Anda di halaman 1dari 13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Sindroma Metabolik
1. Definisi
Sindroma metabolik merupakan suatu kumpulan faktor risiko metabolik
yang

berkaitan

langsung

terhadap

terjadinya

penyakit

kardiovaskuler

artherosklerotik. Faktor risiko tersebut antara lain terdiri dari dislipidemia


atherogenik, peningkatan tekanan darah, peningkatan kadar glukosa plasma,
keadaan prototrombik, dan proinflamasi (Semiardji, 2004).
Sindrom metabolik (SM) adalah kondisi dimana seseorang memiliki
tekanan darah tinggi, obesitas sentral dan dislipidemia, dengan atau tanpa
hiperglikemik. Ketika kondisi-kondisi tersebut berada pada waktu yang sama pada
satu orang, maka orang tersebut memiliki risiko yang tinggi terhadap penyakit
macrovasculer (WHO, 1999). Berbagai organisasi telah memberikan definisi yang
berbeda, namun seluruh kelompok studi setuju bahwa obesitas, resistensi insulin,
dislipidemia dan hipertensi merupakan komponen utama SM. Jadi meskipun SM
memiliki definisi yang berbeda, namun memiliki tujuan yang sama yaitu
mengenali sedini mungkin gejala gangguan metabolik sebelum seseorang jatuh ke
dalam beberapa komplikasi (Grundy, 2004).
Sindrom metabolik dikenal dengan berbagai nama. Perhatian medis pertama
yaitu pada tahun 1923, ketika Kylin memaparkan kelompok gout, hipertensi dan
hiperglikemia. Yang kemudian sindrom metabolik pertama kali dijelaskan oleh
Jean Vague pada tahun 1940, yang menghubungkan obesitas abdominal dengan
abnormalitas metabolik. Tiga dekade kemudian, yaitu pada tahun 1970 Gerald
Phillips menyatakan bahwa umur, obesitas dan sex hormon dihubungkan dengan

manifestasi klinis, yang sekarang disebut sindrom metabolik dan dihubungkan


dengan penyakit jantung. Akhirnya pada tahun 1988, Gerald Reaven mengajukan
hipertensi, hiperglikemia, intoleransi glukosa, peningkatan trigliserida, dan
kolesterol HDL yang rendah dan dinamakan kumpulan abnormalitas Sindrom-X.
Yang akhirnya pada tahun 1998 the World Health Organization mengajukan nama
metabolic sindrom yang didefinisikan dengan adanya 2 atau lebih abnormalitas
metabolik (pada pasien diabetes) atau resistensi insulin dengan 2 atau lebih faktorfaktor dibawah (Isomaa et al, 2001) :
a.
b.
c.
d.
e.

Hipertensi dengan perlakuan atau tekanan darah >160 / >90 mmHg


Trigliserida 150 mg/dL
HDL <35 mg/dL pada laki-laki, atau <40 mg/dL pada perempuan
Rasio lingkar pinggang >0.90 pada laki-laki atau >0.85 pada wanita
Mikroalbuminuria
Namun kebanyakan menggunakan defenisi yang telah ditetapkan oleh

World Hearth Organization (WHO) and the National Cholesterol Education


Program Adult Treatment Panel III (NCEP ATP III). Organisasi ini menganggap
bahwa sindrom metabolik merupakan faktor risiko penyakit kardiovaskuler
disamping peningkatan kadar kolesterol low density lipoprotein (LDL).
Dislipidemia aterogenik (protrombotik state), Resistensi insulin, hipertensi,
obesitas abdominal dan peningkatan marker inflamasi dianggap sebagai
karakteristik yang menyolok dari sindrom metabolik (Pitsavos, 2006).
2. Etiologi
Etiologi Sindrom Metabolik belum dapat diketahui secara pasti. Suatu
hipotesis menyatakan bahwa penyebab primer dari Sindrom Metabolik adalah
resistensi insulin (Shahab, 2007).
Menurut pendapat Tenebaum (2003) penyebab sindrom metabolik adalah :

a.

