgBB
Tabel 2.4 Skala dosis berat untuk obat-obatan yang sering
digunakan dalam operasi
Oleh karena adanya risiko aspirasi dan hipoventilasi, pasien obesitas
biasanya diintubasi pada semua kasus anestesi umum kecuali pada kasus
anestesi umum yang sebentar. Namun memutuskan pemilihan intubasi
dalam kesadaran penuh atau tidur dalam merupakan pilihan sulit. Beberapa
sumber menyarankan intubasi dilakukan dalam kesadaran penuh terutama
jika berat badan sesungguhnya > 175% berat badan ideal. Apabila terdapat
gejala OSA, maka sudah dapat dipastikan morfologi jalan napas bagian
atas yang sedikit berbeda yang membuat pemakaian sungkup menjadi
sulit, sehingga intubasi dalam kesadaran penuh lebih disarankan. Jika
intubasi sulit dilakukan, maka digunakan bronkoskop serat optik atau
laringoskopi video. Posisi pasien saat intubasi dilakukan sangat membantu

dan auskultasi napas untuk memastikan apakah ETT sudah masuk


mungkin sulit dilakukan. Ventilasi terkendali mungkin membutuhkan
konsentrasi oksigen inspirasi yang lebih besar untuk mencegah hipoksia,
terutama pada posisi lithotomi, Trendelenburg, atau tengkurap.
2.3.3 Paska-operasi
Kegagalan napas merupakan masalah pasca-operasi terbesar pada
pasien obesitas. Risiko hipoksi pasca-operasi meningkat pada pasien
dengan hipoksi pra-operasi yang diikuti dengan pembedahan rongga dada
atau abdomen bagian atas. Ekstubasi harus ditunggu hingga kerja dari
pelumpuh otot telah dibalikkan dan pasien sadar. Pasien obesitas harus
tetap diintubasi hingga jalur napas yang adekuat dan volume tidal dapat
dipertahankan secara pasti. Jika pasien diekstubasi di dalam kamar operasi,
suplementasi oksigen harus diberikan selama pasien dipindahkan ke
PACU. Posisi duduk 45
o
dapat memperbaiki ventilasi dan oksigenasi.
Risiko hipoksia pada pasien obesitas tetap ada hingga beberapa hari pascaoperasi, oleh karena itu suplementasi oksigen dan CPAP mungkin dapat
dipertimbangkan. Komplikasi lain yang sering terjadi pada pasien obesitas
adalah infeksi luka, trombosis vena dalam, dan emboli pulmoner.
14
Untuk penatalaksanaan nyeri paska-operasi, analgesik epidural dengan
opioid atau anestesi lokal mungkin merupakan pilihan yang paling efektif
dan aman bagi pasien obesitas. Selain itu, pemberian analgesik epidural
juga dapat diiringi dengan pemberian parasetamol atau NSAIDs lainnya.
Penanganan nyeri yang baik akan membuat pasien dapat melakukan
mobilisasi lebih awal, hal ini memberi keuntungan untuk mengurangi

risiko terjadinya infeksi paru dan trombosis vena dalam.


7
Hal lain yang perlu diperhatikan pada masa paska-operasi pasien
obesitas adalah tingginya risiko untuk mengalami infeksi pada luka bekas
operasi. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya
hal ini adalah dengan mengontrol gula darah pasien obesitas paska-operasi.
Di samping itu, pemberian antibiotik dengan waktu dan dosis yang tepat
perlu dipertimbangkan
DAFTAR PUSTAKA
1. WHO. Obesity and Overweight Fact Sheets. January; 2015.
2. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesahatan Dasar 2013.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2013.
3. Jr Morgan G E., Mikhail M S., Murray M J. Anesthesia For Patient with
Endocrine Disease : Obesity. Lange 4th Ed. Mcgraw-Hill Companies ; 2006 ;
813-15
4. Adams, J P and Murphy, P G. Obesity in Anesthesia and Intensive Care (British
Journal). Available from : http://bja.oxfordjournals.org/cgi/content/full/85/1/91
5. Sugondo S. Obesitas. Di dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Marcellus
SK, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed ke-3. Jakarta:
Interna
Publishing;2009. Hlm 1977-80.
6. Rider OJ, Petersen SE, Francis JM, et al. Ventricular hypertrophy and cavity
dilatation in relation to body mass index in women with uncomplicated obesity.
Heart 2011; 97: 203-8.
7. Cullen A, Ferguson A. Perioperative management of the severely obese patient:
a selective pathophysiological review. Can J Anesth 2012 (59):974-96. Available
from: http://link.springer.com/article/10.1007%2Fs12630-012-9760-2

8. Lopez PP, Stefan B, Schulman CI, Byers PM. Prevalence of sleep apnea in
morbidly obese patients who presented for weight loss surgery evaluation: more
evidence for routine screening for obstructive sleep apnea before weight loss
surgery. Am Surg 2008; 74: 834-8.
9. Chin KJ, Perlas A. Ultrasonography of the lumbar spine for neuraxial and
lumbar
plexus blocks. Curr Opin Anaesthesiol 2011; 24: 567-72.
10. Ingrande J, Lemmens HJ. Dose adjustment of anaesthetics in the morbidly
obese. Br J Anaesth 2010; 105(Suppl 1): i16-23.
11. Leykin Y, Miotto L, Pellis T. Pharmacokinetic considerations in the obese. Best
15
Pract Res Clin Anaesthesiol 2011; 25: 27-36.
12. Janmahasatian S, Duffull SB, Ash S, Ward LC, Byrne NM, Green
B.
Quantification of lean bodyweight. Clin Pharmacoki- net 2005; 44: 1051-65.
13. Ingrande J, Brodsky JB, Lemmens HJ. Lean body weight scalar for
the
anesthetic induction dose of propofol in morbidly obese subjects. Anesth Analg
2011; 113: 57-62.
14. Gaszynski T, Tokarz A, Piotrowski D, Machala W. Boussignac CPAP in the
postoperative period in morbidly obese patients. Obes Surg 2007; 17: 452-6.
15. Huttunen R, Syrjanen J. Obesity and the risk and outcome of infection. Int J
Obes (Lond) 2012

Anda mungkin juga menyukai