TINJAUAN PUSTAKA
A. Sindroma Metabolik
1. Definisi
Sindroma metabolik merupakan suatu kumpulan faktor risiko metabolik
yang
berkaitan
langsung
terhadap
terjadinya
penyakit
kardiovaskuler
a.
b.
(Mis.komplikasi jantung)
Kerusakan berat sel menyebabkan penurunan progresif sekresi insulin,
sehingga menimbulkan hiperglikemia. Hal ini menimbulkan komplikasi
mikrovaskuler (Mis: nephropathy diabetica) (Anggraeni, 2007).
Hipotesis lain juga menyatakan bahwa penyebab primer SM adalah
resistensi insulin (RI). RI berkorelasi dengan timbunan lemak visceral yang dapat
ditentukan dengan mengukur lingkar pinggang atau waist to hip ratio. Hubungan
antara RI dan PKV diduga dimediasi oleh terjadinya stress oksidatif yang
menimbulkan disfungsi endotel yang akan menyebabkan kerusakan vaskuler dan
pembentukan atheroma. Hipotesis lain karena perubahan hormonal yang
mendasari terjadinya obesitas sentral. Suatu studi membuktikan bahwa individu
yang mengalami kadar kortisol dalam serum (yang disebabkan oleh stress kronik)
mengalami obes sentral, RI dan dislipidemia. Para peneliti juga mendapatkan
bahwa ketidakseimbangan aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal yang terjadi akibat
stress akan menyebabkan terbentuknya hubungan antara gangguan psikososial dan
infark miokard.
Peningkatan faktor risiko metabolik selalu berhubungan dengan tingginya
akumulasi jaringan adiposa abdominal, terutama jaringan lemak visceral
(Tjokroprawiro, 2006). Salah satu karakteristik obesitas abdominal/lemak visceral
adalah terjadinya pembesaran sel-sel lemak, sehingga sel-sel lemak tersebut akan
mensekresi
produk-produk
metabolik
diantaranya
sitokin
proinflamasi,
puasa > 110 mg/dL. Suatu kepastian fenomena klinis yang terjadi yaitu obesitas
sentral menjadi indikator utama terjadinya SM sebagai dasar pertimbangan
dikeluarkannya diagnosis terbaru oleh IDF tahun 2005. Seseorang dikatakan
menderita SM bila ada obesitas sentral (lingkar perut > 90 cm untuk pria Asia dan
lingkar perut > 80 cm untuk wanita Asia) ditambah 2 dari 4 faktor berikut : (1)
Trigliserida > 150 mg/dL (1,7 mmol/L) atau sedang dalam pengobatan untuk
hipertrigliseridemia; (2) HDL-C: < 40 mg/dL (1,03 mmol/L) pada pria dan < 50
mg/dL (1,29 mmol/L) pada wanita atau sedang dalam pengobatan untuk
peningkatan kadar HDL-C; (3) Tekanan darah: sistolik > 130 mmHg atau diastolik
> 85 mmHg atau sedang dalam pengobatan hipertensi; (4) Gula darah puasa
(GDP) > 100 mg/dL (5,6 mmol/L), atau diabetes tipe 2. Hingga saat ini masih ada
kontroversi tentang penggunaan kriteria indikator SM yang terbaru tersebut (IDF,
2005).
Kriteria diagnosis NCEP- ATP III menggunakan parameter yang lebih
mudah untuk diperiksa dan diterapkan oleh para klinisi sehingga dapat dengan
lebih mudah mendeteksi sindroma metabolik. Yang menjadi masalah adalah dalam
penerapan kriteria diagnosis NCEP-ATP III adalah adanya perbedaan nilai
normal lingkar pinggang antara berbagai jenis etnis. Oleh karena itu pada tahun
2000 WHO mengusulkan lingkar pinggang untuk orang Asia 90 cm pada pria
dan wanita 80 cm sebagai batasan obesitas sentral.
Belum ada kesepakatan kriteria sindroma metabolik secara international,
sehingga ketiga definisi di atas merupakan yang paling sering digunakan. Tabel 1
berikut menggambaran perbedaan ketiga definisi tersebut.