Gangguan fungsi sel dan hipersekresi insulin untuk mengkompensasi


resistensi insulin. Hal ini memicu terjadinya komplikasi makrovaskuler

b.

(Mis.komplikasi jantung)
Kerusakan berat sel menyebabkan penurunan progresif sekresi insulin,
sehingga menimbulkan hiperglikemia. Hal ini menimbulkan komplikasi
mikrovaskuler (Mis: nephropathy diabetica) (Anggraeni, 2007).
Hipotesis lain juga menyatakan bahwa penyebab primer SM adalah
resistensi insulin (RI). RI berkorelasi dengan timbunan lemak visceral yang dapat
ditentukan dengan mengukur lingkar pinggang atau waist to hip ratio. Hubungan
antara RI dan PKV diduga dimediasi oleh terjadinya stress oksidatif yang
menimbulkan disfungsi endotel yang akan menyebabkan kerusakan vaskuler dan
pembentukan atheroma. Hipotesis lain karena perubahan hormonal yang
mendasari terjadinya obesitas sentral. Suatu studi membuktikan bahwa individu
yang mengalami kadar kortisol dalam serum (yang disebabkan oleh stress kronik)
mengalami obes sentral, RI dan dislipidemia. Para peneliti juga mendapatkan
bahwa ketidakseimbangan aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal yang terjadi akibat
stress akan menyebabkan terbentuknya hubungan antara gangguan psikososial dan
infark miokard.
Peningkatan faktor risiko metabolik selalu berhubungan dengan tingginya
akumulasi jaringan adiposa abdominal, terutama jaringan lemak visceral
(Tjokroprawiro, 2006). Salah satu karakteristik obesitas abdominal/lemak visceral
adalah terjadinya pembesaran sel-sel lemak, sehingga sel-sel lemak tersebut akan
mensekresi

produk-produk

metabolik

diantaranya

sitokin

proinflamasi,

prokoagulan, peptida inflamasi, dan angiotensinogen. Produk-produk dari sel


lemak dan peningkatan asam lemak bebas dalam plasma bertanggung jawab

terhadap berbagai penyakit metabolik seperti diabetes, penyakit jantung,


hiperlipidemia, gout, dan hipertensi (Semiardji, 2004; Widjaya et al., 2004).
3. Kriteria
Hingga saat ini ada 3 definisi SM yang telah diajukan, yaitu definisi World
Health Organization (WHO), NCEP ATP-III dan International Diabetes Federation
(IDF). Ketiga definisi tersebut memiliki komponen utama yang sama dengan
penentuan kriteria yang berbeda. Pada tahun 1988, Alberti dan Zimmet atas nama
WHO menyampaikan definisi SM dengan komponen - komponennya antara lain :
(1) gangguan pengaturan glukosa atau diabetes (2) resistensi insulin (3) hipertensi
(4) dislipidemia dengan trigliserida plasma > 150 mg/dL dan/atau kolesterol high
density lipoprotein (HDL-C) < 35 mg/dL untuk pria; < 39 mg/dL untuk wanita; (5)
obesitas sentral (laki-laki : waistto-hip ratio > 0,90; wanita: waist-to-hip ratio >
0,85) dan/atau indeks massa tubuh (IMT) > 30 kg/m2; dan (6) mikroalbuminuria
(Urea Albumin Excretion Rate >20 mg/min atau rasio albumin/kreatinin > 30
mg/g). SM dapat terjadi apabila salah satu dari 2 kriteria pertama dan 2 dari empat
kriteria terakhir terdapat pada individu tersebut, Jadi kriteria WHO 1999
menekankan pada adanya toleransi glukosa terganggu atau diabetes mellitus, dan
atau resitensi insulin yang disertai sedikitnya 2 faktor risiko lain yaitu hipertensi,
dislipidemia, obesitas sentral dan mikroalbuminaria (Marti, 1998; Adriansjah dan
Adam, 2006).
Kriteria yang sering digunakan untuk menilai pasien SM adalah NCEP-ATP
III, yaitu apabila seseorang memenuhi 3 dari 5 kriteria yang disepakati, antara
lain: lingkar perut pria > 102 cm atau wanita > 88 cm; hipertrigliseridemia (kadar
serum trigliserida > 150 mg/dL), kadar HDL-C < 40 mg/dL untuk pria, dan < 50
mg/dL untuk wanita; tekanan darah > 130/85 mmHg; dan kadar glukosa darah

puasa > 110 mg/dL. Suatu kepastian fenomena klinis yang terjadi yaitu obesitas
sentral menjadi indikator utama terjadinya SM sebagai dasar pertimbangan
dikeluarkannya diagnosis terbaru oleh IDF tahun 2005. Seseorang dikatakan
menderita SM bila ada obesitas sentral (lingkar perut > 90 cm untuk pria Asia dan
lingkar perut > 80 cm untuk wanita Asia) ditambah 2 dari 4 faktor berikut : (1)
Trigliserida > 150 mg/dL (1,7 mmol/L) atau sedang dalam pengobatan untuk
hipertrigliseridemia; (2) HDL-C: < 40 mg/dL (1,03 mmol/L) pada pria dan < 50
mg/dL (1,29 mmol/L) pada wanita atau sedang dalam pengobatan untuk
peningkatan kadar HDL-C; (3) Tekanan darah: sistolik > 130 mmHg atau diastolik
> 85 mmHg atau sedang dalam pengobatan hipertensi; (4) Gula darah puasa
(GDP) > 100 mg/dL (5,6 mmol/L), atau diabetes tipe 2. Hingga saat ini masih ada
kontroversi tentang penggunaan kriteria indikator SM yang terbaru tersebut (IDF,
2005).
Kriteria diagnosis NCEP- ATP III menggunakan parameter yang lebih
mudah untuk diperiksa dan diterapkan oleh para klinisi sehingga dapat dengan
lebih mudah mendeteksi sindroma metabolik. Yang menjadi masalah adalah dalam
penerapan kriteria diagnosis NCEP-ATP III adalah adanya perbedaan nilai
normal lingkar pinggang antara berbagai jenis etnis. Oleh karena itu pada tahun
2000 WHO mengusulkan lingkar pinggang untuk orang Asia 90 cm pada pria
dan wanita 80 cm sebagai batasan obesitas sentral.
Belum ada kesepakatan kriteria sindroma metabolik secara international,
sehingga ketiga definisi di atas merupakan yang paling sering digunakan. Tabel 1
berikut menggambaran perbedaan ketiga definisi tersebut.

Tabel 1. Kriteria diagnosis Sindrom metabolik menurut WHO (World Health


Organization), NCEP-ATP III dan IDF
Kriteria diagnosis WHO:
Resistensi insulin plus :

Komponen
Obesitas abdominal/
sentral
Hipertrigliseridemia
Hipertensi

Waist to hip ratio :


Laki-laki : > 0,9
Wanita : > 0,85 atau
IMB >30 Kg/m
150 mg/dl ( 1,7 mmol/L)
TD 140/90 mmHg atau
riwayat terapi anti hipertensif

Kadar glukosa
darah tinggi
Mikro-albuminuri

Toleransi glukosa terganggu,


glukosa puasa
terganggu,resistensi insulin
atau DM
Rasio albumin urin dan
kreatinin 30 mg/g atau laju
eksresi albumin 20
mcg/menit

Criteria diagnosis
ATP III : 3 komponen
di bawah ini
Lingkar perut :
Laki-laki: 102 cm
Wanita : >88 cm
150 mg/dl (1,7
mmol/L)
TD 130/85 mmHg
atau riwayat terapi anti
hipertensif
110 mg/dl