Komponen
Obesitas abdominal/
sentral
Hipertrigliseridemia
Hipertensi
Kadar glukosa
darah tinggi
Mikro-albuminuri
Criteria diagnosis
ATP III : 3 komponen
di bawah ini
Lingkar perut :
Laki-laki: 102 cm
Wanita : >88 cm
150 mg/dl (1,7
mmol/L)
TD 130/85 mmHg
atau riwayat terapi anti
hipertensif
110 mg/dl
IDF
Lingkar perut :
Laki-laki: 90 cm
Wanita : 80 cm
150 mg/dl
TD sistolik 130 mmHg
TD diastolik 85 mmHg
GDP 100mg/dl
4. Patofisiologi
Obesitas merupakan komponen utama kejadian SM, namun mekanisme
yang jelas belum diketahui secara pasti. Obesitas yang diikuti dengan
meningkatnya metabolisme lemak akan menyebabkan produksi Reactive Oxygen
Species (ROS) meningkat baik di sirkulasi maupun di sel adiposa. Meningkatnya
ROS di dalam sel adipose dapat menyebabkan keseimbangan reaksi reduksi
oksidasi (redoks) terganggu, sehingga enzim antioksidan menurun di dalam
sirkulasi. Keadaan ini disebut dengan stres oksidatif. Meningkatnya stres oksidatif
menyebabkan disregulasi jaringan adiposa dan merupakan awal patofisiologi
terjadinya SM, hipertensi dan aterosklerosis (Furukawa, et al, 2004).
Stres oksidatif sering dikaitkan dengan berbagai patofisiologi penyakit
antara lain diabetes tipe 2 dan aterosklerosis. Pada pasien diabetes melitus tipe 2,
biasanya terjadi peningkatan stress oksidatif, terutama akibat hiperglikemia. Stress
oksidatif dianggap sebagai salah satu penyebab terjadinya disfungsi endotel-
angiopati diabetic, dan pusat dari semua angiopati diabetik adalah hiperglikemia
yang menginduksi stress oksidatif melalui 3 jalur, yaitu; peningkatan jalur poliol,
peningkatan auto-oksidasi glukosa dan peningkatan protein glikosilat (Majalah
Farmacia, 2007).
Pada keadaan diabetes, stres oksidatif menghambat pengambilan glukosa di
sel otot dan sel lemak serta menurunkan sekresi insulin oleh sel- pankreas. Stres
oksidatif secara langsung mempengaruhi dinding vaskular sehingga berperan
penting pada patofisiologi terjadinya diabetes tipe 2 dan aterosklerosis (Ceriello,
2004). Dari beberapa penelitian diketahui bahwa akumulasi lemak pada obesitas
dapat menginduksi keadaan stress oksidatif yang disertai dengan peningkatan
ekspresi Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphatase (NADPH) oksidase dan
penurunan ekspresi enzim antioksidan (Sartika, 2006).
Pada kultur sel adiposa, peningkatan kadar asam lemak meningkatkan stres
oksidatif melalui aktivasi NADPH oksidase sehingga menyebabkan disregulasi
sitokin proinflamasi IL-6 dan MCP-1. Akumulasi peningkatan stres oksidatif pada
sel adiposa dapat menyebabkan disregulasi adipokin dan keadaan SM. Furukawa
dkk (2004) menunjukkan bahwa kadar adiponektin berhubungan terbalik dengan
stres oksidatif secara sistemik.
Patofisiologi SM masih menjadi kontroversi, namun hipotesis yang paling
banyak diterima adalah resistensi insulin. Gambar 2 menunjukkan etiologi
patofisiologi dari resistensi insulin dan sindroma metabolik (Mahan, 2003).
5. Tatalaksana
Untuk mencegah komplikasi kardiovaskular pada individu yang memiliki
sindrom metabolik, diperlukan pemantauan yang terus menerus dengan modifikasi
komponen sindrom metabolik yang ada. Penatalaksanaan sindrom metabolik yang
ada
masih
merupakan
penatalaksanaan
dari
berbagai
komponennya.
berat
badan
dan
toleransi
glukosa
terganggu
(TGT).
200 mg/dl,
maka target terapi adalah non kolestrol HDL setelah kolestrol LDL terkoreksi.