IDF
Lingkar perut :
Laki-laki: 90 cm
Wanita : 80 cm
150 mg/dl
TD sistolik 130 mmHg
TD diastolik 85 mmHg
GDP 100mg/dl

4. Patofisiologi
Obesitas merupakan komponen utama kejadian SM, namun mekanisme
yang jelas belum diketahui secara pasti. Obesitas yang diikuti dengan
meningkatnya metabolisme lemak akan menyebabkan produksi Reactive Oxygen
Species (ROS) meningkat baik di sirkulasi maupun di sel adiposa. Meningkatnya
ROS di dalam sel adipose dapat menyebabkan keseimbangan reaksi reduksi
oksidasi (redoks) terganggu, sehingga enzim antioksidan menurun di dalam
sirkulasi. Keadaan ini disebut dengan stres oksidatif. Meningkatnya stres oksidatif
menyebabkan disregulasi jaringan adiposa dan merupakan awal patofisiologi
terjadinya SM, hipertensi dan aterosklerosis (Furukawa, et al, 2004).
Stres oksidatif sering dikaitkan dengan berbagai patofisiologi penyakit
antara lain diabetes tipe 2 dan aterosklerosis. Pada pasien diabetes melitus tipe 2,
biasanya terjadi peningkatan stress oksidatif, terutama akibat hiperglikemia. Stress
oksidatif dianggap sebagai salah satu penyebab terjadinya disfungsi endotel-

angiopati diabetic, dan pusat dari semua angiopati diabetik adalah hiperglikemia
yang menginduksi stress oksidatif melalui 3 jalur, yaitu; peningkatan jalur poliol,
peningkatan auto-oksidasi glukosa dan peningkatan protein glikosilat (Majalah
Farmacia, 2007).
Pada keadaan diabetes, stres oksidatif menghambat pengambilan glukosa di
sel otot dan sel lemak serta menurunkan sekresi insulin oleh sel- pankreas. Stres
oksidatif secara langsung mempengaruhi dinding vaskular sehingga berperan
penting pada patofisiologi terjadinya diabetes tipe 2 dan aterosklerosis (Ceriello,
2004). Dari beberapa penelitian diketahui bahwa akumulasi lemak pada obesitas
dapat menginduksi keadaan stress oksidatif yang disertai dengan peningkatan
ekspresi Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphatase (NADPH) oksidase dan
penurunan ekspresi enzim antioksidan (Sartika, 2006).
Pada kultur sel adiposa, peningkatan kadar asam lemak meningkatkan stres
oksidatif melalui aktivasi NADPH oksidase sehingga menyebabkan disregulasi
sitokin proinflamasi IL-6 dan MCP-1. Akumulasi peningkatan stres oksidatif pada
sel adiposa dapat menyebabkan disregulasi adipokin dan keadaan SM. Furukawa
dkk (2004) menunjukkan bahwa kadar adiponektin berhubungan terbalik dengan
stres oksidatif secara sistemik.
Patofisiologi SM masih menjadi kontroversi, namun hipotesis yang paling
banyak diterima adalah resistensi insulin. Gambar 2 menunjukkan etiologi
patofisiologi dari resistensi insulin dan sindroma metabolik (Mahan, 2003).
5. Tatalaksana
Untuk mencegah komplikasi kardiovaskular pada individu yang memiliki
sindrom metabolik, diperlukan pemantauan yang terus menerus dengan modifikasi
komponen sindrom metabolik yang ada. Penatalaksanaan sindrom metabolik yang

ada

masih

merupakan

penatalaksanaan

dari

berbagai

komponennya.

Penatalaksanaan sindrom metabolik masih terdiri dari 2 pilar, yaitu tatalaksana


penyebab (berat badan lebih/obesitas dan inaktivitas fisik) serta tatalaksana faktor
resiko lipid dan non lipid.
a. Obesitas
Pengaturan berat badan merupakan dasar tidak hanya pada obesitas
tetapi juga sindrom metabolik. Mempertahankan berat badan yang lebih
rendah dikombinasi dengan pengurangan asupan kalori dan peningkatan
aktivitas fisik merupakan prioritas utama pada penyandang sindrom metabolik.
Target penurunan berat badan 5-10% dalam tempo 6-12 bulan dapat dicapai
dengan mengurangi asupan kalori 500-1000 kalori perrhari ditunjang dengan
aktivitas fisik selama 30 menit atau lebih setiap hari.
Pemakaian obat-obatan dapat berguna dan dapat dipertimbangkan pada
beberapa pasien. Dua obat yang biasa digunakan adalah sibutramin dan
orlistat. Sibutramin dapat menjadi pertimbangan dengan mengesampingkan
efek sampingnya. Cara kerjanya disentral memberi efek mempercepat rasa
kenyang dan mempertahankan pengeluaran energi.
b. Hipertensi
Target tekanan darah berbeda antara yang memiliki DM dengan yang
tidak Dm. Pada subyek dengan DM target tekanan darah adalah <130/80
mmHg, sedangkan pada bukan, targetnya <140/90 mmHg. Penatalaksanaan
tetap diawali dengan diet dan aktivitas fisik. Namun apabila modifikasi gaya
hidup tidak mampu mengendalikan tekanan darah, maka dibutuhkan
pendekatan dengan medika mentosa.
Dalam suatu penelitian meta-analisis didapatkan bahwa enzim
pengkonversi angiotensin dapat mempunyai manfaat yang bermakna dalam
meregresi hipertrofi ventrikel kiri dibanding dengan penghambat beta
adrenergik, diuretik dan antagonis kalsium. Valsartan, suatu penghambat

reseptor angiotensin, dapat mengurangi mikroalbuminuria yang diketahui


sebagai faktor resiko kardiovaskular. Beberapa studi menyarankan pemakaian
ACE inhibitor sebagai lini pertama penyandang hipertensi dengan sindroma
metabolik terutama bila ada DM.
c. Gangguan Tolernsi Glukosa
Perubahan gaya hidup dan aktivitas fisik yang teratur terbukti dapat
menurunkan

berat

badan

dan

toleransi

glukosa

terganggu

(TGT).

Tiazolidindion memiliki pengaruh yang ringan dan persisten dalam


menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik. Tiazolidindion dan
metformin juga dapat menurunkan konsentrasi asam lemak bebas. Pada
Diabetes Prevention Program, penggunaan metformin dapat mengurangi
progresi diabetes sebesar 31% dan efektif pada pasien muda dengan obesitas.
d. Dislipidemia
Pilihan terapi pada dilipidemia adalah perubahan gaya hidup yang
diikuti dengan medikamentosa. Namun demikian, perubahan diet dan latihan
jasmani saja tidak cukup berhasil mencapai target. Oleh karena itu disarankan
untuk memberikan obat berbarengan dengan perubahan gaya hidup. Menurut
ATP III, setelah kolestrol LDL sudah mencapai target, sasaran berikutnya
adalah dislipidemia aterogenik. Pada konsentrasi trigliserida

200 mg/dl,

maka target terapi adalah non kolestrol HDL setelah kolestrol LDL terkoreksi.
Terapi dengan gemfibrozil tidak hanya memperbaiki profil lipid tetapi juga
dapat secara bermakna mengurangi resiko kardiovaskular. Fenofibrat secara
khusus digunakan untuk menurunkan trigliserida dan meningkatkan HDL,
telah menunjukkan perbaikan profil lipid yang sangan efektif mengurangi
resiko

kardiovaskular. Kombinasi

konsentrasi trigliserida, HDL dan LDL.

fenofibrat

dan

satin

memperbaiki

DAFTAR PUSTAKA

Adrianjah, H dan Adam, J., 2006. Sindroma Metabolik:Pengertian, Epidemiologi, dan