Terapi dengan gemfibrozil tidak hanya memperbaiki profil lipid tetapi juga
dapat secara bermakna mengurangi resiko kardiovaskular. Fenofibrat secara
khusus digunakan untuk menurunkan trigliserida dan meningkatkan HDL,
telah menunjukkan perbaikan profil lipid yang sangan efektif mengurangi
resiko
kardiovaskular. Kombinasi
fenofibrat
dan
satin
memperbaiki
DAFTAR PUSTAKA
Misra, A., et al., 2001. High Prevalence of Diabetes, Obesity and Dyslipiddaemia in Urban
Slum Population in Northern India. International Journal of Obesity.
Nov.2001.Vol 25, No.11:1722-1729.
Misra, A. and Khurana, L., 2008. Obesity and the metabolik syndrome in developing
countries. J Clin Endocrinol Metab, November 2008, 93(11):S9S30. (online) (
http://jcem.endojournals.org, diakses 14 April 2009).
Misra A, Sharma R, Pandey RM, Khanna N., 2001. Adverse Profile of Dietary Nutrients,
Anthropometry and Lipids in Urban Slum Dwellers of Northern India. Eur J Clin
Nutr 55:727734.
NHLBI. 1998. Clinical Guidelines on the Identification, Evaluation, and Treatment of
Overweight and Obesity in Adults: The Evidence Report. (Online),
(www.nhlbi.nih.gov/guidelines/obesity/ob_gdlns.htm, diakses Desember 2008)
Pitsavos, C. et al, 2006. Diet, Exercise and Metabolic Syndrome. The Review of Diabetic
Studies: DOI 10. 1900?RDS.2006.3.118 (online), (www. The-RDS.org, dikases
10 Desember 2008)
Raji A, Seely EW, Arky RA, Simonson DC, 2001. Body Fat Distribution and Insulin
Resistance in Healthy Asian Indians and Caucasians. J Clin Endocrinol Metab
86:53665371
Sartika, Cyntia R. 2006. Penanda Inflamasi, Stress Oksidatif dan Disfungsi Endotel pada
Sindroma Metabolik. Forum Diagnosticum. Prodia Diagnostics Educational
Services. No. 2.
Shahab, A. 2007. Sindrom Metabolik. Media informasi Ilmu Kesehatan dan Kedokteran.
(online), (http:/ alwia.com, diakses 24 Januari 2009)
Soeharto, I. , 2004. Penyakit Jantung Koroner dan Serangan Jantung. Jakarta: Gramedia..
Stelmach et al. How income and education contribute to risk factors for cardiovaskuler
diseases in elderly in a former communist country. Public Health (2004) 118,
439-449.
Stibich, M., 2007. Age and High Blood Pressure. (online), (www.Medical Review Board
about.com, diakses 3 November, 2009)
Stocker R, Keaney JF. Role of Oxidative Modification in Atheroclerosis, Physiol Rev, 2004 ;
84 : 1381-1478.
Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. IPB Bogor.
Suyono,
A,
2001.
Serat
Benteng
Terhadap
Aneka
Penyakit.
(http://www.suyono.wordpress.com, diakses 29 September 2008)
(online),
Targher, G., dkk., 1999. Cigarette Smoking and Insulin Resistance in Patients with
Noninsulin-Dependent Diabetes Mellitus. Journal of clinical Endocrinology and
metabolism. (online), (www.jcem.endojournals.org, diakses 22 Februari 2009)
Tjokroprawiro A. 2006. New Approach in The Treatment of T2DM and Metabolic Syndrome.
The Indonesian Journal of Internal Medicine. 38:160-166.
Vermunt et al. Effects of Sugar Intake on Body Weight: A Review. Obesity Reviews (2003) 4,
9199
Wamala, S.P. et al. Determinat of Obesity in relation to socioeconomic status among middle
aged Swedish women. Preventive Medicine Vol 26 Issue 5, September 1997, page
734-744
WHO. 2000. Obesity: Preventing and Managing the Global Epidemic. Geneva.
Widjaya A, et al, 2004. Obesitas dan Sindrom Metabolik. Forum Diagnosticum. 4:1-16
Yajnik, 2002. The lifecycle Effects of Nutrition and Body Size on Adult Adiposity, Diabetes
and Cardiovascular Disease. Obes Rev 3:217224