Criteria Diagnosis. Informasi laboratorium prodia No.4/2006.
Almatsier, S., 2005. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Angraeni, D., 2007. Mewaspadai Adanya Sindrom Metabolic. (Online). (http://labcito.co.id.,
diakses 24 Desember 2008]
Anwar, T., 2004. Faktor risiko penyakit jantung koroner. Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara. (online) (http://library.usu.ac.id/download/fk/gizi-bahri10.pdf ,
Diakses 1 Januari 2009)
Arambepola, C. et al, 2007. Gender Differential of Abdominal Obesity Among the Adults in
the District of Colombo, Sri Langka. Preventive Medicine 44 (2007) 129-134.
(online, www.sciencedirect.com Diakses 18 Desember 2006)
Arief, I. 2008. mencegah obesitas dengan mengurangi waktu nonton tv. artikel.(online)
(www.pjnhk.go.id./view/808/31, diakses 1 Januari 2009)
BPS. 2005. Laporan Hasil Susenas 2004
Bray, GE., Ryan, DH. 2006. Overweight and The Methabolic Sindrome: from Bench to
Bedside. Springer Science.
Ceriello A, Motz E. Is Oxidative Stress the Pathogenic Mechanism Underlying Insulin
Resistance, Diabetes and CVD?, Arterioscler Thromb Vac Bio 2004 ; 24 : 816823.l

Gu D, Reynolds K, Wu X, Chen J, Duan X, Reynolds RF, Whelton PK, He J, 2005.


Prevalence of The Metabolic Syndrome and Overweight Among Adults in China.
Lancet 365:13981405
Hadju, V., 2003. Bahan Bacaan Mata Kuliah Dietetik Masyarakat. Makassar. Jurusan Gizi
FKM Unhas.
Hayens, B., et al, 2003. Buku Pintar Menaklukkan Hipertensi. Jakarta: Ladangpustaka &
Intimedia.
IDF. 2005. The IDF Concencus Worldwide Definition of the Metabolic Syndrome.(online)
(www.idf.org, diakses 20 Januari, 2009)
Inoue, S. Zimmet P. Caterson I. 2000. The Asia Pasific Perspective: Redefining Obesity and
Its Treatment. Health Communication. Australia.
Isomaa B et al. Cardiovascular morbidity and mortality associated with the metabolic
syndrome. Diabetes Care. 2001;24:683-689.
Jia, WP. KS Xiang, L. Chen, JX Lu, YM. Wu. Epidemiological Study on Obesity and Its
Comorbidities in Urban Chinese Older than 20 Years of Age in Shanghai China.
Obesity Reviews, 2002 ; 3:157165
Khan R, Buse J, Ferrannini E, Stern M. The metabolic Syndrome: Time for a Critical
Appraisal: Join Statement from the American Diabetes Association and the
European Association for the Study of Diabetes. Diabetes Care 2005; 28: 22892304
Kaplan, N.M. Smoking and hypertension. 2009 (online) (www.patient/autor/content.do?
topickey=hiperten5360 diakses 6 November 2009).
Kim, B.J et al. Association of Smoking status, Weight Changes, and incident Metabolic
syndrome in Men : A 3-Year Follow-Up Study. Diabetes care, 2007 (32:7)
Kim, D.M. et al. National Prevalence of Obesity: Prevalence of Obesity in Korea. Obesity
Review (2005) 6, 117-121.
Kusmana, D., 2007. Rokok & kesehatan jantung. (online) (http://www.kardiologiui.com/newsread.php?id=312 , diakses 29 Desember 2008)
Lipoeto, N., 2002. Consumption of Minangkabau Traditional Food and Cardiovascular
Disease in west sumatra, indonesia. Monash university
Majalah Farmacia, 2007. Stress Oksidatif, Faktor Penting Penyulit Vascular. (online)(
www.combiphar.com/ahp, diakses 2 Januari, 2009)
Marquezine G., F, Oliveira CM, Pereira AC, Krieger JE, Mill JG, 2008 Metabolic Syndrome
Determinants in An Urban Population from Brazil: Social Class and GenderSpecific Interaction. Int J Cardiol 129:259265

Misra, A., et al., 2001. High Prevalence of Diabetes, Obesity and Dyslipiddaemia in Urban
Slum Population in Northern India. International Journal of Obesity.
Nov.2001.Vol 25, No.11:1722-1729.
Misra, A. and Khurana, L., 2008. Obesity and the metabolik syndrome in developing
countries. J Clin Endocrinol Metab, November 2008, 93(11):S9S30. (online) (
http://jcem.endojournals.org, diakses 14 April 2009).
Misra A, Sharma R, Pandey RM, Khanna N., 2001. Adverse Profile of Dietary Nutrients,
Anthropometry and Lipids in Urban Slum Dwellers of Northern India. Eur J Clin
Nutr 55:727734.
NHLBI. 1998. Clinical Guidelines on the Identification, Evaluation, and Treatment of
Overweight and Obesity in Adults: The Evidence Report. (Online),
(www.nhlbi.nih.gov/guidelines/obesity/ob_gdlns.htm, diakses Desember 2008)
Pitsavos, C. et al, 2006. Diet, Exercise and Metabolic Syndrome. The Review of Diabetic
Studies: DOI 10. 1900?RDS.2006.3.118 (online), (www. The-RDS.org, dikases
10 Desember 2008)
Raji A, Seely EW, Arky RA, Simonson DC, 2001. Body Fat Distribution and Insulin
Resistance in Healthy Asian Indians and Caucasians. J Clin Endocrinol Metab
86:53665371
Sartika, Cyntia R. 2006. Penanda Inflamasi, Stress Oksidatif dan Disfungsi Endotel pada
Sindroma Metabolik. Forum Diagnosticum. Prodia Diagnostics Educational
Services. No. 2.
Shahab, A. 2007. Sindrom Metabolik. Media informasi Ilmu Kesehatan dan Kedokteran.
(online), (http:/ alwia.com, diakses 24 Januari 2009)
Soeharto, I. , 2004. Penyakit Jantung Koroner dan Serangan Jantung. Jakarta: Gramedia..
Stelmach et al. How income and education contribute to risk factors for cardiovaskuler
diseases in elderly in a former communist country. Public Health (2004) 118,
439-449.
Stibich, M., 2007. Age and High Blood Pressure. (online), (www.Medical Review Board
about.com, diakses 3 November, 2009)
Stocker R, Keaney JF. Role of Oxidative Modification in Atheroclerosis, Physiol Rev, 2004 ;
84 : 1381-1478.
Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. IPB Bogor.
Suyono,

A,
2001.
Serat
Benteng
Terhadap
Aneka
Penyakit.
(http://www.suyono.wordpress.com, diakses 29 September 2008)

(online),

Targher, G., dkk., 1999. Cigarette Smoking and Insulin Resistance in Patients with
Noninsulin-Dependent Diabetes Mellitus. Journal of clinical Endocrinology and
metabolism. (online), (www.jcem.endojournals.org, diakses 22 Februari 2009)

Tjokroprawiro A. 2006. New Approach in The Treatment of T2DM and Metabolic Syndrome.
The Indonesian Journal of Internal Medicine. 38:160-166.
Vermunt et al. Effects of Sugar Intake on Body Weight: A Review. Obesity Reviews (2003) 4,
9199
Wamala, S.P. et al. Determinat of Obesity in relation to socioeconomic status among middle
aged Swedish women. Preventive Medicine Vol 26 Issue 5, September 1997, page
734-744
WHO. 2000. Obesity: Preventing and Managing the Global Epidemic. Geneva.
Widjaya A, et al, 2004. Obesitas dan Sindrom Metabolik. Forum Diagnosticum. 4:1-16
Yajnik, 2002. The lifecycle Effects of Nutrition and Body Size on Adult Adiposity, Diabetes
and Cardiovascular Disease. Obes Rev 3:217224

Anda mungkin juga menyukai